Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Enuresis adalah sebuah kondisi dimana seseorang melakukan pengeluaran kencing pada
tempat dan waktu yang tidak seharusnya. Pada kasus dimana tidak ditemukan gangguan
struktural atau organik, maka dinamakan dengan enuresis non-organik.1 Terdapat beberapa
perbedaan terminology dan kriteria yang akan dibahas pada referat ini.

Enuresis merupakan suatu kondisi yang sering ditemukan pada populasi pediatrik dengan
tingkat prevalensi berkisar antara 7,2 – 9,52% pada populasi anak usia 5 – 14 tahun. 2,3 Anak laki-
laki lebih sering mengalami enuresis dibandingkan perempuan. Kondisi ini berhubungan erat
dengan gangguan psikiatri lainnya seperti gangguan kognitif, rasa percaya diri yang rendah,
attention deficit hyperactivity disorder (ADHD), dan gangguan tidur.4 Referat ini ditulis dengan
tujuan untuk memberikan pemahaman dan tatalaksana terhadap enuresis non-organik.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Enuresis non-organik adalah suatu gangguan yang ditandai oleh buang air seni tanpa kehendak,
pada siang dan/atau malam hari, yang tidak sesuai dengan usia mental anak, dan bukan akibat
dari kurangnya pengendalian kandung kemih akibat gangguan neurologis, serangan epilepsi, atau
kelainan struktural pada saluran kemih.1

2.2. Epidemiologi

Enuresis cukup sering ditemukan pada populasi pediatrik. Sebuah penelitian oleh Ferrara et al.
menemukan prevalensi sebesar 7,2% pada anak usia 5 – 14 tahun.2 Sebuah penelitian lain oleh
Sarici et al. menemukan prevalensi sebesar 9,52% pada anak usia 6 – 13 tahun. Proporsi anak
laki-laki lebih banyak (12,4%) dibandingkan perempuan (6,5%).3 Anak dengan enuresis
seringkali juga mengalami gangguan lain seperti gangguan kognitif, rasa percaya diri yang
rendah, attention deficit hyperactivity disorder (ADHD), dan gangguan tidur.4

2.3. Faktor risiko

Terdapat beberapa faktor risiko dari enuresis non-organik yaitu:5–7

 Riwayat enuresis pada keluarga


 Jenis kelamin laki-laki
 Penggunaan diaper yang berkepanjangan
 Toilet training yang tertunda
 Konsumsi minuman manis
 Gangguan tidur
 Riwayat persalinan SC
 Riwayat sepsis neonatal
 Tingkat Pendidikan orang tua yang rendah
2.4. Patofisiologi

Enuresis seringkali muncul tanpa adaya abnormalitas neurologis dan disebabkan oleh kebiasaan
mengencangkan external spincter secara sengaja pada saat akan kencing. Akibat kebiasaan ini
maka seiring dengan waktu sensasi ingin kencing akan hilang dan kandung kemih tidak akan
kosong secara teratur sehingga menyebabkan enuresis di malam hari, karena pada malam hari
kandung kemih mengalami relaksasi. Pada umunya anak tidak bertujuan melakukan hal ini dan
baru menyadari saat sudah mengompol.8 Selain itu enuresis dapat terjadi juga pada anak dengan
sleep arousal disorder. Pada gangguan ini, anak tidak terbangun dan tidak berespons terhadap
adanya sensasi penuh atau kontraksi dari kandung kemih. Berikut adalah beberapa faktor yang
berkontribusi dalam kemungkinan terjadinya enuresis non organik:

 Faktor lingkungan
Enuresis dapat terjadi bila tidak dilakukannya toilet training, serta adanya stressor
psikososial contohnya hari mulai sekolah, pindah ke lingkungan baru, perpisahan dengan
anggota keluarga seperti contohnya pada perceraian, perawatan di rumah sakit pada usia
2-4 tahun, atau kelahiran anggota keluarga baru.9
 Faktor genetik dan fisiologik
Ditemukan bahwa risiko terjadinya enuresis 3,6 kali lebih tinggi pada anak dengan ibu
yang enuretik di masa kanak-kanak, dan 10 kali lebih tinggi pada ayah yang enuretik.
Selain itu keterlambatan dalam perkembangan ritme sirkardian normal dari produksi urin
juga menyebabkan poliuria di malam hari.8,9
 Jenis pola asuh orangtua
Enuresis berkaitan dengan pola asuh otoriter dan permisif. Pola asuh otoriter adalah pola
asuh dimana anak harus selalu mengikuti perintah orangtua dan tidak dapat
mengemukakan pendapatnya, sedangkan pada pola asuh permisif orangtua membebaskan
anak sehingga anak memiliki kelonggaran untuk melakukan hal yang diinginkan.10

Selain faktor-faktor tersebut, mekanisme yang mendasari terjadinya enuresis antara lain adalah:4

 Poliuria nocturnal
Kondisi ini ditandai dengan meningkatknya produksi urin saat tidur. Hal ini disebabkan
oleh minum air yang banyak sebelum tidur dan gangguan terhadap fungsi antidiuretic
hormone. ADH berperan dalam menurunkan produksi urin dan pada saat tidur
disekresikan dalam jumlah yang lebih tinggi. Ketika terjadi resistensi terhadap ADH atau
penurunan sekresinya, terjadi polyuria nocturnal. Pasien dengan enuresis dapat memiliki
produksi urin yang meningkat di malam hari.
 Kapasitas kandung kemih yang menurun
Ditemukan bahwa pada pasien enuresis terdapat kapasitas kandung kemih yang lebih
rendah dibandingkan anak seumurnya.
 Sleep arousal disorder
 Pada pasien dengan enuresis, ada ketidaksesuaian untuk bangun dari tidur akibat sensasi
dorongan berkemih. Tidak jelas apakah ini disebabkan oleh gangguan tidur atau masalah
dengan bladder brain connection dysfunction.
 Bladder brain connection dysfunction
Ditemukan pasien dengan NE memiliki arousal kortikal yang sering, tetapi tidak mampu
untuk bangun sepenuhnya. Arousal dikaitkan dengan kontraksi kandung kemih yang
tidak stabil, menunjukkan bahwa kemungkinan pusat arousal tersebut kemungkinan
ditekan oleh sinyal dari kandung kemih. Akibatnya, anak tidak terbangun atas dorongan
ingin berkemih.

2.5. Manifestasi klinis

Gejala utama dari enuresis adalah inkontinensia. Pada enuresis non-organik, inkontinensia yang
terjadi bersifat intermiten. Hal ini membedakan dengan enuresis akibat gangguan structural
dimana inkontinensia terjadi secara kontinyu. Inkontinensia dapat terjadi saat tidur atau saat
terjaga di siang hari. Pasien dengan enuresis seringkali juga memiliki gangguan tidur seperti
tidur yang tidak tenang, mengorok, dan sering terbangun akibat mimpi buruk. Anak dengan
enuresis seringkali juga jarang mengkonsumsi cairan saat siang hari dan minum sebagian besar
kebutuhan cairan mereka 4 – 5 jam sebelum tidur. Pada beberapa pasien juga dapat ditemukan
gejala konstipasi ringan seperti jarang buang air besar, feses keras dan berdiameter besar, dan
anak yang harus mengedan keras ketika defekasi.4

2.6. Klasifikasi dan kriteria diagnosis


Pada Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDGJ III) kondisi
ini disebut dengan enuresis non-organik (F98.0) dan termasuk dalam golongan gangguan
perilaku dan emosional lainnya dengan onset biasa pada masa kanak dan remaja (F98). Kriteria
diagnosisnya adalah:1

 Suatu gangguan yang ditandai oleh buang air seni tanpa kehendak, pada siang dan/atau
malam hari, yang tidak sesuai dengan usia mental anak, dan bukan akibat dari kurangnya
pengendalian kandung kemih akibat gangguan neurologist, serangan epilepsi, atau
kelainan structural pada saluran kemih.
 Tidak terdapat garis pemisah yang tegas antara gangguan enuresis dan variasi normal usia
seorang anak berhasil mencapai kemampuan pengendalian kandung kemihnya. Namun
demikian, enuresis tidak lazim didiagnosis terhadap anak dibawah usia 5 tahun atau
dengan usia mental kurang dari 4 tahun.
 Bila enuresis ini berhubungan dengan suatu (pelbagai) gangguan emosional atau perilaku,
yang lazim merupakan diagnosis utamanya, hanya bila terjadi sedikitnya beberapa kali
dalam seminggu dan bila gejala lainnya menunjuk kaitan temporal dengan enuresis itu
(enuresis non-organik sekunder).
 Enuresis ada kalanya timbul bersamaan dengan enkopresis, dalam hal ini diagnosis
enkopresis yang diutamakan.

Sedangkan menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) – 5 kondisi
ini disebut dengan enuresis dan termasuk dalam golongan elimination disorder. Kriteria
diagnosisnya adalah:11

A. Pembuangan urin berulang kali ke tempat tidur atau pakaian, baik disengaja atau tidak
disengaja.
B. Perilaku tersebut signifikan secara klinis seperti yang dimanifestasikan oleh salah satu
frekuensi setidaknya dua kali seminggu selama minimal 3 bulan berturut-turut atau
adanya penderitaan yang signifikan secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial,
akademik (pekerjaan), atau fungsi penting lainnya.
C. Usia kronologis minimal 5 tahun (atau tingkat perkembangan yang setara).
D. Perilaku tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat (misalnya, diuretik, obat
antipsikotik) atau kondisi medis lain (misalnya, diabetes, spina bifida, gangguan kejang).
Sebutkan apakah:
o Nokturnal saja: pembuangan urin hanya saat tidur di malam hari
o Diurnal saja: pembuangan urin saat terjaga
o Nokturnal dan diurnal: kombinasi kedua subtype

Terdapat kriteria diagnosis lain dari International Children Continence Society (ICCS). Menurut
ICCS terminologi enuresis hanya dapat digunakan pasien dengan pembuangan urin terjadi hanya
saat tidur saja. Pada pasien yang mengalami inkontinensia saat terjaga, terminologi inkontinensia
urin yang dipakai. Kriteria diagnostik enuresis menurut ICCS adalah:12

 Eksklusi penyebab organik


 Usia kronologis minimal 5 tahun
 Durasi minimal 3 bulan
 Frekuensi minimal 1 kali dalam sebeulan

ICCS juga mengklasifikasikan enuresis menjadi monosimtomatik atau non-monosimtomatik.


Pasien tanpa gejala dan tanda disfungsi kandung kemih termasuk dalam subtype
monosimtomatik sedangkan pasien dengan gejala lower urinary tract (LUT) seperti urgensi,
menunda, diskoordinasi, konstipasi, atau inkontinensia feses termasuk dalam subtype non-
monosimtomatik. Pasien dengan inkontinensia urin saat terjaga juga termasuk dalam subtype
non-monosimtomatik. ICCS juga mengklasifikasikan kondisi sebagai primer jika anak tidak
pernah “kering” selama setidaknya 6 bulan dan sekunder jika anak pernah “kering” selama lebih
dari 6 bulan.12

Terdapat beberapa perbedaan antara ketiga kriteria diagnostik. PPDGJ-III tidak membedakan
antara inkontinensia pada saat tidur atau terjaga. Enuresis sekunder juga tidak didefinisikan
dengan kriteria yang jelas. PPDGJ-III juga tidak memiliki kriteria frekuensi untuk diagnosis.
Mengenai frekuensi, DSM-5 memiliki kriteria dua kali seminggu selama minimal 3 bulan
berturut-turut sedangkan ICCS memiliki kriteria minimal 1 kali dalam sebulan dengan durasi
minimal 3 bulan. Perbedaan lain adalah ICCS tidak menggolongkan inkontinensia pada saat
terjaga sebagai enuresis.

2.8. Diagnosis
Tujuan dari anamnesis adalah untuk memastikan apakah anak membutuhkan evaluasi lebih
lanjut atau tidak dan untuk mengumpulkan informasi guna memilih tatalaksana. Anamnesis juga
dapat membantu dalam mengenali tanda-tanda bahaya seperti pada gambar 2.1. Hal yang perlu
digali dalam anamnesis antara lain adalah:13

 Kesehatan secara umum


Tanyakan mengenai riwayat tumbuh kembang, penurunan berat badan, mual muntah, dan
rasa haus yang berlebihan dimana hal ini dapat mengarah pada diabetes mellitus.
 Inkontinensia
Tanyakan mengenai apakah inkontinensia terjadi saat terjaga atau tertidur dan mengenai
frekuensinya. Tanyakan juga apakah ada periode “kering” dan berapa lama.
 Kebiasaan mikturisi
Tanyakan apakah terdapat urgensi, kesulitan berkemih, dan menunda berkemih.
 Riwayat ISK
Tanyakan mengenai riwayat ISK sebelumnya karena ISK juga dapat menyebabkan
inkontinensia
 Pola defekasi
Tanyakan apakah terdapat gejala konstipasi seperti frekuensi defekasi yang jarang,
retensi feses yang berlebihan, nyeri saat defekasi, feses berdiamter besar, dan
inkontinensia feses.
 Gangguan tidur
Tanyakan apakah terdapat mengorok, apnea, dan rasa mengantuk berlebihan saat siang
hari.
 Gangguan perilaku
Tanyakan apakah anak mengalami kesulitan berkonsentrasi, kesulitan bersosialisasi, dan
apakah anak merasa mengompol menjadi masalah besar baginya dalam kehidupan social.

Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan abnormalitas yang berhubungan dengan
enuresis. Pemeriksaan fisik dapat dilakukan untuk memeriksa kesehatan secara umum dan
mencari tanda disrafisme tulang belakang seperti asimetrisitas kaki dan anal cleft serta gangguan
neurologis pada ekstremitas inferior. Pemeriksaan penunjang tidak perlu rutin dilakukan. Pada
anak dengan tanda bahaya, pemeriksaan penunjang yang direkomendasikan dapat dilihat juga
pada gambar 2.1.13

Gambar 2.1. Tanda bahaya pada enuresis dan pemeriksaan lanjutannya.13

Penting untuk diingat bahwa prevalensi gangguan psikiatri pada anak dengan enuresis lebih
tinggi dibandingkan anak seumurannya yang sehat. Maka dari itu, penting untuk melakukan
penapisan pada semua pasien anak dengan enuresis. Penapisan ini bertujuan untuk mengenali
anak yang memiliki kemungkinan menderita gangguan psikiatri sehingga bisa segera dirujuk
untuk evaluasi dan tatalaksana lebih lanjut.14 Salah satu kuisioner yang dapat digunakan untuk
penapisan adalah kuisioner Short Screening Instrument for Psychological Problems in Enuresis
(SSIPPE) yang direkomendasikan oleh ICCS. Kuisioner tersebut dapat dilihat pada gambar 2.2.
Kuisioner ini terdiri dari 3 komponen yaitu emosional, inattentivitas, dan hiperaktivitas. Dua
jawaban ya pada salah satu komponen merupakan indikasi untuk pemeriksaan yang lebih
menyeluruh oleh psikiater.
Gambar 2.2. Kuisioner SSIPPE.15

2.9. Tatalaksana

Pedoman mengenai tatalaksana enuresis dikeluarkan oleh ICCS. Tatalaksana dilakukan sesuai
dengan klasifikasi yaitu:13,14,16

 Inkontinensia urin
o Non-farmakologis
o Tatalaksana non-farmakologis terdiri dari uroterapi standar dan spesifik. Pada
uroterapi standar diberikan edukasi kepada anak dan orangtua mengenai kondisi
yang diderita. Anak juga diminta membentuk pola mikturisi yang regular
sebanyak 6 kali sehari, minum cukup terutama saat pagi dan siang hari, serta
memiliki postur berkemih yang baik dengan paha tertopang dengan baik.
Uroterapi spesifik terdiri dari:
 Biofeedback
Teknik yang digunakan adalah dengan menguatkan sinyal fisiologis dari
tubuh pasien dengan memberikan visualisasi atau suara yang
berhubungan. Tujuannya adalah untuk membuat pasien lebih sadar
terhadap proses fisiologis yang sedang berjalan yaitu keinginan berkemih.
 Neuromodulation
Teknik ini digunakan pada pasien dengan overactive bladder (OAB).
Modulasi dapat dilakukan secara transkutan, intravesical, endoanal,
anogenital, serta implantasi pada nervus tibialis posterior dan nervus
sacrum.
 Cognitive behavioral therapy (CBT)
Terapi ini terdiri dari 2 komponen yaitu terapi kognitif dan perilaku.
Terapi kognitif berfokus pada kepercayaan, pemikiran, dan kondisi yang
irasional dan disfungsional. Terapi perilaku bertujuan untuk merubah
perilaku menggunakan conditioning. Pada terapi kognitif dilakukan teknik
seperti self-monitoring, penjadwalan ulang dari aktivitas, dan labeling
menggunakan pernyataan-pernyataan positif. Terapi perilaku dilakukan
dengan cara:
 Classic conditioning
Dilakukan dengan penggunaan alarm enuresis, namun alat ini
belum lazim digunakan di Indonesia. Metode ini merupakan lini
tatalaksana awal yang paling efektif dan memiliki angka
kesuksesan sebesar 75%.
 Reward and punishment
 Membatasi asupan cairan dan makanan padat menjelang tidur
 Membiasakan minum yang cukup saat pagi sampai sore hari
 Membiasakan anak untuk kencing secara teratur, tidak hanya
menunggu saat sudah merasa ingin kencing
o Farmakologis
Beberapa golongan obat yang dapat digunakan adalah:
 Antimuskarinik
Obat ini merupakan pilihan pada pasien dengan OAB. Obat ini bekerja
dengan mengurangi kontraktilitas kandung kemih. Dosisnya dapat dilihat
pada gambar 2.2.
 Antidepresan trisiklik
Obat yang dapat digunakan adalah imipramine. Mekanisme kerjanya
belum diketahui secara pasti namun dipikirkan merupakan hasil dari
kombinasi efek noradrenergic, serotoninergic, dan antikolinergik terhadap
kandung kemih. Dosis dapat dilihat pada gambar 2.3.
 Enuresis monosimtomatik
Terdapat dua modalitas yaitu alarm enuresis dan desmopressin. Alarm enuresis bekerja
dengan mendeteksi urin pada pakaian atau tempat tidur dan membunyikan suara untuk
menandakan bahwa anak berkemih. Setelah alarm berbunyi, anak dibangunkan dan
diminta untuk berkemih di toilet. Pemilihan keduanya didasari oleh polyuria nocturnal
dan mean volume of voided urine (MVV). Untuk dapat menilai keduanya, orang tua
diminta untuk mengisi catatan berkemih harian. Pada anak dengan polyuria nocturnal dan
volume kencing normal saat siang hari, maka desmopressin digunakan. Pada anak dengan
volume urine nokturnalnormal dan MVV rendah maka alarm dipilih.
Beberapa hal yang harus dipastikan ketika penggunaan alarm dipilih adalah:
o Alarm hanya boleh digunakan oleh keluarga yang bermotivasi baik dan
berpengetahuan luas
o Perangkat harus didemonstrasikan secara menyeluruh untuk keduanya baik anak
dan orang tua
o Alarm perlu digunakan terus menerus, setiap malam tanpa interupsi
o Orang tua harus siap membangunkan anak segera ketika sinyal terdengar, karena
sangat sering selama minggu-minggu pertama perawatan, anak itu sendiri tidak
bangun oleh sinyal
o Penyedia layanan kesehatan harus menghubungi keluarga setelah 1 – 3 minggu
untuk memberikan dorongan dan memecahkan masalah teknis masalah selama
periode penting ini
o Jika tidak ada tanda-tanda kemajuan setelah 6 minggu terapi harus dihentikan
o Jika ada kemajuan (titik basah lebih kecil, kadang-kadang kering malam) maka
terapi harus dilanjutkan sampai pukul 14 malam kering berturut-turut telah
tercapai
Desmopressin tersedia dalam bentuk tablet dan lyophilizate larut cepat. Dosis untuk
sediaan tablet adalah 0,2 – 0,4mg dan untuk lyophilizate adalah 120 – 240ug.
Desmopressin diberikan 60 menit sebelum tidur.
 Enuresis non-monosimtomatik
Pada tipe ini gejala LUT sebaiknya ditangani terlebih dahulu sebelum enuresis nocturnal.
Maka dari itu, anak dengan tipe ini diminta untuk:
o Membentuk pola mikturisi yang regular sebanyak 6 kali sehari
o Minum cukup terutama saat pagi dan siang hari.
o Memiliki postur berkemih yang baik dengan paha tertopang dengan baik.
Pada anak dengan LUT yang tidak mengganggu secara signifikan, terapi anti-enuretik
seperti yang diberikan pada tipe monosimtomatik dapat segera dimulai. Penting untuk
diingat bahwa pada tipe non-monosimtomatik seringkali ditemukan gangguan psikiatri.
Gambar 2.3. Dosis obat yang digunakan.16

2.9. Prognosis

Tingkat keberhasilan penggunaan alarm mencapai 66 – 70% dan memiliki tingkat relaps yang
rendah. Kegagalan umumnya muncul akibat kepatuhan anak dan orang tua terhadap penggunaan
alarm. Desmopressin juga memiliki tingkat keberhasilan yang baik yaitu 60 – 70%. 17 Sebuah
penelitian oleh Thurber bahkan menemukan kombinasi antara keduanya dapat memberikan
tingkat kesembuhan hingga 100%.18
BAB III

KESIMPULAN

Terdapat beberapa kriteria diagnosis untuk enuresis yaitu PPDGJ-III, DSM-5, dan ICCS. Karena
pedoman tatalaksana dikeluarkan oleh ICCS, maka sebaiknya menggunakan kriteria dari ICCS.
Menurut ICCS, terminologi enuresis hanya digunakan pada pasien dengan inkontinensia saat
tertidur sedangkan pada pasien yang mengalami inkontinensia saat terjaga maka terminologi
yang digunakan adalah inkontinensia urin.12 Penggunaan terminologi ini berguna dalam
melakukan tatalaksana nantinya.

Diagnosis pada umumnya dapat ditegakkan secara klinis melalui anamnesis. Ketika pada
anamnesis ditemukan tanda-tanda bahaya, maka perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut. 12 Penting
untuk diingat bahwa enuresis sering disertai dengan gangguan psikiatri lainnya maka perlu untuk
dilakukan penapisan. Jika ditemukan gangguan, maka pasien perlu menjalani pemeriksaan
psikiatri menyeluruh.14

Tatalaksana dibedakan menurut subtipenya namun secara garis besar terdiri dari terapi non-
farmakologis dan farmakologis. Terapi non-farmakologis terdiri dari terapi kognitif dan perilaku
melalui edukasi dan penggunaan alarm urin. Terapi CBT lebih lanjut diindikasikan untuk pasien
dengan gangguan psikiatri yang menyertai. Pada terapi farmakologis obat utama yang digunakan
adalah desmopressin.13,14,16 Prognosis pasien enuresis pada umumnya baik.17,18
DAFTAR PUSTAKA

1. Maslim R. Diagnosis gangguan jiwa. Rujukan ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta; 2013. p.
122-23.

2. Ferrara P, Franceschini G, Bianchi Di Castelbianco F, Bombace R, Villani A, Corsello G.


Epidemiology of enuresis: A large number of children at risk of low regard. Ital J Pediatr.
2020;46(1).

3. Sarici H, Telli O, Ozgur BC, Demirbas A, Ozgur S, Karagoz MA. Prevalence of nocturnal
enuresis and its influence on quality of life in school-aged children. J Pediatr Urol.
2016;12(3):159.e1-159.e6.

4. DiBianco JM, Morley C, Al-Omar O. Nocturnal enuresis: A topic review and institution
experience. Avicenna J Med. 2014;04(04):77–86.

5. Huang HM, Wei J, Sharma S, Bao Y, Li F, Song JW, et al. Prevalence and risk factors of
nocturnal enuresis among children ages 5-12 years in Xi’an, China: A cross-sectional
study. BMC Pediatr. 2020;20(1).

6. Gür E, Turhan P, Can G, Akkus S, Sever L, Güzelöz S, et al. Enuresis: Prevalence, risk
factors and urinary pathology among school children in Istanbul, Turkey. Pediatr Int.
2004;46(1):58–63.

7. Khazaie H, Eghbali F, Amirian H, Moradi MR, Ghadami MR. Risk Factors of Nocturnal
Enuresis in Children with Attention Deficit Hyperactivity Disorder. Shanghai Arch
Psychiatry. 2018;30(1):20–6.

8. Sadock BJ, Sadock VA. Elimination disorders. Dalam: Kaplan & Sadock’s Synopsis of
Psychiatry–Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. Edisi 11. Philadephia: Lippincott
Williams & Wilkins, 2009

9. Juniar S. Aspek Psikiatri Enuresis Non-Organik Pada Anak. Dalam: Gangguan Berkemih
Pada Anak. Airlangga University Press. 2015

10. Thomas I, Radhika S. Parental Attitudes and Practices in Relation to Enuresis in Children
Parental Attitudes and Practices in Relation to Enuresis in Children. Nimhans J.
2001;19(1&2):23–38.

11. American Psychiatric Association. Enuresis. In: Diagnostic and statistical manual of
mental disorders. 5th ed. Washington DC: American Psychiatric Publishing; 2013. p. 355–
57.

12. Austin PF, Bauer SB, Bower W, Chase J, Franco I, Hoebeke P, et al. The standardization
of terminology of lower urinary tract function in children and adolescents: Update report
from the standardization committee of the International Children’s Continence Society.
Neurourol Urodyn. 2016;35(4):471–81.

13. Nevéus T, Fonseca E, Franco I, Kawauchi A, Kovacevic L, Nieuwhof-Leppink A, et al.


Management and treatment of nocturnal enuresis—an updated standardization document
from the International Children’s Continence Society. J Pediatr Urol. 2020;16(1):10–9.

14. Von Gontard A, Baeyens D, Van Hoecke E, Warzak WJ, Bachmann C. Psychological and
psychiatric issues in urinary and fecal incontinence. J Urol. 2011;185(4):1432–7.

15. Van Hoecke E, Baeyens D, Vanden Bossche H, Hoebeke P, Vande Walle J. Early
Detection of Psychological Problems in a Population of Children With Enuresis:
Construction and Validation of the Short Screening Instrument for Psychological
Problems in Enuresis. J Urol. 2007;178(6):2611–5.

16. Chang SJ, Van Laecke E, Bauer SB, von Gontard A, Bagli D, Bower WF, et al. Treatment
of daytime urinary incontinence: A standardization document from the International
Children’s Continence Society. Neurourol Urodyn. 2017;36(1):43–50.

17. Graham KM, Levy JB. Enuresis. Pediatr Rev. 2009;30(5):165–73.

18. Thurber S. Childhood Enuresis: Current Diagnostic Formulations, Salient Findings, and
Effective Treatment Modalities. Arch Psychiatr Nurs. 2017;31(3):319–23.

Anda mungkin juga menyukai