Anda di halaman 1dari 14

INKONTINENSIA ALVI PADA USIA LANJUT

Erny Puti, Wasis Udaya


Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

I. PENDAHULUAN

Inkontinensia alvi atau inkontinensia Fekal (IF) didefinisikan sebagai keluarnya

kotoran dalam bentuk cair ataupun padat yang tidak dapat dikendalikan. 1 Istilah ini

lebih sering digambarkan sebagai peristiwa yang tidak menyenangkan tetapi tidak

terelakkan berkaitan dengan lanjut usia (lansia).2 Di Amerika Serikat, IF merupakan

penyebab kedua orang lansia dirawat di panti jompo. Sekitar 7% dari populasi lansia

mengalami IF paling sedikit sekali dalam seminggu.2

Inkontinensia fekal merupakan silent epidemic di antara pasien-pasien rawat

jalan, hanya sekitar sepertiga dari mereka yang memberi tahu penyedia layanan

kesehatan mengenai masalah tersebut. Ditemukan lebih dari 50% pada penghuni panti

jompo dan dikaitkan dengan meningkatnya morbiditas dan penggunaan sumber daya

perawatan kesehatan.3

Dalam satu penelitian yang dilakukan oleh Philippe Chassagne dkk menemukan

20% dari penghuni panti jompo mengalami IF selama periode 10 bulan setelah masuk

dan jika berlangsung lama akan mengurangi kemungkinan survival.4,5

Prevalensi IF sangat bervariasi, dari 2,2 hingga 25%, di Australia dan Selandia

Baru menunjukkan prevalensi IF sekitar 12-30% pada lansia dan hingga 50%

ditemukan pada pasien-pasien yang dirawat di panti jompo.1 Philippe Chassagne dkk

juga menemukan prevalensi IF serupa hingga 50% pada pasien-pasien yang dirawat di

panti jompo.5

1
II. ETIOLOGI

Sebagian besar etiologi dikaitkan dengan perubahan kontrol otot atau saraf pada

anus dan rektum. Berbagai kondisi medis yang dapat menyebabkan IF pada lansia

adalah: impaksi tinja, hilangnya mekanisme normal (kerusakan saraf lokal (misalnya

saraf pudendal), kontrol neurologi terganggu, trauma anorektal/gangguan sfingter

(trauma saat persalinan, operasi anal, dll), masalah mekanisme kontinuitas berlebihan

(diare/kolitis, fasilitas toilet yang buruk, obat pencahar), masalah psikologi dan perilaku

(depresi berat, demensia, delirium) dan gangguan fungsional fisik (hemiparesis, artritis,

gangguan gaya berjalan). 6

Studi skrining retrospektif yang dilakukan oleh Kinnunen O dkk, dari 245 pasien

geriatri yang dirawat inap secara permanen menunjukkan bahwa impaksi tinja adalah

penyebab paling umum dari diare dan 20% diare yang terjadi disebabkan akibat

penggunaan pencahar dan IF sangat terkait dengan impaksi tinja dalam kasus diare.7

Penelitian yang dilakukan oleh Philippe Chassagne dkk juga menemukan

beberapa faktor risiko terjadinya IF yaitu penyakit neurologi, mobilitas yang buruk,

penurunan kognitif dan usia lebih dari 70 tahun.5 Alayne Markland dkk pada

penelitiannya juga mendapatkan bahwa depresi, diare kronis, dan inkontinensia urin

merupakan faktor risiko IF.8 Penelitian yang dilakukan oleh Shamlyan TA dkk juga

melaporkan bahwa usia tua > 85 tahun dan penyakit ginjal merupakan faktor risiko IF,

selain itu gangguan kognitif, pembedahan dan radiasi kanker prostat secara signifikan

berhubungan dengan kejadian IF.9

2
III. PATOFISIOLOGI

Defekasi melibatkan serangkaian peristiwa dan faktor yang kompleks termasuk:

diet, konsistensi feses, sensasi anorektal, kekuatan dan fungsi otot serta integritas

neurologis, kognisi, dan motivasi.10

Kemampuan untuk mengontrol defekasi dibagi menjadi dua komponen yaitu :

kontinensi dan defekasi. Kontinensi adalah kemampuan untuk menahan material feses

hingga keinginan buang air besar, dan defekasi adalah suatu proses mengeluarkan

feses.10 Kelainan pada anatomi atau fisiologi normal di area manapun dapat

menyebabkan IF.11

Integritas neuromuscular dari rektum, anus, dan otot-otot dasar panggul

membantu mempertahankan kontinensia fekal normal. Rektum adalah tabung muskuler

terdiri dari lapisan otot longitudinal kontiniu yang menyatu dengan otot sirkuler yang

mendasarinya. Komposisi otot yang unik tersebut memungkinkan rektum berperan baik

sebagai reservoir bagi feces maupun sebagai pompa untuk mengosongkan feces. Anus

adalah tabung muskuler dengan panjang 2-4 cm. Pada saat istirahat, sudut anorektal

sekitar 90 derajat, dan saat berkontraksi secara volunter sudut tersebut menjadi lebih

kecil, sekitar 70 derajat, dan saat defekasi menjadi lebih tumpul, sekitar 110-130

derajat.12

Sfingter ani terdiri dari dua komponen, yaitu sfingter ani interna, yang terdiri otot

polos dan sfingter ani eksterna yang berasal dari otot lurik. Kontraksi otot sfingter ani

interna yang dapat bertahan lama, membantu penutupan anus sampai 85% dan ini cukup

membuat terjadi kontinensia selama 24 jam termasuk waktu tidur. Sfingter ani eksterna

akan membantu sfingter ani interna pada saat-saat tertentu yang mendadak; misalnya

pada keadaan tekanan abdominal meningkat seperti pada batuk.12

3
Otot puborektalis membentuk sudut anorektal dengan sling sekeliling pada

posterior dari hubungan antara anus dengan rektum yang berperan penting untuk

mengontrol feces yang padat. Dinding rektum mengembang untuk menampung feces

selama feces masuk ke rektum dan ini mengurangi peningkatan tekanan. Hal ini

bersamaan dengan tekanan tinggi daerah sfingter ani yang berfungsi untuk menampung

feces yang padat dan menunda pengeluaran sampai waktu yang tepat.12

Kontinensia juga tergantung atas koordinasi dari aktifitas saluran gastrointestinal,

dasar panggul dan sfingter ani serta kontrol dari susunan saraf pusat. Anus normalnya

tertutup karena aktivitas tonik dari sfingter ani interna dan barrier tersebut diperkuat

oleh sfingter ani eksterna saat berkontraksi secara volunter. Lipatan mukosa anal

bersama dengan bantalan vascular anal (anal cushions) memperkuat penutupan dari

anus. Barier mekanis tersebut diperkuat lagi oleh otot puborektalis, yang membentuk

katup yang dapat membuka dan menutup, yang dapat menarik ke depan dan

meningkatkan kekuatan sudut anorektal untuk mencegah inkontinensia.12

Anorektum diinervasi oleh saraf sensorik, motorik, dan parasimpatik otonom.

Saraf utama adalah saraf pudendus, yang berasal dari saraf sakral kedua, ketiga, dan

keempat dan menginervasi sfingter ani eksterna, mukosa ani, dan dinding anorektal.

Perjalanan saraf yang melalui dasar panggul membuatnya rentan untuk mengalami

cedera regangan, terutama pada saat melahirkan pervaginam. Isi rektum secara periodik

dirasakan oleh proses "ano rectal sampling". Proses ini dapat difasilitasi oleh relaksasi

transien dari sfingter ani interna yang memungkinkan pergerakan feces atau flatus dari

rektum ke dalam saluran anal bagian atas. Sebuah "sampling refleks" yang intak

memungkinkan individu untuk memilih apakah akan mengeluarkan atau

mempertahankan isi rektum tersebut, sedangkan bila "sampling refleks" tersebut

terganggu, mungkin merupakan predisposisi untuk terjadinya inkontinensia.12

4
Gambar 1. Pengaturan reflex defekasi.13

IV. DIAGNOSIS

• Anamnesis

Pasien sangat jarang memberikan informasi mengenai inkontinensia. Informasi

ini paling baik diperoleh melalui pertanyaan khusus tentang kebiasaan buang air

besar.6 Dokter harus mencoba untuk menentukan kapan gejala pertama kali terjadi

dan apakah pasien merasakan sensasi keluarnya tinja atau gas, rasa penuh di rektum

atau gejala kram perut dan urgensi.14 Selain itu, dokter juga harus mengetahui waktu

inkontinensia, frekuensi buang air besar, konsistensi tinja, volume tinja, dan

hubungannya dengan makanan-makanan tertentu. Riwayat menjalani operasi

disekitar anorektal, riwayat radiasi kanker prostat atau kanker serviks, riwayat

trauma ginekologi, penyakit serebrovaskular, riwayat penyakit kronik seperti

diabetes mellitus, riwayat penggunaan obat-obatan yang menyebabkan diare

ataupun konstipasi dan pertanyaan tentang lingkungan rumah dan segala hambatan

terhadap fasilitas kamar mandi juga diperlukan.6

5
• Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik membantu mengidentifikasi patofisiologi IF dan dapat

memandu pemeriksaan yang tepat untuk evaluasi lebih lanjut.14 Pemeriksaan fisik

melibatkan penilaian umum semua sistem dan evaluasi yang terfokus pada area

anorektal.15 Pemeriksaan fisik yang biasa dapat dilengkapi dengan pemeriksaan Mini

Mental Status Examination (MMSE) atau Saint Louis University Mental Status

(SLUMS) untuk mengidentifikasi pasien yang memiliki gangguan kognitif.14 Pada

pasien lansia yang frail, penting untuk menentukan adanya kecacatan psikologis atau

fisik yang dapat mengganggu pasien menggunakan toilet tanpa bantuan. Area

perianal harus diperiksa dalam posisi yang nyaman di bawah cahaya yang baik untuk

melihat kelainan seperti eritema, atau ekskoriasi kulit, hemoroid prolaps, dan

ulserasi atau fistula. 15

Setelah inspeksi, pemeriksaan colok dubur harus dilakukan untuk menilai tonus

sfingter, kekuatan menjepit, jumlah dan konsistensi tinja. Pasien dengan tonus

sfingter tinggi atau normal mungkin menderita inkontinensia, terutama mereka

dengan volume rektal yang membesar atau perubahan sensasi pada rektum.

Pemeriksaan pada lansia yang sehat biasanya menunjukkan tekanan saluran anus

yang lebih rendah.6

Pemeriksaan neurologis meliputi penilaian mobilitas, kekuatan motorik, dan

sensorik.6 Etiologi neuropatik juga dapat dipikirkan jika tidak adanya kontraksi

bagian subkutan sfingter eksternal sebagai respons terhadap stimulasi kulit perineum

“Anal wink”, dilakukan dengan mengusap kulit lateral saluran anal dan mengamati

adanya kontraksi.15

6
• Pemeriksaan Penunjang

▪ Sigmoidoskopi fleksibel

Sigmoidoskopi fleksibel akan memberikan informasi berguna tentang kelainan

anorektal dan kolon seperti hemoroid internal, fistula, ulkus rektum dan tumor,

dan dapat memvisualisasikan pseudomembran, iskemik, prolaps rektum, dan

jenis kolitis, yang dapat dikonfirmasi dengan biopsi.15

▪ Manometry anorektal

Prosedur sederhana dan tidak memerlukan persiapan khusus. Balon ditempatkan

di saluran anus dan terhubung ke transduser atau kateter perfusi merekam tekanan

statis dan jepitan di keempat kuadran sfingter anal.15 pemeriksaan ini memberikan

informasi komprehensif tentang fungsi anus, karena mengkuantifikasi tonus

sfingter anal dan menilai respons sensorik anorektal, refleks inhibisi rektoanal,

dan penyesuaian rektum.16

▪ Elektromiografi anorektal

Elektromiografi memberikan infomasi penting tentang kelainan neuromuscular,

dengan mengukur integritas neuromuskular antara bagian distal nervus pudendal

dan otot sfingter anal.15,17

▪ Endosonografi anal dan Magnetic resonance imaging (MRI)

Ultrasonografi anal dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan sfingter

yang sulit teridentifikasi, MRI juga memberikan informasi serupa namun dengan

perincian yang lebih tepat dan dengan resolusi yang lebih tinggi.14,15

7
V. TERAPI

Prinsip-prinsip manajemen IF pada lansia secara umum didasarkan pada hasil

evaluasi klinis, jenis dan tingkat keparahan IF, kondisi fisik dan psikologi pasien, dan

sumber daya yang tersedia.15 Hal ini harus mencakup asuhan keperawatan yang baik

yang diberikan oleh pemberi layanan kesehatan profesional, keluarga, dan pengasuh.

Terdapat beberapa terapi suportif serta terapi farmakologis yang dapat diterapkan

dan dipertahankan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien pada kelompok lansia.18

• Terapi Suportif

▪ Kebersihan dan perawatan kulit

Keadaan basah yang terus menerus yang disebabkan oleh urin ataupun tinja akan

menyebabkan kulit erosi dan infeksi berulang, sehingga pasien disarankan untuk

menggunakan krim pelembab yang mengandug zink oksida atau hidrokoloid.18,19

▪ Anjuran dalam kebiasaan buang air besar

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa jadwal rutin untuk buang air

besar, serta pergi ke kamar mandi setiap 3-4 jam untuk membiasakan kebiasaan

buang air kecil, secara signifikan mengurangi episode inkontinensia.20 Langkah-

langkah ini sangat berguna pada pasien dengan demensia dan mereka yang

membutuhkan bantuan untuk kegiatan sehari-hari.18

▪ Diet

Secara umum asupan lemak harus dikurangi. Serat larut yang dapat difermentasi

tidak memiliki efek pencahar, sehingga dapat direkomendasikan pada pasien ini,

seperti psyllium atau pectin.18 Sebuah uji klinis yang membandingkan tiga jenis

serat makanan yang berbeda menghasilkan tingkat episode IF yang lebih rendah

pada pasien yang diobati dengan psyllium.21

8
▪ Latihan Fisik

Rehabilitasi melalui biofeedback bertujuan untuk melatih kembali koordinasi

antara kontraksi sfingter dan pengosongan rektum, meningkatkan kontraksi otot,

dan memperbaiki reflex dan sensitivitas anorektal.18 Biofeedback adalah metode

non invasif, dan relatif murah untuk mengobati IF pada rawat jalan.6 Biofeedback

merupakan pelatihan yang melibatkan pegajaran pasien untuk mengenali volume

kecil distensi rektum dan kontraksi sfingter anal eksternal secara bersamaan

sambil menjaga tekanan intraabdomen.6 Penelitian yang dilaporkan oleh Rao SS

dkk menemukan bahwa terapi biofeedback efektif dan memperbaiki parameter

objektif dan subjektif dari fungsi anorektal pada pasien dengan IF.22 Selain

biofeedback, latihan sfingter (Kegel exercises) juga dapat dilakukan untuk

meningkatkan episode kontinensia.6

• Terapi Farmakologis

Biasanya tindakan fisik dan diet tidak cukup memperbaiki IF, sehingga

pengobatan medis harus sering disesuaikan dengan konsistensi feses.18

▪ Diare atau feses semi cair

Diare ditemukan sebagai faktor risiko yang paling sering menyebabkan IF. Obat

anti diare dengan aksi anti peristaltik digunakan dengan hati-hati pada tahap akut.

Loperamid dapat dipertimbangkan untuk penggunaan jangka pendek, dimulai

dari dosis minimal dan tidak lebih dari 8 gram. Loperamid merupakan obat yang

paling banyak diteliti pada terapi IF terkait diare.15,18 Seperti yang dilaporkan oleh

K.R palmer dkk dalam studi double-blind pada 30 pasien yang mendapatkan

loperamid, codein atau diphenoxylat selama 4 minggu, didapatkan bahwa

loperamid dan codein lebih efektif mengurangi IF dibandingkan diphenoxylat.23

Amitriptilin dosis rendah juga telah digunakan sebagai pengobatan kompementer

9
pada IF, Giulio Santoro dkk pada penelitiannya melaporkan amitriptilin

memperbaiki gejala pada 89% pasien dengan IF karena efeknya baik dalam

mengurangi amplitude dan frekuensi kompleks motorik dubur dan waktu transit

kolon dan menyebabkan pembentukan feses yang lebih keras.15,24

▪ Konstipasi atau impaksi feses

Tujuan pengobatan yaitu untuk mengosongkan usus besar dan membuatnya tetap

kosong. Fleet enema, laktulosa oral, dan cairan elektrolit polietilen glikol

merupakan terapi yang paling baik untuk kasus ini. selain itu asupan cairan yang

adekuat, suplemen serat dan penggunaan gliserin supositoria setelah makan dapat

mempebaiki IF dengan menghindari konstipasi.15

• Terapi Pembedahan

Prosedur bedah kurang di indikasikan pada pasien lansia dengan IF karena status

fisik dan komorbiditas yang buruk, tetapi dengan evaluasi dan seleksi yang cermat

terapi pembedahan dapat memberikan hasil yang baik.25 Prosedur bedah yang dapat

dilakukan yaitu perbaikan kerusakan sfingter anal eksternal, plikasi muskulus

levator ani posterior, dan mengelilingi saluran anal dengan bahan sintetis atau

transposisi muskulus non sfingter.25 Perbaikan kerusakan sfingter anal eksternal,

dengan sfingteroplasti anterior sangat memberikan hasil yang baik. Penelitian yang

dilakukan oleh James WF dkk melaporkan bahwa terjadi perbaikan fungsi anal

ditunjukkan dengan anal manometry sebelum dan sesudah perbaikan sfingter

anterior.26

Tehnik inovatif lain yang dikembangkan yaitu prosedur kombinasi perbaikan

total dasar panggul dan implantasi sfingter buatan.25 Tindakan kolostomi merupakan

perawatan definitif untuk IF ketika semua tindakan lain gagal.14

10
Gambar 2. Algoritma evaluasi dan terapi IF.6

VI. RINGKASAN

Inkontinensia fecal merupakan silent epidemic, hanya sekitar sepertiga dari

mereka yang memberi tahu penyedia layanan kesehatan mengenai masalah tersebut.

Etiologi IF multifactorial, berbagai kondisi medis yang dapat menyebabkan IF yaitu

Impaksi tinja, kerusakan saraf lokal, trauma anorektal/ gangguan sfingter, diare/kolitis,

11
fasilitas toilet buruk, obat pencahar, radiasi, depresi berat, demensia, delirium,

hemiparesis, dan gangguan gaya berjalan.

Prinsip manajemen IF pada lansia secara umum didasarkan pada hasil evaluasi

klinis, jenis dan tingkat keparahan IF, kondisi fisik dan psikologi pasien, dan sumber

daya yang tersedia. Hal ini harus mencakup asuhan keperawatan yang baik yang

diberikan oleh pemberi layanan kesehatan profesional, keluarga, dan pengasuh.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Guinane J, Crone R. Management of Faecal Incontinence in Residential Aged


Care. Aust J Gen Pract. 2018. 47(1-2):40-43.
2. Pranarka K, Andayani R. Konstipasi dan Inkontinensia Alvi. Dalam : Sudoyo
AW, Setiyohadi, et al. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam edisi IV Jilid II. 2014:
3672-3674. Jakarta, Indonesia. Interna publishing.
3. Leung FW, Rao SS. Fecal Incontinence in the Elderly. Gastroenterol Clin N
Am. 38 (2009) 503-511.
4. Schnelle JF, Leung FW. Urinary and Fecal Incontinence in Nursing Home.
Gastroenterology. 2004 Jan;126 (1 suppl 1) S:41-47.
5. Chassagne P, Landrin I, Neveu C, et al. Fecal Incontinence in the
institutionalized Elderly : incidence, risk factors and Prognosis. Am J Med. 1999
Feb;106(2):185-190.
6. Thariq SH, Morley JE, Prather CM. Fecal Incontinence in the Elderly patient.
Am J Med. 2003 (115);217-227.
7. Kinnunen O, Jauhonnen P, Sallokanel J, et al. Diarrhea and fecal impaction in
elderly long stay patients. Z Gerontol.1989;22(6):321-323.
8. Markland AD, Goode PS, Burgio KL, et al. Incidence and Risk factors for fecal
incontinence in black and white older adults; A population based study. J Am
Geriatr Soc. 58:1341-1346.2010.
9. Shamlyan TA, Bliz DJ, Ping R, et al. Prevalence and risk factors of fecal
incontinence in community-dwelling men. Rev Gastroenterol Disord. 2009.
Fall;9(4)E97-110.
10. Shah BJ, Chokhavatia S, Rose Z. Fecal Incontinence in the Elderly : FAQ. Am
J Gastroenterol. 2012;107:1635-1646.
11. Koelbl H. Pathophysiologyof urinary incontinence, faecal incontinence and
pelvic organ prolapse. In Abrams P, et al. Incontinence. 5th edition 2013:302-
304. Paris.
12. Rao SS. Diagnosis and Management Of fecal incontinence. Am J Gastroenterol.
2004. 99(8):1585-1604.
13. Garrett P. The Digestive System. In: Essensials of Human anatomy and
Physiology. Marieb EN (eds). 2006. San Fransisco: Pearson Education, Inc

13
14. Thariq SH. Fecal Incontinence in Older Adults. Clin Geriatr Med. 23(2007)857-
869.
15. Akhtar JA, Padda M. Fecal Incontinence in Older Patients. J Am Med Dir Assoc.
2005;6(1)54-60.
16. Rao SS, Patel RS. How useful are manometric tests of anorectal function in the
management of defecation disorders. Am J Gastroenterol.1997;92(3):469-475.
17. Rao SS. Manometric evaluation of defecation disorders:Part II. Fecal
incontinence. Gastroenterologist. 1997;5(2):99-111.
18. Cabrera AM, Rodriguez RM, Diaz LR, et al. Fecal Incontinence in Older
Patients. A Narrative Review. Cir Esp. 2018;96 (3):131-137.
19. D Beeckman, Damme V, Lancker V, et al. Intervention for preventing and
treating incontinence associated dermatitis in adult (review). Cochrane
Database Syst Rev. 2016.10;11:CD011627.
20. Ouslander JG, Simmons S, Schnelle J, et al. Effects of prompted voiding on
fecal continence among nursing home residents. J Am Geriatr Soc.
1996;44(4):424-428.
21. Z Donna, Savik K, Robin J, et al. Dietary fiber Supplementation for Fecal
incontinence :A Randomized Clinical Trial. Res Nurs Health.2014;37(5):367-
378.
22. KD Welkher, Rao SS, J Happel. Can Biofeedback therapy improve anorectal
function in fecal incontinence. Am J Gastroenterol. 1996;91(11):2360-2366.
23. Palmer KR, Corbett CR, Holdsworth. Double blind cross-over study comparing
loperamide codein and diphenoxylate in the treatmentof chronic diarrhea.
Gastroenterology. 79:1272-1275, 1980.
24. Santoro GA, Eitan BZ, Pryde A, et al. Open study of Low-dose Amitriptyline
in the treatmentof patients with idiopathic fecal incontinence. Dis Colon
Rectum. 2000;43(12):1676-1681.
25. Liang JT. Diagnosis and management of fecal incontinence in the elderly.
Incont Pelvic Floor Dysfunct. 2009;3(3):65-68.
26. Fleshman JW, Peters WR, Fry RD, et al. Anal Sphincter reconstruction:
Anterior overlapping muscle repair. Dis Colon Rectum. 1991; 34(9):739-743.

14

Anda mungkin juga menyukai