I. PENDAHULUAN
kotoran dalam bentuk cair ataupun padat yang tidak dapat dikendalikan. 1 Istilah ini
lebih sering digambarkan sebagai peristiwa yang tidak menyenangkan tetapi tidak
penyebab kedua orang lansia dirawat di panti jompo. Sekitar 7% dari populasi lansia
jalan, hanya sekitar sepertiga dari mereka yang memberi tahu penyedia layanan
kesehatan mengenai masalah tersebut. Ditemukan lebih dari 50% pada penghuni panti
jompo dan dikaitkan dengan meningkatnya morbiditas dan penggunaan sumber daya
perawatan kesehatan.3
Dalam satu penelitian yang dilakukan oleh Philippe Chassagne dkk menemukan
20% dari penghuni panti jompo mengalami IF selama periode 10 bulan setelah masuk
Prevalensi IF sangat bervariasi, dari 2,2 hingga 25%, di Australia dan Selandia
Baru menunjukkan prevalensi IF sekitar 12-30% pada lansia dan hingga 50%
ditemukan pada pasien-pasien yang dirawat di panti jompo.1 Philippe Chassagne dkk
juga menemukan prevalensi IF serupa hingga 50% pada pasien-pasien yang dirawat di
panti jompo.5
1
II. ETIOLOGI
Sebagian besar etiologi dikaitkan dengan perubahan kontrol otot atau saraf pada
anus dan rektum. Berbagai kondisi medis yang dapat menyebabkan IF pada lansia
adalah: impaksi tinja, hilangnya mekanisme normal (kerusakan saraf lokal (misalnya
(trauma saat persalinan, operasi anal, dll), masalah mekanisme kontinuitas berlebihan
(diare/kolitis, fasilitas toilet yang buruk, obat pencahar), masalah psikologi dan perilaku
(depresi berat, demensia, delirium) dan gangguan fungsional fisik (hemiparesis, artritis,
Studi skrining retrospektif yang dilakukan oleh Kinnunen O dkk, dari 245 pasien
geriatri yang dirawat inap secara permanen menunjukkan bahwa impaksi tinja adalah
penyebab paling umum dari diare dan 20% diare yang terjadi disebabkan akibat
penggunaan pencahar dan IF sangat terkait dengan impaksi tinja dalam kasus diare.7
beberapa faktor risiko terjadinya IF yaitu penyakit neurologi, mobilitas yang buruk,
penurunan kognitif dan usia lebih dari 70 tahun.5 Alayne Markland dkk pada
penelitiannya juga mendapatkan bahwa depresi, diare kronis, dan inkontinensia urin
merupakan faktor risiko IF.8 Penelitian yang dilakukan oleh Shamlyan TA dkk juga
melaporkan bahwa usia tua > 85 tahun dan penyakit ginjal merupakan faktor risiko IF,
selain itu gangguan kognitif, pembedahan dan radiasi kanker prostat secara signifikan
2
III. PATOFISIOLOGI
diet, konsistensi feses, sensasi anorektal, kekuatan dan fungsi otot serta integritas
kontinensi dan defekasi. Kontinensi adalah kemampuan untuk menahan material feses
hingga keinginan buang air besar, dan defekasi adalah suatu proses mengeluarkan
feses.10 Kelainan pada anatomi atau fisiologi normal di area manapun dapat
menyebabkan IF.11
terdiri dari lapisan otot longitudinal kontiniu yang menyatu dengan otot sirkuler yang
mendasarinya. Komposisi otot yang unik tersebut memungkinkan rektum berperan baik
sebagai reservoir bagi feces maupun sebagai pompa untuk mengosongkan feces. Anus
adalah tabung muskuler dengan panjang 2-4 cm. Pada saat istirahat, sudut anorektal
sekitar 90 derajat, dan saat berkontraksi secara volunter sudut tersebut menjadi lebih
kecil, sekitar 70 derajat, dan saat defekasi menjadi lebih tumpul, sekitar 110-130
derajat.12
Sfingter ani terdiri dari dua komponen, yaitu sfingter ani interna, yang terdiri otot
polos dan sfingter ani eksterna yang berasal dari otot lurik. Kontraksi otot sfingter ani
interna yang dapat bertahan lama, membantu penutupan anus sampai 85% dan ini cukup
membuat terjadi kontinensia selama 24 jam termasuk waktu tidur. Sfingter ani eksterna
akan membantu sfingter ani interna pada saat-saat tertentu yang mendadak; misalnya
3
Otot puborektalis membentuk sudut anorektal dengan sling sekeliling pada
posterior dari hubungan antara anus dengan rektum yang berperan penting untuk
mengontrol feces yang padat. Dinding rektum mengembang untuk menampung feces
selama feces masuk ke rektum dan ini mengurangi peningkatan tekanan. Hal ini
bersamaan dengan tekanan tinggi daerah sfingter ani yang berfungsi untuk menampung
feces yang padat dan menunda pengeluaran sampai waktu yang tepat.12
dasar panggul dan sfingter ani serta kontrol dari susunan saraf pusat. Anus normalnya
tertutup karena aktivitas tonik dari sfingter ani interna dan barrier tersebut diperkuat
oleh sfingter ani eksterna saat berkontraksi secara volunter. Lipatan mukosa anal
bersama dengan bantalan vascular anal (anal cushions) memperkuat penutupan dari
anus. Barier mekanis tersebut diperkuat lagi oleh otot puborektalis, yang membentuk
katup yang dapat membuka dan menutup, yang dapat menarik ke depan dan
Saraf utama adalah saraf pudendus, yang berasal dari saraf sakral kedua, ketiga, dan
keempat dan menginervasi sfingter ani eksterna, mukosa ani, dan dinding anorektal.
Perjalanan saraf yang melalui dasar panggul membuatnya rentan untuk mengalami
cedera regangan, terutama pada saat melahirkan pervaginam. Isi rektum secara periodik
dirasakan oleh proses "ano rectal sampling". Proses ini dapat difasilitasi oleh relaksasi
transien dari sfingter ani interna yang memungkinkan pergerakan feces atau flatus dari
rektum ke dalam saluran anal bagian atas. Sebuah "sampling refleks" yang intak
4
Gambar 1. Pengaturan reflex defekasi.13
IV. DIAGNOSIS
• Anamnesis
ini paling baik diperoleh melalui pertanyaan khusus tentang kebiasaan buang air
besar.6 Dokter harus mencoba untuk menentukan kapan gejala pertama kali terjadi
dan apakah pasien merasakan sensasi keluarnya tinja atau gas, rasa penuh di rektum
atau gejala kram perut dan urgensi.14 Selain itu, dokter juga harus mengetahui waktu
inkontinensia, frekuensi buang air besar, konsistensi tinja, volume tinja, dan
disekitar anorektal, riwayat radiasi kanker prostat atau kanker serviks, riwayat
ataupun konstipasi dan pertanyaan tentang lingkungan rumah dan segala hambatan
5
• Pemeriksaan Fisik
memandu pemeriksaan yang tepat untuk evaluasi lebih lanjut.14 Pemeriksaan fisik
melibatkan penilaian umum semua sistem dan evaluasi yang terfokus pada area
anorektal.15 Pemeriksaan fisik yang biasa dapat dilengkapi dengan pemeriksaan Mini
Mental Status Examination (MMSE) atau Saint Louis University Mental Status
pasien lansia yang frail, penting untuk menentukan adanya kecacatan psikologis atau
fisik yang dapat mengganggu pasien menggunakan toilet tanpa bantuan. Area
perianal harus diperiksa dalam posisi yang nyaman di bawah cahaya yang baik untuk
melihat kelainan seperti eritema, atau ekskoriasi kulit, hemoroid prolaps, dan
Setelah inspeksi, pemeriksaan colok dubur harus dilakukan untuk menilai tonus
sfingter, kekuatan menjepit, jumlah dan konsistensi tinja. Pasien dengan tonus
dengan volume rektal yang membesar atau perubahan sensasi pada rektum.
Pemeriksaan pada lansia yang sehat biasanya menunjukkan tekanan saluran anus
sensorik.6 Etiologi neuropatik juga dapat dipikirkan jika tidak adanya kontraksi
bagian subkutan sfingter eksternal sebagai respons terhadap stimulasi kulit perineum
“Anal wink”, dilakukan dengan mengusap kulit lateral saluran anal dan mengamati
adanya kontraksi.15
6
• Pemeriksaan Penunjang
▪ Sigmoidoskopi fleksibel
anorektal dan kolon seperti hemoroid internal, fistula, ulkus rektum dan tumor,
▪ Manometry anorektal
di saluran anus dan terhubung ke transduser atau kateter perfusi merekam tekanan
statis dan jepitan di keempat kuadran sfingter anal.15 pemeriksaan ini memberikan
sfingter anal dan menilai respons sensorik anorektal, refleks inhibisi rektoanal,
▪ Elektromiografi anorektal
yang sulit teridentifikasi, MRI juga memberikan informasi serupa namun dengan
perincian yang lebih tepat dan dengan resolusi yang lebih tinggi.14,15
7
V. TERAPI
evaluasi klinis, jenis dan tingkat keparahan IF, kondisi fisik dan psikologi pasien, dan
sumber daya yang tersedia.15 Hal ini harus mencakup asuhan keperawatan yang baik
yang diberikan oleh pemberi layanan kesehatan profesional, keluarga, dan pengasuh.
Terdapat beberapa terapi suportif serta terapi farmakologis yang dapat diterapkan
dan dipertahankan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien pada kelompok lansia.18
• Terapi Suportif
Keadaan basah yang terus menerus yang disebabkan oleh urin ataupun tinja akan
menyebabkan kulit erosi dan infeksi berulang, sehingga pasien disarankan untuk
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa jadwal rutin untuk buang air
besar, serta pergi ke kamar mandi setiap 3-4 jam untuk membiasakan kebiasaan
langkah ini sangat berguna pada pasien dengan demensia dan mereka yang
▪ Diet
Secara umum asupan lemak harus dikurangi. Serat larut yang dapat difermentasi
tidak memiliki efek pencahar, sehingga dapat direkomendasikan pada pasien ini,
seperti psyllium atau pectin.18 Sebuah uji klinis yang membandingkan tiga jenis
serat makanan yang berbeda menghasilkan tingkat episode IF yang lebih rendah
8
▪ Latihan Fisik
non invasif, dan relatif murah untuk mengobati IF pada rawat jalan.6 Biofeedback
kecil distensi rektum dan kontraksi sfingter anal eksternal secara bersamaan
objektif dan subjektif dari fungsi anorektal pada pasien dengan IF.22 Selain
• Terapi Farmakologis
Biasanya tindakan fisik dan diet tidak cukup memperbaiki IF, sehingga
Diare ditemukan sebagai faktor risiko yang paling sering menyebabkan IF. Obat
anti diare dengan aksi anti peristaltik digunakan dengan hati-hati pada tahap akut.
dari dosis minimal dan tidak lebih dari 8 gram. Loperamid merupakan obat yang
paling banyak diteliti pada terapi IF terkait diare.15,18 Seperti yang dilaporkan oleh
K.R palmer dkk dalam studi double-blind pada 30 pasien yang mendapatkan
9
pada IF, Giulio Santoro dkk pada penelitiannya melaporkan amitriptilin
memperbaiki gejala pada 89% pasien dengan IF karena efeknya baik dalam
mengurangi amplitude dan frekuensi kompleks motorik dubur dan waktu transit
Tujuan pengobatan yaitu untuk mengosongkan usus besar dan membuatnya tetap
kosong. Fleet enema, laktulosa oral, dan cairan elektrolit polietilen glikol
merupakan terapi yang paling baik untuk kasus ini. selain itu asupan cairan yang
adekuat, suplemen serat dan penggunaan gliserin supositoria setelah makan dapat
• Terapi Pembedahan
Prosedur bedah kurang di indikasikan pada pasien lansia dengan IF karena status
fisik dan komorbiditas yang buruk, tetapi dengan evaluasi dan seleksi yang cermat
terapi pembedahan dapat memberikan hasil yang baik.25 Prosedur bedah yang dapat
levator ani posterior, dan mengelilingi saluran anal dengan bahan sintetis atau
dengan sfingteroplasti anterior sangat memberikan hasil yang baik. Penelitian yang
dilakukan oleh James WF dkk melaporkan bahwa terjadi perbaikan fungsi anal
anterior.26
total dasar panggul dan implantasi sfingter buatan.25 Tindakan kolostomi merupakan
10
Gambar 2. Algoritma evaluasi dan terapi IF.6
VI. RINGKASAN
mereka yang memberi tahu penyedia layanan kesehatan mengenai masalah tersebut.
Impaksi tinja, kerusakan saraf lokal, trauma anorektal/ gangguan sfingter, diare/kolitis,
11
fasilitas toilet buruk, obat pencahar, radiasi, depresi berat, demensia, delirium,
Prinsip manajemen IF pada lansia secara umum didasarkan pada hasil evaluasi
klinis, jenis dan tingkat keparahan IF, kondisi fisik dan psikologi pasien, dan sumber
daya yang tersedia. Hal ini harus mencakup asuhan keperawatan yang baik yang
12
DAFTAR PUSTAKA
13
14. Thariq SH. Fecal Incontinence in Older Adults. Clin Geriatr Med. 23(2007)857-
869.
15. Akhtar JA, Padda M. Fecal Incontinence in Older Patients. J Am Med Dir Assoc.
2005;6(1)54-60.
16. Rao SS, Patel RS. How useful are manometric tests of anorectal function in the
management of defecation disorders. Am J Gastroenterol.1997;92(3):469-475.
17. Rao SS. Manometric evaluation of defecation disorders:Part II. Fecal
incontinence. Gastroenterologist. 1997;5(2):99-111.
18. Cabrera AM, Rodriguez RM, Diaz LR, et al. Fecal Incontinence in Older
Patients. A Narrative Review. Cir Esp. 2018;96 (3):131-137.
19. D Beeckman, Damme V, Lancker V, et al. Intervention for preventing and
treating incontinence associated dermatitis in adult (review). Cochrane
Database Syst Rev. 2016.10;11:CD011627.
20. Ouslander JG, Simmons S, Schnelle J, et al. Effects of prompted voiding on
fecal continence among nursing home residents. J Am Geriatr Soc.
1996;44(4):424-428.
21. Z Donna, Savik K, Robin J, et al. Dietary fiber Supplementation for Fecal
incontinence :A Randomized Clinical Trial. Res Nurs Health.2014;37(5):367-
378.
22. KD Welkher, Rao SS, J Happel. Can Biofeedback therapy improve anorectal
function in fecal incontinence. Am J Gastroenterol. 1996;91(11):2360-2366.
23. Palmer KR, Corbett CR, Holdsworth. Double blind cross-over study comparing
loperamide codein and diphenoxylate in the treatmentof chronic diarrhea.
Gastroenterology. 79:1272-1275, 1980.
24. Santoro GA, Eitan BZ, Pryde A, et al. Open study of Low-dose Amitriptyline
in the treatmentof patients with idiopathic fecal incontinence. Dis Colon
Rectum. 2000;43(12):1676-1681.
25. Liang JT. Diagnosis and management of fecal incontinence in the elderly.
Incont Pelvic Floor Dysfunct. 2009;3(3):65-68.
26. Fleshman JW, Peters WR, Fry RD, et al. Anal Sphincter reconstruction:
Anterior overlapping muscle repair. Dis Colon Rectum. 1991; 34(9):739-743.
14