Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN

KASUS HISPRUNG
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Anak II
Dosen Pengampu : Ns. Natalia Devi Oktarina, M.Kep., Sp.Kep.An.

Oleh :
Nina Umi Oktaviani 010118A093
Yeni Ratnasari 010118A152
Zahrotun Nafisah 010118A159

Program Studi S1 Keperawatan


Fakultas Keperawatan
Universitas Ngudi Waluyo
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Penyakit hisprung merupakan suatu kelainan bawaan yang menyebabkan gangguan
pergerakan usus yang dimulai dari spingter ani internal ke arah proksimal dengan
panjang yang bervariasi dan termasuk anus sampai rektum. Penyakit hisprung adalah
penyebab obstruksi usus bagian bawah yang dapat muncul pada semua usia akan tetapi
yang paling sering pada neonatus.
Penyakit hisprung juga dikatakan sebagai suatu kelainan kongenital dimana tidak
terdapatnya sel ganglion parasimpatis dari pleksus auerbach di kolon, keadaan abnormal
tersebutlah yang dapat menimbulkan tidak adanya peristaltik dan evakuasi usus secara
spontan, spingter rektum tidak dapat berelaksasi, tidak mampu mencegah keluarnya feses
secara spontan, kemudian dapat menyebabkan isi usus terdorong ke bagian segmen yang
tidak adalion dan akhirnya feses dapat terkumpul pada bagian tersebut sehingga dapat
menyebabkan dilatasi usus proksimal.
Pasien dengan penyakit hisprung pertama kali dilaporkan oleh Frederick Ruysch
pada tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan adalah Harald Hirschsprung yang
mendeskripsikan megakolon kongenital pada tahun 1863. Namun patofisiologi terjadinya
penyakit ini tidak diketahui secara jelas. Hingga tahun 1938, dimana Robertson dan
Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan
oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus defisiensi ganglion.
Penyakit hisprung terjadi pada 1/5000 kelahiran hidup. Insidensi hisprung di
Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup.
Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkay kelahiran 35 permil, maka
diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit hisprung.
Insidens keseluruhan dari penyakit hisprung 1: 5000 kelahiran hidup, laki-laki lebih
banyak diserang dibandingkan perempuan ( 4: 1 ). Biasanya, penyakit hisprung terjadi
pada bayi aterm dan jarang pada bayi prematur. Penyakit ini mungkin disertai dengan
cacat bawaan dan termasuk sindrom down, sindrom waardenburg serta kelainan
kardiovaskuler.
Selain pada anak, penyakit ini ditemukan tanda dan gejala yaitu adanya kegagalan
mengeluarkan mekonium dalam waktu 24-48 jam setelah lahir, muntah berwarna hijau
dan konstipasi faktor penyebab penyakit hisprung diduga dapat terjadi karena faktor
genetik dan faktor lingkungan.
Oleh karena itu, penyakit hisprung sudah dapat dideteksi melalui pemeriksaan yang
dilakukan seperti pemeriksaan radiologi, barium, enema, rectal biopsi, rectum,
manometri anorektal dan melalui penatalaksanaan dan teraupetik yaitu dengan
pembedahan dan colostomi.

B. TUJUAN
Makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi dan menambah pengetahuan
kepada para pembaca khususnya kepada mahasiswa ilmu keperawatan mengenai
penyakit hisprung. Makalah ini juga dibuat untuk memenuhi syarat dalam proses
pembelajaran pada mata kuliah keperawatan anak.
1. Mengetahui tentang anatomi fisiologi hisprung
2. Mengetahui tentang definisi dari hisprung.
3. Memahami etiologi, menifestasi, pathway, patofisiologi, penatalaksanaan hisprung.
4. Mempelajari asuhan keperawatan pada kasus hisprung.
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. KONSEP DASAR
1. Anatomi Fisiologi Sistem Eliminasi

Usus besar atau


kolon kira-kira 1,5 meter
adalah sambungan dari usus
halus dan mulai di katup
iliokolik atau ilioseikal yaitu
tempat sisa makanan lewat.
Reflek gastrokolik terjadi
ketika makanan masuk
lambung dan menimbulkan
peristaltic didalam usus besar. Reflek ini menyebabkan defekasi. Kolon mulai pada
kantong yang mekar padanya terdapat appendix vermiformis. Fungsi serupa
dengan tonsil sebagian terletak di bawah sekum dan sebagian dibelakang sekum
atau retrosekum. Sekum terletak di daerah iliaka kanan dan menempel pada otot
iliopsoas. Disini kolon naik melalui daerah daerah sebelah kanan lumbal dan
disebut kolon asendens. Dibawah hati berbelok pada tempat yang disebut flexura
hepatica, lalu berjalan melalui tepi daerah epigastrik dan umbilical sebagai kolon
transvesus. Dibawah limpa ia berbelok sebagai fleksura sinistra atau flexura
linealis dan kemudian berjalan melalui daerah kanan lumbal sebagai kolon
desendens. Didaerah kanan iliaka terdapat belokan yang disebut flexura sigmoid
dan dibentuk kolon sigmoideus atau kolon pelvis, dan kemudian masuk pelvis
besar menjadi rectum.
Rektum memiliki 3 buah valvula : superior kiri, medial kanan dan inferior
kiri. 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksir, sedangkan 1/3
bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif mobile. Kedua bagian ini
dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana bagian anterior lebih panjang
dibanding bagian posterior. Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari
usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih proksimal, dan,
dikelilingi oleh spinkter ani (eksternal dan internal ) serta otot-otot yang mengatur
pasase isi rektum ke dunia luar. Spinkter ani eksterna terdiri dari 3 sling : atas,
medial dan depan (Irwan, 2003).
Persyarafan motorik spinkter ani interna berasal dari serabut syaraf
simpatis (n.hypogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut syaraf
parasimpatis (n.splanknikus) yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua jenis
serabut syaraf ini membentuk pleksus rektalis. Sedangkan muskulus levator ani
dipersyarafi oleh n.sakralis 3 dan 4. Nervus pudendalis mensyarafi spinkter ani
eksterna dan m.puborektalis. Syaraf simpatis tidak mempengaruhi otot rektum.
Defekasi sepenuhnya dikontrol oleh n.splanknikus (parasimpatis). Walhasil,
kontinensia sepenuhnya dipengaruhi oleh n.pudendalis dan n.splanknikus pelvik
(syaraf parasimpatis) (Irwan, 2003). Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak
dijumpai ganglion pada ke-3 pleksus tersebut (Irwan, 2003).
Sistem syaraf autonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus :
1. Pleksus Auerbach :terletak diantara lapisan otot sirkuler dan longitudinal
2. Pleksus Henle : terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler
3. Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa

Fisiologi Defekasi
Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga disebut
bowel movement. Frekuensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi dari
beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu. Banyaknya feses juga
bervariasi setiap orang. Ketika gelombang peristaltik mendorong feses kedalam kolon
sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang dan individu menjadi
sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi.
Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu :
1. Refleks Defekasi Instrinsik
Ketika feses masuk kedalam rektum, pengembangan dinding rektum memberi
suatu signal yang menyebar melalui pleksus mesentrikus untuk memulai gelombang
peristaltik pada kolon desenden, kolon sigmoid, dan didalam rektum. Gelombang ini
menekan feses kearah anus. Ketika gelombang peristaltik mendekati anus, spingter
anal interna tidak menutup dan bila spingter eksternal tenang maka feses keluar.
2. Refleks Defekasi Parasimpatis
Ketika serat saraf dalam rektum dirangsang, signal diteruskan ke spinal cord
(sakral 2–4) dan kemudian kembali ke kolon desenden, kolon sigmoid dan rektum.
Sinyal – sinyal parasimpatis ini meningkatkan gelombang peristaltik, melemaskan
spingter anus internal dan meningkatkan refleks defekasi instrinsik.
Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan diaphragma yang
akan meningkatkan tekanan abdominal dan oleh kontraksi muskulus levator ani pada
dasar panggul yang menggerakkan feses melalui saluran anus. Defekasi normal
dipermudah dengan refleksi paha yang meningkatkan tekanan di dalam perut dan
posisi duduk yang meningkatkan tekanan kebawah kearah rektum. Jika refleks
defekasi diabaikan atau jika defekasi dihambat secara sengaja dengan
mengkontraksikan muskulus spingter eksternal, maka rasa terdesak untuk defekasi
secara berulang dapat menghasilkan rektum meluas untuk menampung kumpulan
feses.

2. Definisi Hisprung
Penyakit Hisprung disebut juga kongenital aganglionik megakolon. Penyakit ini
merupakan keadaan usus besar (kolon) yang tidak mempunyai persarafan
(aganglionik). Jadi, karena ada bagian dari usus besar (mulai dari anus kearah atas)
yang tidak mempunyai persarafan (ganglion), maka terjadi “kelumpuhan” usus besar
dalam menjalanakan fungsinya sehingga usus menjadi membesar (megakolon).
Panjang usus besar yang terkena berbeda-beda untuk setiap individu.
Penyakit Hirschsprung merupakan penyakit yang terjadi pada usus, dan paling
sering pada usus besar (colon). Normalnya, otot pada usus secara ritmis akan menekan
feses hingga ke rectum. Pada penyakit Hirschsprung, saraf (sel ganglion) yang
berfungsi untuk mengontrol otot pada organ usus tidak ditemukan. Hal ini
mengakibatkan feses tidak dapat terdorong, seperti fungsi fisiologis seharusnya
(Henna N, 2011).
Penyakit hirschsprung adalah anomali kongenital yang mengakibatkan obstruksi
mekanik karena ketidak adekuatan motilitas sebagian dari usus. (Donna L. Wong,
2003 : 507).
3. Macam-macam Penyakit Hirschprung
Berdasarkan panjang segmen yang terkena, dapat dibedakan 2 tipe yaitu :
a. Penyakit Hirschprung segmen pendek
Segmen aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid; ini merupakan 70%
dari kasus penyakit Hirschprung dan lebih sering ditemukan pada anak laki-laki
dibanding anak perempuan.
b. Penyakit Hirschprung segmen panjang
Kelainan dapat melebihi sigmoid, bahkan dapat mengenai seluruh kolon atau
usus halus. Ditemukan sama banyak pada anak laki maupun perempuan.
4. Etiologi Hisprung
Mungkin karena adanya kegagalan sel-sel ”Neural Crest” ambrional yang
berimigrasi ke dalam dinding usus atau kegagalan pleksus mencenterikus dan
submukoisa untuk berkembang ke arah kranio kaudal di dalam dinding usus.
Disebabkan oleh tidak adanya sel ganglion para simpatis dari pleksus Auerbach di
kolon. Sebagian besar segmen yang aganglionik mengenai rectum dan bagian bawah
kolon sigmoid dan terjadi hipertrofi serta distensi yang berlebihan pada kolon.
Sering terjadi pada anak dengan ”Down Syndrome”.
- Kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi
kraniokaudal pada nyenterik dan submukosa dinding pleksus.
5. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala setelah bayi lahir :
- Tidak ada pengeluaran mekonium (keterlambatan > 24 jam)
- Muntah berwarna hijau
- Distensi abdomen, konstipasi.
- Diare yang berlebihan yang paling menonjol dengan pengeluaran tinja /
pengeluaran gas yang banyak.
Karena gejala tidak jelas. Gejala pada anak yang lebih besar  waktu lahir :
- Riwayat adanya obstipasi pada waktu lahir
- Distensi abdomen bertambah
- Serangan konstipasi dan diare terjadi selang-seling
- Terganggu tumbang karena sering diare.
- Feses bentuk cair, butir-butir dan seperti pita.
- Perut besar dan membuncit.
6. Patofisiologi

Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan adanya kerusakan


primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa kolon distal.
Segmen aganglionic hampir selalu ada dalam rectum dan bagian proksimal pada usus
besar. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan
tenaga pendorong ( peristaltik ) dan tidak adanya evakuasi usus spontan serta spinkter
rectum tidak dapat berelaksasi sehingga mencegah keluarnya feses secara normal
yang menyebabkan adanya akumulasi pada usus dan distensi pada saluran cerna.
Bagian proksimal sampai pada bagian yang rusak pada Mega Colon (Betz, Cecily &
Sowden).
Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk kontrol
kontraksi dan relaksasi peristaltik secara normal. Isi usus mendorong ke segmen
aganglionik dan feses terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan terdilatasinya
bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu karena terjadi obstruksi dan
menyebabkan dibagian Colon tersebut melebar ( Price, S & Wilson).

7. Manifestasi Klinis
Berdasarkan usia penderita gejala penyakit Hirschsprung dapat dibedakan menjadi 2,
yaitu:
a. Periode neonatus Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran
mekonium yang terlambat, muntah bilious (hijau) dan distensi abdomen. Terdapat
90% lebih kasus bayi dengan penyakit Hirchsprung tidak dapat mengeluarkan
mekonium pada 24 jam pertama, kebanyakan bayi akan mengeluarkan mekonium
setelah 24 jam pertama (24-48 jam). Muntah bilious (hijau) dan distensi abdomen
biasanya dapat berkurang apabila mekonium dapat dikeluarkan segera. Bayi yang
mengonsumsi ASI lebih jarang mengalami konstipasi, atau masih dalam derajat
yang ringan karena tingginya kadar laktosa pada payudara, yang akan
mengakibatkan feses jadi berair dan dapat dikeluarkan dengan mudah .
b. Periode anak-anak Walaupun kebanyakan gejala akan muncul pada bayi, namun
ada beberapa kasus dimana gejala-gejala tersebut tidak muncul hingga usia
kanak-kanak. Gejala yang biasanya timbul pada anak-anak yakni, konstipasi
kronis, gagal tumbuh, dan malnutrisi. Pergerakan peristaltik usus dapat terlihat
pada dinding abdomen disebabkan oleh obstruksi fungsional kolon yang
berkepanjangan. Selain obstruksi usus yang komplit, perforasi sekum, fecal
impaction atau enterocolitis akut yang dapat mengancam jiwa dan sepsis juga
dapat terjadi.
8. Komplikasi
a. Pneumatosis usus
Disebabkan oleh bakteri yang tumbuh berlainan pada daerah kolon yang iskemik
distensi berlebihan dindingnya.
b. Enterokolitis nekrotiokans
Disebabkan oleh bakteri yang tumbuh berlainan pada daerah kolon yang iskemik
distensi berlebihan dindingnya.
c. Abses peri kolon
Disebabkan oleh bakteri yang tumbuh berlainan pada daerah kolon yang iskemik
distensi berlebihan dindingnya.
d. Perforasi
Disebabkan aliran darah ke mukosa berkurang dalam waktu lama.
e. Septikemia
Disebabkan karena bakteri yang berkembang dan keluarnya endotoxin karena
iskemia kolon akibat distensi berlebihan pada dindinng usus.
Sedangkan komplikasi yang muncul pasca bedah antara lain:
f. Gawat pernafasan (akut)
Disebabkan karena distensi abdomen yang menekan paru – paru sehingga
mengganggu ekspansi paru.
g. Enterokolitis (akut)
Disebabkan karena perkembangbiakan bakteri dan pengeluaran endotoxin.
h. Stenosis striktura ani
Gerakan muskulus sfingter ani tak pernah mengadakan gerakan kontraksi dan
relaksasi karena ada colostomy sehingga terjadi kekakuan ataupun penyempitan.
Anak yang menderita penyakit Hirschsprung sangat berisiko mengalami infeksi
pada usus (enterocolitis), yang dapat mengancam nyawa. Tidak hanya dari penyakitnya,
tindakan operasi untuk mengobati penyakit ini juga dapat menimbulkan komplikasi.
Komplikasi yang dapat terjadi setelah pasien menjalani operasi meliputi:
1. Munculnya lubang kecil atau robekan pada usus
2. Inkontinensia tinja
3. Kekurangan gizi dan dehidrasi
4. Megakolon
9. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Biopsi
Memastikan keberadaan sel ganglion pada segmen yang terinfeksi, merupakan
langkah penting dalam mendiagnosis penyakit Hirschsprung. Ada beberapa
teknik, yang dapat digunakan untuk mengambil sampel jaringan rektum. Hasil
yang didapatkan akan lebih akurat, apabila spesimen/sampel adekuat dan diambil
oleh ahli patologi yang berpengalaman. Apabila pada jaringan ditemukan sel
ganglion, maka diagnosis penyakit Hirschsprung dieksklusi. Namun pelaksanaan
biopsi cenderung berisiko, untuk itu dapat di pilih teknik lain yang kurang
invasive, seperti Barium enema dan anorektal manometri, untuk menunjang
diagnosis (Lorijn, 2006; Schulten, 2011).
b. Pemeriksaan Radiologi
Pada foto polos, dapat dijumpai gambaran distensi gas pada usus, tanda
obstruksi usus Pemeriksaan yang digunakan sebagai standar untuk menentukan
diagnosis Hirschsprung adalah contrast enema atau barium enema. Pada bayi
dengan penyakit Hirschsprung, zona transisi dari kolon bagian distal yang tidak
dilatasi mudah terdeteksi. Pada total aganglionsis colon, penampakan kolon
normal. Barium enema kurang membantu penegakan diagnosis apabila dilakukan
pada bayi, karena zona transisi sering tidak tampak. Gambaran penyakit
Hirschsprung yang sering tampak, antara lain; terdapat penyempitan di bagian
rectum proksimal dengan panjang yang bervariasi; terdapat zona transisi dari
daerah yang menyempit (narrow zone) sampai ke daerah dilatasi; terlihat
pelebaran lumen di bagian proksimal zona transisi (Schulten, 2011).
c. Pemeriksaan Anorectal Manometry
Pada individu normal, distensi pada ampula rectum menyebabkan relaksasi
sfingter internal anal. Efek ini dipicu oleh saraf intrinsic pada jaringan rectal,
absensi/kelainan pada saraf internal ini ditemukan pada pasien yang terdiagnosis
penyakit Hirschsprung. Proses relaksasi ini bisa diduplikasi ke dalam
laboratorium motilitas dengan menggunakan metode yang disebut anorectal
manometry. Selama anorektal manometri, balon fleksibel didekatkan pada
sfingter anal. Normalnya pada saat balon dari posisi kembang didekatkan pada
sfingter anal, tekanan dari balon akan menyebabkan sfingter anal relaksasi, mirip
seperti distensi pada ampula rectum manusia. Namun pada pasien dengan
penyakit Hirschsprung sfingter anal tidak bereaksi terhadap tekanan pada balon.
Pada bayi baru lahir, keakuratan anorektal manometri dapat mencapai 100%
(Schulten, 2011).
10. Penatalaksanaan
Pembedahan hirschsprung dilakukan dalam 2 tahap, yaitu dilakukan kolostomi
loop atau double-barrel sehingga tonus dan ukuran usus yang dilatasi dan hipertropi
dapat kembali normal (memerlukan waktu 3-4 bulan), lalu dilanjutkan dengan 1 dari 3
prosedur berikut :
a. Prosedur Duhamel : Penarikan kolon normal kearah bawah dan
menganastomosiskannya dibelakang usus aganglionik.
b. Prosedur Swenson : Dilakukan anastomosis end to end pada kolon berganglion
dengan saluran anal yang dibatasi.
c. Prosedur saave : Dinding otot dari segmen rektum dibiarkan tetap utuh. Kolon
yang bersaraf normal ditarik sampai ke anus.
d. Intervensi bedah
Ini terdiri dari pengangkatan ari segmen usus aganglionik yang mengalami
obstruksi. Pembedahan rekto-sigmoidektomi dilakukan teknik pull-through dapat
dicapai dengan prosedur tahap pertama, tahap kedua atau ketiga, rekto
sigmoidoskopi di dahului oleh suatu kolostomi. Kolostomi ditutup dalam
prosedur kedua.
1. Persiapan prabedah
- Lavase kolon
- Antibiotika
- Infuse intravena
- Tuba nasogastric
- Perawatan prabedah rutin
- Pelaksanaan pasca bedah
2. Perawatan luka kolostomi
3. Perawatan kolostomi
4. Observasi distensi abdomen, fungsi kolostomi, peritonitis dan peningkatan
suhu.
5. Dukungan orangtua, bahkan kolostomi sementara sukar untuk diterima.
Orangtua harus belajar bagaimana menangani anak dengan suatu kolostomi.
Observasi apa yang perlu dilakukan bagaimana membersihkan stoma dan
bagaimana memakaikan kantong kolostomi.
B. ASUHAN KEPERAWATAN HIRSPRUNG
1. Pengkajian
a. Informasi identitas/data dasar meliputi, nama, umur, jenis kelamin, agama,
alamat, tanggal pengkajian, pemberi informasi.
b. Keluhan utama
Masalah yang dirasakan klien yang sangat mengganggu pada saat dilakukan
pengkajian, pada klien Hirschsprung misalnya, sulit BAB, distensi abdomen,
kembung, muntah.
c. Riwayat kesehatan sekarang
Yang diperhatikan adanya keluhan mekonium keluar setelah 24 jam setelah lahir,
distensi abdomen dan muntah hijau atau fekal. Tanyakan sudah berapa lama
gejala dirasakan pasien dan tanyakan bagaimana upaya klien mengatasi masalah
tersebut dengan bertanya kepada orang tua atau orang terdekat.
d. Riwayat kesehatan masa lalu
Apakah sebelumnya klien pernah melakukan operasi, riwayat kehamilan,
persalinan dan kelahiran, riwayat alergi, imunisasi.
e. Riwayat Nutrisi meliputi : masukan diet anak dan pola makan anak.
f. Riwayat psikologis
Bagaimana perasaan klien terhadap kelainan yang diderita apakah ada perasaan
rendah diri atau bagaimana cara klien mengekspresikannya.
g. Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan pada orang tua apakah ada anggota keluarga yang lain yang menderita
Hirschsprung.
h. Riwayat social
Apakah ada pendakan secara verbal atau tidak adekuatnya dalam
mempertahankan hubungan dengan orang lain.
i. Riwayat tumbuh kembang
Tanyakan sejak kapan, berapa lama klien merasakan sudah BAB.
j. Riwayat kebiasaan sehari-hari
Meliputi – kebutuhan nutrisi, istirahat dan aktifitas.

2. Pemeriksaan Fisik
a. Sistem integument
Kebersihan kulit mulai dari kepala maupun tubuh, pada palpasi dapat dilihat
capilary refil, warna kulit, edema kulit.
b. Sistem respirasi
Kaji apakah ada kesulitan bernapas, frekuensi pernapasan.
c. Sistem kardiovaskuler
Kaji adanya kelainan bunyi jantung (mur-mur, gallop), irama denyut nadi apikal,
frekuensi denyut nadi / apikal.
d. Sistem penglihatan
Kaji adanya konjungtivitis, rinitis pada mata
e. Sistem Gastrointestinal
Kaji pada bagian abdomen palpasi adanya nyeri, auskultasi bising usus, adanya
kembung pada abdomen, adanya distensi abdomen, muntah (frekuensi dan
karakteristik muntah) adanya keram, tendernes.
3. Diagnosa Keperawatan
Pre operasi
a. Konstipasi berhubungan dengan aganglionik yang dibuktikan dengan defekasi
kurang dari 2 kali dalam seminggu dan feses keras.
b. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan proses injury yang dibuktikan
dengan gelisah.
c. Risiko defisit nutrisi yang berhubungan dengan ketidakmampuan mengabsorbsi
nutrisi.
Post operasi
a. Nyeri post operasi berhubungan dengan agen pencedera fisik yang dibuktikan
dengan mengeluh nyeri.
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri yang dibuktikan dengan
nyeri saat bergerak.
c. Risiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasive.
4. Intervensi Keperawatan
Pre operasi
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
a. Konstipasi Eliminasi Fekal Manajemen Eliminasi
berhubungan dengan (L.04033) Fekal (I.04151)
aganglionik yang Definisi : Proses defekasi Definisi : Mengidentifikasi
dibuktikan dengan normal yang disertai dan mengelola gangguan
defekasi kurang dari 2 dengan pengeluaran feses pola eliminasi fekal.
kali dalam seminggu mudah dan konsistensi, Tindakan :
dan feses keras. frekuensi serta bentuk Observasi
feses normal. - Identifikasi masalah
Setelah dilakukan usus dan penggunaan
tindakan keperawatan obat pencahar.
selama 3x24 jam - Monitor BAB
diharapkan masalah - Monitor tanda dan
keperawatan konstipasi gejala konstipasi.
dapat teratasi dengan Terapeutik
kriteria hasil : - Berikan air hangat
- Kontrol pengeluaran setelah makan.
feses ekspektasi skala - Sediakan makanan
2 membaik skala 4. tinggi serat.
- Distensi abdomen Edukasi
ekspektasi skala 2 - Anjurkan mencatat
membaik skala 4. warna, frekuensi,
konsistensi, volume
feses.
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
obat supositoria anal.
b. Gangguan rasa Status kenyamanan Manajemen Nyeri
nyaman berhubungan (L.08064) (I.08238)
dengan proses injury Definisi : Keseluruhan Definisi : Mengidentifikasi
yang dibuktikan rasa nyaman dan aman dan mengelola pengalaman
dengan gelisah. secara fisik, psikologis, sensorik atau emosional
spiritual, social, budaya yang berkaitan dengan
dan lingkungan. kerusakan jaringan atau
Setelah dilakukan fungsional dengan onset
tindakan keperawatan mendadak atau lambat dan
selama 3x24 jam berintensitas ringan hingga
diharapkan masalah berat dan konstan.
keperawatan gangguan Tindakan :
rasa nyaman dapat Observasi
teratasi dengan kriteria - Identifikasi lokasi,
hasil : karakteristik, durasi,
- Menangis ekspektasi frekuensi, kualitas,
skala 2 meningkat intensitas nyeri.
skala 4. - Identifikasi skala nyeri.
- Merintih ekspektasi - Identifikasi respons
skala 2 meningkat nyeri non verbal.
skala 4. Terapeutik
- Berikan terapi
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri.
- Fasilitasi istirahat dan
tidur.
Edukasi
- Jelaskan strategi
meredakan nyeri.
- Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri.
- Ajarkan menggunakan
analgetik secara tepat.
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
analgetik.
c. Risiko defisit nutrisi Status Nutrisi (L.03030) Manajemen Nutrisi
yang berhubungan Definisi : Keadekuatan (I.03119)
dengan asupan nutrisi untuk Definisi : Mengidentifikasi
ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dan mengelola asupan
mengabsorbsi nutrisi. metabolisme. nutrisi yang seimbang.
Setelah dilakukan Tindakan :
tindakan keperawatan Observasi
selama 3x24 jam - Identifikasi status
diharapkan masalah nutrisi.
keperawatan risiko - Monitor asupan
defisit nutrisi dapat makanan.
teratasi dengan kriteria - Monitor hasil
hasil : pemeriksaan
- Frekuensi makan laboratorium.
ekspektasi skala 2 Terapeutik
membaik skala 4. - Berikan makanan yang
- Bising usus tinggi serat.
ekspektasi skala 2 - Berikan suplemen
membaik skala 4. makanan.
Edukasi
- Ajarkan diet yang
diprogramkan.
Kolaborasi
- Kolaborasi dengan ahli
gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis
nutrient yang
dibutuhkan.

Post Operasi
Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil
a. Nyeri post operasi Tingkat Nyeri (L.08066) Manajemen Nyeri
berhubungan dengan Definisi : Pengalaman (I.08238)
agen pencedera fisik sensorik atau emosional Definisi : Mengidentifikasi
yang dibuktikan yang berkaitan dengan dan mengelola pengalaman
dengan mengeluh kerusakan jaringan sensorik atau emosional
nyeri. actual atau fungsional yang berkaitan dengan
dengan onset mendadak kerusakan jaringan atau
atau lambat dan fungsional dengan onset
berintensitas ringan mendadak atau lambat dan
hingga berat dan berintensitas ringan hingga
konstan. berat dan konstan.
Setelah dilakukan Tindakan :
tindakan keperawatan Observasi
selama 3x24 jam - Identifikasi lokasi,
diharapkan masalah karakteristik, durasi,
keperawatan gangguan frekuensi, kualitas,
rasa nyaman dapat intensitas nyeri.
teratasi dengan kriteria - Identifikasi skala nyeri.
hasil : - Identifikasi respons
- Keluhan nyeri nyeri non verbal.
ekspektasi skala 2 Terapeutik
menurun skala 4. - Berikan terapi
- Meringis ekspektasi nonfarmakologis untuk
skala 2 menurun mengurangi rasa nyeri.
skala 4. - Fasilitasi istirahat dan
tidur.
Edukasi
- Jelaskan strategi
meredakan nyeri.
- Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri.
- Ajarkan menggunakan
analgetik secara tepat.
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
analgetik.
b. Gangguan mobilitas Mobilitas Fisik Dukungan Mobilisasi
fisik berhubungan (L.05042) (I.05173)
dengan nyeri yang Definisi : Kemampuan Definisi : Memfasilitasi
dibuktikan dengan dalam gerakan fisik dari pasien untuk meningkatkan
nyeri saat bergerak. satu atau lebih aktivitas pergerakan fisik.
ekstremitas secara Tindakan :
mandiri. Observasi
Setelah dilakukan - Identifikasi adanya
tindakan keperawatan nyeri atau keluhan fisik
selama 3x24 jam lainnya.
diharapkan masalah - Monitor kondisi umum
keperawatan gangguan selama melakukan
mobilitas fisik dapat pergerakan.
teratasi dengan kriteria Terapeutik
hasil : - Fasilitasi aktivitas
- Nyeri ekspektasi mobilisasi dengan alat
skala 2 meningkat bantu.
skala 4. - Libatkan keluarga
- Kelemahan fisik untuk membantu pasien
ekspektasi skala 2 dalam melakukan
meningkat skala 4. pergerakan.
Edukasi
- Ajarkan mobilisasi
sederhana.
- Jelaskan tujuan dan
prosedur mobilisasi.
c. Risiko infeksi Tingkat Infeksi Pencegahan Infeksi
berhubungan dengan (L.14137) (I.14539)
efek prosedur Definisi : Derajat infeksi Definisi : Mengidentifikasi
invasive. berdasarkan observasi dan menurunkan risiko
atau sumber informasi. terserang organisme
Setelah dilakukan patogenik.
tindakan keperawatan Tindakan :
selama 3x24 jam Observasi
diharapkan masalah - Monitor tanda dan
keperawatan risiko gejala infeksi local dan
infeksi dapat teratasi sistemik.
dengan kriteria hasil : Terapeutik
- Kemerahan - Berikan perawatan
ekspektasi skala 2 khusus
menurun skala 4. - Pertahankan tehnik
- Nyeri ekspektasi aseptic pada pasien
skala 2 menurun berisiko tinggi.
skala 4. Edukasi
- Jelaskan tanda dan
gejala infeksi.
- Anjurkan
meningkatkan asupan
nutrisi.
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
imunasasi.

5. Evaluasi
Pre operasi Hirschsprung :
a. Pola eliminasi berfungsi normal
b. Kebutuhan nutrisi terpenuhi
c. Kebutuhan cairan dapat terpenuhi
d. Nyeri pada abdomen teratasi
Post operasi Hirschsprung :
a. Integritas kulit lebih baik
b. Nyeri berkurang atau hilang
c. Pengetahuan meningkat tentang perawatan pembedahan terutama pembedahan
kolon
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Penyakit hisprung merupakan penyakit yang sering menimbulkan masalah. Baik
masalah fisik, psikologis maupun psikososial. Masalah pertumbuhan dan perkembangan
anak dengan penyakit hisprung yaitu terletak pada kebiasaan buang air besar. Orang tua
yang mengusahakan agar anaknya bisa buang air besar dengan cara yang awam akan
menimbulkan masalah baru bagi bayi/anak. Penatalaksanaan yang benar mengenai
penyakit hisprung harus difahami dengan benar oleh seluruh pihak. Baik tenaga medis
maupun keluarga. Untuk tecapainya tujuan yang diharapkan perlu terjalin hubungan
kerja sama yang baik antara pasien, keluarga, dokter, perawat maupun tenaga medis
lainnya dalam mengantisipasi kemungkinan yang terjadi.

B. SARAN
Kami berharap setiap mahasiswa mampu memahami dan mengetahui tentang
penyakit hsaprung. Walaupun dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan.
DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cecily, L. Dan Linda A. Sowden 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi ke-3.
Jakarta : EGC.

Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC

Kartono, Darmawan. 2004. Penyakit Hirschsprung. Jakarta : Sagung Seto.

Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik.Sri Kurnianingsih (Fd),


Monica Ester (Alih bahasa) edisi – 4 Jakarta : EGC.

Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Alih bahasa : Brahm U Pendit. Jakarta :
EGC.

Carpenito , Lynda juall. 1997 . Buku saku Diagnosa Keperawatan.Edisi ke -^. Jakarta : EGC

Staf Pengajar Ilmu kesehatan Anak . 1991. Ilmu Kesehatan Anak . Edisi Ke-2 . Jakarta :
FKUI .

Mansjoer , Arif . 2000 . Kapita Selekta Kedokteran .Edisi Ke-3 . Jakarta : Media Aesulapius
FKUI

Anda mungkin juga menyukai