Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Akalasia merupakan gangguan primer pada motilitas esophagus. Akalasia


adalah gangguan motorik ditandai dengan relaksasi progresif lengkap dari
Lower Esophageal Sphincter (LES), hilangnya peristaltik dalam esophagus.
Makanan yang telah ditelan memiliki kesulitan masuk ke dalam perut dan
kerongkongan atas, LES menjadi membesar. Jadi akalasia adalah kegagalan
relaksasi serat-serat otot polos saluran cerna pada persimpangan bagian yang
satu dengan yang lain khususnya kegagalan sfingter esofagogaster untuk
mengendur sehingga tidak bisa mengadakan relaksasi secara sempurna pada
waktu menelan makanan.
Faktor yang mempengaruhi terjadinya akalasia adalah disfungsi
neuromuscular, gangguan emosi dan trauma psikis, autoimun, dan penyakit
infeksi. Akalasia ditandai dengan motilitas gangguan yang lebih rendah dua
pertiga dari kerongkongan. LES gagal untuk bersantai biasanya dengan
menelan. Fungsi yang tidak memadai terjadi karena impuls saraf tidak dapat
melewati kerongkongan atau reseptor simpatik absen dari LES. Mungkin ada
degenerasi sel-sel ganglion atau gangguan impuls dari pleksus Auerbach.
Propulsi gangguan dan hasil LES mengerut di akumulasi makanan dan cairan
dalam esofagus bagian bawah. Ketika tekanan hidrostatik melebihi kekuatan
perlawanan dari LES, isi masuk ke perut. Refluks esofagitis dengan ulserasi
dihasilkan. Aspirasi muntahan isi esofagus dapat mengakibatkan atelektasis
dan masalah paru-paru lainnya.
Akalasia sering terjadi pada individu berusia 20-an dan 30-an dan muncul
sama sering pada pria dan wanita. Sekitar 2 orang per 200.000 per tahun akan
didiagnosis dengan akalasia. Klien sering diperlakukan untuk penyakit
gastroesophageal reflux (GERD) sebelum diagnosis akalasia dibuat.
Manifestasi awal akalasia adalah disfagia atau sulit bagi makanan dan
cairan melewati Lower Esophageal Sphincter (LES). Pada tahap awal dari

1
akalasia, klien mungkin mengalami nyeri substernal karena kejang esofagus
atau mungkin tidak dapat bersendawa. Klien dapat memuntahkan makanan
yang tidak tercerna, makan banyak jam sebelumnya serta sejumlah besar
lendir yang telah dirangsang oleh iritasi esofagus. Infeksi saluran pernapasan
atas, gangguan emosi, makan berlebihan, obesitas, dan kehamilan dapat
memperburuk masalah. Tes diagnostik yang digunakan untuk menentukan
adanya akalasia termasuk pemeriksaan radiologic, esofagoskopi, manometri.
(Joyce, 2011).

1.2 Rumusan Masalah

1) Apa definisi aklasia?


2) Bagaimana etiologi aklasia?
3) Bagaimana patofisiologi aklasia?
4) Bagaimana manifestasi klinis aklasia?
5) Bagaimana komplikasi dan prognosis pada klien dengan aklasia?
6) Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan aklasia?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
1) Untuk mengetahui konsep teori dan asuhan keperawatan pada klien
dengan gangguan akalasia.
1.3.2 Tujuan Khusus
1) Mengetahui dan memahami definisi akalasia.
2) Mengetahui dan memahami etiologi akalasia.
3) Mengetahui dan memahami patofisiologi akalasia
4) Mengetahui dan memahami manifestasi klinis akalasia.
5) Mengetahui dan memahami komplikasi dan prognosis pada klien
dengan ganguan akalasia.
6) Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pada klien dengan
gangguan akalasia.
1.4 Manfaat
1) Menambah pengetahuan dan keterampilan dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien aklasia.
2) Dapat memberikan asuhan keperawatan yang baik dan tepat pada klien
dengan gangguan aklasia.
3) Dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi mahasiswa tentang
asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan aklasia.

2
4) Sebagai referensi tambahan dalam proses pembeajaran mata kuliah sistem
pencernaan.
5) Memberikan informasi tentang penyakit aklasia, penyebab, manifestasi
klinis, serta cara perawatan dan pengobatanya.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Anatomi dan Fisiologi Esofagus

3
Esofagus merupakan suatu organ silindris berongga dengan panjang
sekitar 25 cm dan berdiameter 2 cm, yang terbentang dari hipofaring hingga
kardia lambung. Esophagus terletak di posterior jantung dan trakea, di anterior
vertebarata, dan menembus hiatus diafragma tepat di anterior aorta.
Pada kedua ujung esophagus terdapat otot sfingter. Otot krikofaringeus
membentuk sfingter esophagus bagian atas dan terdiri atas serabut-serabut otot
rangka. Bagian esophagus ini secara normal berada dalam keadaan tonik atau
kontraksi kecuali pada waktu menelan. Sfingter esophagus bagian bawah,
walaupun secara anatomis tidak nyata, bertindak sebagai sfingter dan berperan
sebagai sawar terhadap refluks isi lambung ke dalam esophagus. Dalam
keadaan normal sfingter ini menutup, kecuali bila makanan masuk ke dalam
lambung atau waktu muntah.
Dinding esophagus terdiri dari empat lapisan, yaitu:
1. Lapisan mukosa bagian dalam terbentuk dari epitel gepeng berlapis
yang berlanjut ke faring di ujung atas. Mukosa esophagus dalam
keadaan normal bersifat alkali dan tidak tahan terhadap isi lambung
yang sangat asam.

4
2. Lapisan submukosa mengandung sel-sel sekretori yang memproduksi
mucus. Mucus mempermudah jalannya makanan sewaktu menelan
dan melindungi mukosa dari cedera akibat zat kimia.

3. Lapisan muskularis atau lapisan otot

Lapisan luar yang tersusun longitudinal dan lapisan dalam tersusun


sirkular. Otot yang terdapat di 5% bagian atas esophagus adalah otot
rangka, sedangkan otot di separuh bagian bawah adalah otot polos.
Bagian diantaranya terdiri dari campuran otot rangka dan otot polos.

4. Lapisan luar atau tunika serosa

Berbeda dengan bagian saluran cerna lainnya, lapisan luar (tunika


serosa) esophagus tidak memiliki lapisan serosa ataupun selaput
peritoneum, melainkan lapisan ini terdiri atas jaringan ikat longgar
yang menghubungkan esophagus dengan struktur-struktur yang
berdekatan.
Persarafan utama esophagus dipasok oleh serabut-serabut simpatis dan
parasimpatis dari sistem saraf otonom. Serabut parasimpatis dibawa oleh
nervus vagus, yang dianggap sebagai saraf motorik esophagus. Selain
persarafan ekstrinsik tersebut, terdapat jala-jala serabut saraf intramural
intrinsic di antara lapisan otot sirkular dan longitudinal (pleksus Auerbach atau
mienterikus), dan tampaknya berperan dalam pengaturan peristaltic esophagus
normal. Jala-jala saraf intrinsic kedua (pleksus Meissner) terdapat di
submukosa saluran gastrointestinal, tetapi agak tersebar dalam esophagus.
Distribusi darah ke esophagus mengikuti pola segmental. Bagian atas
disuplai oleh cabang-cabang arteria tiroidea inferior dan subklavia. Bagian
tengah disuplai oleh cabang-cabang segmental aorta dan arteria bronkiales,
sedangkan bagian subdiafragmatika disuplai oleh arteria gastrika sinistra dan
frenika inferior.
Aliran darah vena juga mengikuti pola segmental. Vena esophagus daerah
leher mengalirkan darah ke vena azigos dan hemiazigos, dan di bawah
diafragma vena esophagus masuk ke dalam vena gastrika sinistra.

5
Fungsi esofagus adalah menggerakkan makanan dari faring ke lambung
melalui gerak peristaltis. Mukosa esofagus memproduksi sejumlah besar
mukus untuk melumasi dan melindungi esofagus. Esofagus tidak memproduksi
enzim pencernaan.

2.1.1 Menelan

Menelan dilakukan setelah mengunyah, dan dapat dilakukan dalam


tiga tahap. Gerakan membentuk makanan menjadi sebuah bolus dengan
bantuan lidah dan pipi, dan melalui bagian belakang mulut masuk ke
dalam faring. Menelan terdiri 3 fase, yaitu:
1) Fase oral, (bolus) didorong ke belakang mengenai dinding posterior
faring oleh gerakan voluntar lidah dan menyebabkan rangsangan
gerakan refleks menelan.
2) Fase faringeal, palatum mole dan uvula bergerak secara refleks
menutup rongga hidung, laring terangkat dan menutup glotis
mencegah makanan memasuki trakhea menghindari aspirasi
(tersedak). Kontraksi otot konstriktor faringeus mendorong bolus
melewati epiglotis menuju faring bagian bawah dan memasuki
esofagus.
3) Fase esofageal, otot-otot krikofaringeus relaksasi -bolus masuk ke
esofagus- gelombang relaksasi primer dihantarkan ke otot
krikofaringeus menyebabkan otot ini berkontraksi dan mendorong
bolus menuju sfingter esofagus bagian distal.

2.2 Definisi Akalasia

6
Pada tahun 1672, Sir Thomas Willis mendeskripsikan Akalasia, kemudian
pada 1881 Von Mikulicz mendeskripsikan penyakit seperti spasme jantung
dan memberikan gejala gangguan pada mekanisme menelan. Pada tahun 1929,
Hurt dan Rake menyatakan penyakit ini muncul akibat kelemahan pada
sfingter bawah esofagus (LES) yang kemudian menjadi kegagalan dalam
melakukan relaksasi (Sawyer, 2006).
Akalasia adalah suatu gangguan motorik primer esofagus yang ditandai
oleh kegagalan sfingter esofagus bagian bawah yang hipertonik untuk
berelaksasi pada waktu menelan makanan dan hilangnya peristalsis esofagus.
Kelainan ini menyebabkan obstruksi fungsional dari batas esofagus dan
lambung (Fisichella, 2009).

2.3 Etiologi
Penyebab penyakit ini sampai sekarang belum diketahui. Namun, secara
histologik pada penyakit akalasia ditemukan penyebab berupa degenerasi sel
ganglion plexus auerbach di sepanjang esophagus parstorakal yang menyebabkan
control neurologis dan sebagai akibatnya gelombang peristaltik primer tidak
mencapai sfingter esophagus bawah.
Berdasar teori, penyebab akalasia antara lain:

1. Teori genetik

7
Akalasia dapat diturunkan berkisar antara 1%-2% dari populasi penderita
akalasia.
2. Teori infeksi
Akalasia disebabkan oleh:
a. Bakteri (diphtheria pertusis, dostridia, tuberculosis, sipilis)
b. Virus (herpes, varicella zooster)
c. Zat toxic (gas kombat)
3. Teori autoimun
Akalasia disebabkan oleh respons inflamasi dalam pleksus mienterikus
esophagus didominasi oleh limfosit T yang berperan dalam penyakit
autoimun.
4. Teori degenerative
Akalasia berhubungan dengan proses penuaan dengan status neurologi atau
penyakit psikis seperti Parkinson atau depresi.

2.4 Patofisiologi Aklasia


Akalasia memiliki karakteristik tekanan tinggi pada eofagus, sfingter
bawah esofagus yang tidak dapat berelaksasi dan esofagus yang mengalami
dilatasi dan tidak memiliki peristaltik. Secara patologi, esofagus hanya
menunjukkan dilatasi minimal pada awalnya, namun lama kelamaan dapat
menjadi seluas 16 cm. Secara histologis, abnormalitas utama berupa
hilangnya sel ganglion di pleksus mienterikus (pleksus Auerbach) pada
esofagus distal. Beberapa lesi neuropatik lain juga dapat ditemukan, antara
lain: a). Inflamasi atau fibrosis pleksus myenterikus pada awal penyakit, b).
Penurunan varikosa serabut saraf pleksus myenterikus, c). Degenerasi n.
Vagus, d). Perubahan di dorsal nukleus motoris n. Vagus dan f). Inklusi
intrasitoplasma yang jarang pada dorsal motor nukleus vagus dan pleksus
myenterikus. Segmen esofagus di atas sfingter esofagogaster (LES) yang
panjangnya berkisar antara 2-8 cm menyempit dan tidak mampu berelaksasi.
Esofagus bagian proksimal dari penyempitan tersebut mengalami dilatasi dan
perpanjangan sehingga akhirnya menjadi megaesofagus yang berkelok-kelok.

8
Bentuk esofagus sangat bergantung pada lamanya proses, bisa berbentuk
botol, fusiform, samapai berbentuk sigmoid dengan hipertrofi jaringan
sirkuler dan longitudinal. Mukosa dapat mengalami peradangan akibat
rangsangan retensi makanan

WOC Akalasia

Disfagia neuromuskular Gangguan autoimun dan Gangguan emosi,


dengan lesi primer penyakit infeksi trauma psikis,
mungkin terletak di karsinoma lambung
dinding esofagus, nervus
vagus, atau batang otak
Kelemahan dan kegagalan pada
sfingter bawah esofagus (LES)
untuk melakukan relaksasi
Impuls saraf tidak bisa
mencapai esofagus atau
tidak ada regulasi dari
reseptor simpatis LES Akalasia Esofagus

Penumpukan makanan

Dilatasi esofagus
Dilatasi esofagus

Disfagia
Heartburn (pirosis dan Peregangan Respons
odinofagia) saraf lokal psikologis

Intake nutrisi tidak Nyeri Kecemasan


adekuat Pemenuhan
informasi
Risiko
ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan

9
2.5 Manifestasi Klinis Aklasia
Akalasia biasanya mulai pada dewasa muda walaupun ada juga yang
ditemukan pada bayi dan sangat jarang pada usia lanjut. Biasanya gejala yang
ditemukan adalah:
1. Disfagia
Merupakan keluhan utama dari penderita Akalasia. Disfagia dapat
terjadi secara tiba-tiba setelah menelan atau bila ada gangguan emosi.
Disfagia dapat berlangsung sementara atau progresif lambat. Biasanya
cairan lebih sukar ditelan dari pada makanan padat. Perjalanan penyakit
biasanya kronis dengan disfagia yang bertambah berat. Berat ringannya
disfagia menurut British Oesophageal Surgery dibagi menjadi 5 tingkat,
yaitu:
1) Tingkat 0 : normal.
2) Tingkat 1 : tidak dapat menelan makanan padat.
3) Tingkat 2 : tidak dapat menelan makanan daging halus.
4) Tingkat 3 : tidak dapat menelan sup atau makanan cair.
5) Tingkat 4 : tidak dapat menelan ludah.
Disfagia dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu:
a. Disfagia Oral atau faringeal
1) Batuk atau tersedak saat menelan
2) Kesulitasn pada saat mulai menelan
3) Makanan lengket di kerongkongan
4) Sialorrhea
5) Penurunan berat badan
6) Perubahan pola makan
7) Pneumonia berulang
8) Perubahan suara (wet voice)
9) Regurgitasi Nasal
b. Disfagia Esophageal
1) Sensasi makanan tersangkut di tenggorokan atau dada

10
2) Regurgitasi Oral atau faringeal
3) Perubahan pola makan
4) Pneumonia rekuren
2. Regurgitasi
Klien mengalami regurgitasi (naiknya makanan dari kerongkongan
atau lambung tanpa disertai oleh rasa mual maupun kontraksi otot perut
yang sangat kuat). Hal ini berhubungan dengan posisi klien (seperti saat
berbaring) dan sering terjadi pada malam hari karena adanya akumulasi
makanan pada esofagus yang melebar sehingga dapat menimbulkan
pneumonia aspirasi dan abses paru.
3. Penurunan berat badan
Hal ini disebabkan karena klien takut makan akibat adanya odinofagia
(nyeri menelan). Namun, jika penyakit ini sudah berlangsung lama akan
terjadi kenaikan berat badan karena pelebaran esofagus akibat retensi
makanan dan akan meningkatkan tekanan hidrostatik yang akan melebihi
tekanan sfingter esofagus bagian bawah (SEB).
4. Nyeri dada
Gejala ini dialami sekitar 30% kasus tetapi tidak begitu dirasakan oleh
klien. Sifat nyeri dengan lokasi susternal dan biasanya dirasakan apabila
meminum air dingin. Hal ini merupakan akibat komplikasi retensi
makanan dalam bentuk batuk dan pneumonia aspirasi.

2.6 Penatalaksanaan pada Aklasia


Sifat terapi pada akalasia hanyalah paliatif, karena fungsi peristaltik
esofagus tidak dapat dipulihkan kerabali. Terapi dapat dilakukan dengan
memberi diet tinggi kalori, medikamentosa, tindakan dilatasi, psikoterapi, dan
operasi esofagokardiotomi (operasi Heller).
1. Terapi Non Bedah
a. Terapi Medikasi
Pemberian smooth-muscle relaxant, seperti nitroglycerin 5 mg SL
atau 10 mg PO, dan juga methacholine, dapat membuat sfingter

11
esofagus bawah relaksasi dan membantu membedakan antara suatu
striktur esofagus distal dan suatu kontraksi sfingter esofagus bawah.
Selain itu, dapat juga diberikan calcium channel blockers (nifedipine
10-30 mgSL) dimana dapat mengurangi tekanan pada sfingter esofagus
bawah.
Namun demikian hanya sekitar 10% pasien yang berhasil dengan
terapi ini. Terapi ini sebaiknya digunakan untuk pasien lansia yang
mempunyai kontraindikasi atas pneumatic dilatation atau pembedahan.

b. Injeksi Botulinum Toksin


Suatu injeksi botulinum toksin intrasfingter dapat digunakan
untuk menghambat pelepasan asetilkolin pada bagian sfingter esofagus
bawah, yang kemudian akan mengembalikan keseimbangan antara
neurotransmiter eksitasi dan inhibisi. Dengan menggunakan
endoskopi, toksin diinjeksi dengan memakai jarum skleroterapi yang
dimasukkan ke dalam dinding esophagus dengan sudut kemiringan
45°, dimana jarum dimasukkan sampai mukosa kira-kira 1-2 cm di atas
squamocolumnar junction.
Lokasi penyuntikan jarum ini terletak tepat di atas batas
proksimal dari LES dan toksin tersebut diinjeksi secara caudal ke
dalam sfingter. Dosis efektif yang digunakan yaitu 80-100 unit/mL
yang dibagi dalam 20-25 unit/mL untuk diinjeksikan pada setiap
kuadran dari LES. Injeksi diulang dengan dosis yang sama 1 bulan
kemudian untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Namun demikian,
terapi ini mempunyai penilaian terbatas dimana 60% pasien yang telah
diterapi masih tidak merasakan disfagia 6 bulan setelah terapi;
persentasi ini selanjutnya turun menjadi 30% walaupun setelah
beberapa kali penyuntikan dua setengah tahun kemudian. Sebagai
tambahan, terapi ini sering menyebabkan reaksi inflamasi pada bagian
gastroesophageal junction, yang selanjutnya dapat membuat miotomi

12
menjadi lebih sulit. Terapi ini sebaiknya digunakan pada pasien lansia
yang kurang bisa menjalani dilatasi atau pembedahan.
Pneumatic dilatation telah menjadi bentuk terapi utama selama
bertahun-tahun. Suatu balon dikembangkan pada bagian
gastroesophageal junction yang bertujuan luituk merupturkan serat
otot, dan membuat mukosa menjadi intak. Persentase keberhasilan
awal adalah antara 70% dan 80%, namun akan turun menjadi 50% 10
tahun kemudian, walaupun setelah beberapa kali dilatasi. Rasio
terjadinya perfbrasi sekitar 5%.
Jika terjadi perforasi, pasien segera dibawa ke ruang operasi
untuk penurupan perforasi dan miotomi yang dilakukan dengan cara
thorakotomi kiri. Insidens dari gastroesophageal reflux yang abnormal
adalah sekitar 25%. Pasien yang gagal dalam penanganan pneumatic
dilatation biasanya di terapi dengan miotomi Helle.

c. Obat-Obat Oral
Perawatan-perawatan untuk achalasia termasuk obat-obat oral,
pelebaran atau peregangan dari sphincter esophagus bagian bawah
(dilation), operasi untuk memotong sphincter (esophagomyotomy), dan
suntikan racun botulinum (Botox) kedalam sphincter. Semua keempat
perawatan mengurangi tekanan didalam sphincter esophagus bagian
bawah untuk mengizinkan lewatnya makanan lebih mudah dari
esophagus kedalam lambung.
Obat-obat oral yang membantu mengendurkan sphincter esophagus
bagian bawah termasuk kelompok-kelompok obat yang disebut
nitrates, contohnya isosorbide dinitrate (Isordil) dan calcium-
channel blockers, contohnya nifedipine (Procardia) dan verapamil
(Calan). Meskipun beberapa pasien-pasien dengan achalasia, terutama
pada awal penyakit, mempunyai perbaikan dari gejala-gejala dengan
obat-obat, kebanyakan tidak. Dengan mereka sendiri, obat-obat oral
mungkin menyediakan hanya pembebasan jangka pendek dan bukan

13
jangka panjang dari gejala-gejala achalasia, dan banyak pasien-pasien
mengalami efek-efek sampingan dari obat-obat.

2. Terapi Bedah
Suatu laparascopic Heller myotomy dan partial fundoplication adalah
suatu prosedur pilihan untuk akalasia esofagus. Operasi ini terdiri dari
suatu pemisahan serat otot (mis: miotomi) dari sfingter esofagus bawah (5
cm) dan bagian proksimal lambung (2 cm), yang diikuti oleh partial
fundoplication untuk mencegah refluks. Pasien dirawat di rumah sakit
selama 24-48 jam, dan kembali beraktfitas sehari-hari setelah kira-kira 2
minggu.
Secara efektif, terapi pembedahan ini berhasil mengurangi gejala
sekitar 85-95% dari pasien, dan insidens refluks postoperatif adalah antara
10% dan 15%. Oleh karena keberhasilan yang sangat baik, perawatan
rumah sakit yang tidak lama, dan waktu pemulihan yang cepat, maka
terapi ini dianggap sebagai terapi utama dalam penanganan akalasia
esofagus. Pasien yang gagal dalam menjalani terapi ini, mungkin akan
membutuhkan dilatasi, operasi kedua, atau pengangkatan esofagus (mis:
esofagektomi). (Muttaqin: 2011)

3. Pemeriksaan Penunjang Akalasia


1) Pemeriksaan Foto Polos Toraks
Pada foto polos toraks tidak menampakkan adanya gelembung-
gelembung udara pada bagian atas dari gaster, dapat juga
menunjukkan gambaran air fluid level pada sebelah posterior
mediastinum. Pemeriksaan foto polos toraks bermakna bila
esofagus mengalami dilatasi yang hebat. Foto AP akan tampak
bayangan yang menonjol ke arah jantung. Pada foto lateral akan
tampak adanya bayangan di posterior jantung. Terdapat
gambaran air fluid level di dalam esofagus, tak tampak gelembung
udara di daerah gaster.

14
2) Barium kontras
Pada pemeriksaan dengan barium kontras terlihat gambaran
penyempitan dan stenosis pada kardia esofagus dengan dilatasi
esofagus bagian proksimal. Pada akalasia berat akan terlihat
dilatasi esofagus, sering berkelok-kelok dan memanjang dengan
ujung distal yang meruncing disertai permukaan yang halus
memberikan gambaran paruh burung (bird’s beak appearrance).
Bagian esofagus yang berdilatasi tampak hipertropi dengan dinding
yang menipis dan pada stadium lanjut menunjukkan tanda
elongasi.
3) Pemeriksaan Esofagoskopi
Esofagoskopi merupakan pemeriksaan yang dianjurkan untuk
semua pasien akalasia oleh karena beberapa alasan yaitu untuk
menentukan adanya esofagitis retensi dan derajat keparahannya,
untuk melihat sebab dari obstruksi, dan untuk memastikan ada
tidaknya tanda keganasan. Pada pemeriksaan ini, tampak
pelebaran lumen esofagus dengan bagian distal yang menyempit,
terdapat sisa-sisa makanan dan cairan di bagian proksimal dari
daerah penyempitan, Mukosa esofagus berwarna pucat, edema
dan kadang-kadang terdapat tanda-tanda esofagitis aldbat retensi
makanan. Sfingter esofagus bawah akan terbuka dengan
melakukan sedikit tekanan pada esofagoskop dan esofagoskop
dapat masuk ke lambung dengan mudah.
Pada kebanyakan pasien, dengan pemeriksaan esofagoskopi
ditemukan gambaran mukosa normal, kadang-kadang didapatkan
hiperemia ringan difus di bagian distal esofagus. Juga didapatkan
gambaran bercak putih pada mukosa, erosi dan ulkus akibat
retensi makanan. Dengan pemeriksaan ini dapat disingkirkan
kelainan karena striktur atau keganasan. Endoskopi pada akalasia
selain untuk diagnosis juga dapat membantu terapi, sebagai alat

15
pemasangan kawat penunjuk arah sebelum tindakan dilatasi
pneumatik.
4) Pemeriksaan Manometrik
Manometrik gunanya untuk mengetahui fungsi motorik
esofagus dengan melakukan pemeriksaan tekanan di dalam lumen
sfingter esofagus. Pemeriksaan ini untuk memperlihatkan kelainan
motorik secara- kuantitatif dan kualitatif. Pemeriksaan dilakukan
dengan memasukkan pipa untuk pemeriksaan manometri melalui
mulut atau hidung. Pada akalasia yang dinilai adalah fungsi
motorik badan esofagus dan sfingter esofagus bawah. Pada badan
esofagus dinilai tekanan istirahat dan aktifitas peristaltiknya.
Sfingter esofagus bagian bawah yang dinilai adalah tekanan
istirahat dan mekanisme relaksasinya. Gambaran manometrik yang
khas adalah tekanan istirahat badan esofagus meningkat, tidak
terdapat gerakan peristaltik sepanjang esofagus sebagai reaksi
proses menelan. Tekanan sfingter esofagus bagian bawah normal
atau meninggi dan tidak terjadi relaksasi sfingter pada waktu
menelan.
Kriteria Manometrik:
a) Keadaan normal:
1) Tekanan SEB 10-26 mmHg dengan relaksasi normal.
2) Amplitudo peristaltik esofagus distal 50-110 mmHg.
3) Tidak dijumpai kontraksi spontan, repetitif, atau simultan.
4) Gelombang tunggal.
5) 5 waktu gelombang peristaltik esofagus distal rata-rata 30
detik.
b) Pada akalasia:
1) Tekanan SEB meningkat >26 mmHg atau >30 mmHg.
2) Relaksasi SEB tidak sempurna.
3) Aperistaltik korpus esophagus.
4) Tekanan intraesofagus meningkat (>lambung).

16
2.7 Prognosis
Prognosis Akalasia bergantung pada durasi penyakit dan banyak
sedikitnya gangguan motilitas, semakin singkat durasi penyakitnya dan
semakin sedikit gangguan motilitasnya maka prognosis untuk kembali ke
ukuran esofagus yang normal setelah pembedahan (Heller) memberikan hasil
yang sangat baik. Pembedahan memberikan hasil yang lebih baik dalam
menghilangkan gejala pada sebagian besar pasien dan seharusnya lebih baik
dilakukan daripada pneumatic dilatation apabila ada ahli bedah yang tersedia.
Obat-obatan dan toksin botulinum sebaiknya digunakan hanya pada pasien
yang tidak dapat menjalani pneumatic dilatation dan laparascopic Heller
myotomy (Lansia). Follow-up secara periodik dengan menggunakan
esofagoskopi diperlukan untuk melihat perkembangan tejadinya kanker
esophagus.

2.7. Komplikasi
Beberapa komplikasi dan akalasia sebagai akibat dari retensi makanan
pada esophagus adalah sebagai berikut:

1) Obstruksi saluran pernapasan


Obstruksi saluran napas adalah kegagalan system pernapasan dalam
memenuhi kebutuhan metabolic tubuh akibat sumbatan saluran napas
bagian atas (dari hidung sampai percabangan trakea). Obstruksi saluran
napas ini sering menyebabkan gagal napas.
2) Bronchitis
Bronchitis adalah suatu peradangan pada saluran bronkial atau bronki.
Peradangan tersebut disebabkan oleh virus, bakteri, merokok, atau polusi
udara (Samer Qarah, 2007). Definisi bronchitis akut adalah batuk dan
kadang-kadang produksi dahak tidak lebih dari tiga minggu. Definisi
bronchitis kronis adalah batuk disertai sputum setiap hari selama kurang
lebih tiga bulan dalam setahun selama paling sedikit dua tahun berturut-
turut.
3) Pneumonia aspirasi

17
Pneumonia spirasi adalah infeksi paru-paru yang disebabkan oleh
terhirupnya bahan-bahan kedalam saluran pernapasan.
4) Abses paru
Diartikan sebagai kematian jaringan paru – paru dan pembentukan
rongga yang berisi sel –sel mati atau cairan akibat infeksi bakteri.
5) Diverticulum meekel
Diverticulum meekel adalah suatu kelainan bawaan yang merupakan
suatu kantung (diverticula) yang menjulur / menonjol dari dinding usu
halus; diverticula bisa mengandung jaringan lambung maupun jaringan
pancreas.
6) Perforasi esophagus
Perforasi esophagus adalah pecahnya dinding esophagus karena
muntah – muntah. 90 % penyebb raptur esophagus adalah iatrogenic,
yang biasanya diakibatkan oleh instrumentasi medis seperti
paraesophageal endoskopi atau pembedahan.
7) Small cell carcinoma
8) Sudden death

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Asuhan Keperawatan Akalasia

18
3.1.1 Pengkajian
3.1.1.1 Identitas
Akalasia sering terjadi pada individu berusia 20-an dan 30-an dan
muncul sama sering pada pria dan wanita. Dengan ditandai gejala disfagia,
nyeri dada, muntah yang makin lama makin membrat, nyeri
dadaretrosternal, berat badan menurun.
Klien dengan aklasia mengalami kekurangan nonadregernik,
nonkolinergik, dan sel-sel penghambat ganglionik disebabkan oleh
ketidakseimbangan neurotransmitter peningkat dan penghambat. Kondisi
ini akhirnya menghasilkan peningkatan tekanan nonrelaksasi dari sfingter
esophageal. Kegagalan relaksasi esophagus ini akan meningkatkan risiko
stasis makanan dan selanjutnya timbul dilatasi esophagus.
Pada sebagian besar pasien akalasia mengalami kecemasan akan
kondisi sulit menelan makanan yang mnyebabkan pasien mengalami
penurunan brat badan secara progresif.

3.1.1.2. Anamnesa

Keluhan utama yang sering dirasakan pasien dengan akalasia


adalah disfagia esofagial yaitu dimana pasien merasa Sensasi makanan
tersangkut di tenggorokan atau dada.

3.1.1.3 Riwayat Kesehatan


1. Riwayat Penyakit Sekarang
Biasanya pasien mengalami disfagia, regurgutasi, rasa nyeri
dibelakang sternum, anoreksia dan berat badan menurun.
2. Riwayat Penyakit Dahulu
Biasanya pasien mengalami gangguan saluran cerna atas
3.Riwayat Penyakit Keluarga
Ada tidaknya anggota keluarga yang memiliki penyakit sama dengan
klien.
3.1.1.4 Pemeriksaan Fisik

19
1. B1 : Breathing

a) Inspeksi

Bentuk dada dan gerakan pernapasan. Gerakan pernapasan simetris.

b) Palpasi

Gerakan dinding thoraks anterior/ ekskrusi pernapasan. Pada


palpasi klien akalasia gerakan dada saat bernapas biasanya normal
dan seimbang antara bagian kanan dan kiri.

Getaran suara (fremitus vocal). Taktil fremitus pada klien


pneumonia biasanya normal.

c) Perkusi

Klien dengan akalasia, biasanya didapatkan bunyi sonor.

d) Auskultasi

Pada klien pneumonia didapatkan bunyi vesikuler.

2. B2 : Blood

Pada klien dengan akalasia pengkajian yang didapat meliputi:

Inspeksi : adanya kelemahan fisik secara umum

Palpasi : denyut nadi perifer melemah

Perkusi : batas janyung tidak mengalami pergeseran

Auskultasi : tekanan darah biasanya normal

3. B3 : Brain

Klien dengan akalasia tidak terjadi penurunan kesadaran.

4. B4 : Bladder

Pengukuran volume output urin berhubungan dengan intake cairan.


Sedikitnya cairan yang masuk membuat output urin mengalami
ketidakstabilan.

20
5. B5 : Bowel

Klien biasanya mengalami mual, muntah, penurunan nafsu makan, dan


penurunan berat badan.

6. B6 : Bone

Kelemahan dan kelelahan fisik secara umum sering menyebabkan


ketergantungan klien terhadap bantuan orang lain dalam melakukan
aktivitas sehari-hari.

3.1.2 Hasil Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Radiologik

a) Foto Polos Toraks

Pada foto polos toraks tidak menampakkan adanya gelembung-


gelembung udara pada bagian atas dari gaster, dapat juga menunjukkan
gambaran air fluid level pada sebelah posterior mediastinum.

b) Pemeriksaan Barium Kontras


Pada pemeriksaan dengan barium kontras terlihat gambaran
penyempitan dan stenosis pada kardia esofagus dengan dilatasi
esofagus bagian proksimal. Pada akalasia berat akan terlihat dilatasi
esofagus, sering berkelok-kelok dan memanjang dengan ujung distal
yang meruncing disertai permukaan yang halus memberikan gambaran
paruh burung.
c) Pemeriksaan Fluoroskopi
Pada pemeriksaan dengan fluoroskopi terlihat tidak adanya kontraksi
korpus esofagus.
d) Pemeriksaan Esofagoskopi
Pada pemeriksaan ini, tampak pelebaran lumen esofagus dengan
bagian distal yang menyempit, terdapat sisa-sisa makanan dan cairan
di bagian proksimal dari daerah penyempitan, Mukosa esofagus
berwarna pucat, edema dan kadang-kadang terdapat tanda-tanda

21
esofagitis aldbat retensi makanan. Sfingter esofagus bawah akan
terbuka dengan melakukan sedikit tekanan pada esofagoskop dan
esofagoskop dapat masuk ke lambung dengan mudah.
e) Pemeriksaan Manometrik
Pemeriksaan Manometrik adalah pemeriksaan gold standard untuk
diagnosis akalasia (Gonlachavit, 2001). Pada pemeriksaan ini akan
didapatkan tekanan di dalam sfingter kardiak, relaksasi yang tidak
komplit dn tidak adanya paralisis (Fisichella, 2008)

Masalah
Data Etiologi
Keperawatan
DS :
Kelemahan dan
- Sulit untuk menelan Nutrisi kurang darikegagalan pada
makanan atau cairan kebutuhan sfingter bawah
esofagus untuk
(disfagia) melakukan relaksasi

- Mengeluh nyeri
Sulit menelan
meliputi pirosis (nyeri
ulu hati) dan odinofagia
Akalasia
(merupakan sensasi
nyeri ketat atau rasa Makanan tertahan
terbakar) pada saat di
Esofagus
menelan

Absorpsi nutrient
- Mengeluh sering berkurang
bersendawa pada
malam hari saat akan Nutrisi kurang
memulai tidur dari
kebutuhan

- Merasa cepat lelah atau

22
lemah

DO :
- Pemeriksaan
radiologis :
Dilatasi esofagus dan
kegagalan relaksasi
sfingter bawah
esofagus.

- Pengkajian endoskopi :
Pelebaran lumen
esofagus dengan bagian
distal yang menyempit,
terdapat sisa-sisa
makanan dan cairan di
bagian bawah proksimal
dari daerah
penyempitan.

- Mukosa esofagus
berwarna pucat, edema,
dan esofagitis akibat
retensi makanan

3.1.1 Diagnosa Keperawatan

1. Risiko tinggi ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


b.d. kurangnya intake makanan yang adekuat

2. Risiko injuri b.d pascaprosedur pneumatic dilatation, bedah Heller’s


dilatation, gastrotomi

23
3. Nyeri b.d iritasi mukosa esofagus, respons pembedahan

4. Risiko tinggi infeksi b.d adanya port de entree luka pascaoperasi

5. Kecemasan b.d prognosis penyakit, rencana pembedahan

6. Gangguan gambaran diri b.d adanya selang oada abdomen pasca-


gastrotomi

7. Pemenuhan informasi b.d misinterpretasi informasi, perubahan gaya


hidup, rencana pembedahan pneumatic dilatation, bedah Heller’s
dilatation, gastrostomy

3.1.2 Intervensi dan Rasional

1. Risiko tinggi nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kurangnya intake
makanan yang adekuat
Tujuan :
Pada periode praoperasi dan setelah 7x24 jam pascaoperasi intake nutrisi dapat
optimal dilaksanakan.
Kriteria hasil :
- Pasien dapat menunjukkan metode menelan makanan yang tepat
- Terjadi penurunan gejala refluks esofagus, meliputi: odinofagia berkurang,
pirosis berkurang, RR dalam batas normal 12-20 x/menit
- Berat badan pada hari ke-7 pascaoperasi meningkat 0,5 kg

Intervensi Rasional
Intervensi prabedah :
 Anjurkan pasien makan dengan Makanan dapat lewat dengan mudah
perlahan dan mengunyah ke lambung
makanan dengan saksama.
 Evaluasi adanya alergi makanan Manifestasi terhadap persiapan
dan kontraindikasi makanan. komposisi makanan yang akan
 Pantau intake dan output, diberikan
anjurkan untuk timbang berat

24
badan secara periodik (sekali Berguna dalam mengukur keefektifan
seminggu). nutrisi dan dukungan cairan
 Kolaborasi pemberian penyekat
saluran calcium channel Menurunkan tekanan esophagus dan
blockers dan nitrat. memperbaiki menelan
 Kolaborasi pemberian injeksi
agen penghambat neuromuskular Peningkatan kemampuan menelan
(Neuromuscular Blocker Agents)
jenis Botulinum toxin A.
Intervensi pasca-bedah dilatasi
pneumatik : Mengontrol jumlah dan jenis nutrisi
 Batasi intake oral selama 24 jam yang masuk dan jumlah yang keluar
setelah intervensi.
Intervensi pasca-bedah Heller’s
dilatation : Mengontrol jumlah dan jenis nutrisi
 Batasi intake oral selama 24-48 yang masuk dan jumlah yang keluar
jam setelah pembedahan. Bila
tidak ada gejala kebocoran, diet
diberikan sesuai tingkat Komposisi dan jenis diet diberikan
toleransi. sesuai tingkat toleransi individu
 Kolaborasi dengan ahli gizi
tentang jenis dan komposisi diet.
Intervensi pasca-bedah gastrotomi :
 Beri cairan via selang, segera Cairan mengandung nutrisi pertama
setelah pembedahan. kali diberikan segera setelah
pembedahan dan biasanya
mengandung air hangat dan glukosa
10%.
 Lakukan aspirasi lambung.
Memberikan volume total yg
diinginkan sehingga dilatasi lambung
dapat diatasi.

25
 Beri makanan halus dan
makanan cair secara bertahap Kerja organ pencernaan tidak terlalu
dan dicampur dengan air. berat
 Atur posisi duduk dan lakukan
optimalisasi gravitasi pada saat Meningkatkan efektivitas asupan
memberikan makanan cair. nutrisi dan meningkatkan penerimaan
dari lambung.
Timbang berat badan tiap hari dan catat Intervensi untuk evaluasi terhadap
kenaikannya. intervensi keperawatan yang telah
diberikan.

2. Risiko injuri b.d. pasca-prosedur dilatasi pneumatik, bedah Heller’s


dilatation, gastrostomi

Tujuan :
Dalam waktu 3x24 jam pasca-intervensi prosedur dilatasi pneumatik, bedah
Heller’s dilatation, dan gastrostomi, pasien tidak mengalami injuri.
Kriteria hasil :
- TTV dalam batas normal
- Kondisi kepatenan selang nutrisi optimal
- Tidak terjadi perforasi, infeksi pada insisi gastrostomi, apabila
didapatkan dapat diatasi dengan berkolaborasi dengan tim medis
Intervensi Rasional
Intervensi pasca-intervensi dilatasi
penumatik:
 Monitor kondisi fungsi Pantau adanya perubahan TTV,
gastrointestinal. nyeri tekan abdomen, dan
 Laporkan pada ahli gastroenterologi hipertermi.
apabila didapatkan ada gejala Mencegah kondisi sepsis yang
perforasi. membahayakan

Intervensi pasca-bedah Heller’s

26
dilatation:
 Monitor adanya tanda-tanda refluks Pantau adanya nyeri tekan pada
esofageal dan laporkan pada tim abdomen dan nyeri pada dada
medis
Intervensi pasca-operasi gastrotomi :
 Kaji kondisi selang gastrotomi dan Adanya respons peradangan lokal
laporkan pada ahli bedah apabila akan menganggu kondisi selang
ditemukan tanda-tanda infeksi pada dan memerlukan intervensi dari
sekitar area insersi ahli bedah
 Fiksasi selang pada dinding abdomen
dengan plester Selang dapat dipertahankan dengan
plester tipis yang diputar
melingkari selang dan kemudian
 Libatkan keluarga dalam memonitor dengan kuat dilekatkan pada
kondisi sekitar gastrotomi abdomen
Pasien dan anggota keluarga harus
dianjurkan untuk berpartisipasi
dalam inspeksi dan aktivitas
hygiene ini. Bila masalah kulit

 Kaji adanya perdarahan terjadi, perawat akan konsultasi

gastrointestinal dengan ahli terapi enterostomal


Tanda-tanda vital pasien dipantau
dengan cermat dan semua drainase
dari sisi operatif, muntah, dan feses
diobservasi terhadap adanya
perdarahan.

3. Nyeri b.d iritasi mukosa esofagus, respons pembedahan


Tujuan :
Dalam waktu 1x24 jam respons pascaoperasi dan tingkat nyeri berkurang atau
teradaptasi
Kriteria hasil :

27
- Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau teradaptasi.
- Pasien mampu melakukan manajemen nyeri nonfarmakologik apabila
sensasi nyeri muncul.
- TTV dalam batas normal.
- Skala nyeri (0-1).
- Ekspresi pasien relaks dan mampu melakukan mobilitas ringan dengan
nyeri yang terkontrol.
Intervensi Rasional
Jelaskan dan bantu pasien dengan tindakan Pendekatan dengan
pereda nyeri nonfarmakologi dan noninvasif. menggunakan relaksasi dan
nonfarmakologi lainnya telah
menunjukkan keefektifan
dalam mengurangi nyeri
Lakukan manajemen nyeri keperawatan :
 Istirahatkan pasien pada saat nyeri Istirahat secara fisiologis akan
muncul menurunkan kebutuhan oksigen
yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan
 Monitor kondisi kepatenan selang metabolisme basal
gastrotomi, adanya komplikasi bedah
seperti refluks esofageal, perforasi, Adanya gangguan pada
dan infeksi luka gastrotomi. kepatenan dari selang dan
komplikasi pascaoperasi akan
 Ajarkan teknik relaksasi pernapasan memberikan stimulus nyeri
dalam pada saat nyeri muncul yang perlu perawat perhatikan.

 Ajarkan teknik distraksi pada saat Meningkatkan intake oksigen

nyeri. sehingga akan menurunkan


nyeri sekunder dari iskemia
intestinal

28
 Bantu menyangga sekitar luka pasien Distraksi (pengalihan
pada saat latihan batuk efektif atau perhatian) dapat menurunkan
ajarkan menggunakan bantal apabila stimulus internal
pasien akan batuk.
 Manajemen lingkungan: lingkungan Menurunkan tarikan pada kulit
tenang, batasi pengunjung, dan akibat peningkatan dari
istirahatkan pasien. intraabdomen sekunder dari
 Lakukan manajemen sentuhan. batuk akan menurunkan
stimulus nyeri dan pasien
mendapat dukungan, serta
kepercayaan diri untuk
melakukan pernapasan
diafragma karena pada kondisi
klinik sebagian besar pasien
pascaoperasi takut
Tingkatkan pengetahuan tentang sebab-sebab Pengetahuan yang akan
nyeri dan menghubungkan berapa lama nyeri membantu mengurangi
akan berlangsung nyerinya dan dapat membantu
mengembangkan kepatuhan
pasien terhadap rencana
terapeutik.
Kolaborasi dengan tim medis untuk
pemberian : Analgesik diberikan untuk
 Analgesik membantu menghambat
stimulus nyeri ke pusat persepsi
nyeri di korteks serebri
sehingga nyeri dapat
berkurang.

4. Risiko tinggi infeksi b.d. adanya port de entree dari luka pembedahan
Tujuan :
Dalam waktu 12x24 jam tidak terjadi infeksi; terjadi perbaikan pada integritas

29
jaringan lunak.
Kriteria hasil :
- Jahitan dilepas pada hari ke-12 tanpa adanya tanda-tanda infeksi dan
peradangan pada area luka pembedahan, leukosit dalam batas normal,
TTV dalam batas normal.
Intervensi Rasional
Kaji jenis pembedahan, hari pembedahan, Mengidentifikasi kemajuan atau
dan apakah ada order khusus tim dokter penyimpangan dari tujuan yang
bedah dalam melakukan perawatan luka. diharapkan.
Lakukan perawatan luka :
 Lakukan perawatan luka steril Menurunkan kontak tindakan
pada hari ke-3 operasi dan diulang dengan luka yang dalam kondisi
setiap 2 hari sekali steril sehingga mencegah
kontaminasi kuman ke luka bedah.
 Bersihkan luka dan drainase
dengan cairan antiseptik jenis Mencegah kontaminasi kuman ke
iodine providum dengan cara jaringan luka.
swabbing dari arah dalam ke luar

 Bersihkan bekas sisa iodine


providum dengan cara alkohol
70% atau normal salin dengan Menurunkan proses epitelisasi
cara swabbing dari arah dalam ke jaringan sehingga memperlambat
luar. pertumbuhan luka.

 Tutup luka dan penampang


eksternal dengan kasa steril dan
tutup dengan plester adhesif yang Penutupan secara menyeluruh

menyeluruh menutupi kasa dapat menghindari kontaminasi


dari benda atau udara yang
bersentuhan dengan luka bedah.

30
Kaji kondisi selang gastrotomi dan Adanya respons peradangan lokal
laporkan pada ahli bedah apabila akan menggganggu kondisi selang
ditemukan tanda-tanda infeksi pada dan memerlukan intervensi dari
sekitar area insersi ahli bedah.
Kolaborasi penggunaan antibiotik Mengkaji adanya reaksi dan
riwayat alergi antibiotik, serta
memberikan antibiotik sesuai advis
dokter.

5. Kecemasan b.d prognosis penyakit, misinterpretasi informasi


Tujuan :
Dalam waktu 1x24 jam pasien secara subjektif melaporkan rasa cemas
berkurang.
Kriteria hasil :
- Pasien mampu megungkapkan perasaannya kepada perawat
- Pasien dapat mendemonstrasikan keterampilan pemecahan masalahnya
dan perubahan koping yang digunakan sesuai situasi yang dihadapi
- Pasien dapat mencatat penurunan kecemasan/ketakutan di bawah
standar; pasien dapat rileks dan tidur/istirahat dengan baik
Intervensi Rasional
Monitor respons fisik, seperti : Digunakan dalam mengevaluasi
kelemahan, perubahan tanda vital, dan derajat/tingkat
gerakan yang berulang-ulang. Catat kesadaran/konsentrasi, khususnya
kesesuaian respons verbal dan nonverbal ketika melakukan komunikasi
selama komunikasi. verbal.
Anjurkan pasien dan keluarga untuk Memberikan kesempatan untuk
mengungkapkan dan mengekspresikan berkonsentrasi, kejelasan dari rasa
rasa takutnya. takut, dan mengurangi cemas yang
berlebihan.
Catat reaksi dari pasien/keluarga. Berikan Anggota keluarga dengan
kesempatan untuk mendiskusikan responsnya pada apa yang terjadi
perasaannya/konsentrasinya, dan harapan dan kecemasannya dapat

31
masa depan. disampaikan kepada pasien.

6. Gangguan konsep diri (gambaran diri) b.d adanya selang pada abdomen
pascagastrotomi
Tujuan :
Dalam waktu 1x24 jam terjadi peningkatan gambaran diri. Pasien dapat
mengidentifikasi perasaan dan metode koping untuk persepsi negative pada diri
sendiri.
Kriteria hasil :
- Pasien merasa harga dirinya naik, menggunakan koping yang adaptif
dan menyadari dapat mengontrol perasaannya.
- Menunjukkan adaptasi awal terhadap perubahan tubuh sebagai bukti
dengan partisipasi aktivitas perawatan diri dan interaksi positif dengan
orang lain.
- Berkomunikasi dengan orang terdekat tentang perubahan peran yang
telah terjadi.
- Mulai mengembangkan rencana untuk perubahan pola hidup
- Berpartisipasi dalam tim sebagai upaya melaksanakan rehabilitasi
Intervensi Rasional
Bina hubungan saling percaya dan Kesadaran diri sangat diperlukan
keterbukaan. dalam membina hubungan
terapeutik perawat-pasien.
Kaji perasaan pasien saat ini. Membantu perawat dalam
mengidentifikasi tingkat perasaan
dari pasien.
Eksplorasi respons koping adaptif dan Respons koping adaptif sangat
maladaptif terhadap masalahnya. dibutuhkan dalam penyelesaian
masalah secara konstruktif.
Buat perencanaan yang realistik. Pasien membutuhkan bantuan
perawat untuk mengatasi
permasalahannya dengan cara
menentukan perencanaan yang

32
realistic
Bantu pasien untuk melakukan tindakan Penggunaan koping yang adaptif
yang penting untuk mengubah respons membantu dalam proses
maladaptif dan mempertahankan respons penyelesaian masalah klien.
koping yang adaptif
Hadirkan individu yang pernah atau Berbicara dengan orang yang telah
sedang mendapat intervensi gastrotomi. mengalami gastrotomi dapat
membantu pasien untuk menerima
perubahan yang dialami.
Diskusikan secara perlahan kondisi Diskusi yang tenang mengenai
gastrotomi pada saat pemberian tujuan dan rutinitas pemberian
makanan makan melalui gastrotomi dapat
membantu mempertahankan
gastrotomi sebagai sesuatu yang
wajar.
Catat reaksi emosi, contoh kehilangan, Pasien dapat mengalami depresi
depresi, marah cepat setelah menerima informasi
menderita kanker mulut dan
menyangkal. Penerimaan
perubahan tidak dapat dipaksakan
dan proses kehilangan
membutuhkan waktu untuk
membaik.
Beri dukungan psikologis Bentuk dukungan psikologis dapat
mempererat hubungan perawat dan
pasien dengan permasalahan yang
sedang dihadapinya.

7. Pemenuhan informasi b.d misinterpretasi informasi, perubahan gaya hidup,


rencana pembedahan pneumatic dilatation, bedah Heller’s dilatation,
gastrotomi
Tujuan :
Dalam waktu 1x24 jam informasi kesehatan terpenuhi.

33
Kriteria hasil :
- Pasien dan keluarga mengetahui teknik perubahan pola hidup dan
dampak dari perubahan pola hidup terhadap adanya gastrotomi dan
pernyataan sukjektif merasa termotivasi untuk melaksanakan anjuran
yang diberikan.
- Pasien dan keluarga mengetahui jadwal pembedahan.
- Pasien dan keluarga kooperatif pada setiap intervensi keperawatan dan
secara subjektif menyatakan bersedia dan termotivasi untuk melakukan
aturan atau prosedur praoperasi yang telah dijelaskan.
- Pasien beserta keluarga mengungkapkan alasan pada setiap instruksi
dan latihan preoperatif
- Secara subjektif pasien menyatakan rasa nyaman dan relaksasi
emosional
- Pasien mampu menghindarkan cedera selama periode perioperatif
Intervensi Rasional
Kaji tingkat pengetahuan pasien tentang Apabila pasien mendapat
perubahan pola hidup atau prosedur keputusan pembedahan atas
intervensi medis kondisi penyakitnya, maka
persiapan prabedah sama seperti
persiapan pembedahan abdomen
lainnya. Peran perawat
mengklarifikasi bahwa informasi
dimengerti dan dilaksanakan pada
pasien.
Cari sumber yang meningkatkan Keluarga terdekat dengan pasien
penerimaan informasi perlu dilibatkan dalam pemenuhan
informasi untuk menurunkan
risiko misinterpretasi terhadap
informasi yang diberikan
Intervensi pemenuhan praoperasi :
 Diskusikan jadwal pembedahan Pasien dan keluarga harus diberi
waktu dimulainya pembedahan.

34
Beritahu persiapan pembedahan,
meliputi : Pencukuran area operasi dilakukan
 Persiapan kulit are operasi apabila protokol lembaga atau ahli
bedah mengharuskan kulit untuk
dicukur, pasien diberitahukan
tentang prosedur mencukur,
dibaringkan dalam posisi yang
nyaman, dan tidak memajan
bagian yang tidak perlu.
Beritahu persiapan pembedahan meliputi :
 Persiapan istirahat dan tidur Istirahat merupakan hal yang
penting untuk penyembuhan
normal.
 Persiapan administrasi dan Pasien sudah menyelesaikan
informed consent administrasi dan mengetahui
secara finansial biaya
pembedahan. Pasien sudah
mendapat penjelasan dan
menandatangani informed consent
Beritahu pasien dan keluarga kapan pasien Pasien akan mendapat manfaat
sudah dikunjungi bila mengetahui kapan keluarga
dan temannya bisa berkunjung
setelah pembedahan.
Intervensi prosedur perawatan rumah :
 Kaji tingkat pengetahuan pasien Mengkaji tingkat pengetahuan
tentang prosedur perawatan rumah pasien, minat dalam pembelajaran
pascaintervensi gastrotomi. tentang pemberian makan per
selang, serta kemampuan untuk
memahami dan menerapkan
 Jelaskan tujuan dari perawatan informasi.
rumah
Untuk memudahkan perawatan

35
diri, pasien dijelaskan tentang
perawatan pasca-rumah sakit dan
disorong untuk membuat rutinitas
 Demonstrasikan cara memeriksa senormal mungkin.
residu pada selang gastrotomi
Menunjukkan pada pasien cara
memeriksa isi lambung residu
sebelum pemberian makan,
menentukan patensi selang dengan
 Ajarkan cara memasukkan memberikan air pada suhu
makanan cair pada spuit dengan ruangan sebelum dan setelah
memaksimalkan efek gravitasi pemberian makan.

Agar jalannya makanan menuju


saluran pencernaan lebih mudah.

Ajarkan teknik penurunan risiko aspirasi. Pengaturan posisi kepala tempat


tidur lebih tinggi selama
sedikitnya setengah jam setelah
pemberian makan sehingga
memudahkan pencernaan dan
menurunkan risiko aspirasi.

3.1.3 Evaluasi
Evaluasi yang diharapkan setelah diberikan intervensi keperawatan
adalah sebagai berikut:

36
1. Intake nutrisi dapat dicapai sesuai tingkat toleransi dan pasien
tidak mengalami penurunan berat badan.
2. Terjadi penurunan respons nyeri.
3. Terjadi penurunan risiko injuri.
4. Infeksi tidak terjadi selama asuhan keperawatan dilakukan.
5. Peningkatan gambaran diri.
6. Kecemasan pasien berkurang.
7. Terpenuhinya informasi prabedah dan prosedur perawatan rumah.

BAB V

PENUTUP

1.1 Kesimpulan
Akalasia merupakan keadaan sfingter esophagus inferior yang
gagal berelaksasi selama menelan. Sebagai akibatnya makanan yang
ditelan ke dalam esophagus gagal untuk melewati esophagus masuk ke
dalam lambung.
Akalasia merupakan disfungsi neuromuscular dengan lesi primer
mungkin terletak di dinding esophagus, nervus vagus, atau batang otak
(Saunderlin, 1993). Pendapat lain menyebutkan bahwa faktor gangguan
autoimun dan penyakit infeksi mempunyai peran penting dalam
terbentuknya aklasia (Fisichella, 2009). Akalasia sendiri disebabkan oleh
ketidakadekuatan relaksasi LES terjadi akibat impuls saraf tidak bisa
mencapai esophagus atau tidak ada regulasi dari reseptor simpatis LES
(Black, 1997).
Akalasia biasa dimulai dengan adanya gejala utama seperti disfagia
esofagial dimana pasien merasa makanan tertahan di esophagus. Prognosis
Akalasia bergantung pada durasi penyakit dan banyak sedikitnya

37
gangguan motilitas. Pembedahan memberikan hasil yang lebih baik dalam
menghilangkan gejala pada sebagian besar pasien. Obat-obatan dan toksin
botulinum sebaiknya digunakan hanya pada pasien yang tidak dapat
menjalani pneumatic dilatation dan laparascopic Heller myotomy (Lansia).
Follow-up secara periodik dengan menggunakan esofagoskopi diperlukan
untuk melihat perkembangan tejadinya kanker esophagus.
Komplikasi yang terjadi kepada klien dengan akalasia adalah
Obstruksi saluran pernapasan, bronchitis, abses paru, pneumonia
aspirasi,diverticulum meekel ,perforasi esophagus,small cell carcinoma,
sudden death.
Akalasia dapat diobati dengan melebarkan katup secara mekanik,
contohnya dengan menggelembungkan sebuah balon didalam
kerongkongan dengan pemberian nitrat contohnya nitroglycerin yang
ditempatkan dibawah lidah sebelum makan atau penghambat saluran
kalsium contohnya nifedipine, maka tindakan untuk melebarkan
kerongkongan dapat ditangguhkan.
1.2 Saran
Makalah sangat jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami
sebagai kelompok mengharapkan kritik dan saran dari dosen pembimbing
dan teman – teman sesama mahasiswa. Selain itu penyakit akalasia ini
sangat berbahaya dan kita sebagai host harus bisa menerapkan pola hidup
sehat agar kesehatan kita tetap terjaga.

38
DAFTAR PUSTAKA

Artur C, Hall, John E. (2007). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Guyton. Jakarta.
EGC
Black Joyce M., Hawks Jane Hokanson. 2009. Medical Surgical Nursing Clinic
Management for Positive Outcomes. United State of America: Elsevier
Bailey J Byron. Esophageal disorders. Head and neck surgery Otolaringology.
Vol.1.2.1998;56:781-8014.
Doenges Marilynn, Moorhouse, Geissler. Rencana Asuhan Keperawatan
:Pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien
(terjemahan). Edisi 3. Jakarta, EGC.
Isselbacher, Kurt J. 1995. Horrison: Prinsip-PrinsipIlmu Penyakit Dalam, Vol. 1,
Ed. 13. Jakarta: EGC.
Juniati Sri Herawati. 2013. Ilmu Kesehatan THT-KL Esofagus Edisi 2. Surabaya:
AUP
J., Finley R. 2002. Achalasia: Thoracoscopic and Laparoscopic Myotomi. In:
Pearson F.G. MD, Cooper J.D. MD,
Kaiyo, Takubo. 2009. Pathology of the Esophagus: An Atlas and Textbook.
Tokyo : Springer Science & Business Media.

39
Marks, Jay W., Lee, Dennis. 2010. Achalasia. http://www.medicinenet.com.
Accessed on: 5 th August 2015
Muttaqin, Arif. Dkk. 2011. Gangguan Gastrointestinal Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika.
Pearce, Evelyn C. 2011. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.

40

Anda mungkin juga menyukai