Anda di halaman 1dari 10

Akalasia Esofagus

I. PENDAHULUAN Akalasia esofagus, atau dikenal juga dengan nama Simple ectasia, Kardiospasme, Megaesofagus, Dilatasi esofagus difus tanpa stenosis atau Dilatasi esofagus idiopatik adalah suatu gangguan neuromuskular. Kegagalan relaksasi batas esofagogastrik pada proses menelan menyebabkan dilatasi bagian proksimal esofagus tanpa adanya gerak peristaltik. Penderita akalasia merasa perlu mendorong atau memaksa turunnya makanan dengan air atau minuman guna menyempurnakan proses menelan. Gejala lain dapat berupa rasa penuh substernal dan umumnya terjadi regurgitasi.(1,2) Akalasia mulai dikenal oleh Thomas Willis pada tahun 1672. Mula-mula diduga penyebabnya adalah sumbatan di esofagus distal, sehingga dia melakukan dilatasi dengan tulang ikan paus dan mendorong makanan masuk ke dalam lambung. Pada tahun 1908 Henry Plummer melakukan dilatasi dengan kateter balon. Pada tahun 1913 Heller melakukan pembedahan dengan cara kardiomiotomi di luar mukosa yang terus dianut sampai sekarang.(1,2,3)

II. ANATOMIFISIOLOGI Esofagus adalah suatu saluran otot vertikal yang menghubungkan hipofaring dengan lambung. Ukuran panjangnya 23-25 cm dan lebarnya sekitar 2 cm (pada keadaan yang paling lebar) pada orang dewasa. Esofagus dimulai dari batas bawah kartilago krikoidea kira-kira setinggi vertebra servikal VI.(4) Dari batas tadi, osefagus terbagi menjadi tiga bagian yaitu, pars cervical, pars thoracal dan pars abdominal. Esofagus kemudian akan berakhir di orifisium kardia gaster setinggi vertebra thoracal XI. Terdapat empat penyempitan fisiologis pada esofagus yaitu, penyempitan sfingter krikofaringeal, penyempitan pada persilangan aorta (arkus aorta), penyempitan pada persilangan bronkus kiri, dan penyempitan diafragma (hiatus esofagus).(5)

Dinding esofagus terdiri dari 3 lapisan yaitu : mukosa yang merupakan epitel skuamosa, submukosa yang terbuat dari jaringan fibrosa elastis dan merupakan lapisan yang terkuat dari dinding esofagus, otot-otot esofagus yang terdiri dari otot sirkuler bagian dalam dan longitudinal bagian luar dimana 2/3 bagian atas dari esofagus merupakanotot skelet dan 1/3 bagianbawahnya merupakan otot polos.(1,4,6)

Pada bagian leher, esofagus menerima darah dari a. karotis interaa dan trunkus tiroservikal. Pada bagian mediastinum, esofagus disuplai oleh a. esofagus dan cabang dari a. bronkial. Setelah masuk ke dalam hiatus esofagus, esofagus menerima darah dari a. phrenicus inferior, dan bagian yang berdekatan dengan gaster di suplai oleh a. gastrica sinistra. Darah dari kapiler-kapiler esofagus akan berkumpul pada v. esofagus, v. thyroid inferior, v. azygos, dan v. gastrica.(1,4,6) Esofagus diinervasi oleh persarafan simpatis dan parasimpatis (nervus vagus) dari pleksus esofagus atau yang biasa disebut pleksus mienterik Auerbach yang terletak di antara otot longitudinal dan otot sirkular sepanjang esofagus.(1,4,6) Esofagus mempunyai 3 bagian fungsional. Bagian paling atas adalah upper esophageal sphincter (sfingter esofagus atas), suatu cincin otot yang membentuk bagian atas esofagus dan memisahkan esofagus dengan tenggorokan. Sfingter ini selalu menutup untuk mencegah makanan dari bagian utama esofagus masuk ke dalam tenggorokan. Bagian utama dari esofagus disebut sebagai badan dari esofagus, suatu saluran otot yang panjangnya kira-kira 20 cm. Bagian fungsional yang ketiga dari esofagus yaitu lower esophageal sphincter (sfingter esophagus bawah), suatu cincin otot yang terletak di pertemuan antara esofagus dan lambung. Seperti halnya sfingter atas, sfingter bawah selalu menutup untuk mencegah makanan dan asam lambung untuk kembali naik/regurgitasi ke dalam badan esofagus. Sfingter bagian atas akan berelaksasi pada proses menelan agar makanan dan saliva dapat masuk ke dalam bagian atas dari badan esofagus. Kemudian, otot dari esofagus bagian atas yang terletak di bawah sfingter berkontraksi, menekan makanan dan saliva lebih jauh ke dalam esofagus. Kontraksi yang disebut gerakan peristaltik mi akan membawa makanan dan saliva untuk turun ke dalam lambung. Pada saat gelombang peristaltik ini sampai pada sfingter bawah, maka akan membuka dan makanan masuk ke dalam lambung.(6) Esofagus berfungsi membawa makanan, cairan, sekret dari faring ke gaster melalui suatu proses menelan, dimana akan terjadi pembentukan bolus makanan dengan ukuran dan konsistensi yang lunak, proses menelan terdiri dari tiga fase yaitu : 1. fase oral, makanan dalam bentuk bolus akibat proses mekanik bergerak pada dorsum lidah menuju orofaring, palatum mole dan bagian atas dinding posterior faring terangkat. 2. fase pharingeal, terjadi refleks menelan (involuntary), faring dan taring bergerak ke atas oleh karena kontraksi m. Stilofaringeus, m. Salfingofaring, m. Thyroid dan m. Palatofaring, aditus laring tertutup oleh epiglotis dan sfingter laring.

3. fase oesophageal, fase menelan (involuntary) perpindahan bolus makanan ke distal oleh karena relaksasi m. Krikofaring, di akhir fase sfingter esofagus bawah terbuka dan tertutup kembali saat makanan sudah lewat.(6)

III. EPIDEMIOLOGI Prevalensi akalasia sekitar 10 kasus per 100.000 populasi. Namun hingga sekarang, insidens penyakit ini telah cukup stabil dalam 50 tahun terakhir yaitu sekitar 0,5 kasus per 100.000 populasi per tahun. Rasio kejadian penyakit ini sama antara laki-laki dengan perempuan. Menurut penelitian, distribusi umur pada akalasia biasanya sering terjadi antara umur kelahiran sampai dekade ke-9, tapi jarang terjadi pada 2 dekade pertama (kurang dari 5% kasus didapatkan pada anak-anak). Umur rata-rata pada pasien orang dewasa adalah 25-60 tahun.(1,3)

IV. ETIOLOGI Penyebab penyakit ini sampai sekarang belum diketahui. Secara histologik diteraukan kelainan berupa degenerasi sel ganglion plexus Auerbach sepanjang esofagus pars torakal. Dari beberapa data disebutkan bahwa faktor-faktor seperti herediter, infeksi, autoimun, dan degeneratif adalah kemungkinan penyebab dari akalasia.(1,2,3,4,6) TeoriGenetik Temuan kasus akalasia pada beberapa orang dalam satu keluarga telah mendukung bahwa akalasia kemungkinan dapat diturunkan secara genetik. Kemungkinan ini berkisar antara 1 % sampai 2% dari populasi penderita akalasia. Teori Infeksi Faktor-faktor yang terkait termasuk bakteri (diphtheria pertussis, clostridia, tuberculosis dan syphilis), virus (herpes, varicella zooster, polio dan measles), Zat-zat toksik (gas kombat), trauma esofagus dan iskemik esofagus uterine pada saat rotasi saluran pencernaan intra uterine. Bukti yang paling kuat mendukung faktor infeksi neurotropflc sebagai etiologi. Pertama, lokasi spesifik pada esofagus dan fakta bahwa esofagus satu-satunya bagian saluran pencernaan dimana otot polos ditutupi oleh epitel sel skuamosa yang memungkinkan infiltrasi faktor infeksi. Kedua, banyak perubahan patologi yang terlihat pada akalasia dapat menjelaskan faktor neurotropik virus tersebut. Ketiga, pemeriksaan serologis menunjukkan hubungan antara measles dan varicella zoster pada pasien akalasia. Teori Autoimun

Penemuan teori autoimun untuk akalasia diambil dari beberapa somber. Pertama, respon inflamasi dalam pleksus mienterikus esofagus didominasi oleh limfosit T yang diketahui berpefan dalam penyakit autoimun. Kedua, prevalensi tertinggi dari antigen kelas II, yang diketahui berhubungan dengan penyakit autoimun lainnya. Yang terakhir, beberapa kasus akalasia ditemukan autoantibodi dari pleksus mienterikus. Teori Degeneratif Studi epidemiologi dari AS. menemukan bahwa akalasia berhubungan dengan proses penuaan dengan status neurologi atau penyakit psikis, seperti penyakit Parkinson dan depresi. V. PATOFISIOLOGI V.I Neuropatologi Beberapa macam kelainan patologi dari akalasia telah banyak dikemukakan. Beberapa dari perubahan ini mungkin primer (misal : hilangnya sel-sel ganglion dan inflamasi mienterikus), dimana yang lainnya (misal : perubahan degeneratif dari n. vagus dan nukleus motoris dorsalis dari n. vagus, ataupun kelaianan otot dan mukosa) biasanya merupakan penyebab sekunder dari stasis dan obstruksi esofagus yang lama.(1) V. 1.1 Kelainan pada Innervasi Ekstrinsik Saraf eferen dari n. vagus, dengan badan-badan selnya di nukleus motoris dorsalis, menstimulasi relaksasi dari LES dan gerakan peristaltik yang merupakan respon dari proses menelan. Dengan mikroskop cahaya, serabut saraf vagus terlihat normal pada pasien akalasia. Namun demikian, dengan menggunakan mikroskop elektron ditemukan adanya degenerasi Wallerian dari n. vagus dengan disintegrasi dari perubahan aksoplasma pada selsel Schwann dan degenarasi dari sehlbung myeh'n, yang merupakan perubahan-perubahan yang serupa dengan percobaan transeksi saraf.(1) V. 1.2 Kelainan pada Innervasi Intrinsik Neuron nitrergik pada pleksus mienterikus menstimulasi inhibisi disepanjang badan esofagus dan LES yang timbul pada proses menelan. Inhibisi ini penting untuk menghasilkan peningkatah kontraksi yang stabil sepanjang esofagus, dimana menghasilkan gerakan peristaltik dan relaksasi dari LES. Pada akalasia, sistem saraf inhibitor intrinsik dari esofagus menjadi rusak yang disertai inflamasi dan hilangnya sel-sel ganglion di sepanjang pleksus mienterikus Auerbach.(1,9) V.I.3 Kelainan Otot Polos Esofagus Pada muskularis propria, khususnya pada otot polos sirkuler biasanya menebal pada pasien akalasia. Goldblum mengemukakan secara mendetail beberapa kelainan otot pada pasien

akalasia setelah proses esofagektomi. Hipertrofi otot muncul pada semua kasus, dan 79% dari specimen memberikan bukti adanya degenerasi otot yang biasanya melibatkan fibrosis tapi tennasuk juga nekrosis likuefaktif, perubahan vakuolar, dan kalsifikasi distrofik. Disebutkan juga bahwa perubahan degeneratif disebabkan oleh otot yang memperbesar suplai darahnya oleh karena obstruksi yang lama dan dilatasi esofagus. Kemungkinan lain menyebutkan bahwa hipertrofi otot merupakan reaksi dari hilangnya persarafan.(1)

V. 1.4 Kelainan pada Mukosa Esofagus Kelainan mukosa, di perkirakan akibat sekunder dari statis luminal kronik yang telah digambarkan pada akalasia. Pada semua kasus, mukosa skuamosa dari penderita akalasia menandakan hiperplasia dengan papillamatosis dan hiperplasia sel basal. Rangkaian p53 pada mukosa skuamosa dan sel CD3+ selalu melebihi sel CD20+, situasi ini signifikan dengan inflamasi kronik, yang kemungkinan berhubungan dengan tingginya resiko karsinoma sel skuamosa pada pasien akalasia.(1) V. 1.5 Kelainan Otot Skelet Fungsi otot skelet pada proksimal esofagus dan spingter esofagus atas terganggu pada pasien akalasia. Meskipun peristaltik pada otot skelet normal tetapi amplitude kontraksi peristaltik mengecil. Massey dkk. juga melaporkan bahwa refleks sendawa juga terganggu. Ini menyebabkan esofagus berdilatasi secara masif dan obstruksi jalan napas akut. V.2 Kelainan Neurofisiologik Pada esofagus yang sehat, neuron kolinergik eksftatori melepaskan asetilkolin menyebabkan kontraksi otot dan meningkatkan tonus LES, dimana inhibisi neuron NO/VIP memediasi inhibisi sehingga mengbambat respon menelan sepanjang esofagus, yang menghasilkan gerakan peristaltik dan relaksasi LES. Kunci kelainan dari akalasia adalah kerusakan dari neuron inhibitor postganglionik dari otot sikuler LES.(1) VI. GAMBARAN KLINIK Akalasia biasanya mulai pada dewasa muda walaupun ada juga yang ditemukan pada bayi dan sangat jarang pada usia lanjut. Biasanya gejala yang ditemukan adalah Disfagia merupakan keluhan utama dari penderita Akalasia. Disfagia dapat terjadi secara tiba-tiba setelah menelan atau bila ada gangguan emosi. Disfagia dapat berlangsung sementara atau progresif lambat. Biasanya cairan lebih sukar ditelan dari pada makanan padat.

Regurgitasi dapat timbul setelah makan atau pada saat berbaring. Sering regurgitasi terjadi pada malam hari pada saat penderita tidur, sehingga dapat menimbulkan pneumonia aspirasi dan abses paru Rasa terbakar dan Nyeri Substernal dapat dirasakan pada stadium permulaan. Pada stadium lanjut akan timbul rasa nyeri hebat di daerah epigastrium dan rasa nyeri ini dapat menyerupai serangan angina pektoris. Penurunan berat badan terjadi karena penderita berusaha mengurangi makannya unruk mencegah terjadinya regurgitasi dan perasaan nyeri di daerah substernal. Gejala lain yang biasa dirasakan penderita adalah rasa penuh pada substernal dan akibat komplikasi dari retensi makanan.(1,2,3,7,8,9)

VII. DIAGNOSIS Diagnosis Akalasia Esofagus ditegakkan berdasarkan gejala klinis, gambaran radiologik, esofagoskopi dan pemeriksaan manometrik. VII. 1 Pemeriksaan Radiologik Pada foto polos toraks tidak menampakkan adanya gelembung-gelembung udara pada bagian atas dari gaster, dapat juga menunjukkan gambaran air fluid level pada sebelah posterior mediastinum. Pemeriksaan esofagogram barium dengan pemeriksaan fluoroskopi, tampak dilatasi pada daerah dua pertiga distal esofagus dengan gambaran peristaltik yang abnormal serta gambaran penyempitan di bagian distal esofagus atau esophagogastric junction yang menyerupai seperti bird-beak like appearanc.(2,11)

VII.2 Pemeriksaan Esofagoskopi Esofagoskopi merupakan pemeriksaan yang dianjurkan untuk semua pasien akalasia oleh karena beberapa alasan yaitu untuk menentukan adanya esofagitis retensi dan derajat keparahannya, untuk melihat sebab dari obstruksi, dan untuk memastikan ada tidaknya tanda keganasan. Pada pemeriksaan ini, tampak pelebaran lumen esofagus dengan bagian distal yang menyempit, terdapat sisa-sisa makanan dan cairan di bagian proksimal dari daerah penyempitan, Mukosa esofagus berwarna pucat, edema dan kadang-kadang terdapat tanda-tanda esofagitis aldbat retensi makanan. Sfingter esofagus bawah akan terbuka dengan melakukan sedikit tekanan pada esofagoskop dan esofagoskop dapat masuk ke lambung dengan mudah.(7,12) VII.3 Pemeriksaan Manometrik

Gunanya untuk mem'lai fungsi motorik esofagus dengan melakukan pemeriksaan tekanan di dalam lumen sfingter esofagus. Pemeriksaan ini untuk memperlihatkan kelainan motilitas secara- kuantitatif dan kualitatif. Pemeriksaan dilakukan dengan memasukkan pipa untuk pemeriksaan manometri melalui mulut atau hidung. Pada akalasia yang dinilai adalah fungsi motorik badan esofagus dan sfingter esofagus bawah. Pada badan esofagus dinilai tekanan istirahat dan aktifitas peristaltiknya. Sfingter esofagus bagian bawah yang dinilai adalah tekanan istirahat dan mekanisme relaksasinya. Gambaran manometrik yang khas adalah tekanan istirahat badan esofagus meningkat, tidak terdapat gerakan peristaltik sepanjang esofagus sebagai reaksi proses menelan. Tekanan sfingter esofagus bagian bawah normal atau meninggi dan tidak terjadi relaksasi sfingter pada waktu menelan.(2,12) VIII. DIAGNOSIS BANDING Striktur esofagus Keganasan pada esofagus IX. PENATALAKSANAAN Sifat terapi pada akalasia hanyalah paliatif, karena fungsi peristaltik esofagus tidak dapat dipulihkan kerabali. Terapi dapat dilakukan dengan memberi diet tinggi kalori, medikamentosa, tindakan dilatasi, psikoterapi, dan operasi esofagokardiotomi (operasi Heller).(2) IX. 1 Terapi NonBedah IX. 1.1 Terapi Medikasi Pemberian smooth-muscle relaxant, seperti nitroglycerin 5 mg SL atau 10 mg PO, dan juga methacholine, dapat membuat sfingter esofagus bawah relaksasi dan membantu membedakan antara suatu striktur esofagus distal dan suatu kontraksi sfingter esofagus bawah. Selain itu, dapat juga diberikan calcium channel blockers (nifedipine 10-30 mgSL) dimana dapat mengurangi tekanan pada sfingter esofagus bawah. Namun demikian hanya sekitar 10% pasien yang berhasil dengan terapi ini. Terapi ini sebaiknya digunakan untuk pasien lansia yang mempunyai kontraindikasi atas pneumatic dilatation atau pembedahan. IX. 1.2 Injeksi Botulinum Toksin Suatu injeksi botulinum toksin intrasfingter dapat digunakan untuk menghambat pelepasan asetilkolin pada bagian sfingter esofagus bawah, yang kemudian akan mengembalikan keseimbangan antara neurotransmiter eksitasi dan inhibisi. Dengan menggunakan endoskopi, toksin diinjeksi dengan memakai jarum skleroterapi yang dimasukkan ke dalam dinding esophagus dengan sudut kemiringan 45, dimana jarum dimasukkan sampai

mukosa kira-kira 1-2 cm di atas squamocolumnar junction. Lokasi penyuntikan jarum ini terletak tepat di atas batas proksimal dari LES dan toksin tersebut diinjeksi secara caudal ke dalam sfingter. Dosis efektif yang digunakan yaitu 80-100 unit/mL yang dibagi dalam 20-25 unit/mL untuk diinjeksikan pada setiap kuadran dari LES. Injeksi diulang dengan dosis yang sama 1 bulan kemudian untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Namun demikian, terapi ini mempunyai penilaian terbatas dimana 60% pasien yang telah diterapi masih tidak merasakan disfagia 6 bulan setelah terapi; persentasi ini selanjutnya turun menjadi 30% walaupun setelah beberapa kali penyuntikan dua setengah tahun kemudian. Sebagai tambahan, terapi ini sering menyebabkan reaksi inflamasi pada bagian gastroesophageal junction, yang selanjutnya dapat membuat miotomi menjadi lebih sulit. Terapi ini sebaiknya digunakan pada pasien lansia yang kurang bisa menjalani dilatasi atau pembedahan.(12) IX. 1.3 Pneumatic Dilatation Pneumatic dilatation telah menjadi bentuk terapi utama selama bertahun-tahun. Suatu baton dikembangkan pada bagian gastroesophageal junction yang bertujuan luituk merupturkan serat otot, dan membuat mukosa menjadi intak. Persentase keberhasilan awal adalah antara 70% dan 80%, namun akan turun menjadi 50% 10 tahun kemudian, walaupun setelah beberapa kali dilatasi. Rasio terjadinya perfbrasi sekitar 5%. Jika terjadi perforasi, pasien segera dibawa ke ruang operasi untuk penurupan perforasi dan miotomi yang dilakukan dengan cara thorakotomi kiri. Insidens dari gastroesophageal reflux yang abnormal adalah sekitar 25%. Pasien yang gagal dalam penanganan pneumatic dilatation biasanya di terapi dengan miotomi Heller.(12) IX.2 Terapi Bedah Suatu laparascopic Heller myotomy dan partial fundoplication adalah suatu prosedur pilihan untuk akalasia esofagus. Operasi ini terdiri dari suatu pemisahan serat otot (mis: miotomi) dari sfingter esofagus bawah (5 cm) dan bagian proksimal lambung (2 cm), yang diikuti oleh partial fundoplication untuk mencegah refluks. Pasien dirawat di rumah sakit selama 24-48 jam, dan kembali beraktfitas sehari-hari setelah kira-kira 2 minggu. Secara efektif, terapi pembedahan ini berhasil mengurangi gejala sekitar 85-95% dari pasien, dan insidens refluks postoperatif adalah antara 10% dan 15%. Oleh karena keberhasilan yang sangat baik, perawatan rumah sakit yang tidak lama, dan waktu pemulihan yang cepat, maka terapi ini dianggap sebagai terapi utama dalam penanganan akalasia esofagus. Pasien yang gagal dalam menjalani terapi ini, mungkin akan membutuhkan dilatasi, operasi kedua, atau pengangkatan esofagus (mis: esofagektomi).(9,12)

X. KOMPLIKASI Beberapa komplikasi dan akalasia sebagai akibat an retensi makanan pada esofagus adalah sebagai berikut :l Obstruksi saluran pethapasan Bronkhitis Pneumonia aspirasi Abses para Divertikulum Perforasi esofagus Small cell carcinoma Sudden death.(1)

XI. PROGNOSIS Suatu laparascopic Heller myotomy memberikan basil yang sangat baik dalam menghilangkan gejala pada sebagian besar pasien dan seharusnya lebih baik dilakukan daripada pneumatic dilatation apabila ada ahli bedah yang tersedia. Obat-obatan dan toksin botulinum sebaiknya digunakan hanya pada pasien yang tidak dapat menjalani pneumatic dilatation dan laparascopic Heller myotomy. Follow-up secara periodik dengan menggunakan esofagoskopi diperiukan untuk melihat perkembangan tejadinya kanker esofagus.(8,12)

DAFTAR PUSTAKA 1. Ritcher, I.E. Achalasia. In : Castell, D. O, Ritcher, I.E. The Esophagus, 4th edition. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. 1999. Pg. 221 -6 2. Siegel, Leighton G. Penyakit Jalan Napas Bagian Bawah, Esofagus dan Mediastinum : Pertimbangan Endoskopik. Dalam: Adams, G. L., Boies, Lawrence R., Higler, P. A. BOIES Buku Afar Penyakit THT, edisi 6. Jakarta : EGC Penerbit Buku Kedokteran. 1998. Hal. 455,462-4 3. Sjamsuhidajat R., Wim de long. Buku Ajar Itmu Bedah. Jakarta : EGC. 1997. Hal. 676-9 4. Emslie D, Smith, et all. Textbook of Physiology, 11th edition. London : Churchill Livingstone, English Language Book Society. 1988. Pg. 239-52 5. Ballenger J. Jacob. Esofagologi. Dalam : Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher, Edisi 13, Jilid 2. Jakarta: Binarupa Aksara. 1997. Hal. 645-76

6. Soepardi, Efiaty A., Iskandar, Nurbaiti. Buku Ajar llmu Kesehatan Telinga-HidungTenggorok Kepala Leher. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI. 2001. Hal: 240-2 7. Ali A. Ismail. Akalasia. Dalam : Suyono Slamet Prof.Dr.Sp.PD.KE. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid ll. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2001. 8. Patti, Marco. Achalasia. www.emedicine.com. 2005. Accessed on: June 7th, 2005. 9. Marks, Jay W., Lee, Dennis. Achalasia. www.medicinenet.com. 2005. Accessed on: June 17th, 2005

10. Lee K.S. MD.FACS. Essential Otolaryngology : Head and Neck Surgery. New York : McGraw-Hill. 2003. Pg. 457 11. Goyal, Raj K. Diseases of The Esophagus. In : Jeffers, J. D., Boynton, S. D. Harrison's Principles of Internal Medicine, 13th edition. New York : McGraw-Hill, Inc. 1994. Pg. 1358 12. Finley R.J. Achalasia: Thoracoscopic andLaparoscoptc Myotomi. In : Pearson F.G. MD, Cooper J.D. MD, et all. Esophageal Surgery, 2nd edition. New York : Churchill Livingstone. 2002. Pg. 569-76

Anda mungkin juga menyukai