Anda di halaman 1dari 325

DIGESTIVE SYSTEM

1
ESOFAGUS
ANATOMI
Esofagus merupakan sebuah saluran berupa tabung berotot yang
menghubungkan dan menyalurkan makanan dari rongga mulut ke lambung. Dari
perjalanannya dari faring menuju gaster, esofagus melalui tiga kompartemen dan
dibagi berdasarkan kompartemen tersebut, yaitu Leher (pars servikalis),
sepanjang 5 cm dan berjalan di antara trakea dan kolumna vertebralis. Dada
(pars thorakalis), setinggi manubrium sterni berada di mediastinum posterior
mulai di belakang lengkung aorta dan bronkus cabang utama kiri, lalu membelok
ke kanan bawah di samping kanan depan aorta thorakalis bawah. Abdomen
(pars abdominalis), masuk ke rongga perut melalui hiatus esofagus dari
diafragma dan berakhir di kardia lambung, panjang berkisar 2-4 cm

1. Cervikal : Dari bagian bawah kartilago cricoid (settinggi C6) sampai


suprasternal notch
2. Upper Thoracis : Dari suprasternal notch sampai carina (setinggi T4-T5)
3. Mid Thoracis : Dari bifurcatio trachea sampai esofagus punction
4. Lower Thoracis : 8 cm panjangnya, meliputi abdominal esofagus.
Otot esofagus 1/3 atas adalah otot serat lintang yang berhubungan erat
dengan otot-otot faring, sedangkan 2/3 bawah adalah otot polos (otot sirkular
dan otot longitudinal). Esofagus menyempit pada tiga tempat :
1. Bersifat sfingter (sfingter faringoesofageal), setinggi tulang rawan krikoid pada
batas antara faring dan esofagus (peralihan otot serat lintang -otot polos).
2. Di rongga dada bagian tengah akibat tertekan langsung aorta dan bronkus
utama kiri, tidak bersifat sfingter.
3. Di hiatus esofagus diafragma yaitu tempat hiatus esofagus berakhir di kardia
lambung, murni bersifat sfingter (sfingter gastroesofageal).

A2w| 2
Pada orang dewasa, panjang esofagus apabila diukur dari incivus superior
ke otot krikofaringeus sekitar 15-20 cm, ke arkus aorta 20-25 cm, ke v.
pulmonalis inferior, 30-35 cm, dan ke kardioesofagus joint kurang lebih 40-45
cm. Bagian atas esofagus yang berada di leher dan rongga dada mendapat
darah dari a. thiroidea inferior beberapa cabang dari arteri bronkialis dan
beberapa arteri kecil dari aorta. Esofagus di hiatus esofagus dan rongga perut
mendapat darah dari a. phrenica inferior sinistra dan cabang a. gastrika sinistra.
Pembuluh vena dimulai sebagai pleksus di submukosal esofagus. Di
esofagus bagian atas dan tengah, aliran vena dari plexus esofagus berjalan
melalui vena esofagus ke v. azigos dan v. hemiazigos untuk kemudian masuk ke
vena kava superior. Di esofagus bagian bawah, semua pembuluh vena masuk
ke dalam vena koronaria, yaitu cabang vena porta sehingga terjadi hubungan
langsung antara sirkulasi vena porta dan sirkulasi vena esofagus bagian bawah
melalui vena lambung tersebut.
Pembuluh limfe esofagus membentuk pleksus di dalam mukosa,
submukosa, lapisan otot dan tunika adventitia. Di bagian sepertiga kranial,
pembuluh ini berjalan seara longitudinal bersama dengan pembuluh limfe dari
faring ke kelenjar di leher sedangkan dari bagian dua per tiga kaudal dialirkan ke
kelenjar seliakus, seperti pembuluh limfe dari lambung. Duktus thorakikus
berjalan di depan tulang belakang.
Esofagus dipersarafi oleh saraf simpatis dan parasimpatis. N. vagus bersifat
saraf parasimpatis bagi esofagus, meskipun di bawah leher n. vagus membawa
gabungan saraf simpatis dan parasimpatis. Esofagus pars servikalis dipersarafi
oleh n. laringeus rekuren yang berasal dari n. vagus. Cabang n.vagus dan n.
laringeus rekurens kiri mempersarafi esofagus thorakalis atas. N. vagus kiri dan
kanan berjalinan dengan serabut simpatis membentuk pleksus esofagus.
Persarafan simpatis berasal dari ganglion servikal superior rantai simpatis, n.
splanikus mayor, pleksus aortik thorasikus dan ganglion seliakus.

A2w| 3
Persarafan berasal dari n. vagus & trunkus simpatis servikal.
Secara histologis dinding esofagus terdiri atas 4 lapis, yaitu: membran
mukosa (tunika mukosa); submukosa; muskularis eksterna dan tunika adventisia.
Tidak adanya tunika serosa menyebabkan keganasan pada esofagus lebih cepat
menyebar serta membuat anastomosis dan perbaikan dengan pembedahan
menjadi lebih sulit.

A2w| 4
FISIOLOGI
Fungsi dasar esofagus adalah membawa material yang ditelan dari faring ke
lambung. Yang kedua, refluks gastrik ke esofagus dicegah oleh sfingter bawah
esofagus dan masuknya udara ke esofagus pada saat inspirasi dicegah oleh
sfingter atas esofagus, sfingter atas normalnya selalu tertutup akibat kontraksi
tonik otot krikofaringeus.
Ketika makanan mencapai esofagus, makanan akan didorong ke lambung
oleh gerakan peristaltik. Kekuatan kontraksi peristaltik tergantung kepada
besarnya bolus makanan yang masuk ke esofagus. Gerakan peristaltik esofagus
terdiri dari gerakan peristaltik primer dan gerakan peristaltik sekunder. Gerak
peristaltik primer adalah gerak peristaltik yang merupakan lanjutan dari gerakan
peristaltik pada faring yang menyebar ke esofagus. Gerakan ini berlangsung
dengan kecepatan 3-4 cm/ detik, dan membutuhkan waktu 8-9 detik untuk
mendorong makanan ke lambung. Gerakan peristaltik sekunder terjadi oleh
adanya makanan dalam esofagus. Sesudah gerakan peristaltik primer dan masih
ada makanan pada esofagus yang merangsang reseptor regang pada esofagus,
maka akan terjadi gelombang peristaltik sekunder. Gelombang peristaltik
sekunder berakhir setelah semua makanan meninggalkan esofagus. Esofagus
dipisahkan dari rongga mulut oleh sfingter esofagus proksimal atau sfingter atas
esofagus (upper esopaheal spinchter/ UES), dan dipisahkan dengan lambung
oleh sfingter esofagus distal atau sfingter bawah esofagus (lower esophageal
spinchter/ LES). Sfingter esofagus proksimal terdiri dari otot rangka dan diatur
oleh n. vagus. Tonus dari otot ini dipertahankan oleh impuls yang berasal dari
neuron post ganglion n. vagus yang menghasilkan asetilkolin.
Sfingter esofagus distal yang terletal 2-5 cm di atas hubungan antara
esofagus dan lambung merupakan otot polos. Secara anatomis, strukturnya tidak
berbeda dengan esofagus tetapi secara fisiologis berbeda oleh karena dalam
keadaan normal sfingter selalu konstriksi.

A2w| 5
Proses menelan dapat di bagi menjadi 3 tahap yaitu :
1. Faseoral, yang mencetuskan proses menelan
Fase oral terjadi secara sadar. Makanan yang telah dikunyah dan bercampur
dengan liur akan membentuk bolus makananmelalui dorsum lidah ke
orofaring akibat kontraksi otot intrinsik lidah. Kontraksi m. levator veli palatini
mengakibatkan rongga pada tekukan dorsum lidah diperluas, palatum mole
dan bagian atas dinding posterior faring (Passavant's ridge) terangkat
penutupan nasofaring akibat kontraksi m. levator veli palatine kontraksi m.
Palatoglosusismus fausium tertutupkontraksi m. palatofaring, sehingga
bolus makanan tidak akan berbalik ke rongga mulut.
2. Fase faringeal, terjadi secara refleks pada akhir fase oral, membantu jalannya
makanan dari faring kedalam esophagus. Faring dan taring bergerak ke atas
oleh kontraksi m.stilofaring, m. salfingofaring, m.tirohioid dan m. palatofaring.
Aditus laring tertutup oleh epiglotis, sedangkan ketiga sfingter laring, yaitu
plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan plika vokalis tertutup karena
kontraksi m. ariepiglotika dan m. aritenoid obligespenghentian aliran udara
ke laring karena refleks yang menghambat pernapasan (bolus tidak akan
masuk ke sal.nafasmeluncur ke arah esofagus.
3. Fase esofageal, fase involunter lain yang mempermudah jalannya makanan
dari esofagus ke lambung. Rangsangan makanan pada akhir fase
faringealrelaksasi m. krikofaring introitus esofagus terbuka dan bolus
makanan masuk kedalam esofagus. sfingter berkontraksi > tonus introitus
esofagus saat istirahat,refluks dapat dihindari. Akhir fase esofageal sfingter
ini akan terbuka secara refleks ketika dimulainya peristaltik esofagus servikal
untuk mendorong bolus makanan ke distal. Selanjutnya setelah bolus
makanan lewat, maka sfingter ini akan menutup kembali.

A2w| 6
AKALASIA ESOFAGUS
Akalasia diterjemahkan dari bahasa Yunani dan berarti „kurang mengendor‟ 
Penyakit esofagus di mana sfingter esofagus bawah gagal berelaksasi.
Dikenalkan oleh Thomas Willis (1672).
Akalasia (Esophageal aperistaltis, megaesofagus) adalah gangguan atau
hilangnya peristaltik esofagus dan kegagalan sfingter kardioesofagus untuk
relaksasi sehingga makanan tertahan di esofagus  hambatan makanan masuk
ke dalam lambung sehingga  dilatasi esofagus menjadi megaesofagus.
Definisi : Gangguan motorik primer pada esofagus akibat Gangguan/hilangnya
peristaltik esofagus, Ketidakmampuan sfingter bawah esofagus untuk melemas
dan membuka pada proses menelan
EPIDEMIOLOGI
Ditemukan pada semua golongan usia, rata-rata pada rentang usia 30-60
tahun dengan puncak insidens pada usia 40 tahun. Perbandingan pria dan
wanita yang menderita 1:1 dan 5% kasus ditemukan pada anak-anak.
ETIOLOGI
Penyebab akalasia masih belum diketahui dengan jelas. Namun ada
beberapa teori tentang etiologi akalasia yang masih bertahan yaitu: teori familial,
autoimun dan infeksi. > 1% kasus akalasia bersifat familial, yang menunjukkan
diturunkan secara resesif autosomal. Adanya sel T di sel ganglion esofagus
mendukung proses autoimun sebagai penyebab akalasia. Terdapat hubungan
antara akalasia dan class II histocompatibility antigen Dqw1.
Kesamaan antara akalasia dan penyakit Chagas yang disebabkan oleh
Trypanosoma cruzi meunjukkan adanya kemungkinan infeksi sebagai penyebab.

PATOFISIOLOGI
Akalasia memiliki karakteristik tekanan tinggi pada eofagus, sfingter bawah
esofagus yang tidak dapat berelaksasi dan esofagus yang mengalami dilatasi
dan tidak memiliki peristaltik. Secara patologi, esofagus hanya menunjukkan
dilatasi minimal pada awalnya, namun lama kelamaan dapat menjadi seluas 16
cm. Secara histologis, abnormalitas utama berupa hilangnya sel ganglion di
pleksus mienterikus (pleksus Auerbach) pada esofagus distal. Beberapa lesi
neuropatik lain juga dapat ditemukan, antara lain: a). Inflamasi atau fibrosis
pleksus myenterikus pada awal penyakit, b). Penurunan varikosa serabut saraf
pleksus myenterikus, c). Degenerasi n. Vagus, d). Perubahan di dorsal nukleus
motoris n. Vagus dan f). Inklusi intrasitoplasma yang jarang pada dorsal motor
nukleus vagus dan pleksus myenterikus. Segmen esofagus di atas sfingter
esofagogaster (LES) yang panjangnya berkisar antara 2-8 cm menyempit dan
tidak mampu berelaksasi. Esofagus bagian proksimal dari penyempitan tersebut
mengalami dilatasi dan perpanjangan sehingga akhirnya menjadi megaesofagus
yang berkelok-kelok. Bentuk esofagus sangat bergantung pada lamanya proses,
bisa berbentuk botol, fusiform, samapai berbentuk sigmoid dengan hipertrofi
jaringan sirkuler dan longitudinal. Mukosa dapat mengalami peradangan akibat
rangsangan retensi makanan.

A2w| 7
GAMBARAN KLINIS
Gejala utama akalasia adalah disfagia, regurgitasi, rasa nyeri (chest pain)
atau tidak enak di daerah retrosternal dan penurunan berat badan. Disfagia,
merupakan gejala paling umum pada penderita akalasia, baik makanan padat
ataupun cair berakibat disfagia meskipun makanan padatlah yang paling sering
dikeluhkan pasien menimbulkan disfagia.
Disfagi : Rasa penuh/mengganjal (hilang timbul / makin lama makin berat)
Makan perlahan, minum banyak, Makanan hangat  dingin Makanan padat 
cair, Makanan dingin lebih sulit lewat cairan > sulit dari padat
Regurgitasi : Regurgitasi setelah terjadi mega-esofagusAspirasi pneumoni
Saat baring (pada malam hari pasien terbangun)
Kompresi : Sudah dilatasi hebat, Rasa rasa tidak enak di substernum, Sesak
napas. Predisposisi karsinoma esofagus
Sekitar 25-50% pasien disfagia melaporkan adanya episode nyeri dada yang
sering dipicu saat sedang makan.nyerinya khas yaitu di aerah retrosternal, gejala
ini lebih sering dijumpai pada pasien awal atau yang di sebut vigorous achalasia.
Seiring perjalanan penyakit, aspirasi akan semakin sering, akibatnya beberapa
pasien akan datang dengan gejala pneumonia atau pneumonitis. Abses paru,
bronkiektasis dan hemoptisis termasuk penyakit paru berat yang dihubungkan
dengan aspirasi akibat akalasia. Keadaan gizi pada penderita akalasia biasanya
baik pada awalnya dan kemudian mundur pada tahap lanjut.
Type of Achalasia Motility
1. Primer Achalasia
• sel ganglion Plexus Auerbach/Mienterikus (-)
• Tidak ada peristaltik esofagus & relaksasi LES.
• Beak-like appearance pd esofagografi.
• Onset dysfagia sejak usia dini.

2. Secondary Achalasia
• Tidak ada peristaltik  tumor, inflamasi/infeksi
gastoresofial junction.
• Beak-like appearance dg dilatasi esofagus
• Onset dysfagia < 6 bl dimulai saat Dewasa/Tua
(>60th).
• Berat badan sering menurun

Beda Akalasia:
Striktur: Pada endoskopi, mukosa menyempit
dan alat tidak bisa melewati daerah striktur.
Tumor: Pada endoskopi, tampak massa tumor,
dan sering terjadi perdarahan.

A2w| 8
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Foto thorax Dilatasi esofaghus di belakang jantung, Gelembung udara di
esofagus dapat terlihat kecil atau tidak ada.
2. Barium meal dilakukan sebelum endoskopi untuk identifikasi, dimana
disfagia pada keganasan mudah terjadi perforasi karena alat endoskopi.
Esofagus berdilatasi dan material kontras masuk ke dalam lambung secara
perlahan-lahan bagian distal menyempit  gambaran paruh burung (bird’s
beak), ini berbeda dengan ’rat tail appearance’ karsinoma esofagus.
3. Endoskopi untuk menyingkirkan keganasan sehingga harus dilakukan
pada pasien akalasia ”Rat Tail Appearance”. Pada Striktur, alat
kemungkinan tidak bisa melewati daerah striktur.
4. Manometri  Gold Standart diagnosis akalasia. Pada akalasia didapatkan
tekanan istirahat sfingter kardia yang tinggi, relaksasi yang tidak
sepenuhnya pada saat menelan dan tidak adanya peristaltik di esofagus
distal, simultaneous, amplitudo rendah, single-peaked, kontraksi peristaltik
yang luas dan tekanan positif gastroesofageal yang tajam.
5. Monitoring PH esofagus bagian bawah, diperlukan untuk menyingkirkan
gastroesophageal reflux disease (GERD). Jika ditemukan ada GERD, maka
kontra indikasi penatalaksanaan dilatasi pneumatik.
6. CT scan dengan tambahan kontras dapat mendemonstrasikan gambaran
kasar abnormalitas esofagus yang berhubungan dengan akalasia.

Gambar 4. gambaran paruh burung


(bird’s beak) dengan barium meal.

Esofagografi :
• Dilatasi di proksimal, kardioesofageal
sempit  "bird beak” atau “ Mouse Tail “
• Grade I : dilatasi < 4 cm,
II : 4-6 cm,
III : > 6 cm
IV : dilatasi hebat, berkelok,
sigmoid

DIAGNOSIS BANDING
Striktur benigna pada esofagus bawah dan karsinoma di dekat sambungan
gastroesofagus harus dibedakan dari akalasia. Esofagoskopi, pada tumor
ditemukan Infiltrasi karsinoma intramural (massa Tumor), pada striktur
kemungkinan alat endoskopi tidak bisa melewati daerah striktur. Kondisi yang
mirip akalasia ditemukan pada komplikasi dari penyakit Chaga‟s (American
trypanosomiasis). Pada kondisi ini tidak ditemukan segmen aganglionik, atau
pada akalasia yang berhubungan dengan diabetes dan keganasan tertentu.
A2w| 9
PENATALAKSANAAN
Terapi Konservatif (oral, dilatasi pneumatik, injeksi toksin botulinum) dan Terapi
Bedah (miotomi Heller).
Konservatif:
 Terapi oral (kapsul atau pil) :
Untuk mengendorkan sfingter esofagus dan diberikan sebelum makan. Bersifat
sementara dan tidak memperbaiki gejela secara bermakna. Efek samping, sakit
kepala, hipotensi dan edema kaki. Indikasi: tahap awal, tidak ada rencana
operasi, dan injeksi toksin botulinum. Ca channel blocker (verapamil,nifedipine),
agen antikolinergik (cimetropum bromide), nitrat (isosorbid dinitrat) dan opioid
(loperamide).
 Toksin botulinum :
Disuntikkan ke LES saat endoskopi, bekerja menghambat pelepasan asetilkolin
di sfingter bawah esofagus  relaksasi otot sfingtermakanan mudah masuk ke
lambung.
Dilatasi pneumatik (balloning) :
Memasukkan balon ke esofagus untuk meregangkan sfingter, dengan Anestesi
lokal.
Operatif:
 Esofagomiotomi :
Terapi yang optimal yang dilakukan pertama kali oleh Earnest Heler (1913).
Prosedur ini dapat membedakan dengan tepat otot sirkuler dan longitudinal pada
esofagus bawah, dan memperbaiki obstruksi fungsi esofagus bawah. Dilakukan
secara transtorakal atau minimal invasif laparoskopi.
Kontra indikasi: pasien dengan penyakit kardiopulmoner berat atau pun keadaan
lain yang beresiko untuk tindakan pembiusan. Pilihan terapi untuk pasien
tersebut adalah Terapi Konservatif.

Skema esofagomiotomi Heller. A. Miotomi esofagus dari v. Pulmonalis inferior hingga sfingter bawah esofagus
dan 1-1,5 cm ke dinding lambung, B. Mukosa dimobilisasi > 50% sekeliling esofagus. C. Penjahitan untuk
mendekatkan otot esofagus & fundus gaster, D. Setelah operasi

A2w| 10
A2w| 11
Teknik Operasi
Cara tradisional dalam miotomi Heller yaitu melakukan torakotomi kiri pada
ruang interkostal VII. Esofagus distal dan proksimal dimobilisasi. Otot sirkuler
dan longitudinal diinsisi dari inferior v. Pulmonalis menyilang dengan
persambungan gastroesofagus melengkapi miotomi dengan jarak yang
bervariasi ke dalam lambung. Otot dipisahkan dari lapisan mukosa sehingga
memungkinkan lapisan mukosa yang kuat menonjol. Miotomi yang panjang
memungkinkan gangguan pada sfingter esofagus bawah memulihkan disfagia
namun meningkatkan resiko refluks. Untuk mengoptimalkan hasilnya, banyak
ahli bedah menambahkan funduplikasi parsial pada miotomi yang panjang. Dada
ditutup setelah itu di pasang chest tube dan pasien dirawat 4 hingga 7 hari.
Laparoskopi miotomi Heller saat ini merupakan prosedur yang optimal,
hasilnya sangat baik dan hanya sedikit morbiditas yang ditimbulkan. Prosedur ini
harus dilakukan oleh ahli bedah dengan kemampuan laparoskopik yang baik dan
berpengalaman. Prosedur ini dilakukan dengan pembiusan total, dan
memerlukan 5 trokar laparoskopi. Peritonium di atas esofagus distal dipisahkan
dan esofagus anterior akan terlihat setelah memasuki pneumoperitoneum. N.
Vagus anterior diidentifikasi dan diamankan. Dengan pembesaran laparoskopis,
otot longitudinal dan sirkular dipisahkan secara hati-hati untuk membuat lapisan
mukosa nampak. Setelah itu miotomi diperluas ke proksimal 6 cm dari
sambungan gastroesofagus dan ke distal sepanjang 1 cm kedalam lambung
bagian proksimal. Pemisahan otot dari mukosa memungkinkan mukosa
mengalami penonjolan. Endokopi fleksibel intraoperatif kemudian dilakukan
untuk memastikan tidak adanya obstruksi distal lebih lanjut. Miotomi dapat
dengan mudah diperluas jika dibutuhkan hingga LES diablasi. Udara kemudian
dimasukkan ke esofagus untuk menyelidiki ada atau tidaknya perforasi. Setelah
proses miotomi selesai dilanjutkan dengan prosedur antirefluks yaitu fundoplikasi
parsial. Setelah trokar di lepaskan , 0,5-1 cm insisi tersebut dijahit dengan
benang yang dapat diabsorpsi. Pemasangan NGT tidak diperlukan, dan
malamnya pasien dapat memulai makan makanan cair. Nyeri postoperatif,
pemulihan dan kembalinya pasien bekerja sama seperti setelah prosedur
kolesistektomi laparoskopi.
KOMPLIKASI
- Akalasia yang tidak ditanganiinhalasi material dari esofagus pada malam hari
(nokturnal) dan pneumonia aspirasi.
- Penanganan akalasiamengakibatkan perforasi dan refluks gastroesofagus.
- Kronis  Karsinoma esofagus (2-7 % pasien).
PROGNOSIS
Perbaikan gejala obstruksi dapat diperoleh pada prosedur dilatasi dan
operasi sekurang-kurangnya 85-90% pasien. Prosedur Heller dapat mengatasi
obstruksi namun juga dapat berakibat pada timbulnya refluks gaastroesofagus.
Akan lebih baik jika dilakukan esofagoskopi secara berkala pada semua pasien
karena terapi yang berhasil pun tidak mengurangi resiko kanker esofagus pada
pasien akalasia.

A2w| 12
KARSINOMA ESOFAGUS
Gambaran Klinis.
Ada beberapa gejala klinis yang sering ditemukan pada karsinoma esofagus :
1. Dysfagia : gejala yang paling sering, dari yang ringan sampai progresif.
2. Regurgitasi : gejala kedua terbanyak menunjukkan suatu obstruksi berupa
ketidaklancaran aliran makanan dari esofagus ke lambung.
3. Penurunan berat badan : Takut makan  keadaan gizinya memburuk.
4. Hematemesis melena : adanya perdarahan pada tumor esofagus.
5. Anemia : Karena perdarahan atau defisiensi esofagus nutrisi.
6. Gejala-gejala lain seperti : nyeri dan suara parau.
Insiden.
Adenocarsinoma esofagus adalah sekitar 5-10% dari carcinoma esofagus,
bahkan di Asia dilaporkan sekitar 15% dari seluruh carcinoma esofagus dan di
negara-negara barat merupakan 50% dari carcinoma esofagus merupakan jenis
adenocarsinoma.
Patogenesis Dan Patologi
Penyebaran tumor pada esofagus dimulai dari subepiteliel dan dapat
muncul sebagai suatu flag submucosa yang besar atau ulcer. Penyebaran
submucosa dapat melebihi 5 cm dari masa tumor primer. Penyebaran
selanjutnya dari tumor adalah infiltrasi langsung ke organ lain yang berdekatan
dengan esofagus melalui saluran limfe ke kelenjar limfe regional dan melalui
pembuluh darah.
Adenocarsinoma esofagus terjadi pada mukosa esofagus yang abnormal
dimana pada reaksi terhadap refluks gastroesofageal yang kronik terjadi
metaplastik dari epitel squamous pada esofagus bagian distal menjadi suatu
epitel kolumner yang mengandung sel goblet yang disebut epitel Barret.
Selanjutnya epitel tersebut mengalami dysplasia mulai dari Lao grade dysplasia
sampai high grade dysplasia dan terakhir menjadi carsinoma. Adenocarsinoma
esofagus lebih banyak terjadi pada bagian bawah dari esofagus terutama pada
gastroesofageal junction. Perubahan yang terjadi pada squamous epithel sampai
terjadinya adenocarsinoma adalah sebagai berikut :
Squamous epithel  Esofagitis Metaplasia Displasia Adenocarsinoma
(Barretts esofagus)
Secara mikroskopis dapat ditemukan berupa intestinal type, diffuse sign ring
cells (gastric type) dan poorby differentiated small cell type.
Gastroesofageal Reflux Disease (GERD) merupakan factor yang sangat
penting dalam perkembangan epitel Barret. Sekitar 10% pasien GERD akan
mengalami Barriet Esofagus. Faktor resiko lain dari terjadinya adenocasinoma
adalah alcohol dan tembakau, bahkan helicon bacter pylori diduga juga suatu
factor resiko bagi terjadinya adenocarsinoma.

A2w| 13
Staging karsinoma esofagus system TNM dari Union International Contre
Le Cancer (UICC) yaitu:
T(Tumor) : Tis : Carsinoma in situ
T1 : Tumor invasi pada lamina propria atau submucosa
T2 : Tumor invasi pada muskularis
T3 : Tumor invasi pada lapisan adventitia
T4 : Tumor invasi pada organ lain
N(Nodul) : N0 : Tidak ada pembesaran kelenjar limfe
N1 : Ada pembesaran kelenjar limfe regional
M(Metastase) : M0 : Tidak ada metastase
M1 : Ada metastase

A2w| 14
A2w| 15
A2w| 16
A2w| 17
A2w| 18
GASTER / LAMBUNG
ANATOMI
Lambung merupakan suatu organ yang terletak antara esophagus dengan
duodenum, terletak pada region epigastrium dan merupakan organ intraperitonel.
Berbentuk menyerupai huruf J dan terdiri dari fundus, corpus dan pylorus.
Memiliki 2 buah permukaan yaitu permukan anterior dan posterior serta memiliki
2 buah kurvatura yaitu mayor dan minor. Lambung memiliki dua buah orifisium
yaitu orifisium kardia dan pilori.

Permukaan anterior lambung berhubungan dengan diafragma, lobus kiri


dari hepar serta dinding anterior abdomen. Permukaan posterior berbatasan
dengan aorta, pancreas, limpa, ginjal kiri, kelenjar supra renal serta mesokolon
transversum. Suplai pembuluh darah berasal dari beberapa arteri utama yaitu:
1. A.Gastrika kiri, cabang aksis coeliacus berjalan sepanjang kurvatura minor.
2. A.Gastrika kanan, cabang a.hepatica, beranastomose dengan a.gastrika kiri.
3. A.Gastroepiploika kanan, cabang a.gastroduodenal yang merupakan cabang
a.hepatica, memperdarahi lambung yang berjalan pada kurvatura mayor.
4. A.Gastroepiploika kiri, cabang a.lienalis dan beranastomosis dengan a.
gastroepploika kanan.
5. Pada fundus terdapat a. gastrika brevis, cabang dari arteri lienalis.

A2w| 19
Aliran vena lambung mengikuti nama dari arteri arteri yang memperdarahi
lambung dan aliran vena lambung akan menuju ke vena porta. Aliran limfe
lambung juga mengikuti daerah daerah yang diperdarahi arteri arteri lambung.
Pada daerah yang diperdarahi cabang arteri lienalis maka aliran limfe akan
bermuara ke hilus lienalis, sedangkan pada sepanjang arteri gastrika kiri akan
bermuara ke limfe sekitar aksis coeliakus. Daerah kurvatura mayor akan
bermuara ke limfe nodus subpilorik yang selanjutnya bermuara ke limfe nodus
coeliacus.

Anatomi kelenjar limfe lambung


Lambung mendapatkan innervasi dari nervus vagus, baik nervus vagus
anterior dan posterior masuk kedalam cavum abdominalis melalui hiatus
esophagus. Vagus anterior akan menginervasi bagian lambung di sepanjang
kurvatura minor dan permukaan anterior lambung. Sedangkan vagus posterior
akan menginervasi permukaan posterior .

Anatomi, Innervasi Lambung.

A2w| 20
A2w| 21
FISIOLOGI
Secara histologi, lambung terdiri atas 5 lapisan,yaitu: mukosa, submukosa,
muskularis, subserosa & serosa. Pada cardia terdapat kelenjar yang
menghasilkan musin/lendir. Fundus dan corpus merupakan 4/5 dari permukaan
lambung memiliki 3 macam sel, yaitu:
- Sel musin yang menghasilkan lendir, terutama terletak di bagian atas
- Sel utama menghasilkan pepsinogen
- Sel parietal menghasilkan HCl dan faktor intrinsik Castle. Jika bercampur
dengan faktor ekstrinsik akan membentuk vitamin B12 (faktor antianemia).
Juga ditemukan sel argentafin yang tersebar, yaitu sel yang dapat dipulas
dengan perak dan mempunyai fungsi endokrin.
Mukosa, lapisan dalam lambung tersusun dari lipatan-lipatan longitudinal yang
disebut rugae, sehingga dapat berdistensi waktu diisi makanan.
Submukosa, Jaringan areolar yang menghubungkan lapisan mukosa dan
muskularis bergerak bersama gerakan peristaltik mengandung pleksus saraf,
pembuluh darah dan saluran limfe.
Muskularis,tiga lapis otot polos: lapisan longitudinal (luar), lapisan sirkular
(tengah) & lapisan oblik (dalam)memecahkan, mengaduk & mencampur
dengan cairan lambung, dan mendorongnya ke arah duodenum.
Serosa/Subserosa Merupakan bagian dari peritoneum viseralis. Dua lapisan
peritoneum viseralis menyatu pada kurvatura minor lambung dan duodenum dan
memanjang ke arah hati, membentuk omentum minus.
Fungsi lambung sebagai berikut :
A. Fungsi motorik :
 Fungsi Reservoir : Menyimpan makanan.
 Fungsi Mencampur : Memecahkan menjadi pertikel kecil dan mencampurnya
dengan getah lambung melalui kontraksi otot yang mengelilingi lambung.
 Fungsi Pengosongan: Pengosongan diatur oleh faktor saraf dan hormonal.
B. Fungsi pencernaan dan sekresi :
 Pencernaan protein oleh pepsin dan HCL dimulai disini.
 Sintesis & skresi gastrin dipengaruhi oleh protein yang dimakan,peregangan
antrum,alkalinisasi antrum dan rangsangan vagus.
 Sekresi faktor intrinsikabsorpsi vitamin B12 dari usus halus bagian distal.
 Sekresi mukusMelindungi lambung & sebagai pelumas.
Faktor pertahanan mukosa gastro-duodenal
Epitel lambung diiritasi oleh 2 faktor yaitu endogen (HCL,pepsinogen/ pepsin &
garam empedu) dan eksogen (obat-obatan,alkohol dan bakteri), maka terdapat
sistem pertahanan mukosa gastroduodenal yang terdiri dari :
 Lapisan pre epitel: Berisi mukus bikarbonat (air 95% & lipid glikoprotein)
sebagai rintangan fisikokemikal terhadap molekul seperti ion hydrogen.
 Sel epitel : Menghasilkan mukus,transportasi ionik sel epitel serta produksi
bikarbonatmempertahankan pH (6-7) intraseluler, intracellular tight junction.
 Sub epitel : Sistem mikrovaskuler dalam lapisan submukosa lambung adalah
komponen kunci dari pertahanan sub epitel.
A2w| 22
Fisiologi Sekresi Lambung
Fase sefalik. Menghasilkan sekitar 10% dari sekresi lambung normal yang
berhubungan dengan makanan. Penglihatan,penciuman dan rasa dari makanan
merupakan komponen fase sefalik melalui perangsangan nervus vagus.Sinyal
neurogenik yag menyebabkan fase sefalik berasal dari korteks serebri atau pusat
nafsu makan.
Fase Gastrik. Terjadi pada saat makanan masuk kedalam lambung,komponen
sekresi adalah kandungan makanan yang terdapat didalamnya (asam amino dan
amino bentuk lainnya) yang secara langsung merangsang sel G untuk
melepaskan gastrin yang selanjutnya mengaktifasi sel-sel parietal melalui
mekanisme langsung maupun tidak langsung.Peregangan dinding lambung
memicu pelepasan gastrin dan produksi asam.
Fase intestinal. Sekresi asam lambung dimulai pada saat makanan masuk
kedalam usus dan diperantarai oleh adanya peregangan usus dan pencempuran
kandungan makanan yang ada.

A2w| 23
A2w| 24
A2w| 25
A2w| 26
Gastro Esofageal Refluks Disease ( GERD )
Pendahuluan
Penyakit Gastroesofageal refluks (Gastroesophageal refluks disease/GERD)
adalah suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks cairan lambung ke dalam
esophagus, dengan berbagai gejala yang timbul akibat keterlibatan esophagus,
faring, laring, dan saluran nafas yang dapat menimbulkan berbagai gejala di
esophagus maupun ekstra esophagus, dari ringan sampai berat.
Gejala Klinis.
Keluhan rasa terbakar dan nyeri dada di bagian tengah, yang kemudian disusul
dengan timbulnya rasa seperti muntah dengan mulut masam (regurgitasi). Rasa
terbakar tersebut dirasakan terutama pada waktu makan, dan dirasakan
sepanjang hari. Selain keluhan tersebut juga timbul rasa panas dan pedih di ulu
hati, mual, bahkan sering disusul dengan muntah. Walaupun demikian ada tiga
keluhan utama yang sering diajukan pada panderita, yaitu : rasa panas dan
pedih di dada bagian tengah, regurgitasi, dan disfagia. Penyebab dari keluhan
tersebut di atas adalah sebagai akibat dari gangguan motilitas di esophagus, dan
di lambung. Gangguan motilitas di esophagus biasanya terjadi karena tonus
sfingter bagian distal esophagus menurun. Sedangkan gangguan motilitas di
lambung karena berkurangnya peristaltik terutama di antrum dan pylorus
sehingga waktu pengosongan lambung menurun.
Sfingter esophagus bagian distal berperanan penting sebagai mekanisme
anti refluks pada kardia. Jadi, berkurangnya tonus sfingter esophagus bagian
distal, maka peristaltik di kardia akan terganggu atau lambat membuka, sehingga
makanan / minuman terasa lambat turunnya, bahkan dapat menyebabkan
timbulnya refluks. Berbagai faktor yang dapat menyebabkan berkurangnya tonus
esophagus bagian distal adalah : makan yang berlemak, merokok, obat – obatan
diantaranya : antikholinergik, aminofilin, benzodiazepine, nitrate.
Pada penderita dengan keluhan GER, tidak hanya terjadi sebagai akibat
berkurangnya tonus sfingter esophagus bagian distal, tetapi juga disertai
berkurangnya peristaltik di antrum dan pylorus, sehingga waktu pengosongan
lambung menjadi lambat. Faktor esophagus dan lambung mempunyai peran
penting dalam terjadinya GER. Oleh karena itu selain timbulnya keluhan rasa
terbakar atau rasa panas dan pedih di dada bagian tengah terutama waktu
makan atau minum, juga timbul keluhan lain yaitu merasa panas dan pedih di
hati, mual, muntah, mulut terasa masam atau pahit, dan merasa cepat kenyang.
Kadang – kadang GER dapat menimbulkan keluhan rasa nyeri di dada yang
disertai rasa seperti kejang yang menjalar ke tengkuk, bahu atau lengan sehinga
menyerupai keluhan seperti angina pektoris. Keluhan ini timbul sebagai akibat
rangsangan kemoreseptor pada mukosa. Mungkin juga rasa nyeri di dada
tersebut disebabkan oleh dua mekanisme yaitu adanya gangguan motor
esophageal dan esophagus yang hipersensitif. Oleh karena itu kondisi demikian
terdapat pada esophagus yang sensitif mekanik. Yang jelas bahwa esophagus
hanya sensitif pada satu faktor saja, yaitu pengaruh asam atau rangsangan
mekanik.

A2w| 27
Gangguan motilitas
Bersihan esofagus

ASAM
Tekanan lambung
Barier anti refluk
REFLUKS
tidak berfungsi

Pengosongan
lambung Lambung dilatasi

Refluk empedu

Patogenesis
Ada 4 faktor yang berperanan untuk terjadinya GER dan esofagitis – refluks :
1. Anti-Refluks Barrier
Esophagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi yang
dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES). Pada individu
normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran
antegrad yang terjadi pada saat menelan, atau aliran retrograd yang terjadi pada
saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke esophagus melalui LES
hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3 mmHg). Peran
terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya tonus LES
menyebabkan refluks retrograd pada saat terjadinya peningkatan tekanan intra
abdomen. Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang
normal. Faktor – faktor yang menurunkan tonus LES yaitu adanya hiatus hernia,
panjang LES (makin pendek LES, makin rendah tonusnya), obat – obatan
(antikolinergik, beta-adrenergik, theofilin, opiat, dan lain – lain), faktor hormonal.
Pada pemeriksaan manometri, tampak bahwa pada kasus–kasus GERD
dengan tonus LES yang normal yang berperan dalam terjadinya proses refluks
ini adalah transient LES relaxation (TLESR), yaitu relaksasi LES yang bersifat
spontan yang berlangsung lebih kurang 5 detik tanpa didahului proses menelan.
Hubungan antara hernia hiatus dan GER masih controversial, meskipun 50–
60% penderita dengan hiatus hernia menunjukkan tanda esofagitis secara
endoskopik, sekitar 90 % esofagitis disertai dengan hiatus hernia. Ini
menunjukkan bahwa hiatus hernia merupakan faktor penunjang terjadinya GER
karena kantong hernia mengganggu fungsi LES, terutama pada waktu
mengejan. Dewasa ini LES terbukti memegang peranan penting untuk
mencegah terjadinya GER. Namun harus diingat bahwa refluks bisa saja terjadi
pada tekanan SED yang normal. Ini yang dinamakan “Inappropriate”, atau
“Transient Sphincter Relaxation”, yaitu pengendoran sfingter yang terjadi di luar
proses telan.
- Hernia hiatus → LES inkompeten → Erosif GERD
- Hiatus hernia → TLESRs lebih sering terjadi.

A2w| 28
Faktor hormonal (cholecystokinin, secretin) dapat menurunkan tekanan LES
seperti yang terjadi setelah makan hidangan yang berlemak. Pada kehamilan
dan pada penderita yang menggunakan pil KB yang mengandung progesteron/-
estrogen, tekanan LES juga turun.
2. Isi lambung dan pengosongannya
GER lebih sering terjadi sewaktu habis makan daripada keadaan puasa, oleh
karena isi lambung merupakan faktor penentu terjadinya refluks. Lebih banyak isi
lambung lebih sering terjadi refluks. Selanjutnya pengosongan lambung yang
lamban akan menambah kemungkinan refluks tadi.
3. Daya perusak bahan refluks
Asam pepsin dan mungkin juga asam empedu/lysolecithin yang ada dalam
bahan refluks mempunyai daya perusak terhadap mukosa esophagus.
4. Esophageal Clearing
Bahan refluks dialirkan kembali ke lambung oleh kontraksi peristaltik esophagus
dan pengaruh gaya gravitasi. Proses membersihkan esophagus dari asam
(esophageal acid clearance) ini sesungguhnya berlangsung dalam 2 tahap. Mula
– mula peristaltik esophagus primer yang timbul pada waktu menelan dengan
cepat mengosongkan isi esophagus, kemudian air liur yang dibentuk sebanyak
0,5 ml/menit menetralkan asam yang masih tersisa.

Pemeriksaan penunjang
1. Kontras media barium
Pada pemeriksaan ini diberikan kontras media barium. Perlu diamati secara
fluroskopi jalannya barium di dalam esofagus perlu diperhatikan peristaltik
terutama di bagian distal (sfingter esofagus bagian distal = SED). Bila ditemukan
refluks barium dari lambung kembali ke esofagus maka dapat dinyatakan adanya
GER. Kelainan struktur dari esophagus tersebut sebaiknya dilanjutkan dengan
pemeriksaan endoskopi dan biopsi. Sebaliknya bila ditemukan ada dugaan
kelainan motilitas, sebaiknya dilakukan manometri esofagus, selanjutnya baru
dilakukan pemeriksaan endoskopi.

A2w| 29
2. Endoskopi.
Pemeriksaan endoskopi untuk menentukan ada tidaknya kelainan di
esophagus, misalnya esofagitis, tukak esophagus, akhalasia, striktura, tumor
esophagus, varises di esophagus. Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian
atas merupakan Gold Standart untuk diagnosis GER dengan ditemukannya
mucosal break di esophagus.

A B C
Ket: A. esophagus normal; B. esophagus dengan erosive refluks esofagitis; C.
eosinofil esofagitis.
Klasifikasi Los-Angeles The
The LA
LAClassification
Classificationsystem
system
– Grade A reflux esophagitis
– Grade A reflux esophagitis
Derajat kerusakan Gambaran Endoskopi
Grade One
Grade One(or
(ormore)
more)mucosal
mucosalbreak
breakno
nolonger
longerthan
than55mm,
mm,
A:
A: that
thatdoes
doesnot
notextend
extendbetween
betweenthe
thetops
topsof
oftwo
two
mucosal
mucosalfolds
folds

A Erosi kecil – kecil pada mukosa


esofagus dengan diameter < 5 mm The
The LA
LAClassification
Classificationsystem
system
–– Grade
Grade B
B reflux
reflux esophagitis
esophagitis
Grade
Grade One
One(or
(ormore)
more)mucosal
mucosalbreak
breakmore
morethan
than55mm
mmlong,
long,that
that
B:
B: does
doesnot
notextend
extendbetween
betweenthe
thetops
topsof
oftwo
twomucosal
mucosalfolds
folds
Lundell et al 1999, Published with permission from Professor G Tytgat and Professor J Dent
16
Lundell et al 1999, Published with permission from Professor G Tytgat and Professor J Dent
16

B Erosi pada mukosa/lipatan The


The LA
LAClassification
Classificationsystem
system
mukosa dengan diameter >5 mm –– Grade
GradeCC reflux
reflux esophagitis
esophagitis
tanpa saling berhubungan. Grade
Grade
C:
One
One(or
the
(ormore)
more)mucosal
mucosalbreak
breakthatthatisiscontinuous
continuousbetween
between
C: thetopstopsofoftwo
twoorormore
moremucosal
mucosalfolds,folds,but
butwhich
whichinvolves
involves
less
less than
than 75%
75% ofof the
the circumference
circumference
Lundell et al 1999, Published with permission from Professor G Tytgat and Professor J Dent
17
Lundell et al 1999, Published with permission from Professor G Tytgat and Professor J Dent
17

C Lesi yang konfluen tetapi tidak


mengenai atau mengelilingi seluruh The
The LA
LAClassification
Classification system
system
lumen –– Grade
Grade D
D reflux
reflux esophagitis
esophagitis
Grade
Grade One
One(or
(ormore)
more)mucosal
mucosalbreak
breakwhich
whichinvolves
involvesat
atleast
least
D:
D: 75%
75%of
ofthe
theesophageal
esophagealcircumference
circumference

Lesi mukosa esofagus yang bersifar


Lundell
Lundelletetalal1999,
1999,Published
Publishedwith
withpermission
permissionfrom
fromProfessor
ProfessorGGTytgat
Tytgatand
andProfessor
ProfessorJJDent
Dent
18
18

D sirkumfleksial (mengelilingi seluruh


lumen esofagus)
Lundell et al 1999, Published with permission from Professor G Tytgat and Professor J Dent
19 Lundell et al 1999, Published with permission from Professor G Tytgat and Professor J Dent

3. Pengukuran pH 24 jam dan tekanan esophagus.


19

Pengukuran pH dari esophagus bagian bawah dapat memastikan ada


tidaknya RGE, pH dibawah 4 pada jarak 5 cm di atas LES dianggap diagnostik
untuk GER. Pemeriksaan distribusi normal pH di dalam esophagus telah
menunjukkan bahwa pH esophagus jarang turun di bawah 4 atau naik di atas 7.
Cara lain adalah menggunakan alat yang mencatat secara terus - menerus
selama 24 jam pH intra esophagus dan tekanan manometrik esophagus. Selama
rekaman penderita dapat memberi tanda serangan dada yang dialaminya,
sehingga dapat dilihat hubungan antara serangan dan pH esophagus / gangguan
motorik esophagus.
A2w| 30
4. Manometri esophagus
Tes manometri akan memberi manfaat yang berarti jjika pada pasien – pasien
dengan gejala nyeri epigastrium dan regurgitasi yang nyata di dapatkan
esofagografi barium dan endoskopi yang normal. Manometri esophagus
dilakukan dengan kateter yang berisi air, melalui sisstem mikrokapiler
pneumohidrolik dengan kelenturan rendah, yang secara progresif ditarik dai
esophagus.

Terapi
Tujuan pengobatan adalah untuk menyembuhkan lesi esophagus,
mengurangi/menghilangkan terjadinya refluks, menetralisir bahan refluks,
memperbaiki tekanan LES, mempercepat pembersihan esophagus,
menghilangkan keluhan, mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup,
dan mencegah timbulnya komplikasi. Ada 2 macam pengobatan GERD, yaitu:
--Konservatif : Terapi medikamentosa dan perubahan pola makan.
--Operatif : Terapi pembedahan
1. Pengelolaan konservatif.
Setelah makan jangan cepat berbaring, Hindari mengangkat barang berat,
Hindari pakaian yang ketat, terutama di daerah pinggang, Penderita yang
gemuk, perlu diturunkan berat badan, Biasakan tidur dengan lambung yang tidak
diisi penuh, Tempat tidur di bagian kepala ditinggikan, Sebelum tidur jangan
makan terlalu kenyang, Hindari makanan berlemak, Kurangi atau hentikan
minum kopi, alkohol, coklat, Jangan merokok.
Terapi medikamentosa.
 Antasida
Untuk menghilangkan rasa nyeri dan menetralisir asam lambung. Antasida
kurang memuaskan karena waktu kerjanya singkat dan tidak dapat
diandalkan untuk menetralisir sekresi asam tengah malam. Ada resiko
terjadinya sekresi asam yang melambung kembali (rebound acid secretion),
dan menimbulkan efek samping diare atau konstipasi. Terbatas pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal. Dosis:4x1 sendok makan sehari.
A2w| 31
 Antagonis Reseptor H2
Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan
sampai sedang serta tanpa komplikasi.
Dosis pemberian :
- Simetidin : 2 x 800 mg atau 4 x 400 mg
- Ranitidin : 4 x 150 mg
- Famotidin : 2 x 20 mg
- Nizatidin : 2 x 150 mg
 Penghambat Pompa Proton (PPI)
- Drug of choice dalam pengobatan GERD
- Bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan mempengaruhi
enzim H, K ATP-ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses
pembentukan asam lambung.
- Sangat efektif dalam menghilangkan keluhan serta penyembuhan lesi
esophagus, bahkan pada esofagitis erosive derajat berat serta yang
refrakter dengan golongan antagonis reseptor H2.
- Dosis yang diberikan untuk GERD adalah dosis penuh :
* omeprazole : 2 x 20 mg * pantoprazole : 2 x 40 mg
* lanzoprazole : 2 x 30 mg * esomeprazole : 2 x 40 mg
 Obat – obat prokinetik
Obat prokinetik mempunyai sifat memperbaiki motilitas dan mempercepat
peristaltik saluran makan, di samping meninggikan tekanan LES.
- Betanechol : mempunyai sifat menigkatkan tonus LES, dan kontraksi
lambung. Tetapi pada stasis lambung tidak mempercepat pengosongan
lambung, bahkan dapat menyebabkan kejang abdomen meningkatkan
frekuensi buang air kecil karena mengurangi kapasitas kendung kemih dan
menambah peristaltik ureter.
- Metoclopramid : merupakan senyawa golongan benzamid. Mekanismenya
di saluran cerna yaitu untuk potensiasi efek kolinergik, memberi efek
langsung pada otot polos, dan menghambat dopamin. Secara
farmakodinamik, obat ini memperkuat tonus LES dan meningkatkan
amplitude kontraksi esofagus. Di lambung, memperbaiki koordinasi
kontraksi antrum dan duodenum, sehingga mempercepat pengosongan
lambung. Dosis : 3 x 10 mg
- Domperidon : adalah derivate benzimidazol, dan merupakan antagonis
dopamin perifer yang merangsang motilitas saluran makan serta
mempunyai khasiat anti muntah. Obat ini berkhasiat untuk pengobatan
refluks gastroesofageal, sindroma dyspepsia, gastroparesis, anoreksia
nervosa. Pemberian domperidon akan meningkatkan tonus LES. Di
samping itu akan meningkatkan koordinasi antro-duodenal, yaitu dengan
jalan meningkatkan kontraktilitas serta menghambat relaksasi lambung,
sehingga pengosongan lambung lebih dipercepat. Efek samping
domperidon lebih rendah daripada metoclopramid karena tidak
memperngaruhi reseptor saraf pusat. Dosis : 3 x 10 – 20 mg sehari
A2w| 32
- Cisapride : merupakan derivate benzinamid, dan tergolong obat prokinetik
baru yang memperbaiki gangguan motilitas seluruh saluran makan. Jadi
obat ini mempunyai spektrum luas. Dosis : 3 x 10 mg sehari
 Sukralfat (aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)
Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan pertahanan mukosa esofagus,
sebagai buffer terhadap HCL di esofagus serta dapat mengikat pepsin dan
garam empedu. Golongan obat ini cukup aman diberikan karena diberikan
secara topikal (sitoprotektif). Dosis : 4 x 1 gram

KEUNTUNGAN KERUGIAN

Gejala cepat hilang Potensial Over Treatment


STEP Kegagalan Therapi Rendah
DOWN
Mengurangi biaya Biaya awal tinggi

Mencegah Over Threatmen Ada Keluhan Potensial


STEP UP
Biaya awal rendah

2. Terapi pembedahan
A2w| 33
Indikasi:
1. Terapi medis gagal.
2. Adanya pembentukan striktur yang masih dini atau pembentukan cincin
Schatzki merupakan pernyataan adanya refluks jangka panjang dan
mengharuskan suatu prosedur antirefluks.
3. Adanya metaplasia kolumnar pada esophagus distal, atau esophagus
Barrett, mencerminkan keadaan premalignan dengan dugaan etiologi
akibat GERD yang mungkin juga mengharuskan terapi operatif.
Fundoplikasi baik melalui laparotomi atau torakotomi kini merupakan cara yang
banyak digunakan sampai sekarang karena memberikan hasil yang lebih baik
lebih kurang 85% dan angka kekambuhan refluks kecil (<10%), terdiri atas:
 Mobilisasi esophagus untuk menempatkannya kembali ke dalam abdomen.
 Memfiksasi dinding lambung sekitar esophagus distal (duplikasi).
 Menyempitkan hiatus esophagus.
 Abdomen di eksplorasi melalui insisi di garis tengah, mobilisasi lobus kiri hati
dengan memotong lig. Triangularis, lig.gastrohepatik untuk mobilisasi lengkap
esofagus distal dan melihat hiatus esofagus.
 Ligasi pembuluh darah gastrik yang pendek biasanya harus dihindari, karena
terjadi peningkatan insidensi splenektomisekunder karena cedera iatrogenik
akibat prosedur ini.
 Selanjutnya dilakukan traksi lambung secara berhati – hati dan mobilisasi
esophagus secara tumpul dilakukan dari atas ligamentum gastrohepatik yang
dipotong dalam suatu bidang anterior dari ligamentum akuata medial. Sebuah
drain Penrose harus digunakan untuk mempertahankan retraksi dan reduksi
persambungan gastroesofagus ke dalam rongga abdomen.
 Pada saat tersebut diseksi harus menemukan krura hiatus esofagus dan
memungkinkan mobilisasi posterior fundus lambung. Selanjutnya dilakukan
pemasangan dilator Maloney ukuran 40 – 42 sebelum aproksimasi krura
dilakukan sampai hanya ujung jari telunjuk ahli bedah dapat dimasukkan
bersama dilator ke dalam reparasi hiatus. Tangan kanan ahli bedah
digunakan untuk memasukkan fundus lambung ke belakang esophagus
sampai dapat diraih oleh klem Babcock. Aproksimasi selubung fundus
dilakukan dengan jahitan gastrik seromuskuler sutera 2-0 sepanjang kira –
kira 4 cm. Jahitan yang paling kaudal juga harus mengenai permukaan medial
persmabungan esofagogstrik ke jahitan terbawah dari selubung fundus harus
menghalangi migrasi lambung distal ke sefalad dan mencegah terbentuknya
kantung lambung suprafundus. Saraf fagus harus dikenali, dilindungi, dan
biasanya dimasukkan ke dalam selubung fundus.
 Setelah selesainya fundoplikasi, dilator dilepas dan diganti dengan selang
nasogastrik untuk mendapatkan dekompresi pascaoperasi yang terus
menerus. Fundoplikasi juga harus memungkinkan dimasukkannya jari ahli
bedah ke dalam selubung untuk menjamin bahwa selubung tidak terlalu
sempit dan tidak bertindak sebagai obstruksi esophagus iatrogenik.

A2w| 34
Fundoplikasi melalui pendekatan transtorakalis mengikuti cara yang sama sepert
pendekatan abdominal kecuali bahwa selubung fundus diselesaikan sebelum
reparas krura. Pertimbangan utama dilakukannya pendekatan torakalis adalah
ditujukan pada pasien dengan esofagus distal yang imotil atau esofagus yang
pendek.

A2w| 35
A2w| 36
ALGORITMA PENATALAKSANAAN GERD
Gejala khas GERD
 Heartburn
 Regurgitasi

Gejala alarm
Gejala alarm (-)
(+)

Respons baik
Respons menetap

GERD (+)
Terapi minimal 4
Endoskopi minggu

Kambuh ON DEMAND THERAPY

Diagnosis Banding

Angina pektoris : suatu gejala klinik yang disebabkan oleh iskemia
miokard yang sementara. Ini adalah akibat dari tidak adanya keseimbangan
antara kebutuhan oksigen miokard dengan dan kemampuan pembuluh dara
hkoroner menyediakan oksigen secukupnya untuk kokntraksi mmiokard.
Gejalanya adalah sakit dada sentral atau retrosentral yang dapat menyebar ke
salah satu atau kedua tangan, leher atau punggung.
Angina pektolris di jadikan diagnosis banding karena GER dapat
menimbulkan keluhan rasa nyeri di dada yang kadang – kadang disertai rasa
seperti kejang yang menjalar ke tengkuk, bahu atau lengan sehinga
menyerupai keluhan seperti angina pektoris. Keluhan ini timbul sebagai akibat
rangsangan kemoreseptor pada mukosa. Mungkin juga rasa nyeri di dada
tersebut disebabkan oleh dua mekanisme yaitu adanya gangguan motor
esophageal dan esophagus yang hipersensitif.
Komplikasi
 Barret esophagus
Merupakan penyakit GERD stadium akhir. Kondisi ini ditemukan pada 7
sampai 10 persen pasien dengan GERD. Gangguan parah fungsi korpus
esofagus, da npeningkatan jelas pemaparan asam esovagus. Penyulit tipikal
pada pasien Barret‟s adalah ulseerasi pada segmen yang dilapisi epitel
kolumnar, pembentukan striktur, dan displasia kanker.
A2w| 37
TUMOR GASTER
Insiden
 > Orang tua (50-70 tahun), Perbandingan laki-laki : wanita = 2:1. Pasien
dengan umur muda (< 30 tahun) tumornya lebih agresif dengan prognosis
lebih buruk.
 Setelah tahun 1950, lokasi tumor berpindah dari yang awalnya banyak
ditemukan di antrum ke korpus dan fundus. Dan pada tahun 1976 mulai
banyak ditemukan di kardia dan esophagogastric junction.
 50% tumor terletak di antrum (kurvatura minor), 30% di corpus dan fundus,
25% di cardia, dan 5% mengenai seluruh organ.
 Diagnosa kanker lambung dini sangat jarang (80% tidak ada
keluhan/asimptomatik). Pada umumnya, penderita didiagnosis sudah dalam
stadium lanjut dan sulit disembuhkan.
I. TUMOR JINAK LAMBUNG
1. Tumor jinak epitelBerbentuk polip ( Bertangkai).
a. Adenoma. b. Adenoma Hiperplastik. c.Adenoma Heterotropik
2. Tumor jinak non epitel
a. Tumor Neurogenik. b. Leiomioma. c. Fibroma. d.Lipoma
II. TUMOR GANAS/KARSINOMA LAMBUNG.
Etiologi.
Penyebab kanker lambung adalah multi faktor. Hurst (1929) dan
Konjentzky (1936),orang yang pertama kali melakukan penyelidikan bahwa
adanya perubahan mukosa yaitu proses perubahan transisi dari gastritis menjadi
gastritis atropimetaplasiadisplasiakanker. Beberapa faktor yang
mempengaruhi proses ini :
 Makanan yang mengandung nitrat (makanan yang diasamkan, diasinkan,
diasapkan) didalam lambung dirubah menjadi nitrit, kemudian bereaksi
sekunder dan tertier membentuk senyawa nitrosamin yang merupakan zat
karsinogen. Makanan: sayur/buah yang asam, ikan dan daging asin, dan
makanan diasap.
 Hypo/achlorhydria : terjadi pada gastritis atrofi dan meningkatkan kolonisasi
bakteri lambung. Hal ini menyebabkan formasi nitrit meningkat pada lambung.
 Infeksi Helicobacter pylori yang berkepanjangan menyebabkan gastritis kronik
atrofi. Keadaan ini menyebabkan hypchloridria dan meningkatkan resiko 6 kali
perkembangan suatu kanker lambung.
 Radiasi: orang-orang yang selamat akibat bom atom di Jepang kebanyakan
menderita kanker lambung.
 Infeksi Virus Ebstein-Barr pada sel epitel gaster
 Merokok : perokok 30 batang per hari 5 kali beresiko untuk mendapatkan
kanker lambung.
 Genetik : familial adenomatous polyposis, Non-Polyposis Hereditary Colon
Cancer (NPHCC), golongan darah A.
 Anemia pernisiosa.
 Adenoma lambung
A2w| 38
Secara makroskopis karsinoma lambung diklasifikasikan berdasarkan tipe
morfologisnya :
1. Karsinoma tipe polipoid atau fungating.
2. Karsinoma tipe ulseratif.
3. Karsinoma Campuran ( Ulcerating-Infiltratif).
4. Karsinoma difus infiltratif (tipe linitis plastika)

KLASIFIKASI
Dapat dibagi atas 2 golongan besar , yaitu:
 Early Gastric cancer (Karsioma Lambung Dini)
 Advanced gastric cancer (Karsinoma Lambung Lanjut)
1. Karsinoma lambung dini (Early Gastric Cancer= EGC)
Istilah EGC ini meliputi semua karsinoma yang tidak invasif kedalam lapisan
muskularis dan masih terbatas pada mukosa dan submukosa. EGC dapat
berupa penonjolan dari fokus kecil dan kadang secara diam-diam meluas,
sehingga mengesankan kemungkinan dari gabungan beberapa fokus
(multicentris). Klasifikasi karsinoma lambung menurut Japan Gastroenterological
Endoscopy Society (1962), terbagi atas:
 Tipe I. “Protruted Type”
Polipoid karsinoma yang menyerupai Borrman I, dimana invasi dari sel-sel
karsinoma hanya terbatas pada mukosa, submukosa. Mempunyai bentuk
ireguler, permukaan tak rata, dan adanya perdarahan, dengan atau tanpa
adanya ulserasi pada permukaan.
A2w| 39
 Tipe II. “Superficial Type”Yang masih dapat dibagi atas 3 Subtype, yaitu:
 IIa. “Elevated type”
Terlihat sedikit elevasi dari mukosa lambung. Kriteria gastroskopi hampir
serupa dengan tipe I, terdapat sedikit elevasi tapi lebih meluas atau melebar
 IIb. “Flat type”
Tak terlihat elevasi atau depresi pada mukosa, hanya terdapat perubahan
warna dari mukosa.
 II.c “Depressed type”
Dijumpai tepi yang ireguler, begitu pula permukaan yang ireguler. Adanya
clubbing atau terpotongnya mukosa folds, tepi yang hiperemik atau
hemoragik, mukus yang adherent dengan lapisan yang kotor, residue yang
seperti pulau-pulau (island like residue)
 Tipe III. “ Excavated Type”
Suatu ulkus karsnomatosa yang menyerupai Borrman II dari karsinoma
lambung lanjut.
2. Karsinoma lambung lanjut (Advanced Gastric Cancer= AGCr)
Pada tipe lanjut, sel-sel kanker sudah terjadi perluasan pada lapisan
mukosa, submukosa, muskularis, kadang-kadang sampai lapisan propria dan
serosa. Bahkan sering terjadi infiltrasi atau metastase ke kelenjar limfe atau
organ lainnya. Banyak sekali yang membuat klasifikasi dari tumor ganas ini,
diantaranya:
a. Stout 1969, membuat klasifikasi dari kanker lambung sebagai berikut:
1. Polypod type; mempunyai bentuk seperti polip yang sangat besar
2. Fungating type; elevasi di permukaan mukosa yang kadang-kadang terjadi
ulserasi
3. Penetrating type, suatu ulkus karsinomatous dengan mukosa yang hiperemis
dan noduler
4. Spreading type; Kanker ini tumbuh di seluruh dinding lambung
5. Uncalsified type; Tumor yang tak dapat dimasukkan dalam golongan
tersebut diatas
b. Borrman, 1926
a. Borrmann I
Polypoid Carcinoma; Mukosa disekitar tumor ini biasanya atrofik dan ireguler
b. Borrmann II
Non infiltrating carcinomatous ulcer; Tepi ulkus dengan mukosa sekitarnya
yang menonjol yang sering noduler
c. Borrmann III
Infiltrating Carcinomatous ulcer; ulserasi di sini mempunyai dinding, tepi
dindingnya hanya terlihat pada sepihak dan terlihat infiltrasi progresif dan
difus dari mukosa di sekitarnya.
d. Borrmann IV
Diffuse infiltrating Type; Tak terlihat batas tegas pada dinding, karena
sebagian besar sudah terinfiltrer. Terjadi infiltrasi yang diffuse pada seluruh
lambung.

A2w| 40
Klasifikasi Japan Gastroenterological Klasifikasi Borrman
Endoscopy Society
Klasifikasi lain oleh Lauren, membagi karsinoma lambung menjadi 2, menurut
gambaran histologinya yaitu karsinoma difus (infiltratif) dan karsinoma tipe
intestinal. Pada tipe intestinal, sel-sel tumor mempunyai kecenderungan untuk
membentuk struktur kelenjar mengadakan penyebaran, kadang-kadang dengan
bentukan papiler atau lembaran padat. Sel kolumner yang anaplastik
mengandung vakuole kecil berisi musin. Karsinoma tipe infiltratif tidak
mempunyai daya kohesi antar sel, yang menonjol desmoplastik dari
stromanya, dimana di dalamnya terdapat sel-sel infiltratif dengan banyak
mensekresi mucin, kadang-kadang mengisi penuh sel dan mendesak inti ke
samping yang dikenal sebagai “signet ring cells”.
Salah satu klasifikasi membagi karsinoma lambung menurut bentuk morfologi
makroskopisnya adalah :
1. eksofitik
2. pendataran atau depresi
3. ekskavasi

A2w| 41
Ada beberapa tipe dan subtipe dari early
gastric cancer, yaitu:
a. Tipe I : protrusi
b. Tipe IIa : a.Elevasi. b. Datar. c. Depresi
c. Tipe III : ekskavasi

DIAGNOSA
Diagnosa berdasarkan anamnesis, faktor resiko, pemeriksaan fisis yang cermat,
pemeriksaan laboratorium, radiologi, gastroskopi, sitologi, dan biopsi.
Pemeriksaan Fisik : tidak ada tanda yang spesifik
 Status hemodinamik : tekanan darah, nadi, akral dan pernafasan
 Berat badan kurang, kaheksia, konjungtiva kadang –kadang anemis
 Pemeriksaan Abdomen daerah epigastrium dapat teraba massa, nyeri
epigastrium. Pada keganasan dapat ditemukan hepatomegali, asites.
 Bila ada keluhan melena, lakukan pemeriksaan colok dubur.
 Keganasancari pembesaran kelenjar supraklavikula (Virchow‟s node),
kelenjar aksila kiri (Irish‟s node), ke umbilikus (Sister Mary Joseph‟s node),
teraba tumor daerah pelvis cul-de-sac pada pemeriksaan colok dobur (Blumer‟s
shelf), pembesaran ovarium (Krukenberg‟s tumor).
 Pemeriksaan endoskopi  lokasi, bentuk, ukuran, ekstensi, kelainan lain 
biopsi dan pemeriksaan kultur kuman H Pylori.

A2w| 42
Pemeriksaan Laboratorium
Anemia (30%) dan tes darah positif pada feses dapat ditemukan akibat
perlukaan pada dinding lambung. LED meningkat. Fractional test meal  ada
aklorhidria pada 2/3 kasus kanker lambung. Elektrolit darah dan tes fungsi hati
kemungkinan metastase ke hati.
Radiologi
 Foto thorax : dipakai untuk melihat metastase Paru.
 Barium Meal Double-contrastadditional defect, iregularitas mukosa  tumor
primer atau penyebaran tumor ke esofagus/ duodenum.
 Ultrasonografi abdomen untuk mendeteksi metastase hati.
 CT scan atau MRI pada thorax, abdomen, dan pelvislihat ekstensi tumor
transmural, invasi keorgan dan jaringan sekitar, metastasis kelenjar, asites.
Untuk menilai proses penyebaran tumor seperti : menilai keterlibatan serosa,
pembesaran KGB dan metastase ke hati dan ovarium.

CT Staging pada karsinoma lambung


Stage 1 : Massa intra luminal tanpa penebalan dinding
Stage II : Penebalan dinding lebih dari 1 cm
Stage III : Invasi langsung ke struktur sekitarnya
Stage IV : Penyakit telah bermetastase.
Endoskopi dan Biopsi
 Sebagai Gold Standar pemeriksaan malignitas gaster.
 Ultrasound Endoskopi kedalaman infiltrasi tumor &
melihat pembesaran limf.selika dan perigastrik (> 5mm).
Laparoskopi dan Peritoneal Sitologi
Lavase peritoneal dapat memberikan hasil sitologi
positif sekitar 40%. Pemeriksaan ini juga berguna
apabila pada pemeriksaan radiologi sebelum operasi
tidak ditemukan kelainan.
Positron Emission Tomography Scanning (Nuclear Medicine)
Sel-sel tumor cenderung utnuk berakumulasi dengan positron-emiting 18F
(fluorodeoxyglucose). Hal ini berguna untuk mengetahui metastase jauh dari
kanker lambung. Juga dapat menjadi pertimbangan tindakan bedah pada pasien
dengan resiko tinggi atau dengan multiple komorbid.
Indium ln 111-labeled monoclonal antibody juga digunakan dalam intraoperatif
untuk mendeteksi metastasis ke nodul-nodul sekitar tumor.
A2w| 43
A2w| 44
A2w| 45
A2w| 46
A2w| 47
JENIS TINDAKAN/TEKNIK OPERASI
 Laparotomi eksplorasijika metastasis tak dapat dinilai, biopsy tidak terbukti.
 Surgical explorations : Ivor-Lewis, Torakoabdominal atau Transhiatal untuk
tumor yang mengenai esofagus.
 Reseksi kuratifmargin minimal 5 – 7 cm. Reseksi En block meliputi:
pankreas, lien, kolon transfersum, hepar.
 Reseksi gaster dan limfadenektomi.
 Rekonstruksi: Billroth II dengan Roux-en-Y atau Loop gastroyeyenostomi.
 Prosedur paliatif: By pass gastroenterostomi untuk mencegah obstruksi,
perdarahan, perforasi, nyeri karena ulserasi mukosa gaster.
Terapi pembedahan kuratif adalah dengan reseksi seluruh tumor disertai
limfedenektomy adekuat. Dilakukan reseksi paling kurang 5 cm dari sisi-sisi
tumor dan dilakukan “frozen section” untuk mengkonfirmasinya. Bebasnya sisa
tumor dari hasil reseksi sangat penting bagi operasi kuratif namun tidaklah
berarti bagi operasi paliatif. Reseksi tumor primer kadang disertai juga dengan
pengangkatan pankreas, colon transversa, dan lien.
Gastrektomi total (with jejunal pouch-esophageal anastomosis) tidak dianjurkan,
kecuali bila diperlukan reseksi yang adekuat di seluruh area lambung. Dari
beberapa penelitian, gastrektomi total dan gastrektomi subtotal memberikan hasil
yang sama dalam hal ketahanan hidup pasien. Namun, komplikasi pada
gastrektomi total cukup berat. Reseksi dengan bantuan Endoskopi dilakukan
pada early gastric cancer dengan ukuran < 3 cm, tidak ada ulserasi, dan invasi
limfatik.
KEMOTERAPI DAN RADIASI
Terapi adjuvan dengan kemoterapi digunakan obat-obatan: 5-fluorouracil,
leucoxorin, cisplatin, doxorubicin, dan methotrexate memperlihatkan aktivitas
melawan sel tumor. Di samping itu, dilakukan pula penyinaran 4500 cGy.
METALLIC STENT
Pada kanker lambung inoperable obstruksi dapat diterapi dengan memasang
metallic stent. Tindakan ini juga bermanfaat pada tumor rekuren (post
gastrektomi total) yang menyumbat anastomosis gastrojejenum. Komplikasinya:
migrasi stent, obstruksi, perforasi, dan perdarahan.
TIMING OPERASI
Segera bila telah ditegakkan diagnosis dan ditentukan stadium, Tidak ada
indikasi kontra, Bila ada tanda obstruksi, perdarahan, perforasi  emergency.
Problem PrabedahMalnutrisi, Ggn. elektrolit, dehidrasi, bila obstruksi.
Problem IntrabedahPerdarahan,Cidera pankreas,duodenum,perlengketan .
Problem PascabedahPerdarahan, Kebocoran anastomosis, Realimentasi,
Infeksi, Gangguan elektrolit.
FOLLOW UP
Pemeriksaan fisikada tanda-tanda metastasis?, Pemeriksaan laboraturium
terutama CEA, Foto toraks, USG abdomen  mencari metastasis.
 Pemeriksaan endoskopi tiap tahun, terutama pada gastritis atrofik disertai polip
hiperplastik yang berhubungan dengan adenokarsinoma gaster.
A2w| 48
Letak Tumor dan Limfenodi yang dideseksi

A2w| 49
ABNORMALITAS GEN FREKUENSI (%)
Supresi / delesi p53 60 – 70
FHIT 60
APC 50
DCC 50
E-Cadherin <5
Amplifikasi / ekspresi COX-2 70
berlebihan HGF/SF 60
VEGF 50
c-met 45
A1B-1 40
-catenin 25
k-sam 20
ras 10 -15
c-erb B-2 5–7
Instabilitas mikrosatelit 25 – 40
DNA aneuploidy 60 – 75
Schwartz, Principles of Surgery, 8th ed., 2005, 975.

A2w| 50
A2w| 51
A2w| 52
ULKUS PEPTIKUM
DEFINISI
Disebut tukakrobekan mukosa berdiameter ≥ 5 mm kedalaman sampai
submukosa dan muskularis mukosa atau secara klinis tukak adalah hilangnya
epitel superfisial atau lapisan lebih dalam dengan diameter ≥ 5 mm yang dapat
diamati secara endoskopis atau radiologis. Robekan mukosa < 5 mm disebut
erosi dimana nekrosis tidak sampai ke muskularis mukosa dan submukosa.
ETIOPATOGENESIS
Terjadinya oleh karena ketidakseimbangan antara faktor agresif yang
dapat merusak mukosa dan faktor defensif yang memelihara keutuhan mukosa
lambung dan duodenum.
1. Infeksi Helicobacter Pylori
Sekitar 90% dari tukak duodenum dan 75 % dari tukak lambung
berhubungan dengan infeksi Helicobacter pylori.Helicobacter Pylori,adalah
bakteri gram (-),hidup dalam suasana asam pada lambung /duodenum,bentuk
kurva S,ukuran panjang sekitar 3µm dan diameter 0,5µm, punya ≥ 1 flagel pada
salah satu ujungnya, terdapat hanya pada lapisan mucus permukaan epitel
antrum lambung, karena pada epithelium lambung terdapat reseptor adherens in
vivo yang dikenali oleh H.Pylori, dan dapat menembus sel epitel/antar epitel.
Tiga mekanisme terjadinya tukak peptik adalah :
 Memproduksi toksiklocal tissue injury
- Sitotoksin(vacuolating cytotoxin–Vac A Gen)rusak mukosa gastroduodenal.
- Enzim(urease, protease, lipase dan fospolipase)Merusak sel epitel.
Ureasememecahkan urea menjadi amoniasel epitel rusak.
Protease & fospolipasemenekan sekresi mukusdaya tahan mukosa
menurunasam lambung berdifusi baliknekrosistukak peptik.
- N-Histamin methyltranferaseEnzim ini menghasilkan N-methylhistamin,yang
menstimulasi sekresi asam lambung dan pepsin ↑ permeabilitas kapiler
terhadap proteinMukosa edema dan ptotein plasma menghilang
perdarahan interstitial. Diduga kadar asam yang rendah pada analisis
lambung akibat meningkatnya difusi balik bukan karena berkurangnya
produksi.
 Menginduksi respon imun lokal pada mukosa.
Terjadi kegagalan respon inflamasi dan reaksi imun untuk mengeliminasi
bakteri ini melalui mobilisasi melalui mediator inflamasi & sel-sel limfosit/PMN.
 Meningkatkan level gastrin  meningkatkan sekresi asam.
Kerusakan sel D yang mengeluarkan somatostatin,untuk mengerem produksi
gastrinproduksi gastrin meningkatrangsang sel parietal mengeluarkan >>
asam lambungmasuk duodenum Tukak Duodenum.
2. Sekresi Asam Lambung
Normal kira-kira 20 mEq/jam. Pasien tukak duodenum dapat mencapai 40
mEq/jam. Pasien tukak duodenum memiliki ↑ dalam Basal Acid Output dan
Maximal Acid Output.

A2w| 53
3. Pertahanan Mukosal Lambung
Obat Antiinflamasi Non Steroid (OAINS),alkohol,garam empedu,dan zat-zat
lain dapat menimbulkan kerusakan pada mukosa lambungDifusi balik asam
klorida kerusakan jaringan,khususnya pembuluh darah.
Penggunaan OAINS, menghambat kerja dari enzim siklooksigenase (COX)
pada asam arakidonat sehingga menekan produksi prostaglandin. Kerusakan
mukosa akibat hambatan produksi prostaglandin pada penggunaan OAINS
melalui 4 tahap yaitu :
 Menurunkan sekresi mukus dan bikarbonat yang dihasilkan oleh sel epitel
pada lambung dan duodenumpertahanan lambung dan duodenum ↓
 Terganggunya sekresi asam dan proliferasi sel-sel mukosa.
 Berkurangnya aliran darah mukosa.Hambatan COX-1 akan menimbulkan
vasokonstriksi sehingga aliran darah menurun dan terjadi nekrosis sel epitel.
 Kerusakan mikrovaskuler yang diperberat oleh kerjasama platelet dan
mekanisme koagulasi. Hambatan pada COX-2peningkatan perlekatan
leukosit PMN pada endotel vaskuler gastroduodenal dan mesentrik, dimulai
dengan pelepasan protease,radikal bebas oksigenkerusakan epitel &
endotelstatis aliran mikrovaskulariskemiatukak peptik.
Tukak lambung memiliki beberapa tipe,yaitu :
 Tipe 1,yang paling sering terjadi.Terletak pada kurvatura minor atau proximal
insisura,dekat dengan junction mukosa onsitik dan antral.
 Tipe 2, lokasi yang sama dengan tipe 1 tapi berhubungan dengan tukak
duodenum
 Tipe 3,terletak pada 2 cm dari pilorus (pyloric channel ulcer)
 Tipe 4,terletak pada proksimal abdomen atau pada cardia

A2w| 54
DIAGNOSIS
Gejala Klinis
Sekitar 90% dari penderita mengeluh nyeri pada epigastrium, seperti
terbakar disertai mual, muntah, perut kembung, berat badan↓, Hematemesis,
Melena dan anemia.
Pemeriksaan Penunjang
Gold Standar adalah pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas ( UGIE-
Upper Gastrointestinal Endoscopy) + biopsi lambung (untuk deteksi kuman
H.Pylori, massa tumor?,kondisi mukosa lambung?
1. Pemeriksaan Radiologi.
Barium Meal Kontras Ganda dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis
tukak peptik  berupa kawah, batas jelas disertai lipatan mukosa teratur dari
pinggiran tukak dan niche. Filling defect curiga ganastepi tukak tidak teratur.

A2w| 55
2. Pemeriksaan Endoskopi
Berupa luka terbuka dengan pinggiran teratur,mukosa licin dan normal disertai
lipatan yang teratur yang keluar dari pinggiran tukak.Gambaran tukak akibat
keganasan adalah : Boorman-I/polipoid, B-II/ulcerative, B-III/infiltrative, B-
IV/linitis plastika (scirrhus). Dianjurkan untuk biopsi & endoskopi ulang 8-12
minggu setelah terapi eradikasi. Keunggulan endoskopi dibanding radiologi
adalah : dapat mendeteksi lesi kecil diameter < 0,5 cm, dapat melihat lesi
yang tertutupi darah dengan penyemprotan air,dapat memastikan suatu tukak
ganas atau jinak, dapat menentukan adanya kuman H.Pylori sebagai
penyebab tukak.

UGIE pada Tukak Lambung & Duodenum


3. Invasive Test :
 Rapid Urea Test : Tes kemampuan H.pylori untuk menghidrolisis urea. Enzim
urea katalase menguraikan urea menjadi amonia bikarbonat,membuat
suasana menjadi basa,yang diukur dengan indikator pH. Spesimen biopsi dari
mukosa lambung diletakkan pada tempat yang berisi cairan atau medium
padat yang mengandung urea dan pH indikator, jika terdapat H.Pylori pada
spesimen tersebut maka akan diubah menjadi ammonia,terjadi perubahan pH
dan perubahan warna.
 Histologi: Biopsi diambil dari pinggiran dan dasar tukak min.4 sampel untuk 2
kuadran, bila ukuran tukak besar diambil sampel dari 3 kuadran dari
dasar,pinggir dan sekitar tukak (min. 6 sampel).
 Kultur : Untuk kultur tidak biasa dilakukan pada pemeriksaan rutin
4. Non Invasive Test.
 Urea Breath Test: Mendeteksi adanya infeksi H.pylori dengan keberadaan
urea yang dihasilkan H.pylori, labeled karbondioksida (isotop berat,C-13,C-
14) produksi dalam perut,diabsorpsi dalam pembuluh darah,menyebar
dalam paru-paru dan akhirnya dikeluarkan lewat pernapasan.
 Stool antigen test : Test ini juga mengidentifikasi adanya infeksi H.Pylori
melalui mendeteksi keadaan antigen H.Pylori dalam faeces.
A2w| 56
TERAPI
1. Terapi non medikamentosa
 Istirahat: Dianjurkan rawat jalan, bila gagal/ada komplikasi  rawat inap.
 Diet: Air jeruk yang asam,coca cola,bir,kopi,tidak mempunyai pengaruh
userogenik pada mukosa lambung tapi dapat menambah sekresi asam
lambung.
 Stop Merokok ok ganggu penyembuhan tukak gaster kronik, menghambat
sekresi bikarbonat pancreas,menambah keasaman bulbus dudeni,menambah
refluks duodenogastrik akibat relaksasi sfingter pylorus sekaligus
meningkatkan kekambuhan tukak.
2. Terapi medikamentosa
 Antasida: Antasida mengurangi keasaman lambung, bereaksi dengan asam
hidroklorik,membentuk garam dan air untuk menghambat aktivitas peptik
dengan meningkatkan pH.
 Antagonis Reseptor H2/ARH2.
Struktur homolog dengan histamine Mekanisme kerjanya memblokir efek
histaminsel parietal tidak dapat dirangsang untuk mengeluarkan asam
lambung.Inhibisi bersifat reversible. Dosis terapeutik :
 Simetidin : 2 x 400 mg/800 mg malam hari,dosis maintenance 400 mg
 Ranitidine : 300 mg malam hari,dosis maintenance 150 mg
 Nizatidine : 1 x 300 mg malam hari,dosis maintenance 150 mg
 Famotidine : 1 x 40 mg malam hari
 Roksatidine : 2 x 75 mg / 150 mg malam hari,dosis maintenance 75 mg
malam hari.
 Proton Pump Inhibitor/PPI: mekanisme kerja adalah memblokir kerja enzim
K+H+ATPase yang akan memecah K+H+ATP menghasilkan energi yang
digunakan untuk mengeluarkan asam HCL dari kanalikuli sel parietal ke
dalam lumen lambung. PPI mencegah pengeluaran asam lambung dari sel
kanalikuli,menyebabkan pengurangan rasa sakit pasien tukak, mengurangi
aktifitas faktor agresif pepsin dengan pH >4 serta meningkatkan efek
eradikasi oleh regimen triple drugs. Dosis : Omeprazol 2 x 20 mg atau 1 x 40
mg, Lansprazol/pantoprazol 2 x 40 mg atau 1 x 60 mg.
 Koloid Bismuth (Coloid Bismuth Subsitrat/CBS dan Bismuth Subsalisilat/BSS)
Membentuk lapisan penangkal bersama protein pada dasar tukak dan
melindunginya terhadap pengaruh asam dan pepsin dan efek bakterisidal
terhadap H.Pylori.
 Sukralfat: Mekanisme kerja berupa pelepasan kutub alumunium hidroksida
yang berikatan dengan kutub positif melekul proteinlapisan fisikokemikal
pada dasar tukakmelindungi tukak dari asam dan pepsin. Membantu
sintesa prostaglandin, kerjasama dengan EGF ,menambah sekresi
bikarbonat &mukus,↑daya pertahanan dan perbaikan mukosal.
 Prostagandin: Mengurangi sekresi asam lambung, ↑sekresi mukus,
bikarbonat, ↑aliran darah mukosa, pertahanan dan perbaikan mukosa.
Digunakan pada tukak lambung akibat komsumsi OAINS.
A2w| 57
 Penatalaksanaan Infeksi H.Pylori.
Tujuan Eradikasi H.Pylori adalah untuk mengurangi keluhan, penyembuhan
tukak dan mencegah kekambuhan.
 Terapi dual antara PPI/ARH2 dengan salah satu antibiotik tidak dianjurkan
karena efek eradikasi minimal dan cepat menimbulkan resisten kuman
 Terapi triple,yang banyak digunakan saat ini adalah :
o PPI 2 x1 + Amoksisilin 2 x 1000 + Klaritromisin 2 x 500 (regimen terbaik )
o PPI 2 x 1 + Metronidazol 3 x 500 + Klaritromisin 2x 500 (if alergi penisilin)
o PPI 2 x 1 + Metronidazol 3 x 500 + Amoksisilin 2 x 1000
o PPI 2x1+ Metro 3x500+Tetrasiklin4x500(if alergi amok & Klaritromisin)
Lama pengobatan eradikasi H.Pylori adalah 2 minggu,untuk kesembuhan
tukak,bisa dilanjutkan pemberian PPI selama 3 – 4 minggu lagi.
 Terapi Kuadrupel; jika gagal dengan terapi triple maka dianjurkan dengan
terapi kuadrupel yaitu PPI 2 x sehari,Bismuth subsalisilat 4 x 2 tab,MNZ 4
x 250 mg,Tetrasiklin 4 x 500 mg.Pada resistensi dapat dianjurkan
PPI,Amoksisilin,dan Rifabutin selama 10 hari.Pada tukak refrakter bisa
sembuh bila dosis PPI ditingkatkan/dosis ganda Omeprazol 40
mg,lansoprazole 60 mg,bila gagal maka dilakukan operasi elektif.
3. Tindakan Operasi.
Indikasi: Terapi medik gagal atau ada komplikasi (perdarahan, perforasi,
obstruksi).Hal ini dapat dilakukan dengan :
 Vagotomy
- Vagotomi trunkus (truncal vagotomy): Pemotongan cabang saraf vagus
yang menuju lambungmenghilangkan fase sefalik sekresi lambung
tidak hanya mengurangi sekresi asam lambung, tapi juga mengurangi
pergerakan dan pengosongan lambungperlu drainase untuk cegah
retensi lambung (gastrojejunustomi atau piloroplasti).
- Vagotomi selektifhanya potong cabang saraf vagus yang menuju
lambung, kekambuhan berkurang dan komplikasi pasca vagotomi minimal.
- Vagotomi superselektif (high selective vagotomy / parietal cell vagotomy
/proximal gastric vagotomy)hanya potong saraf bagian lambung yang
mensekresi asam, cabang saraf antrum tetap berfungsi  tidak perlu
drainase lambung.
 Antrektomi adalah pembuangan seluruh antrum lambung,jadi menghilangkan
fase hormonal atau fase gastric lambung sekresi lambung
 Vagotomi dan Antrektomi,menghilangkan fase sefalik dan gastric sekresi
lambung.Jadi perangsangan saraf diputuskan,drainase diperbesar,dan
tempat utama pembentukan gastrin dibuang
 Gastrektomi Parsial/distal gastrektomi,merupakan pembuangan 50-75%
bagian distal lambung dibuang,jadi membuang sebagian besar mukosa yang
mensekresi asam dan pepsin.Setelah reseksi lambung,kontinuitas lambung
lambung-usus diperbaiki dengan melakukan anastomosis sisa lambung
dengan duodenum (gastroduodenostomi atau operasi Billroth I) atau dengan
jejunum (gastrojejunostomi atau operasi Billroth II)
A2w| 58
A2w| 59
FIGURE 2.17. Proximal gastric vagotomy. (A and B) The key elements of proximal gastric vagotomy are
to divide the gastric branches of the anterior and posterior vagi at the lesser curvature while preserving
the nerve of Latarjet and the innervation of the antral pyloric mechanism. Another key feature of
this operation is “skeletonization” of the distal 6–8 cm of the esophagus. (Adapted from Jamieson GG,
Debas HT, eds. Rob & Smith‟s Operative Surgery: Surgery of the Upper Gastrointestinal Tract. London:
Chapman & Hall Medical; 1994.)

A2w| 60
KOMPLIKASI
 Intraktibilitas/tukak yang membandel ; yang berarti bahwa terapi medik telah
gagal mengatasi gejala-gejala tukak peptik secara secara adekuat.Teknik
operasi yang menjadi pilihan pada intraktibilitas adalah high selective
vagotomy.
 Perdarahan ; Perdarahan adalah komplikasi tersering pada tukak
peptik,perdarahan yang tersering adalah pada dinding posterior bulbus
duodenum,karena pada tempat ini dapat terjadi erosi arteria
pankreatikaduodenalis atau arteria gastroduodenalis. Indikasi operasi pada
perdarahan adalah perdarahan masif dan transfusi yang membutuhkan darah
lebih dari 4 -6 kantong pada saat pemeriksaan endoskopi.Teknik operasi
yang paling bagus untuk perdarahan pada lambung adalah distal gastrektomi
 Perforasi Peritonitis. Diagnosis dipastikan melalui adanya udara bebas
dalam rongga peritoneal, dinyatakan sebagai bulan sabit translusen antara
bayangan hati dan diafragma.Untuk perforasi lambung paling baik dioperasi
dengan teknik distal gastrektomi.Sedangkan untuk tukak peptik tipe II dan III
dengan vagotomi
 Obstruksi ; Tukak prepilorik dan duodeni bisa menimbulkan gastric outlet
obstruction melalui terbentuknya fibrosis/oedem dan spasme.Mual,kembung
setelah makan merupakan gejala-gejala yang sering timbul.Apabila obstruksi
bertambah berat dapat timbul nyeri dan muntah.Operasi yang paling sering
dilakukan pada obstruksi tukak peptik adalah vagotomi dan antrektomi.
DIAGNOSIS BANDING
1.Dispepsia non ulcer atau dispepsia idiopatik adalah dispepsia kronis atau
berulang berlangsung lebih dari 1 bulan dan sedikitnya selama 25 % dalam
kurun waktu tersebut gejala dispepsia muncul,tidak ditemukan penyakit
organik yang bisa menerangkan gejala tersebut secara
klinis,biokimia,endoskopi (tidak ada ulkus,tidak ada oesofagitis dan tidak ada
keganasan) atau radiografi.
2. Gastritis,merupakan suatu peradangan mukosa lambung yang dapat bersifat
akut,kronik,difus atau loka,.Gejala-gejalanya tidak khas dapat berupa nyeri dan
panas pada uluhati diserta mual dan muntah.Diagnosa ditegakkan dengan
endoskopi.Didapatkan mukosa memerah,edematosa ditutpi oleh mukus yang
melekat.
PROGNOSIS
Apabila penyebab yang mendasari dari tukak peptik ini diatasi maka akan
memberikan prognosa yang bagus.Kebanyakan penderita sembuh dengan terapi
untuk infeksi H.Pylori,menghindari OAINS dan meminum obat antisekretorus
pada lambung.

A2w| 61
DUMPING SYNDROMA
DEFINISI:
Suatu kumpulan gejala akibat pengosongan lambung yang terlalu cepat. Sering
terjadi setelah operasi gaster ( gastrektomy ). Sebagian asien dapat beradaptasi,
namun sebagian lagi gagal beradaptasi sehingga muncul komplikasi dumping
syndroma.
1. Early Dumping Syndroma.
Muncul dalam beberapa menit ( 1-2 mnt) setelah makan makanan yang
banyak mengandung karbohidrat. Karbohidrat bersifat hiperosmolar,
sehingga menarik cairan yeyunum yang menyebabkan yeyunum
dilatasi/meregang Renjatan/Borborigmi. G/: Palpitasi, berkeringat, wajah
merah, dan sinkop akibat reflek autonom akibat distensi yeyunum dan
pelepasan hormon vasoaktif usus yang berlebihan.
2. Late Dumping Syndroma.
Gejala timbul 1-2 jam setelah makan. Tampilan klinis terjadi karena
hipoglikemia.Hal ini sering terjadi setelah makan tinggi karbohidrat. Gula
yang terlalu cepat masuk yeyunum akan menyebabkan hiperglikemia dan
merangsang terjadinya hiperinsulinemia. Hipoglikemia yang terjadi adalah
sekunder dari hiperinsulinemia.
Pengobatan dulakukan secara konservatif, dengan menghindari makanan manis
dan mengandung tepung serta menghindari minum saat makan agar makanan
lebih kering dan turun dari lambung lebih perlahan. Gejala makin lama akan
makin berkurang dan akhirnya menghilang. Sangat sedikit yang memerlukan
pembedahan ulang.

A2w| 62
A2w| 63
DUODENUM
ANATOMI

Panjang dari duodenum ± 25-30 cm, dimulai dari akhir pylorus lambung,
disebelah kanan tulang belakang pada vertebra lumbal 1, kemudian membentuk
C-shaped curve mengelilingi kaput pankreas dan akhirnya berhubungan dengan
yeyunum disebelah kiri vertebra lumbal 2. Duodenum merupakan bagian paling
proksimal, paling lebar, paling pendek, dan paling sedikit pergerakannya dari
bagian usus halus lainnya. Duodenum dibagi menjadi 4 bagian:
I. Bagian pertama / superior / bulbus duodeni / duodenal cap / D1
II. Bagian kedua / vertikal / descenden/ D2
III. Bagian ketiga / horizontal / tranversal/ D3
IV. Bagian keempat / obliq / ascending / D4
Bagian pertama (duodenal cap) bebas bergerak dan ditutupi oleh
peritoneum kecuali jika terdapat ulkus duodenum. Bagian ini mempunyai
cekungan mukosal longitudinal sementara bagian lain hanya cekungan
transversal. Lapisan anterior dan posterior dari peritoneum yang meliputi bagian
atas dari duodenal cap akan melanjutkan diri menjadi ligamentum
hepatoduodenale , yang berisi Portal Triad ( duktus koledokus , arteri hepatika
dan vena porta). Tepi anterior dari foramen Winslowi terbentuk oleh karena
adanya tepi bebas dari ligamentum ini. Tepat diatas duodenal cap terdapat
kantong empedu dan hepar segmen empat. Dibawah dan dibelakang dari
duodenal cap adalah caput pankreas. Piloroplasti dan reseksi gastroduodenal
menjadi lebih mudah jika pilorus dan duodenum di mobilisasikan kearah depan
didalam kavum abdomen dengan manuver Kocher. Karena kedekatan
duodenum superior dengan kandung empedu dapat menjelaskan adanya batu
empedu yang sering secara spontan masuk kedalam duodenum melalui
kolesistoduodenal fistula. Selanjutnya peritoneum hanya melapisi bagian ventral
dari duodenum sepanjang 2,5 cm berikutnya.
A2w| 64
Bagian kedua dari duodenum adalah retroperitoneal dan terfiksir karena
adanya fusi dari peritoneum visceral disebelah lateral peritoneum perietale lateral
dinding abdomen. Dengan membuka peritoneum pada sisi lateral kanan
(manuver Kocher), dapat memobilisasi duodenum desending sehingga dapat
mencapai retroduodenal dan saluran empedu intrapankreatik. Disebelah
belakang dari bagian kedua duodenum ini terletak ginjal kanan dan struktur
hilusnya, kelenjar adrenal dan vena cava. Tepat dipertengahan duodenum,
mesokolon akan melintang secara horizontal, karena bersatunya peritoneum dari
arah atas dan arah bawah. Diatas dari fleksura duodenalis, duodenum bagian
pertama dan duodenum bagian kedua akan membentuk sudut yang tajam dan
berlanjut berkisar 7-8 cm dibawah fleksura duodenalis. Kolon tranversum akan
melintang daerah tersebut di sebelah depannya. Untuk memobilisasi duodenum
secara menyeluruh yang harus dilakukan adalah membuka fleksura hepatis pada
sisi anteromedial kolon. Kurang lebih pertengahan dari bagian kedua duodenum
dinding posteromedial adalah papila vateri, yang terdiri atas gabungan antar
duktus koledokus dan duktus pankreatikus Wirsungi. Letak dari duktus
pankreatikus Santorini lebih proksimal. Cabang superior pankreatikoduodenal
yang berasal dari arteri gastroduodenalis, berjalan didalam cekungan antara
kaput pankreas dan duodenum bagian kedua atau desending.
Bagian ketiga dari duodenum panjangnya sekitar 12-13 cm, berjalan
horizontal ke arah kiri di depan dari aorta, vena cava inferior, columna vertebra
L2 dan ureter, dan berakhir pada sebelah kiri pada vertebra L3. Radiks
yeyunoileum menyilang dekat akhir duodenum bagian ketiga. Arteri mesenterika
superior berjalan kebawah diatas depan dari duodenum bagian ketiga dan
masuk kedalam radiks mesenterii. Arteri pankreatikoduodenale inferior
membatasi pankreas dan tepi atas dari duodenum bagian ketiga.
Bagian keempat dari duodenum berjalan kearah atas samping kiri
sepanjang 2-3cm disebelah kiri dari vertebra dan membentuk sudut
duodenoyeyunal pada radiks mesokolon transversal. Disebelah kiri dari vertebra
lumbal II, bagian terakhir dari duodenum menurun ke arah kiri depan dan
membentuk fleksura duodenoyeyunalis. Pada daerah ini, ligamentum
suspensorium duodenum (ligamentum Treitz) berawal, tersusun atas jaringan
fibrous dan pita triangular, berjalan ke arah retroperitoneal, dibelakang pankreas
dan vena lienalis, didepan vena renalis, dari arah kiri atau kanan dari krus
diafragma. Fleksura duodenoyeyunalis dipakai sebagai landmark untuk panduan
mencari obstruksi di daerah usus halus dan menentukan bagian atas dari
yeyunum untuk dilakukan gastroyeyunostomi. Saat laparotomi, ligamentum ini
dapat ditemukan dengan cara menekan daerah dibawah mesokolon tranversal
ke arah belakang sampai ke dinding abdomen bagian belakang sementara
tangan yang satu mempalpasi kearah atas melalui tepi kiri dari pada tulang
belakang sampai fleksura ini ditemukan dengan tanda adanya perabaan yang
keras pada tempat fiksasinya. Gabungan antara peritoneum visceral dari
pankreatikoduodenal dengan peritoneum parietal posterior yang tersisa akan
menutupi semua duodenum kecuali sebagian dari bagian pertama duodenum.

A2w| 65
Variasi gabungan tadi ke dinding abdomen bagian belakang akan menentukan
variasi dari mobilitas duodenum. Fleksura kolon kanan, bagian dari mesokolon
tranversalis yang terfiksir, hubungan antara ampulla dan pembuluh darah dari
duodenum dapat dilihat dengan jelas. Pada posisi yang cukup dalam ini,
menunjukkan bahwa duodenum cukup terproteksi dengan baik dari adanya
trauma, tapi kadang-kadang dapat hancur dan bahkan terputus karena adanya
penekanan dengan landasan pada tulang belakang dari adanya trauma tumpul
abdomen yang berat, dan juga karena tidak ditutupi oleh peritoneum.

Vaskularisasi
Vaskularisasai duodenum berasal dari cabang arteri pankreatikoduodenal
anterior dan posterior. Anastomosis antara arteri ini akan menghubungkan
sirkulasi antara trunkus seliakus dengan arteri mesenterika superior. Arteri ini
membagi aliran darahnya ke kaput pankreas, sehingga reseksi terhadap
pankreas atau duodenum secara terpisah adalah satu hal yang hampir tidak
mungkin dan dapat berakibat fatal. Arteri pankreatikoduodenal superior adalah
cabang dari arteri gastroduodenale, dan arteri pankreatikoduodenal inferior
adalah cabang dari arteri mesenterika superior. Kedua arteri ini bercabang
menjadi dua dan berjalan disebalah anterior dan posterior pada cekungan antara
bagian descending dan bagian transversal duodenum dengan kaput pankreas,
kemudian beranastomosis sehingga bagian anterior dan posterior masing-
masing membentuk cabang sendiri.
Vena tersusun paralel bersamaan dengan arteri pankreatikoduodenal
anterior dan posterior. Anastomosis cabang psterior berakhir di atas vena porta,
dibawahnya vena mesenterika superior (SMV). Vena
posterosuperiorpankreatikoduodenal mungkin akan mengikuti arterinya
disebelah depan dari saluran empedu, atau mungkin berjalan di belakang
saluran tadi. Vena ini akan berakhir pada tepi kiri sebelah bawah dari SMV.
A2w| 66
Pada tempat tersebut, vena tadi akan bergabung dengan vena yeyunalis atau
dengan vena pankreatioduodenal inferior anterior. Sebagian besar aliran vena
pada cabang anterior ini berasal dari Trunkus gastrokolika atau ( Henle‟s trunk).
Pada saat pankreatikoduodenektomi, lokasi SMV dapat ditelusuri dari vena
kolika media sampai ke hubungannya dengan SMV tepat dibawah dari collum
pankreas. Kadang- kadang identifikasi SMV dapat dilakukan dengan cara insisi
pada daerah avaskuler dari peritoneum sepanjang tepi bawah dari pankreas.
Disebelah atas dari pankreas, vena porta akan terekspos dengan jelas bila arteri
gastroduodenal dan duktus koledokus dipisahkan. Kadang-kadang arteri
hepatika aberans salah di identifikasi dengan arteri gastroduodenal, sehingga
untuk kepentingan tersebut, sebelum dilakukan ligasi pada arteri gastroduodenal,
harus dilakukakan oklusi sementara dengan klem vaskuler atau jari ahli bedah
sambil mempalpasi pulsasi arteri hepatik pada hilus hati.
Pembuluh arteri yang memperdarahi separuh bagian atas duodenum
adalah arteri pancreatikoduodenalis superior yang merupakan cabang dari arteri
gastroduodenalis. Separuh bagian bawah duodenum diperdarahi oleh arteri
pancreatikoduodenalis inferior yang merupakan cabang dari arteri mesenterika
superior.
Vena-vena duodenum mengalirkan darahnya ke sirkulasi portal. Vena superior
bermuara langsung pada vena porta dan vena inferior bermuara pada vena
mesenterika superior.

A2w| 67
Pembuluh limfe
Aliran limfe pada duodenum umumnya berjalan bersama-sama dengan
vaskularisasinya. Pembuluh limfe duodenum mengikuti arteri dan mengalirkan
cairan limfe keatas melalui noduli lymphatici pancreatikoduodenalis ke noduli
lymphatici gastroduodenalis dan kemudian ke noduli lymphatici coeliacus dan ke
bawah melalui noduli lymhaticipancreatico duodenalis ke noduli lymphatici
mesentericus superior sekitar pangkal arteri mesenterika superior. Karsinoma
duodenum primer mungkin menyebar ke pankreas secara langsung atau melalui
infiltrasi limfatik, tetapi biasanya karsinoma ini biasanya menyebar pertama kali
ke limfonodus periduodenal dan hati. Nodus pada fleksura duodenalis superior
serta nodul pada retroduodenal biasanya berhubungan dengan adanya
metastasis karsinoma pancreas

Innervasi
Persarafan GI tract diinervasi oleh sistem saraf otonom, yang dapat
dibedakan menjadi ekstrinsik dan intrinsik (sistem saraf enterik ). Inervasi
ekstrinsik dari duodenum adalah parasimpatis yang berasal dari nervus Vagus (
anterior dan cabang celiac ) dan simpatis yang berasal dari nervus splanikus
pada ganglion celiac. Inervasi intrinsik dari plexus myenterikus Aurbach‟s dan
dan plexus submucosal Meissner. Sel-sel saraf ini menginervasi terget sel
seperti sel-sel otot polos, sel-sel sekretorik dan sel- sel absorptive, dan juga sel-
sel saraf tersebut berhubungan dengan reseptor-reseptor sensoris dan
interdigitatif yang juga menerima inervasi dari sel-sel saraf lain yang terletak baik
didalam maupun di luar plexus. Sehingga pathway dari sistim saraf enterik bisa
saja multisinaptik, dan integrasi aktifitasnya dapat berlangsung menyeluruh
bersamaan dengan sistim saraf enterik.

A2w| 68
Histologi
Dinding duodenum tersusun atas 4 lapisan:
1. Lapisan paling luar yang dilapisi peritoneum, disebut serosa.
Merupakan kelanjutan dari peritoneum, tersusun atas selapis pipih sel-sel
mesothelial diatas jaringan ikat longgar.
2. Lapisan muskuler (tunika muskularis) tersusun atas serabut otot longitudinal (
luar) &sirkuler (dalam). Pleksus myenterikus Aurbach terletak diantara kedua
lapisan ini. Pleksus Meissner‟s ditemukan didalam submukosa di antara
jaringan ikat longgar yang kaya akan pembuluh darah dan limfe.
3. Submukosa.
Terdapat kelenjar Brunner yang bermuara ke krypta Lieberkuhn melalui duktus
sekretorius. Sekresi kelenjar Brunner bersifat visceus , jernih, dengan pH alkali
( pH 8,2 – 9,3 ), berguna melindungi mukosa duodenum terhadap sifat korosif
dari gastric juice. Epitel kollumnernya mengandung 2 jenis sel: mucus
secreting suface cell - HCO3- secreting surface cell dan absorptive cell.
4. Mukosa, yang merupakan lapisan dinding yang paling dalam.
Terdiri dari 3 lapisan: lapisan dalam adalah muskularis mukosa , lapisan
tengah adalah lamina propria, lapisan terdalam terdiri dari selapis sel-sel epitel
kolumnar yang melapisi krypte dan villi-villinya. Fungsi utama krypte epitelum
ialah (1) pertumbuhan sel ; (2) fungsi eksokrin, endokrin, dan fungsi sekresi
ion dan air ; (3) penyerapan garam, air dan nutrien spesifik. Krypte epitelium
paling sedikit tersusun atas 4 jenis sel yang berbeda ; Paneth, goblet,
undefferentieted cell dan sel-sel endokrin. Pada bagian pertama duodenum
ditutupi oleh banyak lipatan sirkuler yang di namakan plica circularis, tempat
saluran empedu & duktus pancreatikus mayor menembus dinding medial
bagian ke dua duodenum. Duktus pankreatikus accesorius (bila ada) bermuara
ke duodenum pada papila yang kecil yang jaraknya sekitar 1,9 cm di atas
papilla duodeni mayor. Dinding duodenum sebelah posterior dan lateral
letaknya retoperitoneal sehingga tidak ditemukan lapisan serosa

A2w| 69
FISIOLOGI
Motilitas. Pengatur pemacu potensial berasal dari dalam duodenum, mengawali
kontraksi, dan mendorong makanan sepanjang usus kecil melalui segmentasi
(kontraksi segmen pendek dengan gerakan mencampur ke depan dan belakang)
dan peristaltik (migrasi aboral dari gelombang kontraksi dan bolus makanan).
Kolinergik vagal bersifat eksitasi. Peptidergik vagal bersifat inhibisi. Gastrin,
kolesistokinin, motilin merangsang aktivitas muskular; sedangkan sekretin dan
dihambat oleh glukagon.
Pencernaan dan Absorpsi
Lemak Lipase pankreas menghidrolisis trigliserida. Komponen yang bergabung
dengan garam empedu membentuk micelle. Micelle melewati membran sel
secara pasif dengan difusi, lalu mengalami disagregasi, melepaskan garam
empedu kembali ke dalam lumen dan asam lemak serta monogliserida ke dalam
sel. Sel kemudian membentuk kembali trigliserida dan menggabungkannya
dengan kolesterol, fosfolipid, dan apoprotein membentuk kilomikron. Asam lemak
kecil memasuki kapiler menuju ke vena porta. Garam empedu diresorbsi ke
dalam sirkulasi enterohepatik diileum distal. Dari 5 gr garam empedu, 0,5 gr
hilang setiap hari, dan kumpulan ini bersirkulasi ulang enam kali dalam 24 jam.
Protein didenaturasi oleh asam lambung, pepsin memulai proteolisis. Protease
pankreas (tripsinogen, diaktivasi oleh enterokinase menjadi tripsin, dan
endopeptidase, eksopeptidase), lebih lanjut mencerna protein. Menghasilkan
asam amino dan 2-6 residu peptida. Transpor aktif membawa dipeptida dan
tripeptida ke dalam sel-sel absorptif. Karbohidrat. Amilase pankreas dengan
cepat mencerna karbohidrat dalam duodenum. Air dan Elektrolit. Air, cairan
empedu, lambung, saliva, cairan usus adalah 8-10 L/hari, kebanyakan
diabsorpsi. Air secara osmotik dan secara hidrostatik diabsorpsi atau secara
pasif berdifusi. Natrium dan klorida diabsorpsi berpasangan dengan zat terlarut
organik atau dengan transpor aktif. Bikarbonat diabsorpsi dengan pertukaran
natrium/hidrogen. Kalsium diabsorpsi melalui transpor aktif dalam duodenum,
jejunum, dipercepat oleh PTH dan vitamin D. Kalium di absorpsi secara pasif.
A2w| 70
Fungsi Endokrin
Mukosa usus kecil melepaskan sejumlah hormon ke dalam darah
(endokrin ) melalui pelepasan lokal (parakrin) atau sebagai neurotransmiter.
Major Actions of Duodenal Peptides
Cholecystokinin Gallbladder contraction
Stimulation of pancreatic exocrine and endocrine secretion
Stimulation of bicarbonate secretion from stomach and duodenum
Inhibition of gastric emptying
Growth of pancreas
Satiety effect
Secretion Stimulation of pancreatic water and bicarbonate secretion
Stimulation of biliary water and bicarbonate secretion
Stimulation of serum parathormone
Stimulation of pancreatic growth
Stimulation of gastric pepsin secretion
Stimulation of colonic mucin
Inhibition of gastric acid secretion
Inhibition of gastric emptying and gastrointestinal motility
Inhibition of lower esophageal sphincter tone
Somatostatin Inhibition of gastric acid and biliary secretions
Inhibition of pancreatic exocrine, and enteric secretions
Inhibition of secretion & action of gastrointestinal endocrine secretion
Inhibition of gastrointestinal motility and gallbladder contraction
Inhibition of cell growth
Small bowel increased reabsorption of water and electrolytes
Neurotensin Stimulation of pancreatic secretion
Mesenteric vasodilation
Decreased lower esophageal sphincter pressure
Inhibition of gastric acid secretion
Gastric inhibitory polypeptide Glucose-dependent release of insulin
Inhibition of gastric acid secretion
Motilin Initiation of migrating motor complex ("housekeeper") of small intestine
Increased gastric emptying
Increased pepsin secretion
Sekretin. Suatu asam amino 27 peptida dilepaskan oleh mukosa usus kecil
melalui asidifikasi atau lemak. Merangsang pelepasan bikarbonat yang
menetralkan asam lambung, rangsang aliran empedu dan hambat pelepasan
gastrin, asam lambung dan motilitas.
Kolesistokinin. Dilepaskan oleh mukosa sebagai respons terhadap asam amino
dan asam lemakkontraksi kandung empedu dengan relaksasi sfingter Oddi
dan sekresi enzim pankreas. Bersifat trofik bagi mukosa usus dan pankreas,
merangsang motilitas, melepaskan insulin.
Fungsi Imun. Mukosa mencegah masuknya patogen. Sumber utama dari
imunglobulin, adalah sel plasma dalam lamina propria. Sel-sel M menutupi
limfosit dalam bercak Peyer yang terpanjang pada antigen, bermigrasi ke dalam
nodus regional, ke dalam aliran darah, kemudian kembali untuk berdistribusi
kedalam lamina propria untuk meningkatkan antibodi spesifik.
A2w| 71
A2w| 72
TRAUMA DUODENUM
MEKANISME TRAUMA
Trauma abdomen terjadi sebagai hasil dari trauma akselerasi-deselerasi
dan trauma akibat luka tembak. Kebanyakkan trauma abdomen apakah karena
kecelakaan kendaraan bermotor, terjatuh, pukulan langsung ke abdomen
disebabkan oleh cedera akselerasi dan deselerasi. Pada saat tubuh dalam
keadaaan melaju/akselerasi dan tiba-tiba berhenti mendadak maka organ-organ
intraabdominal yang dalam keaadan terisi dengan cairan dapat robek dan
mengalami avulsi sehingga dapat menyebabkan robekkan mesenterium,
perdarahan, ruptur lien dan avulsi pedikel ginjal. Mayoritas cedera di duodenum
adalah disebabkan oleh trauma tembus dan cedera ini kebanyakkan di akibatkan
oleh luka tembak (75 %) dan sisanya akibat luka tikaman (20%). Cedera akibat
tikaman pisau biasanya menyebabkan laserasi pada dinding duodenum,
sedangkan proyektil menghasilkan luka dengan derajat kerusakan jaringan yang
berbeda-beda. Trauma pada duodenum jarang terjadi, hanya kira-kira 5 % dari
cedera yang terjadi pada abdomen. Trauma pada duodenum dapat disebabkan
oleh trauma tumpul dan trauma tembus. Trauma tumpul biasanya disebabkan
oleh karena kecelakaan lalulintas, jatuh atau dipukul. Trauma tembus
disebabkan oleh luka tikam atau luka tembak. Insiden bervariasi pada lokasi
anatomis dari duodenum dimana bagian yang paling sering terkena adalah
bagian kedua (33%), bagian ketiga dan bagian keempat (20%), bagian pertama
(15%). Trauma tembus bisa terjadi diseluruh bagian duodenum sedang pada
trauma tumpul, mayoritasnya terjadi pada bagian kedua dan ketiga.
Trauma proyektil memiliki tipe kecepatan yaitu kecepatan rendah dan
kecepatan tinggi. Luka akibat peluru dengan kecepatan rendah terbatas pada
jalan peluru, namun tidak tertutup kemungkinan arahnya akan melenceng di
dalam abdomen. Luka peluru dengan kecepatan tinggi mempunyai lubang
masuk yang kecil dan lubang keluar yang besar. Kerusakan jaringan tergantung
jarak tembak. Jarak tembak yang dekat menyebabkan kerusakan jaringan yang
luas, sedangkan jarak tembak yang jauh menyebabkan kerusakan ringan kecuali
langsung mengenai organ atau pembuluh darah.
Daya kinetik yang kompleks pada trauma tumpul duodenum dapat
menyebabkan bentuk luka remuk, terpotong atau pecah. Bentuk cedera yang
remuk terjadi akibat pukulan langsung ke dinding anterior abdomen yang
mengenai doudenum yang terfiksir terhadap kolumna vertebralis yang rigid.
Pukulan yang terlokalisir akan ditransmisikan ke duodenum yang teregang
dapat menyebabkan cedera tipe blow out. Pada kecelakaan lalulintas dengan
laju kecepatan tinggi mengalami mekanisme akselerasi /deselerasi yang cepat
maka akan terjadi luka robek. Cedera abdominal yang paling spesifik akibat
penggunaaan sabuk pengaman adalah terjadinya Chance’s fractur: fraktur di
lumbal atas vertebra, paling sering adalah L-1, bersamaan dengan perforasi
usus halus (yang paling sering adalah yeyunum). Tetapi cedera abdomen karena
sabuk pengaman dapat menyebabkan laserasi kolon, usus besar, hepar & lien.

A2w| 73
A2w| 74
EVALUASI TRAUMA ABDOMEN
Pasien Yang Tidak Sadar
Jika pasien tidak sadar dengan trauma multipel, harus disimpulkan bahwa
telah terjadi cedera intraabdominal sehingga dapat disingkirkan dengan
pemeriksaan yang spesifik. Cara tercepat untuk menentukan cedera
intraabdominal adalah dengan diagnostic peritoneal lavage (DPL) setelah
mengosongkan kandung kemih dengan kateter. Teknik yang dipilih adalah teknik
terbuka (open technique). Dilakukan insisi kecil di infraumbilikus dan diteruskan
ke peritonium, kemudian pegang menggunakan forsep dan buka melalui
penglihatan langsung. Kemudian kateter lavage dimasukkan. Jika tidak ada
darah ditemukan, 1 liter cairan saline dimasukkan ke dalam kavitas peritoneum
dan kemudian dikeluarkan kembali. Hasil positif jika ada: 1) secara makroskopik
terdapat darah ; 2) adanya lebih dari 100.000 sel darah merah / mL; dan/atau 3)
mengandung cairan empedu, feses atau bakteri. Jika pasien tidak sadar dengan
trauma multipel yang stabil hemodinamikanya, terutama jika dicurigai dengan
cedera organ abdominal, pemeriksaan CT abdomen dipilih karena cedera lien
atau hepar dapat dilihat.
Pasien Yang Sadar
Dengan pengetahuan tentang tanda dan gejala pada pasien yang sadar
sangat membantu setiap dokter. Pasien mungkin mengeluh adanya nyeri
abdomen dan/atau mungkin menunjukkan tanda-tanda iritasi peritoneal yang
jelas. Ukuran lingkaran abdomen yang meningkat secara terus menunjukkan
indikasi bagi perdarahan intraabdominal yang berat. Jika tidak ada tanda-tanda
peritonitis, belum tentu tidak terjadi cedera pada organ intra abdomen
intraabdominal.Pada pasien dengan hemodinamika yang stabil sebaiknya
diamati tanda dan gejala pada abdomen dengan pemeriksaan abdomen secara
serial. Jika pasien yang memerlukan terapi operatif, sebaiknya terlebih dahulu
dilakukan peritoneal dialisis sebelum dilanjutkan tindakan bedah.
MORTALITAS
Dilaporkan bahwa cedera pada duodenum menunjukkan angka mortalitas
yang bervariasi dari 5 – 25 % (± 15 %). Kebanyakan mortalitas pada pasien
dengan cedera duodenum disebabkan oleh cedera-cedera penyerta dari organ
lain.Cedera tunggal pada duodenum merupakan penyebab kematian pada
minoritas kasus (6-12%). Kematian pada saat awal setelah suatu cedera
duodenum biasanya berhubungan dengan adanya cedera pada pembuluh darah
besar. Dilaporkan bahwa sebagian besar pasien yang meninggal menunjukkan
gejala syok. Angka mortalitas juga dipengaruhi oleh mekanisme trauma yang
menunjukkan bahwa angka mortalitas pada trauma tumpul sedikit lebih tinggi
dibandingkan pada trauma tembus (20% versus 15 %).
Adanya cedera pada duktus bilier dan organ-organ utama yang
berhubungan dengan pankreas mempunyai resiko mortalitas 2 kali lebih tinggi di
bandingkan cedera tunggal duodenum.Keterlambatan dalam mendiagnosa
cedera duodenum melebihi 24 jam akan meningkatkan angka mortalitas samapi
40%.

A2w| 75
DIAGNOSIS
Trauma Tembus
Diagnosis trauma tembus duodenum biasanya ditegakkan diatas meja
operasi. Alur masuknya pisau atau tembakan yang melewati duodenum
membutuhkan visualisasi yang teliti dan perlu eksplorasi yang menyeluruh dari
duodenum untuk menyingkirkan kemungkinan cedera organ lain.
Trauma Tumpul
Diagnosis trauma tumpul duodenum lebih sulit dibandingkan dengan
trauma tembus. Dilaporkan bahwa diagnosis sering terlambat di tegakkan
sehingga pasien dengan kecurigaan trauma ini memerlukan penanganan dan
monitor oleh seorang ahli bedah yang berpengalaman. Trauma tumpul
duodenum jarang terjadi dan sangat sukar di diagnosis dibandingkan trauma
tembus dan dapat berdiri sendiri atau bersamaan dengan trauma pada pancreas.
Keadaan kompresi pada duodenum biasanya terjadi karena hentakkan antara
tulang belakang dan setir, dashboard mobil atau lainnya yang terletak di depan
abdomen. Beberapa cedera yang berhubungan dengan fraktur flexi atau
distraksi pada vertebara L1-L2 (Chance‟s fracture). Biasanya trauma duodenum
terjadi akibat tendangan atau pukulan pada epigastrium. Yang jarang terjadi
adalah akibat deselerasi yang bila terjadi biasanya menyebabkan robekkan pada
perbatasan antara bagian ke tiga dan ke empat duodenum, dan bahkan pernah
di laporkan robekan terjadi pada duodenum bagian pertama dan kedua.Trauma
ini terjadi pada perbatasan bagian duodenum yang bebas (intraperitoneal) dan
bagian yang terfiksir (retroperitoneal).Bila ada kecurigaan maka dasar untuk
menegakan diagnosa adalah perlu diketahui mekanisme trauma serta
permeriksaan jasmani.
Perubahan klinis yang pada awal terjadi cedera tidak terlihat jelas dan
akan tampak bila keaadan memberat dan berkembang menjadi peritonitis dan
mengancam nyawa. Pada perforasi retroperitoneal yang masif, keluhan yang
muncul hanyalah kekakuan pada abdomen bagian atas dengan peningkatan
suhu yang progresif, takikardi, dan terkadang terdapat keluhan mual. Setalah
beberapa jam isi duodenum akan mengalami ekstravasasi kedalam kavum
peritoneum dan berkembang menjadi peritonitis. Bila isi tumpah kedalam
kantong yang lebih kecil, biasanya akan terbungkus dan terlokalisasi, walaupun
terkadang dapat bocor kedalam cavum peritonium melalui foramen Winslowi dan
akhirnya timbul peritonitis generalisata.
Secara teori, perforasi duodenum dihubungkan dengan kebocoran amilase
dan enzim pencernaan lainnya, dan telah di kemukakan bahwa penentuan
konsentrasi serum amilase dapat membantu dalam diagnosis. Pada cedera
duodenum, akibat kebocoran konsentrasi amilase bervariasi dan konsentrasi
amilase seringkali membutuhkan waktu beberapa jam sampai hari untuk
meningkat setelah cedera. Pemeriksaa serial terhadap kadar serum amilase
sensitivitasnya masih lemah tetapi penting dilakukan karena turut mempengaruhi
penanganan.

A2w| 76
Pemeriksaan radiologi dapat membantu menegakkan diagnosa.Tanda
radiologi cedera duodenum. Foto polos abdomen dapat memperlihatkan udara di
sepanjang ginjal kanan atau sepanjang tepi muskulus psoas kanan atau anterior
sampai ke tulang belakang bagian atas dan udara bebas intraperitoneal, gas
dalam saluran empedu (walaupun jarang terlihat). Hilangnya garis psoas kanan
disertai udara retroperitoneal yang sering susah dibedakan dengan udara pada
colon transversum atau fraktur processus tranversus pada vertebra lumbalis
merupakan indikasi adanya trauma retroperitoneal. Pemeriksaan serial dengan
Meglumine ( Gastrografin, Schering, Berlin, Germany) material yang larut air
melalui NGT dibawah kontrol fluoroskopi dengan posisi pasien lateral kanan,
memberikan hasil yang positif pada 50 %. Bila tidak ada kelainan, dilanjutkan
dengan posisi supine dan posisi lateral kiri. Bila hasil gastrografin negatif, harus
diikuti dengan kontras barium, karena dapat dengan mudah mendeteksi perforasi
yang kecil. Pemeriksaan saluran cerna bagian atas dengan media kontras juga
dapat diindikasikan pada pasien dengan kecurigaan hematom duodenum,
karena dapat memperlihatkan gambaran “coiled spring“ sebagai obstruksi total
oleh hematom.
CT scan di tambahkan sebagai alat diagnostik untuk cedera duodenum.
Kecurigaan ruptur duodenum retroperitoneal paling baik dikonfirmasi dengan CT-
scan abdomen dengan kontras. CT sangat sensitif dengan adanya sejumlah
kecil udara pada retroperitoneal, darah atau zat kontras yang mengalami
ekstravasasi. Adanya penebalan dinding periduodenal atau hematoma tanpa
ekstravasasi kontras harus di periksa dengan pemeriksaan gastrografin dan
pemeriksaan kontras barium jika hasil pemeriksaan awal negatif atau normal.
Para peneliti menekankan bahwa gambaran trauma duodenum yang tidak khas /
samar pada CT abdomen sebaiknya diindikasikan untuk tindakkan laparotomi.
CT-scan memperlihatkan ruptur
duodenum dimana terdapat cairan
yang bocor ke ruang pararenal
(panah)

DPL tidak dapat dipercaya dalam mendeteksi trauma duodenum ( isolated


injury) dan trauma retroperitoneal lainnya. Tapi DPL (40%) berguna untuk
mendeteksi cedera penyerta intraabdominal. Penemuan amilase atau empedu
pada DPL menunjukan indikator spesifik akan kemungkinan cedera duodenum.
Laparoskopik diagnostik tidak memberikan perkembangan yang berarti
dalam mendiagnosis cedera duodenum dan karena letak anatomi dan
laparoskopik diagnostik memiliki modalitas yang kurang baik untuk mengevaluasi
cedera organ tersebut. Eksplorasi laparotomi masih menjadi tes diagnostik yang
paling baik untuk kecurigaan adanya suatu trauma duodenum walaupun
gambaran radiologinya normal.
A2w| 77
KLASIFIKASI TRAUMA DUODENUM (AAST)
Grade Deskripsi cedera
I Hematoma melibatkan satu segmen duodenum
Laserasi laserasi sebagian ketebalan dinding, tidak ada perforasi
II Hematoma melibatkan lebih dari satu segmen duodenum
Laserasi laserasi < 50% sirkumferensi
III Laserasi laserasi 50 sampai 75% sirkumferensi D2
50 sampai 100% sirkumferensi segmen D1,D3,D4

IV Laserasi laserasi >75% sirkumferensi D2


Melibatkan ampulla vater atau distal saluran empedu
V Laserasi laserasi luas dari kompleks duodenumpankreatico
Vaskular devaskularisasi duodenum

A2w| 78
TERAPI
Penanganan trauma duodenum ditentukan melalui beratnya trauma dan
kemungkinan komplikasi setelah operasi. Sekitar 70- 80 % cedera duodenum
dapat dijahit primer dan sekitar 20-30 % merupakan cedera berat yang
memerlukan prosedur yang kompleks. Cedera duodenum yang ringan dan tanpa
cedera pada pankreas dapat dijahit primer sedangkan cedera duodenum yang
berat memerlukan strategi yang lebih kompleks. Ada 5 faktor yang berhubungan
dengan keparahan cedera duodenum dan morbiditas dan mortalitas. Dan
terdapat faktor keenam yaitu adanya cedera pada pankreas.
ALGORITME PENANGANAN TRAUMA DUODENUM
Pasien dengan trauma duodenal
-Riwayat pukulan langsung ke epigastrium
-Periksa serum amylase & hitung leukosit
-Periksa x-ray abdomen dan foto kontras
-Jika dicurigai trauma pada duodenum lakukan
laparotomi untuk inspeksi ,tentukan derajat cedara

Derajat I atau II hematoma


-Jika hematoma terdeteksi Derajat III
melalui laparotomi,lakukan Lakukan penjahitan primer disertai
evakuasi hematom penutupan pylorus
-Jika hematoma terdeteksi Jika penjahitan primer tidak
secara nonoperatif,observasi memungkinkan maka dilakukan hal
pasien dan pasang NGT, berikan berikut
nutrisi parentral Cedera proksimal ampulla
Dibuat antrectomi + gastroye
Yunostomi + penutupan stump
Cedera distal ampulla
Roux-en-Yduodenoyeyunostomi
Proximal dari cedar & overheac
ting dari distalduodenum

Grade IV &V
Grade I atau II laserasi Pilihan terapi :
Lakukan penutupan primer satu -pankreatikoduodenektomi
atau dua lapisan. -reimplantasi ampulla atau dukt-
Pertimbangkan eksklusi pylorik, tus koledokus ke duodenum a-
atau pelindung bila disertai tau Roux-en-Y yeyunal
trauma pankreas - rekonstruksi dan hepatikoyeyu-
nostomi
-rekonstruksi sekunder
Untuk grade V penanganannya
adalah pankreatikoduodenektomi

A2w| 79
DETERMINAN KEPARAHAN CEDERA DUODENUM
American Association for the Surgery of Trauma (AAST) Organ Injury
Scaling Committee. Cedera duodenum dibagi atas 4 grade. Penjahitan primer
dapat dilakukan pada cedera grade I dan II, sedangkan cedera grade III-V
memerlukan strategi yang lebih kompleks.
Determinant keparahan Cedera Duodenum
NO DERAJAT
RINGAN BERAT
1 Agent Luka Tusuk Tumpul / Peluru
2 Ukuran < 75% Diameter >75% Diameter
3 Lokasi Duodenum Pars III, IV Pars I, II
4 Waktu cedera-Operasi < 24 Jam > 24 Jam
5 Cedera Penyerta Tidak ada Ada ( Pankreas, CBD, dll
Prognosis : Mortalitas 0% 6%
6
Mobiditas 6% 14 %

Hal yang perlu diperhatikan dalam hubungannya dengan pertimbangan


anatomis dan fisiologinya adalah lokasi duodenum dan pembagiannya,
Hubungan anatomis dengan ampula vater, Karakteristik cedera (laserasi simpel,
destruksi dinding duodenum), Keterlibatan sirkumferensial duodenum, Adanya
cedera traktus biliaris, pankreas dan pembuluh darah besar. Perhitungan waktu
dimulainya operasi sangat penting karena angka kematian meningkat dari 11 ke
40% bila interval waktu operasi lebih dari 24 jam. Sebaiknya yang paling awal
dilakukan adalah memastikan letak proksimal dan distal dari Aorta serta distal
dari vena cava inferior sebagai kontrol. Awalnya manuver Kocher di lakukan
dengan memisahkan perlengketan peritoneum lateral dari duodenum dan
memobilisasi bagian kedua dan ketiga duodenum ke medial dengan kombinasi
diseksi tajam dan tumpul. Cara masuk kedalam kandung empedu melalui
ligamentum gastrokolika akan mencapai ke aspek posterior dari bagian
proksimal bagian pertama duodenum dan aspek medial bagian kedua
duodenum. Inspeksi yang lebih baik untuk bagian ke tiga dan keempat
duodenum, dengan mobilisasai lig.Treitz dan melakukan manuver Cattell dan
Braasch, dengan mobilisasi kolon kanan (termasuk flexura hepatika) dari kanan
ke kiri sehingga kolon kanan dan usus halus dapat dilihat, dengan insisi secara
hati-hati pada perlekatan di retroperitoneal dari kuadran kanan ke lig.Treitz.

A2w| 80
Bagian D1 dan D2 dapat dilihat dengan memobilisasi flexura hepatis dari kolon dan insisi
pada ligamentum hepatoduodenale

A B
A. Manuver Kocher memaparkan dinding posterior dari D1, D2 dan D3.
B. Reflexi peritoneum dari caecum, kolon kanan, fleksura hepatis dan ileum terminal di
insisi untuk memudahkan mobilisasi dari kolon kanan.

A B C
A. Colon tranversum dan omentum mayus di elevasi ke superior.
B. Hal ini juga dapat dilakukan dengan meletakan seluruh usus halus ke superior sehingga
bagian D3 dan D4 dapat terlihat. Insisi manuver Kocher dan diteruskan ke ligamentum Treitz.
C. Dengan terelevasinya usus halus, bagian retroperitonel yang melekat pada bagian D4 harus
diinsisi sepanjang batas antimesenterika ke ligamentum Treitz. Harus di kerjakan secara hati-
hati untuk menghindari cedera ke vena meesnterika inferior, yang terlokasi dibatas kiri
posterior dari ligamentum Treitz.

A2w| 81
Bila hasil eksplorasi negatif, tetapi masih terdapat kecurigaan akan
cedera duodenum, Brotman dkk merekomendasikan pemberian metilen blue
melalui NGT. Bila terlihat berwarna (+),dapat dipastikan lokasi cedera.
Secara sederhana duodenum dapat dibagi menjadi bagian atas yang
termasuk bagian I dan II serta bagian bawah yaitu bagian III dan IV. Bagian atas
memiliki struktur anatomis yang kompleks (termasuk duktus biliaris dan spincter)
dan pilorus. Hal ini membutuhkan manuver langsung untuk mendiagnosa cedera
tersebut (cholangiogram, inspeksi visual secara langsung) dan teknik yang
kompleks untuk memperbaiki defek. Bagian I dan II duodenum memiliki
vaskularisasi yang padat dan aliran darahnya bergantung pada kaput pankreas,
sehingga diagnosis dan penanganan setiap cedera sangat kompleks. Bagian
bawah relatif simpel untuk ditangani sama seperti penanganan cedera pada usus
halus,termasuk debridement, reseksi dan reanastomosis. Cedera transeksi
duodenum yang komplit, debridemant tepi mukosa dan penjahitan primer harus
dilakukan . Jika mobilisasi dari kedua ujung duodenum tidak mungkin dilakukan,
atau cedera sangat dekat dengan ampulla dan mobilisasi kedua ujung
duodenum dapat membahayakan saluran empedu, maka Roux-en-Y jejenum
anastomose merupakan pilihan yang cocok.
Hematom intramural (grade I)
Cedera duodenum yang jarang, lebih banyak terjadi pada anak-anak yang
mengalami trauma pada abdomen bagian atas, oleh karena fleksibilitas dan
kelenturan otot dinding perut anak. Cedera ini dapat mengakibatkan pecahnya
pembuluh darah dalam lapisan submukosa dan subserosa dinding duodenum,
yang memperlihatkan bentuk seperti sosis dan dapat menimbulkan obstruksi
duodenum parsial atau komplit. Foto polos abdomen akan memperlihatkan
bayangan massa tak jelas pada kuadran kanan atas dan obliterasi bayangan
psoas kanan. Pemeriksaan serial traktus gastrointestinal atas memperlihatkan
dilatasi lumen duodenum seperti "gulungan kumparan" pada bagian kedua dan
ketiga duodenum yang berhubungan dengan banyaknya valvula koniventes.
Diagnosis dapat dibuat dengan CT-scan double kontras atau pemeriksaan
saluran cerna bagian atas dengan menggunakan kontras (meglumine
diatrizoate), diikuti dengan pemeriksaan barium untuk mendeteksi tanda coiled-
spring sign atau stacked coin sign. Tanda ini adalah karakteristik untuk hematom
duodenum intramural.

A2w| 82
Cedera ini biasanya ditangani tanpa pembedahan dan hasil terbaik
biasanya diperoleh melalui pengobatan konservatif, apabila cedera yang lain
dapat dikesampingkan. Setelah penanganan konservatif selama 3 minggu
dengan aspirasi NGT secara kontinyu dan nutrisi parenteral total. Bila tanda
obstruksi tidak meredah/ sembuh spontan, pasien kembali dievaluasi dengan
pemeriksaan kontras saluran cerna bagian atas dengan interval 5-7 hari. USG
dapat juga dilakukan untuk follow up resolusi hematom duodenum. Bila tidak ada
perkembangan maka disarankan tindakkan laparotomi untuk menyingkirkan
adanya perforasi duodenum atau cedera kaput pankreas (pada sekitar 20%
pasien) yang juga dapat menjadi penyebab alternatif untuk terjadinya obstruksi
duodenum. Pada penelitian 6 kasus hematom duodenum dan yeyunum akibat
trauma tumpul, hematom mengalami resolusi tanpa tindakan operasi sebanyak 5
kasus, durasi lama rawat rat-rata 16 hari ( antara 10- 23 hari) dan durasi nutrisi
parenteral total rata-rata 9 hari ( antara 4-16 hari). Pada kasus ke 6 pemeriksaan
serial abdomen bagian atas mempelihatkan adanya obstruksi yang gagal
mengalami resolusi setelah penanganan konservatif selama 18 hari dan pada
saat dilakukan laparotomi ditemukan striktur pada yeyunum dan kolon karena
terbentuk fibrosis, tetapi akhirnya dapat direseksi dengan sukses.
Hematom intramural yang besar yang melibatkan dua atau lebih segmen
jarang sembuh secara spontan. Penanganan hematom intramural ditemukan
pada laparotomi kontroversial. Salah satu pilihan yaitu dengan melakukan insisi
longitudinal sepanjang serosa kebatas antemesenterika, membuka serosa,
mengevakuasi hematom dan serosa yang melekat ke lapisan muskular tanpa
merusak mukosa dan dengan hati-hati memperbaiki dinding usus dengan
melakukan penjahitan menggunakan jahitan interuptus 4-0. Perlu diperhatikan
bahwa hal ini dapat menimbulkan sedikit robekan bahkan sampai robekan yang
tebal pada dinding duodenum. Bila hal itu terjadi maka diperlukan dekompresi
gastrik yang lama bahkan feeding yeyunostomi sebaiknya di buat. Pada kasus ini
drainase tidak diperlukan. Pilihan lain adalah dengan hati-hati mengeksplorasi
duodenum untuk menyingkirkan perforasi. Drainase perkutaneus terhadap
hematom duodenum sudah pernah dilaporkan.

Grade I. Operasi evakuasi sepanjang sisi serosa Longitudinal ke batas antemesenterika, setelah
hematom dievakuasi lakukan penjahitan dengan benang 4-0.

A2w| 83
Perforasi Duodenum (grade II)
Sebagian besar perforasi duodenum dapat ditangani dengan prosedur
operasi yang sederhana, terutama untuk kasus trauma tembus dimana interval
waktu antara trauma dan operasi harus singkat. Metoda perbaikan cedera
duodenum dan prosedur supportif untuk pencegahan dehisensi akan di jelaskan
berikut ini.

Laserasi berat duodenum ditutup secara primerdebridement minimal. Lapisan dalam ditutup
dengan jahitan absorbel 4-0. Diikuti jahitan seromuskular nonabsorbel interuptus 4-0. Luka obliq
atau longitudinal ditutup sesuai arah cedera dengan jahitan sekaligus lapisan serosa,muscular
dan submukosa. . Laserasi simpel pada duodenum dapat ditutup primer. Laserasi sepanjang axis
duodenum dapat dijahit longitudinal atau transverse. Penjahitan secara transverse lebih disukai
oleh karena bisa terjadi penyempitan lumen apabila penjahitan secara longitudinal.

Repair Perforasi
Kebanyakkan cedera duodenum dapat diperbaiki dengan repair primer
satu atau dua lapis. Penutupan dapat dilakukan secara tranversal, jika
memungkinkan hindari kontak dengan lumen dan dalam penjahitan hindari juga
inversi yang berlebihan. Duodenotomi longitudinal dapat menyerupai tranversal
bila panjang cedera duodenum <50% lingkar duodenum. Bila penutupan primer
dapat merusak lumen duodenum, maka ada beberapa pilihan yang
direkomendasikan. ´Pedicled mucosal graft´ menggunakan segmen yeyunum
atau dengan flap „gastric island‟ dari corpus gastricum yang dianjurkan untuk
defek duodenum yang lebar. Kemungkinan lain adalah menggunakan tambahan
dari serosa yeyunum untuk menutup defek duodenum. Walaupun cukup
memuaskan dalam penelitian, aplikasi klinik kedua metoda ini sangat terbatas
dan pernah dilaporkan terjadi kebocoran pada garis sutura duodenum.
Meletakan loop yeyunum diatas daerah yang cedera seperti serosa yeyunum
untuk melapisi duodenum juga bisa disarankan.

A2w| 84
Laserasi dan Transeksi Duodenum (grade III)
Pada transeksi duodenum komplit, metoda perbaikan yang lebih di sukai
adalah anastomosis primer. Anastomosis primer dapat dilakukan setelah tepi
mukosa dapat di debridement, duodenum dapat dimobilisasi, selain itu bila
kehilangan jaringan minimal, bila ampula tidak terlibat dan efek dapat ditutup
tanpa tension. Perforasi duodenum sederhana ditutup dengan jahitan simpul
kontinyu dengan benang 3-0 yang dapat diserap, melalui seluruh lapisan dinding,
diikuti pada lapisan luar dengan jahitan matras terputus dengan benang yang
tidak dapat diserap pada lapisan seromuskular. Cara ini biasanya dilakukan
untuk kasus cedera duodenum pars I,III dan IV dimana teknik mobilisasinya tidak
sulit.

Grade III. Transeksi pada duodenum diterapi dengan debridement dan


penjahitan end to end

a b c d
a.Pada cedera dengan transeksi lengkap dari D1,D2 dan D3 dapat diperbaiki
dengan anastomosis primer end to end.
b.Anastomosis 2 lapis dilakukan dengan menjahit dinding posterior dengan
jahitan seromuskular interuptus
c.Jepit duodenum dengan klem usus untuk menghindari tumpahnya isi usus
sewaktu penjahitan lapisan dalam
d.Penjahitan seromuskular pada dinding anterior menggunakan jahitan matras
horizontal atau teknik Lambert
Namun demikian apabila terdapat sejumlah besar kehilangan jaringan dan
aproksimasi ujung duodenum tidak bisa di lakukan karena kemunginan terjadi
tension dan bila kasus transeksi komplit ini terjadi pada bagian pertama
duodenum maka dilakukan anterectomi dengan penutupan stump duodenum
dan gastroyeyunostomi (Billroth II).

A2w| 85
Apabila mobilisasi tidak adekuat sehingga bisa menyebabkan cedera pada
CBD dan bila trauma dekat dengan ampulla Vater ,maka pilihan yang paling
mungkin adalah penutupan duodenum distal dan anastomose Roux-en-Y
duodenoyeyunal dapat dilakukan. Mobilisasi bagian kedua duodenum terbatas
oleh adanya pembagian asupan darah dengan caput pankreas. Anastomosis
direk ke loop Roux-en-Y diatas defek duodenum secara end to side merupakan
cara terpilih. Hal ini dapat juga di lakukan sebagai metoda alternatif penanganan
operasi pada defek ekstensif pada bagian lain duodenum saat anastomosis
primer tidak dapat dilakukan.

Pada transeksi yang luas dengan udem atau inflamasi, loop Roux-en-Y pada
yeyunum dapat digunakan untuk menutup defek

Ruptur duodenum yang extensive dapat diterapi dengan reseksi dan end to end
Roux-en-Y duodenojejunostomy.

A2w| 86
Alternatif lain adalah dengan mengunakan patch dari yeyunum untuk
menutupi defek yang besar sebagai graft serosa. Patch repair dengan mukosa
yeyunum (mucosal jejunal patch repair) jarang dilakukan.

Cedera duodenum yang tidak dapat direpair secara primer tanpa mengakibatkan penyempitan dari lumen dapat
direpair dengan tehnik serosa patch. Serosa dari jejenum dijahit pada tepi defek duodenum. Studi experimental
memperlihatkan bahwa serosa yang terekspose ke dalam lumen duodenum akan ditutupi oleh epitel.
Alternatif penggunaan serosa patch pada cedera duodenum yang berat dengan
menggunakan pedicle graft (A sampai D). Graft dapat diambil dari corpus gaster
atau dari jejenum. Defek duodenum yang besar dapat ditutup seperti pada
gambar E. Segment jejenum direpair secara end to end anastomosis.
Pankreotikoduodenektomi hanya dilakukan pada trauma duodenum bila terjadi
perdarahan pankreas yang tidak terkontrol atau bila trauma duodenum bersama-
sama dengan trauma CBD distal atau duktus pankreatikus. Drainase external
juga sangat diperlukan karena mampu mendeteksi dan mengontrol adanya
fistula duodeni. Drain sebaiknya sederhana dari karet silikon lunak, sistim
tertutup dan diletakan dekat dengan lokasi defek yang diperbaiki.

CEDERA PANKREATIKODUODENAL
Cedera hebat pada pancreas dan duodenum jarang terjadi. Pada suatu studi
yang dilaporkan antara tahun 1981-1990 hanya 48 (3%) dari 1404 pasien yang
dilakukan tindakan pancreaticoduodenectomi.Trauma gabungan ini paling sering
disebabakan oleh trauma tembus dan terjadinya di hubungkan dengan trauma
multipel pada abdomen.
Cedera pancreatikoduodenal dihubungkan dengan tingginya angka
mortalitas. Dilaporkan bahwa angka mortalitas pada kasus cedera
pankreatikoduodenal adalah sebanyak 30-35%. Cedera ini sering dikaitkan
dengan cedera hebat pada vaskularisasi mayor dari kaput pancreas, perdarahan
dan syok dimana cedera pada vaskular merupakan penyebab kematian
tersering. Bahkan cedera ringan pada pankreas meningkatakan angka
morbiditas dalam hubungannya dengan cedera pada duodenum. Beberapa
penulis melaporkan beberapa teknik simpel yang banyak digunakan untuk
penatalaksanaan trauma tersebut adalah penjahitan duodenum dan kapsul
pankreas dengan drainase luas, beberapa prosedure tambahan seperti
divertikulasi duodenal dan eksklusi pilorik.

A2w| 87
Hal penting dalam penatalaksanaan cedera kombinasi
pankreatikoduodenal adalah perlu diketahui keadaan pankreas dan duktus
biliaris. Adanya cedera pada duktus biliaris dapat di identifikasi dengan
chlolangiografi, dilanjutkan dengan choledochotomi atau melalui duktus sistikus
setelah cholecystectomi. Penilaian terhadap keadaan dari duktus pankreatikus
adalah sangat sulit. Pada saat lokasi cedera pada duodenum ditemukan dengan
kecurigaan adanya cedera pada duktus pankreatikus, kanulasi pada duktus ke
defek di duodenum dan pankreatografi retrograde dapat dengan mudah
dikerjakan. Pada kasus-kasus dimana duodenum intak dan adanya kecurigaan
terdapatnya cedera pada duktus pankreatikus, maka dilakukan retrograde
pancreatography dilanjutkan dengan pertimbangan dilakukannya duodenotomy
atau antegrade pancreatography setelah amputasi cauda pankreas dapat di
usulkan. Cedera pankreatikoduodenal yang mengakibatkan kerusakkan pada
duktus pankreatikus di caput pankreas merupaka masalah yang sulit. Cedera ini
sering menimbulkan syok akibat cedera pada vaskuler atau adanya feses akibat
cedera pada kolon. Banyak penulis mengindikasikan tindakan
pankreatikoduodenektomi untuk kasus-kasus cedera berat tersebut.

Penatalaksanaan
Pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil, hyponatremia,
koagulopati dan asidosis , yang pertama dilakukan adalah kontrol perdarahan,
berikutnya kontrol dan penanganan terhadap saluran cerna dan kontaminasi
bakteri dan yang terakhir adalah identifikasi lokasi cedera. Resusitasi selanjutnya
dilakukan di ICU dan bila stabil direncanakan untuk tindakan defenitif berupa
rekonstruksi dan anastomosis( umumnya 24-48 jam kemudian).
Cedera pada pankreas dan duodenum yang terjadi bersamaan harus
ditangani secara terpisah.Beberapa cedera yang berat membutuhkan prosedur
yang rumit. Feliciano dkk melaporkan pengalaman pada cedera pankreas dan
duodenum dan mengusulkan bahwa :
a. Cedera duodenum yang simpel tanpa cedera duktus pankreatikus (grade I &
II) ditangani dengan perbaikan primer dan drainase
b. Grade III, cedera duodenum dan pankreas, paling baik di tangani dengan
reseksi kedua organ, eksklusi pylorus, gastroyeyunostomi, dan penutupan
c. Grade IV & V,cedera duodenum dan pankreas paling baik di tangani dengan
pancreaticiduodenectomi

A2w| 88
Pilihan terapi terbaik diberikan kepada pasien yang ditentukan oleh
integritas dari distal CBD dan ampulla sesuai beratnya trauma pada duodenum.
Untuk alasan ini, maka setiap pasien dengan kombinasi cedera pancreas dan
duodenum dilakukan cholangiography, pancreatography dan evaluasi ampulla.
Jika CBD dan ampulla intak, duodenum dapat ditutup secara primer. Apabila
status dari duktus pankreatikus tidak dapat dinilai selama intraoperatif dilakukan
drainase external luas pada caput pankreas dan pemasangan drain hisap dari
pada tindakan total pankreatektomi, diikuti dengan tindakan ERCP atau MRP
segera setelah postoperasi. Cedera ekstensif lokal intraduodenal atau duktus
biliaris intrahepatik mengharuskan tindakan pankreatikodudenektomi. Cedera
lokal yang kurang ektensif dapat ditangani dengan tindakan stenting intraluminal,
spincteroplasty atau reimplantasi ampula Vater.
Pankreatikoduodenektomi merupakan prosedur operasi besar yang harus
dilatih dalam situasi trauma, jka tidak ada alternatif lain. Rekonstruksi dapat
dilakukan dalam 48 jam saat pasien sudah stabil. Indikasi untuk melakukan
pankreatioduodenektomi adalah terdapatnya kerusakan hebat dari kompleks
pankreatikoduodenal, devaskularisasi duodenum dan terkadang adanya cedera
ekstensif pada bagian ke dua dari duodenum yang melibatkan ampulla dan
bagian distal duktus biliaris.
Peranan pankreatikodudenektomi di gambarkan oleh Walt ; pada akhirnya
apakah Whipple atau bukan Whipple menjadi pertanyaan. Pada lesi destruktif
masif yang melibatkan pankreas, duodenum dan duktus biliaris, keputusan untuk
melakukan pankreatikoduodenektomi tidak dapat dilakukan. Dan faktanya
adalah banyak keputusan harus diambil cepat, dan faktor psikologi pasien
menjadi penentu dalam pengambilan keputusan.

Divertikulasi Duodenum
Pertama kali diperkenalkan oleh Berne dkk pada tahun 1968, sebagai terapi
tambahan yang digunakan dalam kasus cedera duodenum yang berat atau
cedera kombinasi antara pankreas dan duodenum. Teknik ini diciptakan untuk
mengeksklusi duodenum yang sedang diperbaiki dan menjadi jalan dari isi
gaster. Operasi kombinasi ini terdiri dari antrektomi gaster(Gastrektomi Billroth II
distal) , penutupan bagian pertama dari duodenum, gastroyeyunostomy,
vagotomy dan tube duodenostomy. Tube duodenostomy dipasang untuk
mengurangi kemungkinan gangguan pada garis jahitan duodenum. Dalam kasus
cedera kandung empedu ,dilakukan juga tube choledocostomy. Drainase
eksterna juga dilakukan dengan menempatkan selang pada bagian yang di
perbaiki.Laporan susulan (follow up) oleh Berne dkk mendokumentasiakan
angka mortalitas 16 % pada pasien yang dilakukan terapi ini. Secara teori,
kelebihan divertikulasi adalah terbentuknya end fistula yang akan tertutup
dengan sendirinya. Kekurangan dari divertikulasi duodenum adalah tidak boleh
dilakukan pada pasien trauma dengan hemodinamik yang tidak stabil atau
pasien dengan cedera multipel.

A2w| 89
Cedera duodenum dan panceoticoduodenal sering membutuhkan diversi dari isi gaster menjauhi daerah yang
telah direpair. Hal ini dapat dicapai secara permanen dengan apa yang disebut sebagai duodenal diverticulation.
Hal ini meliputi antrectomy dengan gastrojejunostomy, truncal vagotomy, tube duodenostomy,dan drainase
external dari bagian duodenum yang telah direpair. Tube choledochostomy dapat ditambahkan apabila cedera
duodenum terjadi pada bagian ampulla.
Eksklusi Pylorus
Teknik eksklusi pylorus dilaporkan oleh Vaugan dkk pada tahun 1977
sebagai metoda untuk mendapat hasil yang sama dengan teknik divertikulasi
dengan lebih mudah. Eksklusi pylorus disarankan sebagai alternatif dari teknik
divertikulasi dengan keuntungan waktunya lebih pendek dan prosedur yang
reversibel. Setelah perbaikan luka duodenum, dan penempatan selang
dekompresi ,gastrotomi dibuat di antrum sepanjang curvatura mayor.Cincin
pylorus yang kuat mencengkram dinvaginasi keluar gaster selama gastrotomy
dan pylorus dijahit kuat dari dalam dengan menggunakan benang nonabsorable
dengan hati-hati untuk menghindari terjadinya ulcerogenic retained antrum
syndrome. Dan sebagai alternatif dapat juga ditutup dengan barisan stepler yang
dapat ditempatkan secara melintang atau di bawah pylorus dengan alat stapling.
Kemudian dilakukan loop gastroyeyunostomy. Vagotomy tambahan masih
kontroversial. Penutupan cincin pylorus akan rusak dalam beberapa minggu dan
kontuinitas gastrointestinal akan kembali baik. Perhatian tidak perlu ditujukan
pada tindakan penutupan pylorus apakah dengan benang atau dengan stapler
tetapi pada potensi terjadinya suatu ulcerogenic pada tindakan eksklusi pylorus.
Walaupun tindakan ini ulcerogenik, namun insiden ulserasi marginal pada pasien
yang di rawat adalah rendah dilaporkan pada 10 % kasus. Fistula duodenum
dapat tetap ada setelah eksklusi pylorus dan perlu diperhatikan bahwa spincter
yang terbuka spontan akan memberikan efek negatif terhadap penutupan fistula.
Eksklusi pylorus adalah teknik yang mudah, kurang radikal dan lebih
cepat dari divertikulasi duodenum dan tampak efektif untuk melindungi
duodenum yang telah di perbaiki. Dari foto kontras gastrointestinal menunjukan
bahwa pylorus terbuka kembali setelah beberap minggu. Suatu teknik yang
menarik untuk kontrol terbukanya kembali pylorus setelah eksklusi pylorus
dilaporakan oleh Fang dkk. Penggunaan octrectide dalam melindungi garis
suture pada pancreatikoduodenektomi terlihat cukup menguntungkan.
Penggunaanya setelah trauma duodenum untuk proteksi luka duodenum di
sarankan oleh Mullins dkk.

A2w| 90
Prosedur yang sangat berguna pada cedera duodenum dan pankreotikoduodenal adalah eksklusi pylorus.
Melalui suatu gastrostomy pda daerah distal gaster, pylorus dijahit dengan benang nonabsorbel. Alternatif lain,
dapat digunakan stapler pada duodenum distal dari pylorus. Kemudian dilakukan gastrojejunostomi.
DIVERSI DUODENUM
Trauma duodenum dengan resiko tinggi, setelah repair akan dikuti oleh insidensi
terjadinya dehisensi.Untuk melindungi luka post repair,isi saluran cerna dengan
enzim proteolitiknya dapat dialihkan,praktis dan memudahkan penanganan
fistula duodenum.
Dekompresi Duodenum
Dekompresi intraluminal duodenum tube adalah teknik tertua yang digunakan
untuk dekompresi duodenum dan diversi isi duodenum untuk mempertahankan
integritas duodenografi. Diperkenalkan untuk trauma oleh Stone & Geroni
sebagai “Triple ostomy” yaitu tube gastrotomy untuk decompresi gaster,
yeyunostomi untuk dekompresi duodenum dan antegrad yeyunostomy untuk
nutrisi pasien. Yeyunostomy feeding pada cedera duodenum dan trauma
abdomen yang luas ( index trauma abdomen >25) sangat disarankan.

Cedera duodenum yang berat dan telah dilakukan anastomosis sering


memerlukan prosedur tambahan untuk memproteksi anastomosis. Cara yang
paling sederhana ialah dengan menggunakan duodenostomy tube.
Terapi pada cedera duodenum yang berat adalah repair primer, gastostomy,
retrograde duodenostomy,dan feeding jejunostomy. Dengan terapi seperti ini
insidens fistula sangat rendah.
A2w| 91
HEPATOBILIER
ANATOMI HEPAR
Hepar adalah kelenjar terbesar dalam tubuh yang memiliki berat berkisar
1200 – 1600 gr. Berat pada laki-laki 1400 – 1600 gr dan pada perempuan 1200 –
1400 gr (1). Berat hepar tergantung pada berat masing-masing tubuh, yaitu 1,8
% - 3,1 % dari total berat tubuh, pada infant memiliki berat yang agak lebih yaitu
kira-kira 5% sampai 6 % dari total berat tubuh.

Ukuran tranversal dari hepar berkisar 20 cm- 22,5 cm, dan ukuran vertikal
berkisar 15 cm – 17,5 cm, dengan diameter anteroposterior terbesar berkisar 10
cm–12,5 cm. Hepar mempunyai konsistensi kenyal, berwarna coklat kemerahan.
Bentuk hepar adalah piramid , yang puncaknya dibentuk oleh bagian pada lobus
sinistra, sedangkan basisnya pada sisi lateral kanan yang lokasi pada dinding
thorax kanan. Hepar dibungkus peritoneum viseralis kecuali gallbladder bed,
porta hepatis dan di posterior pada daerah yang disebut bare area dari hepar di
kanan dari vena cava inferior. Di bawah peritoneum terdapat kapsula Glisson,
yang meliputi seluruh permukaan organ; kapsula ini pada hilus atau porta hepatis
di permukaan inferior, melanjutkan diri ke dalam massa hati, membentuk rangka
untuk cabang-cabang vena porta, arteri hepatika dan saluran empedu. Duplikasi
peritoneum yang meluas dari dinding abdomen anterior dan diafragma ke hepar
membentuk ligamentum yang mempertahankan organ hepar pada tempatnya.
Duplikasi horizontal peritoneum membentuk lig.coronary yang nampak jika
menarik hepar ke bawah. Tepi kanan yang bebas dari lig.coronary membentuk
lig.triangular kanan dan ujung kiri membentuk lig.triangular kiri yang melekat
pada apeks lobus kiri dan mencapai procesus fibrous hepar yang melekat pada
diafragma. Dari pertengahan lig.coronary muncul lig.falciform yang meluas ke
anterior sebagai membrana tipis menghubungkan permukaan hepar ke
diafragma, dinding abdomen dan umbilikus. Lig.teres (obliterasi vena umbilikalis)
yang berjalan ditepi inferior lig.falciform dari umbilikus sampai fisura umbilkalis.
Fisura umbilikalis berada pada permukaan inferior hepar sinistra dan terdapat
triad portal kiri. Lig.falciform, sebagai penanda permukaan yang jelas, yang
secara historis digunakan untuk pembagian lobus hepar kiri dan lobus hepar
kanan

A2w| 92
Hepar dibagi menjadi 2 lobus utama yaitu lobus kanan yang besar dan lobus kiri
yang lebih kecil. Walaupun ligamentum falciform sering digunakan untuk
membagi hepar menjadi lobus kanan dan kiri, „true / surgical Couinaud‟s
segmental anatomy‟ dari hepar yang paling banyak digunakan oleh ahli bedah
sebagai deskripsi secara anatomi fungsional atau anatomi modern. Sedangkan
deskripsi secara klasik atau tradisional anatomi, hepar di bagi menjadi empat
lobus yaitu lobus kanan, lobus kiri, kaudatus, dan quadratus. Bagaimanapun juga
deskripsi lobus secara tradisional ini yang berdasarkan pada anatomi permukaan
tidak menggambarkan „true segmental anatomy‟ dari hepar seperti pada
couinaud. Klasifikasi Couinaud membagi hepar kedalam 4 sektor didasarkan
pada jalannya tiga vena hepatika utama. Masing-masing sektor menerima suplai
darah dari pedikel portal secara terpisah. Dalam scissura utama terdapat vena
hepatika media yang berjalan dari sisi kiri vena cava suprahepatika ke bagian
tengah fossa kandung empedu. Secara fungsional scissura utama membagi
hepar menjadi lobus kanan dan lobus kiri yang tidak bergantung pada aliran
portal dan arsitektur biliaris. Secara singkat, penanda yang dari kandung empedu
sampai sisi kiri vena cava inferior (di kenal dengan fisura portal atau Cantlie,s
line) membagi hepar menjadi lobus kanan dan kiri . Lobus kanan lebih lanjut
dibagi menjadi segmen anterior dan segmen posterior. Lobus kiri dibagi menjadi
segmen medial (yang dikenal lobus quadratus) yang menempati sisi kanan
ligamentum falciform dan fisura umbilikalis dan segmen lateral menempati sisi
kirinya. Sistim yang di kenal seperti ini cukup untuk tindakan mobilisasi hepar
dan tindakan hepar yang sederhana, tetapi tidak dapat menggambarkan lebih
banyak kerumitan dan anatomi fungsional yang di perlukan bagi ahli bedah
hepar. Hepar selanjutnya dibagi atas 8 segmen yang masing-masing disuplai
oleh pedikel yang terdiri dari vena portal, arteri hepatika dan duktus biliaris.
Segmen-segmen ini lebih lanjut di bagi kedalam 4 sektor yang dipisahkan oleh
scissura yang mengandung tiga vena hepatika utama. Sistim ini mula-mula
digambarkan pada tahun 1957 oleh Goldsmith dan Woodburney sebagaimana
juga oleh Couinaud, yang mengambarkan anatomi hepar , dimana itu paling
berkaitan dengan pembedahan hepar

A2w| 93
Scissura utama terdapat vena hepatika media yang berada pada arah
anteroposterior dari fosa kandung empedu sampai ke sisi kiri vena cava inferior
dan membagi hepar menjadi hemiliver kiri dan kanan. Garis dari scissura yang di
kenal juga sebagai Cantlie,s line. Hepar kanan dibagi menjadi sektor anterior
(segmen V dan segmen VIII) dan sektor posterior (segmen VI dan segmen VII)
oleh scissura kanan yang mana terdapat vena hepatika kanan. Pedikel portal
kanan yang terdiri atas arteri hepatika kanan, vena porta kanan dan duktus
biliaris kanan yang kemudian menjadi pedikel anterior kanan dan pedikel
posterior kanan yang mensuplai sektor anterior dan posterior. Hepar kiri memiliki
fisura yang nampak berada di sepanjang permukaan inferior yang di sebut fisura
umbilikalis. Ligamentum teres (sisa vena umbilikalis) berada pada fisura ini.
Ligamentum falciform berhubungan dengan fisura umbilikalis dan ligamentum
teres . Fisura umbilikalis bukan merupakan scissura, tidak mengandung vena
hepatika dan pada kenyataannya mengandung vena portal kiri (triad yang terdiri
atas vena portal kiri,arteri hepatika kiri dan duktus biliaris kiri) yang berada pada
fisura ini,bercabang untuk memberi makan hepar kiri. Scissura kiri berada di
posterior ligamentum teres dan terdapat vena hepatika kiri. Hepar kiri dibagi
menjadi sektor anterior (segmen III dan IV) dan sektor posterior (segmen II-
sektor yang hanya terdiri dari satu segmen ) oleh scisura kiri. Sedangkan lobus
kaudatus (segmen I) merupakan bagian posterior hepar. Pada hilus hepar,triad
portal kanan merupakan pedikel extrahepatika yang pendek kira-kira 1 – 1,5 cm
sebelum memasuki jaringan hepar dan bercabang atau mensuplai ke sektor
anterior dan posterior dari hepar kanan. Bentuk percabangan vena-vena portal
sektor ini kedalam sub bagian hepar kanan menjadi 4 segmen yaitu segmen V
(anterior dan inferior) dan segmen VIII( anterior dan superior) membentuk sektor
anterior dan segmen VI (posterior dan inferior) dan VII ( posterior dan superior)
membentuk sektor posterior. Sebaliknya , untuk triad portal kiri memiliki panjang
saluran extrahepatika - 4 cm berada di bagian inferior lobus quadratus (segmen
IV B) yang berjalan secara tranversal di bungkus dalam „peritoneal sheath‟ yang
berada pada ujung atas omentum minus.

A2w| 94
Morfologi dan segmen
Dilihat dari permukaan anterior, hepar terdiri atas Lobus hepatis dextra dan
lobus hepatis sinistra yang dipisahkan oleh ligamentum falciforme hepatis dan
fossa sagitalis sinistra. Dilihat dari permukaan posterior, terlihat lobus hepatis
dextra yang terbagi lagi menjadi 3 buah lobus yaitu Lobus caudatus, lobus
quadratus dan lobus hepatis dextra itu sendiri.
1. Lobus Hepatis Dextra
Lobus ini mempunyai ukuran yang lebih besar daripada lobus hepatis
sinistra, yaitu kira-kira 5/6 bagian dari seluruh hepar. Lobus ini terletak di
hipokondrium dextra dimana dipisahkan dengan lobus hepatis sinistra oleh
ligamentum falciforme pada facies diafragma, sedangkan pada facies
visceralis dipisahkan oleh fossa sagitalis sinistra (Facies sagitalis sinistra
dibentuk oleh fossa ductus venosi pada bagian dorso cranial dan fossa vena
umbilikalis pada bagian ventro caudal). Pada facies visceralis lobus hepatis
dextra terdapat 2 buah fossa yaitu fossa vesica fellea yang ditempati oleh
fundus dari vesica fellea dan fossa vena cava yang ditempati oleh vena cava
inferior. Kedua fossa ini bersama-sama membentuk fossa sagitalis dextra.
Diantara kedua fossa sagitalis sinistra dan dextra terdapat cekungan yang
berjalan melintang yang disebut porta hepatis yang membagi 2 bagian
menjadi lobus qudratus dan lobus caudatus (Spigeli)
2. Lobus Quadratus hepatis
Lobus ini terletak pada facies inferior dari lobus hepatis dextra, dibatasi oleh :
 Anterior oleh margo anterior hepatis
 Dorsal oleh porta hepatis
 Sebelah kiri oleh fossa vena umbilicalis
 Sebelah kanan oleh fossa vessica fellea.
Pada gross anatomi, lobus ini dideskripsikan sebagai bagian dari lobus
hepatis dextra, tetapi secara fungsional lebih berhubungan dengan lobus
hepatis sinistra.

A2w| 95
3. Lobus Caudatus hepatis
Lobus caudatus ini terletak di facies posterior lobus hepatis dextra setinggi
vertebra thoracal X – XI, dibatasi :
 Dibagian ventro caudal olehporta hepatis
 Sebelah kanan oleh fossa vena cava
 Sebelah kiri oleh fossa ductus venosi
Lobus ini mempunyai tonjolan yang agak ke antero lateral, yang
memisahkan fossa vena cava dan fossa vesica fellea, yang dinamakan
processus caudatus. Disebelah kiri dari processus caudatus, berbatasan
dengan porta hepatis dan fossa ductus venosi, terdapat processus papillaris.
4. Lobus Hepatis sinistra
Lobus ini bentuknya jauh lebih kecil daripada lobus hepatis dextra, lebih
pipih dan hanya berukuran kira-kira 1/6 dari ukuran hepar keseluruhannya.
Lobus hepatis sinistra ini terletak didalam region epigastrium dan sedikit
didalam hypocondrium kiri. Lobus ini terletak disebelah kiri dari ligamentum
falciforme, tidak memiliki subdivisi dan berakhir pada pada bagian apeks yang
tipis pada quadrant kiri atas.
5. Segmen Couinaud
Clinical nomenclature yang dapat diterima secara luas adalah yang
dideskripsikan oleh Couinaud (1957) dan Healey and Schroy (1953)
Arsitektur dalam dari hepar dibagi menjadi beberapa segmen, secara
utama didasarkan atas segmen Couinaud. Couinaud menjadikan distribusi
dari portal dan vena hepatis sebagai dasar sedangkan Healey dan Schroy
mempelajari arteri dan anatomi bilier.
Hepar lebih jauh lagi dibagi menjadi beberapa segmen, setiap segmen
tersebut disuplai oleh cabang arteri hepatis, vena porta dan duktus bilier.
Lobus kiri terdiri dari segmen I, II, III dan IV dan segmen V, VI, VII, dan VIII
mengisi lobus kanan. Lobus kanan lebih jauh lagi dapat dibagi menjadi sektor
anterior dan posterior. Sektor posterior kanan dibentuk oleh segment VI dan
VII dan anterior kanan dibentuk oleh segmen V dan VIII. Segmen kiri juga
dapat dibagi menjadi beberapa bagian; Segmen IV sesuai dengan sektor
medial kiri dan segmen II dan III sesuai dengan sektor lateral kiri. Segmen I
sesuai dengan lobus caudatus dan segmen IV sesuai dengan lobus
quadratus.

Fiksasi Hepar
Fiksasi Hepar dilakukan atau dimungkinkan oleh adanya :
1. Ligamenta
 Ligamentum Falciforme hepatis di ventral
 Omentum minus di caudomedial
 Ligamentum triangulare hepatis sinsitrum et dextra di lateral dan medial
 Ligamentum coronarii hepatis sinistra et dextra di cranial
 Ligamentum teres hepatis di caudal
 Ligamentum venosum arantii di caudal
A2w| 96
2. Vena hepatica
Vena ini menfiksasi hepar ke dinding posterocranial cavum abdominis
terhadap vena cava inferior.
3. Desakan negative dari cavum thoracis yaitu adanya daya isap dari tekanan
negative tadi ke arah ventrocranial, terhadap organ-organ didalam cavum
abdominis.
4. Desakan positif dari cavum abdomini yaitu adanya dorongan dari organ-organ
satu dengan yang lainnya didalam cavum abdominis dan oleh kontraksi otot-
otot dinding abdomen.

Lymphonodus Hepatis
Hepar merupakan organ yang mempunyai system limfatika yang terbesar
dibandingkan dengan viscera abdominis lainnya. Lymponodus hepatis terdiri
atas kelompok superficialis dan profunda.
Kelompok superificialis terdiri atas :
a. Pada facies inferior dan anterior hepatis
b. Pada facies superior dan posterior menuju ke lymponodus para aorta dan
ada yang menuju lymponodi parasternal.
c. Pada facies posterior sebagian menuju ke lymponodus coelica seterusnya ke
cisterna chili
Kelompok profunda; sebagian besar menuju lymponodi hepatis dan sebagian
kecil saja yang menuju ke lymponodi paraaorta.
Innervasi Hepar
Hepar mendapat innervasi dari :
1. Nn. Splancnici
Bersifat simpatis untuk pembuluh darah didalam hepar. Nervus vagus dextra et
sinistra. Bersifat parasimpatis dan berasal dari chordae anterior dan posterior nn.
Vagus. Keduanya masuk ke dalam ligamentum hepatodoudenale. Menuju portae
hepatis.
2. Nn.Phrenicus dextra
Setelah masuk kedalam cavum abdominis akan menuju ke pleksus coeleacus
untuk kemudian mengikuti ligamentum hepatoduodenale sampai ke porta
hepatis. Nervus ini bersifat viscera afferent untuk ligamentum falciforme hepatis,
ligamentum coronaria hepatis, ligamentum triangulare hepatis serta capsula
Glissoni.

VASKULARISASI HEPAR
Vascularisasi Hepar
Sirkulasi darah pada hepar dibentuk oleh arteri hepatica, vena porta, dan
vena hepatica, disebut sirkulasi portal. Arteri celiakus yang bercabang berasal
dari aorta muncul dari hiatus diafragma, yang secara karakteristik sangat pendek
dan bercabang menjadi arteri gastrika kiri, arteri lienalis dan arteri hepatika
komunis.

A2w| 97
1. Arteri hepatica communis
Merupakan cabang dari arteri coeliaca, berjalan ke ventral agak ke kanan
pada margo superior pancreas, di sebelah dorsal pars superior duodeni.
Kemudian arteri itu membelok dan masuk ke dalam ligamentum
hepatoduodenale di bagian caudal foramen epiploicum Winslowi; berjalan
didalam ligamentum itu bersama-sama dengan duktus choledocus, vena
portae, pembuluh limfe, dan serabut saraf menuju porta hepatis. Didalam
ligamentum hepatoduodenale, arteri hepatis comunis berada disebelah
anterior agak ke kiri dari duktus choledocus dan berada disebelah anterior
vena porta. Sampai pada porta hepatis, arteri hepatica communis bercabang
menjadi 2 yaitu :
a. Arteri hepatica propria dextra
Berjalan di sebelah ventral vena porta, kemudian menyilang ductus
hepaticus communis, berjalan terus ke kanan dan sebelum masuk ke
dalam lobus hepatis dextra memberi cabang arteri cystica, yang memberi
suplai darah kepada vesica fellea.
b. Arteri hepatica propria sinistra
Berjalan ke arah porta hepatis, berada disebelah kiri dari duktus hepaticus
dextra dan sebelum masuk ke dalam lobus hepatis sinistra memberi
cabang ke cranial dan caudal, serta memberi suplai darah untuk capsula
hepatis glissoni dan lobus caudatus hepatis.
2. Vena portae hepatis
Dibentuk oleh gabungan antara vena mesenterica superior dan vena
lienalis. Berjalan disebelah dorsal pars superior duodeni, lalu berjalan
ascendens masuk ke dalam ligamentum hepatoduodenale. Didalam
ligamentum hepatoduodenale, vena porta berada disebelah dorsal dari arteri
hepatica communis, sampai pada porta hepatis, vena portae bercabang 2
membentuk ramus dextra dan sinistra, dan bersama-sama dengan arteri
hepatica propria dextra dan sinistra masuk kedalam lobus hepatis dextra dan
lobus hepatis sinistra.
3. Vena Hepatica
Membawa darah dari hepar masuk kedalam vena cava inferior. Terdiri dari :
a. Upper group, terdiri dari 3 vena yang besar
b. Lower group, yang jumlah bervariasi dan ukurannya kebih kecil.
Arteri hepatika komunis, berjalan dalam jarak yang pendek di
retroperitoneal kemudian melewati permukaan suprior dan sisi kiri dari duktus
hepatika komunis. Arteri hepatika komunis mensuplai 25 % aliran darah ke hepar
dan vena porta mensuplai sisanya yaitu 75 %. Dari aksis celiakus, arteri hepatika
komunis menuju ke atas dan kelateral berdekatan dengan duktus biliaris
komunis. Arteri gastroduodenal yang mensuplai proksimal duodenum dan
pankreas adalah cabang pertama dari arteri hepatika komunis. Lalu arteri
gastrika kanan sebagai cabangnya yang menuju ke kurvatura minor dalam
omentum minus. Kemudian arteri hepatika melintas menuju hilus dan segera
bercabang menjadi arteri hepatika kanan dan kiri. Saat melalui ligamentum

A2w| 98
hepatoduodenal arteri hepatika komunis, duktus biliaris komunis dan vena porta
dibungkus dengan „peritonel sheath‟ dalam suatu ligamentum hepatoduodenal.
Arteri hepatika kanan bercabang lebih dulu dari duktus biliaris komunis dan vena
porta. 80 % kasus arteri hepatika kanan berada diposterior duktus hepatika
komunis sebelum masuk parenkim hepar. 20% kasus, arteri hepatika kanan di
anterior duktus hepatika komunis. Setelah mencapai parenkim hepar arteri
hepatika kanan bercabang ke sektor anterior kanan (segmen V dan VIII) dan
posterior kanan (segmen VI dan VII). Cabang ke sektor posterior awalnya
melintas secara horizontal melalui „hilar tranverse fissure‟ dari Banz yang secara
normal berada pada basis segmen V dan bersebelahan dengan procesus
kaudatus. Arteri hepatika kiri melintas secara vertikal menuju fisura umbilikalis
dimana memberi cabang-cabang kecil (sering disebut middle hepatic artery) ke
segmen IV, sebelum meneruskan mensuplai segmen II dan III. Tambahan
cabang-cabang kecil dari arteri hepatika kiri mensuplai lobus kaudatus (segmen
I) walau cabang-cabang arteri kaudatus dapat juga berasal dari arteri hepatika
kanan. Vena porta dan duktus biliaris segmental dan sektoral mengikuti cabang-
cabang arteri hepatica
Aliran darah hepar berasal dari 2 sumber yaitu vena portal dan arteri
hepatika. Ini merupakan 25 % dari cardiac output (COP). Vena portal
memberikan ¾ aliran darah dan sebagian darah vena portal telah melewati
kapiler gastrointestinal; banyak oksigen telah terpakai. Darah yang dari arteri
hepatika mengandung banyak oksigen dan ¾ oksigen digunakan oleh hepar
berasal dari arteri hepatika. Cabang vena portal dan arteri hepatika, memberi
cabang venula portal, arterial hepatika yang masuk ke acinus hepatika. Aliran
darah dari pembuluh-pembuluh terminal ini ke sinusoid yang mana merupakan
jaringan kapiler dari hepar. Sinusoid berhubungan dengan pembuluh hepatika
terminal. Drainase venula-venula terminal ini di bentuk cabang-cabang besar
vena hepatika yang merupakan tributaries vena cava inferior. Tekanan vena
portal secara normal sekitar 10 mmHg pada manusia, dan aliran vena hepatika
sekitar 5 mHg. Mean pressure pada cabang-cabang arteri hepatika yang
membungkus sinusoid sekitar 90 mmHg.

A2w| 99
Komponen struktural dasar hepar adalah hepatosit atau sel hepar. Unit
fungsional dasar hepar adalah lobulus hepar yang pada manusia ada beberapa
juta jumlahnya. Pada beberapa daerah, lobulus di batasi oleh jaringan
penghubung yang mengandung duktus biliaris, limfatik, saraf dan pembuluh-
pembuluh darah. Daerah-daerah ini berlokasi pada sudut lobulus dan ditempati
oleh portal triad disebut portal spaces. Terdapat 3-6 portal triad perlobulus,
masing-masing mengandung venula (cabang vena portal); arteriol (cabang arteri
hepatika), duktus (bagian dari sistim biliaris) dan pembuluh limfatik. Hepatosit-
hepatosit disusun seperti jeruji roda pada tiap lobule, membentuk sebuah lapisan
dan terdiri dari 1 atau 2 sel tebalnya. Lempengan seluler ini arahnya dari perifer
ke pusat lobulus. Ruang antara lempengan sel ini mengandung kapiler yang
dikenal sebagai sinusoid hepar. Sinusoid ini adalah pembuluh yang berdilatasi
yang mengandung sel-sel endotelial yang berpori. Sel endotelial dipisahkan dari
hepatosit sebelahnya oleh ruang subendotelial yang dikenal dengan ruang dari
Disse, dimana proyeksi hepatosit seperti serabut retikuler dan mikrovili dapat
ditemukan. Permukaan hepatosit dalam hubungan yang erat/ rapat dengan
dinding endotelial, dimana mudah bagi makromolekul untuk pertukaran dari
lumen sinusoid ke sel hepar. Tipe-tipe lain sel yang dapat ditemukan pada
lobulus hepar adalah makrofag dan fat-storing cell. Sel kupffer merupakan
fagosit mononuklear dan ditemukan pada permukaan luminal sel endotelial. Fat-
storing cell disebut sebagai Ito cell dan berada di ruang Disse.

A2w| 100
FISIOLOGI HATI
1. Merupakan pusat dari metabolisme seluruh tubuh
2. Merupakan sumber energi sebanyak 20%, menggunakan 20-25% O2 darah
 Berat hati 4 – 5% dari berat badan
 Aliran darah ke hati ± 1500 cc/ 1,75 m2 dan 75% berasal dr V. porta, 25% dr
A.hepatica
 Tekanan V.porta 7 – 10 mmHg, tekanan ini dpt meningkat sekali pd cirrhosis
hepatis yaitu 40 – 50 mmHg. Sedangkan tekanan sinusoid hanya 2 – 4 mmHg
 Empedu t.a bilirubin, garam-garam asam empedu, kolesterol, fosfolipid,
garam-garam inorganik, mucin/ lendir, air dan bbrp metabolit.
 Produksi empedu setiap hari ± 600 – 1000 cc
 Selain dr empedu, hati jg membentuk as empedu dr bahan kolesterol, shg
empedu merupakan rute utama eliminasi kolesterol oleh hati
 Bilirubin dibuat dari pemecahan Hb oleh jaringan RES di berbagai tempat,
terutama di sumsum tulang dan limpa.
Empedu di bentuk di membran kanalikuli hepatosit. Sebagian juga pada
duktulus-duktulus empedu dan di sekresi oleh proses aktif yang secara relatif
tidak bergantung pada aliran darah. Empedu terdiri dari larutan ion-ion anorganik
dan organik. Komponen organik utama empedu adalah asam empedu
terkonjugasi, kolesterol, fosfolipid, pigmen empedu dan protein. Dalam keadaan
normal 600-1000 ml empedu di produksi perhari. Tekanan sekresi empedu
sekitar 10 – 20 cm dengan tekanan sekresi maksimal 30 – 35 cm pada keadaan
obstruksi biliaris total. Empedu disekresi dalam dua tahap oleh hepar : (1) Bagian
awal disekresikan oleh sel-sel hepatosit ; sekresi awal ini mengandung sejumlah
besar asam empedu dan kolesterol, kemudian empedu disekresikan kedalam
kanalikuli biliaris yang terletak diantara sel-sel hati. (2) Kemudian, empedu
mengalir ke perifer menuju septa interlobularis, tempat kanalikuli mengosongkan
empedu ke dalam duktus biliaris terminal dan kemudian mencapai duktus
hepatikus dan duktus biliaris komunis. Dari sini empedu langsung dikosongkan
menuju ke duodenum atau dialihkan melalui duktus sistikus ke dalam kandung
empedu. Empedu melakukan dua fungsi penting : pertama, empedu berperan
penting dalam pencernaan dan absorbsi lemak. Kedua, empedu bekerja sebagai
suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk buangan penting dari darah, hal
ini terutama meliputi bilirubin, dan kelebihan kolesterol yang dibentuk oleh sel-
sel hepar.
 Langkah pembentukan bilirubin:
1. Proses pemecahan pembukaan dari cincin tetrapyrole menjadi biliverdin –
iron – globin (tjd dlm jaringan RES)
2. Besi/ iron – globin akan dipisahkan terbentuk biliverdin (tjd dlm jar RES)
3. Biliverdin direduksi Unconjugated Bilirubin (tjd dlm jar RES). Komponen
ini (Unconjugated bilirubin) tidak larut dalam air dan tidak memberikan reaksi
Van der Berg kecuali bila sebelumnya ditambah bahan yang dapat
melarutkannya. Selanjutnya akan dibw msk ke dlm sel-sel liver dan dlm
perjalanannya di dlm drh akan diikat dengan albumin dan α – globulin.
A2w| 101
4. Sampai ke dlm sel-sel liver, bilirubin tsb akan mengalami konjugasi dg
glukuronidase+sulfatbilirubin diglukuronide dan bilirubin sulfat. Kedua
bahan ini disebut Conjugated Bilirubinlarut dalam air dan memberikan
reaksi Van der Berg yang langsung yang disebut juga Bilirubin Direct.
5. Conjugated bilirubin disekresi ke dalam canaliculi billier dan dibawa ke ductus
bilier, msk ke dlm usus halus. Di usus halus, oleh flora usus akan diubah
menjadi mesobilirubinogen dan sterkobilirubinogen, urobilinogen.
 Kebanyakan dari urobilinogen akan diekskresi melalui faeces di mana
sebagian akan direduksi menjadi urobilin yang berwarna, sedangkan 1/3 – ½
dari urobilinogen akan diresorpsi kembali melalui v.porta dan dibawa ke liver
(Siklus EnteroHepatik)

Fungsi hati sbg metabolisme lemak


 Hati dapat membentuk, mensintesis lemak & katabolisis asam lemak
 Asam lemak dipecah menjadi beberapa komponen :
1. Senyawa 4 karbon – Keton Bodies
2. Senyawa 2 karbon–Active Acetate (dipecah mjd asam lemak dan gliserol)
3. Pembentukan cholesterol
4. Pembentukan dan pemecahan fosfolipid
 Hati pembentuk utama, sintesis, esterifikasi dan ekskresi kholesterol
 Serum Cholesterol  standar pemeriksaan metabolisme lipid

A2w| 102
Fungsi hati sbg metabolisme karbohidrat
 Pembentukan, perubahan dan pemecahan KH, lemak dan protein saling
berkaitan 1 sama lain yang disebut Metabolic Pool
 Hati mengubah pentosa dan heksosa yang diserap dari usus halus menjadi
glikogen, mekanisme ini disebut Glikogenesis
 Glikogen di dalam hati dipecahkan menjadi glukosa disebut Glikogenolisis
 Selanjutnya hati mengubah glukosa melalui Heksosa Monophosphat Shunt
dan terbentuklah Pentosa yang bertujuan menghasilkan energi, Biosintesis
dari nukleotida, nucleic acid dan ATP, Membentuk/ biosintesis senyawa 3
karbon (3C)yaitu piruvic acid (asam piruvat diperlukan dalam siklus krebs)
Fungsi hati sbg metabolisme protein
 Hati mensintesis banyak macam protein dari asam amino.
 Proses deaminasi, hati mensintesis gula dari asam lemak dan asam amino.
 Proses transaminasi, hati memproduksi asam amino dari bahan non nitrogen.
 Hati merupakan satu-satunya organ yg membentuk plasma albumin dan ∂ -
globulin dan organ utama bagi produksi urea.
 Urea merupakan end product metabolisme protein
 ∂ - globulin selain dibentuk di hati, juga dibentuk di limpa & sumsum tulang
 β – globulin HANYA dibentuk di dalam hati
 albumin mengandung ± 584 asam amino dengan BM 66.000

A2w| 103
Fungsi hati sehubungan dengan pembekuan darah
 Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan
dengan koagulasi darah. Misalnya: fibrinogen, protrombin, faktor V, VII, IX, X
 Benda asing menusuk kena pembuluh darah–yang beraksi adalah faktor
ekstrinsik. Bila ada hub dg katup jantung – yang beraksi adalah faktor intrinsik
 Fibrin harus isomer biar kuat pembekuannya dan ditambah dengan faktor XIII
 Vit K dibutuhkan utk pembentukan protrombin dan bbrp faktor koagulasi
Fungsi hati sbg metabolisme vitamin
 Semua vitamin disimpan di dalam hati khususnya vitamin A, D, E, K
Fungsi hati sbg detoksikasi
 Hati adalah pusat detoksikasi tubuh, misalnya proses oksidasi, reduksi,
metilasi, esterifikasi dan konjugasi thd berbagai macam bahan spt zat racun,
obat over dosis (juga racun)
Fungsi hati sbg fagositosis dan imunitas
 Sel kupfer merupakan saringan penting bakteri, pigmen dan berbagai bahan
melalui proses fagositosis. Selain itu sel kupfer juga ikut memproduksi ∂ -
globulin sbg imun livers mechanism
Fungsi hemodinamik
 Hati menerima ± 25% dari cardiac output
 Jantung mengeluarkan darah (Stroke Volume). Cardiac output = Stroke
Volume x Frekuensi (1 menit)
 Aliran darah hati yang normal ± 1500 cc/ menit atau 1000 – 1800 cc/ menit
 Menerima darah dari a.hepatica ± 25% dan di dalam v.porta 75%.
 Tek.darah v.porta ± 10 mmHg. Tek. a.hepatica = tekanan darah arteri sistemik
 Tek.darah sinusoid (kapiler-kapiler, endotel mudah ditembus oleh sel dengan
molekul besar) ± 8,5 mmHg sedangkan v.hepatica 6,5 mmHg
 Te.darah v.cava inferior di level diaphragma ± 5 mmHg
 O2 yg terkandung di dlm v.porta lebih tinggi dari O2 di dalam vena biasa
 Aliran darah hepar dipengaruhi oleh faktor mekanis, pengaruh persarafan dan
hormonal
 Aliran darah berubah cepat pada waktu exercise, terik matahari, shock
 Hepar merupakan organ penting untuk mempertahankan aliran darah

A2w| 104
ANATOMI TRAKTUS BILIARIS EXTRAHEPATIKA

Sistim biliaris extrahepatika terdiri dari duktus Hepatika kiri dan kanan yang
bergabung membentuk saluran hepatica tunggal yang melalui posterior kaput
pankreas dan masuk ke dinding medial duodenum pars II. Kandung empedu dan
duktus sistikus merupakan bagian dari saluran biliaris ekstrahepatika yang
secara tipikal bergabung dengan duktus hepatika komunis membentuk duktus
biliaris komunis atau Common Bile Duct (CBD). Kebanyakan penggabungan
duktus hepatica kanan dan kiri terletak pada kanan dari fisura umbilikalis dan
anterior dari cabang kanan vena porta. Duktus hepatika kanan secara tipikal
pendek (< 1 cm) dan mempunyai cabang duktus sektor posterior kanan (segmen
VI dan VII) dan sektor anterior kanan (V dan VIII) secara pendek setelah
memasuki parenkim hepar.Sebaliknya duktus hepatika kiri relatif lebih panjang (2
-3 cm) sepanjang basis lobus quadratus (segmen IV) dan masuk ke parenkim
hepar pada fisura umbilikalis. Duktus ini melintas di bagian bawah hilar plate.

A2w| 105
VASKULARISASI VESICA VELEA
Arteri sistikus tunggal biasanya mensuplai darah ke kandung empedu,
tetapi 12 % biasa ditemukan arteri sistikus ganda. Asal arteri ini sangat
bervariasi. Pada kebanyakan kasus (75%) arteri sistikus berasal dari proksimal
arteri hepatika kanan dan segera membagi menjadi 2 cabang. Cabang
superfisialis yang berjalan sepanjang permukaan peritoneal kandung empedu
dan cabang profunda berjalan sepanjang fossa kandung empedu antara
kandung empedu dan hepar. Arteri sistikus biasanya berada di superior duktus
sistikus dan melewati posterior duktus hepatika komunis. Dengan demikian,
secara anatomi duktus hepatika komunis, hepar dan duktus sistikus membentuk
trigonum calot. Pada lokasi di trigonum ini terdapat beberapa struktur yang
sangat penting untuk ahli bedah yaitu arteri sistikus, arteri hepatika kanan,
kelenjar limfe duktus sistikus. Calot‟s node sering tercakup dalam proses
inflamasi dan penyakit neoplastik kandung empedu karena lokasi ini adalah jalur
primer saluran limfatik. Cairan limfe dari kandung empedu mengalir secara
langsung ke hepar melalui fossa kandung empedu atau menuju ke duktus biliaris
komunis, dimana dapat naik keatas menuju kelenjar di hilum hepar atau turun
menuju kelenjar di celiac axis. Sebanyak 25 % kasus, hubungan antara arteri
dan duktus biliaris di hilum hepar bervariasi.

A2w| 106
Komponen Empedu Hati Empedu GB
Air 97,5 g% 92 g%
Garam-garam Empedu 1,1 g% 6 g%
Bilirubin 0,04 g% 0,3 g%
Kolestrol 0,1 g% 0,3-0,9 g%
Asam Lemak 0,12 g% 0,3-1,2 g%
Lesitin 0,04 g% 0,3 g%
+
Na 145 mEq/l 130 mEq/l
K+ 5 mEq/l 12 mEq/l
+
Ca 5 mEq/l 23 mEq/l
-
Cl 100 mEq/l 25 mEq/l
HCO3- 28 mEq/l 10 mEq/l

A2w| 107
PERANAN TES FAAL HATI DALAM DIAGNOSA PENYAKIT HATI
I. Tes Berdasarkan Metabolisme Empedu
A. Bilirubin Serum
Sumber :
 70% dari eritrosit tua
 10% dari infetective erythropaesis
 20% dari sumber-sumber lain terutama dalam hati
Faktor yang menyebabkan kenaikan kadar bilirubin serum :
1. Kenaikan kadar bilirubin terkonyugasi
Penyebabnya adalah :
a. Gangguan ekskresi bilirubin intrahepatik
- Herediter :
 Recurent (benigna) intrahepatik cholestasis
 Cholestasis pada kehamilan
- didapat (acquired) ;]
 Nekrosis hepatoseluler(karena virus atau obat)
 Cholestasis intrahepatic (karena virus atau obat)
b. Obstruksi saluran empedu ekstrahepatik
 adanya batu, tumor dan striktura dll.
2. Kenaikan kadar bilirubin tak terkonyugasi
a. Produksi bilirubin yang berlebihan
 Hemolisis, primary shunt hiperbilirubinemia, puasa
b. kemampuan hati untuk mengeksresikan bilirubin dari darah menurun
 Congenital non hemolitik jaundice
 Heperbilirubinnemia neonatal
3. Kenaikan kadar bilirubin total
 ikterus yang jelas, bendungan saluran empedu ekstrahepatik, chalecystis
akut, hepatitis virus, puasa untuk persiapan operasi, hiperemesis gravidarum
pylorastenosis congenital
B. Bilirubin Urine
Bilirubin dalam urine selalu menunjukkan adanya kelainan hati dan menpunyai
arti penting dalam keadaan diagnosa dini dari hepatitis virus.
C. Urobilin Dalam Urine
Urobilin dalam urine meningkat pada keadaan :
a. Pembentukan bilirubin yang meningkat (hemolisis)
b. Intestinal transit time memanjang (sembelit)
c. Jumlah bakteri dalam usus meningkat
d. Gangguan Faal hati
Menurun pada keadaan :
 Obstruksi empedu intra atau ekstrahepatik, Flora usus berkurang, Diarhea,
Anemia, Gangguan Faal ginjal
D. Urobilin Dalam Tinja (Stercobilin).
Pemeriksaan urobilin dalam timja berguna untuk diagnosa suatu bendungan
empedu total yaitu bila jumlah urobulin tinja kurang dari 5-6 mg perhari.

A2w| 108
B.Kadar Cholesterol Serum
Meningkat pada keadaan :
 primary biliary cirrhosis
 Striktura saluran empedu pastoperatip
menurun pada keadaan :
 Cirrhasis hepatis decompensated
 Malnutrisi
C. Garam-Garam Empedu (Asam Empedu)
Faktor-faktor yang mempegrauhi kadar garam empedu dalam darah :
 Penyakit parenkim hati
 bendungan empedu baik ekstrahepatik dan intrahepatik

II. Tes Enzim


A. Transaminase Serum
 Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase (SGOT) Atau Serum Aspartatec
Aminotransferase (AST)
 Serum Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT) Atau Serum Analine
Aminotransferase (ALT)
sumber :
-SGOT : otot jantung,hati, otot lutut, ginjal, pancreas,
-SGPT : sel-sel hati (sumber utama), jaringan tubuh lain
Kondisis-Kondisi SGOT Dan SGPT Meningkat
a. Nilai sangat tinggi (20 atau > kali normal)
 Hepatitis virus, Hepatitis toksis
b. Nilai meningkat sedang (3-10 kali normal)
 Hepatitis kronik aktif, Obstruksi salauran empedu ekstrahepatik,
Chalestasis intrahepatik, Monohucleus infection, Infark miokard
C. Nilai tidak atau sedikit (1-3 x N)
 Pankreatitis, Lemak oleh alcohol, Infiltrasi oleh tumor, Sirosis biliar.
B. Gamma Glutamyl Transpeptidase (GGT):
 sel hati, sel sistem empedu, sel ginjal,sel usus dan pancreas
Keuntungan dari pemeriksaan GGT adalah karena GGT relatif spesifik untuk
penyakit hati. Tujuan pemeriksaan :
 Diagnosa hepatitis kronik
 Indikator adanya chalestatis
 Deteksi kelainan hati minimal atau dini
 Deteksi kelianan hati oleh alkohol
 Proses hati infiltratif
C. ALKALI FOSFATASE
Berasal dari :Sistem hepatobiliar, Tulang, Usus, Placenta, Tubuli Proximal
Ginjal, kelenjer susu

A2w| 109
KONDISI-KONDISI PENINGKATAN ALKALI FOSFATASE
a. Nilai sangat tinggi (10 x atau > dari normal)
 Sirosis biliar primer, Obstruksi saluran empedu extra hepatik oleh tumor,
Infiltrasi gramulamateus oleh tumor, Atresis kongenital saluran empedu
intrahepatik
b. Nilai tinggi atau sedang (3-10 x dari normal)
 Penyumbatan saluran empedu oleh batu, penyumbatan saluran empedu
intrahepatik, metasfase tumor ketulang
c. Nilai sedikit atau normal (1-3 x normal)
 penyakit hati oleh alcohol, Hepatitis kronik, Hepatitis virus
EVALUASI PREOPERATIF PADA PASIEN DENGAN PENYAKIT HATI
A. Riwayat ikterus, hepatitis, penyalagunaan alkohol, penyalugaan obat i. v. dan
kecendrungan perdarahan, dan penurunan berat badan
B. Pemeriksaan Fisik misalnya :
 Hepatosplenomegali, ascites, edema perifer, spider angiomato, atrofi testis,
kaput medusal, hemoroid, ginecomastia, temparal wosting.
C. Data laboratorium yang menunjukkan disfungsi hati
D. Jika terdapat karaguan sehubungan dengan riwayat penyakit hati konsul
gastrointestinal
5. Perkiraan resiko operasi :
Sistem klasifikasi klinik dan laboratorium pada pasien sirosis pada fungsi
cadangan hepar.
Group A Group B Group C
Serum bilirubin (µ mol/L) < 40 40-50 > 50
Serum albumin (g /l) > 35 30-35 < 30
Ascites tak ada dapat dikontrol sulit dikontrol
dengan
mudah
Kelainan neurologis tak ada minimal koma yang dalam
Nutrisi baik sekali baik buruk, wasting
Resiko operasi baik (5%) sedang (10%) buruk (50%)
DERAJAT BERATNYA PENYAKIT HATI
Penilaian klinis dan Skore untuk menilai tingkat
biokimia abnormalitas
1 2 3
Encefalopati (grade) tidak ada 1 dan 2 3 dan 4
Bilirubin (µ mol/L) < 25 25 - 40 > 40
Albumin 35 26 - 35 < 28
Protrombin time 1-4 4-6 >4
(pemanjangan yg ke 2)

Group A : 4 - 6 point. Group B : 7 - 9 point. Group C : 10 - 12 point

A2w| 110
ABSES HEPAR
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Abses hepar adalah rongga patologis berisi jaringan nekrotik yang
biasanya timbul dalam jaringan hati akibat infeksi banal atau Amoeba Hystolitica.
Ada 2 bentuk abses hepar, yaitu:
1. Abses hepar piogenik
2. Abses hepar amuba
Abses piogenik dapat terjadi melalui infeksi yang berasal dari vena porta
yaitu infeksi pelvis atau gastrointestinal yang bisa menyebabkan peradangan
pada v.porta atau emboli septik, infeksi pada saluran empedu yang mengalami
obstruksi naik ke cabang saluran empedu intrahepatik menyebabkan kolangitis
dengan akibat abses multiple, trauma tajam atau tumpul dapat mengakibatkan
laserasi, perdarahan dan nekrosis jaringan hati. Sebelum era antibiotik, sespsi
intraabdomen, terutama apendisitis, divertikulitis, disentri basiler, infeksi daerah
pelvik, hemoroid yang terinfeksi dan abses perirektal, merupakan penyebab
utama abses hati piogenik. Abses hati dapat tejadi akibat penyebaran langsung
infeksi dari struktur yang berdekatan, seperti empiema kandung empedu,
peluritis, ataupun perinefrik.
Dibandingkan dengan abses pyogenik, abses amuba hepar sering terletak pada
lobus kanan dan sering superfisial serta tunggal. Data terakhir menunjukkan 70%
sampai 90% kasus pada lobus kanan hepar, terutama bagian belakang dari
kubah, kebanyakan abses hepar bersifat soliter, steril. Kavitas tersebut berisi
cairan kecoklatan (hasil proses lisis sel hepar), debris granuler, dan beberapa
sel-sel inflamasi. Amuba bisa didapatkan ataupun tidak di dalam cairan pus. Bila
abses ini tidak diterapi akan pecah. Dari hati, abses dapat menembus ruang sub
diafragma masuk ke paru-paru, dan kadang-kadang dari paru ini, menyebabkan
emboli ke jaringan otak

ABSES AMUBA
Insidens
Abses hati amuba adalah suatu penyakit yang menyerang usia dewasa
paruh baya dan predominasi pada pria dengan ratio 9:1, tidak ada pengaruh ras.
Infeksi amuba ini umumnya terjadi pada daerah dengan sanitasi yang buruk
yang hal ini dapat dilihat pada negara-negara berkembang dengan suplai air
yang terkontaminasi dan higiene perorangan yang jelek. Daerah endemic
penyakit ini terletak pada daerah tropis dan subtropis dari belahan bumi,
khususnya di daerah Afrika, Amerika Latin, Asia Tenggara dan India.
Etiologi
Dari semua spesies amuba, hanya Entamoeba Hystolitica yang patogen
terhadap manusia. Infeksi dari organisme ini biasanya terjadi setelah menelan air
atau sayuran yang terkontaminasi, selain itu transmisi seksual juga dapat terjadi.
Kista adalah bentuk infektif dari organisme ini yang dapat bertahan hidup di
feses, tanah atau bahkan air yang sudah diberi klor.

A2w| 111
Patofisiologi
E. histolitika dapat ditemukan dalam 2 stadium. Stadium kista adalah
bentuk infektifnya dan stadium troposoit yang berperan dalam proses invasif.
Bentuk kistanya tahan terhadap asam lambung, tetapi dindingnya dapat
dihancurkan oleh tripsin saat melewati usus halus. Pada saat itu troposoit
dilepaskan dan membentuk koloni di daerah caecum. Untuk memulai infeksi
yang simtomatis maka troposoit yang ada di lumen harus mengadakan penetrasi
ke lapisan mukosa dan melekat pada lapisan submukosa. Dari sini lalu parasit ini
masuk ke vena-vena mesenterika. Amuba mencapai hati melalui system vena
porta melalui focus-fokus ulserasi pada dinding usus tadi. Lesi pada hepar
biasanya berupa suatu abses yang besar, soliter dan mengandung struktur-
struktur berbentuk cair dengan karakteristik cairan merah kecoklatan seperti
“anchovy paste”. Lesi ini kebanyakan terjadi pada lobus dekstra, dekat pada
kubah atau pada permukaan inferior di fleksura hepatis. Tebal dindingnya hanya
beberapa milimeter saja yang terdiri dari jaringan granulasi dengan atau tanpa
sedikit jaringan fibrotik. Secara mikroskopis dapat dilihat 3 zona, yaitu necrotic
centre, zona tengah dengan destruksi dari sel-sel parenkim dan zona luar
dengan sel-sel hati yang relative normal. Pada zona luar inilah banyak ditemukan
amuba. Abses amuba tidak seperti abses piogenik dimana pada abses amuba
cairannya steril dan tidak berbau.

Gejala Klinis
Gejala dari abses hati amuba perjalanannya lambat dan biasanya baru muncul
dalam beberapa hari atau minggu. Gejala-gejala tersebut dapat berupa :
- Demam, mengigil, berkeringat.
- nyeri abdomen (pada kwadran kanan atas, dapat berupa nyeri yang terus
menerus atau tertusuk-tusuk, dapat nyeri yang ringan sampai berat)
- perasaan tidak enak pada seluruh tubuh, gelisah dan malaise
- anoreksia, BB menurun, diare (jarang), jaundice.
-
nyeri pada persendian.
Abses pada permukaan superior dari hepar dapat memberi nyeri yang
menjalar ke bahu kanan, sedangkan abses yang terdapat pada “bare area” yaitu
daerah yang tidak mempunyai kontak dengan organ serosa maka nyeri kadang-
kadang tidak terdeteksi. Abses pada lobus sinistra dapat memberi gambaran
sebagai nyeri epigastrium.

A2w| 112
Tabel 1. Manifestasi klinik abses amuba pada orang dewasa
% Abses Amuba
GEJALA
Nyeri 90
Demam 87
Nausea & muntah 85
Anoreksia 50
BB menurun 45
Malaise 25
Diare 25
Batuk & rangsang pleura 25
Pruritus <1
TANDA-TANDA
Hepatomegali 85
Nyeri kwadran kanan atas 84
Efusi pleura 40
Massa pada kwadran kanan atas 12
Asites 10
Jaundice 5

LABORATORIUM
Alkali fosfatase ↑↑ 80
Leukosit > 10.000/mm3 70
Hematokrit <36 % 49
Albumin < 3 g/dl 44
Bilirubin > 2 g/dl 10

Manifestasi klinis
Biasanya abses amuba munculnya lebih akut dibandingkan piogenik. Penderita
biasanya mempunyai riwayat diare sebelumnya. Abses amuba biasanya juga
lebih nyeri, ada gejala pulmoner dan lebih sering ditemukan hepatomegali. (1)
Tabel 2. Perbedaan karakterisrik klinis abses hepar
Amuba Piogenik
Usia < 50 th Usia > 50 th
Pria : wanita = 10:1 Pria = wanita
Ras Hispanic Predisposisi etnis (-)
Riwayat berkunjung ke daerah endemik Keganasan
Disfungsi pulmoner Demam tinggi
Nyeri abdomen Pruritus
Diare Jaundice
Nyeri tekan abdomen Syok septik
Hepatomegali Teraba massa

A2w| 113
Laboratorium
Leukositosis ditemukan pada 70 % penderita, sedangkan anemia ditemukan
pada 50 % penderita. Tes fungsi hati kurang berperan dalam penentuan
diagnosis. Pada analisa feses hanya 15 – 50 % kasus ditemukan bentuk kista
atau troposoit. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan aspirasi langsung pada
rongga abses, adanya gambaran “anchovy paste” dari aspirat dianggap
patognomonik.
Radiologi
Abses amuba umumnya soliter dan besar, jarang ditemukan kelainan
intraabdomen lain seperti pada abses piogenik.
Ultrasonografi merupakan pemeriksaan pilihan dengan sensitivitas 70 – 80 %
dibanding CT scan dengan sensitivitas 88 – 95 %. Gambaran abses amuba
seperti homogenitas lesi, gambaran echo parenkim hati yang menurun dan
dinding abses yang tipis.
Foto polos abdomen dan toraks tampak elevasi dan gerakan yang terbatas dari
diafragma kanan, efusi pleura kanan dan gambaran udara di dalam rongga
abses.
CT scan dilakukan bila pada USG tidak ditemukan lesi pada hepar sedangkan
gambaran klinik dari abses hepar tetap ada. Pada CT scan dapat dilihat
gambaran berupa lesi yang melingkar dengan densitas rendah dan bentuk
teratur, tampak pula struktur internal lesi yang non homogen.
MRI cukup sensitif akan tetapi penemuannya tidak spesifik.
Tm99 berguna untuk membedakan abses amuba dan piogenik. Dimana abses
amuba tidak mengandung leukosit sehingga tampak sebagai “cold lessions”
dengan “hot halo” disekelilingnya, sedangkan abses piogenik mengandung
banyak leukosit sehingga tampak sebagai “hot lessions” pada scanning.
Pemeriksaan lain seperti Gallium scanning dan hepatic angiography dinilai
kurang bermanfaat.

Serologi
Biasanya sangat sulit untuk membedakan abses amuba dengan piogenik
berdasarkan kriteria klinis, laboratorium dan radiologi. Disini prosedur
pemeriksaan serologi penting untuk memastikan adanya infeksi amuba.
Saat ini tes-tes serologi yang biasa digunakan antara lain Indirect
Hemaglutination (IHA), Gel Diffusion Precipitin (GDP), The Enzim-Linked
Immunosorbent Assay (ELISA), Counterimmunelectrophoresis, Indirect
Immunofluorescent dan Complement Fixation. Yang paling sering dan umum
digunakan adalah IHA dan GDP.
IHA merupakan tes yang paling sensitif, dengan hasil positif mencapai 90 – 100
% pada penderita dengan abses amuba. Hasil positif dapat bertahan sampai ±
20 tahun setelah penyakit sembuh.
GDP dapat mendeteksi 95 % penderita abses amuba, juga dapat mendeteksi
kolitis amuba noninvasif. Jadi tes ini sensitif tetapi idak spesifik untuk abses
hepar amuba.

A2w| 114
Diagnosis
Abses amuba dan piogenik mempunyai gambaran klinik dan laboratorium
yang hampir mirip, oleh karena penanganan pada abses amuba tidak terlalu
invasif maka kita perlu menetapkan diagnosis yang tepat.
Penanganan
Dengan dikenalnya Metronidasol pada tahun 1960an, maka drainase
operatif dari abses amuba sudah jarang dilakukan. Aspirasi perkutaneus atau
drainase operatif hanya dilakukan bila masih diragukan suatu abses amuba atau
abses dengan komplikasi.

Antibiotik
 Antibiotik Imidasol, termasuk Metronidasol, Tinidasol dan Niridasol akan
membunuh amuba pada saluran cerna dan hepar. Dengan dosis oral
Metronidasol 3 x 750 mg /hari selama 10 hari dapat menyembuhkan 95 % dari
penderita abses amuba. Dapat pula diberikan secara intravena dengan
efektifitas yang sama pada penderita-penderita dengan nausea atau sakit
berat. Efek samping dari obat ini berupa nausea, sakit kepala, “metallic taste”,
kejang perut, muntah diare dan pusing. Warna urin jadi lebih gelap akibat dari
hasil metabolisme obat ini.
 Emetin, dehidroemetin dan klorokuin. Kombinasi klorokuin ditambah dengan
dosis rendah emetin pada kasus-kasus dimana amuba resisten terhadap
metronidasol dapat mencapai angka kesembuhan 90 – 100 %.
 Penggunaan amubisidal intraluminer seperti diloxanide furoate, iodoquinol
dan paromomycin dianjurkan pemakaiannya untuk membunuh carrier amuba
setelah penyembuhan suatu abses amuba.
Prosedur Operatif
Aspirasi terapeutik dari abses hepar amuba harus dipertimbangkan pada
keadaan :
1. resiko tinggi abses akan ruptur (ukuran cavitas > 5 cm)
2. abses pada lobus sinistra (komplikasi berupa ruptur ke perikardium)
3. tidak ada respon dengan pengobatan setelah 5 – 7 hari.
Prosedur pilihan adalah aspirasi dengan jarum atau kateter yang dituntun
dengan USG. Drainase operatif sebaiknya dihindari, tetapi dapat dilakukan pada
keadaan-keadaan seperti bila abses tidak dapat dicapai dengan aspirasi jarum
atau tidak ada respon terhadap terapi setelah 4 – 5 hari. Indikasi lain dari
drainase operatif (laparotomi):
- Perdarahan yang mengancam nyawa (dengan atau tanpa rupturnya abses)
- abses menginfiltrasi organ viskus disekitarnya
- septikemia (akibat dari infeksi sekunder).
Komplikasi
Terjadi ± 10 %, namun tidak fatal dan dapat ditangani secara konservatif.
Komplikasi yang paling sering adalah rupturnya abses ke peritoneum atau
rongga toraks. Yang paling sering terkena bila suatu abses amuba pecah adalah
sistem pleuropulmoner dan Peritonitis.

A2w| 115
Pola penjalaran rupturnya abses hepar.
A. Abses pada lobus dekstra B. Abses pada lobus sinistra
1. trakeobronkial 1. perikardium
2. paru-paru 2. limpa
3. pleura/subfrenik
4. kulit
5. rongga intraperitoneal
6. mesenterium
7. usus

Prognosis
Pada kebanyakan kasus penyembuhan klinis yang cepat terjadi dalam
waktu < 1 minggu hanya dengan pengobatan obat anti amuba saja.Hal-hal yang
mempengaruhi tingginya angka kematian antara lain :
1. kadar bilirubin > 3,5 mg/dl
2. ensefalopati
3. volume rongga abses > 500 ml
4. serum albumin < 2 g/dl
5. Hb < 8 g/dl
6. abses multipel.
ABSES PIOGENIK
Etiologi
Abses hepar piogenik umumnya polimikrobial. Sebagian besar kuman
penyebabnya ditemukan dalam saluran cerna, seperti :
- E.Coli, Klebsiella pneumoniae, Bacteroides sp, Enterococcus, Anaerobic
sreptococcus sp, Streptococcus “milleri” group
Kuman lain yang dapat menyebabkan abses piogenik yang tidak berasal dari
saluran cerna adalah staphylococcus sp dan haemolytic streptococcus sp.
Insidens
Sejak ditemukannya antibiotika maka prevalensi umur bergeser dari
dekade ke 3-4 menjadi usia ke 70an. Secara historis abses hepar piogenik lebih
banyak menyerang pria daripada wanita.
Patofisiologi
Hati menerima darah dari sirkulasi sistemik dan sistem porta. Adanya
infeksi dari organ-organ lain di tubuh akan meningkatkan pemaparan hati
terhadap bakteri. Tetapi hati mempunyai sel-sel Kuppfer yang terlatak sepanjang
sinusoid-sinusoidnya yang berfungsi sebagai pembunuh bakteri, jadi akan sulit
untuk terjadi infeksi. Ada banyak faktor yang berperan sampai dapat terjadinya
abses pada hati. Abses piogenik pada hepar merupakan akibat dari :
1. asending dari infeksi biliaris
2. penyebaran hematogen lewat sistem portal
3. septikemia generalisata yang melibatkan hepar lewat sirkulasi arteri hepatika
4. penyebaran langsung dari infeksi organ-organ intraperitoneal
5. sebab lainnya, disini termasuk trauma pada hepar.

A2w| 116
Penyakit traktus biliaris (kolangitis, kolesistitis) merupakan penyebab
tersering dari abses hepar (60 % kasus). Tersumbatnya aliran empedu
menyebabkan proliferasi dari bakteri. Penyebab tersering yang kedua adalah
septikemia generalisata, diikuti oleh appendisitis akut/perforasi dan divertikulitis.
Trauma tajam dengan penetrasi ke hepar dapat langsung memasukkan
bakteri ke parenkim hepar dan menyebabkan abses. Sedangkan trauma tumpul
pada hepar dapat meyebabkan nekrosis jaringan hepar, perdarahan intrahepatik
dan keluarnya asam empedu akibat robekan dari kanalikuli. Lesi yang terjadi
pada kasus seperti ini biasanya soliter.
Abses dapat bersifat multipel atau soliter, biasanya yang berasal dari
infeksi organ lain yang lewat aliran darah akan menjadi abses yang multipel. Lesi
akan memberikan gambaran jaringan hati yang pucat. Ukuran rongga abses
biasanya bermacam-macam dan umumnya bergabung, pada kasus-kasus yang
lanjut akan tampak gambaran “honeycomb” yang mengandung sel-sel PMN dan
jaringan hati yang nekrosis. Kebanyakan lesi akan terjadi pada lobus dekstra dari
hepar.

Abses piogenik (rongga berisi pus) . Abses piogenik multipel


akibat trauma/infeksi
Patogenesis abses piogenik berdasarkan etiologi
Etiologi Sumber Infeksi Penyebaran Mikroorganisme
Sistem biliaris kolangitis, obstruksi bilier ke2 lobus, multipel spesies tunggal, aerob &
anaerob gr (-) E. Coli.

Sirkulasi portal infeksi intraabdominal lobus kanan > kiri, polimikrobial, aerob & an
multipel /soliter aerob dari usus, E faecalis,
E.coli, B.fragilis
metastasis hepar area metastasis sp tunggal, B.fragilis anae
rob

Sirkulasi arteri bakteremia, infeksi sistemik ke2lobus, multipel sp tunggal, aerob gram (+)
S.aureus, S.piogenes

Trauma langsung, nekrosis area trauma sp tunggal, aerob gram (+)


S.aureus, S.piogenes

Penyebaran lgs kolesistitis, peforasi ulkus area berdekatan sp tunggal, aerob gram (-)
E. coli

Kriptogenik tidak diketahui lobus kanan > kiri sp tunggal, B. Fragilis an-
aerob

A2w| 117
Diagnosis
Sering terjadi keterlambatan diagnosis karena penyakit ini jarang dan
panampakan klinisnya tidak spesifik. Lebih kurang 1/3 dari penderita abses
hepar piogenik akan mengalami keterlambatan diagnosis dan terapi, maka jika
sudah dicurigai akan adanya penyakit ini sebaiknya pengobatan tidak ditunda
menunggu hasil pemeriksaan penunjang.
Gejala klinik
Gejala yang umum terjadi antara lain :
1. demam (terus menerus atau “spiking”.
2. anoreksia
3. nausea
4. BB menurun
5. malaise
6. nyeri pada kwadran kanan atas
7. jaundice (pada kasus-kasus yang lanjut).
Pemeriksaan laboratorium
Leukositosis dengan “shift to the left” terjadi pada 2/3 penderita, anemia dan
hipoalbuminemia juga sering ditemukan. Abnormalitas dari tes fungsi hati terjadi
pada hampir semua penderita dan hal ini merupakan penanda yang cukup
sensitif untuk penyakit ini. Kenaikan kadar alkali fosfatase dan gamma-glutamil
transpeptidase terjadi pada 90 % kasus. Hiperbilirubinemia terjadi jika sumber
infeksi berasal dari traktus biliaris. Pada kasus-kasus abses hepar piogenik
sebaiknya dilakukan kultur darah tepi, hal ini penting untuk diagnostik,
penanganan dan prognosis dari penderita.
Radiologi
USG adalah pemeriksaan pertama yang dilakukan jika dicurigai adanya “space
occupying lession” pada hepar, sensitivitasnya terhadap abses hepar 80 – 95 %.
Lesi hanya dapat terlihat jika mempunyai Ø > 2 cm. Abses terlihat sebagai
massa “hypoechoic” dengan batas yang tidak teratur, tampak cavitas-
cavitas/septum di dalam rongga abses.
Foto toraks tampak atelektasis, elevasi dari hemidiafragma kanan, dan efusi
pleura kanan (50 % kasus).
MRI (dapat mendeteksi abses hepar dengan Ø 0,3 cm), skening dengan Tm99
dan gallium (sensitivitas 50 – 90 %).
CT scan sensitivitas 95 – 100 %. Dengan CT juga dapat terlihat kelainan
intraabdomen lain yang menyertai abses hepar piogenik seperti massa pada
pankreas, Ca colon, divertikulitis, appendisitis, dan abses intraperitoneal.

Gambaran CT scan abses hepar piogenik


A2w| 118
Penanganan
Prinsip utama penanganan abses piogenik adalah pemberian antibiotik dan
drainase dari abses. Sekarang ini cara drainase operatif perannya sudah banyak
diganti oleh drainase perkutaneus yang lebih aman dan angka keberhasilannya
cukup tinggi.
Antibiotik
Antibiotik yang diberikan adalah yang spektrum luas seperti golongan penisilin
(ampicillin), aminoglikosida (gentamisin atau tobramisin) dan metronidasol.
Pada penderita-penderita usia tua dengan gangguan ginjal dapat diberikan
penisilin (amoxicillin), sefalosporin (cefotaxime atau cefuroxime) dan juga
metronidasol.
Amphotericin B dan flukonasol diberikan pada penderita-penderita dengan
kecurigaan adanya infeksi oleh jamur.
Antibiotik diberikan secara intravena dan lama pemberian bervariasi antara 2 – 4
minggu atau lebih tergantung respon klinik dan jumlah absesnya.
Drainase perkutaneus
Sekarang ini banyak penulis yang menganjurkan drainase perkutaneus sebagai
penanganan awal pada semua abses hepar piogenik, terutama pada penderita-
penderita dengan sakit berat yang tidak dapat menjalani operasi.
Drainase perkutaneus dapat dilakukan dengan tehnik Seldinger atau trocar,
dengan bantuan CT atau USG. Angka keberhasilan berkisar antara 70 - 93 %,
angka kematian antara 1 – 11 %. Indikasi tindakan ini adalah abses soliter dan
sederhana dengan akses drainase yang baik, tetapi beberapa penulis
melaporkan bahwa tindakan ini juga dapat dilakukan pada abses yang multipel.
Kontra indikasi tindakan ini antara lain koagulopati, abses sulit dicapai,
multilobus, dan abses dengan dinding yang tebal dan pus yang kental.
Drainase operatif
Bila penyebab dari abses hepar piogenik adalah akibat penyebaran infeksi dari
organ intraabdomen, maka laparotomi eksplorasi merupakan prosedur pilihan,
karena dapat menangani abses dan sumbernya. Indikasi lain prosedur ini adalah
abses yang berlobus dan multipel, abses yang tidak dapat dicapai dengan
drainase perkutaneus, abses yang mengenai seluruh lobus hepar, dan adanya
kelainan pada traktus biliaris (batu atau striktur).
Pendekatan standar yang dipakai saat ini adalah transperitoneal. Dilakukan
dengan insisi midline untuk mempermudah evaluasi dan eksplorasi organ-organ
intraabdomen. Setelah sumber infeksi ditemukan maka dilakukan drainase dari
abses. Abses diisolasi dari lapangan operasi, diaspirasi untuk kultur lalu dibuka
dengan kauter. Setelah dilakukan irigasi dari abses lalu diletakkan drai hisap
pada rongga abses tersebut.
Untuk abses yang terletak di posterior dan diatas kubah maka lebih mudah
dipakai pendekatan transtorasik (transpleural). Pada penderita-penderita dengan
infeksi sekunder akibat keganasan pada hepar, hemobilia, dan penyakit
granulomatosa kronik dilakukan reseksi hepar.

A2w| 119
Drainase transtorasik
A. insisi di posterior di atas kosta XII
B. tampak M. Lattisimus dorsi
C. insisi pada periosteum kosta XII
D. kosta XII disingkirkan lalu dasarnya diinsisi
E. diafragma dibebaskan lalu tampak peritoneum pada dasar diafragma
F. posisi drain secara skematik

Komplikasi
Terjadi pada ± 40 % penderita, berupa sepsis, efusi pleura, empiema,
pneumonia dan peritonitis (bila abses ruptur ke rongga abdomen). (1,6)
Prognosis
Dengan tehnik diagnosis yang moderen, antibiotik dan drainase
perkutaneus yang cepat maka angka kesembuhan mencapai 80 – 90 %.
Banyak faktor yang mempengaruhi jeleknya prognosis. Antara lain
diagnosis yang terlambat, tidak dilakukan drainase, infeksi primer tidak ditangani,
penderita usia tua, keadaan-keadaan dimana status imunitas penderita rendah,
multipel abses, polimikrobial, kadar Hb < 11 g/dl, bilirubin > 1,5 mg/dl, leukosit >
15.000/mm3, dan albumin < 2,5 g/dl.

A2w| 120
HEPATOCELULERCARCINOMA (HCC)
INSIDENS
Di Eropa Utara, Inggris dan Amerika, tumor ganas ini relatif jarang
ditemukan, berkisar 1-2 per 100.000 penduduk. Insidens tertinggi di benua
Afrika, terutama diselatan gurun Sahara. Insidensnya mencapai 98 kasus per
100.000 penduduk. Negara asia tenggara khususnya Cina, Korea dan Jepang
juga memiliki insidens cukup tinggi, mencapai lebih dari 20 kasus per 100.000
penduduk.
Rerata usia tersering dinegara barat pada usia 55-65 tahun, India 35-40
tahun dan di Mozambique 25-30 tahun, lebih sering pada pria dibanding wanita
dengan insidens 4:1 dan mencapai 8:1 pada daerah insidens tinggi.
ETIOLOGI
Hepatoseluler karsinoma hampir selalu disertai dengan penyakit hati
kronis, terutama infeksi hepatitis B dan C. Ada hubungan kausal yang erat antara
sirosis hati dan infeksi virus hepatitis B maupun C dengan terjadinya karsinoma
hepatoseluler. Infeksi akut virus hepatitis B maupun C dapat menjadi kronik dan
berkembang menjadi sirosis. Hepatitis kronik dan sirosis merupakan faktor
onkogenik bagi sel hati sehingga berubah menjadi ganas. Sirosis oleh karena
alkohol merupakan penyebab tersering di Amerika Serikat dan Eropa barat.
Dalam studi eksperimen disebutkan aflatoksin (Mycotoxin) merupakan bahan
karsinogenik yang poten. Makanan yang banyak mengandung aflatoksin adalah
oncom yang diproduksi oleh jamur Aspergillus flavus dan Aspergillus fumigatus.
Semua kacang-kacangan dan biji-bijian berikut produknya seperti kacang kedele,
beras, gandum, jagung dan jamu tradisional mudah ditumbuhi jamur ini terutama
bila lembab.
Karsinoma ini juga dilaporkan berhubungan dengan beberapa kelainan
metabolik seperti Hemokromatosis, Wilson`s disease, Tirosinemia herediter,
Glikogen Storage Disease tipe 1, Familial Polyposis kolon, Defisiensi alpha 1
antitrypsin dan Sindrom Bucc-Chiari. Bahan kimia seperti nitrit, hidrokarbon dan
polyklorin juga merupakan karsinogenik hepar.
PATOLOGI
90% keganasan pada hepar terdiri atas karsinoma hepatoseluler, 5% atas
kolangiokarsinoma dan sisanya terdiri atas karsinoma lain yakni gabungan
hepatoseluler-kolangiokarsinoma dan non diferensiasi. Gambaran makroskopis
karsinoma hepatoseluler dibagi menjadi 3 macam, yaitu bentuk massif unifokal,
noduler multifokal dan bentuk difus dengan pertumbuhan infiltratif.
Jenis noduler multifokal paling sering ditemukan. Bentuk ini menunjukkan
gambaran dungkul berwarna keruh kekuningan dan tersebar di hepar dan
biasanya terdapat satu nodul yang lebih besar dari yang lain. Bentuk massif
unifokal berupa tumor berukuran besar menempati salah satu lobus. Bentuk
difus jarang ditemukan dan amat sulit dibedakan dengan gambaran sirosis.
Gambaran mikroskopik kebanyakan berbentuk trabekuler atau sinusoid. Bentuk
lain seperti pseudoglanduler atau asiner jarang ditemukan. Bentuk fibrolamelar
biasanya ditemukan pada penderita muda.

A2w| 121
Tumor menyebar melalui 4 jalur, yakni:
1. Pertumbuhan sentrifugal, yang mengindikasikan ekspansi nodul yang akan
menekan jaringan hepar sekitar tumor.
2. Perluasan parasinusoidal, yang menunjukkan invasi tumor ke parenkim
sekitar, baik ke ruang parasinusoid atau ke sinusoid sendiri.
3. Penyebaran melalui vena atau cabang kecil sistem portal secara retrograde
ke cabang yang lebih besar dan akhirnya ke vena porta. .
4. Metastasis jauh, sebagai hasil invasi melalui saluran limfatik dan sistem
vaskuler.
Predileksi metastasis tersering adalah pada pulmo, limfonodus, organ - organ
intraperitoneal, peritoneum, kelenjar adrenal, tulang dan otak.

GEJALA KLINIK
Pasien hepatoseluler karsinoma stadium awal biasanya hanya mempunyai
sedikit keluhan. Dengan bertambah besarnya tumor maka kemudian timbul
gejala lain. Umumnya penderita datang dalam keadaan penyakit sudah lanjut. 6
Keluhan yang timbul dapat berupa:
- Rasa tidak nyaman-nyeri yang sifatnya tumpul namun persisten sekitar perut
atas, tembus kebelakang bahkan dapat menjalar ke bahu. Nyeri meningkat
bila penderita bernapas dalam karena rangsangan peritoneum pada
permukaan benjolan
- Massa pada perut kanan atas
- Rasa lelah
- Anoreksia
- Kehilangan berat badan secara cepat
- Ascites (50-75% pasien)
- Gejala hipertensi portal
- Ikterus (20-58% pasien)
Pada pemeriksaan fisik umumnya ditemukan pembesaran hepar yang
berbenjol, keras dan kadang nyeri tekan. Karena karsinoma ini kebanyakan
berhubungan dengan sirosis maka sering pada penderita ini didapatkan pula
tanda sirosis misal caput medusae, spider nevi, splenomegali, eritema palmaris
dan ginekomasti.
Auskultasi diatas benjolan kadang menemukan suara bising aliran darah (bruit)
karena hipervaskularisasi tumor. Gejala ini menunjukan fase tumor sudah lanjut.
Nyeri perut, kehilangan berat badan serta massa pada perut merupakan tanda
yang paling sering ditemukan. Pada lebih dari separuh pasien anak, tanda awal
adalah tumor abdomen.
Adanya nyeri mendadak, hemoperitoneum dan/atau syok tanpa adanya riwayat
trauma mengindikasikan ruptur tumor. 3-5% pasien datang dengan tanda-tanda
peritonitis oleh karena tumor ruptur secara spontan.

A2w| 122
PEMERIKSAAN PENUNJANG
LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium akan menunjukkan gangguan tes fungsi hepar
berupa peningkatan bilirubin serum, alkali fosfatase dan gamma
glutamyltranspeptidase. SGOT dan SGOT bahkan meningkat 2-3 kali di atas
normal. Rata-rata pasien datang dengan anemia. Jika terdapat nekrosis tumor
dan demam, leukosit akan mengalami peningkatan.
Alfa fetoprotein (AFP) dan Protein Induced by Absence of Vitamin K or by
antagonist II (PIVKA-II) merupakan tumor marker spesifik untuk hepatoseluler
karsinoma.
AFP merupakan protein yang diproduksi hepar, memiliki berat molekul
65.000 dengan susunan asam amino yang mirip dengan albumin. Protein ini
dulunya berperan penting dalam pengaturan tekanan koloid osmotik janin dan
sebagai pengikat estrogen. Protein ini normal ada pada fetus namun menghilang
beberapa minggu setelah lahir. Pada orang dewasa normal, kadar AFP
normalnya kurang dari 10-20 ng/ml. Pasien dengan hepatoseluler karsinoma
berukuran kecil biasanya hanya mengalami sedikit ataupun tidak ada
peningkatan kadar AFP. Peningkatan kadar lebih 400 ng/ml biasanya ditemukan
pada tumor-tumor yang besar atau tumor yang pesat pertumbuhannya dan kadar
yang besarnya lebih dari 3000 ng/ml hampir selalu dapat memastikan diagnosis
tumor ini. Kenaikan kadar AFP yang ringan ditemukan pada penderita sirosis
tanpa keganasan. Peningkatan sementara AFP juga ditemukan pada pasien
dengan penyakit hepar atau sirosis. Pengukuran kadar AFP digunakan dalam
memonitor rekurensi tumor sebab kadarnya seharusnya menurun setelah reseksi
tumor. Studi terakhir juga menunjukkan adanya korelasi antara peningkatan
kadar AFP, stadium tumor dan prognosis. Pada orang dewasa, kadar AFP yang
tinggi (> 500 ng/ml) juga dapat ditemukan pada keadaan:
- Germ cell tumor (Ca testis dan ovarium)
- Karsinoma yang metastasis pada hepar
- Wanita hamil terutama dengan janin yang memiliki kelainan defek saluran
neural
Sensitifitas AFP untuk karsinoma hepatoseluler adalah berkisar 60%,
kepustakaan lain menyebut angka 65-75%. Sensitifitas PIVKA-II berkisar 55-
62%. Pengukuran kadar AFP dan PIVKA-II saling melengkapi satu sama lain
dalam menegakkan diagnosis hepatoseluler karsinoma.
Tumor marker lain yang sedang diselidiki kaitannya dengan tumor ini
adalah des-gamma-carboxyprothrombin (DCP) yang merupakan varian enzim
gamma-glutamyltransferase dan varian enzim lainnya, misal alpha-L-fucosidase.

A2w| 123
RADIOLOGI
ULTRASONOGRAFI
USG merupakan pemeriksaan penunjang diagnosis yang tidak mahal, non
invasif dan paling sering digunakan. Lewat USG, tumor tampak hipoekoik dan
kapsula fibrosa menghasilkan acoustic shadow. Pada seorang yang ahli, USG
sangat akurat, lesi yang berukuran kurang dari 1 cm dapat terdeteksi. USG juga
sangat berguna dalam menentukan stadium tumor khususnya dalam
menentukan keterlibatan tumor dengan struktur vaskuler. Kemampuan USG
dalam menampakkan tumor dalam berbagai arah sesuai penempatan transducer
membuat alat ini mampu melokalisir tumor dengan akurat khususnya dalam
hubungan tumor dengan pembuluh darah. USG memiliki sensitifitas dan
spesifitas sebanding dengan CT Scan dalam mendeteksi lesi kecil namun lebih
unggul dalam skrining pada daerah insidens tinggi.
CT SCAN
CT scan dapat menentukan ukuran tumor, perluasan tumor dan mampu
mendeteksi tumor berukuran kecil. Ia memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang
tinggi, non-operator dependen dan merupakan pemeriksaan penunjang pilihan
dalam mendeteksi karsinoma hepatoseluler.

Gambaran USG & CT Scan karsinoma hepatoseluler


MRI
MRI memiliki sensitivitas tinggi dan juga dapat menampilkan hubungan tumor
dan pembuluh darah besar. MRI sangat berguna dalam membedakan
karsinoma hepatoseluler dengan tumor lain bahkan pada pasien dengan sirosis
hepatis, misalnya haemangioma dan nodul regenerative.

ANGIOGRAFI
Angiografi dulunya merupakan metode paling akurat dalam mendiagnosis
hepatoseluler karsinoma namun saat ini perannya sudah terganti oleh
pemeriksaan penunjang non invasif. Saat ini angiografi sering dikombinasi
dengan CT Scan atau sebagai penunjang dalam transcatheter arterial
embolisation (TACE).

A2w| 124
GRADING Ca. HCC American Joint Commite on Cancer (AJCC) 1998:
Tumor primer (T):
Tx Tumor primer tidak dapat dinilai
T0 Tidak ada bukti adanya tumor
T1 Tumor soliter ≤ 2 cm tanpa invasi vaskuler
T2 Tumor tunggal ≤ 2 cm dengan invasi vaskuler; atau tumor multiple ≤ 2 cm,
terbatas pada satu lobus tanpa invasi vaskuler; atau tumor tunggal >2 cm,
tanpa invasi vaskuler
T3 Tumor tunggal >2 cm dengan invasi vaskuler; atau tumor multiple > 2 cm,
terbatas pada satu lobus dengan/tanpa invasi vaskuler
T4 Tumor multiple pada lebih dari satu lobus; atau tumor pada cabang besar
vena porta/hepatica
Limfonodus regional (N)
Nx Limfonodus regional tidak dapat dinilai
N0 Tidak ada metastasis pada limfonodus regional
N1 Metastasis limfonodus regional
Metastasis jauh (M)
Mx Adanya metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 Tidak ada metastasis jauh
M1 Ditemukan metastasis jauh
Pengelompokan stadium:
Stadium I T1 N0 M0
Stadium II T2 N0 M0
Stadium IIIa T3 N0 M0
Stadium IIIb T1-3 N1 M0
Stadium IVa T4 any N M0
Stadium IVb T4 anyN M1
PENANGANAN
Penanganan Non Bedah
Transcatheter Arterial Chemoembolisation (Tae / Tace)
Teknik ini merupakan kombinasi kemoterapi intraarterial dan oklusi arteri
hepatica dengan materi embolisasi dengan tujuan memperpanjang waktu kontak
antara tumor dengan agen dan untuk menginduksi nekrosis massif dari tumor
secara iskemik. Pertama kali diperkenalkan oleh Goldstein dan dikembangkan
oleh Yamada. Agen kemoterapi dapat diinfus ke hepar sebelum atau sesudah
hepar diembolisasi dengan bubuk busa gelatin. Penggunaan CO2 microbubble-
angiosonography dapat membantu melokalisir vaskuler tumor. TACE tidak
diindikasikan pada pasien dengan kadar total bilirubin melebihi 3 mg/dl. Jika
kadar bilirubin total melebihi 2 mg/dl, area hepar yang akan diembolisasi tidak
boleh melebihi 1-2 level Couinaud. Komplikasi post TACE atau yang lebih
dikenal sebagai Post Embolisation Syndrome dapat berupa nyeri perut (59%),
demam (47%), ulkus gaster-duodenum, pankreatitis dan kolesistitis. Hal ini dapat
diatasi dengan dipyrone atau hidrokortison.

A2w| 125
Kemoembolisasi pada karsinoma hepatoseluler
PERCUTANEOUS ETHANOL INJECTION (PEI / PEIT)
Prinsip PEI adalah dengan efek degeneratif protein dan efek trombotik
dapat menginduksi nekrosis tumor. Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh
Shinigawa pada tahun 1985. Dengan anestesi lokal pada kulit dinding abdomen
dan kapsul hepar, jarum Chiba ukuran 22 dimasukkan perkutaneus ke tumor
dibawah bimbingan USG. Alkohol absolute (99,5%) diinjeksi perlahan.
Kontraindikasi penggunaannya adalah bila pasien tidak kooperatif dan adanya
kelainan pembekuan darah.

PENANGANAN BEDAH
Terapi definitive bagi HCC yang resektabel adalah operasi. Bila tumor
resektabel, penentuan seberapa besar hepar dapat direseksi bergantung lokasi,
ukuran tumor, jumlah nodul, kedekatan tumor dengan struktur pembuluh darah
dan keparahan penyakit hepar penyerta. Ahli bedah berpendapat batas 1 cm
diluar tumor sudah cukup adekuat. Beberapa tipe reseksi untuk tumor ini adalah
reseksi baji, segmentektomi, lobektomi dan trisegmentektomi. Kriteria tumor
unresektabel adalah:
- Adanya kelainan ekstrahepatik
- Adanya disfungsi hepar
- Ekstensi tumor  hanya sedikit hepar yang dapat disisakan setelah reseksi
- Terbukti adanya metastasis/ekstensi ekstrahepatik
- Tumor melibatkan vena hepatica-vena porta.
- Pada pasien dengan sirosis hepatis, reseksi akan mempengaruhi survival
karena:
- regenerasi sisa hepar tidak adekuat pada pasien dengan sirosis hepatic
- rekurensi tumor pada sisa hepar
- kelainan pembekuan darah yang abnormal
- reservasi hepar yang jelek
Komplikasi post reseksi adalah:
- Komplikasi metabolik seperti hipoglikemia, hipoalbuminemia, koagulopati
dan hiperbilirubinemia
- Perdarahan
- Sepsis
- Ulkus peptik
A2w| 126
TRANSPLANTASI HEPAR
Penanganan HCC dengan cara transplantasi telah diperdebatkan oleh karena
kemampuan viabilitas organ donor dan rekurensinya setelah ransplantasi yang
diduga akibat sel-sel tumor yang bersirkulasi yang kemudian merusak donor.
Pasien sebelum transplantasi harus menjalani pemeriksaan lengkap khususnya
CT Scan dan USG abdomen untuk mengeksklude metastasis atau adanya
limfonodus yang terkena. Gugenheim dkk melaporkan rerata rekurensi post
transplantasi hepar pada tumor ukuran diameter < 5cm dan jumlah tumor ≤ 3
nodul 11,1% namun ukuran diameter > 5cm dan jumlah tumor ≥ 3 nodul
mencapai 100%.
KEMOTERAPI
Kemoterapi sistemik baik tunggal maupun kombinasi hanya memiliki sedikit efek
terapi. Kemoterapi sistemik yang pertama digunakan adalah fluorouracil yang
berespon 0-10% dan median survival 3-5 bln. Fluorouracil ini kemudian
dikombinasi dengan asam folat dosis tinggi namun tetap tidak mempengaruhi
hasil terapi. Respon lebih baik dengan penggunaan Epirubicin dan Cisplatin.
Obat kemoterapi yang diyakini paling aktif adalah doxorubicin dengan rerata
respons 19%. (3-32%). Indikasi pemberian kemoterapi untuk tumor ini adalah:
- Adanya kelainan ekstrahepatik
- Tidak dapat dilakukan penanganan lain
- Adanya trombosis vena porta
- Status performans yang baik (Karnoffsky 70 ke atas)
- Fungsi hepar yang baik
Saat ini beragam kemoterapi regional diuji terutama melalui infus intra arteri
hepatika setelah sebelumnya dilakukan laparotomy atau angiography. Agen
dapat diberi sekali, infus kontinu lewat syringe pump atau dengan kateter port
untuk injeksi jangka panjang. Alasan pemberian intraarteri adalah:
- Suplai darah untuk karsinoma hepatoseluler melalui arteri hepatika sehingga
konsentrasi tinggi obat langsung ke tumor
- Toksisitas sistemik yang lebih rendah
- Obat-obat ini dimetabolisme di hepar
KRIOTERAPI
Terapi ini berupa pembekuan tumor pada batas 1 cm dari jaringan hepar yang
sehat dengan menggunakan nitrogen cair yang diinjeksi melalui cryopobe vakum
dibawah bimbingan USG atau selama laparoskopi atau laparotomi. Hanya ada
data terbatas dalam penggunaannya. Zhou dan Tang dkk melaporkan 37,9 % 5
year survival rate pada 191 pasien dan 53,1% pada 56 pasien dengan tumor
lebih kecil dari 5 cm. Terapi lanjut dengan ablasi alkohol setelah krioterapi dapat
digunakan dalam penanganan sisa tumor dan mengontrol rekurensi. Komplikasi
lanjut adalah kerusakan struktur berdekatan, terutama vena porta dan vena
hepatica, paru serta dapat terjadi gagal hepar.

A2w| 127
TERAPI IMUN
Agen imunologi secara teori berguna dalam penanganan tumor ini. Interferon
yang diketahui memegang peranan dalam reproduksi virus misal hepatitis B/C
dan aktifitas sel-sel lymphokine activated killer (LAK) berkurang pada pasien
dengan tumor ini. Saat ini, imunoterapi dilaporkan belum menunjukkan dampak
signifikan pada survival dan beberapa komplikasi berat telah dilaporkan. Agen
yang telah dipelajari adalah interferon- (IFN- ) dan dikombinasi dengan
doxorubicin atau fluorouracil.
TERAPI HORMONAL
Terapi sistemik lain adalah dengan manipulasi endokrin. Penelitian dengan terapi
hormonal misal dengan antiestrogen dan antiandrogen dilaporkan terus
menunjukkan hasil menjanjikan. Saat ini terapi hormonal yang paling sering
digunakan adalah tamoxifen. Terapi hormonal dilakukan berdasarkan
penyelidikan:
- Jaringan tumor mengandung reseptor estrogen dan androgen
- Predominansi tumor pada pria
- Kesuksesan dengan terapi hormonal pada tumor lain
RADIOTERAPI
Radioterapi eksternal memiliki keterbatasan dalam penanganan HCC. Dosis
aman untuk hepar mendekati 30 Gy. Radioterapi dapat berguna dari segi paliatif
dan untuk menghilangkan gejala. Sebagai alternatif lain, sejumlah radiasi lokal
dapat diberi dengan memberi infus Lipiodol intraarteri atau dengan antibodi
antiferritin yang diperkuat dengan yodium radioaktif.
TERAPI LAINNYA
Pilihan terapi lain adalah terapi gen, termoterapi, intra-arterial radiotherapy dan
yttrium-90 Proton therapy. Retinoic acid, flavinoid quercitin, octreotide dan herbal
medicine Inchin-ko-to juga dilaporkan memiliki efek pada tumor.
PROGNOSIS
Prognosis tumor ini adalah buruk karena sifat tumor yang sangat ganas
dan kebanyakan pasien datang dengan stadium lanjut sewaktu diagnosis
ditetapkan. Prognosis yang lebih disukai yakni jika pasien usia muda, jenis
kelamin wanita, kadar AFP rendah, stadium awal, tidak disertai sirosis, diameter
tumor lebih kecil dari 5 cm, tindakan dan jika tumor soliter.
Mortalitas intraoperatif saat ini dilaporkan kurang dari 5% bahkan di
Hongkong dilaporkan 0%. Pada pasien non sirosis, hepatektomi parsial
dihubungkan dengan 5 year survival 30% dan bahkan pernah dilaporkan
mencapai 68%. Pada pasien sirosis, 5 year survival mendekati 25-30% bahkan
ada peneliti yang melaporkan 0%. Rekurensi tumor post reseksi dilaporkan
bervariasi antara 20-70% dalam 2 tahun dan mendekati 83% dalam 5 tahun.
Rekurensi tumor amat ditentukan oleh ukuran, jumlah dan batas positif reseksi
tumor. Resiko rekurensi tumor besar (>5 cm) dilaporkan hampir dua kali dari
tumor kecil.

A2w| 128
TRAUMA HEPAR
ETIOPATOGENESIS
Berdasarkan mekanisme traumanya, trauma hepar terbagi menjadi trauma tajam
dan trauma tumpul. Mekanisme yang menimbulkan kerusakan hepar pada
trauma tumpul adalah efek kompresi dan deselerasi. Trauma kompresi pada
hemithorax kanan dapat menjalar melalui diafragma, dan menyebabkan kontusio
pada puncak lobus kanan hepar. Trauma deselerasi menghasilkan kekuatan
yang dapat merobek lobus hepar satu sama lain dan sering melibatkan vena
cava inferior dan vena-vena hepatik. Trauma tajam terjadi akibat tusukan senjata
tajam atau oleh peluru. Berat ringannya kerusakan tergantung pada jenis trauma,
penyebab, kekuatan, dan arah trauma. Karena ukurannya yang relatif lebih besar
dan letaknya lebih dekat pada tulang costa, maka lobus kanan hepar lebih sering
terkena cidera daripada lobus kiri. Sebagian besar trauma hepar juga mengenai
segmen hepar VI,VII, dan VIII. Tipe trauma ini dipercaya merupakan akibat dari
kompresi terhadap tulang costa, tulang belakang atau dinding posterior
abdomen. Adanya trauma tumpul langsung pada daerah kanan atas abdomen
atau di daerah kanan bawah dari tulang costa, umumnya mengakibatkan
pecahan bentuk stellata pada permukaan superior dari lobus kanan. Trauma
tidak langsung atau contra coup biasanya disebabkan oleh jatuh dari ketinggian
dengan bagian kaki atau bokong yang pertama kali mendarat. Jenis trauma ini
menyebabkan efek pecahan pada penampang sagital hepar dan kadang-kadang
terjadi pemisahan fragmen hepar. Gambaran trauma hepar mungkin dapat
seperti (1) subcapsular atau intrahepatic hematom, (2) laserasi, (3) kerusakan
pembuluh darah hepar, dan (4) perlukaan saluran empedu. Saat ruptur hepar
mengenai kapsul Glissoni maka akan terjadi ekstravasasi darah dan empedu ke
dalam cavum peritoneal. Bila kapsul tetap utuh, pengumpulan darah di antara
kapsul dan parenkim biasanya ditemukan pada permukaan superior dari hepar.
Ruptur sentral meliputi kerusakan parenkim hepar.
DIAGNOSA
Penegakkan diagnosis suatu trauma hepar berdasarkan atas anamnesis,
pemeriksaan klinis (tanda dan gejala klinik), pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan penunjang lainnya.
1. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinisnya tergantung dari tipe kerusakannya. Pada ruptur
kapsul Glissoni, tanda dan gejalanya dikaitkan dengan tanda-tanda syok, iritasi
peritoneum dan nyeri pada epigastrium kanan. Adanya tanda-tanda syok
hipovolemik yaitu hipotensi, takikardi, penurunan jumlah urine, tekanan vena
sentral yang rendah, dan adanya distensi abdomen memberikan gambaran
suatu trauma hepar. Tanda-tanda iritasi peritoneum akibat peritonitis biliar dari
kebocoran saluran empedu, selain nyeri dan adanya rigiditas abdomen, juga
disertai mual dan muntah.

A2w| 129
2. Pemeriksaan Laboratorium
Banyaknya perdarahan akibat trauma pada hepar akan diikuti dengan
penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit. Ditemukan leukositosis lebih dari
15.000/ul, biasanya setelah ruptur hepar akibat trauma tumpul. Kadar enzim hati
yang meningkat dalam serum darah menunjukkan bahwa terdapat cidera pada
hepar, meskipun juga dapat disebabkan oleh suatu perlemakan hati ataupun
penyakit-penyakit hepar lainnya. Peningkatan serum bilirubin jarang, dapat
ditemukan pada hari ke-3 sampai hari ke-4 setelah trauma.
3. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan CT-scan tetap merupakan pemeriksaan pilihan pada pasien
dengan trauma tumpul abdomen dan sering dianjurkan sebagai sarana
diagnostik utama. CT-scan bersifat sensitif dan spesifik pada pasien yang
dicurigai suatu trauma tumpul hepar dengan keadaan hemodinamik yang stabil.
Penanganan non operatif menjadi penanganan standar pasien trauma tumpul
abdomen dengan hemodinamik stabil. Pemeriksaan CT-scan akurat dalam
menentukan lokasi dan luas trauma hepar, menilai derajat hemoperitoneum,
memperlihatkan organ intraabdomen lain yang mungkin ikut cidera, identifikasi
komplikasi yang terjadi setelah trauma hepar yang memerlukan penanganan
segera terutama pada pasien dengan trauma hepar berat, dan digunakan untuk
monitor kesembuhan. Penggunaan CT-scan terbukti sangat bermanfaat dalam
diagnosis dan penentuan penanganan trauma hepar. Dengan CT-scan
menurunkan jumlah laparatomi pada 70% pasien atau menyebabkan pergeseran
dari penanganan rutin bedah menjadi penanganan non operastif dari kasus
trauma hepar.
Grd Type Description AIS

Hematoma Subcapsular,nonexpanding,<10% surface area 1


I
Laceration Capsular tear, nonbleding,< 1 cm parenchymal depth
Subcapsular, nonexpanding,10-15% surface area; intraparenchymal, 2
Hematoma nonexpanding,< 2 cm in diameter
II
Laceration Capsular tear,active bleding;1-3 cm deepinto parencymal,< 10 cm long
Subcapsular,> 50% surface area or expanding; rupture subcapsular 3
Hematom hematom with active bleeding; intraparaencymal hematoma > 2 cm or
III expanding

Laceration > 3 cm deep into the parencymal

Hematom Ruptur intraparenchymal hematom with active bleeding 4


IV
Laceration Parenchymal disruption involving > 50% of hepatic lobe

Laceration Parenchymal disruption involving > 50% of hepatic lobe 5


V
Juxtahepatic venous injuries;ie,retrohepatic vena cava or major hepatic
Vascular
vein
VI Vascular Hepatic avulsion 6

A2w| 130
Trauma Hepar Grade I.

Trauma Hepar Grade II.

Trauma Hepar Grade III.

Trauma Hepar Grade IV.

Trauma Hepar Grade V

Trauma Hepar Grade VI

A2w| 131
PENANGANAN
Resusitasi
Jalan nafas yang adekuat haruslah diusahakan dan dipertahankan. Kontrol
perdarahan dan syok sebelum dilakukan upaya diagnostik/terapaetik haruslah
diupayakan sekuat tenaga. Sedikitnya 2 buah kateter intravena yang besar harus
dipasang pada ekstremitas atas. Penempatan kateter vena sentralis atau gauss
kateter ke dalam vene subclavia hendaknya dipasang setelah pasien stabil atau
kondisi cukup baik dibawah pengawasan. Jika akses vena tambahan diperlukan
maka diusahakan pemasangan kateter besar pada jugular externa atau vena
femoral. Infus 2000 ml cairan kristaloid (Ringer Lactat) secara cepat seringkali
mengembalikan atau menjaga tekanan darah normal pasien jika kehilangan
darah hanya sebatas < 15% volume darah tubuh total tanpa perdarahan lanjut
yang signifikan. Jika kehilangan darah > 15% volume darah atau jika perdarahan
masif tetap berlangsung tekanan darah biasanya meningkat hampir mencapai
normal kemudian jatuh atau turun dengan cepat. Hindari resusitasi dengan
Larutan onkotik aktif (dextran dan hydroxyethyl) pada pasien yang dicurigai
trauma hati.

A2w| 132
Penatalaksanaan Non-Operatif
Pasien dengan trauma tumpul hati yang stabil secara hemodinamik tanpa
adanya indikasi lain untuk operasi lebih baik ditangani secara konservatif (80%
pada dewasa, 97% pada anak-anak).Beberapa kriteria klasik untuk penatalaksan
non operatif adalah: Hemodinamik stabil setelah resusitasi, Status mental normal
dan Tidak ada indikasi lain untuk laparatomi.
Pasien yang ditangani secara non operatif harus dipantau secara cermat di
lingkungan gawat darurat. Monitoring klinis untuk vital sign dan abdomen,
pemeriksaan hematokrit serial dan pemeriksaan CT/USG akan menentukan
penatalaksanaan. Setelah 48 jam, dapat dipindahkan ke ruang intermediate care
unit dan dapat mulai diet oral tetapi masih harus istrahat ditemapt tidur sampai 5
hari. Embolisasi angiografi juga dimasukkan ke dalam protokol penanganan non
operatif trauma hati pada beberapa situasi dalam upaya menurunkan kebutuhan
transfusi darah dan jumlah operasi. Jika pemeriksaan hematokrit serial (setelah
resusitasi) normal pasien dapat dipulangkan dengan pembatasan aktifitas.
Aktifitas fisik ditingkatkan secara perlahan sampai 6-8 minggu. Waktu untuk
penyembuhan perlukaan hepar berdasarkan bukti CT-Scan antara 18-88 hari
dengan rata-rata 57 hari.
Penatalaksaan Operatif
Prinsip fundamental yang diperlukan di dalam penatalaksanaan operatif pada
trauma hati adalah:
1. Kontrol perdarahan yang adekuat
2. Pembersihan seluruh jaringan hati yang telah mati (devitalized liver)
3. Drainase yang adekwat dari lapangan operasi
A. Tehnik Untuk Kontrol Perdarahan Temporer/Sementara
Dilakukan untuk dua alasan;
I. Memberikan waktu kepada ahli anestesi untuk mengembalikan volume
sirkulasi sebelum kehilangan darah lebih lanjut terjadi.
II. Memberikan waktu kepada ahli bedah untuk memperbaiki trauma lain
terlebih dahulu apabila trauma tersebut lebih membutuhkan tindakan segera
dibandingkan dengan trauma hati tersebut.
Tehnik yang paling berguna dalam mengontrol perdarahan sementara adalah
Kompresi Manual, pembalutan perihepatik (perihepatic packing), dan parasat
pringle. Kompresi manual secara periodik dengan tambahan bantalan laparatomi
(Laparatomy pads) berguna dalam penatalaksanaan trauma hati kompleks
dalam menyediakan waktu untuk resusitasi. Bantalan tambahan dapat
ditempatkan diantara hati dan diafragma dan diantara hati dengan dinding dada
sampai perdarahan telah terkontrol. 10 hingga 15 bantalan dibutuhkan untuk
mengontrol perdarahan yang berasal dari lobus kanan. Pembalutan tidaklah
berguna pada trauma lobus kiri, karena ketika abdomen dibuka, dinding dada
dan abdomen depan tidaklah cukup menutup lobus kiri hati untuk menciptakan
tekanan yang adekwat. Untungnya, perdarahan dari lobus kiri hati ini dapat
dikontrol dengan memisahkan ligamentum triangular kiri dan ligamentum
coronarius kemudian menekan lobus tersebut diantara kedua tangan.

A2w| 133
Parasat Pringle ( Pringle Manuver) sering kali digunakan untuk membantu
pembalutan /packing dalam mengontrol perdarahan sementara. Prasat Pringle
adalah suatu tehnik untuk menciptakan oklusi sementara vena porta dan arteri
hepatika yang dilakukan dengan menekan ligamentum gastrohepatik (portal
triad). Penekanan ini dapat dilakukan dengan jari atau dengan menggunakan
klem vaskuler atraumatik. Tehnik ini merupakan tehnik yang sangat membantu
dalam mengevaluasi trauma hati grade IV dan V. Biasanya, pengkleman pada
portal triad direalese setiap 15-20 menit selama 5 menit untuk memberikan
perfusi hepatik secara intermitten. Bukti terbaru, dengan memberikan komplet
oklusi sekitar satu jam tidak memberikan kerusakan iskemik pada hepar.
Perut kemudian ditutup, dan pasien dipindahkan ke ICU untuk resusitasi
dan koreksi kekacauan metabolik. Dalam 24 jam, pasien dikembalikan ke ruang
operasi untuk pengankatan balut itu kembali. Tindakan ini diindikasikan untuk
trauma grade IV- V dan pasien dengan trauma yang kurang parah tetapi
menderita koagulopati yang disebabkan oleh trauma yang menyertai.

Kompresi manual perihepatic packing

Parasat Pringle (Pringle Manouver)

Trauma vena juxtahepatik sering kali berakibat kematian. Prosedur kompleks


dibutuhkan untuk mengontrol sementara perdarahan dari vena besar ini.
Prosedur yang paling penting dilakukan adalah isolasi vascular hepatik dengan
klem, shunt atrium kava, dan dengan penggunaan balon Moore-Pilcher, serta
dengan melakukan pintas venovena.

Isolasi vaskuler hepatik

A2w| 134
B.Tehnik – Tehnik Dalam Penatalaksanaan Definitif Trauma Hati
Tehnik yang dapat digunakan sebagai terapi definitif pada trauma hati
berkisar dari kompresi manual hingga transplantasi hati. Laserasi parenkim hati
grade 1 atau 2 dapat secara umum diatasi dengan kompresi manual. Apabila
dengan tehnik ini tidak berhasil, seringkali trauma seperti ini diatasi dengan
tindakan hemostatik topikal. Tindakan yang paling sederhana adalah dengan
elektrokauterisasi, yang seringkali dapat mengatasi perdarahan dari pembuluh
darah kecil yang dekat dengan permukaan hati. Perdarahan tidak berespon
dengan elektrokauter mungkin dapat berespon dengan argon beam koagulator.
Kolagen mikrokristalin bentuk bubuk juga berguna dalam situasi seperti ini.
Bubuk tersebut ditempatkan dalam sponge bersih ukuran 4 x 4 kemudian
digunakan langsung pada permukaan yang mengeluarkan darah dengan
menekan bagian tersebut dan dipertahankan selama 5 hingga 10 menit. Lem
fibrin (fibrin glue) telah digunakan dalam pengobatan laserasi superfisial dan
laserasi yang dalam dan tampil sebagai agen topikal yang paling efektif. Lem
fibrin ini pula dapat diinjeksikan secara dalam pada perdarahan akibat luka
tembak dan luka tikam untuk mencegah diseksi luas dan kehilangan darah. Lem
fibrin ini dibuat dengan mencampur fibrin konsentrat manusia (cryopresipitat)
dengan larutan yang mengandung trombin bovine dan kalsium.
Perihepatik mesh yang merupakan absorbe mesh yang terdiri polyglactin oleh
Brunet dkk, telah digunakan untuk perlukaan hepar grade II-V. Dilaporkan
dengan cara ini tidak terbentuk hemobilia dan absces. Dengan penggunaan
mesh sejak awal perdarahan dalam jumlah yang besar dapat dikurangi.
Meskipun beberapa laserasi grade III dan IV berespon terhadap tindakan
topikal yang disebutkan sebelumnnya, tetapi pada kebanyakan kasus tidaklah
demikian. Pada keadaan ini, satu satunya pilihan adalah dengan menjahit
parenkim hati. Meskipun dikatakan sebagai penyebab nekrosis, akan tetapi
tindakan ini masih sering digunakan. Menjahit parenkim hati seringkali dilakukan
untuk mengatasi perdarahan persisten akibat laserasi dengan kedalaman kurang
dari 3 cm. Bersama dengan hepatotomi dan ligasi selektif, tindakan ini juga
merupakan alternatif yang cocok pada laserasi yang lebih dalam jika pasien tidak
dapat mentoleransi perdarahan lebih lanjut. Material yang diperlukan adalah
catgut chromic atau vicryl 0 atau 2.0 dan jarum kurva ujung tumpul. Untuk
laserasi yang dangkal jahitan terus menerus sederhana (simple continuous
suture) dapat digunakan untuk mendekatkan tepi luka. Untuk laserasi yang
dalam , jahitan matras horizontal terputus (interrupted horizontal mattres suture)
dapat ditempatkan secara pararel pada tepi luka. Ketika mengikat jahitan, satu
yang harus dipastikan bahwa ketegangan yang adekuat telah tercapai apabila
perdarahan telah berhenti.
Hepatotomi dengan ligasi selektif pembuluh darah yang mengalami
perdarahan adalah tehnik penting yang lazim dipakai untuk luka tembus yang
dalam atau luka tembus transhepatik. Tehnik finger frakture digunakan untuk
memperluas panjang dan dalamnya laserasi hingga pembuluh darah yang
mengalami perdarahan dapat diidentifikasi dan dikontrol.

A2w| 135
Hepatotomi yang meliputi a) Finger fracture, b) pemisahan pembuluh darah atau duktus, c) memperbaiki
kerusakan pada pembuluh darah.
Tindakan tambahan dalam penjahitan parenkimal atau hepatotomy
adalah penggunaan omentum untuk mengisi defek luas pada hati sekaligus
sebagai penopang jahitan. Alasan penggunaan omentum ini adalah bahwa
omentum menyediakan sumber makrofag yang unggul dan mengisi ruang mati
potensial dengan jaringan hidup, mengurangi terbentuknya absces, dan sebagai
tamponade bagi perdarahan.

Omentum pack
Ligasi arteri hepatik mungkin cocok untuk pasien dengan perdarahan arteri
dari dalam organ hati. Meskipun demikian tindakan ini hanya sedikit berperan
pada keseluruhan penatalaksanaan trauma hati. Hal ini disebabkan karena
tindakan ini tidak menghentikan perdarahan yang berasal dari sistem vena potra
dan vena hepatika. Peranan primer tindakan ini adalah dalam penatalaksanaan
trauma lobus yang dalam ketika penggunaan parasat pringle berhasil dalam
menghentikan perdarahan arteri.
Debridemen reseksi diindikasikan pada parenkim hati bagian perifer yang
mati (nonviable). Jumlah dari jaringan yang dibuang tidaklah melebihi 25%
keseluruhan organ hati. Tindakan ini dilakukan dengan tehnik finger fracture atau
elektrokogulasi dan cocok pada pasien trauma hati grade III hingga grade V.
Alternatif akhir untuk pasien dengan trauma unilobar yang luas adalah
reseksi hepar anatomis. Dalam keadaan elektif, lobektomi anatomis dapat
dilakukan dengan hasil yang sangat memuaskan. Reseksi anatomik pada trauma
dibatasi pada lobektomi kanan, lobektomi kiri, dan segmentektomi lateral kiri.
Jenis dan luasnya reseksi biasanya ditentukan dari sifat trauma. Untuk
melakukan reseksi hati, hati harus dimobilisasi terlebih dahulu dengan
memotong perlekatan ligamentumnya.

A2w| 136
Mobilisasi Hepar

Untuk melakukan lobektomi kanan, kedua daun ligamentum koronarius harus


dipotong. Jalur ke reseksi lobus kiri dipermudah dengan pemotongan
ligamentum triangularis. Setelah kapsule hati diinsisi, parenkim hati mudah
didiseksi dengan gagang pisau scalpel yang tumpul. Kehilangan darah dikurangi
dengan kompresi hati oleh tangan asisten. Pembuluh darah dan saluran empedu
yang ditemukan dapat diligasi sendiri-sendiri dengan benang atau klip.
Segmentomi lateral kiri terdiri dari reseksi hati yang terletah di bagian kiri
ligamentum falsiformis. Harus berhati hati untuk tidak meligasi pembuluh darah
yang mungkin memasok segmen medial (segmen 4) lobus kiri. Setelah reseksi
permukaan yang terbuka dapat ditutupi dengan memobilisasi ligamentum
falsiformis dan memindahkannya ke daerah yang terbuka. Jika segmen medial
lobus kiri (segmen 4) mengalami kerusakan yang parah, lobektomi hati kiri
diindikasikan. Garis resksi untuk lobektomi kiri harus dilakukan ke bagian kiri
fossa kandung empedu. Mutlak perlu untuk mengidentifikasi vena hepatik medial
selama reseksi karena ia mengalirkan segmen superior lobus kanan dan sering
mengalir ke vena hepatik kiri. Vena hepatik kiri harus diligasi dan dipotong
prioksimal dari persambungan dengan vena hepatik medial. Vena porta kiri tidak
boleh diligasi sampai terpapar dengan baik di dalam hilum karena ia mungkin
memiliki cabang ke segmen anterior lobus kanan. Harus berhati-hati saat
memotong saluran hepatik kiri karena saluran hepatik segmental dari kanan
seringkali menyeberangi fisura segmental untuk mengalir ke saluran hepatik kiri.
Arteri hepatik kiri hanya mempedarahi sisi kiri dan dapat diligasi dengan mudah.
Dalam melakukan lobektomi hati kanan, garis reseksi harus dibawa ke
bagian kiri fossa kandung empedu. Vena hepatik medial harus diidentifikasi, dan
diseksi harus dilakukan menuju vena kava ke bagian kanan vena hepatik medial.
Arteri hepatik kanan dan vena porta dapat didiseksi pada awal reseksi dan
diligasi untuk mengurangi kehilangan darah. Harus berhati-hati untuk
menghindari kerusakan pada cabang arteri hepatik kanan yang kadang kadang
ada, yang mungkin memperdarahi segemen medial lobus kiri.
Jika kerusakan parenkim yang masif terjadi akibat trauma hati atau pada
mereka yang memerlukan reseksi hati total, maka transplantasi hati dapat mejadi
pilihan penatalaksanaan selanjutnya dan telah berhasil dilakukan. Jika
transplantari sedang dipertimbangakan untuk penatalaksanaan selanjutnya,
maka pasien hendaknya dirujuk ke pusat transplantasi secepatnya karena
ketersediaan organ tidak dapat diramalkan.

A2w| 137
KOMPLIKASI
Sebagian besar pasien dengan trauma hepar berat mempunyai
komplikasi, khususnya jika tindakan operasi dilakukan. Knudson dkk, mencatat
komplikasi terjadi pada 52% pasien trauma hepar Grade IV-V merupaka hasil
dari trauma tajam.
Komplikasi signifikan setelah trauma hati termasuk adalah perdarahan
post operatif, koagulopati, fistula bilier, hemobilia, dan pembentukan abses.
Perdarahan post operasi terjadi sebanyak < 10% pasien. Hal ini terjadi mungkin
karena hemostasis yang tidak adekuat, koagulopati post operatif atau karena
keduanya. Jika pasien tidak dalam keadaan hipotermi, koagulopati atau asidosis,
maka tindakan eksplorasi ulang haruslah dilaksanakan. Pembuluh darah yang
tampak mengalami perdarahan harus secara langsung di visualisasi dan ligasi,
meskipun kerusakan lebih luas diperlukan untuk eksplorasi yang adekuat

A2w| 138
IKTERUS OBSTRUKTIF
PATOFISIOLOGI
Sumbatan dari aliran empedu disebut juga Kolestasis. Dapat terjadi
intrahepatik dan ekstrahepatik. Kolestasis intrahepatik biasanya terjadi pada
tingkat hepatosit atau membran kanalikuli bilier, sedangkan kolestasis
extrahepatik biasanya disebabkan adanya sumbatan aliran empedu dari hati ke
usus. Sumbatan bisa saja terjadi dimana saja dari pertemuan ductus hepaticus
dextra dan sinistra sampai pertemuan ductus choledochus di duodenum.
Obstruksi dari ductus extrahepatik menghasilkan kenaikan serum bilirubin,
terutama tipe direct sehingga menimbulkan penampakan bilirubin di urine dan
feses berwarna pucat.
Terjadinya peningkatan bilirubin terkonjugasi dalam darah karena
pengeluaran bilirubin tersebut tidak berlangsung dengan baik akibat sumbatan
yang ada sehingga bilirubin terkonjugasi akan kembali masuk ke dalam aliran
darah. Karena sifatnya yang larut dalam air, maka bilirubin ini akan diekskresikan
melalui urin. Terjadi bilirubinuria dan akibatnya urin akan berwarna gelap. Hal
sebaliknya terjadi pada feses, karena bilirubin terkonjugasi gagal diekskresikan
ke dalam empedu secara baik, otomatis bilirubin yang masuk ke dalam usus pun
boleh dikatakan sedikit sekali (tergantung derajat obstruksinya). Akibatnya
terbentuklah feses berwarna pucat seperti dempul. Selain itu, urobilinogen tidak
ditemukan dalam urine.

ETIOLOGI DAN LETAK OBSTRUKSI


Etiologi dan letak obstruksi bisa terjadi dimana saja pada semua traktus
biliaris yang menyebabkan empedu tersumbat dan tidak bisa dialirkan ke
duodenum.

Etiologi & Letak Ikterus Obstruksif


A2w| 139
Benyamin, 1983 menganjurkan klasifikasi yang tersir dari 4 kategori obstruksi
biliaris, yaitu :
Tipe I :
Obstruksi komplit, menimbulkan ikterus. Biasanya disebabkan oleh tumor,
terutama pada kaput pancreas, ligasi duktus biliaris komunis, kalangio
karsinoma, dan tumor-tumor parenkim hati primer maupun sekunder.
Tipe II :
Obstrusi intermitten, yang meimbulkan gejala-gejala dan perubahan
biokimia yang khas, tetapi dapat disertai seranga ikterus secara klinis.
Keadaan ini sering dijumpai pada koledokolithiasis, tumor-tumor
preampularis, divertikel duodeni, papiloma duktus biliaris, kista koledokus,
penyakit hati polikistik, parasit intrabilier dan hemobilia.
Tipe III :
Obstruksi inkomplit kronis, dengan atau tanpa ejala klasik atau obsservasi
perubahan biokimia, yang akhirnyameimbulkan perubaha patologis ada
duktus biliari komunis yang secra congenital, traumatic dan post
radioterapi.
Tipe IV :
Obstruksi segmental, dimana satu atau lebih segmen anatomis biliaris
intrahepatik yang mengalami obstruksi.

OBSTRUKSI SALURAN EMPEDU INTRAHEPATIK


Sirosis hepatis. Adalah penyakit yang ditandai oleh adanya peradangan difus
dan menahun pada hati, diikuti dengan proliferasi jaringan ikat, degenerasi dan
regenerasi sel-sel hati sehingga timbul kekacauan dalam susunan parenkim hati
Abses hati. Penyebabnya adalah Entamoeba histolytica yang terbawa aliran v.
porta ke hepar. Akibat infeksi amuba tersebut terjadi reaksi radang dan akhirnya
menyebabkan nekrosis jaringan hepar. Kebanyakan abses hati ini bersifat soliter
dan terletak di lobus kanan dekat kubah diafragma.
Hepatokolangitis. Merupakan suatu sindrom gejala dimana terjadi proses
peradangan yang progresif pada saluran empedu sehingga terjadi obliterasi
jaringan ikat. Penyebabnya tidak diketahui pasti, tetapi sering disebabkan oleh
kelainan autoimun yang dihubungkan dengan colitis ulserativa (75% dari kasus).
Penyakit ini menyebabkan berkurangnya/menghilangnya jumlah ductus
intrahepatik sehingga menyebabkan kolestasis.
Tumor Maligna Primer atau Sekunder. Tumor ganas hati primer (Karsinoma
Hepatoseluler) biasanya berhubungan dengan sirosis hepatis. Frekwensi laki-laki
dan perempuan = 3:1. Merupakan 80% dari semua karsinoma hati primer. Tumor
yang bermetastase ke hati biasanya melalui sirkulasi v. porta dan biasanya
berasal dari lambung, colon, payudara, paru, pancreas, ovarium dan uterus.
Obat-obatan.Obat-obatan yang diketahui dapat menyebabkan Kolestasis antara
lain: chlorpromazine, thiazide, estrogen, anabolic steroids, methimazole

A2w| 140
OBSTRUKSI SALURAN EMPEDU EXTRAHEPATIK
A. Intraduktal
 Batu. Merupakan penyebab terbanyak pada kasus ikterus obstruktif.
Kegemukan, peningkatan jumlah kolesterol dan empedu, usia dewasa tua
dan terutama pada wanita. Dikenal 2 jenis batu empedu, yaitu:
- Batu kolesterol ( 80%)
Mengandung paling sedikit 70% kristal kolesterol dan sisanya adalah
kalsium karbonat, kalsium palmitat dan kalsium bilirubinat, berupa batu
soliter/multiple, permukaannya licin atau multifacet, bulat, berduri seperti
buah murbei dengan diameter 2-40 mm.
- Batu pigmen
Berbentuk tidak teratur, kecil-kecil dengan diameter 2-5 mm, multiple,
warnanya bervariasi antara coklat, kemerahan sampai hitam dan berbentuk
seperti lumpur atau tanah yang rapuh.
 Askariasis
Infestasi dari cacing Ascaris lumbricoides banyak diasosiasikan dengan
terjadinya striktur ductus choledochus.
 Atresia bawaan
Atresia saluran empedu merupakan kelainan kongenital yang tidak diketahui
etiologinya. Pada keadaan ini saluran empedu mengalami fibrosis dan proses
ini berjalan terus setelah bayi lahir sehingga prognosis umumnya buruk.
 Striktur saluran empedu
Striktur ductus cystikus terjadi akibat proses fibrosis yang menyusul proses
inflamasi dan infeksi berulang akibat iritasi dan trauma yang timbul sewaktu
terjadi pasase batu empedu. Striktur ductus cystikus menyebabkan kolesistitis
akut, kronik dan hidrops kandung empedu.
 Tumor saluran empedu
Tumor ganas primer saluran empedu bisa terjadi pada penderita dengan
kolelitiasis dan tanpa kolelitiasis. Jenis tumor yang sering adalah
adenokarsinoma pada ductus hepaticus atau ductus choledochus. Tumor
yang terletak di bifurcatio ductus hepaticus disebut Tumor Klatskin.
B. Ekstraduktal
Tumor Pancreas. 60 % dari tumor pancreas terletak pada caput pancreas.
Secara patologi, 80% merupakan adenokarsinoma.
Pancreatits. Adalah radang pancreas yang disebabkan autodigesti oleh enzim
pancreas yang keluar dari saluran pancreas. Pada pemeriksaan, terjadi
pelebaran ductus pancreaticus akibat inflamasi fibrosis atau pseudokista.
Tumor metastase. Biasanya berasal dari traktus gastrointestinal
Mirrizi syndrome.
Penekanan duktus choledochus oleh batu yang terperangkap di dalam collum
ductus cysticus sehingga kandung empedu membentuk kantong yang besar
disebut Kantong Hartmann sehingga menyebabkan obstruksi.

A2w| 141
DIAGNOSIS
Ditegakkan dengan anamnesis, klinis, pemeriksaan laboratoris, dan radiologis
Anamnesis
Pasien biasanya datang dengan keluhan; mata dan tubuh menjadi kuning,
badan gatal-gatal, kencing berwarna seperti teh, tinja berwarna seperti dempul
dan nyeri/kolik pada perut kanan atas.
Hal-hal yang perlu ditanyakan lebih lanjut kepada pasien adalah:
- perjalanan penyakit akut/kronis
- riwayat keluarga
- nyeri atau tidak; ikterus tanpa nyeri biasanya disebabkan karena keganansan
- riwayat minum obat sebelumnya
- kelainan gastrointestinal, seperti nyeri epigastrium, mual, muntah
- demam, nafsu makan menurun; lebih cenderung ke hepatitis
- anemia ada atau tidak
Klinis
Pada Inspeksi, ditemukan ikterus pada sklera dan kulit. Bila terdapat spider
angioma, biasanya terjadi pada cirrhosis. Juga terdapat bekas-bekas garukan
karena pruritus. Pada palpasi, hepar teraba membesar. Bila teraba kandung
empedu, biasanya dihubungkan dengan malignancy dari distal ductus
choledochus sesuai dengan hukum Courvoisier. Diperiksa juga apakah ada
tanda-tanda ascites. Bila timbul kolangitis bakterial non piogenik, biasanya timbul
gejala-gejala demam, nyeri di daerah hati, dan ikterus yang disebut Trias
Charcot. Apabila terjadi kolangitis bakterial piogenik, akan timbul 3 gejala Trias
Charcot ditambah dengan syok dan penurunan kesadaran sampai koma, disebut
Pentade Reynold.
Laboratoris
Meliputi pemeriksaan:
A. - Darah rutin : anemia/tidak, lekositosis/tidak
- Urine : bilirubin ↑↑, urobilin (+)
- Tinja : pucat
B. Test Faal Hati
1. Bilirubin total : meningkat
2. SGOT, SGPT : meningkat
Merupakan enzim yang disintesis dalam konsentrasi tinggi di dalam hepatosit.
Peningkatan dalam aktivitas serum sering menunjukkan kelainan saluran hati.
3. Alkali fosfatase : meningkat
Merupakan enzim yang disintesis dalam sel epitel saluran empedu. Pada
obstruksi aktivitas serum meningkat karena saluran ductus meningkatkan
sintesis ini.
4. Kadar kolesterol : meningkat
5. Protrombin time : meningkat.

A2w| 142
A2w| 143
Radiologis
1. Ultrasonografi (USG)
USG ditetapkan sebagai tes penyaring awal bagi pasien ikterus karena cepat
dan tidak invasif serta tanpa pemaparan radiologis dalam menentukan dilatasi
ductus biliaris ekstra- dan intra-hepatik serta kelainan lain dalam parenkim
hati/pancreas (seperti massa/tumor). Jika tidak didapatkan dilatasi ductus, maka
ini menggambarkan kolestasis intrahepatik. Ketepatan USG dalam membedakan
antara kolestasis intra dan ekstrahepatik tergantung dari derajat dan lama
obstruksi saluran empedu, tetapi jelas melebihi 90%. Pemeriksaan USG perlu
memperhatikan:
1. Besar, bentuk dan tebal tipisnya dinding kandung empedu.
2. Diameter Saluran empedu. Normal diameter 3 mm. > 5mm Dilatasi
3. Ada tidaknya massa padat dalam lumen.

USG CT Scan
2. CT Scan
Sebagai pemeriksaan pelengkap untuk menyediakan informasi tentang sifat,
luas dan lokasi dilatasi ductus biliaris dan adanya massa di dalam dan disekitar
traktus biliaris dan pancreas.
3. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatografi (ERCP)
Tes invasif ini melibatkan oposifikasi langsung batang saluran empedu dengan
kanulasi endoskopi ampulla vateri dan suntikan zat kontras. Disamping kelainan
pancreas, ERCP digunakan pada ikterus ringan atau bila lesi tidak menyumbat
seperti batu ductus choledochus, kolangitis sklerotikans dan anomali kongenital
dicurigai. Terapi pemasangan stent biliaris retrograde atau endoprotesa melintasi
striktur biliaris dan sfingterotomi endoskopi dapat dilakukan serentak untuk
memungkinkan lewatnya batu secara spontan atau untuk memungkinkan
pembuangan batu dengan instrumentasi retrograde ductus biliaris.

ERCP ERCP dengan Stent


A2w| 144
4. Percutaneus Transhepatic Cholangiography (PTC)
Merupakan tindakan invasive yang melibatkan pungsi transhepatik perkutis pada
susunan ductus biliaris intrahepatik dengan menggunakan jarum Chiba ukuran
21 dan suntikan zat kontras. Penggunaan primernya adalah dalam menentukan
tempat dan etiologi ikterus obstruksi dalam persiapan bagi intervensi bedah.

PTC
5. Skintigrafi Biliaris
Pemberian intravena salah satu kelompok teknetium-99m yang dilabel
dengan asam memberikan informasi spesifik dari kolestitis akut.
6. Koledokoskopi  inspeksi langsung dan visualisasi sistem biliaris. Tes ini
bermanfaat untuk mengevaluasi pasien dengan striktur ductus biliaris atau
tumor.
PENATALAKSANAAN
Prinsip Penanganan:
1. Menghilangkan Obstruksi.
1. Mengalirkan cairan bilier.
2. Mencegah Rekurensi.

Skema Penatalaksanaan Ikterus Obstruktif


A2w| 145
PENANGANAN KONSERVATIF
A. Medikamentosa Dan Supportif
Pada penderita yang menolak operasi atau penderita yang penanganan bedah
tidak dapat dilakukan.
 Litolisis sistemik/Oral.
Terapi asam empedu oral yang dianjurkan adalah kombinasi antara
chenodeoxy cholicacid (CDCA) & ursodeoxycholic acid (UDCA). Mekanisme
kerja UDCA adalah mengurangi penyerapan kolesterol intestinal sedangkan
CDCA mengurangi sintetis kolesterol hepatik. Kombinasi CDCA 8-10
mg/kg/hari danUDCA 8-10 mg/kg/hari menurunkan kadar kolesterol empedu
secara bermakna tanpa gejala samping. Syarat terapi litolisis oral meliputi
kepatuhan untuk berobat selama 2 tahun, batu tipe kolesterol, kandung
empedu harus berfungsi pada kolesistograpi oral dan batu tidak terlalu
besar.
 Litolisis lokal
Methil ter-butyl ether (MTBE) adalah eter alkil yang berbentuk liquid pada
suhu badan dan mempunyai kapasitas tinggi untuk melarutkan batu
kolesterol. Pemberian MTBE dapat dilakukan melelui kateter 5 FR yang
dimasukkan melalui hati ke kandung empedu dengan bibimbingan
ultrasound atau CT. MTBE diberikan sebanyak 3-7 cc untuk meliputi batu
dan biasanya batu akan larut dalam 4-16 jam.
 Antihistamin  untuk mengurangi rasa gatal dan penenang dimalam hari.
 Rifampicin  Penurunan flora usus, memperlambat konversi asama
empedu, menekan kadar bilirubin serum, level alkali fosfatase dan pruritus.
 Anti inflamasi non steroid  menekan inflamasi dengan acara menghambat
pelepasan prostaglandin sehingga proses inflamasi menjadi tenang.
 Extra corporeal shock – wave lithotripsy (ESWL).
Dapat dilakukan secara bersaman dengan pemberian obat pelarut batu.
Dengan hancurnya batu, rasio luas permukaan batu akan mengecil
sehingga mempecepat proses larutnya batu. Kontra indikasi ESWL antara
lain kolestitis, koledokokolelithiasis, pankreatiti bilier, kehamilan dan
penderita koagulopati dan sedang mendapat terapi antikoagulan.
 Sfingterotomi endoscopic
Dilakukan pada koledokolitiasis di papilla Vater yang memungkinkan batu
keluar secara spontan dengan menggunakan kateter Fogarty atau basket.

Sfingterotomi Endoskopik

A2w| 146
PENANGANAN OPERATIF
1. Kolesistektomi.
Saat ini kolesistektomi dini selama serangan akut dianggap pendekatan yang
lebih disukai. Kolesistektomi hanya dilakukan setelah memperoleh bukti-bukti
yang objektif yang diperlukan untuk mendiagnosa batu empedu (seperti USG)
atau obstruksi ductus cystikus. Bila pasien telah dihidrasi adekuat dan antibiotik
parenteral telah diberikan, maka kolesistektomi baru dilakukan dalam waktu 72
jam pertama setelah mulainya serangan. Bisa dilakukan secara terbuka dan
laparoskopik.

2. Koledokolitotomi
Indikasi membuka ductus choledochus adalah jelas bila ada kolangitis, teraba
batu atau ada batu pada foto. Indikasi relatif adalah bila ikterus dengan
pelebaran ductus choledochus. Indikasi absolut dilakukan kolangiogram sewaktu
pembedahan.
3. Koledokoduodenostomi/Koledokojejunostomi Roux-en y
Tindakan ini dilakukan bila ada striktur di ductus choledochus distal atau di
papilla Vater yang terlalu panjang untuk dilakukan sfingterotomi.

4. Pancreatiko-duodenektomi (Whipple)
Dilakukan pada Tumor Caput Pancreas:
1. Dikeluarkan tumor secara radikal en bloc, yaitu caput pancreas, corpus,
duodenum, pylorus dan bagian distal lambung
2. Dilakukan kolesistektomi
3. Dilakukan rekonstruksi pancreatikojejunostomi, koledokojejunostomi dan
gastrojejunostomi

A2w| 147
Prosedur Whipple
5. Hepatojejunostomi Roux-en y
Dilakukan pada Tumor Klatskin.

Sindrom post kolesistektomi biasanya terjadi pada pasien yang mengalami


kolik bilier dan diagnosa preoperatif yang kurang tepat, biasanya gejala yang
timbul antara lain dispepsi dan nyeri. Penyebab organik gejala tersebut
cenderung ditemukan dengan nyeri yang bersifat episodik daripada keluhan
yang lain. Kelainan fungsi hati, ikterus, dan kolangitis adalah manifestasi lain
yang mengindikasi penyakit billier residual. Pasien dengan gejala tersebut bisa
diperiksa dengan ERCP atau THC. Koledokolitiasis, stricture biliar dan
pankeratitis kronik adalah penyebeb paling banyak dari gejala ini. Ada juga bukti
yang mengatakan dismotilitas sfingter Oddi merupakan penyebab pada
beberapa pasien. Diagnosis dapat ditegakkan dengan manometri billar, tapi
masih disangsikan. Sfingrektomi endoskopik dapat menghilangkan sedikit nyeri.(4

A2w| 148
CHOLELITHIASIS
Patofisiologi Pembentukan Batu Empedu
Patofisiologi pembentukan batu empedu atau disebut kolelitiasis pada
umumnya merupakan satu proses yang bersifat multifaktorial.10 Kolelitiasis
merupakan istilah dasar yang merangkum tiga proses litogenesis empedu utama
berdasarkan lokasi batu terkait:
1. Kolesistolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di kantung empedu)
2. Koledokolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di duktus koledokus)
3. Hepatolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di saluran empedu dari awal
percabangan duktus hepatikus kanan dan kiri)
Dari segi patofisiologi, pembentukan batu empedu tipe kolesterol dan tipe
berpigmen pada dasarnya melibatkan dua proses patogenesis dan mekanisme
yang berbeda sehingga patofisiologi batu empedu turut terbagi atas:
1. Patofisiologi batu kolesterol
2. Patofisiologi batu berpigmen

A. Patofisiologi Batu Kolesterol


Pembentukan batu kolesterol merupakan proses yang terdiri atas 4 defek utama
yang dapat terjadi secara berurutan atau bersamaan:
1. Supersaturasi kolesterol empedu.
2. Hipomotilitas kantung empedu.
3. Peningkatan aktivitas nukleasi kolesterol.
4. Hipersekresi mukus di kantung empedu
1. Supersaturasi Kolesterol Empedu
Kolesterol merupakan komponen utama dalam batu kolesterol. Pada
metabolisme kolesterol yang normal, kolesterol yang disekresi ke dalam empedu
akan terlarut oleh komponen empedu yang memiliki aktivitas detergenik seperti
garam empedu dan fosfolipid (khususnya lesitin). Konformasi kolesterol dalam
empedu dapat berbentuk misel, vesikel, campuran misel dan vesikel atau kristal.
Umumnya pada keadaan normal dengan saturasi kolesterol yang rendah,
kolesterol wujud dalam bentuk misel yaitu agregasi lipid dengan komponen
berpolar lipid seperti senyawa fosfat dan hidroksil terarah keluar dari inti misel
dan tersusun berbatasan dengan fase berair sementara komponen rantaian
hidrofobik bertumpuk di bagian dalam misel. Semakin meningkat saturasi
kolesterol, maka bentuk komposisi kolesterol yang akan ditemukan terdiri atas
campuran dua fase yaitu misel dan vesikel. Vesikel kolesterol dianggarkan
sekitar 10 kali lipat lebih besar daripada misel dan memiliki fosfolipid dwilapisan
tanpa mengandung garam empedu. Seperti misel, komponen berpolar vesikel
turut diatur mengarah ke luar vesikel dan berbatasan dengan fase berair
ekstenal sementara rantaian hidrokarbon yang hidrofobik membentuk bagian
dalam dari lipid dwilapis. Diduga <30% kolesterol bilier diangkut dalam bentuk
misel, yang mana selebihnya berada dalam bentuk vesikel. Umumnya,
konformasi vesikel berpredisposisi terhadap pembentukan batu empedu karena
lebih cenderung untuk beragregasi dan bernukleasi untuk membentuk

A2w| 149
konformasi kristal. Small dkk (1968) menggambarkan batas solubilitas kolesterol
empedu sebagai faktor yang terkait dengan kadar fosfolipid dan garam empedu
dalam bentuk diagram segitiga keseimbangan fase (Diagram 5). Berdasarkan
diagram 5, titik P mewakili empedu dengan komposisi 80% garam empedu, 5%
kolesterol dan 15% lesitin. Garis ABC mewakili solubilitas maksimal kolesterol
dalam berbagai campuran komposisi garam empedu dan lesitin. Oleh karena titik
P berada di bawah garis ABC serta berada dalam zona yang terdiri atas fase
tunggal cairan misel maka empedu disifatkan sebagai tidak tersaturasi dengan
kolesterol. Empedu dengan campuran komposisi yang berada atas garis ABC
akan mengandung konsentrasi kolesterol yang melampau dalam sehingga
empedu disebut sebagai mengalami supersaturasi kolesterol. Empedu yang
tersupersaturasi dengan kolesterol akan wujud dalam keadaan lebih daripada
satu fase yaitu dapat dalam bentuk campuran fase misel, vesikel maupun kristal
dan cenderung mengalami presipitasi membentuk kristal yang selanjutnya akan
berkembang menjadi batu empedu. Dalam arti kata lain, diagram keseimbangan
fase turut memudahkan prediksi komposisi kolesterol dalam empedu (fase misel,
vesikel, campuran misel dan vesikel atau kristal).

Diagram fase keseimbangan segitiga yang menggambarkan konsentrasi relatif


(dalam persentase mol) ketiga-tiga komponen lipid utama empedu yakni
kolesterol, fosfolipid dan garam empedu. Batas solubilitas kolesterol empedu
diwakili oleh area fase tunggal (misel) yang ditandai oleh garis ABC.

Selain itu, diagram keseimbangan ini turut menfasilitasi penentuan indeks


saturasi kolesterol (CSI) sebagai indikator tingkat saturasi kolesterol dalam
empedu. CSI didefinisikan sebagai rasio konsentrasi sebenar kolesterol bilier
dibanding konsentrasi maksimal yang wujud dalam bentuk terlarut pada fase
keseimbangan pada model empedu. Pada CSI >1.0, empedu dianggap
tersupersaturasi dengan kolesterol yaitu keadaan di mana peningkatan
konsentrasi kolesterol bebas yang melampaui kapasitas solubilitas empedu.

A2w| 150
Pada keadaan supersaturasi, molekul kolesterol cenderung berada dalam
bentuk vesikel unilamelar yang secara perlahan-lahan akan mengalami fusi dan
agregasi hingga membentuk vesikel multilamelar (kristal cairan) yang bersifat
metastabil. Agregasi dan fusi yang berlanjutan akan menghasilkan kristal
kolesterol monohidrat menerusi proses nukleasi. Teori terbaru pada saat ini
mengusulkan bahwa keseimbangan fase fisikokimia pada fase vesikel
merupakan faktor utama yang menentukan kecenderungan kristal cairan untuk
membentuk batu empedu. Tingkat supersaturasi kolesterol disebut sebagai
faktor paling utama yang menentukan litogenisitas empedu. Berdasarkan
diagram fase, faktor-faktor yang mendukung supersaturasi kolesterol empedu
termasuk: a. Hipersekresi kolesterol.
b.Hiposintesis garam empedu/perubahan komposisi relatif cadangan
asam empedu.
c. Defek sekresi atau hiposintesis fosfolipid
a. Hipersekresi kolesterol.
Hipersekresi kolesterol merupakan penyebab paling utama supersaturasi
kolesterol empedu. Hipersekresi kolesterol dapat disebabkan oleh:
i. peningkatan uptake kolesterol hepatik
ii. peningkatan sintesis kolesterol
iii. penurunan sintesis garam empedu hepatik
iv. penurunan sintesis ester kolestril hepatik
Penelitian mendapatkan penderita batu empedu umumnya memiliki aktivitas
koenzim A reduktase 3-hidroksi-3-metilglutarat (HMG-CoA) yang lebih tinggi
dibanding kontrol. Aktivitas HMG-CoA yang tinggi akan memacu biosintesis
kolesterol hepatik yang menyebabkan hipersekresi kolesterol empedu.
Konsentrasi kolesterol yang tinggi dalam empedu  supersaturasi kolesterol 
pembentukan kristal kolesterol.
b. Hiposintesis garam empedu / perubahan komposisi relatif cadangan asam
empedu.
Garam empedu dapat mempengaruhi litogenisitas empedu sesuai dengan
perannya sebagai pelarut kolesterol empedu. Hiposintesis garam empedu
misalnya pada keadaan mutasi pada molekul protein transpor yang terlibat
dalam sekresi asam empedu ke dalam kanalikulus (disebut protein ABCB11)
akan menfasilitasi supersaturasi kolesterol yang berlanjut dengan litogenesis
empedu. Komposisi dasar garam empedu merupakan asam empedu di mana
terdapat tiga kelompok asam empedu utama yakni:
i. Asam empedu primer yang terdiri atas asam kolik dan asam kenodeoksikolik.
ii. Asam empedu sekunder yang terdiri atas asam deoksikolik dan asam litokolik.
iii. Asam empedu tertier yang terdiri atas asam ursodeoksikolik.
Ketiga kelompok ini membentuk cadangan asam empedu tubuh (bile acid
pool) dan masing-masing mempunyai sifat hidrofobisitas yang berbeda. Sifat
hidrofobisitas yang berbeda ini akan mempengaruhi litogenisitas empedu.
Semakin hidrofobik asam empedu, semakin besar kemampuannya untuk
menginduksi sekresi kolesterol dan mensupresi sintesis asam empedu.

A2w| 151
Konsentrasi relatif tiap asam empedu yang membentuk cadangan asam empedu
tubuh akan mempengaruhi CSI karena memiliki sifat hidrofobisitas yang
berbeda. Asam empedu primer dan tertier bersifat hidrofilik sementara asam
empedu sekunder bersifat hidrofobik. Penderita batu empedu umumnya
mempunyai cadangan asam kolik yang kecil dan cadangan asam deoksikolik
yang lebih besar. Asam deoksikolik bersifat hidrofobik dan mampu meningkatkan
CSI dengan meninggikan sekresi kolesterol dan mengurangi waktu nukleasi.
Sebaliknya, asam ursodeoksikolik dan kenodeoksikolik merupakan asam
empedu hidrofilik yang berperan mencegah pembentukan batu kolesterol dengan
mengurangi sintesis dan sekresi kolesterol. Asam ursodeoksikolik turut
menurunkan CSI dan memperpanjang waktu nukleasi, diduga dengan cara
melemahkan aktivitas protein pronukleasi dalam empedu.
c. Defek sekresi dan hiposinstesis fosfolipid
95% daripada fosfolipid empedu terdiri atas lesitin. Sebagai komponen utama
fosfolipid empedu, lesitin berperan penting dalam membantu solubilisasi
kolesterol. Mutasi pada molekul protein transpor fosfolipid (disebut protein
ABCB4) yang berperan dalam sekresi molekul fosfolipid (termasuk lesitin) ke
dalam empedu terkait dengan perkembangan kolelitiasis pada golongan dewasa
muda.

2. Hipomotilitas kantung empedu


Motilitas kantung empedu merupakan satu proses fisiologik yang mencegah
litogenesis dengan memastikan evakuasi empedu dari kantung empedu ke
dalam usus sebelum terjadinya proses litogenik. Hipomotilitas kantung empedu
memperlambat evakuasi empedu ke dalam usus  proses absorpsi air dari
empedu oleh dinding mukosa lebih cepat dari evakuasi empedu  peningkatan
konsentrasi empedu  proses litogenesis empedu.
Hipomotilitas kantung empedu dapat terjadi akibat.
a. Kelainan intrinsik dinding muskuler yang meliputi:
 Perubahan tingkat hormon seperti menurunnya kolesistokinin (CCK),
meningkatnya somatostatin dan estrogen.
 Perubahan kontrol neural (tonus vagus).
b. Kontraksi sfingter melampau hingga menghambat evakuasi empedu normal.
Patofisiologi yang mendasari fenomena hipomotilitas kantung empedu pada batu
empedu masih belum dapat dipastikan. Namun begitu, diduga hipomotilitas
kantung empedu merupakan akibat efek toksik kolesterol berlebihan yang
menumpuk di sel otot polos dinding kantung yang menganggu transduksi sinyal
yang dimediasi oleh protein G. Kesannya, terjadi pengerasan membran
sarkolema sel otot tersebut. Secara klinis, penderita batu empedu dengan defek
pada motilitas kantung empedu cenderung bermanifestasi sebagai gangguan
pola makan terutamanya penurunan selera makan serta sering ditemukan
volume residual kantung empedu yang lebih besar. Selain itu, hipomotilitas
kantung empedu dapat menyebabkan stasis kantung empedu. Stasis merupakan
faktor resiko pembentukan batu empedu karena gel musn akan terakumulasi

A2w| 152
sesuai dengan perpanjangan waktu penyimpanan empedu. Stasis menyebabkan
gangguan aliran empedu ke dalam usus dan ini berlanjut dengan gangguan pada
sirkulasi enterohepatik. Akibatnya, output garam empedu dan fosfolipid
berkurang dan ini memudahkan kejadian supersaturasi. Stasis yang berlangsung
lama menginduksi pembentukan lumpur bilier (biliary sludge) terutamanya pada
penderita dengan kecederaan medula spinalis, pemberian TPN untuk periode
lama, terapi oktreotida yang lama, kehamilan dan pada keadaan penurunan
berat badan mendadak. Lumpur bilier yang turut dikenal dengan nama
mikrolitiasis atau pseudolitiasis ini terjadi akibat presipitasi empedu yang terdiri
atas kristal kolesterol monohidrat, granul kalsium bilirubinat dan mukus.
Patofisiologi lumpur bilier persis proses yang mendasari pembentukan batu
empedu. Kristal kolesterol dalam lumpur bilier akan mengalami aglomerasi
berterusan untuk membentuk batu makroskopik hingga dikatakan lumpur bilier
merupakan prekursor dalam litogenesis batu empedu.

3 Peningkatan aktivitas nukleasi kolesterol


Empedu yang supersaturasi dengan kolesterol cenderung untuk mengalami
proses nukleasi. Nukleasi merupakan proses kondensasi atau agregasi yang
menghasilkan kristal kolesterol monohidrat mikroskopik atau partikel kolesterol
amorfus daripada empedu supersaturasi. Nukleasi kolesterol merupakan proses
yang dipengaruhi oleh keseimbangan unsur antinukleasi dan pronukleasi yang
merupakan senyawa protein tertentu yang dikandung oleh empedu, faktor
pronukleasi berinteraksi dengan vesikel kolesterol sementara faktor antinukleasi
berinteraksi dengan kristal solid kolesterol. Antara faktor pronukleasi yang paling
penting termasuk glikoprotein musin, yaitu satu-satunya komponen empedu yang
terbukti menginduksi pembentukan batu pada keadaan in vivo. Inti dari
glikoprotein musin terdiri atas daerah hidrofobik yang mampu mengikat
kolesterol, fosfolipid dan bilirubin. Pengikatan vesikel yang kaya dengan
kolesterol kepada regio hidrofilik glikoprotein musin ini diduga memacu proses
nukleasi. Faktor pronukleasi lain yang berhasil diisolasi daripada model sistem
empedu termasuk imunoglobulin (IgG dan M), aminopeptidase N, haptoglobin
dan glikoprotein asam α-1. Penelitian terbaru menganjurkan peran infeksi
intestinal distal oleh spesies Helicobacter (kecuali H. pylori) menfasilitasi nukleasi
kolesterol empedu. Proses nukleasi turut dapat diinduksi oleh adanya
mikropresipitat garam kalsium inorganik maupun organik. Faktor antinukleasi
termasuk protein seperti imunoglobulin A (IgA), apoA-I dan apoA –II. Mekanisme
fisiologik yang mendasari efek untuk sebagian besar daripada faktor-faktor ini
masih belum dapat dipastikan. Nukleasi yang berlangsung lama selanjutnya
akan menyebabkan terjadinya proses kristalisasi yang menghasilkan kristal
kolesterol monohidrat. Waktu nukleasi pada empedu penderita batu empedu
telah terbukti lebih pendek dibanding empedu kontrol pada orang normal. Waktu
nukleasi yang pendek mempergiat kristalisasi kolesterol dan menfasilitasi proses
litogenesis empedu.

A2w| 153
4 Hipersekresi mukus di kantung empedu
Hipersekresi mukus kantung empedu dikatakan merupakan kejadian
prekursor yang universal pada beberapa penelitian menggunakan model
empedu hewan. Mukus yang eksesif menfasilitasi pembentukan konkresi
kolesterol makroskopik karena mukus dalam kuantitas melampau ini berperan
dalam memerangkap kristal kolesterol dengan memperpanjang waktu evakuasi
empedu dari kantung empedu. Komponen glikoprotein musin dalam mukus
ditunjuk sebagai faktor utama yang bertindak sebagai agen perekat yang
menfasilitasi aglomerasi kristal dalam patofisiologi batu empedu. Saat ini,
stimulus yang menyebabkan hipersekresi mukus belum dapat dipastikan namun
prostaglandin diduga mempunyai peran penting dalam hal ini.

Patofisiologi pembentukan batu empedu kolesterol & berpigmen coklat

A2w| 154
B. Patofisiologi batu berpigmen
Patofisiologi batu berpigmen untuk kedua tipe yakni batu berpigmen hitam
dan batu berpigmen coklat melibatkan dua proses yang berbeda.
1. Patofisiologi batu berpigmen hitam
Pembentukan batu berpigmen hitam diawali oleh hipersekresi blilirubin
terkonjugat (khususnya monoglukuronida) ke dalam empedu. Pada keadaan
hemolisis terjadi hipersekresi bilirubin terkonjugat hingga mencapai 10 kali lipat
dibanding kadar sekresi normal. Bilirubin terkonjugat selanjutnya dihidrolisis oleh
glukuronidase-β endogenik membentuk bilirubin tak terkonjugat. Pada waktu
yang sama, defek pada mekanisme asidifikasi empedu akibat daripada radang
dinding mukosa kantung empedu atau menurunnya kapasitas “buffering” asam
sialik dan komponen sulfat dari gel musin akan menfasilitasi supersaturasi
kalsium karbonat dan fosfat yang umumnya tidak akan terjadi pada keadaan
empedu dengan ph yang lebih rendah. Supersaturasi berlanjut dengan
pemendakan atau presipitasi kalsium karbonat, fosfat dan bilirubin tak
terkonjugat. Polimerisasi yang terjadi kemudian akan menghasilkan kristal dan
berakhir dengan pembentukan batu berpigmen hitam.

2. Patofisiologi batu berpigmen coklat


Batu berpigmen coklat terbentuk hasil infeksi anaerobik pada empedu, sesuai
dengan penemuaan sitorangka bakteri pada pemeriksaan mikroskopik batu.
Infeksi traktus bilier oleh bakteri Escherichia coli, Salmonella typhii dan spesies
Streptococcus atau parasit cacing seperti Ascaris lumbricoides dan Opisthorchis
sinensis serta Clonorchis sinensis mendukung pembentukan batu berpigmen.
Sebagaimana yang ditampilkan pada diagram 7, patofisiologi batu diawali
oleh infeksi bakteri/parasit di empedu. Mikroorganisma enterik ini selanjutnya
menghasilkan enzim glukuronidase-β, fosfolipase A dan hidrolase asam empedu
terkonjugat. Peran ketiga-tiga enzim tersebut didapatkan seperti berikut:
i. Glukuronidase menghidrolisis bilirubin terkonjugat hingga menyebabkan
pembentukan bilirubin tak terkonjugat.
ii. Fosfolipase A menghasilkan asam lemak bebas (terutamanya asam stearik
dan asam palmitik).
iii. Hidrolase asam empedu menghasilkan asam empedu tak terkonjugat.
Hasil produk enzimatik ini selanjutnya dapat berkompleks dengan senyawa
kalsium dan membentuk garam kalsium. Garam kalsium dapat termendak lalu
berkristalisasi sehingga terbentuk batu empedu. Proses litogenesis ini didukung
oleh keadaan stasis empedu dan konsentrasi kalsium yang tinggi dalam
empedu. Bakteri mati dan glikoprotein bakteri diduga dapat berperan sebagai
agen perekat, yaitu sebagai nidus yang menfasilitasi pembentukan batu, seperti
fungsi pada musin endogenik.

A2w| 155
Lokasi Batu .

Patofisiologi Batu Intra Hepatal ( Hepatolithiasis ):


 Terbentuk batu empedu dalam saluran empedu intrahepatal
 Perubahan empedu karena infeksi
 Hidrolisis bil.glukoronidase oleh aktivitas ß-dekloronidasebilirubin bebas
 Dekonyugasi bilirubin dan kalsium  Ca. bilirubinat  insoluble  mikrokalculi
 Infeksi berulang  mikrokalkuli  nidus  kristalisasi  batu empedu
Penanganan Intrahepatal Stone :
Evakuasi batu dengan scoop atau forcep melalui ductus choledokus dan
dilanjutkan irigrasi laruran NaCl
koledokotomi luas dan dilakukan irigasi dengan NaCl dan pasang T-Tube
Reseksi hepar
Kombinasi litotomi transhepatik dan koledokotomi
Transhepatik litotomi

A2w| 156
EPIDEMIOLOGI
1. Female  ≥ wanita : pria dengan perbandingan 2 : 1.
2. Fat  Lebih sering pada orang banyak yang gemuk.
3. Forty  Bertambah dengan tambahnya usia.
4. Fertile  Lebih banyak pada multipara.
5. Food  orang dengan diet tinggi kalori dan obat-obatan tertentu.
6. Flatulen Sering memberi gejala-gejala saluran cerna.

DIAGNOSIS
Penyakit batu empedu memiliki 4 tahap:
1. Tahap litogenik , pada kondisi ini mulai terbentuk batu empedu.
2. Tahap asimptomatik, pada tahap ini pasien tidak mengeluh akan sesuatu
sehingga tidak memerlukan penanganan medis. Karena banyak terjadi, batu
empedu biasanya muncul bersama dengan keluhan gastroitestinal lainnya.
Beberapa penelitian menunjukkan batu empedu menyebabkan nyeri abdomen
kronik, heartburn, distress postprandial, rasa kembung, serta adanya gas
dalam abdomen, konstipasi dan diare. Dispepsia yang terjadi karena makan
makanan berlemak sering salah dikaitkan dengan batu empedu, dimana
irritable bowel syndrome atau refluks gastroesofageal merupakan penyebab
utamanya.
3. Tahap Kolik bilier, episode dari kolik bilier bersifat sporadik dan tidak dapat
diperkirakan. Nyeri terlokalisir pada epigastrium atau kuadran kanan atas dan
dirasakan sampai ke daerah ujung scapula kanan. Dari onset nyeri, nyeri
akan meningkat stabil sekitar 10 menit dan cenderung meningkat selama
beberapa jam sebelum mulai mereda. Nyeri bersifat konstan dan tidak
berkurang dengan emesis, antasida, defekasi atau perubahan posisi. Nyeri
mungkin juga bersamaan dengan mual dan muntah, muncul biasanya setelah
makan ( Kolik pasca Prandial)
4. Komplikasi kolelitiasis, terjadi ketika batu persisten masuk ke dalam duktus
biliar sehingga menyebabkan kantung empedu menjadi distended dan
mengalami inflamasi progresif. Sebagian besar (90-95%) kasus kolesistitis
akut disertai kolelithiasis dan keadaan timbul akibat obstruksi duktus sistikus
yang menyebabkan peradangan organ tersebut. Respon peradangan dapat
dicetuskan 3 faktor:
a) Inflamasi mekanik yang dicetuskan oleh kenaikan tekanan intra lumen dan
distensi menyebabkan iskemia mokusa dan dinding kandung empedu.
b) Inflamasi kimiawi akibat pelepasan lesitin dan faktor jaringan lokal lainnya.
c) Inflamasi bakteri yang memegang peran pada sebagian besar pasien dengan
kolesistitis akut.

A2w| 157
Manifestasi Klinis
Kurang lebih 10% penderita batu empedu asimtomatik. Gejala yang dapat timbul:
1. Nyeri (60%). Bersifat kolik, mulai daerah epigastrium atau hipokondrium
kanan dan menjalar ke bahu kanan. Nyeri ini sering timbul karena makanan
berlemak. Bila terjadi penyumbatan duktus sistikus atau kolesistits dijumpai
nyeri tekan hipokondrium kanan, terutama pada waktu penderita menarik
napas dalam (MURPHY’S SIGN).
2. Demam. Timbul  peradangan. Sering disertai menggigil.
3. Ikterus. Ikterus obstruksi terjadi bila ada batu yang menyumbat saluran
empedu utama (duktus hepatikus / koledokus).
4. Trias Charcot, if ada infeksi (Demam, Nyeri didaerah hati, Ikterus.
5. Hydrops vesica felea ( Couvousier Law ) : Teraba Vesica felea.
6. Pruritus. Kulit Gatal-gatal.
Laboratorium
Pada ikterus obstruksi terjadi:
Bilirubin direk dan total ↑, Kolesterol ↑, Alkali fosfatase↑ 2-3 kali, Gama glukuronil
transferase ↑, Bilirubinuria ( Ada bilirubin dalam Urine, urine seperti teh ), Tinja
akolis ( Tinja berwarna keputihan seperti dempul)
Pencitraan
1. Ultrasonografi
2. Kolesistografi oral
3. Pemeriksaan Khusus pada ikterus obatruksi :
- Kolangiografi perkutan transhepatik (PTC)
- Endoscopic Retrograde Cholangio
Pancreatography (ERCP)
- Computerized tomography scanning (CT-Scan)

Penatalaksanaan.
- Batu kantong empedu : Kolesistektemi (ICOPIM 5.511)
- Disertai batu saluran empedu : kolesistektomi + koledokolitotomi (ICOPIM
5.513) + antibiotika profilaksis : ampisilin 1 g i v + aminoglikosida 60 mg i v
(1x) atau sefalosporin generasi III 1 g i. v. (1x), kombinasi dengan
metronodazol 0,5 gr i.v. (drip dalam 30 menit)
- Disertai keradangan (kolesistitis / kolangitis) + antibiotika kombinasi terapi :
tripel antibiotika
- ampisilin 3x1 g/hari i.v.
- aminoglikosida 3x6 mg/hari i.v.
- metronidazol 3x 0,5 g i.v. (drip dlm 30 mnt) atau
- antibiotika ganda : sefalosporin gen.III 3x1 g/hari i.v. + metronidazol 3x1
g/hari i.v

A2w| 158
CHOLANGITIS
ETIOLOGI
Kholangitis Akuta adalah inflamasi pada sistem bilier akibat adanya infeksi dan
hambatan aliran empedu. Penyebab Kholangitis tersering adalah batu primer
pada ductus choledochus yang disebabkan oleh infeksi, stasis empedu, striktur
dan parasit ("recurrent pyogenic cholangitis"). Berbagai jenis etiologi dapat dilihat
pada tabel berikut ini :
Tabel 1. : Etiologi Kholangitis

Choledocholithiasis
Striktur sistem bilier
Neoplasma pada sistem bilier
Komplikasi iatrogenik akibat manipulasi "CBD" (Common Bile Duct)
Parasit : cacing Ascaris, Clonorchis sinensis
Pankreatitis kronis
Pseudokista atau tumor pankreas
Stenosis ampulla
Kista Choledochus kongenital atau penyakit Caroli
Sindroma Mirizzi atau Varian Sindroma Mirizzi
Diverticulum Duodenum

Batu saluran empedu adalah penyebab terbanyak (hampir 90%), yang kemudian
disusul oleh striktur sistem bilier dan tumor pada sistem bilier.
PATOFISIOLOGI
Dalam keadaan normal sistem bilier steril dan aliran cairan empedu tidak
mengalami hambatan sehingga tidak terdapat aliran balik ke sistem bilier.
Kholangitis terjadi akibat adanya stasis atau obstruksi di sistem bilier yang
disertai oleh bakteria yang mengalami multiplikasi. Obstruksi terutama
disebabkan oleh batu "CBD" , striktur, stenosis, atau tumor , serta manipulasi
endoskopik "CBD". Dengan demikian pasase empedu menjadi lambat sehingga
bakteri dapat berkembang biak setelah mengalami migrasi ke sistem bilier
melalui vena porta, sistem limfatik porta ataupun langsung dari duodenum. Oleh
karena itu akan terjadi infeksi secara asenderen menuju duktus hepatikus, yang
pada akhirnya akan menyebabkan tekanan intrabilier yang tinggi dan melampaui
batas 250 mmH20. Oleh karena itu akan terdapat aliran balik empedu yang
berakibat terjadinya infeksi pada kanalikuli biliaris, vena hepatika dan limfatik
perihepatik, sehingga pada gilirannya akan terjadi bakteriemia yang bisa
berlanjut menjadi sepsis (25-40%). Apa bila pada keadaan tersebut disertai
dengan pembentukan pus maka terjadilah Kholangitis supurativa.

A2w| 159
Terdapat berbagai bentuk patologis dan klinis kholangitis yaitu :
1. Kholangitis dengan cholecystitis Tidak ditemukan obstruksi pada sistem
bilier, maupun pelebaran dari duktus intra maupun ekstra hepatal. Keadaan ini
sering disebabkan oleh batu "CBD" yang kecil, kompresi oleh vesica felea /
kelenjar getah bening / inflamasi pankreas, edema/spasme sphincter Oddi,
edema mukosa "CBD", atau hepatitis.
2. "Acute Non Suppurative Cholangitis" : Terdapat baktibilia tanpa pus pada
sistem bilier yang biasanya disebabkan oleh obstruksi parsial.
3. "Äcute suppurative cholangitis": CBD berisi pus dan terdapat bakteria, namun
tidak terdapat obstruksi total sehingga pasien tidak dalam keadaan sepsis.
4. "Obstructive Acute Suppurative Cholangitis" : Terjadi obstruksi total sistem
bilier sehingga melampaui tekanan normal pada sistem bilier yaitu melebihi
250 mm H20 sehingga terjadi bakterimia akibat reflluk cairan empedu yang
disertai influs bakteri ke sistem limfatik dan vena hepatika.

1 2

3 4

A2w| 160
Apabila bakteriemia berlanjut maka akan timbul berbagai komplikasi yaitu sepsis
berlarut, syok septik, gagal organ ganda yang biasanya didahului oleh gagal
ginjal yang disebabkan oleh sindroma hepatorenal, abses hati piogenik (sering
multipel) dan bahkan peritonitis. Jika sudah terdapat komplikasi, maka
prognosisnya menjadi lebih buruk. Beberapa kondisi yang memperburuk
prognosis adalah Umur, Febris, Lekositosis, Syok Septik, Kultur darah (+),
Gangguan sistem phagositosis, Immunosuppresi, Adanya Neoplasma hepar,
Obstruksi intrahepatal multiple, Penyakit hepar kronis, Abses hepar.
Bakteriologi
Tabel :Bakteriologi Kholangitis Akut
EMPEDU

Cholecystitis (%) Cholangitis (%) Keduanya(%) Darah(%)

Escherichia coli 31 26 44 26
Enterococcus 18 11 13 9
Klebsiella spp 15 12 11 14
Pseudomonas.spp 6 5 5 9
Enterobacter 2 5 4 1
sppStaphylococcus 0.3 3 3 9
Bacteriodes spp 3 4 4 2
Clostridium.spp 2 4 3 0.3

Tabel : Faktor-faktor prediktor terjadinya baktibilia.

 Umur > 60 tahun


 Febris > 37.30 C
 Bilirubin Total > 8.6 mol/L
 Lekositosis > 14.000/mm3
 Episode cholecystitis akuta atau Kholangitis yang baru lalu
 Kanulasi bilier atau prosedur by pass
 Diabetes mellitus
 Hyperamylasemia
 Obesitas

DIAGNOSIS:
Diagnosis kholangitis akuta dapat ditegakkan secara klinis yaitu dengan
ditemukannya "Charcot’s Triad " yang terdiri dari nyeri di kuadran kanan atas,
ikterus dan febris yang dengan/tanpa menggigil. Namun demikian, kurang dari
50 % kasus ditemukan ketiganya secara bersamaan. Adapun frekuensi gejala-
gejala dan tanda-tanda yang dapat ditemukan adalah :
Febris > 38 C : 87 - 90 %
Nyeri abdomen : 40 %
Ikterus : 65 %
A2w| 161
Tidak ditemukannya ketiga tanda tersebut secara bersamaan terutama
disebabkan oleh obstruksi saluran empedu yang tidak komplit. Apabila keadaan
penyakit menjadi lebih berat yaitu disertai oleh sepsis atau syok maka akan
ditemukan "Reynold’s Pentad" yang ditandai oleh Charcot’s triad ditambah
dengan "Mental confusion / Lethargy" dan syok. Perubahan tersebut disebabkan
oleh obstruksi total saluran empedu sehingga tekanan yang meningkat
menyebabkan refluks aliran empedu sehingga bakteri dapat mencapai sistem
pebuluh darah sistemik dan terjadi sepsis. Oleh karena itu pada keadaan ini
perlu segera dilakukan drainase untuk mengadakan dekompresi dan
pengendalian terhadap sumber infeksi.
Penunjang
 Laboratorium, menunjukkan perubahan-perubahan sebagai berikut :
 Leukositosis > 10.000 / mm3 : 33-80%
 Serum bilirubin 2-10 mg / dl : 68-76 %
 Alkali phosphatase 2-3x normal pada 90%
 C-reactive protein : Biasanya ditemukan peningkatan
 USG hepatobilier dan pankreas :
 Dapat diemukan "CBD" yang berdilatasi.
 Kemungkinan disertai dengan batu "CBD".
 CT.Scan lebih sensitif dan spesifik dari pada USG dan memberikan
gambaran :
 Batu "CBD".
 Tumor sistem bilier atau pankreas
 Batu pada sistem bilier intrahepatal
 Adanya atrofi pada hepar
 Abscess pada hepar (biasanya multipel bila penyebab batu)
 MRI Cholangiografi : Pemeriksaan ini sangat sensitif dan spesifik, serta
akurat, yaitu masing-masing 91.6 %,: 100 %, dan 96.8 %. Kelebihan alat ini
adalah non invasif, dapat dilakukan hampir semua usia dan dapat
membedakan jenis batu cholesterol dari jenis lainnya secara jelas.
 Cholangiography : Menimbulkan morbiditas 1-7 % dan mortalitas 0,25%, oleh
karena itu sebaiknya dihindari, kecuali disertai oleh tindakan dekompresi yang
dilakukan bersama-sama. Dapat dilakukan secara ERCP (Endoscopic
Retrograde Choalngio Pancreatography) ataupun PTC (Percutanues
Transhepatic Cholangiography).
 Cholescintigraphy dengan HIDA :
- Menunjukkan "Liver uptake"
- Non visualisasi kandung empedu, CBD, & usus halus karena obstruksi
total.

A2w| 162
PENATALAKSANAAN :
Mengingat mortalitas yang tinggi jika terapi bedah dilakukan pada saat
emergensi, maka langkah awal adalah sebagai berikut :
 Perbaikan keadaan umum :
 Pasien dipuasakan
 Dekompressi dengan NGT ("Naso Gastric Tube")
 Pemasangan infus dan dilakukan rehidrasi
 Dilakukan koreksi kelainan elektrolit
 Pemberian antibiotika parenteral
Dengan melakukan tindakan tersebut, 80-85 % pasien akan mengalami
perbaikan, sehingga dalam periode berikutnya (dalam 48 - 72 jam) dapat
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan diagnosis penyebabnya
dan menentukan jenis operasi definitifnya. Namun, bila pasien datang dengan
shock dan hipoperfusi jaringan yang berat maka diperlukan :
 "Invasive monitoring"
 Analgesik non narkotik , namun jika telah ada konfirmasi diagnostik,
Meperidine atau Fentanyl dapat diberikan.
Bila terapi medikamentosa tidak berhasil, maka tindakan dekompresi emergensi
segera dilakukan dengan cara :
 Pembedahan terbuka, Drainase secara endoskopik, Drainase perkutan
sistem bilier
Setelah terapi medikamentosa dan suportif lainnya berhasil memperbaiki
keadaan umum, maka tindakan bedah untuk dekompresi dapat dilakukan secara
elektif dan pada umumnya yang dilakukan adalah :
Cholecystectomy + Eksplorasi “CBD” +/- Drainase T-tube , +/-
choledocho- enterostomy
Mortalitas pada berbagai tindakan baik bedah maupun non bedah adalah
sebagai berikut :
 Terapi konservatif tanpa drainase  angka mortalitas antara 40-100 %.
 Tindakan dekompresi secara bedah secara keseluruhan akan menunjukkan
angka mortalitas antara 2 – 13 % dan morbiditasnya adalah 12 – 21 %.
 Drainase secara endoskopik akan disertai oleh tingkat mortalitas antara 1 – 13
%, dan morbiditas 4 – 24 %.
 Terapi invasif minimal dengan teknik “Percutaneus Transhepatic
Cholangiography Drainage” (PTCD) menunjukkan mortalitas yang rendah
yaitu 0.05 – 7.00 %, namun morbiditasnya sangat bervariasi yaitu 4 – 80 %.
 Jika penyebabnya adalah neoplasma maligna primer maka :
Angka mortalitas tindakan pembedahan adalah sampai dengan 40 %,
namun jika sudah terdapat metastasis yang ekstensif maka akan
meningkat menjadi 59 %.
Drainase endoskopik akan memberikan tingkat mortalitas sampai dengan
46 %.

A2w| 163
Tabel. Jenis antibiotika parenteral pilihan secara empirik .
Jenis Antibiotik

- Aminoglikosida - penicillin
Cholecystitis Akuta - Penicillin spektrum luas
- Cephalosporin generasi III
Penicillin spektrum luas
Aminoglikosida – penicillin
Kholangitis Akuta : Cephalosporin generasi ke-tiga
Imipenem-cilastatin
Cephalosporin generasi ke-dua
Cephalosporin generasi ke-dua
Prophylaxis :
Penicillin spektrum luas
Cephalosporin generasi III (Cefotaxime, Ceftriaxone, & Ceftizoxine) merupakan
antibiotik spektrum luas yang kuat terhadap Eschericia coli, Klebsiela,
enterococci & bakteri anaerob seperti Bacteroides yang sering ditemukan dalam
cairan empedu dan menyebabkan pembentukan batu pada sistem bilier.
Ceftriaxone merupakan pilihan terbaik, beberapa keuntungan:
1. Penetrasi jaringan 24 jam dan konsentrasi bilier cukup tinggi.
2. Proteksi 24 jam dengan dosis 1 gram sekali pemberian /hari.
3. “ Dual Excretion” yaitu pada renal dan hepar, menambah keamanan.
4. Aktifitas bakterisidal cukup luas.
5. Keuntungan farmakoekonomik dari segi biaya & beban kerja staf rumah sakit.
6. Efek samping yang rendah.
7. Dosis 1 kali sehari terbukti efektif secara klinis.
Bila bilirubin yang > 5.0 mg/dl, Aminoglikosida harus dihindari karena resiko
nephrotoksik yang semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh sensitasi ginjal
oleh karena perfusi ginjal yang menurun, peningkatan bilirubin dan garam
empedu lainnya, dan adanya endotoksemia bakteri gram negatif. Baktibilia dapat
tetap bertahan walaupun obstruksi telah berhasil di atasi. Keadaan ini dapat
disebabkan oleh bakteri jenis anaerob, bakteri yang resisten terhadap antibiotika,
bakteri gram negatif, dan jamur.
No jaundice

Suspicion of CBD stones

Routine per-op selective per-op cholangiogram pre-op ERCP


cholangiogram

CBD stones No stones CBD stones

open laparosc laparosc laparosc endoscopic sphinct


expl chole expl BCD cholecystec and duct clearance

failure failure success failure

post-op open laparosc


ERCP expl CBD expl CBD
failure
Algorithm showing available strategies for CBD stone.
Hepatobil Panc Surg 1999

Gambar . : Algoritme sebagai strategi pada penanganan batu “CBD”.

A2w| 164
Dengan demikian, maka dalam pengelolaanya terdapat dua jenis tindakan yaitu
“ One Step Approach” dan “Two Step Approach”.

One step approach to suspected


choledocholithiasis
Patient with suspected choledocholithiasis

Intraoperative cholangiography

No CBD stone CBD stone

Laparoscopic Stone < 0.9 mm Stone > 0.9 mm


cholecystectomy

LC + Lap transcystic Laparoscopic Open CBD


CBD exploration choledochotomy exploration

Succesful Retained stones

Rosenthal RJ et al. World J Surg 1998; 22: 1125-1132

Two-step approach to patient with


suspected choledocholithiasis

Patient with suspected choledocholithiasis

Nonresolving pancreatitis, Jaundice, Cholangitis, Poor operative risk

Yes No
ERCP / ERS Laparoscopic intraoperative
Stone Extraction cholangiography

Retained stones Laparoscopic cholecystectomy

Postoperative Yes
Stones cleared Retained stones
ERCP / ERS /
stone extraction No
Laparoscopic Open CBDE / percutan Done
cholecystectomy stone extraction
Rosenthal RJ et al. World J Surg 1998; 22: 1125-1132

One-step approach  LC+LTCDCBDE Two -step approach LC + pre/post-op ERS

Advantages Advantages
• Lower Cost • Shorter Operating Time
• Shorter Hospital Stay • Less technically Demanding
• Potentially Decreased Morbidity • Requeres Less Equipment
Disadvantages Disadvantages
• More Technically Demanding • Longer Hospitally Stay
• Requires Expensive equipment • Increased Total Cost
• Longer Operative Time • Potentially Increased Morbidity
• Increased operating Room Cost • Two Separate Procedure

Tabel : Perbandingan keuntungan dan kerugian dengan dua teknik.


A2w| 165
KISTA DUCTUS CHOLEDHOKUS
PENDAHULUAN
Kista koledokus adalah anomali kongenital dari saluran empedu. Kista
koledokus terdiri atas dilatasi kistik saluran empedu ekstra-hepatik, saluran
empedu intra-hepatik, atau keduanya. Sejumlah teori telah diajukan untuk
menjelaskan patogenesa kista koledokus. Anomali Persambungan Saluran
Pankreatikobiliaris (APSPB) diduga sebagai penyebab sebagian besar kista
koledokus. APSPB menyebabkan sekresi dan enzim pancreas refluks ke dalam
common bile duct, sehingga ditemukan sedikit kondisi alkalis pada common bile
duct dan proenzim pancreas dapat menjadi teraktivasi, Keadaan ini
menyebabkan inflamasi dan kelemahan dari dinding ductus biliaris. Kerusakan
yang lebih berat dapat mengakibatkan kerusakan dari mukosa common bile duct.
Secara kongenital, defeknya terjadi pada saat epitealisasi dan rekanalisasi
selama perkembangan ductus biliaris pada saat organogenesis dan juga
terdapat kelemahan kongenital dari dindingnya. Hasilnya akan terbentuk kista
koledokus.
Morbiditas dari kista koledokus tergantung dari usia. Infant dan anak-anak
sering terjadi pankreatitis, kolangitis dan kerusakan hepatoselular beserta
peradangannya berdasarkan bukti histologis. Komplikasi yang paling
mengkhawatirkan dari kista koledokus adalah kolangiokarsinoma yang angka
kejadiannya berkisar 9 -28 %. Perbandingan antara perempuan dan laki-laki
sekitar 3 - 4 : 1, dan pada kasus orang dewasa, penyakit ini lebih mudah dikenali
daripada pada anak-anak usia dibawah 10 tahun. Beberapa laporan belakangan
ini menekankan bahwa penyakit ini juga terjadi pada orang dewasa. Pada
populasi dewasa, kista koledokus kemungkinan tak terdiagnosis dan tidak
dilaporkan.

KLASIFIKASI KISTA CHOLEDOCHUS


Pelebaran sistik dari system bilier dapat terjadi pada traktus bilier ekstra dan
intrahepatik. Tipe kista koledokus yang paling sering timbul terdapat pada traktus
bilier ekstrahepatik, tepat dibawah percabangan duktus hepatik kanan dan kiri
dan meluas sampai didekat parenkim pankreas. Cirinya, duktus sistikus
memasuki kista koledokus dan kandung empedu tetap pada ukuran normalnya.
Kelainan anatomi yang berhubungan dengan kista koledokus didasarkan atas
Klasifikasi Todani yang dipublikasikan tahun 1977 :
 Tipe I : Pelebaran traktus bilier ekstrahepatis : Ia-sistik, Ib-fokal, Ic-fusiform
 Tipe II : Divertikula sakulus pada duktus biliaris ekstrahepatik.
 Tipe III : Pelebaran CBD dalam duodenum, koledokokel
 Tipe IVa : Pelebaran traktus bilier ekstra dan intrahepatis
 Tipe IVb : Kista ekstrahepatis multiple
 Tipe V : Pelebaran duktus intrahepatis (penyakit Caroli).

A2w| 166
Klasifikasi kista koledokus( Tondani‟s Clacification)
GEJALA KLINIK
Manifestasi Klinis umum dari Jaundice : Ikterik, Urine seperti teh, feses acholic ,
massa kuadran kanan atas abdomen, kadang hepatomegali, kolik intermiten,
mual muntah, demam. Trias klasik Couvisier dari kista koledokus adalah ikterus,
massa pada kuadran kanan atas dan nyeri abdomen.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium: Tidak ada yg spesifik. Bilirubin 2 dan Total meningkat ( bila ada
obstruksi).
USG  Dilatasi duktus, acuustic shadow, kistik, dll.
CT-Scan Menggambarkan dengan jelas ukuran, lokasi dan perluasan dari
dilatasi biliar ekstra dan intrahepatik pada pasien dengan kista koledokus
ERCP Dapat menggambarkan anatomi bagian bawah duktus, (ACDPDJ=
Anomalous choledochopancreatography duct junction).
MRI dan MRCP.
PRINSIP PENANGANAN
TERAPI BEDAH
1. Eksisi kista koledokus.
Disertai rekonstruksi anastomosis entero-bilier Roux-en-Y, kecuali pada kista
koledokus tipe III intraduodenum (koledokokel), dan ”Caroli Disease”.
2. Drainase Eksterna atau Interna (Cystocholedocoyeyunostomi,dll)Bila hanya
drainase saja tanpa eksisi, bahayanya :
a. Tempat anastomosis pada dinding kista sering menyertakan mukosa yang
abnormal dengan inflamasi dan fibrosis.
b. Risiko berkembangnya keganasan pada struktur duktus yang dibiarkan
berdilatasi diyakini sangat tinggi.
Koledokokel (kista tipe III) telah diterapi secara efektif dengan sfingterektomi
transduodenal atau sfingterotomi. Mayoritas kista pada traktus bilier pilihan
utama terapinya adalah eksisi radikal. Pada pasien dengan kista III
(koledokokel), sfingteroplasti transduodenal atau sfingterotomi endoskopik bisa
dipertimbangkan sebagai terapi yang tepat.
A2w| 167
TRAUMA TRACT BILIER

Strasberg‟s classification the biliary tract injuries Type.

A2w| 168
CHOLANGIOCARCINOMA
ETIOLOGI
- Penyakit batu empedu/kolelithiasis (gallstones diseases), Iritasi mukosa
vesika fellea menahun, Hepatolithiasis, Kolitis ulcerative, Cystic dilatation
(Caroli disease), Kista duktus koledokus, Primary sclerosing cholangitis
(PSC), Kalsifikasi dinding vesika fellea, Anomali duktus pankreatikobiliaris
- Paparan bahan-bahan racun: Thorium dioxide (thorotrast), Radionuklida,
Karsinogen (arsenic, dioksin, nitrosamine, befenil poliklorinat )
- Fibrosis hepatic kongenital, Polikistik hati, Infeksi parasit (Clonorchis sinensis
dan opistorchis viverrini) terbanyak menyebabkan kolangiokarsinoma,
Chronic typhoid carier.
 Mutasi Genetik :
a. K-ras, C-myc,C-neu,c-erb-b2 dan c-met
b. Gen suppressor tumor adalah p53 dan bcl-2
KLASIFIKASI
A. Tumor pada Saluran Empedu (Duktus Biliaris)
Tumor jinak saluran empedu
1. Adenoma  neoplastik pada epitel duktus
2. Kistadenoma & tumor sel granuler
3. Papiloma  lesi multiple papiler mukosa duktus
Tumor ganas saluran empedu (kolangiokarsinoma)
Kolangiokarsinoma intrahepatik berasal dari saluran-saluran yang kecil
(duktules) dan timbul sebagai massa intrahepatik dan biasanya didiagnosa
banding dengan tumor intrahepatik yang lain seperti hepatoma.
Kolangiokarsinoma ekstrahepatik berasal dari saluran empedu yang besar
dan biasanya menimbulkan obstruksi saluran empedu.
Tumor Duktus Biliaris Proksimal (perihilar, hilar, dan Klatskin’s).
Tumor Duktus Biliaris Distal
Bismuth membagi menjadi empat tipe sesuai letak timbulnya tumor pada duktus
biliaris ekstrahepatik.
KLASIFIKASI BISMUTH
- Tipe I : Terletak di duktus hepatis kommunis
- Tipe II : Mencapai cabang duktus hepatis, tetapi belum memasuki salah
satu percabangan duktus hepatis (Klatskin’s tumor)
- Tipe IIIa : Meluas ke duktus hepatikus kanan
- Tipe IIIb : Meluas ke duktus hepatikus kiri
- Tipe IV : Meluas ke duktus hepatikus kanan maupun duktus hepatikus kiri

A2w| 169
American Joint Committee on Cancer TNM Clinical Classification of Extrahepatic Bile Duct
Cancer
T1 Tumor confined to bile duct histologically
T2 Tumor invades beyond wall of bile duct
Tumor invades liver, gallbladder, pancreas, or unilateral branches of portal
T3
Tumor (T) vein or hepatic artery
Tumor invades any of the following: main portal vein or branches bilaterally,
T4 coronary artery, or other adjacent structures (e.g. colon, stomach,
duodenum, or abdominal wall)
N0 No regional lymph node metastasis
NODUL (N)
N1 Regional lymph node metastasis
Metastasis M0 No distant metastasis
(M) M1 Distant metastasis
American Joint Committee on Cancer Staging System for
Extrahepatic Bile Duct Cancer
Stage T N M
0 Tis
IA T1 N0 M0
IB T2 N0 M0
II A T3 N0 Mo
II B T1, T2, T3 N1 M0
III T4 Any N M0
IV Any T Any N M1

A2w| 170
Patologi
Ada tiga bentuk histopatologi adenokarsinoma.
1. Schirus ( Striktur). Adanya reaksi desmoplastik hebat yang melibatkan duktus
biliaris. Sering pada percabangan duktus hepatikus (Klatskin’s tumor). Bentuknya
annular, tipis, berwarna abu-abu dengan batas yang jelas.
2. Noduler difus.Tumor yang cepat tumbuhnya, sangat virulen, yang meluas ke
saluran empedu ekstrahepatik.
3. Papiler. Jarang ditemukan. Tumor ini terdiri atas jaringan neoplastik vaskuler
yang rapuh dan mengisi lumen saluran empedu.
Kolangiokarsinoma ekstrahepatik terbagi menjadi tiga tipe yaitu
1. Polipoid atau massa nodular; 2. Sklerosis ; 3. Infiltrat difus.
Patogenesis
 Trauma kronik yang disertai inflamasi yang berkepanjangan merupakan faktor
pencetus pembentukan tumor pada duktus biliaris.
 Organisme parasit menyebabkan perubahan DNA dan mutasi melalui
produksi karsinogen dan radikal bebas dan menstimulasi ploriferasi sel epitel
biliar yang akhirnya terbentuk sel kanker.
 Induksi bakteri, endogenous, karsinogen-derifat garam empedu seperti
litokolat, juga terlibat dalam patogenesis terjadinya tumor.
 Titik mutasi terletak pada K-ras onkogen kodon 12 yang ditemukan pada
kolangiokarsinoma.
Karsinoma Ampulla Vateri
Karsinoma ampulla vateri merupakan keganasan yang jarang terjadi. Lebih
dianggap sebagai tumor duktus biliaris yang cenderung menyebabkan gejala dini
dan menyebar lokal dengan metastasis distal yang lambat.

A2w| 171
B. Tumor pada Vesika fellea (Gall Bladder)
Tumor Jinak pada Vesika fellea
Bentuk tumor ini terdiri atas polip, hiperplasia adenomatosa, adenoma,
papiloma, mioma, lipoma, dan fibroma.
Tumor Ganas pada Vesika fellea
Tumor ganas vesika fellea adalah adenokarsinoma. Oleh karena itu,
penyebaran dapat invasif langsung ke dalam hati dan porta hati. Metastasis
terjadi ke kelenjar getah bening regional dan struktur-struktur yang berdekatan
seperti misalnya lambung, duodenum dan pankreas.
Patologi
Ada tiga bentuk adenokarsinoma antara lain : skirus, papiler, dan musinosa.
Karsinoma musin paling sering ditemukan dan cepat menyebar ke hati.
Karsinoma papiler merupakan pertumbuhan yang lebih lambat dan tampak
sebagai cacat pengisian polipoid. Sedangkan jenis skirus jarang ditemukan.
American Joint Committee on Cancer TNM Clinical Classification of Gallblader Cancer
Tx Primary tumor cannot be assessed
T0 No evidence of primary tumor
Tis Carcinoma in situ
Tumor (T) T1 Tumor invades lamina propria or muscle layer
a Tumor invades lamina propria
b Tumor invades muscle layer
T2 Tumor invades perimuscular connective tissue
T3 Tumor perforates serosa (visceral peritoneum) or
directly invades one adjacent organ (< 2 cm into liver)
T4 Tumor extends > 2 cm into liver or invades ≥ 2 adjacent organs
(ex:duodenum, colon, pancreas, or extrahepatic bile ducts)
Nodul (N) N0 No regional lymph node metastasis
N1 Metastasis in cystic duct, pericholedochal, or
hilar lymph nodes (in hepatoduodenal ligament)
N2 Metastasis in peripancreatic (head only),
periduodenal, periportal, celiac, or mesenteric lymph nodes
Metastasis M0 No distant metastasis
M1 Distant metastasis

American Joint Committee on Cancer


Staging System for Gallblader Cancer
Stage T N M
0 Tis N0 M0
IA T1 N0 M0
II T2 N0 M0
III T1, T2,T3 N0, N1 Mo
IV A T4 N0, N1 M0
IV B Any T N2 M0
Any T Any N M1

A2w| 172
GEJALA KLINIS
Tumor Saluran Empedu (Duktus Biliaris)
Keluhan utama ialah ikterus obstruktif yang progresif secara lambat, bila hanya
satu duktus hepatikus yang terlibat, karena lobus hati yang tidak terlibat
melakukan kompensasi, pruritus, nyeri epigastrik ringan, kadang gejala kolangitis
seperti febris, kolik bilier, dan menggigil, Diare, anoreksia dan penurunan berat
badan. Jika tumor timbul pada bagian distal duktus biliaris, distended gall bladder
dapat terjadi. Jika pertumbuhan tumor hanya pada satu duktus, maka akan
terjadi pembesaran unilobar hepar.
Tumor Kandung Empedu (Vesika fellea)
Nyeri di perut kuadran kanan atas, kolik bilier,mual, muntah, dan anoreksia,
penurunan berat badan, ikterus, hepatomegali dan teraba massa atau ascites,
ikterus obstruksi dan kolangitis.

DIAGNOSIS
Tumor Duktus Biliaris (saluran empedu).
Keluhkan pasien adalah perasaan tidak enak pada perut kuadran kanan atas,
pruritus, diare, anoreksia, nyeri epigastrik ringan dan penurunan berat badan.
Pada pemeriksaan fisis, jika terjadi distensi kandung empedu, akan mudah
diraba, sedangkan tumornya sendiri tidak pernah dapat diraba. “Trias
Courvisier” ( Ikterik,Nyeri perut & Teraba Massa perut kanan atas).
Laboratorium : Ikterus obstruksi ( ↑ bilirubin direk > 50% dari bilirubin total, serum
alkalifosfatase dan gamma glutamil transferase meningkat). Pemeriksaaan
ultrasonografi umumnya dapat mendeteksi pelebaran saluran empedu
intrahepatik. Kolangiopankreatikografi endoskopik retrograd (ERCP),
kolangiopankreatografi resonansi magnetik (MRCP) dan kolangiografi
transhepatik perkutan (PTC) dapat menentukan lokasi tumor secara jelas.
Tumor Kandung Empedu (Vesika fellea)
Keluhan berupa nyeri menetap di kuadran kanan atas, mirip kolik bilier, mual,
muntah, anoreksia, penurunan berat badan, hepatomegali, teraba massa atau
asites, ikterus obstruksi jika tumor besar dan melakukan penekanan pada duktus
koledokus atau meluas sampai ke duktus koledokus (“Syndrom Mirizzi”).
Pada pemeriksaan fisik, dapat diraba massa di daerah vesika fellea. Massa ini
tidak akan disangka tumor apabila disertai tanda kolesistitis akut. Apabila gejala
klinisnya hanya kolangitis dan kandung empedu teraba membesar, harus
dicurigai kemungkinan keganasan kandung empedu, karena keadaan ini tidak
biasa ditemukan pada koledokolithiasis.
Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan peningkatan kadar bilirubin dan
alkalifosfatase. Pada level darah, CEA atau CA 19-9 (protein dalam sirkulasi
darah yang ditemukan jika terdapat jenis kanker tertentu dalam tubuh) dan tumor
marker yang lain, juga dapat mengalami peningkatan. Tetapi hal ini tidak mutlak
digunakan untuk menegakkan diagnosa oleh karena mungkin terdapat kasus
yang lain.

A2w| 173
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Ultrasonografi (USG)
Tampak duktus intrahepatik berdilatasi, tumor kandung empedu akan tampak
sebagai bentuk hiperechoik.
Computed Tomography (CT)
Dilatasi intrahepatik dan atrofi lobar, Ukuran atau sejauh mana tumor telah
menyumbat duktus bilier dan gall bladder, dapat mendeteksi organ sekitar
kandung empedu, seperti kelenjar limfe dan organ lain,adanya proses kalsifikasi.
Kolangiopankretikografi Retrograd Endoskopi (ERCP)
Opafikasi dari batang saluran empedu dengan kanulasi endoskopi ampulla Vateri
dan suntikan retrograd zat kontras, maka sumbatan pada duktus biliaris akan
terlihat jelas.
Kolangiografi Transhepatik Perkutan (PTC)
Merupakan pungsi transhepatik perkutan pada susunan duktus biliaris
intrahepatik yang menggunakan jarum Chiba kecil (ukuran 21) dan suntikan
prograd zat kontras.

PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
Macam teknik yang digunakan seperti sphinkterektomi, pemasangan ballon
dilatation pada daerah striktur, dan pemasangan stent (pintas saluran empedu-
usus). Jenis stent yang digunakan tebuat dari metal seperti Metal-Palmas,
Strcker, Gianturco Z stent, dan Wall stent. Namun, dapat terjadi komplikasi
berupa perdarahan dan kebocoran duktus. Kemoterapi & Radioterapi tidak
bermakna (iridium (Ir 192), radium atau kobalt (Co 60). Radioimunoterapi
menggunakan sodium iodida (I 131) anti-CEA.
Pembedahan
“Prosedur Whipple”, yaitu pankreatiko-duodenektomi. yaitu Eksisi tumor secara
radikal “en bloc” (Kaput & Korpus Kankreas, Duodenum, Pilorus, distal lambung,
distal duktus koledokus) + Cholesistektomi + Rekonstruksi (
pankreatikoyeyunostomi, koledokoyeyunostomi dan gastroyeyunostomi).

Metode Whipple

A2w| 174
Tumor proksimal (Klatskin tumor) berdasarkan lokasi dapat dilakukan:
- Pasien dengan tumor perihilar (Bismuth klasifikasi I dan II), tanpa adanya
invasi vaskuler, dapat dilakukan lokal eksisi. Tetapi jika batas tumor tidak
jelas, maka eksisi lokal tidak dapat dilakukan. Maka reseksi lobus dapat
dilakukan.
- Tipe III dilakukan dengan lobektomi (lobus kanan atau kiri). Reseksi dapat
dilakukan sampai lobus kaudatus untuk memastikan batas bebas tumor.
- Tumor klatskin juga dapat ditanggulangi dengan eksisi dan
hepatoyeyunostomi dengan anastomosis Roux-en-Y (koledokoyeyunostomi
Roux-en-Y dan yeyunoyeyunostomi Roux-en-Y)

Metode Roux-en-Y Cholangiografi Roux-en-Y

PROGNOSIS
Prognosis jangka panjang adalah buruk, angka kelangsungan hidup 5 tahun <
5%. Prognosis tumor duktus biliaris tergantung pada lokasi tumor dan perluasan
dari penyakit. Meskipun kelangsungan hidup lima tahun jarang bagi pasien
dengan lesi hilus atau proksimal, kelangsungan hidup lima tahun lebih dari 30%
pada pasien dengan tumor duktus biliaris distal.

Distribusi Cholangiocarcinoma
ekstrahepatik Bile Duct

A2w| 175
PANKREAS
Anatomi
Pankreas terletak melintang dibagian atas abdomen dibelakang gaster di
retroperitoneal. Disebelah kiri ekor pankreas mencapai hilus limpa di arah
kraniodorsal. Bagian atas kiri kaput pankreas dihubungkan dengan korpus
pankreas oleh leher pankreas yaitu bagian bagian pankreas yang lebarnya
biasanya tidak lebih dari 4 cm. Arteri dan vena mesenterika superior berada di
dorsal leher pankreas. Duodenum bagian horisotal dan bagian dari penonjolan
posterior bagian kiri bawah kaput pankreas ini disebut prosesus unsinatus
pankreas, melingkari arteri dan vena tersebut.

Adapun batas-batas dari bagian pankreas adalah sebagai berikut :


1. Kaput Pankreas meluas ke kanan sampai pada lengkungan duodenum,
terletak sebelah anterior dari vena cava inferior dan vena renalis kiri.
2. Processus uncinatus yang merupakan bagian dari kaput pankreas terletak di
bawah vena mesenterika superior.
3. Kolum pankreas yang merupakan hubungan antara korpus dan kaput
pankreas terletak di atas pembuluh darah mesentrika superior dan vena porta.
4. Korpus pankreas berbentuk segitiga dan meluas hingga ke hilus ginjal kiri.
Terletak di atas aorta, vena renalis kiri, pembuluh darah limpa dan pangkal
vena mesenterika inferior.
5. Kauda pankreas terletak pada ligamentum lienorenal dan berakhir pada hilus
limpa.

A2w| 176
Sistem saluran pankreas
Saluran pankreas wirsung dimulai dari ekor pankreas sampai ke hulu pankreas
bergabung dengan saluran empedu di ampula hepatiko-pankreatika untuk
selanjutnya bermuara pada papila vater. Saluran pankreas minor Santorini atau
duktus pankreatikus asesorius bermuara di papila minor yang terletak 2 cm
proksimal dari papila mayor.

Peredaran darah pankreas


Hulu pankreas didarahi oleh lengkungan anterior dan posterior yang berasal dari
arteri gastroduodenalis dan arteri mesenterika superior.

Aliran limfe
Aliran limfe dari pankreas bagian kranial masuk ke kelenjar limfe didaerah hilus
limpa, ke kelenjar limfe yang terletak di antara duodenum dan pankreas, menuju
kelenjar subpilorik. Aliran limfe dari bagian anterior masuk ke kelenjar limfe di
sekitar pembuluh pankreatika superior, gastrika superior dan kelenjar limfe
sepanjang arteri hepatika, sedangkan dari bagian posterior aliran limfe masuk ke
kelenjar limfe di sekitar pembuluh pankreatika inferior, mesokolika, mesenterika
superior, dan aorta. Biasanya sebagai penyebaran dari tumor pankreas.

A2w| 177
Sistem saraf
Saraf simpatis ke pankreas berasal dari n. splanknikus mayor dan minor
melalui pleksus dan ganglion seliakus. Serat saraf ini membawa serat nyeri
eferen dari pankreas. Pembiusan atau pemotongan saraf splanknikus ini
membuat nyeri yang disebabkan tumor pankreas.

A2w| 178
Fisiologi

Sekresi Eksokrin
Sekresi Pankreas mengandung enzim untuk mencernakan 3 jenis
makanan utama : Protein (tripsin, kimotripsin, karboksi polipeptidase),
karbohidrat (amilase pankreas), dan lemak (lipase pankreas). Disintesis oleh sel
asinus pankreas dan kemudian dikeluarkan melalui duktus pankreatikus. Sel
eksokrin pankreas mengeluarkan cairan elektrolit dan enzim sebanyak 1500-
2500 ml. Sehari dengan pH 8 sampai 8,3. Sekresi eksokrin pankreas diatur oleh
mekanisme humoral dan neural dalam tiga fase yaitu fase sefalik melalui
asetilkolin yang dibebaskan ujung n. vagus merangsang sekresi enzim
pencernaan pankreas. Pada fase gastrik, dengan adanya protein dalam
makanan akan merangsang keluarnya gastrin yang juga merangsang keluarnya
enzim pencernaan ke dalam duodenum, dan ketika kimus yang bersifat asam
memasuki duodenum pada fase intestinal, membran mukosa duodenum
menghasilkan hormon peptida sekretin ke aliran darah. Hormon ini kemudian
akan menstimulasi sekresi pankreas yang mengandung ion bikarbonat dalam
konsentrasi tinggi. Ion ini berguna untuk menetralisir asam pada kimus dan
menciptakan suasana yang memungkinkan kerja dari enzim pencernaan.
Hormon kolesistokinin juga merupakan perangsang yang sangat kuat terhadap
sekresi enzim terutama dengan adanya protein dan lemak dalam kimus. Seperti
halnya sekretin kolesistokinin juga dikeluarkan melalui pembuluh darah yang
merangsang keluarnya cairan pankreas yang mengandung enzim pencernaan
dalam konsentrasi tinggi.

A2w| 179
Mukosa intestinal
menghasilkan sekretin
dan kolesistokinin ke
aliran darah

Kimus yang bersifat asam Sekretin dan


memasuki duodenum kolesistokinin
merangsang
pankreas

Sekresi cairan
Sekresi
pankreascairan
yang kaya
Ion bikarbonat
pankreas
bikarbonatyang
dankaya
menetralisir asam
bikarbonat dan
enzim pencernaan
enzim pencernaan
Bagan . Sekresi eksokrin

Pada saat disintesa enzim-enzim proteolitik berada dalam bentuk tidak


aktif,sedangkan enzim amylase dan lipase sudah dalam bentuk aktif. Enzim-
enzim ini tersimpan dalam granula zimogen sampai terdapat rangsangan untuk
melakukan sekresi dan enzim dikeluarkan dengan proses eksostosis, dan
kemudian diaktifkan di dalam lumen intestinal.
Aktivasi enzim proteolitik dalam lumen intestinal

Prekursor Enzim aktif


Enterokinase, tripsin
Tripsinogen  Tripsin + peptide
Tripsin
Kimotripsinogen  Kimotripsin + peptide
tripsin
Proelastase  Elastase + peptide
tripsin Karboksipeptidase +
Prokarboksipeptidase 
peptide
tripsin Phospholipase A +
Prophosholipase A 
peptide

Sekresi Endokrin
Sekresi hormon dihasilkan oleh sel islet dari Langerhans. Setiap pulau
berdiameter 75 sampai 150 makron.Berjumlah sekitar 1 – 2 juta, dan dikelilingi
oleh sel-sel asinus pankreas, disekelilingnya terdapat kapiler darah khusus
dengan pori-pori yang besar. Sel-sel islet pankreas mempunyai tiga tipe sel
mayor, yang masing-masing memproduksi endokrin yang berbeda yaitu sel alfa
(20 %) terletak di perifer dan memproduksi glukagon, sel beta (75 %) terletak di
sentral memproduksi hormon insulin,sel delta (5 %) yang mensekresi hormon
somotostatin, dan sisanya yang memproduksi pankreas polipeptida.

A2w| 180
Sekresi endokrin pankreas Insulin & Sintesis insulin
Pengeluaran insulin oleh sel B dirangsang oleh kenaikan glukosa dalam
darah yang ditangkap oleh reseptor glukosa pada sitoplasma permukaan sel B
yang akan merangsang pengeluaran ion kalsium dalam sel. Ion kalsium akan
meningkatkan eksostosis dari vesikel seksresi yang berisi insulin dan
meningkatkan jumlah insulin dalam beberapa detik. Jika keadaan hiperglikemia
masih bertahan maka mRNA akan dibentuk dalam nukleus dan berpindah ke
sitoplasma untuk selanjutnya meningkatkan sintesis dari rantai polipeptida
tunggal (proinsulin) di dalam RE. Dan selama pembentukan dalam apparatus
golgi, proinsulin ini akan diikat oleh 2 disulfida yang oleh enzim protease akan
diubah menjadi insulin dan disimpan dalam vesikel sekresi yang jika dibutuhkan
akan dikeluarkan melalui proses eksostosis. Insulin bekerja dengan jalan terikat
dengan reseptor insulin yang terdapat pada membran sel target. Jadi fungsi
utama insulin adalah menyimpan energi pada hati,otot dan jaringan lemak.
Mekanisme Kerja Insulin
EFEK BIOLOGIS INSULIN
HATI
Cepat (dalam detik)
Efek Anabolik ↑ glikogenesis, ↑ sintesa trigliserida,
Meningkatkan transport
kholesterol dan VLDL, ↑sintesa protein.
glukosa, asam amino dan
Ion K kedalam sel yang Efek Menghambat glikogenolisis, ketogenesis &
sensitif terhadap insulin Anti Katabolik Menghambat glukoneogenesis
Sedang (dalam menit) OTOT
Merangsang sintesa protein  ↑Sintesa ↑transport asam amino,
Menghambat perusakan protein Merangsang sintesa protein ribosom.
protein  ↑Sintesa ↑ transport glukosa,
Aktifasi enzim glikogen glikogen ↑ aktifitas enzim glikogen sintetase,
sintetase dan enzim glikolitik hambat aktifitas enzim glikogen fosforilase
Menghambat enzim
LEMAK Stimulasi lipoprotein lipase sehingga
fosforilase dan enzim
Meningkatkan asam lemak dapat diabsorbsi. Meningkatkan
glukoneogenik
penyimpanan transport glukosa kedalam sel lemak,
Lambat (dalam beberapa jam)
Trigliserida jadi meningkatkan tersedianya -glycerol
Meningkatkan pembentukan
phosphate untuk sintesa trigliserida.
nRNA untuk enzim lipogenik
Meningkatkan sintesa asam lemak.
dan enzim lainnya.
Menghambat lipeprotein intrasel

A2w| 181
Glukagon
Glukagon mempunyai fungsi yang berlawanan dengan hormon insulin yaitu
meningkatkan konsentrasi glukosa.
Faktor-faktor yang mempengaruhi sekresi glukagon
STIMULASI INHIBISI
Asam amino (terutama alanin, glisin, Glukosa
serin, sistein dan threonin) Somatostatin
CCK, gastrin Sekretin
Kortisol Insulin
Latihan fisik Asam lemak bebas
Infeksi -adrenergik agonis
-adrenergik agonis GABA
Asetilkolin
Teofilin
Efek fisiologis terjadi melalui mekanisme kerjanya pada reseptor glukagon yang
terdapat pada membran sel. Efek glukagon pada metabolisme glukosa adalah :
1. Pemecahan glikogen di hati(glikogenolisis).
2. Meningkatkan glukoneogenesis pada hati.
Glukagon juga meningkatkan lipolisis,menghambat penyimpanan trigliserida dan
efek ketogenik. Selain itu glukagon konsentrasi tinggi mempunyai efek inotropik
pada jantung, juga meningkatkan sekresi empedu dan menghambat sekresi
asam lambung.
Somatostatin
Somatostatin merupakan polipeptida dengan 14 asam amino dan berat
molekul 1640 yang dihasilkan di sel-sel D langerhans. Hormon ini juga berhasil
diisolasi di hypothalamus, bagian otak lainnya dan saluran cerna. Sekresi
somotostatin ditingkatkan oleh :
1. meningkatnya konsentrasi gula darah.
2. meningkatnya konsentrasi asam amino,
3. meningkatnya konsentrasi asam lemak, dan
4. Meningkatnya konsentrasi beberapa hormon saluran cerna yang
dilepaskan pada saat makan
Somatostatin mempunyai efek inhibisi terhadap sekresi insulin dan glukagon.
Hormon ini juga mengurangi motilitas lambung, duodenum dan kandung
empedu. Sekresi dan absorbsi saluran cerna juga dihambat. Selain itu
somatostatin menghambat sekresi hormon pertumbuhan yang dihasilkan hipofise
anterior
Pankreas polipeptida
Hormon ini terdiri dari 36 asam amino dengan berat molekul 4200. Sampai
saat ini proses sintesanya belum jelas. Sekresinya dipengaruhi oleh hormon
kolinergik, dimana konsentrasinya dalam plasma menurun setelah pemberian
atropine. Sekresi juga menurun pada pemberian somatostatin dan glukosa
intravena. Sekresinya meningkat pada pemberian protein, puasa, latihan fisik
dan keadaan hipoglikemia akut.

A2w| 182
KELAINAN BAWAAN PANKREAS
1. PANKREAS ANULARE
Jarang ditemukan
E/ oleh  kelainan bakal pankreas sehingga tonjolan ventral dan dorsal
melingkari duodenum pars ke 2 akibat tidak lengkapnya pergeseran bagian
ventral  obstruksi duodenum, Kadang disertai atresia duodenum.
GEJALA KLINIKObstruksi akut dan nyeri perut berulang, Mual dan muntah
berwarna hijau, mulanya tanpa gejala dan baru ditemukan pada usia dewasa
DIAGNOSIS. Pemeriksaan scanning yang menunjukan obstruksi duodenum
total atau partial dan dinding lateral kanan duodenum terlipat.
TERAPI By pass untuk mengatasi obstruksi duodenum
2. PANKREAS HETEROTROPIK (Pankreas aberans atau pankreas asesoris)
Jaringan pankreas dapat ditemukan pada hampir sepanjang saluran cerna
Paling sering di gaster dan divertikel Meckel, Biasanya berbentuk nodul
kuning submukosa dengan Ø 02 – 4,0 cm.
Pankreas aberans  sulit dibedakan dari leiomyoma atau ulkus peptikum
pada lambung atau duodenum
KOMPLIKASI  Ulkus, Perdarahan, Obstruksi oleh karena besarnya tumor
aberans, Intususepsi.
PENANGANANEksisi, Reseksi segmen tumor aberans
3. PANKREAS DIVISIUM
Keadaan ini terjadi bila duktus pankreatikus Santorini dan Wirsung tidak
berhubungan sehingga pankreas bahagian dorsal dan ventral bermuara pada
duodenum secara terpisah
GEJALA Sakit perut kronis, Pankreatitis berulang.
Diagnosis ditegakan dengan pemeriksaan ERCP
PENANGANAN  sedapat mungkin bersifat konservatif
4. PANKREAS FIBROKISTIK
Merupakan kelainan bawaan kelenjar eksokrin dari pancreas, Kista yang
ditemukan tidak sengaja pada waktu laparotomi
Umumnya disertai dengan penyakit kista pada organ lain misalnya pada
ginjal, hati dan saluran urogenital.
Pada orang dewasa penyakit ini berubah menjadi pengapuran (kalsifikasi)
Umumnya asimptomatik, Secara klinis gejalanya seperti pankreatitis kronis
PENANGANANKonservatif

Kista Anulare Double bubble Kista Divisium


A2w| 183
KISTA PANKREAS
PATOGENESIS
Patogenesis pseudokista pankreas berawal dari adanya gangguan pada
duktus pankreatikus, bisa oleh proses inflamasi yang akut maupun kronik dan
trauma. Perbedaan antara kista sejati dan pseudokista pada pankreas adalah
kista sejati dibatasi oleh dinding epitel sebaliknya pseudokista tidak dibatasi oleh
epitel melainkan hanya oleh jaringan ikat.
Pada pankreatitis akut, terjadi gangguan pada duktus akibat dari nekrosis
pada sebagian sel-sel di pankreas dan kebocoran duktus ( postnecrotic
pseudocyst ). Akibatnya, terjadi ekstravasasi enzim-enzim pankreas termasuk
enzim pencernaan dari sel-sel asinus. Normalnya sel-sel tersebut melepaskan
enzim-enzim pencernaaan ke dalam duktus pengumpul yang kemudian
mengalirkan ke duktus pankreatikus menuju ke lumen duodenum. Ekstravasasi
enzim-enzim ini dapat menyebabkan terjadinya autodigesti pada jaringan
pankreas. Edema dengan cepat terjadi kemudian disusul dengan terjadinya
nekrosis pankreas, oklusi pembuluh darah dan respon inflamasi. Ini
menjelaskan kandungan kista yang terdiri dari cairan pankreas yang kadang
bercampur darah atau sisa jaringan nekrotik.
Terkumpulnya sekresi pankreas selanjutnya menyebabkan terjadinya
pembentukan dinding (walling-off) oleh jaringan granulasi sehingga terbentuklah
suatu kista pankreas tanpa lapisan epitel pada dindingnya yang disebut
pseudokista. Pada pasien dengan pankreatitis kronik, terjadi peningkatan
tekanan pada duktus pankreatikus akibat dari striktur, batu pada duktus,
penumpukan protein dan lain-lain sehingga terjadi ruptur pada duktus.
Pada trauma pankreas, pseudokista terjadi disebabkan oleh gangguan
pada duktus yang biasanya akibat dari trauma tumpul. Terjadi perlukaan pada
duktus biasanya yang berdekatan dengan kolum vertebra sehingga akhirnya
terbentuklah pseudokista pada pankreas.

GEJALA KLINIS DAN DIAGNOSIS


Tidak ada gejala yang khas untuk pseudokista pankreas dan setiap
individu dapat memberikan gejala yang berbeda. Namun secara umum,
diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis yang baik, pemeriksaan fisis dan
pemeriksaan-pemeriksaan penunjang yang lain.

1. Anamnesis :
Pseudokista pankreas harus dicurigai pada pasien dengan riwayat pankratitis
atau trauma pankreas 2 atau 3 minggu sebelumnya. Dari anamnesa diperoleh
informasi seperti : pasien mengeluhkan nyeri yang menetap pada daerah
pertengahan epigastrium dan menjalar tembus sampai ke punggung, demam,
dan sering merasa mual dan muntah. Menurut Crass and Becker, nyeri pada
epigastrium dikeluhkan hampir 90% dari penderita. Anoreksia terdapat pada
sekitar 20% penderita.

A2w| 184
2. Pemeriksaan Fisis :
Dari pemeriksaan fisis didapatkan pada 50-75 % penderita teraba massa
kistik di epigastrium. Massa ini kadang mudah digerakkan atau agak
terfiksasi tergantung dari hebatnya radang dan perlengketan pada jaringan
sekitarnya. Kadang massa ini dapat berubah menjadi besar atau mengecil,
bergantung pada adanya patensi saluran pankreas.
Dapat terjadi pendarahan varises esofagus akibat bendungan pada
vena porta oleh pseudokista tersebut. Tekanan pada duktus koledokus dapat
menimbulkan ikterus ringan sampai berat tergantung hebatnya tekanan.
3. Pemeriksaan Penunjang :
Pemeriksaan laboratorium :
a. Darah Rutin :
 Didapatkan peningkatan kadar amilase serta leukositosis pada sebagian
dari penderita pseudokista pankreas.
 Bilirubin dan LFT meningkat jika cabang duktus biliaris ikut terlibat
b. Analisis cairan kista ; dapat membantu dalam membedakan pseudokista
dengan tumor
 Kadar tumor marker CEA (Carcino Embryogenic Antigen ) dan CEA-125
rendah pada pseudokista dan tinggi pada tumor
 Viskositas cairan rendah pada pseudokista dan tinggi pada tumor
 Kadar amilase yang tinggi pada pseudokista dan rendah pada tumor
 Pemeriksaan sitologi dapat membantu dalam mendiagnosis tumor tetapi
hasil sitologi yang negatif tidak menyingkirkan kemungkinan adanya tumor.
Pemeriksaan radiografi :
a. Ultrasonografi (USG) Abdomen
b. CT-scan Abdomen
c. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
d. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
DIAGNOSIS BANDING
1. Tumor kista, contohnya mucinous cystadenoma, serous cystadenoma,
cystadenocarcinoma.
2. Abses pankreas, biasanya disertai tanda-tanda infeksi seperti demam,
lekositosis dan takikardi.
3. Karsinoma pankreas, dengan gejala yang sama dengan pseudokista yaitu
penurunan berat badan, ikterus, dan perabaan massa ( berkemungkinan
kantong empedu). Ini bisa dibedakan melalui pemeriksaan CT-scan
abdomen.
4. Pankreatitis akut. Pasien mengalami nyeri hebat pada epigastrium yang
berkurang bila duduk, disertai muntah hebat.
5. Pankreatitis kronik, merupakan suatu episode berulang dari pankreatitis
akut. Pankreas menjadi kecil, berindurasi, nodular dengan asini dan pulau-
pulau yang dikelilingi oleh jaringan fibrosa.

A2w| 185
PENANGANAN
 Pembedahan merupakan pilihan utama.
 Tujuan pembedahan  mencegah komplikasi infeksi, perdarahan sekunder,
ruptur pseudokista atau kista terus membesar.
 Pembedahan berupa 
– Bila kista kecil :
 Ekstirpasi kista
 Drainase transfingterik melalui ampula Vater secara endoskopik
– Bila kista besar :
– Drainase interna
 Merupakan pilihan terbaik
 Sistogastrostomi atau sistoyeyunostomi
– Drainase eksterna ==== marsupialisasi
Pseudokista yang membesar, atau yang ada selama lebih dari 6 minggu,
harus diterapi. Kista harus dibiarkan matang, biasanya memakan waktu 6
minggu. Yang paling efektif adalah drainase interna, biasanya melalui
sistogastrostomi, tetapi sistojejunotomi, sistoduodenostomi dan pankreatektomi
distal merupakan pilihan lain. Drainase eksterna hanya diindikasikan untuk kista
tipis yang sangat halus atau kista sejati.
1. Pankreatektomi distal
Pankreatektomi distal merupakan suatu penatalaksanaan definitif terhadap
pseudokista kronis yang terjadi pada kaudal pankreas. Prosedur ini juga
dianjurkan untuk dilakukan pada pseudokista yang sebelumnya terjadi trauma
dengan syarat korpus dan kaudanya masih normal. Pada prosedur ini cairan
kista didrainase bisa secara internal atau eksternal.

2. Drainase eksternal
Drainase eksterna paling baik dilakukan pada pasien yang sakit berat atau
apabila dinding kista belum cukup matang sehingga tidak bisa dilakukan
anastomose ke organ lain. Drainase eksterna dapat berkomplikasi menjadi fistula
pankreatikus sehingga perlu dilakukan drainase surgikal. 70-80% fistula yang
menutup secara spontan setelah beberapa bulan.

A2w| 186
3. Drainase internal
Sistojejunostomi yaitu anastomosis kista dengan jejunum yang dilakukan secara
Roux-en-Y. Sistogastrostomi yaitu anastomosis kista dengan dinding posterior
gaster, dan Sistoduodenostomi yaitu anastomosis kista dengan duodenum.
Sistogastrostomi dilakukan pada kista yang terletak di belakang dan melengket
pada gaster. Roux-en-Y sistojejunostomi memberikan fungsi drainase yang lebih
baik dan dianjurkan terhadap kista yang letaknya sulit dicapai.
Sistoduodenostomi diindikasikan untuk kista yang berada di kaput pankreas dan
melengket pada dinding medial duodenum, yang menjadikan lesi ini sulit untuk
didrainase menggunakan teknik lain.

A B

Gambar 10 : A: Sistoyeyunostomi B: sistogastrostomi


1.lambung, 2.duktus koledokus dan kandung empedu, 3.pankreas dengan
kista, 4.yeyunum, 5.sistogastrostomi, 6.sistoyeyunostomi

4. Drainase perkutaneus (drainase non-surgical)


Drainase perkutaneus dianjurkan pada pseudokista yang terinfeksi dan pada
pseudokista yang ukurannya sangat besar, karena secara teknik, sulit untuk
melakukan drainase internal ke dalam organ lain. Drainase perkutaneus dapat
dilakukan dengan cara memasukkan kateter ke dalam kista dengan dimonitor
oleh CT-scan, USG atau fluoroskopi. Drainase percutaneus dilakukan dengan
cara memasukkan jarum yang dimonitor oleh imej (image-guided needle) ke
dalam pseudokista. Kemudian suatu selang (guidewire) dimasukkan melalui
jarum tadi ke dalam kista dan seterusnya kateter pigtail diameter 7F – 12F
dimasukkan mengikuti guidewire tadi sampai ke dalam kista. Komplikasi yang
bisa terjadi adalah pembentukan fistula pankreatikus eksternal setelah
pelepasan kateter, yang mengambil tempat letaknya kateter. (2,12)

A2w| 187
PANKREATITIS
Pankreatitis adalah radang pankreas yang bukan disebabkan oleh infeksi
bakteri atau virus akan tetapi akibat autodigesti oleh enzim pankreas yang keluar
dari saluran pankreas. Faktor sumbatan saluran pankreas yang menyebabkan
refluks diduga kuat sebagai penyebab sebagian besar pankreatitis.
Pankreatitis akut adalah suatu proses peradangan akut yang mengenai
pankreas dan ditandai dengan adanya edema, perdarahan dan nekrosis pada
sel-sel asinus serta pembuluh darah. Secara patologi ditemukan empat jenis
kelainan pada pankreatitis akut yaitu pankreatitis udematosa, pankreatitis
infiltratif, pankreatitis hemoragika dan pankreatitis nekrotikans.
Patogenesis
Pada sepertiga sampai duapertiga pasien, pankreatitis disertai dengan
adanya batu empedu (kolelitiasis) yang diduga menyebabkan trauma sewaktu
pasase batu, atau menyebabkan sumbatan di daerah papila Vater. Pengobatan
bedah terhadap batu empedu seringkali menghilangkan gejala pankreatitis
berulang, ini mendukung peranan kausal batu di duktus tadi. Garam empedu
yang terdekonyugasi dan lisolesitin juga merupakan faktor kausal pankreatitis
akibat terjadinya refluks cairan empedu ke dalam saluran pankreas yang dapat
merusak dinding saluran. Kerusakan dinding ini dapat merupakan awal
terjadinya autodigesti. Faktor lain adalah penggunaan alkohol berlebihan,
trauma operasi tanpa atau dengan pipa T penyalir di duktus koledokus,
hiperparatiroid, berbagai racun dan obat, virus tertentu dan cedera dari luar.
Alkohol menambah konsentrasi protein dalam cairan pankreas dan
mengakibatkan endapan yang merupakan inti untuk terjadinya kalsifikasi yang
selanjutnya menyebabkan tekanan intraduktal lebih tinggi. Pankreatitis pasca
bedah dapat disebabkan oleh lengan lintang pipa penyalir T yang terlalu panjang
melewati sfingter Oddi, operasi gastrektomi, dan cedera saluran pankreas atau
pembuluh darah sewaktu operasi.
Kadang ditemukan hubungan antara penyakit hiperparatiroid dengan
pankreatitis. Pada hiperparatiroid terjadi peningkatan kadar hormon paratiroid,
peningkatan hormon ini akan menyebabkan sintesis 1,25 (OH)2D3 / 1,25
dihidroksi-kalsiferol yaitu suatu bahan yang diperlukan pada sintesis vitamin D
pada ginjal juga akan meningkat. Hal ini secara tidak langsung mempengaruhi
peningkatan absorbsi kalsium pada sistem gastrointestinal. Jika terjadi
peningkatan kadar kalsium pada darah, akan mengakibatkan kerusakan pada
sel-sel epitel pada organ gastrointestinal, termasuk sel-sel pada lambung dan
pankreas, menyebabkan kedua organ ini terinflamasi dan nyeri sehingga terjadi
ulkus dan pankreatitis akut. Spasme dari sumbatan pembuluh darah daerah
arteriol juga dapat menjadi faktor pencetus terjadinya pankreatitis. Penyakit
parotitis epidemik akibat virus kadang disertai amilase yang meninggi dan gejala
pankreatitis. Demikian juga virus Coxsackie dapat menyebabkan pankreatitis.
Trauma kadang dapat mencetuskan terjadinya pankreatitis. Tindakan diagnostik
secara endoskopi atau pungsi juga dapat menyebabkan pankreatitis.

A2w| 188
Etiologi.
 Penyakit batu kandung empedu
 Alkoholisme kronik.
 Infeksi, seperti : Mumps, Virus Coxsackie, Typhoid.
 Hiperkalsemia, (ex:Hiperparatiroidisme), Hiperlipidemia, Hipotermia.
 Trauma, iatrogenik
 Obat-obatan, seperti : Kortikosteroid, Kontrasepsi yang mengandung
estrogen, Azatioprin, Diuretik Tiazid.
 Penyakit vaskular, seperti : Syok, Poliarteritis nodosa, Gigitan kalajengking
 Iatrogenik, misalnya setelah ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio-
Pancreatography)
Clinical Scoring to Assess Severity of Acute Pancreatitis

Ranson criteria Imrie (Glasgow) criteria


0–2 = mild, 3–5 = moderately severe, >5 = very severe
Age >55 years Age >55 years
WBC ≥16,000 WBC >15,000
Blood glucose >200 mg/dL Blood glucose >10 nmol/L
LDH >300 IU/L Serum urea >16 mmol/L (no response to IV fluids)
SGOT >250 mm/dL Arterial oxygen saturation (PaO2) <60mmHg
During initial 48 hours During initial 48 h
Hematocrit fall >10% Serum calcium <2 mmol/L
Arterial oxygen saturation (PaO2) <60mmHg Serum albumin <32 g/L
BUN rise >5 mg/dL LDH >600 m/L
Serum Ca++ <8 mg/dL Aspartateaminotransferase/alanine
Fluid sequestration >6000mL aminotransferase >100 mm/L

DIAGNOSA
GEJALA KLINIS
 Serangan ringan : nyeri perut akut, tanda perut : ringan atau selama beberapa
hari, gejala dan tanda sistemik : kurang
 Serangan sedang :
 nyeri perut : akut atau hebat
 tanda perut : kembung atau distensi, nyeri tekan, defans muskuler ringan atau
sedang, peristaltik tidak ada atau ileus paralitik, Takikardia.
 Serangan berat :
 nyeri perut : akut atau berat sekali.
 tanda perut : peritonitis umum berupa perut kembung, nyeri tekan umum,
defans muskuler umum, peristaltik tidak ada atau ileus paralitik hebat.
 gejala dan tanda sistemik : syok dalam, toksemia berat, sindrom distres paru
akut (Acute Respiratory Distress Syndrome, ARDS).
 Biasanya berupa nyeri perut pada pertengahan epigastrium, menjalar tembus
kebelakang yang timbul secara tiba-tiba atau perlahan setelah makan
kenyang atau setelah mengkonsumsi alcohol. Nyeri berkurang bila pasien
duduk membungkuk dan bertambah bila terlentang.
 Tetani bisa ditemukan bila sudah terjadi hipokalsemia.

A2w| 189
 Muntah tanpa mual terlebih dahulu, kadang muntah terjadi saat lambung
kosong.Kira-kira 90% disertai demam, Syok terjadi bila banyak cairan dan
darah hilang di daerah retroperitoneum apalagi bila banyak muntah
 Umumnya ditemukan tanda-tanda ileus paralitik dan gangguan fungsi ginjal
akut dapat pula ditemukan. Mungkin pula ditemukan ikterus obstruksi

PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan fisik didapatkan perut tegang dan sakit terutama bila
ditekan. Bunyi usus berkurang, kira-kira 90% disertai demam, takikardi, dan
leukositosis. Syok dapat terjadi bila banyak cairan dan darah hilang di daerah
retroperitoneum atau intraperitoneum apalagi bila disertai muntah. Rangsangan
cairan pankreas dapat menyebar ke perut bawah atau ke rongga dada kiri
sehingga terjadi efusi pleura kiri. Umumnya tampak tanda ileus paralitik,
gangguan fungsi ginjal akut dapat pula ditemukan.
Mungkin pula ditemukan ikterus akibat pembengkakan caput pankreas
atau hemolisis sel darah merah yang sering rapuh pada pankreatitis akut. Tetani
dapat pula timbul bila terjadi hipokalsemia. Tanda Gray-Turner yaitu perubahan
warna di daerah perut samping berupa bercak darah, atau tanda Cullen yang
berupa bercak darah di daerah pusar, jarang terjadi. Tanda ini menunjukkan
luasnya perdarahan retroperitoneal dan subkutis. Nyeri perut, gejala dan tanda
perut lainnya serta gejala dan tanda sistemik dinilai dan dipisahkan menurut
berat ringannya serangan pankreatitis.

Cullen Sign

A2w| 190
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium.
Leukositosis (10.000 - 30.000 /μL), proteinuria, glikosuria (pada 10 - 20 %
kasus), hiperglikemia dan peningkatan serum bilirubin. Blood Urea Nitrogen
(BUN) dan serum alkali fosfatase bisa meningkat dan tes koagulasi abnormal.
Penurunan kalsium serum mengakibatkan terjadinya saponifikasi dan erat
kaitannya dengan beratnya penyakit. Kadar kalsium serum yang kurang dari 7
mg/dL (bila albumin serum normal) dikaitkan dengan tetanus dan prognosisnya
buruk. Kadar ALT (Alanin Transaminase) serum lebih dari 80 unit/L menunjukkan
pankreatitis bilier. Kadar amilase dan lipase serum meningkat, biasanya lebih
dari tiga kali dari batas normal dalam 24 jam pada 90% kasus. Pada pasien
dengan ascites dan efusi pleura kiri, kadar amilase meningkat. Peningkatan
konsentrasi C-Reactive Protein setelah 48 jam menunjukkan pankreatitis
nekrosis.
b. Radiografi.
Pada pemeriksaan foto polos abdomen, dapat ditemukan distensi yeyenum
karena paralisis segmen, distensi duodenum seperti huruf C, gambaran kolon
transversum yang gembung tiba-tiba menyempit karena spasme setempat
walaupun tidak spesifik dan juga hilangnya gambaran m.iliopsoas karena adanya
cairan retroperitoneum. Foto Toraks bisa memperlihatkan efusi pleura biasanya
dalam cavitas pleuralis kiri.
c. CT Scan. Pada pemeriksaan CT Scan abdomen ditemukan pembengkakan
karena udem pankreas jelas, pelebaran duktus, cairan sekitar pankreas, dan
mungkin batu empedu.
d. USG. Ultrasonografi bisa memperlihatkan batu empedu pada pasien yang
menderita pankreatitis batu empedu.

DIAGNOSIS BANDING.
Peningkatan kadar amilase serum bisa timbul bersama keadaan abdomen akut
yang lain, seperti : kolesistitis gangrenosa, ulkus peptikum perforata, infark
mesenterika dan obstruksi usus halus.
PENATALAKSANAAN.
Kebanyakan pankreatitis akut dapat dikelola secara konservatif. Yang
sangat penting pada pengobatan pankreatitis akut ialah pemberian cairan dan
elektrolit yang memadai yang dievaluasi melalui pemantauan diuresis,
hematokrit, volume darah, dan tekanan vena sentral. Transfusi darah diperlukan
pada pankreatitis hemoragik. Pasien harus dipuasakan untuk mengistirahatkan
pankreas dan menghindarkan refleks gastropankreatik yang menyebabkan
pelepasan gastrin. Pemasangan pipa nasogastrik penting untuk mengeluarkan
cairan lambung, mencegah distensinya dan dekompresi ileus paralitik usus.
Pemberian insulin dosis rendah diperlukan bila ada hiperglikemia, demikian
juga kalsium glukonat bila kadar kalsium serum menurun. Sedangkan manfaat
obat seperti glukagon, atropin dan inhibitor tripsin seperti trasilol diragukan
karena hasilnya tidak memuaskan.

A2w| 191
Antibiotik diberikan sebab ada kemungkinan terjadi sepsis atau abses
pankreas terutama pada pankreatitis yang berat. Untuk menghilangkan nyeri
dapat digunakan obat analgesik golongan meperedin karena morfin atau opium
menyebabkan spasme sfingter Oddi yang dapat memperberat pankreatitis.
Pengambilan batu pada saluran empedu melalui koledokotomi atau
papilotomi endoskopik sangat berguna pada pankreatitis yang disebabkan oleh
batu empedu.
Pembedahan juga diperlukan kalau ada indikasi yaitu apabila terdapat
peritonitis umum, abses pankreas atau pada keraguan diagnosis dalam
diagnosis banding dengan keadaan gawat abdomen lain yang memerlukan
pembedahan segera. Tindak bedah yang diperlukan sering cukup berupa
debrideman terbatas di jaringan pankreas dan sekitarnya yang nekrotik serta
membuka semua kantung atau rongga di sekitar pankreas, mencuci dan
membilas sebersih mungkin rongga peritoneum dari cairan pankreas disertai
pemasangan penyalir beberapa buah.

A2w| 192
KOMPLIKASI
Komplikasi pankreatitis akut ini sangat bergantung pada perjalanan
gambaran klinik. Yang paling sering terjadi ialah syok dan kegagalan fungsi
ginjal. Hal ini terjadi selain oleh karena pengeluaran enzim proteolitik yang
bersifat vasoaktif dan menyebabkan perubahan kardiovaskuler disertai
perubahan sirkulasi ginjal, juga disebabkan oleh adanya sekuestrasi cairan
dalam rongga retroperitoneum dan intraperitoneum terutama pada pankreatitis
hemoragika dan nekrotikans.
Kegagalan fungsi paru akibat pankreatitis akut kadang terjadi dan
menimbulkan prognosis yang buruk. Hal ini terjadi akibat adanya toksin yang
merusak jaringan paru yang secara klinis dicurigai bila ada tanda hipoksia ringan
sampai udem paru yang berat berupa sindrom distres paru akut (Adult
Respiratory Distress Syndrome, ARDS). Fungsi paru juga menurun akibat efusi
pleura yang biasanya terjadi di sebelah kiri. Pergerakan diafragma sering
terbatas akibat proses intraperitoneum.
Nekrosis yang kemudian menjadi abses dapat terjadi dalam perjalanan
pankreatitis akut. Proses lipolitik dan proteolitik menyebabkan trombosis dan
nekrosis iskemik sekunder sehingga mula-mula timbul massa radang atau
flegmon atau abses yang steril. Invasi sekunder akan menimbulkan abses
bakterial yang dapat menyebabkan syok septik.
Komplikasi berupa perdarahan, terutama pada pankreatitis nekrotikans
dapat menyebabkan kematian pasien. Sumber perdarahan dapat disebabkan
oleh timbulnya tukak peptik dan erosi pembuluh darah sekitar pankreas disertai
trombosis vena lienalis dan vena porta.

PROGNOSIS.
Prognosis pankreatitis akut dapat diramalkan berdasarkan tanda pada
waktu pemeriksaan pertama dan 48 jam kemudian menurut kriteria Ranson.
Dengan tabel kriteria Ranson dapat dipastikan derajat kegawatan pankreatitis
akut.
Kriteria pankreatitis akut menurut Ranson :
Pemeriksaan pertama :
- umur > 55 tahun
- sel leukosit > 15.000/mm3
- kadar glukosa > 200 mg/dl
- LDH (lakto dehidrogenase) > 35 U/I
- SGOT > 250 unit/dl
Pemeriksaan setelah 48 jam :
- hematokrit turun > 10%
- ureum darah > 5 mg/dl
- kalsium < 8 mg/dl
- saturasi darah arteri O2 turun
- defisit basa > 4 meq/l
- sekuestrasi cairan > 6 l

A2w| 193
Mortalitas pankreatitis akut sangat bergantung pada gambaran klinik dan
berkisar antara 1 sampai 75 persen. Pada setiap kriteria Ranson diberikan angka
1. Angka kematian untuk pasien yang negatif pada tiga kriteria kira-kira 5 persen,
sedangkan pasien dengan lima atau lebih kriteria positif adalah di atas 50
persen. Dengan mengenal stadium permulaan dari perjalanan serangan
pankreatitis berat akan dapat dilakukan pengelolaan yang rasional dalam
pengobatan pankreatitis tersebut.

A2w| 194
TUMOR PANKREAS
Definisi
Ca. pankreas adalah tumor maligna (ganas) yang terdapat pada pankreas.
Insidensi
Ditemukan sekitar 3-5% dari semua karsinoma dan mencapai 17% dari seluruh
karsinoma di saluran pencernaan. Pada beberapa penelitian di RSU Dr. Hasan
Sadikin misalnya didapatkan 0,19 % pasien dengan perbandingan antara pria
dan wanita adalah 1,6 : 1, dengan distribusi umur terbanyak 50-59 tahun.
Etiologi.
Penyebab pasti belum diketahui, namun beberapa faktor risiko eksogen dan
endogen diduga dapat merupakan timbulnya karsinoma pankreas ini.
1. faktor risiko eksogen
beberapa faktor resiko eksogen diantaranya ; kebiasaan makan tinggi lemak
dan kolesterol, pecandu alkohol, kebiasaan merokok, kebiasaan minum kopi,
dan beberapa zat karsinogenik.
2. Faktor resiko endogen
Beberapa faktor risiko endogen yang disebut-sebut, antara lain; genetik,
penyakit diabetes melitus, pankreatitis kronik, kalsifikasi pankreas, dan
pankreatolitis.
Lokalisasi
Karsinoma pankreas banyak ditemukan di kaput kurang lebih 70%, selanjutnya
di korpus kurang lebih 20%, dan sisanya kurang lebih 10% dikauda.
Patologi
Beberapa tumor ditemukan sangat besar dan sulit direseksi. Secara histologi
merupakan adenokarsinoma, sebagian besar asal sel duktal 81,6%, sebagian
kecil asal sel asiner 13,4% dan sisanya 5% tidak dapat dideterminasi.
Penyebaran tumor dapat langsung ke organ disekitarnya, atau melalui pembuluh
darah kelenjar getah bening. Metastasis lebih sering ke hati, ke kelenjar getah
bening sekitarnya, peritoneum dan paru. Metastasis yang agak jarang ke
adrenal, ginjal, lambung duodenum, usus halus, kandung empedu, limpa, pleura,
dan diafragma. Karsinoma di kaput pankreas lebih sering menimbulkan
sumbatan pada saluran empedu sehingga menjadi kolestatis ekstrahepatal. Di
samping itu akan mendesak dan menginfiltrasi pada duodenum, yang dapat
menimbulkan perdarahan di duodenum. Karsinoma yang letaknya di korpus dan
kauda, lebih sering mengalami metastase ke hati. Khususnya untuk karsinoma di
kauda selain metastase ke hati, juga dapat menyebabkan metastase ke limpa.
Gejala klinis
Pada stadium dini umumnya tidak memberikan gejala/keluhan atau samar-
samar, misalnya mual-muntah, kembung, tidak enak pada ulu hati seperti gejala
panyakit lambung. Pada umumnya keluhan timbul pada stadium lanjut, dan
tergantung pada lokalisasinya. Pada karsinoma kaput biasanya timbul ikterus
koletatik ekstrahepatik (75-90%), yang makin lama makin bertambah kuning,
berat badan turun secara cepat. Karsinoma pada korpus dan kauda
gejala/keluhannya juga samar-samar seperti sakit lambung yang berlangsung

A2w| 195
berbulan-bulan, semakin lama bertambah parah dengan keluhan bertambah
berat, mual muntah dan badan mengurus. Secara umum gejala/ keluhan yang
timbul biasa berupa; berat badan yang turun, nyeri perut, kehilangan nafsu
makan, ikterus, mual, kelemahan, malaise, muntah, diare, gangguan
pencernaan, nyeri punggung, pucat, dan nampak depresi. Perasaan nyeri seperti
ditusuk-tusuk ini akan berkurang bila penderita duduk sambil membungkukkan
badan. Kadang ditemukan obstruksi pilorus/duodenum karena tekanan dari luar,
tromboplebitis migrans, timbul perdarahan gastrointestinal, berupa perdarahan
tersembunyi atau melena. Perdarahan tersebut terjadi karena erosi duodenum
yang disebabkan oleh tumor pankreas, steatore karena obstruksi duktus
pankreatikus, dan dibetes melitus.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan teraba massa tumor didaerah
epigastrium. Letak pankreas pada retroperitoneal, berarti kalau teraba tumor
didaerah ulu hati, tumornya sudah sangat besar, dan kadang-kadang teraba
pembesaran kandung empedu (tanda Courvoisier positif). Bila ditemukan asites
berarti sudah terjadi invasi kedalam peritoneum, dan biasanya cairannya
hemoragis, kalau ditemukan hepatomegali yang keras irreguler berarti sudah
metastase ke hati. Terjadi thromboflebitis yang berpindah (Trousseau Sign) dan
trombosis vena.
Klasifikasi
Secara histologi karsinoma pankreas diklasifikasikan dalam 5 macam yaitu;
adenocarcinoma, squamous cell carcinoma, cystadenocarsinoma, acinar cell
carcinoma, dan undifferentiated carcinoma. Sedangkan berdasarkan klasifikasi
TNM sistem, tingkatan (staging) karsinoma pankreas, yaitu :

A2w| 196
Penunjang
Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin umumnya masih dalam batas normal, hanya LED
yang meningkat. Sering memperlihatkan tanda-tanda anemi, dengan penurunan
kadar hb dan hematokrit. Selain itu kadar gula darah kadang meningkat. Serum
amilase dan lipase mengalami peningkatan. Namun kadar lipase lebih sering
meningkat dibandingkan serum amilase. Karsinoma pankreas terutama di kaput
sering menyebabkan sumbatan di saluran empedu, karena itu perlu di lakukan
pemeriksaan faal hati. Dapat ditemukan kenaikan kadar serum bilirubin terutama
bilirubin konjugugasi ( direk), alkali fosfatase, dan kadar kolesterol sedangkan
serum transaminase yaitu SGOT dan SGPT sedikit naik.
Pemeriksaan serologis terhadap petanda tumor (tumor marker) perlu
dilakukan antara lain terhadap CEA (carcino embryonic antigen), kadang-
kadang terdapat kenaikan. Petanda tumor yang lain yaitu CA 19-9
(carbohydrate antigen determinant 19-9) merupakan antibodi monoklonal
yang mempunyai sensitifitas tinggi untuk adenokarsinoma saluran cerna
termasuk karsinoma pankreas. Beberapa petanda tumor yang lain adalah POA
(pancreatic oncofetal antigen), AFP (alfa feto protein), dan CA 242.
Radiologi.
Ultrasonografi
Dikenal dua tanda pokok dari karsinoma pankreas, yaitu :
1. Tanda primer
- pembesaran lokal dari pankreas yang ireguler
- densitas gema dari massa yang tampak rendah homogen atau heterogen
- pelebaran saluran pankreas yang sebagian besar disebabkan oleh kanker
dibagian kaput pankreas.
2. Tanda sekunder
Sebagai akibat pembesaran massa di pankreas, yaitu; stasis bilier, pelebaran
saluran empedu intra dan ekstrahepatal serta pembesaran kandung empedu.
Computed tomography
Untuk karsinoma yang letaknya di kaput akan tampak pembesaran kaput
yang ireguler, disertai pelebaran duktus koledokus dan duktus pankreatikus.
Pancreatic biopsi
Dituntun oleh USG atau CT-scan dengan menggunakan aspirasi jarum
skinny needle.
A2w| 197
Pembedahan
Sebelum terapi bedah dilakukan, keadaan umum diperbaiki dengan
mengoreksi nutrisi, anemi, dan dehidrasi. Pada ikterus obstruksi total, dilakukan
penyaluran empedu transhepatik (percutaneus transhepatic biliary drainage =
PTBD) sekitar satu minggu pra bedah. Tindakan ini bermanfaat memperbaiki
fungsi hati.
Operasi standar untuk lesi pada cauda atau corpus pankreas adalah parsial
pankreatektomi. Sedangkan lesi di kaput dilakukan pankreatikoduodenostomi
atau prosedur Whipple. Operasi Whipple ini dilakukan untuk tumor yang masih
terlokalisir yaitu pada karsinoma sekitar ampula vater, duodenum, dan duktus
koledokus distal. Pada karsinoma pankreas yang sudah tidak dapat direseksi lagi
karena invasi keluar hulu pankreas atau metastasis limfe, dilakukan prosedur
paliatif.

Radioterapi
Terapi radiasi biasanya banyak digunakan pada keadaan setelah
pembedahan, namun secara umum ketentuan dilakukannya penyinaran ini yaitu;
1. Sebagai kelanjutan dari tindakan pembedahan yang tanpa penyakit sisa,
tetapi berpotensi tinggi terjadinya rekurensi.
2. Baik secara makroskopis atau mikroskopis keadaan penyakit ini memiliki sisa
yang ditinggalkan setelah operasi.
3. Tumor ini dibertimbangkan untuk dilakukan reseksi atau masih sulit dilakukan
reseksi lokal dan belum bermetastasis jauh.
Penyinaran yang dilakukan ini biasanya menggunakan cobalt. Namun
belakangan ini digunakan penyinaran dengan tegangan tinggi misalnya; neutron
aselator, generator betatron, atau siklotron yang lebih baik dari cobalt.
Kemoterapi
Pemberian kemoterapi pada carcinoma pankreas yang dianjurkan ialah
kepada mereka yang dilakukan terapi paliatif atau terapi dekompresi. Obat
kemoterapi yang yang diberikan yaitu; 5-fluorourasil (26% respon), mitomycin
(27% respon), streptozotocin (11% respon), lomustine (15% respon), dan
doksorubisin (8% respon), dalam pengobatan dengan kemoterapi ini, untuk
meningkatkan respon keberhasilan dilakukan kombinasi dari masing-masing
obat tersebut.

A2w| 198
Trimodalitas terapi
Pengobatan melalui kombinasi dari pembedahan, radiasi dan kemoterapi
ini, untuk pasien karsinoma pankreas sedikit menjanjikan.
Pengobatan yang dilakukan berupa pembedahan yang dilanjutkan radiasi 45-48
Gy dengan 5-fluorourasil yang diberikan bersama infus setelah dilakukan bolus
intavena. Selain itu kemoterapi dan radiasi dilakukan sebagai lokal kontrol
sebelum dilakukan pembedahan pada tumor yang sulit untuk direseksi.
Paliatif
Pengobatan paliatif yang dilakukan diantaranya tindakan bedah yang pada
prinsipnya menghilangkan sumbatan yang menyebabkan ikterus atau sumbatan
pada duodenum, berupa biliary enteric bypass atau gastroenteric bypass dengan
koledoko-yeyunostomi maupun gastro-yeyunostomi.
Pengobatan paliatif yang lain yaitu menghilangkan rasa nyeri dengan
analgetik farmakoterapi atau dilakukan celiac pleksus blocks yang lebih efektif.
Terapi radiasi juga digunakan dalam membantu mengurangi rasa nyeri dan
sering digunakan dalam menghilangkan gejala metastasis yang ditimbulkan.
Prognosis
Pada umumnya pasien karsinoma pankreas yang datang berobat sudah
berada dalam fase lanjut dan sudah berkomplikasi, sehingga tidak mungkin
dilakukan tindakan pembedahan atau tindakan yang lain hidupnya diperkirakan
kurang dari 1 tahun.
Sedangkan pasien dengan karsinoma pankreas yang bisa dilakukan reseksi atau
tindakan pembedahan yang dilanjutkan dengan kemoterapi dan radiasi, pada
beberapa pasien memiliki kemungkinan kesembuhan atau masa hidup pasien
dapat ditingkatkan kurang lebih 5 0%.

A2w| 199
TRAUMA PANKREAS
ETIOLOGI
1. Trauma Tumpul  Kebanyakan terjadi akibat kecelakaan
2. Trauma Tajam Biasanya akibat luka tembak, tergantung pada jenis, bentuk
dan kecepatan peluru
MEKANISME TRAUMA
 Akibat akselerasi & deselerasi :
 Daya kinetik yang kompleks : bentuk luka dapat remuk, terpotong atau pecah
 Akibat Pukulan ke epigastrium  menyebabkan kompresi antara vertebra krn
hentakan dengan benda yg di depan  trauma pankreas
 Akibat Luka Tembak : Tipe dan kecepatan peluru, Jarak tembak

DIAGNOSA
Anamnesis :
- Riwayat post trauma  pada abdomen bag atas (daerah epigastrium) e.c
benturan langsung, trauma tajam, trauma tembus,
- Perhatikan MIST : 1. Mechanism of injury
2. Injury sustain
3. Symptom
4. Treatment

A2w| 200
Pemeriksaan Fisik :
- Status hemodinamik : TD, N, R, S
- Jejas atau kontusio jaringan pada daerah abdomen atas (daerah epigastrium)
- Waspada  bila ada fraktur iga 9-12, tanda2 peritonitis
- Pemeriksaan cedera terkait  abdomen, pelvis, ekstremitas dan thoraks
Pemeriksaan Laboratorium :
- Pemeriksaan Amylase serum
- Pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum, kreatin, amylase, dan lipase
- Pemeriksaan Urinalisa
- Fungsi pankreas  dari pemeriksaan kadar asam bikarbonat dan produksi
enzim pankreas

Prinsip penatalaksanaan trauma pankreas :


- Ada atau tidak adanya cedera pada saluran pankreas mayor (cedera duktus)
- Lokasi anatomi pankreas yang mengalami trauma
Keberhasilan terapi ditentukan oleh :
- Diagnosis dini, Beratnya trauma dan tingkat keparahan, kemungkinan
komplikasi setelah operasi, Tindakan bedah segera (cyto laparotomy) dengan,
tujuan untuk menghentikan perdarahan, Mencegah infeksi (kontaminasi bakteri),
Untuk menentukan anatomi/lokasi trauma, Reseksi jaringan yang sudah mati
(nekrosis), Sedapat mungkin menyisakan 20% jaringan pancreas, Drainase
eksternal yang adekuat.
ALGORITME PENANGANAN TRAUMA PANKREAS (ACS)
Pasien dgn kemungkinan Trauma Pankreas
-Riwayat trauma atau pukulan langsung pada epigastrium
atau abdomen bag. atas
-Periksa serum Amylase
-Periksa USG Abdomen dan CT Scan IV kontras
dapat diulang jika perlu
-Bila ada kecurigaan trauma pankreas : lakukan
laparatomi untuk inspeksi dan penentuan derajat cedera

Grade I atau II Grade III


(Transeksi distal atau bila ada cedera Grade V
(Simple contussion/ (Cedera masif pada kaput
Laserasi Superfisial/ duktus)
- Operatif : pankreas dan cedera
Simple Hematoma) duktus)
Distal Pancreatectomy 
-Non Operatif : dengan atau tanpa menyisakan Lien
- Inspeksi dan pastikan (menyisakan Lien khusus dipertimbang Pilihan terapi :
ada atau tidak adanya kan -Operatif :
cedera duktus Roux-en-Y duodenoyeyunostomi Pankreatikoduodenektomy
-Observasi dan pasang drain : proksimal dari lokasi cedera & (Whipple Procedure)
 Drain Penrose overheacting pada distal duodenum
 Drain Sump

Grade I V Transeksi proksimal atau cedera parenkhim dan


ampulla Vateri
1.Pasien yg Tidak Stabil : atasi perdarahan dan drainase
- Selanjutnya dilakukan Pem. ERCP (postoperatif) cedera
duktus mayor (+/-) kemudian stenting saluran pankreas
2.Pasien yg Stabil :
-Jika terdapat cedera pada kel. Pankreas yg sehat  Simple Eksternal
Drainase
-Roux-Y anastomosis distal pankreas dengan sisi jejunum (end to side)
- Dapat dipertimbangkan Eksklusi pyloric

A2w| 201
ALGORITME PENANGANAN TRAUMA PANKREAS

Suspected acute pancreatic trauma

Haemodynamically stable Haemodinamically Unstable

CT (with oral and IV contrast) SURGERY

Normal/contused Pancreatic Trauma


Pancreas

Persistent Associated
STABLE
symptoms Major Injury

Elective Surgical workup

Conservative
management ERP

No Duct Partial disruption/ Duct Disruption


Disruption stricture

Conservative
Consider Stent SURGERY
Management

CEDERA PANKREOTIKODUODENAL
Feliciano dkk mengusulkan :
Grade I II tanpa cedera duktus pankreatikus  perbaikan primer & drainase
Grade III, melibatkan pankreas:
reseksi ke 2 organ, eksklusi pylorus, gastroyeyunostomi, penutupan stump
Grade IV & V  Pankratikoduodenektomi
Cedera ekstensi lokal intraduodenal/duktus biliaris intrahepatik
pankreatikoduodenektomi. Cedera lokal kurang ekstensif stenting
intraluminal,spincteroplasty dab reimplantasi ampulla vater
DIVERTIKULASI DUODENUM
Pertama kali diperkenalkan oleh Berne dkk (1968) pada kasus cedera
pankreatikoduodenal
Tujuannya:
 mengeksklusi duodenum yang sedang diperbaiki dan menjadi jalan dari isi
gaster

Terdiri dari :
Antrektomi + Gastroyeyunostomi + Trunkal vagotomi +
Tube duodenostomi + Drainase eksternal +
Tube Koledokostomi ( bila terdapat cedera pada ampulla)

A2w| 202
PENATALAKSANAAN
GRADE I dan GRADE II
Non Operatif : Hanya membutuhkan observasi dan
drainase

GRADE I I I
Dilakukan reseksi pankreatik (Distal
Pankreatectomy) Dengan atau tanpa splenectomy

GRADE I V
Dilakukan Simple Eksternal Drainase Roux-en-Y
Pancreaticojejunostomy(side to side) anastomosis

GRADE V
Management yang Optimal masih dirembungkan
Pancreaticoduodenostomy (Whipple Procedure)

A2w| 203
KOMPLIKASI
Fistula
 Output drain yg terukur dengan kadar Amylase serum 3x lebih tinggi dari
normal
 Terjadi krn cedera duktus pankreastikus
 Komplikasi terbanyak >>>
 Persentase 7%-20%
Abses
 Insiden : 10%-25%
 Dekompreasi perkutaneus atau operasi dini  evakuasi sangat penting
 Ditangani dgn drainase dan debridement
 Drainase perkutaneus dpt membedakan antara abses dengan pseudocyst
 Mortalitas 25%
Pankreatitis :
 Ditandai dengan nyeri abdomen transient dan peningkatan amylase serum
 Ditangani dengan : dekompresi nasogastrik, istirahatkan usus dan nutrisi
 Komplikasi jarang  < 2%
 Mortalitas 80%  penanganan tidak efektif
Pseudocyst :
 Biasanya terjadi pd penangan non operatif
 Tergantung dengan ada atau tidak adanya cedera pada duktus
- Bila duktus intak : drainase perkutaneus
- Bila duktus cedera : ERCP dilakukan sebelum drainase perkutaneus
1. Eksplorasi ulang dan reseksi kel. parsial
2. Drainase Roux-en-Y internal pada kel. Distal
3. Endoscopic Transpapillary Stenting
Dekompresi  Bila ukuran > 10 cm

A2w| 204
LIEN
ANATOMI
Limpa dalam perkembangannya berasal dari bagian mesenkim pada dorsal
mesogastrium, terletak pada kuadran kiri atas dorsal di abdomen pada
permukaan bawah diafragma, terlindung oleh iga delapan sampai sebelas
dengan dibatasi ginjal kiri pada posterior, diafragma di superior, fundus dari
lambung dan fleksura splenikus dari kolon pada bagian anterior. Berat rata-rata
limpa pada orang dewasa berkisar 75-100 g dengan ukuran 12x7x4 cm. Ligamen
penyokong limpa yaitu ligamen splenophrenic, splenorenal, splenocolic dan
gastrosplenic. Ligamen ini bersifat avaskuler kecuali gastrosplenic yang berisi
pembuluh-pembuluh darah kecil dari lambung. Arteri splenikus berasal dari aksis
seliak sementara vena-vena splenikus bergabung dengan vena mesenterika
superior membentuk vena porta.

Anatomi dari Limpa


A2w| 205
FISOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Secara fisiologis fungsi limpa sebagai salah satu organ sistem
retikuloendotelial dalam tubuh adalah :
1. Berfungsi sebagai filter. Tempat pembersihan dari eritrosit yang abnormal dan
yang telah cukup umur, leukosit abnormal dan trombosit yang normal dan
abnormal
2. Fungsi imunologis. Memproduksi opsonin, membentuk antibodi dan proteksi
terhadap infeksi.
3. Fungsi penyimpanan. 1/3 dari trobosit pada tubuh tersimpan pada limpa.
Keadaan patologis dapat terjadi karena 2 faktor utama yaitu peningkatan
kemampuan destruksi terhadap komponen-komponen darah dan produksi
antibodi yang terikat langsung terhadap komponen-komponen darah sehingga
meningkatkan proses destruksi berbagai komponen darah. Hipersplenisme
merupakan suatu keadaan dimana terjadi aktivitas yang berlebihan terhadap
fungsi limpa menyebabkan meningkatnya kemampuan eliminasi terhadap
seluruh komponen seluler dan sirkulasi.
Pada limpa kira-kira 20 ml sel darah merah yang tua didestruksi setiap
harinya, sedangkan neutrofil dieliminasi dari sirkulasi dengan waktu paruh 6 jam.
Nutropenia dapat terjadi pada beberapa keadaan hipersplenisme karena
meningkatnya sekuestrasi atau kemampuan eliminasi terhadap granulosit.
Trombosit dapat bertahan selama 10 hari dalam sirkulasi. Sepertiga dari total
trombosit disekuestrasi dilimpa dan hampir 80% dapat disekuestrasi jika terjadi
hipersplenisme. Pasien-pasien yang telah menjalani post splenektomi jumlah
trombositnya dapat mencapai 1 juta sel/mm3 yang mana hal ini dapat
menyebabkan trombosis intravena. Suatu kelainan imunologik tanpa
hipersplenisme (contoh idiophatic trombositopenia purpura) dapat juga
meningkatkan kemampuan sekuestrasi.

A2w| 206
TRAUMA LIMPA

Clacification Limpa Injury American Association For The Surgery Of Trauma (Aast)
Grade I Hematom: subkapsuler, tidak meluas, mencakup kurang
dari 10% permukaan limpa
Laserasi: robekan kapsuler, tanpa perdarahan,
mencakup kurang dari 1 cm dalamnya parenkim

Grade II Hematom:subkapsuler,intraparenkimal, mencakup 10-


50% permukaan limpa, diameter kurang dari 5 cm
Laserasi:robekan kapsuler, perdarahan aktif, mencakup
1-3 cm cm dalamnya parenkim

Grade III Hematom: subkapsuler, luasnya > 50%


permukaan,ruptursubkapsuler,hematom dengan
perdarahan aktif, hematom intraparenkim > 5 cm atau
meluas
Laserasi: > 3 cm dalamnya parenkim / melibatkan
trabekula

Grade IV Hematom:rupture intraparenkimal hematom dengan


perdarahan aktif Laserasi: laserasi melibatkan
segmental atau hilus ( melebihi 25% dari limpa)

Grade V Laserasi: limpa hancur


Vaskuler: trauma vaskuler hilus yang memvaskularisasi
limpa

A2w| 207
PENANGANAN
Ada 3 pilihan, yakni nonoperatif, splenic salvage (repair bagian yang cedera atau
splenektomi parsial), atau splenektomi. Splenic salvage tidak dilakukan pada
pasien multitrauma dengan cedera intraabdomen multiple.
Penanganan Cedera Limpa Pada Anak
Penanganan nonoperatif merupakan penanganan primer pada anak. Syaratnya
bila hemodinamik stabil, keperluan transfusi kurang dari 40 mL/kgBB dan tidak
ada cedera intraabdomen lain yang memerlukan eksplorasi.
Penanganan Cedera Limpa Pada Dewasa
Kriteria: Bila hemodinamik stabil, keperluan transfusi minimal (kurang dari dua
kantong darah), tidak ada cedera pada organ intraabdomen lain dan kemampuan
mengadakan pemeriksaan abdomen serial. Splenorafi dilakukan pada trauma
limpa dengan hemodinamik yang stabil, adanya cedera intraabdomen lain dan
sesuai dengan grading trauma limpa. Grade I dan II ditangani dengan agen
hemostatik topikal yakni dengan koagulator argon beam dan jahitan matras
diatas Teflon. Grade III dan IV memerlukan mobilisasi untuk memaparkan hilus.
Splenektomi parsial dapat diindikasikan pada grading ini. Membungkus limpa
dengan mesh absorbel juga telah sering dilakukan. Total splenektomi juga
dilakukan bila terjadi ruptur limpa grade V, pasien dengan cedera lain yang
mengancam jiwa dan bila hemostasis tidak dapat dijamin setelah splenorafi atau
parsial splenektomi.
Cathey dkk.  Curiga ruptur limpa segera dioperasi bila ada tanda meliputi
hipotensi (Tekanan darah sistol < 90 mmHg), takikardi (heart rate > 100x/mnt),
hematokrit < 30%, protrombin time >14 detik, cedera multipel dan memerlukan
transfusi darah.

Splenic salvage
A2w| 208
Blunt abdominal trauma and
suspected spleen injury

Stable patient Unstable patient

Diagnostic imaging DPL

Laparos USG CT Scan + - + -


copy

Documented splenic Other significant OR AP pelvis


isolated injury visceral injury X ray

Class I Class III Normal abNormal


Class II Class IV
Class V

Abdominal
Non Angiography Operative Non
angiography
Op. management Op.

Algoritme penanganan trauma limpa


KOMPLIKASI
Komplikasi Manajemen Nonoperatif
Komplikasi paru berupa atelektasis, pneumoni dan efusi paru kiri sering terjadi
pada penanganan operatif. Hal ini berhubungan dengan trauma dada-paru
penyerta. Pasien usia lanjut sangat beresiko untuk terjadi tromboemboli paru.
Komplikasi Postoperatif
Atelektasis, pneumoni dan efusi pleura kiri paling sering. Abses subphrenikus
terjadi 3-13% bila disertai trauma usus dan pemasangan drain. Perdarahan.
Akibat kesalahan teknis dalam mengikat a. gastrica brevis atau pembuluh darah
pada hilus. Perdarahan lambat dapat terjadi hingga 45 hari setelah operasi.
Diatasi dengan transfusi, operasi ulang maupun keduanya. Pankreatitis dapat
terjadi karena trauma operasi maupun trauma awal. Trombositosis biasanya
terjadi pada hari ke 2-10 dan menjadi normal kembali pada minggu ke 2 – 12.
Dapat meningkatkan resiko trombosis vena dalam dan emboli paru. Infeksi
serius pasca operasi limpa berkisar 8%. Usia pasien, semakin parahnya trauma
penyerta, adanya cedera pankreas, kolon, SSP dan tulang meningkatkan
komplikasi ini. Kista postraumatik (pseudokista), kista yang kecil-asimptomatik (<
5cm) akan hilang sendiri namun yang besar (>5cm) berpotensi ruptur.

A2w| 209
PROFILAKSIS POST SPELENEKTOMI
Overwhelming post splenektomi Infection (OPSI) ditandai oleh onset akut
mual, muntah dan kebingungan hingga koma dan pasien biasanya meninggal
dalam beberapa jam bila tidak ditangani dengan baik. Penyebab tersering adalah
Streptococcus pneumonia, Meningococcus, Escherichia coli, Haemophilus
influenzae dan Staphylococcus. Hipoglikemi berat, Gangguan elektrolit dan DIC
sering dijumpai pada kasus ini. Insidens post splenektomi sepsis hanya berkisar
0,03-0,8% namun mortalitas mencapai 70%.
Post splenektomi sebaiknya diberi Pneumovax, Meningovax, dan vaksin HIB
dalam 48 jam sebelum operasi dan antibiotik profilaksis berupa amoksisilin 250
mg sekali sehari atau penisilin 250 mg dua kali sehari atau eritromisin 250 mg
sekali sehari atau 1,2 juta unit Bicillin / injeksi setiap bulan selama 2-5 tahun.
DIAGNOSTIC PERITONEAL LAVAGE (DPL)
- Root dkk. (1965)
- DPL (+) jika teraspirasi 10 mL darah atau dengan mikroskop didapatkan
eritrosit >100.000/mm3 atau leukosit >500/mm3
- DPL (+) = 30-40 mL darah dalam rongga peritoneum
- DPL cukup sensitif namun tidak spesifik
USG sensitif terhadap akumulasi darah min. 300 mL

A2w| 210
APPENDICITIS
ETIOLOGI.
Diet Rendah Serat.
Diet rendah serat dapat menyebabkan feses menjadi memadat, lebih
lengket dan makin membesar, sehingga membutuhkan proses transit dalam
kolon yang lama.
Obstruksi.
Obstruksi berakibat terjadinya proses inflamasi, sekresi mukosa yang
terhambat keluar dan terkumpul selama adanya obstruksi lumen apendiks
menyebabkan distensi lumen sehingga timbul peningkatan tekanan intraluminer
dan akibatnya terjadi obstruksi arterial-vena, iskemia dan kongesti dinding
apendiks, hipoksia, serta terjadinya infeksi anaerob.
Infeksi Bakteri dan amuba.
Beberapa penelitian berpendapat bahwa Entamoeba histolytica, Trichuris
trichiura, dan Enterobius vermikularis yang berkembang di kripte glandula
intestinal dapat menyebabkan erosi mukosa apendiks dan perdarahan. Parasit
ini memproduksi ensim yang dapat menyebabkan nekrosis mukosa sehingga
terjadi.
PATOFISIOLOGI.
Pada keadaan normal tekanan intra lumen apendiks antara 15 – 25 cmH2O dan
meningkat menjadi 30 – 50 cmH2O pada waktu kontraksi. Pada keadaan normal
tekanan intra lumen sekum antara 3 – 4 cmH2O, sehingga terjadi perbedaan
tekanan yang berakibat cairan di dalam lumen apendiks terdorong masuk
sekum. Mukosa normal apendiks dapat mensekresi cairan 1-2 ml dalam 24 jam.
Apendiks juga berperan sebagai sistem immun pada sistem gastrointestinal
(GUT). Sekresi immunoglobulin diproduksi oleh Gut-Associated Lymphoid
Tissues (GALT) dan hasil sekresi yang dominan adalah IgA. Imunoglobulin ini
sangat efektif sebagai pelindung infeksi. Antibodi ini mengontrol proliferasi
bakteri, netralisasi virus, dan mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen
intestinal lainnya. Pemikiran bahwa apendiks adalah bagian dari sistem GALT
yang mensekresi globulin kurang banyak berkembang. Jaringan limfoid pertama
kali terlihat di submukosa apendiks sekitar 2 minggu setelah kelahiran. Jumlah
jaringan limfoid meningkat selama pubertas, dan menetap dalam waktu 10 tahun
berikutnya, kemudian mulai menurun dengan pertambahan umur. Setelah umur
60 tahun, tidak ada jaringan limfoid yang terdapat di submukosa apendiks.
Namun demikian pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun
tubuh, sebab jaringan limfoid disini kecil jika dibandingkan jumlah di saluran
pencernaan dan seluruh tubuh (Norton J. 2001; Labeda I., 1998).
Namun yang paling sering menyebabkan obstruksi lumen apendiks adalah
fekalit dan hiperplasia jaringan limfoid yang menimbulkan ulserasi mukosa
sampai kerusakan lapisan dinding apendiks, terjadi perpindahan kuman dari
lumen masuk kedalam submukosa maka terjadilah keadaan yang disebut
apendisitis fokal (apendisitis kataralis). Dengan adanya kuman dalam
submukosa maka tubuh akan bereaksi berupa peradangan supurativa yang

A2w| 211
menghasilkan pus maka terjadilah keadaan yang disebut apendisitis
supuratif/plegmenosa. Keluarnya pus dari dinding yang masuk ke dalam lumen
apendiks akan mengakibatkan tekanan intraluminer meningkat, sehingga
desakan pada dinding apendiks bertambah besar menyebabkan gangguan pada
sistem vasa dinding apendiks. Mula-mula akan terjadi penekanan pada vasa
limfatika, kemudian vena dan terakhir arteri, akibatnya terjadi edema dan
iskemia, infark, lalu menjadi gangren didaerah antemesenterial yang relatif
miskin vaskularisasi. Gangren biasanya di tengah-tengah apendiks dan
berbentuk ellipsoid. Keadaan ini disebut apendisitis gangrenosa. Proses awal ini
terjadi dalam waktu 12 – 24 jam pertama. Bila keadaan ini akan terus berlanjut
dimana dinding apendiks akan mengalami perforasi, sehingga material
intraluminer yang infeksius akan tercurah kedalam rongga peritoneum. Hasil
akhir dari proses peradangan tersebut tergantung dari kemampuan organ dan
omentum untuk mengatasi infeksi tersebut, apabila fungsi omentum baik, tempat
yang mengalami perforasi akan ditutup oleh omentum (“Walling off “), maka
terjadilah infitrat periapendikular. Apabila terjadi pernanahan maka akan
terbentuk suatu rongga yang berisi nanah di sekitar apendiks, terjadilah abses
periapendikular. Apabila omentum belum berfungsi baik, material infeksius akan
menyebar di sekitar apendiks dan terjadi peritonitis lokal. Namun jika infeksi tidak
bisa diatasi akan terjadi peritonitis umum. Pada anak-anak omentum belum
berkembang dengan sempurna, sering mengakibatkan apendiks cepat
mengalami komplikasi.

Skematis Proses Immunologis (Reeves G.,2009).

Apendisitis rekurens adalah apendisitis secara klinis memberikan serangan


berulang, durante operasi maupun pemeriksaan histopatologis didapatkan tanda
peradangan akut. Apendisitis khronis adalah apendisitis secara klinis serangan
sudah lebih dari 2 minggu, penemuan durante operasi maupun pemeriksaan
histopatologis ditemukan inflamasi khronis berupa perlekatan, tertekuk, terputar,
kinking, stenosis partial, berisi mucus, atau fragmentasi oleh jaringan parut.
A2w| 212
Infeksi / Obstruksi Lumen, dll

Bendungan aliran mucus mukosa



↑ Tekanan intra lumen apendik
↓ Appendisitis Akut
Gangguan aliran darah Kataralis,Plegmenosa

Edema dan ulserasi mukosa

Obstruksi Vena, Tranlokasi kuman


Apendik Supuratif

Peradangan Peritonuem

Gangguan Aliran Arteri


Infark Dinding Apendik Apendik Ganggrenosa
Ganggren

Dinding Apendik Rapuh


Mikro / Makro Perforasi

Mekanisme Walling Off

Berhasil Gagal

Peri Apendikular Infiltrat General Peritonitis

Patofisiologi Apendisitis

ANATOMI
Apendiks vermiformis merupakan tabung berukuran sekitar jari kelingking
dengan panjang kira-kira 10 cm terletak di ileosekal, berpangkal di sekum.
Suplai darah apendiks berasal dari a. apendikularis yang merupakan cabang dari
arteri ileocoelica. Arteri ini berjalan disepanjang mesoapendiks posterior sampai
ileum terminal. Arteri apendikularis merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri
ini tersumbat akan terjadi trombosis pada infeksi apendiks maka akan
menyebabkan gangrene. Persarafan apendiks terbagi atas persarafan simpatis
dan parasimpatis. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n. vagus yang
mengikuti a. mesenterica superior dan a. apendikularis. Sedangkan persarafan
simpatis berasal dari n. thoracalis. Karena itu nyeri viseral pada apendiks
bermula disekitar umbilicus.

A2w| 213
Mc.Burney Point, Insisi,Variasi letak Apendik dan vaskularisasi

DIAGNOSA

A2w| 214
A2w| 215
A2w| 216
HERNIA
Pendahuluan
Canalis Ingunalis merupakan saluran oblik yang melewati bagian caudal
dinding anterior abdomen yang dilewati struktur-struktur menuju ke dan dari
testis ke cavum abdomen pada pria. Pada wanita saluran ini dilewati oleh
ligamentum rotundum uteri, dari uterus ke labium majus.
Canalis Inguinalis panjangnya sekitar 1,5 Inch (4 Cm) pada orang dewasa dan
terbentang dari anulus inguinalis profundus, suatu lubang pada fascia transversa
abdominis berjalan turun sampai anulus inguinalis superficialis, suatu lubang
pada aponeurosis m. obliquus externus abdominis. Canalis Inguinalis terletak
sejajar dan tepat dicraniall ligamentum inguinale.
Pembentukan Canalis inguinalis
Sebelum desensus testis dan ovarium dari tempat asalnya yang terletak
tinggi didinding posterior abdomen (L1), terbentuk diverticulum peritonealis yang
dinamakan processus vaginalis. Processus vaginalis berjalan melalui lapisan-
lapisan bagian caudal dinding anterior abdomen, melalui fascia transversalis
pada anulus inguinalis profundus membentuk fascia spermatica interna. Waktu
berjalan melalui bagian caudal m. obliquus internus abdominis, ia membawa
segian serabut bagian caudal yang membentuk m. cremaster. Serabut-serabut
tertanam dalam fascia, dan selubung tubular yang keduanya dikenal sebagai
fascia cremasterica.
Processus vaginalis melewati dicaudal serabut-serabut m. tranversus
abdominis yang melengkung, oleh karena itu tidak mendapat selubung dari
lapisan-lapisan abdomen. Waktu mencapai aponeurosis m. obliquus externus
abdominis, ia melakukan evaginasi pada aponeurosis ini dan membentuk anulus
inguinalis superficialis dan mendapat selubung fascia fascia tubular ketiga, fascia
spermatica externa. Dengan cara ini terbentuk kanalis inguinalis.
Pada pria testis mengalami desensus melalui pelvis dan canalis inguinalis
selama bulan ke tujuh dan ke delapan kehidupan fetal. Rangsang normal untuk
desensus testis adalah testosteron yang disekresi oleh testis fetus. Testis
mengikuti gubernaculum dan mengalami desensus di belakang peritoneum pada
dinding posterior abdomen. Testis kemudian berjalan dibelakang prosessus
vaginalis dan menarik saluran, pembuluh darah dan saraf dan pembuluh limfe
kecaudal. Akhirnya testis terletak pada scrotum yang sedang berkembang
menjelang akhir bulan kedelapan.
Karena testis dan pembuluh-pembuluh, saluran dan sebagainya yang
menyertainya mengikuti jalan yang sebelumnya diambil oleh prosessus vaginalis,
mereka mendapat tiga selubung yang sama waktu mereka berjalan melalui
canalis inguinalis. Jadi fuiniculus spermaticus diliputi oleh tiga lapisan fascia
konsentrik, fascia spermatica interna, berasal dari fascia transversalis, fascia
cremasterica, berasal dari m. obliquus internus abdominis, fascia spermatica
externa, berasal dari aponeurosis m. obliquus externus abdominis.

A2w| 217
Batas Canalis Inguinalis
Batas kanalis inguinalis :
• Kraniolateral : anulus inguinalis internus
• Kaudomedial : anulus inguinalis eksternus
• Atapnya : aponeurosis m.oblikus eksternus
• Dasarnya : ligamentum inguinalis
Trigonum Hasselbach
• Inferior : ligamentum inguinalis
• Lateral : vasa efigastrika inferior
• Medial : tepi lateral m.rektus abdominis
• Dasar : fasia transversal, m.transversus
Anulus inguinalis superficialis merupakan celah berbentuk segitiga pada
aponeurosis m. obliquus externus abdominis dan dasarnya dibentuk oleh crista
pubica. Anulus inguinalis superficialis dibatasi oleh berkas serabut aponeurosis
yang padat, crus medial, crus lateral dan serabut-serabut intercruralis.
Anulus inguinalis profundus suatu lubang berbentuk oval pada fascia
tranversalis, terletak sekitar ½ inch (1,3 cm) dicranial lig.inguinale, pertengahan
antara SIAS dan symphisis pubis. Disebelah medial anulus inguinalis profundus
terdapat a.v epigastrica inferior yang berjalan kecranial. Pinggir anulus
merupakan origo fascia spermatica interna. Anulus inguinalis profunda berasal
dari evaginasi fascia transversa yang melanjutkan diri sebagai fascia spermatica
interna, selubung paling profunda dari funiculus spermaticus. Medial terhadap
anulus inguinalis profundus, fascia diperkuat oleh ligamentum interfeveolare.
Seluruh panjang dinding anterior canalis inguinalis dibentuk oleh
aponeurosis m. obliquus externus abdominis. Dinding anterior ini diperkuat di 1/3
lateral oleh serabut-serabut origo m. obliquus internus abdominis. Oleh karena
itu dinding ini paling kuat, di mana ia terletak berhadapan dengan dinding
posterior yang paling lemah yaitu anulus inguinalis profundus. Setelah
aponeurosis m. obliquus externus abdominis dipotong, m. obliquus internus
abdomins dapat dilihat. Sebagian serabut-serabutnya melanjutkan diri mengikuti
funiculus spermaticus sebagai m. cremaster. Serabut serabut lainnya m.
cremaster berasal dari ligamentum inguinale.
Seluruh panjang dinding posterior canalis inguinalis dibentuk oleh fascia
tranversalis. Dinding posterior ini diperkuat di 1/3 medial oleh conjoint tendon,
gabungan tendo insertio m. obliquus internus abdominis dan m. tranversus
abdominis yang melekat pada crista pubica dan linea pectenia.
Dinding inferior atau dasar canalis inguinalis dibentuk oleh aponeurosis m.
obliqus externus abdominis yang ujung inferiornya melipat, yaitu ligamentum
inguinale dan pada ujung medialnya ligamentum lacunare.
Dinding superior atau atap canalis inguinalis dibentuk oleh serabut serabut
tercaudal m. obliquus internus abdominis yang melengkung dan m. tranversus
abdominis.

A2w| 218
Struktur yang melewati canalis inguinalis
Funiculus spermaticus.
Funiculus spermaticus mulai pada anulus inguinalis profundus yang terletak
lateral terhadap a. epigastrica inferior dan berakhir pada testis.
Vas Deferens
Vas deferens merupakan saluran dengan dinding otot yang tebal, yang
mengangkut spermatozoa dari epididymis ke urethra.
Arteri Testicularis
Cabang aorta abdominalis setinggi vertebra lumbalis II, dan mendarahari
testis dan epididymis.
Vena Testicularis
Suatu pleksus vena yang luas, pleksus pampiniformis, meninggalkan pinggir
posterior tentis. Waktu pleksus berjalan naik, ukurannya berkurang sehingga
sekitar anulus inguinalis profundus dibentuk satu vena testicularis. Vena ini
berjalan kecraniall pada dinding posterior abdomen dan mengalirkan
darahnya ke v. renalis kiri pada sisi kiri dan v. cava inferior pada sisi kanan.
Pembuluh Limfe
Pembuluh limfe testis berjalan ke atas melalui canalis inguinalis dan berjalan
ke atas melalui dinding posterior abdomen untuk mencapai nodi lymphatici
lumbales yang terletak setinggi vertebra lumbalis dan disamping aorta
Processus Vaginalis
Sisa-sisa processus vaginalis terdapat diprofunda funiculus spermaticus
Saraf yang berhubungan dengan Canalis Inguinalis
N. ilioinguinalis, N. iliohipogastricus dan N. genitofemoralis. N. ilioinguinalis
menembus m. obliquus internus abdominis dan memasuki canalis inguinalis
sebagai saraf sensorik murni, lalu meninggalkan canalis inguinalis melalui
cincin inguinal luar dan saraf ini turut mempersarafi kulit daerah dermatom L1.
cabang-cabang akhirnya pada pria mempersarafi kulit sisi depan scotum dan
saraf inilah yang dibius pada irisan di bagian depan scrotum waktu vasektomi.
Cabang-cabang terakhir n. ilioinguinalis pada wanita mempersarafi kulit sisi
depan labium majus. Saraf iliohipogastrikus juga berasal sari saraf spinal L1,
merupakan saraf sensoris sewaktu menembus aponeurosis m. obliquus
externus abdominis dicraniall anulus inguinalis superficialis. Cabanga genital
n. genitofemoralis adalah saraf motorik bagi otot cremaster di profunda
canalis inguinalis.
ETIOLOGI
Kongenital
 Prosesus vaginalis peritoneum persisten
 Terutama bayi dan anak
Didapat
Faktor kausal :
 Prosesus vaginalis yang tetap terbuka
 Peninggian tekanan intraabdomen
 Kelemahan otot dinding perut

A2w| 219
A2w| 220
KLASIFIKASI JENIS

1. H. Congenital H.diafragmatika, H.inguinalis lateralis, dll.


Berdasarkan
2. H. Akuisita H.femoralis, H.inguinalis medialis,
Terjadinya
H.insisional, dll.
Inguinalis, Diafragma, Femoral,
letaknya
Umbilikalis, Lumbalis, dll
H.Reponibilis Isi kantong dapat keluar masuk
H.Irreponibilis Isi kantong tidak dapat keluar masuk
H. Inkarserata Gangguan pasase isi usus +/-
sifatnya
Isi kantong tidak dapat keluar masuk
H. Strangulata Disertai gangguan pasase isi usus
dan gangguan vaskularisasi
Arah Herniasi / Hernia eksterna
Penonjolan Hernia interna`
H. inguinalis lateralis Letak di lateral vasa epigastrika inferior
 Hernia inguinalis indirect  karena
menonjol melalui anulus dan kanalis
inguinalis
 Berada dalam m. kremaster dan letaknya
Jenis
anteromedial terhadap vas deferens
Hernia inguinalis medialis Letak di medial dari vasa epigastrika inferior
 Hernia inguinalis direct  menonjol
langsung melalui trigonum Hesselbach
 Cincin lebar, longgar  jarang strangulasi

DIAGNOSIS
AnamnesisBenjolan di lipat paha yang timbul hilang, Muncul bila tekanan Intra
abdomen , Menghilang saat berbaring / reposisi manual, Nyeri, muntah,
gejala sistemik bila sudah inkarserata atau strangulasi.
Inspeksi Hernia Inguinalis Lateralis  benjolan lonjong di inguinal yang
berjalan dari kraniolateral ke kaudomedial. Hernia Inguinalis Medialis 
benjolan oval/bulat
Palpasi Teraba usus, omentum, ovarium , Sensasi gesekan sutera (silk sign),
Untuk membedakan HIL dan HIM, Tes visibel , Tes Oklusi, Tes taktil
Colok dubur Untuk mengetahui adanya faktor predisposisi, Kemungkinan telah
ada strangulasi
PENATALAKSANAAN.
Pembedahan  Indikasi operasi ada begitu D/ ditegakkan
Dewasa  Herniorrhapy : herniotomi + hernioplasti . Anak  herniotomi
 Herniotomi : kantong dibuka, isi didorong ke rongga abdomen, kantong
proksimal dijahit ikat setinggi mungkin lalu dipotong
 Hernioplasti : memperkecil anulus internus dan memperkuat ddg blkg kanalis
inguinalis. Jenis hernioplasti : Bassini, Halstedt, McVay, Shouldice,
Fergusson, Tension Free Hernioplasty
 Pendekatan : terbuka atau laparoskopi
Konservatif
 Sedatif, kompres es, posisi Trendelenberg  hernia anak yang inkarserasi
 Tereposisi : operasi elektif Gagal tereposisi : operasi emergensi
A2w| 221
1 2 3 4
Internal oblique External oblique aponeurosis
muscle

Conjoined tendon
1. External oblique aponeurosis
2. Cremasteric fascia opened sac idenfied
3. Sac separated
4. Sac transfixed
5. M. Obliquus internus dan conjoint tendon
di jahit ke lig. Inguinal.
6. Aponeurosis m. Obliquus eksternus dijahit.

Lig. inguinal
External oblique
aponeurosis 5 6

Hernia Femoralis:
 Terutama wanita tua (4 x lebih banyak), Benjolan di lipat paha, timbul
hilang, Sering inkarserasi akibat foramen sempit, Berjalan di kanalis
femoralis dan keluar di bawah ligamentum inguinalis pada fosa ovalis (di
bawah ligamentum inguinalis, di medial v.femoralis, di lateral tuberkulum
pubikum)
Letak kanalis femoralis Batas kanalis femoralis
 Di medial dari v.femoralis  Kranioventral : ligamentum inguinalis
 Di dorsal dari ligamentum  Kaudodorsal : lig. iliopektinea (Cooper)
inguinalis  Di medial : ligamentum lakunare Gimbernati

ANATOMY OF FEMORAL
HERNIA

Psoas major muscle


Anterior superior iliac spine
Course of hernial sac through
Iliacus muscle femoral ring, femoral canal and
Iliac fascia fossa ovalis
Obturator artery
External iliac artery and vein
Inferior epigastric artery and vein

Round ligament
Inguinal ligament
Femoral ring
Lacunar (Gimbernat’s) ligament
Sac turned upward over inguinal ligament
Cooper’s ligament
along superficial epigastric vein
Superior public ramus
Fossa ovalis covered by
cribriform fascia
Falciform margin
Superficial epigastric vein
Long saphenous vein

Superficial external pudendal vein

Public tubercle
Bilocular sac due to aberrant
obturator artery

A2w| 222
OPERATION : FROM ABOVE FROM BELOW

Lib eration of sac : Conversion Sac freed , opened , emptied ,


Sac d rawn up, twisted and
of femoral to inguinal hernia twisted and transfix ied high up
transfix ed preparatory to
through incision in
ligation and ex cision
transversalis fascia

Closure of ex ternal ob lique Internal ob lique muscle and


aponeurosis Over round ligament conjoined tend on sutured to
of cord . Inguinal ligament cooper’s (Pectineal) ligament and
sutured to pectineal fascia pectineal fascia Bassini’s closure of
femoral canal

Hernia Insisional
 Hernia di bekas luka operasi (10%), Teknik operasi buruk,
Infeksi pasca operasi, Umur/orang tua, obesitas, kelainan sistemik,
Komplikasi paru pasca operasi, Penempatan drain di luka operasi
 Hernia kecilJahit lagsung dengan fascia-to-fascia ( Mayo repair ).
 Hernia besar Gunakan mersilene/prolene mesh, marleks

Continuity of bowel lumen


Internal inguinal ring Internal inguinal ring

Protrusion on one wall of bowel


(or meckel’s diverticulum)
Hernia Maydl ( W shaped hernia )Isi berupa
segmen usus berbentuk “W”, 2 segmen dalam
Hernia LittreIsi kantong adalah divertikel Meckel kantong, 1 segmen tetap dalam rongga perut

Hernia ObturatoriaMelalui foramen obturatorium


Tanda Howship-Romberg Penekanan n.obturatorius :
rasa nyeri di daerah paha sampai lutut sebelah medial, bila
trigonum scarpae ditekan atau sendi panggul digerakkan
dengan fleksi, ekstensi, abduksi dan rotasi medial.
Tanda Hannington-Kiff jari telunjuk pemeriksa melewati
otot adductor 5 cm di atas lutut, dan perkusi di atas jari dengan
hammer patella tidak ada Kontraksi otot.
insidens pada bagian kanan 2 kali > dari bagian kiri (> 60%)
karena colon sigmoid cenderung mencegah herniasi pada sisi
kiri dan ± 6% bilateral.
Dikenal 3 macam hernia obturatoria :
1. Kantong hernia melalui bagian atas di depan m.obturator
externus dan di bawah m.pectineus.
2. Kantong hernia terletak antara bagian medial dan kranial dari
fascia m.obturator externus.
3. Kantong hernia terletak antara membrana obturatoria dan
m.obturator externus
4 Tahap Terjadinya Hernia Obturator :
1. Tonjolan lemak retroperitoneal masuk ke kanalis obturatorius
2. yang disusul oleh tonjolan peritoneum parietalis.
3. Kantong hernia ini mungkin diisi oleh lekuk usus
4. yang dapat mengalami inkarserasi parsial, sering.

A2w| 223
Hernia slidingSebagian dinding kantong merupakan isi hernia, Biasanya berisi organ-
organ retroperitoneal seperti sekum dan apendiks, sigmoid, kandung kemih.

Hernia ventralis
Hernia di dinding perut anterolateral
Hernia umbilikalis
H. kongenital di umbilikus
Hernia SpiegelMelalui tepi lateral m.
rektus abdominis dengan linea
semisirkularis
Hernia epigastrikaLewat defek di
linea alba di atas umbilikus

Hernia lumbalis
Lewat trigonum kostolumbalis sup. (Grijnfelt)
Lewat trigonum kostolumbalis inferior (Petit)

Hernia paraumbilikalisLewat di garis Hernia RichterSebagian dinding usus masuk dlm


tengah di kranial umbilikus kantong. A. Tanpa obstruksi B. Dengan obstruksi

A2w| 224
Hernia skiatikMelalui foramen skiatik Hernia perinealisHernia yang melalui dasar panggul
major

Hernia pantalonKombinasi HIL dan HIM pada satu sisi


Hernia interparietalisMenonjol di celah lapisan dinding perut.
Hernia diafragmatikMelalui foramen Morgagni dan foramen Bochdalek
Hernia paraesofagusLewat hiatus esofagus ke rongga toraks
Hernia lipat pahaHernia abdominalis externa yang terdapat dilipat paha :
HIL, HIM, H. Femoralis.

A2w| 225
USUS HALUS
PENDAHULUAN
Panjang seluruh jejunum ileum adalah 6-7meter. Jejunum berada dibagian
proximal dengan panjang kurang lebih 2/5 bagian, dan ileum dibagian distal
dengan panjang 3/5 bagian.
Jejunum. warna lebih merah dan lebih banyak mengandung pembuluh darah,
dinding lebih tebal dan diameter lebih besar, plica circularis Kerkringi lebih besar
dan jumlah lebih banyak, villi intestinales lebih besar dan jumlahnya lebih
banyak. Percabangan pembuluh darah kurang kompleks. Keadaan tersebut
tampak jelas perbedaannya apabila dibandingkan dengan jejunum bagian
proximal dan ileum bagian distal, dimana dibagian tengah perbedaan itu kurang
jelas. Mesenterium pada jejunum kelihatan lebih terang oleh karena jaringan
lemak extraperitoneal hanya terbatas pada pangkal pembuluh-pembuluh
darah,sedangkan pada ileum jaringan lemak tersebut mengikuti panjang
pembuluh darah sampai pada dinding ileum. Kurang lebih 1 meter disebelah
proximal dari ujung terminal ileum terdapat divertikulum Meckeli yang merupakan
sisa dari ductus omphalomesentericus, mempunyai ukuran 5cm. (1)
LOKALISASI
Jejunum dan ileum menempati sebagian besar cavum abdominis, bahkan
sampai kedalam cavum pelvicum dan difiksasi oleh mesenterium. Mesenterium
berbentuk kipas dengan bagian yang terlebar dibagian tengah sebesar 20cm,
melekat pada dinding dorsal abdomen dan tempat melekatnya disebut radix
mesenterii. Panjang radix mesenteri kira-kira 15cm, terletak miring dari cranial
kiri ke kaudal kanan, dimulai dari flexura duodeno jejenalis ( setinggi corpus
vertebra lumbalis II) sampai setinggi articulation sacroiliaca dextra. Oleh karena
jejuno ileum bentuknya lebih panjang dari radix mesenteri , maka jejuno ileum
terletak berkelok-kelok, sangat mobil dan mudah bergerak. Didalam
mesenterium terdapat cabang –cabang dari arteri mesenterica superior , serabut
saraf, limphonodus,pembuluh lymphe dan jaringan lemak. Radix mesenteri
menyilang disebelah ventral pars horizontalis duodeni, corpus vertebra lumbalis
III dan ureter dextra.
VASCULARISASI
Aliran darah bersumber pada arteria mesenterica superior melaui cabang
aa.jejenales dan aa.ileae. pembuluh-pembuluh darah berjalan di dalam
mesenterium.
LYMPHONODUS
Di dalam mesenterium terdapat banyak limphonodus dari berbagai ukuran,dibagi
menjadi 3 kelompok sebagai berikut: Dekat jejunum dan ileum, Mengikuti
pembuluh-pembuluh darah, Pada radix mesenteri
INNERVASI
3 jenis serabut saraf fungsional :
 Neuron kolinergik/parasimpatis (n.vagus) → memudahkan kontraksi
 Neuron adrenergik/simpatis (n.splanchnicus) → menghambat kontraksi
 Serabut inhibisi non-adrenergik → ↓ motilitas → ATP

A2w| 226
PERGERAKAN USUS HALUS
Kontraksi usus halus disebabkan oleh aktifitas 2 lapis otot polos yaitu lapisan
otot polos longitudinal di bagian luar dan lapisan otot sirkuler dibagian dalam.
Pergerakan usus halus berfungsi untuk mencampur makanan dengan enzim
percernaan dan mendorong makanan kearah kolon. Dibutuhkan waktu 3-5 jam
agar makanan dari pylorus tiba di ileocaecal junction.
1.Gerakan Segmentasi.
Otot yang terutama berperan pada kontraksi untuk mencampur makanan
adalah otot longitudinal. Bila bagian mengalami distensi oleh makanan, dinding
usus halus akan berkontraksi secara local. Tiap kontraksi ini melibatkan segmen
usus halus sekitar 1-4cm, pada saat suatu segmen usus halus yang berkontraksi
mengalami relaksasi, segmen lainnya segera berkontraksi, sehingga makanan
bercampur dengan enzim pencernaan dan mengadakan hubungan dengan
mukosa usus halus lalu terjadi absorsi. Kontraksi segmentasi berlangsung oleh
karena adanya gelombang lambat yang merupakan basic electrical rhytm (BER)
dari otot polos saluran cerna. Proses kontraksi segmentasi berlangsung 8- 12
kali/menit, pada duodenum 9kali/menit, sekitar 7kali/menit pada ileum dan setiap
kontraksi berlangsung 5-6 detik.
2. Gerakan peristaltic
Gerakan peristaltic pada usus halus mendorong makanan menuju kearah
kolon dengan kecepatan 2cm/detik dimana bagian proksimal lebih cepat dari
bagian distal. Gerakan peristaltic menghilang setelah berlangsung sekitar 3-5cm
dan jarang lebih dari 10 cm, rata- rata pergerakan makanan pada usus halus
hanya 1 cm/menit

A2w| 227
FUNGSI SEKRESI USUS HALUS

Usus menghasilkan mucus dan liur pencernaan yang berfungsi untuk


melindungi duodenum dari asam lambung. Mucus yang dihasilkan oleh kelenjar
mucus (kelenjar Brunner’s) yang berlokasi antara pylorus dan papilla vater,
dimana liur pancreas dan empedu masuk ke duodenum. Kelenjar ini
menghasilkan mucus akibat adanya ransangan saraf vagus serta hormone
sekretin, saraf simpatis menghambat sekresi mucus.
Kriptus Lieberkhn (Crypts of Lieberkhn) menghasilkan liur pencernaan
1800ml/ hari. Cairan ini sedikit alkalis dengan PH 7,5-8.0 serta dengan cepat
diabsorbsi kembali oleh vili. Proses sekresi oleh kriptus Lieberkhn terjadi melalui
transport aktif. Lipatan Kerkring’s memperluas permukaan absorbsi sampai 3
kali, villi memperluas permukaan absorbsi sampai 10 kali, dan mikrovilli dapat
memperluas pemurkaan 20 kali. Jadi kombinasi dari ketiga struktur tersebut
menyebabkan luas pemurkaan absorbsi dapat mencapai 600 kali.(4)
DIGESTI KARBOHIDRAT DALAM USUS HALUS
Amilase pancreas mempunyai mekanisme kerja yang sama dengan
ptyalin, hanya lebih kuat. Dalam waktu 15 menit sampai 30 menit setelah
makanan di kosongkan dari lambung, hampir semua pati akan didigesti di
duodenum, diubah menjadi maltosa, laktosa dan sukrosa sebelum masuk ke
duodenum atau bagian atas jejunum. Pada sel epitel usus halus, terdapat 4
enzim yang memecahkan maltosa, laktosa dan sukrosa ke dalam bentuk
monosakarida. Maltosa akan dirubah menjadi molekul glukosa dan galaktosa,
sedangkan sukrosa akan dipecah menjadi molekul fruktosa dan glukosa. Jadi
hasil akhir proses digesti adalah monosakarida.

A2w| 228
DIGESTI PROTEIN PADA USUS HALUS
Aktifitas pepsin yang sangat efektif dalam suasana asam terhambat pada
saat makanan memasuki duodenum yang mempunyai pH rata- rata 6,5. Pada
saat meninggalkan lambung, protein dalam makanan umumnya berbentuk
protease, peptone dan polipeptida dengan berat molekul besar. Makanan yang
masuk ke usus halus merangsang sekresi sekretin dan CCK. Kedua hormone ini
selanjutnya merangsang pancreas untuk menghasilkan HCO3 dan enzim
proteolitik ke dalam lumen usus halus. Terdapat dua jenis enzim proteolitik
pancreas yaitu endopeptidase (tripsin, kemotripsin dan elastase ) yang
memecahkan bagian dalam ikatan peptide, serta eksopeptidase
(karboksipeptidase, aminopeptidase) yang memecahkan rantai karboksil dan
rantai amino dari polipeptida. Pada sel epitel yang melapisi vili terdapat banyak
enzim peptidase antara lain adalah aminopolipeptidase dan beberapa
dipeptidase yang berfungsi untuk memecahkan dipeptida dan tripeptida menjadi
asam amino yang selanjutnya akan diabsorbsi ke dalam sirkulasi.
DIGESTI LEMAK
Lemak yang terdapat dalam diet sebagian besar merupakan lemak netral
(trigliserida) yang tersusun atas molekul gliserol, dan 3 molekul asam lemak.
Sekresi berbagai jenis enzim lipase dan asam empedu
 Emulsifikasi
 Hidrolisis enzimatik
 Pelarutan (solubilisasi) hasil lipolisis di dalam garam empedu
Digesti lemak dalam mulut dan lambung
Digesti lemak sudah mulai terjadi di mulut dan lambung oleh enzim lipase
ludah dan lipase lambung. Lipase ludah dihasilkan oleh kelenjar Ebner di
pemurkaan dorsal lidah. Lipase ludah berfungsi untuk hidrolisa asam lemak,
proses emulsifikasi dan membantu kerja lipase pankreas. Lipase lambung
berfungsi untuk hidrolisa asam lemak dan gliserol. Namun demikian proses
digesti lemak dalam mulut dan lambung sangat kecil jumlahnya. Tetapi bila
pankreas mengalami gangguan fungsi, aktifitas lipase ludah dan lambung akan
meningkat. Digesti lemak sebagian besar terjadi di usus halus yaitu di duodenum
oleh enzim lipase pankreas.Enzim ini melakukan hidrolisa semua trigliserida
hanya dalam waktu beberapa menit. Sel epitel usus halus juga menghasilkan
lipase enterik dalam jumlah kecil. Aktifitas enzim lipase pankreas mencapai
puncaknya pada pH 8.0. pH yang lebih rendah dari 3.0 akan merusak enzim ini.
EMULSIFIKASI LEMAK
Tahap pertama dari digesti lemak ialah memecahkan globulus lemak
kedalam ukuran yang lebih kecil sehingga enzim-enzim lipolitik yang larut dalam
air dapat bekerja pada permukaan globulus. Proses ini disebut sebagai proses
emulsifikasi lemak, yang berlangsung di bawah pengaruh empedu yang
dihasilkan oleh hati. Empedu tidak mengandung enzim pencernaan tetapi
mengandung garam empedu dan lesitin-fosfolipid yang sangat penting untuk
emulsifikasi lemak. Bila garam empedu di dalam usus meningkat, lemak dan
garam empedu secara spontan membentuk micelles yang merupakan globulus
A2w| 229
dengan ukuran 3- 6nm yang terdiri dari molekul garam empedu dan molekul
lemak yang terutama asam lemak, monogliserida, dan kholesterol. Pembentukan
micelles akan melarutkan lemak yang selanjutnya memungkinkan lemak tersebut
di absorbsi melalui sel epitel usus halus. Setelah melewati epitel usus halus ,
monogliserida dan asam lemak akan diproses oleh retikulum endoplasmik halus
,yang kemudiannya akan dirubah menjadi molekul trigliserida yang baru dan
ditransportasi ke dalam limpe chylomicrons dan mengalir melalui duktus
thoracikus limpatikus dan selanjutnya ke sirkulasi darah.
Bile + agitation
Fat -----------------------------> emulsified fat
Pancreatic lipase
Emulsified fat------------------------> fatty acids + 2
-monoglycerides

MEKANISME ABSORBSI AIR DAN ELEKTROLIT


Pergerakan ion antara lumen usus dan sirkulasi terjadi melalui proses
difusi sederhana dan transport aktif. Pergerakan pasif ion natrium kedalam atau
keluar dari lumen terjadi pada bagian lateral dan tight junction. Pergerakan ini
terjadi akibat adanya perbedaan konsentrasi dan muatan listrik (electrochemical
gradient). Pada usus halus transport aktif natrium berperanan penting untuk
absorbsi glukosa dan asam amino. Sebaliknya adanya glukosa dalam lumen
saluan cerna akan meningkatkan reabsorbsi natrium. Hal ini menjadi dasar
fisiologis pemberian NaCl dan glukosa (oralite) pada penderita diare.
Absorbsi Cl pada ileum dan kolon terjadi melalui Na-Cl cotransport .
Beberapa peneliti mengatakan bahwa absorbsi Cl terjadi melalui Na-H excharge
yang bekerja sama dengan Cl-HCOO3 exchange. Mekanisme ini menyebabkan
Na dan Cl akan masuk kedalam sel untuk bertukar dengan ion H dan HCOO3.
Air akan mengikuti Na dan Cl yang masuk melalui tight junction. Absorbsi ion K
kemungkinan terjadi dengan mekanisme K-H exchange dimana ion K akan di
absorbsi dan ion H akan di sekresi.

A2w| 230
ILEUS OBSTRUKSI
PENDAHULUAN
• Ileus obstruksi  gangguan pasase isi usus akibat sumbatan sehingga terjadi
penumpukan cairan dan udara di bagian proksimal dari sumbatan tersebut

• Peningkatan tekanan
Akibat intraluminer MUNTAH
OBSTRUKSI • Gangguan resorpsi usus
• Peningkatan sekresi usus

• Dehidrasi
• Febris
ANATOMI • Syock
Mikroskopis :
Tunika mukosa → absorbsi → vili >> jejenum
Tela submukosa → pblh drh halus, pemblh limfe, neuroplexus Meissner.
Tunika muskularis → Stratum longitudinal & str. sirkuler, diantaranya
terdapat plexus myentericus saraf (Auerbach) & saluran limfe
Tunika serosa
Makroskopis :
 Usus halus → pylorus sampai valva ileocaecalis
∞ Duodenum → p 20-30 cm, l 3-5 cm
∞ Jejenum & Ileum → 20 kaki (5 m), bervariasi besar karena kontraksi &
relaksasi → 10 kaki (2,5 m)
Ketebalan dinding usus semakin ke distal semakin berkurang sedangkan
lebarnya semakin ke distal semakin mengecil → obstruksi lebih mudah tjd pada
ileum distalis dibanding jejenum proksimal.
Vaskularisasi :
Hubungan kolateral p.darah arteri :
 a. kolika media <― a.mesenterika superior dengan a. kolika sinistra <―
a.Mesenterika inferior. Antara pangkal a.mesenterika inferior melalui
lengkung pembuluh (arcus Rioland)
P.darah vena :
 v.mesenterika superior bergabung dengan v.lienalis & v.mesenterika inferior
→ v.porta.

A2w| 231
ETIOLOGI
 Lesi Ekstrinsik
Adhesi (lesi ekstrinsik tersering, tunggal/multipel, setempat/luas, kongenital /
akuisita), Hernia inkarserata (h.inguinalis, femoralis, umbilikalis, ventralis,
insisional), Volvulus, Massa ekstraintestinalis abses, pseudokista, neoplasma,
hematom.
 Lesi intrinsic
Striktura ← neoplastik, inflammatory bowel disease, endometriosis
peradangan akibat radiasi, divertikulitis. Atresia & stenosis usus, kegagalan
rekanalisasi pada waktu janin usia 6-7 mgg, ggg aliran drh lokal pd sbgn ddg
usus akibat desakan, invaginasi,volvulus, jepitan/perforasi usus semasa janin.
 Obstruksi Menutup
Invaginasi atau intususepsi ( Anak → idiopatik,umumnya ileocaecal, Dewasa
→ polip atau lesi intraluminal). Neoplasma intrinsic, Gallstone ileus.
Sumbatan lainnya : fekalith, cacing askaris, barium, bezoar.

INSIDENS
 20 % tindakan bedah pd kondisi abdomen yg akut → ileus obstruktif
 Penyebab obstruksi tersering → adhesi, disusul hernia dan neoplasma
 Penyebab tersering pada anak : hernia
 Penyebab tersering pd usia lebih tua : Ca colorectal & divertikulitis coli.
 Angka kematian : 10 %
PATOFISIOLOGI
 Obstruksi Sederhana/Simple.
- tidak disertai terjepitnya p.darah, akumulasi cairan & gas dlm jumlah besar
pd lumen usus.
- Obstruksi : mula-mula absorbsi ↓, sekresi N → 24-48 jam → sekresi↑,
absorbsi (-), edema,eksudasi cairan ke cav peritoneum,→ kehilangan cairan &
elektrolit. CO2 dpt cepat berdifusi keluar dr lumen usus, sedang N2 tetap
tinggal → kontributor utama distensi usus.
 Obstruksi strangulata
- mencakup volvulus,hernia,invaginasi & adhesi.
- gangguan peredaran darah → iskemia, nekrosis, ganggren
- eksudasi plasma dr lap serosa → cav.peritoneum
- Iskemi→kerusakan sawar ddg usus→bakteri usus → cav peritoneum.
 Closed-loop obstruction
- Obstruksi terjadi pd 2 tempat, Penyebab : adhesi,volvulus.

A2w| 232
KLASIFIKASI OBSTRUSI INTESTINAL
A. Berdasarkan Penyebab
1. Mekanik ileus paralitik = ileus adinamikparalise saluran mknan
2. Non Mekanik ileus obstruksi = ileus dinamik
B. Mekanisme Obstruksi
1. Obstruksi Pada Lumen Usus Polipoid tumor, intususepsi, gallstone ileus,fekolit, bezoar
(Intra Luminer)
2. Kelainan Pada Dinding Usus  Bayi : atresia , stenosis, duplikasi
(Intramural)Biasanya  Dewasa : neoplasma, radang, Crohn disease, post
Kongenital radiasi, sambungan usus
3. Kelainan Di Luar Usus Adhesi, hernia, neoplasma, abses
(Ekstramural)
C. LOKASI
1. Ileus Obstruksi Letak Tinggi a. Obstruksi Di Atas Pilorus.
menurut letaknya dibedakan Gejala adalah muntah (rasa asam lambung), sering
menjadi : nyeri. Distensi abdomen kurang
b. Obstruksi Di Bawah Pilorus Sampai Ileocaecal
Junction.
Muntah faeculent (feses), warna kuning seperti tinja,
nyeri perut jarangperut lebih distensi.
2. Ileus Obstruksi Letak Rendah  Sekum – anorektal>> disebabkan oleh tumor ganas
D. GRADASI
1. Obstruksi Partial ( Incomplete)  Sebagian makanan dan udara masih bisa lewat
2. Obstruksi Complete/Total  Seluruh isi usus tidak dapat lewat  menumpuk pada
(Simple ) bagian proksimal sumbatan, Belum terjadi gangguan
vaskularisasi
3. Obstruksi Strangulasi  Gangguan pasase isi usus disertai dengan adanya
gangguan vaskularisasi

A2w| 233
DIAGNOSA
 Gejala & Tanda
- Colic → kejang usus, nyeri tekan, defans muskuler , metallic sound.
Jika nyeri abdomen terlokalisir,parah, menetap dan tanpa remisi →
Curiga obstruksi strangulasi, Muntah, Obstipasi dan tidak ada flatus,
Distensi usus
- RT : - massa tumor atau intususepsi, ampula kolaps → obs proksimal, darah
makroskopik → lesi intrinsik

 Gambaran Laboratorium
-↑ nitrogen urea darah (BUN), Hct, BJ urin.
-↓ kadar Na, K, Cl dlm serum.
-Alkalosis → Bikarbonat serum & pH arteri
-Leukosit
~ Normal, Obstruksi mekanik sederhana → 15.000-20.000/mm3
Obstruksi strangulata → 30.000- 50.000/mm3

 Gambaran Radiologi
Pem.sinar X posisi tegak → gelung usus terdistensi dgn bts udara-cairan dgn
pola anak tangga ( Step Ladder )
Obstruksi mekanik sederhana → # gas yg terlihat pd colon.
Obstruksi colon dgn valva ileocalis kompeten→distensi gas dlm colon
merupakan gbrn penting.
Bila valva ileocalis inkompeten→ada distensi usus halus maupun colon.
Obstruksi strangulata→distensi gas pd usus jauh lbh sdkt dibanding pd
obstruksi sederhana & bisa terbatas pd gelung tunggal→tanda “biji kopi”
(coffee bean) atau pseudotumor.
Pemeriksaan Barium enema → u/ mengetahui tipe & lokasi obstruksi.
Enteroskopi

A2w| 234
Management : Ada beberapa pertanyaan
1. Apakah ada obstruksi ?
2. Setinggi apa obstruksi ?
3. Penyebab ?
4. Dehydrasi ?
5. Strangulasi ?
6. Penanganan?

Pertanyaan
1. Cardinal features of bowel obstruction arePain, Vomiting, Constipation,
Distension.
2. Simptom
a. Pain, Kolik, Ileum paralytik  tidak sakit.
b.Vomiting : - Cepat pada obstruksi tinggi, Lambat pada obstruksi rendah
- muntah empedu  diatas lig Traitz
- muntah fecal  usus halus & colon
c. Constipation :Cepat pada obstruction colon tergantung apakah total /
partial.
d. Distensi : Cepat pada obstruksi colon, tidak ada pada obstruksi tinggi

A2w| 235
3. Penyebab ? Riwayat sebelumnya ( Pernah operasi abdomen  adhesi,
Hernia, Berak darah atau lendir  gangguan pada BAB  Ca atau radang.
4. Dehydrasi ? (Tahicardia, Hypotensi, Kulit kering, Mulut kering, Turgor kulit
jelek, Ketiak sudah tidak berkeringat, Urine sedikit,pekat).
5. Strangulasi  ada : shock, demam, defans musculer, nyeri seluruh abdm.
6. Prinsip Penanganan :
A. Anamnesa  KELUHAN YANG KHAS
Nyeri perut, Mual muntah, Perut kembung, Tidak dapat flatus & BAB.
B. Pemeriksaan Fisik.
Keadaan umum tampak lemah dan gelisah.
Bila strangulasi  demam, dehidrasi, bibir kering, turgor menurun,
hipotensi, takikardi dan syok septik.
Abdomen :
 Inspeksi : Distensi, tampak gambaran kontur dan peristaltik usus
 terutama pada penderita kurus
 Palpasi : Perut distensi, tegang, kadang-kadang nyeri
 Perkusi : Nyeri dan terdengar suara timpani.
 Auskultasi : Bising usus meninggi (metalic sound), Bila obstruksi
 berlangsung lama dan strangulasi bising usus menghilang.
 Scar, Hernia, Darm contour, darm steifung, Peristaltik meningkat,
metalic sound  Gurgling.
 RT: Spingter ani, Mukosa, Ampula Hand schoen, Massa Tu.
C. Penunjang.
Lab  darah rutin, elektrolit, fungsi ginjal, dll
Radiologi BNO 3 Posisi  Gambaran STEP LADDER (anak tangga).
D. Resusitasi.
- IVFD RL/Nacl.
- Pemberian Antibiotik.
- Pasang Nasogastric Tube (Sonde Lambung ) Puasakan Pasien.
- Pasang KateterPantau Produksi urine, tanda-tanda dehidrasi.
- Awasi tanda vital.

1. STOP 2. PASANG SONDE LAMBUNG

INTAKE ORAL

PRINSIP
3. PASANG INFUS PENANGANAN 4. ANTIBIOTIK

5. PASANG KATETER / TAKAR URINE

A2w| 236
TERAPI
 Terapi konservatif
 Terapi operatif
~ Lisis pita lekat atau reposisi hernia
~ Pintas usus
~ Reseksi dgn anastomosis→ end to end, end to side, side to side.
~ Diversi stoma dgn/ tanpa reseksi.

KOLOSTOMI
adalah pengalihan feses  tidak melalui anus.
Macam-macam Kolostomi
Menurut letak
- Cecostomy
- Colostomy transversum
- Colostomi sigmoid
Menurut bentuk
- Double Barel Cecostomi Colostomy transversum
- Double Lup
- Simple Colostomy
Menurut lama
- Temporer Colostomy
- Permanen Colostomy
End colostomy Hartmann Prosedur

INDIKASI (Colostomy sigmoid)

1. Ada obstruksi bagian distal ( Rectosigmoid & colon kiri, Radang /


Chron‟s disease, Colitis ulserosa, Trauma ).
2. Ada volvulus ( Volvulus sigmoid ).
3. Kelainan congenital (Hisphrung).
KOMPLIKASI
Perdarahan, Gangren, Retraksi, Prolaps, Hernia, Abses.

A2w| 237
DIVERTIKULUM MECKLE’S
DEFINISI.
Th 1589 → Fabricius Hildanus.
Th 1802 → Johann Frederich Meckel  Divertikulum ini berasal dari sisa
duktus yang menghubungkan traktus intestinal dengan yolk sac Divertikel
Meckel → kelainan congenital akibat kegagalan atau ketidaksempurnaan
obliterasi ( Normal minggu ke-7 masa embrio )dari duktus vetelinus atau
duktus omphalomesenterikus.
Persitensi duktus omfalomesenterikus yg menghubungkan yolk sac dgn
foregut primitive. Divertikulum Meckel merupakan divertikel sejati (true
diverticel).Jaringan heterotropik ditemukan pd ± 50 % divertikulum Meckel dan
mukosa gaster dgn sel2 parietal yg terbanyak (80%).
. EMBRIOLOGI.
Awal perkembangan → obliterasi dari dinding usus → rekanalisasi. Midgut
akan berkembang pada minggu ke 5 kehamilan → kavum abdomen → hernia
kearah umbilical cord. Suplai darah dr arteri vitelinus kanan yg berasal dr a.
mesenterika superior
Apex midgut → duktus vitelinus dan yolksac, aksisnya → mesenterika superior
yang akan terpisah menjadi dua :
Rami superior → daerah superior
Rami inferior→daerah bagian inferior (caecum & 1/3 distal kolon transversum).
Minggu 10 kehamilan midgut akan kembali kedalam kavum abdominal.
50%DM mengandung jaringan: Gaster, Pankreas, Jejenum, Colon, Duodenum
& Endometrium, > jaringan heterotropik gaster (60-85%), pankreas (5-16%)
PATHOFISIOLOGI
Mekanisme yang bertanggung jawab bagi anomali ini adalah adalah kegagalan
duktus omfalomesenterikus (vitelinus), yang menghubungkan yolk sac dengan
foregut selama kehidupan embrionik dini untuk menjadi terobliterasi lengkap.
Normalnya obliterasi terjadi pada minggu kelima sampai ketujuh kehamilan
kemudian mengalami atrofi. Bila sebagian atau seluruh duktus
omfalomesenterikus dan pembuluh darah penyertanya gagal berobliterasi
(Persistensi duktus vitelinus), maka Kedaan yang terjadi antara lain:
a. Fistel enteroumbilikalis ( ileo-umbilikalis)
b. Fibreus band ( jaringan fibreus) yang menghubungkan antara illeum
dengan inner surface dari umbilikus.
c. Paten sinus vitelino-umbilicalis
d. Penutupan sebagian dari lumen usus
e. Kista duktus vitelinus
MANIFESTASI KLINIS” The Rule of Two”
 2% dari Populasi
 2 Kaki (60-70cm) dari valve ileocaecal/Bauhini.
 2 Type Heterotopic Mucosa.
 Usia < 2th.
 Panjang ± 2 inchi.

A2w| 238
Divertikulum Meckel, bila hanya
bagian umbilikal duktus yang
menutup.

Fistula antara ileum dan


umbilikus, sewaktu seluruh
duktus tetap paten.

Jaringan fibreus yang


menghubungkan antara
ileum dengan inner surface
dari umbilikus.

Divertikulum Meckel dgn


pita fibrosa yg melekat ke
umbilikus

Kista (enterokistoma), bila


ujung proksimal dan distal
duktus tertutup, tapi tetap
ada lubang di tengah.

A2w| 239
PENANGANAN
• Penanganan divertikulum Meckel terutama ditujukan pd komplikasi serta pd
gejala klinik yg timbul
• Apabila tjd perdarahan yg signifikan  transfusi.
• Obstruksi intestinal  selang nasogastrik
• Antibiotik profilaksis  divertikulitis, strangulasi atau perforasi.
• Pembedahan  perdarahan masif, obstruksi dgn strangulasi atau perforasi.
• Reseksi baji dari ileum  divertikulum yang asimptomatik
• Reseksi segmental ileum  mengangkat semua jaringan yang rusak dan
mengalami inflamasi serta jaringan ektopik
• Pembedahan untuk divertikulum Meckel yg asimptomatik msh kontroversi
• Laparoskopi berguna untuk diagnosis & penanganan divertikulum Meckel
Pembedahan dilakukan : perdarahan masif tanda-tanda obstruksi dengan
strangulasi maupun perforasi.
Reseksi baji → Divertikulitis sederhana atau obstruksi tanpa strangulasi.
Reseksi Divertikel Meckel dan daerah ” adjacent ileum”→ perdarahan
anastomose end to end → Usus dan divertikel yang direseksi

A2w| 240
NEOPLASMA USUS HALUS
A. NEOPLASMA JINAK USUS HALUS
 Lebih dari separuh ditemukan pada ileum
 Terbanyak adalah polyp adenomatosus disusul oleh lipoma, leiomioma dan
hemangioma
 Tu. jinak yang sering memberikan gejala biasanya adalah leiomioma.
KLINIS
 >> tidak memberikan gejala / gejala tidak khas kecuali bila terjadi penyulit
 Penyulit  perdarahan atau obstruksi, jarang perforasi atau fistel
Therapi BedahReseksi segmen usus yang mengandung tumor

B. NEOPLASMA GANAS USUS HALUS


1. LYMPHOMA MALIGNANT
– Merupakan tumor ganas yang paling sering ditemukan
– Sering pada ileum tapi bisa juga ditemukan pada jejunum bersama-sama
dengan celiac disease
Gejala Klinik:
– Kolik abdomen, anoreksia, BB menurun, anemia
– Bisa ditemukan obstruksi dan invaginasi
Histologis 5 subtipe :
a) Diffuse large or small cell lymphoma
b) Immunoproliferatif Intestinal Disease (IPSID Lymphoma)
c) Mucosa-associated lymphoid tumours (MALT)
d) Multiple lymphoid polyposis
e) Enteropathy-associated T cell lymphoma
Therapi Bedah
– Reseksi segmen usus halus yang mengandung tumor diikuti dangan
kemoterapi / radioterapi.
2. ADENOKARSINOMA
– Sering ditemukan pada jejunum dan sering tanpa gejala
– Tumor sangat invasif dan 80% akan bermetastasis
Terapi Bedah
• Reseksi segmen usus dan mesenterium yang mengandung tumor
3. TUMOR KARSINOID
– Pertama diperkenalkan oleh OBERNDORFER tahun 1907
– Merupakan tumor ganas yang menghasilkan beberapa sekret
– Sekret yang terpenting adalah 5-hydroxtryptamine (serotonin) Sekret yang lain
berupa vasoactive amine (bradykinin), substance P dan neurotensin
– Paling sering ditemukan pada apendiks dan ileum distal
– Dapat juga ditemukan pada gaster, jejunum pankreas dan rektum
Gejala Klinik:
Gejala utama  diare, Kolik abdomen, borborygmus, sering disertai gejala
fibrosis, pemendekan mesenterium, kinking  bisa Obstruksi

A2w| 241
TNM STAGING STAGE T N M
Tx Primary tumour not evaluated 0 Tis N0 M0
T0 No pathologic evidence of primary tumour I T1 / T2 N0 M0
Tis In situ tumour II T3 / T4 N0 M0
T1 Tumor invades lamina propria / submucosa III Any T N1 M0
T2 Tumor invades muscularis propria IV Any T Any N M1
T3 Tumor invades < 2 cm into sub serosa or into
mesentery or retrperitoneum
T4 Tumour perforates the visceral peritoneum or
invades the adjecent structure > 2 cm
Nx Regional lymph nodes not evaluated
N0 regional lymphnode nvolvement
N1 Regional lymph nodes metastasis
Mx Distant sites not evaluated
M0 No distant metastasis
M1 Distant metastasis present

4. LEIOMIOSARKOMA
– Leiomiosarkoma dapat terjadi pada semua tempat pada usus halus
– Cenderung menyebabkan perdarahan karena central necrosis
– Dapat menyebabkan obstruksi
– Metastasis utama  hematogen
– Therapi Bedah
Segmental resection diikuti dengan kemoterapi

A2w| 242
COLORECTAL DISEASE
KARSINOMA KOLON DAN REKTUM
LOKASI

FAKTOR – FAKTOR RISIKO


1. Usia > 50 thn
2. Riwayat penyakit-penyakit premalignan (Kolitis Ulseratif, Crohn‟s Disease,
Poliposis Familial, polip juvenil, semua jenis polip asli, Lynch Syndrome /
Gardner Syndrome).
3. Familial colon cancer
4. Sebelumnya sudah ada karsinoma kolon
5. Infeksi kolon yang berlangsung lama (10-20 tahun)
6. Pemakan lemak hewani / kurang konsumsi makanan berserat tinggi

A2w| 243
Etiologi
 Penyebab dan patogenesis yang pasti  sampai sekarang belum jelas
 Beberapa faktor dianggap berperan dalam terjadinya karsinoma kolorektal :
a. Polyp-cancer sequence
b. Inflamatory bowel disease :
i. Risiko terjadinya karsinoma kolorektal meningkat > 40% pada pasien
dengan colitis ulseratif.
ii. Pasien dengan Crohn‟s disease memiliki risiko tinggi terjadinya
karsinoma kolorektal pada populasi umum
POLYP CANCER SEQUENCE

POLYP CANCER SEQUENCE

A2w| 244
c. Faktor genetik :
i. Insiden meningkat pada turunan pertama penderita karsinoma kolorektal
ii. FAP (familial adenomatous polyposis)  terjadi transimisi genetik
iii. HNPCC (hereditary nonpolyposis colorectal carcinoma)  2 tipe :
1) Lynch syndrome I (site-specific nonpolyposis colorectal carcinoma) :
 Autosomal dominant inheritance
 Predominance of proximal colon cancer
 Increased synchronous colon cancer
 Early age of onset (average age is 44 years)
 Increased risk of metachronous cancer
2) Lynch syndrome II (cancer family syndrome)  adalah Lynch syndrome I
ditambah dengan gejala-gejala :
 Incresed incidence of other carcinomas, including endometrium, ovary,
breast, stomach, and lymphoma
 Incresed incidence of mucinous or poorly differentiated carcinomas
 Increased incidence of skin cancer
3) Tumor suppressor genes  APC gene pada kromosom 5 dan p53 gene
pada kromosom 17
iv. Faktor diet  Lemak,Serat, Kalsium, Alkohol  insiden kanker tinggi.
FAKTOR-FAKTOR LINGKUNGAN YANG BERPERAN DALAM
PERKEMBANGAN KANKER KOLOREKTAL

FAKTOR GENETIK YANG BERPERAN DALAM PERKEMBANGAN KANKER


KOLOREKTAL

A2w| 245
TERDAPAT 3 KELOMPOK KARSINOMA KOLOREKTAL BERDASARKAN
PERKEMBANGANNYA YAITU :
1. Kelompok yang diturunkan (inherited colorectal cancer)  < 10 %. Dilahirkan
sudah dengan mutasi germline (germline mutation) pada salah satu allele dan
terjadi mutasi somatic (somatic mutation) pada allele yang lain. Contohnya
adalah Familial Adenomatous Polyposis (FAP) dan Hereditary Non-Polyposis
Colorectal Cancer (HNPCC). HNPCC terdapat pada sekitar 5 % kanker
kolorektal.
2. Kelompok sporadic (sporadic colorectal cancer)  70 %. Kelompok sporadic
membutuhkan 2 mutasi somatic, satu pada masing-masing allele-nya.
3. Kelompok familial (familial colorectal cancer)  20 %.
Kelompok familial tidak sesuai kedalam salah satu dari dominantly inherited
syndromes di atas (FAP & HNPCC) dan lebih dari 35 % terjadi pada usia
muda. Meskipun kelompok familial dari kanker kolorektal dapat terjadi karena
kebetulan saja, akan tetapi factor lingkungan, penetrant mutation yang lemah
atau currently germline mutation dapat berperan.
TERDAPAT 2 MODEL PERJALANAN PERKEMBANGAN KARSINOMA
KOLOREKTAL (KARSINOGENESIS) YAITU :
1. LOH (Loss of Heterozygocity)
Model LOH mencakup mutasi tumor gen supresor yang meliputi gen APC
(adenomatous polyposis coli gene), gen DCC (deleted in colorectal carcinoma
gene) dan p53 serta aktivasi onkogen yaitu K-ras proto-oncogene. Contoh
model ini adalah perkembangan polip adenoma menjadi karsinoma.
2. RER (Replication Error).
Model RER karena ada mutasi gen hMSH2, hMLH1, hPMS1 dan hPMS2.
Contoh model ini adalah perkembangan HNPCC menjadi kanker kolorektal.
Pada bentuk sporadic, 80 % berkembang lewat model LOH dan 20 %
berkembang lewat model RER.

A2w| 246
MAKROSKOPIS
Terdapat 3 tipe makroskopis karsinoma kolon dan rektum :
1. Tipe Polopoid / Vegetative / Fungating  Tumbuh menonjol ke lumen usus
dan berbentuk bunga kol. Sering ditemukan disekum dan kolon asendens
2. Tipe Skirus mengakibatkan penyempitan sehingga terjadi gejala stenosis
dan obstruksi. Ditemukan terutama di kolon desendens, sigmoid dan rektum
3. Tipe Ulseratif terjadi nekrosis sentralis. Ditemukan terutama pada Rektum.
TIPE HISTOLOGIS
 Adenokarsinoma
 Adenokarsinoma tanpa komponen musinosum,
 Adenokarsinoma dengan komponen musinosus < 50%
 Adenokarsinoma musinosum ( komponen musinosum > 50%)
 Signet ring sel adenocarcinoma
 Squamous cell carcinoma
 Adeno-squamous carcinoma
 Karsinosarkoma
 Undifferentiated carcinoma
METASTASIS
• Karsinoma kolorektal mulai berkembang pada mukosa dan tumbuh menembus
dinding dan memperluas secara sirkuler ke arah cephalad dan caudad
• Invasi tumor cenderung sirkuler dari pada logitudinal dan cenderung kearah
cephalad daripada caudad
• Di daerah kolon, penyebaran caudal tidak pernah melebihi 5-6 cm sedangkan
pada rektum, penyebaran kearah anal jarang melebihi 2 cm.
• Penyebaran perkontinuitatum menembus jaringan atau organ sekitarnya
• Penyebaran limfogen  ke kljr parakolika, mesenterikal & para aortal
• Penyebaran hematogen  terutama ke hepar sedangkan bila tumor pada 1/3
distal rektum dapat menyebar ke paru-paru
Ada 5 mekanisme penyebaran sel tumor yaitu :
Lymfogen, Hematogen, Menembus dinding usus (intramural dissemination),
Implantasi selama pembedahan (intraoperative spreading), Melalui rongga
peritoneal
Langsung
 Sirkuler melingkari dinding kolon terutama kolon kiri ( kaliber kecil), sehingga
terjadi anular-konstrikting dinding kolon penyempitan lumenbuntu.
 Longitudinal melalui limfe submukosa < 5 cm dari tepi tumor.
 Menembus dinding kolon dan menginfiltrasi organ terdekat.
 Tranversal/Longitudinal/radial penyebaran ke proksimal maupun ke distal.
Penting untuk reseksi reseksi 2-5 cm kea rah distal tumor.
Hematogen
Melalui v. Porta ke hepar tumbuh di hepar. Bisa melalui v.lumbalis dan v.
vertebralis menuju ke paru. Organ yang paling sering metastasis adalah
Hepar melalui aliran v. porta, Paru melalui aliran v. Cava, Tulang vertebra dll.
Melalui Pleksus venosus vertebralis.
A2w| 247
Limfogen.
Penyebaran bias terjadi pada tumor yang terlokalisir namun terjadi
penyebaran limfogen level jauh. Adanya blockade aliran limfatik ke segala
arah, baik proksimal, distal, maupun lateral melalui arcade marginal.
Penyebaran limfogen dapat melalui limfonodi epicolic, paracolica,
intermediate dan paraaortic (mesenteric). Paling sering metastase ke limf.
Paraaortic melalui limf.regional sesuai perjalanan artei/vena Ok limfonodus
harus diangkat saat operasi.
Gravitasi/Transperitoneal.
Bila tumor menembus lapisan serosa karena pengaruh gaya gravitasi, sesuai
dengan posisi tersering tubuh.
Serabut SarafTerjadi bila sel tumor invasi ke spatium perineural.

GEJALA KLINIK ( Baca Buku Panduan KKR)


Gejala klinik tergantung dari lokasi, ukuran dan ekstensi tumor
• Gejala dan tanda karsinoma kolorektal tidak ada, umumnya gejala pertama
timbul karena penyulit yaitu gangguan faal usus, obstruksi, perdarahan atau
akibat penyebaran. Gambaran klinis kolon kiri berbeda dengan kanan.
• Karsinoma kolon kiri, sering berbentuk skirus, lumen kolon kiri relatif lebih
kecil dari kanan dan konsistensi feses semi solid (padat)  sehingga lebih
banyak menimbulkan gejala obstruksi.
• Karsinoma kolon kanan, jarang menimbulkan gejala obstruksi karena lumen
kolon kanan relatif lebih besar dari kiri dan konsistensi feses semi fluid (cair).
• Karsinoma kolon kiri dan rektum, sering menyebabkan perubahan pola
defekasi (change in bowel habit) seperti konstipasi atau defekasi dengan
tenesmus. Makin kedistal letak tumor feses makin menipis atau berbentuk
seperti kotoran kambing atau lebih cair disertai darah dan lendir.Tenesmus
merupakan gejala yang didapat pada karsinoma rectum. Bila obstruksi,
penderita flatus terasa lega diperut. Gambaran klinik tumor sekum dan kolon
asendens tidak khas. Dispepsi, kelemahan umum, penurunan berat badan dan
anemia  merupakan gejala umum. Karena itu penderita sering datang dalam
keadaan umum jelek. Nyeri pada kolon kiri lebih nyata daripada kolon kanan
A2w| 248
KOLON KANAN KOLON KIRI REKTUM
ASPEK KLINIS - Kolitis / perdarahan - Obstruksi - Proktitis
tersembunyi
NYERI - Karena infiltrasi - Karena obstruksi - Karena tenesmus
DEFEKASI - Diare / diare berkala - Konstipasi progresif - Tenesmus terus
menerus
OBSTRUKSI - Jarang - Hampir selalu - Tidak jarang
DARAH PADA FESES - Tersembunyi - Tersembunyi atau - Makroskopis

Makroskopik
DISPEPSI - Sering - Jarang - Jarang
MEMBURUKNYA KU - Hampir selalu - Lambat - Lambat
ANEMIA - Hampir selalu - Lambat - Lambat

KOLON KANAN KOLON KIRI REKTUM


Nyeri perut samar-samar “gas pain cramps” Nyeri pada stadium lanjut
Diare coklat/ hitam Darah segar pada Darah segar pada kotoran
kotoran
Anemi Tinja kaliber kecil Tidak puas setelah berak
Benjolan perut sisi kanan Perubahan kebiasaan Nyeri sewaktu berak dan
berak, butuh pencahar berak sering
Tanda sumbatan
Diameter Besar Diameter Lebih Kecil Besar
Tipe tumor Lunak, rapuh, Sirkuler dan sirous Infiltrative,polipoid
ulseratif,polipoid
Konsistensi feses>cair Lunak, cairan sedikit Padat cairan minimal
Asal dari Midgut Hindgut Hindgut
Fungsi sebagai Absorbsi Penyimpanan/Storage Defekasi
Klinis sering Kolitis, jarang Obstruksi Proktitis
obstruksi
Darah dlm Tinja Mikroskospis Mikro/makro Makroskospis
Terdapat 2 manifestasi Komplikasi Klinis:
 Akut(Emergensi)Komplikasi terjadi bila Obstruksi, Perforasi, Perdarahan.
Semakin distal letak tumor semakin besar resiko terjadi komplikasi karena
kaliber kolon kiri lenih sempit dan cairan lebih sedikit dari kolon kanan.
 Kronik (Elektif) Tergantung dari lokasi, ekstensi dan stadium tumor.
Pembagian lokalisasi tumor kolon: Kolon kanan mulai sekum sampai 1/3
tengah kolon transversum, kolon kiri dimulai 1/3 kolon transversum sampai
sigmoid, dan rectum.

A2w| 249
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a) Pemeriksaan Daerah Rektum
i. Colok Dubur
 Harus dilakukan pada setiap kelainan kolorektal atau abdomen
 Mendeteksi tumor sejauh kurang lebih 10 cm dari anal verge
 Tumor  konsistensi keras, permukaan  rata, mudah berdarah
 Harus dinilai ukuran tumor, terfiksasi / tidak, ulserasi / tidak.
 Dengan pemeriksaan colok dubur yang baik dan benar, dapat
mendiagnosis hampir 40 % tumor-tumor kolorektal
ii. Proktosigmoidoskopi Rigid  dapat menentukan dengan tepat lokasi tumor
iii. Endorectal Ultrasound (Eus)  dapat menentukan dalamnya invasi tumor
ke dinding usus.
b) Kolonoskopi disertai biopsi
– Untuk melihat tumor daerah kolon
– Mendiagnosis hampir 100% karsinoma kolorektal
c) Barium Enema kontras ganda
- Gambaran malignansi pada foto kolon dapat berupa :
- Arrest (Stopping), Stenosis, Filling Defect (Napking Ring deformitas
Apple core lesion, Shoulder sign), Deviasi
- Mendiagnosis hampir 90 % karsinoma kolorektal.

Foto kolon dengan kontras Karsinoma pada fleksura Tipe annular dengan
memperlihatkan Gambaran lienalis.Tampak gambaran gambaran destruksi
stenosis karena kanker pada berupa “arrest” atau mukosa (Shoulder sign)
kolon transversum “stopping” dari kontras.

d) Laboratorium (Darah rutin, CEA, LFT)


CEA( Carcino Embrionic Antigen) N,3 unit diambil dari urine / feses.
Kadar < 10 ng/ml  Stadium Dini.Kadar > 10 ng/ml  Stadium Lanjut.
Tumor marker:
• Carbohydrate antigen 19-9 (CA 19–9) >100 U/ml (normal < 40 U/ ml).
• Formula {CA 19-9 + (CEA x 40)} pada PSC akurasi diagnosis sekitar 86 %
Follow up setelah operasi  4 minggu, 3-6 bulan. CEA dapat kembali < 3 (-),
tapi dapat residif telah metastase.
e) USG / CT Scan abdomen (evaluasi hepar dan abdomen terhadap metastasis)
Bila Radiologis tidak ada Kelainan, tapi curiga malignitas Kolonoskopy
A2w| 250
STAGING / STADIUM
a) Dukes’ Classification of Colorectal Cancer Henry Dukes‟ tahun 1932
Stadium A : tumor terbatas pada lapisan mukosa
Stadium B1 : tumor invasi pada lapisan mukosa muskularis
Stadium B2 : tumor invasi pada lapisan propria muskularis
Stadium C1 : Tumor B1 metastase ke KGB dekat tumor primer
Stadium C2 : Tumor B2 metastase ke KGB yang jauh
Stadium D : Metastase jauh
Mukosa

Tumor

Uninvolved node Serosa

Lympnode Involed

b) Astler-Coler Modification Staging


CLASSIFICATION

5 Years
DUKES’-1954 ASTLER-COLER-1954
Survival

A tumor terbatas pada lapisan mukosa Limited to mucosa, negative lymph nodes 100 %

B1 tumor invasi pd lap. Mukosa muskularis Extension into muscularis propria, lymph nodes(-) 65-75 %

B2 tumor invasi lap. Propria muskularis Extension through entire bowel wall, lymphnode (-) 60-70 %

B3 Extension into adjacent organs, lymph nodes (-) 55-65 %

C1 B1 + KGB dekat tumor primer (Lokal) Positive nodes lesion limited to muscularis propria 40-55 %

C2 B2 + KGB yg jauh (Regional) Positive nodes lesion through entire bowel wall 25-35 %

C3 Positive nodes invasion of adjacent organs 0-2%

D1 Lokal tumor remaining + metastase regional median


Distant metastatic disease survival
D2 metastase jauh 6-12 hrs

A2w| 251
c) Sistem TNM (The American College of Surgeons’ Commission on
Cancer) The American College of Surgeons’ Commission on Cancer

DERAJAT KEGANASAN TUMOR


Derajat keganasan ditentukan berdasarkan differensiasi tumor dalam
membentuk struktur kelenjar.
Grade I  sel tumor membentuk struktur kelenjar > 95 % dari masa tumor
Grade II  sel tumor berstruktur kelenjar 50 % – 95 % dari masa tumor
Grade III  sel tumor berstruktur kelenjar 5 % - 50 %, adenoCa musinosum dan signet ring cell ca.
Grade IV sel tumor berstruktur kelenjar < 5 %

PENANGANAN
A) Kolon Kanan
- Tumor pada kolon kanan dilakukan Hemikolektomi Kanan disertai
dengan ligasi arteri ileokolika, arteri kolika dekstra dan arteri kolika media
pada “point of origin”, dan ileum distal sepanjang 10 cm  untuk mengangkat
semua station kelenjar limfe terutama “hilar station” pada arteri kolika media
HEMIKOLEKTOMI KANAN

A2w| 252
b) Kolon Kiri
Untuk tumor pada kolon desendens, sigmoid  dilakukan Hemikolektomi Kiri
disertai dengan ligasi arteri mesenterika inferior pada “point of origin”
c) Kolon Sigmoid Sigmoid kolektomi atau Reseksi anterior
HEMIKOLEKTOMI KIRI

d) Rektum

Untuk penanganan karsinoma rektum dikenal “RULE OF THIRD” yaitu :


a) Tumor dg jarak > 12 cm dari anal verge (1/3 proksimal) Reseksi anterior
b) Tumor dg jarak < 12 cm dari anal verge, T1, terjangkau, derajat diferensiasi
baik  Dilakukan eksisi local
c) Tumor dengan jarak 6 – 12 cm dari anal verge (1/3 Tengah):
 Stadium I : Reseksi Anterior Rendah + TME (Total Mesorectal Excisison)
 Stadium II/III: Terapi kombinasi multiple (MCT)+Reseksi Anterior Rendah+TME
d) Tumor dengan jarak < 6 cm dari anus (1/3 Distal):
 Stadium I, derajat diferensiasi baikReseksi Abdominoperineal (APR) + TME
 Stadium II / III : MCT + APR + TME

A2w| 253
Tumor 1/3 proksimal (>12 cm dari anal verge).
Tumor 1/3 tengah (7 - 12 cm dari anal verge).
Tumor 1/3 distal (<7 cm dari anal verge).

Haggitt classification to Submukosa system:


Sm1 : ¼Invasion into upper 1⁄3 of submucosa.
Sm2 : ¼Invasion into middle 1⁄3 of submucosa.
Sm3 : ¼Invasion into distal 1⁄3 of submucosa.
Haggitt‟s pedunculated levels 1, 2, 3,are all in Sm1;
pedunculated level 4 can be Sm1, Sm2, or Sm3.

A2w| 254
TOTAL MESORECTAL EXCISION (TME)

Plane of dissection
Seluruh jaringan
mesorektal dieksisi

RESEKSI ANTERIOR RESEKSI ABDOMINO PERINEAL (Miles’)


RESEKSI LOW ANTERIOR

Prosedur reseksi low anterior.A dianastomosis ke B

A2w| 255
THERAPI KURATIFProsedur lebih radikal, tumor diangkat secara en block
bersama pedikel vascular dan struktur limfatik, batas reseksi usus harus
adekuat, 10 cm di proksimal tumor , 5 cm di distal tumor.
THERAPI PALIATIF
 Untuk karsinoma kolon / rectum yang inoperable :
 Kolostomi pada bagian proksimal dari tumor
 Pintasan ileo-kolostomi
TERAPI ADJUVANT
a) Radiasi  Diberikan pada karsinoma rekti
 Radiasi eksterna
– Postoperatif Dosis 40 – 60 Gy dengan fraksinasi 5 x 200 cGy
– Preoperatif 
 Jangka pendek  Dosis 5 Gy dengan fraksinasi 5 x 5 Gy
 Jangka panjang  Dosis 46 Gy dengan fraksinasi 23 x 2 Gy
 Brakiterapi

b) Kemoterapi
 Stadium I / Dukes‟ A : tidak diberikan kemoterapi
 Stadium II / Dukes‟ B : dipertimbangkan untuk kemoterapi
 Stadium III / Dukes‟ C : kemoterapi 5 FU-Folic Acid (FA)/Capecitabine~6bln
 Stadium IV / metastasis : kemoterapi 5 FU / FA atau Capecitabine hingga 6 bulan +
Oxaliplatin / Irinotecan~6 bulan.
PENYULIT
Obstruksi.
- Obstruksi kolon kiri  sering tanda pertama karsinoma kolon
- Kolon bisa sangat dilatasi terutama sekum dan kolon asendens  tipe
“Close Loop Obstruction / Dileptic Obstruction”
Perforasi.
- Perforasi terjadi disekitar tumor karena sentral nekrosis dan dipercepat oleh
obstruksi yang menyebabkan tekanan dalam rongga kolon makin meninggi
tipe “Perforasi Dileptik”
- Mengakibatkan peritonitis bila tidak cepat ditolong akan fatal
Dileptic Obstruction
Prognosis.
 Dinilai berdasarkan 5-year survival rate. Prognosis
ditentukan berdasarkan :
Staging
Derajat histopatologi
Derajat diferensiasi
Ada tidaknya invasi vaskuler atau perineural
Ada tidaknya obstruksi atau perforasi
Aneuploidi sel-sel tumor
Mucin-producing dan signet cell tumors
(intercytoplasmic mucin)
Peningkatan kadar CEA

A2w| 256
TUMOR GANAS ANUS

Histologic Classification Anal Canal


Malignant epithelial tumours
Squamous-cell (cloacogenic) carcinoma
Large-cell keratinising
Large-cell nonkeratinising (transitional)
Basaloid
Adenocarcinoma
Rectal type
Of anal gland
Within anorectal fistula
Small-cell carcinoma (designated as histologic grade 3)
Undifferentiated (designated as histologic grade 4)

1. Karsinoma Planoseluler Anus


 Tumor ganas yang paling sering ditemukan pada daerah anus
 Awalnya merupakan benjolan yang mudah digerakan  lama kelamaan
infiltrasi kedinding anorektum. Metastasis ke kelenjar limfe inguinal
Therapi Bedah.
 Eksisi lokal  bila tumor lokal dan kecil
 Operasi radikal  bila tumor invasi tanpa penyebaran diluar daerah
lokoregional

2. Karsinoma Basoseluler Anus


 Jarang ditemukan, biasanya dipinggir anus
 Sifatnya sama dengan ulkus rodensia pada muka
 Metastasis hampir tidak pernah ada
Therapi Bedah Eksisi lokal

A2w| 257
(A) Circumferential villous adenoma of the rectum. (B)
Starting at the dentate line, entire adenoma is excised circumferentially
in the submucosal plane with electrocautery. Denuded muscle wall is
plicated with interrupted absorbable sutures. (C) At completion the
anorectal wall is pleated.

A2w| 258
Kraske’s approach.
(A) Patient is placed in prone position. A midline or a transverse skin incision is used. (B) Incision through
skin, with division of anococcygeal ligament. (C) Levator ani muscle is divided in the midline plane. Coccyx can be
excised as indicated. (D) Posterior rectal wall is incised, exposing adenoma in the anterior rectal wall. (E) Adenoma is
excised in the submucosal plane. (F) Closure of anterior rectal mucosa. (G) Closure of osterior rectal wall. (H)
Closure of levator ani muscle. (I) Approximation of anococcygeal ligament.

York-Mason’s transsphincteric approach.


(A)With patient in prone position, a parasacral
skin incision is used.
(B) Incision is made through subcutaneous tissue,
external sphincter muscles, and levator ani uscle.
Each pair of muscles is marked on each side with
sutures for accurate approximation. Posterior wall
of rectum is exposed. Part of the gluteus muscle
is incised to gain exposure.
(C) Posterior wall of rectum is incised to expose
the lumen.
(D) Adenoma is excised in the submucosal plane.
(E) Posterior wall of rectum is closed with
running absorbable sutures, followed by closure
of the wound in layers.

A2w| 259
Ax Managemen of Colorectal Cancer
Fx + RT

Colonoscopy Non-polyp
Polyp
Biopsy : cancer

No distant metastasis
Complete excesion
Surgical Resection

Insitu Ca Insitu Ca

Negative positive
Resectable ?
Unresectable
Follow up margins & margins Primary Ca
Well/mod.dif Poorly
Ca diff.Ca STAGE

Dukes Dukes Dukes Dukes


A/B1 B2 C D

Follow up
Adjuvant Palliative Palliative
Chemotherapy Chemotx Surgical
Recurrence

Resectable Unresectable
(Joseph G et al, 1997)

Management of Rectal Cancer


Ax + Fx + RT (JOSEPH G et al, 1997)

Proctoscopy / sigmoid / colonoscopy


Barium enema
Blood studies
Chest x ray, CT of pelvis / abdomen

No distant metastasis
Surgical resection
Resectable Locally Unresectable

Dukes Dukes Dukes Dukes


A/B1 B2 C D

Adjuvant Chemo + radiotx


Follow up
Chemo-radiotx
Resectable Unresectable Metastatic dis.
Recurrence
Chemo+radiotx Palliative chemotx
Unresectable postoperative Boost radiation
Resectable

A2w| 260
A2w| 261
PROTOKOL KEMOTERAPI PADA KARSINOMA KOLOREKTAL
MAYO
1. 5–Fluorouracil (5-FU) : 425 mg/m2 dengan bolus IV setiap hari 5 hari
berturut-turut satu jam sesudah leukovorin (LV).
2. Leukovorin (LV) : 20 mg/m2 IV setiap hari untuk 5 hari berturut-turut.
Frekuensi : Ulang setiap 4 sampai 5 minggu.
DE GRAMONT
1. Leukovorin : 200 mg/m2 infus 2 jam diikuti
2. 5-Fluorouracil (5-FU) : 400 mg/m2 IV bolus diikuti
3. 5-Fluorouracil (5-FU) : 600 mg/m2 infus kontinu 22 jam
4. Frekuensi : hari 1 + 2, ulang setiap 21 hari.

A2w| 262
CAPECITABINE
Sebagai Monoterapi : 8 Siklus
Nama Obat Dosis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Capecitabine 2500 Dibagi 2/hari, 30 setelah Istirahat
mg/m2 makan
CAPECITABINE
Dikombinasikan dengan Oxaliplatin : 8 Siklus
Nama Obat Dosis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Capecitabine 2500 Dibagi 2/hari, 30 setelah Istirahat
mg/m2 makan
Oxaliplatin 130 Istirahat
mg/m2
CAPECITABINE
Dikombinasikan dengan Irinotecan : 8 Siklus
Nama Obat Dosis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Capecitabine 2500 Dibagi 2/hari, 30 setelah Istirahat
mg/m2 makan
Irinotecan 250 Istirahat
mg/m2
REKOMENDASI
1. Stadium I / Dukes A : tidak diberikan kemoterapi.
2. Stadium IIA / Dukes B1 : dipertimbangkan pemberian kemoterapi.
3. Stadium IIB / Dukes B2 : kemoth/ 5-FU/FA a/ Capecitabine hingga 6 bl.
4. Stadium III / Dukes C : kemoth/ 5-FU/FA a/ Capecitabine hingga 6 bl.
5. Stadium IV / Metastasis : kemoth/ 5-FU/FA a/ Capecitabine hingga 6 bl
+ Oxaliplatin a/ Irinotecan selama 6 bulan.

INDIKASI KHEMOTERAPI :
Untuk menyembuhkan kanker, Memperpanjang hidup & remisi, Mp‟panjang
interval bebas kanker, Menghentikan progresi kanker, Paliasi symptom,
Mengecilkan volume kanker, Menghilangkan gejala para neoplasma.

KONTRA INDIKASI KHEMOTERAPI :


1. Kontra indikasi absolute
Penyakit stadium terminal, Hamil trisemester pertama, kecuali akan
digugurkan, Septicemia, Koma.
2. Kontra indikasi relative
a. Usia lanjut, Status penampilan yang sangat jelek, Ada gangguan fungsi
organ vital yang berat, Seperti : hati, ginjal, jantung, sumsum tulang.
Dementia, Penderita tidak dapat mengunjungi klinik secara teratur, Penderita
tidak kooperatif, Tumor resisten terhadap obat, Tidak ada fasilitas penunjang
yang memadai.

A2w| 263
PEMANTAUAN KHEMOTERAPI :
Sebelum khemoterapi nilai dahulu harus bagaimana status penderita:
1. Fisik penderita terutama status penampilan dan toksisitas
2. Radiologi terutama keadaan paru
3 Laboratorium terutama Hb, Leukosit dan Trombosit.
A. TOKSISITAS KHEMOTERAPI :
Sebelum khemoterapi periksa darah, fungsi hati, fungsi ginjal dan sebagainya.
Khemotherapi diberikan if: Hb ≥ 10 mg% ; WBC ≥ 4.000 /m3 ; PLT≥ 100.000 /m3.
B. KOMPLIKASI KHEMOTERAPI :
1. Segera ( Shock, Arrhythmia, Nyeri pada tempat suntikan)
2. Dini ( Mual / muntah, Panas, Reaksi hipersensitif.
3. Lambat (beberapa hari) ( Stomatitis, Diarrhoe, Alopecia, Depresi ss. tlg
4. Lambat (beberapa bulan) ( Hiperpigmentasi kulit, Lesi Organ : Adriamycin →
hati, Bleomycin,Busulfan → paru, Methotrexate → hati, Gangguan kapasitas
reproduksi (Amenorhoea,Penurunan knstrasi sperma), Gangguan endocrine (
Feminisasi, Virilisasi), Efek karsinogen.

Follow Up.
a) Pemeriksaan fisis  tidak terlalu bagus untuk menentukan rekurensi dini
dari tumor.
b) Kolonoskopi  sebaiknya dilakukan 1 tahun setelah operasi untuk
mendeteksi adanya polyp baru :
 Jika ditemukan polyp baru  polyp dikeluarkan kemudian kolonoskopi
diulang setiap tahun
 Jika polyp baru ( - )  kolonoskopi diulang setiap 3 – 5 tahun
c) CEA (Carcino Embryonic Antigen)  Tumor marker sensitif untuk
mendeteksi rekurensi karsinoma kolorektal
 Diulang setiap 3 bulan selama 2 tahun pertama
 Diulang setiap 6 bulan setelah 2 tahun pertama
d) Bila CEA meningkat  indikasi untuk melakukan pemeriksaan “chest
radiography” dan CT scan abdomen
e) Kemoterapi dan radioterapi  merupakan terapi paliatif untuk karsinoma
kolorektal nonresectable yang rekuren
METASTASIS COLORECTAL CANCER:
 Colorectal cancer  Hepar
 Synchronus metastase  15 – 25 %
 Metachronus metastase  20 %
 Survival rate 31 %, 8%, 2% saat 1, 3 dan 5 tahun
 Soliter metastase lebih baik dari multipel
 Unilateral lebih baik bilateral
 Synchronus metastase lebih agresif

A2w| 264
INDIKASI RESEKSI HEPAR PADA METASTASIS COLORACTAL CANCER
INDIKASI TEGAS
 Soliter metastase pada 1 lobus
 Soliter metastase pada central hepar
 Bilateral metastase tidak melibatkan setidaknya
2 segmen besar atau 3 segmen kecil
 Multipel lesion tidak melibatkan setidaknya 2
segmen besar atau 3 segmen kecil
 Soliter metastase pada hepar dan soliter
metastase pada paru-paru

BODERLINE
 Small metastase (< 2 cm)
 Masuk dalam Indikasi tegas tetapi
dengan kecurigaan terdapat nodul

UNRESECTABEL
 Lesi soliter tetapi dengan unresectabel lokal
recurrens
 Metastase lebih dari 5 – 6 segmen
 Small metastase tetapi tetapi banyak

A2w| 265
HEMORROID
DEFINISI
 Hemorrhoid  adanya prolapsus bantalan anus
(Anal Cushion) Dilatasi satu/ lebih segmen vena
dalam pleksus hemoroidalis
 Nama lain : wasir, ambein, pila, piles
 Pria > wanita (2:1)Terutama usia >50 tahun
 Posisi primer: jam 3, 7 dan 11.
Kanalis analis berasal dari proktoderm
Panjang sekitar 3 cm Membentuk sudut ke dorsal dgn rektum.
Batas atas : garis anorektal (garis mukokutan, linea pektinata, linea dentata)
Terdapat kripta anus dan muara kelenjar
Kolumna Morgagni : lipatan longitudinal mukosa di atas linea dentata. Garis
Hilton : lekukan antar sfingter sirkuler .
Anal cushion: vascular submucosa, connective tissue, Treitz / Park muscle
Teori Hemorrhoid
 Teori Varikosse(Jaman Hippocrates)Dilatasi vena
Peninggian tekanan vena
Kelemahan dinding vena
Obstruksi venous dinding rectum, spasme spincter
 Teori Hiperplasia VascularHistologis tidak ditemukan
 Teori Sliding Anal Cushion Adanya sliding dari bantalan anus
Mekanisme dasar terjadinya Hemorrhoid adalah
Pembendungan hipertropi bantalan anus interna
Kegagalan pengosongan vena
Bantalan anus – Mobile
Terperangkapnya bantalan anus oleh sfingter ani
KLASIFIKASI
1. Hemorrhoid Interna  Diatas Linea Dentata.
2. Hemorrhoid Eksterna Dibawah Linea Dentata.

A2w| 266
GRADING HEMORRHOID INTERNA
Grade I Perdarahan merah segar tanpa nyeri waktu defekasi, tidak
terdapat prolap. Anoskopi hemorrhoid membesar dan
menonjol.
Grade II Hemorrhoid menonjol melalui kanalis analis saat mengedan
ringan namun dapat masuk kembali secara spontan.
Grade III Hemorrhoid menonjol saat mengedan dan harus didorong
masuk secara manual
Grade IV Hemorrhoid menonjol keluar dan tidak dapat didorong masuk
kembali

Hemorrhoid Prolapsus Recti

A2w| 267
PRINSIP PENANGANAN
1. Kelainan Anorektal yang sering dijumpai dan bisa ditemukan bersama-sama
kelainan anorektal yang maligna.
2. Anal cushionmerupakan struktur anatomis fungsional  tidak membutuhkan
penanganan kecuali bila sudah timbul gejala-gejala
3. Strategi penanganan sangat tergantung dari banyaknya jaringan yang
prolapsus melewati anal verge.
4. Saat menunggu perbaikan gejala  biasanya terjadi setelah 6 minggu 
penanganan tambahan untuk memperbaiki gejala-gejala.
PENANGANAN.
A. Penanganan Non Invasive.
1. Pencegahan (Prevention) Hindari konstipasi kronik, Hindari makanan
pedas, Diet “Bulk Laxatives” , Hindari mengedan saat defeksi, Jangan
memakai pencahar.
2. Medikamentosa
Menghentikan perdarahan, gatal, nyeri. Memperbaiki defekasi : suplemen
fiber dan pelunak feces (stool softener).

B. Penanganan Invasive.
I. Minimal Invasive (Instrumentasi)
1. Skleroterapi SclerosanPhenol 5% dalam almond oil/sodium tetradecate.
Injeksi ke submukosa sekitar pedikel hemoroidreaksi inflamasi 
sembuh dengan membentuk jaringan fibrosis submukosa 
memfiksasi anal cushion pada mukosa Keberhasilan sekitar 70 %

2. Rubber band ligation


Menempatkan rubber band pada
basis jaringan hemoroid 
pembuluh darah strangulasi 
nekrosisjaringan fibrosis  anal
cushion terfiksasi  cegah
prolapsus hemoroid 
Keberhasilan 50%-100%

A2w| 268
3. Cryosurgery

4. Infra Red Coagulation

Penyinaran dengan infrred pada


mukosa basis hemoroid sebanyak 3
– 6 pulsa selama 1,5 detik Koagulasi
 jaringan granulasi  mucoasal
fixation

5. Stapled

II. OperativePenanganan Irreducible Prolapsed Hemoroid


Prolaps Anal CushionFungsi sudah tidak efektif untuk mempertahankan
kontinensiakerusakan fungsi motoris.
Therapi Pembedahan ( Hemmoroidectomy ) :
1. Open Hemmoroidectomy ( Milligan Morgan )
2. Submukosa Hemmoroidectomy ( Parks )
3. Close Hemmoroidectomy ( Ferguson )
4. Whitehead
5. Langenback

Ferguson (Close Hemoroidectomy) Milligan Morgan (Open Hemoroidectomy)

A2w| 269
Penanganan nyeri pasca operasi
 Pasca operasi hemoroidektomi sangat nyeri.
 Metode penanganan nyeri pasca operasi: Berikan anastesi yang baik,
Analgesi yang adekwat, Bulk laxative dan “sitz bath”, Gunakan diatermi

Penanganan perdarahan pasca operasi


 Ditemukan sekitar 3,3% - 6,7%
 Jarang ditemukan kurang dari 24 jam pasca operasi
 Perdarahan sekunder pada hari ke 7 – 14 pasca operasi
 terjadi sepsis pedikel hemoroid atau terjadi robekan luka operasi saat
defekasi
 Penanganan
Adrenalin anal pack
Baloon catheter tamponade
Injeksi adrenalin 1 : 10.000 submukosa

A2w| 270
PROLAP RECTI
DEFINISI.
Prolaps ( Prosidensia/Komplit ) recti adalah keluarnya seluruh tebal dinding
rectum melalui anus.
Factor yang dikatakan sebagai pencetus prolaps rekti:
1. Peningkatan Tekanan intra abdomen (Konstipasi, Diare, BPH, Penyakit
Paru Obstruksi Kronik, Pertusis,dll).
2. Gangguan pada dasar pelvis.
3. Infeksi Parasit ( Amubiasis, Schistosomasis ).
4. Struktur Anatomi ( Cul-de-sac, Kelemahan otot penyangga rektum,
redundan rektosigmoid ).
5. Kelainan neurologis ( Trauma pelvis, sindrom auda ekuina, tomur spinal,
multiple sklerosis )
Prolaps rekti dibagi 3 yaitu:
a. Occult Prolaps Rekti. Prolap mukosa rekti melalui anus  Hemoroid.
b. Prolaps rekti parsial ( intusussepsi ). Bila lapisan mukosa dinding rectum
yang keluar melalui anus yang secara umum di proyeksikan 2-4 cm.
c. Prolaps rekti complit ( Prosidensia ). Bila seluruh lapisan dinding rectum
mengalami protrusi melalui anus sepanjang 12 cm.

DIAGNOSA
 Anamnesa.
Nyeri/rasa tidak enak saat defekasi, panggul terasa penuh, selalu ingin
defekasi, kadang juga sulit, sekresi lendir dan darah banyak, kadang diare
berkepanjangan, massa keluar dari anus, adanya sulkus antara rektum dan
anus, inkontinensia alvi.
 Pemeriksaan Fisik.
Penonjolan rektum dgn lipatan mukosa konsentrik, massa dapat direposisi,
inkarserasi atau strangulasi, ulkus mukosa dengan perdarahan, tampak posisi
anus normal (tidak eversi) Colok dubur : pinggir anus beralur, tonus sfingter
lemah.
 Pemeriksaan Penunjang.
o Laboratorium.
Tidak ada gambaran laboratorium yang spesifik pada prolaps rekti. Kadang
peningkatan kadar leukosit, penurunan hemoglobin.
o Barium Enema.
Evaluasi kolon untuk menyingkirkan kelainan primer pada kolon yang dapat
menyebabkan prolaps.
o Video Defecography ( Colonic Transit Study )
Untuk menentukan prolap internal atau prolap mukosa (parsial/
intusussepsi) bila tidak ada keluhan atau gejala yang jelas. Material/kontras
radiopaque/barium dimasukkan ke dalam rectum, perhatikan keluarnya
kontras saat defekasi.

A2w| 271
o Test Manometri.
Menilai beratnya kerusakan fungsi otot-otot sfingter ani. Sering ditemukan
penurunan tekanan sfingter ani internus dan tidak adanya kemampuan
reflek penahan dari anorektal. Test ini masih diperdebatkan dan beberapa
ahli tidak merekomendasikan test ini.
o Test Sitz Marker.
Test ini digunakan untuk meyakini patensi kolon yang berguna dalam
menentukan apakah diperlukan tindakan reseksi kolon.
o Rigid Proctosigmoidoscopy.
Untuk menemukan adanya ulkus rectum yang soliter, yang terjadi hampr
10-25%. Jika ditemukan ulkus tunggal atau multiple pada dinding anterior
rectum, daerah ini sebaiknya diangkat dan sering menimbulkan
perdarahan.

Prolaps mukosa pada hemoroid. Prolaps rekti komplit

Hemoroid Intusussepsi Komplit Prolap Recti

A2w| 272
PENANGANAN
☞ Konservatif.
Prolaps rekti dini pada anak-anak, prolaps rekti interna ( hemoroid ) dan
prolaps rekti mukosa yang masih dini dapat diberikan obat-obat yang dapat
melembutkan feses atau laksansia, diet tinggi serat. Reposisi manual
dilakukan dengan ataupun tanpa sedasi ringan atau local anestesi
menggunakan jelly. Pemberian sukrosa atau gula dapat dilakukan untuk
membentuk jaringan granulasi permukaan mukosa yang diharapkan dapat
mengurangi udem. Bila reposisi tidak berhasil, prolap rekti udem dan tidak
viable akibat inkarserata/strangulasi, dilakukan tindakan reseksi.
☞ Pembedahan.
Pembedahan prolap rekti dilakukan dengan pendekatan abdominal, perineal
maupun laparoscopy. Prosedur abdominal memiliki resiko kekambuhan yang
minimal namun morbiditas tinggi. Pasien usia lanjut ( pasien yang memiliki
masa hidup lebih pendek dan keadaan umum yang buruk ) sebaiknya
dilakukan pendekatan perineal karena resiko morbiditas yang rendah,
sedangkan pasien usia muda ( pasien yang memiliki masa hidup lebih
panjang dan keadaan umum baik ) sebaiknya dilakukan pendekatan
abdominal.

Gambar 6. Marlex Rektopeksi Altemeier perineal rectosigmoidectomy. Delorme mucosal sleeve resection

A2w| 273
Pendekatan Perineal.
✒ Tehnik Mukosal Sleeve Resection ( Delome Procedure )

Mukosal Sleeves Resection ( Delome Procedure )


1. Eversi rectum .
Pasien dalam posisi litotomy, rektum di tarik keluar menggunakan forcep
Babcock melalui anus secara perlahan-lahan, sampai lapangan operasi jelas.
2. Injeksi local anestesi pada submukosa.
Setelah rectum dieversikan, injeksi lidokain 0,5%, bupivacain 0,25%, dan
epinephrine yang sudah diencerkan secara melingkar/sirkuler
(sirkumferensial) sedalam 1-1,5 cm diatas linea dentate.
3. Insisi mukosa melingkar/sirkuler ( sirkumferensial ).
Insisi mukosa secara melingkar/sirkuler dengan menggunakan cauterisasi,
dengan bantuan klamp di empat posisi untuk memudahkan tindakan.
4. Diseksi/pisahkan mukosa dari otot rektum secara hati-hati dengan
menggunakan cauter dengan bantuan jari yang dimasukkan kedalam rongga
rektum untuk memudahkan traksi rektum dan mencegah diseksi terlalu tebal.
5. Plikasi otot- rektum dengan jahitan sirkuler ke dinding rektum.
6. Reseksi mukosa rektum dan lakukan anastomose mukosa-mukosa, setelah
dijahit mukosa akan kembali ke posisi snatomis secara spontan.

✒ Tehnik Perineal Rektosigmoidektomy.


1. Setelah dieversi dan dilakukan anestesi lokal pada mukosa rektum, mukosa
rektum di insisi 1-1,5 cm dengan cauter pada perbatasan dengan sidmoid dan
linea dentata secara melingkar, sampai tampak lemak perirektal dan
mesorektal ( a,b,c ).
2. Mobilisasi rektum dengan menggunakan klamp, ligasi dan pisahkan pembuluh
darah dari mesorektum. Saat redundan rektum dan sigmoid telah dimobilisasi
secara adekuat, maka kantong hernia peritoneum ditutup dan dijahit,
kemudian dilakukan reseksi redundan kantong hernia untuk menghindari
intusussepsi anterior.
3. Levatorplasty dilakukan untuk membentuk sudut yang tepat dari otot dasar
pelvis untuk penanganan inkontinensia dan menghindari herniasi sehingga
rekurensi dapat dicegah. Tindakan ini dapat dilakukan dari anterior ke rektum,
posterior ke rektum atau kedua-duanya.

A2w| 274
4. Transeksi proksimal rektum dan anastomosis. Identifikasi rektum redundan
dan mesorektum yang akan direseksi. Transeksi dimulai dengan
membebaskan dinding usus besar dibagian superior dan menempatkan satu
jahitan pada ujung terluar rongga rektum. Transeksi dilanjutkan pada bagian
inferior untuk membentuk menjadi empat area, dan dilakukan jahitan kedua.
Dengan menarik kedua jahitan tersebut, dilakukan jahitan tambahan pada
daerah yang tersisa untuk menandai keempat kuadran.

Tehnik Rektosigmoidektomy.

Pendekatan Transabdominal.
✒ Open Rektopeksi ( Frykman-Goldberg Procedure ).
1. Insisi didaerah midline atau pfannenstiel di bawah umbilikus, ekplorasi bagian
pelvis dan amankan strutur abdomen lainnya.
2. Mobilisasi sigmoid dengan insisi refleksi peritoneum, identifikasi pembuluh
darah gonad dan ureter lalu amankan, kemudian lanjutkan insisi di
rektouterina atau rektovesica di kanan dan kiri rektum.
3. Transeksi kolon sigmoid bagian proksimal dan penempatan stapler anvil.
Daerah simoid – kolon descenden dipisahkan dengan jaringan sekitarnya lalu
letakkan klemp di proksimal dan distal sigmoid. Kemudian dilakukan reseksi
pada kedua klemp tersebut lalu dijahit dengan benang prolene 2.0 pada ujung
masing-masing klemp.
4. Pemisahan mesenterium sigmoid, dengan preservasi dan ligasi pembuluh
darah.
5. Mobilisasi rektum dan pemisahan dengan ligamentum.
6. Dilakukan anastomosis colorektal ( rektopeksi prosedure ).

Tehnik Open Rektopeksi

A2w| 275
✒ Laparoscopy Rektopeksi.
1. Lakukan penempatan trocar, di infraumbilikus atau supraumbilikus (tehnik
open hasson) untuk penempatan kamera. Dilakukan pneumoperitonium
kemudian tambahkan 2 trocar dilateral abdomen.
2. Mobilisasi sigmoid dan rektum, pisahkan dan amankan pembuluh darah
mesenterium.
3. Transeksi intracorporal rektum pada rektosigmoid junction.
4. Transeksi ektracorporal proksimal usus.
5. Anastomose colorektal ( rektopeksi ).

Penempatan trocar laparoscopy

✒ Laparoscopy Mess Rektopeksi.

(A) Proyeksi Penempatan Mess Rektopeksi. (B). a. Mess ditempatkan di daerah sacrum. b. Batas lateral mess ditempatkan
mengitari rektum dan dijahit ke dinding rektum.

Prosedure Ripstein.
a. Mess diletakkan dibatas bawah rectum dijahit pada fasia presacral dan otot anterior rektum.
b. Jahit rektum pada daerah presacral pada sisi lainnya sehingga terbentuk agak melengkung

A2w| 276
✒ Invalon Sponge Repair ( Well Procedure ).

Well Procedure. Repair dengan sponge mengitari


rectum dan difiksasi di os sacrum dengan tiga jahitan.

Penanganan Post Operatif.


Pasien yang dilakukan pendekatan perineal dengan komplikasi nyeri yang
minimal dan waktu perawatan relative pendek. Pasien dipuasakan 12-24 jam,
kemudian diberikan cairan per oral secara bertahap sampai diet yang teratur.
Fungsi usus lebih cepat pulih dan pasien dapat dipulangkan 24-72 jam setelah
operasi. Sedangkan pada pasien dengan pendekatan transabdominal biasanya
memiliki keluhan illeus dan nyeri. Diberikan cairan intravena dan nutrisi
parenteral sampai ada tanda-tanda kembalinya fungsi usus normal, maka diet
per oral dapat diberikan. Pasien yang dilakukan anastomose sebaiknya diberikan
makanan rendah serat selama 2-3 minggu untuk menghindari konstipasi. Pasien
yang tidak dilakukan anastomose, dapat diberikan diet tinggi serat segera
mungkin.
KOMPLIKASI
 Ulkus mucosal.
 Necrosis dinding rektum.
 Perdarahan, infeksi, Trauma usus, kebocoran anastomosis.
PROGNOSIS
 Reolusi spontan biasanya terjadi pada anak-anak.
 Pasien umur 9 bulan – 3 tahun hanya membutuhkan penanganan
konservatif.

A2w| 277
FISTULA ANI
PENDAHULUAN
Fistula adalah hubungan yang abnormal antara suatu saluran dengan saluran
lain, atau antara suatu saluran dengan dunia luar melalui kulit. Yang pertama
disebut fistula interen dan yang kedua fistula eksteren. Fistula anorektal atau
fistula ani adalah terowongan abnormal dari anus atau rektum, biasanya menuju
ke kulit di dekat anus, tapi bisa juga ke organ lainnya seperti vagina.
PATOGENESIS
Ruang supralevator berada diatas levator ani dan di sisi rektum ,dimana
ruang ini menghubungkan bagian posterior yang lainnya. Mayoritas penyakit
supurativ anorektal terjadi karena infeksi dari kelenjar anus (cyptoglandular).
Kelenjar ini terdapat melintang di dalam ruang intersphinteric, dan tidak terdapat
pada kripte anal yang berada pada kanalis anal pada daerah garis dentata.
Diawali kelenjar anus terinfeksi, sebuah abses kecil terbentuk di daerah
intersfincter. Abses ini kemudian membengkak dan fibrosis, termasuk di bagian
luar kelenjar anus di garis kripte. Ketidakmampuan abses untuk keluar dari
kelenjar tersebutproses purulenmeluas sampai perineum, anus atau
seluruhnyaabses perianal atau fistula. Sebagian besar fistula terbentuk dari
sebuah abses, tapi tidak semua abses menjadi fistula. Lubang primer atau
interna biasanya ditemukan dalam salah satu sinus analis. Kebanyakan terletak
pada satu sisi garis tengah posterior. Jika muara kulitnya anterior terhadap garis
transversa yang ditarik melalui anus, maka muara interna adalah pada garis
radial langsung ke dalam anal rektum. Jika muara kulit posterior terhadap garis
transversa, muara interna mungkin berada pada garis tengah posterior (hukum
Goodsall). Penyebab di posterior merupakan hasi dari defek fusi pada muskulus
longitudinal dan sfingter eksternal pada garis tengah posterior, oleh karena itu,
fistula transfingter lebih mudah terjadi pada posisi ini, dimana saluran dapat
diseksi ke dalam satu atau kedua-dua fossa ischiorektal.

 

Hukum Goodsall
 Muara eksterna di anterior garis imajiner
 fistel berjalan lurus
 Muara eksterna di posterior garis imajiner
 fistel melengkung ke garis tengah
posterior kanalis analis
 Muara eksterna di anterior garis majiner
dan lebih dari 3 cm dari anus  fistel
akan melengkung ke posterior

A2w| 278
DIAGNOSIS
Gejala Klinis, Pasien biasanya mengeluhkan beberapa gejala yaitu :
 Nyeri pada saat bergerak, defekasi, dan batuk,Ulkus, Keluar cairan purulen
Benjolan (Massa fluktuan), Pruritus ani, Demam, Kemerahan dan iritasi kulit di
sekitar anus, General malaise.
1. Anamnesis
Dari anamnesis biasanya ada riwayat abses perianal residif dengan selang
waktu di antaranya, disertai pengeluaran nanah sedikit –sedikit.
2. Pemeriksaan Fisis
Di daerah anus, ditemukan 1/lebih fistula atau teraba fistula di bawah
permukaan. Pada colok dubur bidigital fistel dapat diraba antara jari telunjuk di
anus (bukan di rectum) & ibu jari di kulit perineum seperti tali setebal ± 3 mm .
3. Pemeriksaan Penunjang.
● Fistulografi
- Injeksi kontras melalui pembukaan internal, diikuti dengan anteroposterior,
lateral dan gambaran X-ray oblik untuk melihat jalur fistula.
● Ultrasound endoanal/ endorektal
- Menggunakan transduser 7 atau 10 MHz ke dalam kanalis ani untuk
membantu melihat differensiasi muskulus intersfingter dari lesi transfingter.
Transduser water-filled ballon membantu evaluasi dinding rectal dari
beberapa ekstensi suprasfingter. Modalitas ini tidak digunakan secara luas
untuk evaluasi klinis fistula.

Fistulografi Ultrasound endoanal

● MRIMRI dipilih apabila ingin mengevaluasi fistula kompleks, untuk


memperbaiki rekurensi.
● CT- Scan  CT Scan memerlukan administrasi kontras oral dan rektal
● Barium Enemau/ fistula multiple dapat mendeteksi penyakit inflamasi usus.
● Anal Manometri :
Evaluasi tekanan pada mekanisme sfingter berguna pada pasien tertentu.
 Menurunkan observasi nada sewaktu evaluasi preoperative
 Riwayat fistulotomi sebelumnya.
 Riwayat trauma obstetrik
 Fistula transfingterik/ suprasfingterik tinggi (jka diketahui)
Jika menurun, bagian operasi pada beberapa portio sfingter harus dielakkan.

A2w| 279
Sistem Klasifikasi Parks Parks membagi fistula ani menjadi 4 type:
 Intersphinteric fistula
Berawal dalam ruang diantara muskulus sfingter eksterna dan interna dan
bermuara berdekatan dengan lubang anus.
 Transphinteric fistula
Berawal dalam ruang diantara muskulus sfingter eksterna dan interna,
kemudian melewati muskulus sfingter eksterna dan bermuara sepanjang 1
atau 2 inchi di luar lubang anus, membentuk huruf “U” dalam tubuh, dengan
lubang eksternal berada di kedua belah lubang anus (fistula horseshoe).
 Suprasphinteric fistula
Berawal dari ruangan diantara m. sfingter eksterna dan interna dan membelah
ke atas muskulus pubrektalis lalu turun diantara puborektal & m.levator ani
lalu muncul 1 atau 2 inchi diluar anus.
 Ekstrasphinteric fistula
Berawal dari rektum atau colon sigmoid dan memanjang ke bawah, melewati
muskulus levator ani dan berakhir di sekitar anus. Fistula ini biasa disebabkan
oleh abses appendiceal, abses diverticular, atau Crohn‟s Disease.

Intersphinteric fistula Transphinteric fistula Suprasphinteric fistula Ekstrasphinteric fistula

Intersphincteric. Transsphincteric. Suprasphincteric. Extrasphincteric.


Classification of fistula-in-ano.

DIAGNOSIS BANDING
 Hidranitis supurativaMerupakan radang kelenjar keringat apokrin yang
membentuk fistula multiple subkutan. Predileksi di perineum, perianal, ketiak
dan tidak meluas ke struktur yang lebih dalam.
 Sinus pilonidalisTerdapat di lipatan sakrokoksigeal, berasal dari rambut
dorsal tulang koksigeus/ujung os sacrum. Gesekan rambut  peradangan dan
infeksi akut sampai abses dan terbentuk fistel setelah abses pecah.
 Fistel proktitisFistel proktitis dapat terjadi pada morbus Crohn, tbc,
amubiasis, infeksi jamur, dan divertikulitis. Kadang disebabkan oleh benda
asing atau trauma.
A2w| 280
PENATALAKSANAAN
Terapi Konservatif
Medikamentosa dengan pemberian analgetik, antipiretik serta profilaksis
antibiotik jangka panjang untuk mencegah fistula rekuren.
Terapi pembedahan  Fistulotomi atau Fistulektomi.
FistulotomiFistel di insisi dari lobang asalnya sampai ke lubang kulit,
dibiarkan terbukasembuh per sekundam intentionem. Dianjurkan sedapat
mungkin dilakukan fistulotomi.
FistulektomiJaringan granulasi harus di eksisi keseluruhannya untuk
menyembuhkan fistula. Terapi terbaik pada fistula ani adalah membiarkannya
terbuka.

SetonSeutas benang atau karet diikatkan malalui saluran fistula dan


ditinggalkan untuk beberapa bulan sehingga terlepas sendiiri.
Advancement Flapi Menutup lubang dengan dinding usus, tetapi
keberhasilannya tidak terlalu besar.
Fibrin GlueMenyuntikkan perekat khusus (Anal Fistula Plug/AFP) ke dalam
saluran fistula yang merangsang jaringan alamiah dan diserap oleh tubuh.

Anal Fistula Plug (AFP) Advancement Flap Seton

Anorectal advancement flap.


A Transsphincteric fistula-in-ano. B Enlargement of external opening and curettage of granulation tissue.
C Mobilization of flap and closure of internal opening.D Suturing of flap in place covering internal opening.

A2w| 281
Technique of laying open.
A Insertion of probe and incision of tissue overlying probe.
B Curettage of granulation tissue.
C Marsupialization of wound edges

Drainage Horseshoe Abscess

A2w| 282
PROSES DEFEKASI
Proses defekasi terjadi baik secara disadari (volunter), maupun tidak
disadari (involunter) atau refleks. Gerakan yang mendorong feses ke arah anus
terhambat oleh adanya kontraksi tonik dari sfingter ani interna yang terdiri dari
otot polos dan sfingter ani eksterna yang terdiri dari otot rangka. Sfingter ani
eksterna diatur oleh N. Pudendus yang merupakan bagian dari saraf somatik,
sehingga ani eksterna berada di bawah pengaruh kesadaran kita (volunter).

Respon involunter dan volunter  kontraksi m.sfingter ani interna dan externa distensi
rektum  feses memasuki rektum mll pleksus mienterikus  terjadi gelombang peristaltik
 m.puborektalis relaksasi  area anorektal membuat sudut 90 antara ampulla rekti 
sudut meningkat 130 – 140  m.sfingter ani kontraksi dibwah pengaruh kesadaran 
terjadilah defekasi. Setelah defekasi selesai  closing refleks  m.sfingter ani int dan
m.puborektalis kontraksi  sudut anorektal kembali ke posisi semula  m.sfingter ani
interna memulihkan tonus otot dan menutup kanalis ani.
Proses defekasi diawali oleh terjadi refleks defekasi akibat ujung – ujung
serabut saraf rectum terangsang ketika dinding rectum teregang oleh massa
feses. Sensasi rectum ini berperan penting pada mekanisme continence dan
juga sensasi pengisian rectum merupakan bagian integral penting pada defekasi
normal. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut : pada saat volume kolon
sigmoid menjadi besar, serabut saraf akan memicu kontraksi dengan
mengosongkan isinya ke dalam rectum. Studi statistika tentang fisiologi rectum
ini mendeskripsikan tiga tipe dari kontraksi rectum yaitu : (1) Simple contraction
yang terjadi sebanyak 5 – 10 siklus/menit ; (2) Slower contractions sebanyak 3
siklus/menit dengan amplitudo diatas 100 cmH2O ; dan (3) Slow Propagated
Contractions dengan frekuensi amplitudo tinggi. Distensi dari rectum
menstimulasi reseptor regang pada dinding rectum, lantai pelvis dan kanalis
analis. Bila feses memasuki rektum, distensi dinding rectum mengirim signal
aferent yang menyebar melalui pleksus mienterikus yang merangsang terjadinya
gelombang peristaltik pada kolon desenden, kolon sigmoid dan rectum sehingga
feses terdorong ke anus. Setelah gelombang peristaltik mencapai anus, sfingter
A2w| 283
ani interna mengalami relaksasi oleh adanya sinyal yang menghambat dari
pleksus mienterikus; dan sfingter ani eksterna pada saat tersebut mengalami
relaksasi secara volunter,terjadilah defekasi.
Pada permulaan defekasi, terjadi peningkatan tekanan intraabdominal oleh
kontraksi otot – otot kuadratus lumborum, muskulus rectus abdominis, muskulus
obliqus interna dan eksterna, muskulus transversus abdominis dan diafraghma.
Muskulus puborektalis yang mengelilingi anorectal junction kemudian akan
relaksasi sehingga sudut anorektal akan menjadi lurus. Perlu diingat bahwa area
anorektal membuat sudut 900 antara ampulla rekti dan kanalis analis sehingga
akan tertutup. Jadi pada saat lurus, sudut ini akan meningkat sekitar 1300 – 1400
sehingga kanalis analis akan menjadi lurus dan feses akan dievakuasi. Muskulus
sfingter ani eksterna kemudian akan berkonstriksi dan memanjang ke kanalis
analis. Defekasi dapat dihambat oleh kontraksi sfingter ani eksterna yang berada
di bawah pengaruh kesadaran ( volunteer ). Bila defekasi ditahan, sfingter ani
interna akan tertutup, rectum akan mengadakan relaksasi untuk mengakomodasi
feses yang terdapat di dalamnya. Mekanisme volunter dari proses defekasi ini
nampaknya diatur oleh susunan saraf pusat. Setelah proses evakuasi feses
selesai, terjadi Closing Reflexes. Muskulus sfingter ani interna dan muskulus
puborektalis akan berkontraksi dan sudut anorektal akan kembali ke posisi
sebelumnya. Ini memungkinkan muskulus sfingter ani interna untuk memulihkan
tonus ototnya dan menutup kanalis analis.

TRAUMA PERINEAL-ANAL

A2w| 284
GASTROINTESTINAL & ENTEROCUTANEUS FISTULA
DEFINISI
 Fistel merupakan hubungan abnormal antara suatu saluran dengan saluran
lain atau suatu saluran dengan dunia luar melalui kulit.
Saluran penghubung  permukaannya dilapisi epitel
 Fistel enterokutaneus  hubungan abnormal antara usus dengan kulit
KLASIFIKASI untuk prediksi morbiditas & mortalitas serta kemungkinan
terjadinya “spontaneous closure”
KLASIFIKASI FISTULA
I. Hubungan Interna Tanpa Hubungan dengan permukaan Tubuh
Externa Berhubungan dengan permukaan Tubuh.
II. Derajat 1. Simple Short, direct tract,No associated abscess, No
other organ involvement
2.Complex Morbiditas dan mortalitas tinggi
“Spontaneous closure” rendah
Type 1 Associated with abscess, Multiple organ
involvement, Associated with abscess
Multiple organ involvement
Type 2 Open into base of disrupted wound
3. Obstruction There is an obstruction distal to the fistula
opening
III. Arah Fistula 1. Lateral Fistula
2. End Fistula
IV. Asal Fistula 1. Usus Halus Morbiditas dan mortalitas tinggi
“Spontaneous closure” rendah
2. Colon Morbiditas dan mortalitas lebih rendah
“Spontaneous closure “ lebih tinggi
3.Pankreas 1. Low < 200 ml/24jam
2. High ≥ 200 ml/24jam
V.Vol.Out Put 1.Low Out Put < 500 cc / 24 jam, Berasal dari colon
2.High Out Put > 500 cc / 24 jam, asal dari usus halus
VI. Etiologi 1. Congenital Tracheo Oesoph, Duodenocolic fistula
2. Spontan Chrown‟s, TBC, Divertikel, Abcess, Lokal
perforasi, Radiasi enteritis
3.Aquired TraumaTusuk,Tembakan
OperasiAnastomosis, Drainase Abcess

A2w| 285
Faktor yang menghambat terjadinya “Spontaneous Closure” :
1. Undrained sepsis
2. Distal obstruction
3. Underlying disease (e.q.,Crohn‟s disease, radiation-induced bowel injury
and malignancy
4. Other potential factors are separation of the bowel ends
5. A short fistula tract (<2 cm)
6. A foreign body, a bowell defect > 1 cm in diameter and epithelialization of the
tract

Underlying sepsis Distal obstruction Underlying bowel


can be a reason for may inhibit closure disease may be a
non closure of fistula reason for nonclosure

Disrupted anastomosis Short tract may explain Epithelization of the


as a reason for non failure of a fistula to a tract may prohibit
closure close spontaneously spontaneous closure

PENATALAKSANAAN
Manajemen Umum :
1. Resusitasi cairan
2. Jaga Keseimbangan cairan & elektrolit
3. Support nutrisi
4. Istirahat usus
5. Kontrole drainage fistula yang adekuat.
6. Rawat Luka & Antibiotik
8. Semua faktor penyebab fistula dicaridikoreksi
Ex: Obstruksi distal, Abses disekitarnya, Corpus alienum, eg. Mask, benang,
Primary disease : Chrown, malignancy.

A2w| 286
Drainase:
 Mencegah akumulasi cairan progresif & perkembangan infeksi
 Profilaksis dainase  jenis pembedahan & pengalaman ahli bedah
 Diletakkan dekat di atas anastomosis digestif & jahitan resiko tinggi
 Pada cav. Abdomen bgn atas  drain isap tek. Rendah dengan bahan silikon
lubang banyak > disukai,
 Cairan yang terlokalisir  drainase perkutaneus
 Kental  passif drain, Encer  drain isap, Volume cairan yang besar 
sistem terbuka & aspirasi kontinu.
Proteksi Cutaneus:
 Penggantian cepat elektrolit dan mempertahankan keseimbangan nutrisi
 4 kriteria penilaian Optimalisasi perawatan kulit: Asal dari fistula, Kandungan
alami dari effluen, Kondisi dari kulit, Lokasi pintu traktus.
 Penggunaan barier kulit  Effluent dengan proteolitik, asam & basah yg tinggi
Resusitasi Caiaran & elektrolit
 Eksudat  Na, K, Cl, Bikarbonat, Proein, dll  dehidrasi, hiponatremia,
hipokalemia & asidosis metabolik.
 Penting analisa kandungan eksudat & Komposisi eksudat  tdk sama dengan
komposisi N pada lokasi anatomisnya
 Transfusi darah  anemia retikulopenia
 Fistula pankreas  protein, bikarbonat
 Eliminasi intake oral & subtitusi dengan alternatif nutrisi
Pemberian Nutrisi & Istirahat Usus( Parenteral & Enteral Nutrition)
 Malnutrisi  posisi & output fistula, 3 mekanisme fistula  malnutrisi:
1. Hilangnya intake makanan
2. Hilangnya cairan kaya protein & energi
3. Hiperkatabolisme (sepsis)
 Intake oral <, stop  fistula gaster, duodenum, pankreas atau usus halus
 Makanan padat  sekresi getah digestif  output fistula↑
 Low output  energi basal penuh, 1-1,5gr protein/kgBB/hr, 30% kalori lemak
 High output  1,5-2 x energi basal + 1,5-2,5gr protein/kgBB/hr + 2xRDA
vitamin & trace mineral, >10xRDA vit. C & Zn
 TPN/EN  memperbaiki status nutrisi & mengisirahatkan traktus GI
 TPN  sekresi traktus GI ↓ 30-50%, induksi sintesa protein, mempercepat
penutupan. EN  metode paling aman & efektif, komposisi yang lebih lengkap
Perawatan Luka & Antibiotik.
 Kebocoran cairan GIT  sepsis lokal & sistemik  penutupan spontan <
 Penanganan :
1. Pengangkatan jahitan & atau benang
2. Drainase
3. Balutan luka
4. Antibiotik
5. Perawatan stoma
Persiapan usus  neomycin & eritromycin + cefalosporin gen. I/II i.v perioperatif

A2w| 287
PENATALAKSANAAN
CONSERVATIVE TREATMENT
1. Stabilization.
 Pasien fistel enterokutaneus :
Inflamasi,Malnutrisi, Dehidrasi, Defisit volume intravaskulerKU Jelek.
 Tujuan tindakan pada fase inimenstabilkan penderita :
Menurunkan intestinal out put, Mengurangi kehilangan cairan & elektrolit 
sekaligus “makes wound and skin care easier”
 Tindakan pertama  segera mengembalikan volume intravaskuler dengan :
Kristaloid, koloid dan darah  untuk memperbaiki perfusi jaringan
 Bila sepsis  kontrol sepsis, Abses  drainase
 Antibiotik, Berikan H2 antagonis  untuk mencegah stress erosion dan
menurunkan sekresi gaster.
2. Investigation.
 Investigasi dilakukan bila pasien sudahTeresusitasi, Stabil, Sepsis sudah
terkontrol. Investigasi untuk menentukan :
1. Course & origin of the fistula tract
2. Presence of a persistence abscess
3. Condition of adjecent bowel
4. The presence of distal obstruction or discontinuity
3. Nutrition.
a. Total Parenteral nutrition.
 Wolfe ,et al (1972)  TPN menurunkan output “spontaneous closure”
 TPNsedini mungkinsetelah Koreksi defisit volume & elektrolit,Sepsis
sudah terkontrol
 TPN :
 30 – 40 kcal/kg/hari dengan ratio kalori–nitrogen 150 : 1
 ± 0,25 – 0,35 gr Nitrogen/kgBB/hari untuk mempertahankan balans
nitrogen positif
 Lipid emulsion  3 hari /minggu, Untuk meningkatkan densitas kalori
dan untuk mencegah defisiensi asam lemak esensial
 Trace elements, multivitamin dan vitamin K  diberikan tiap minggu
b. Enteral Nutrition
 Walau TPN  EN juga harus diberikan pada “selected patients”
 Tujuan EN  untuk mempertahankan balans nitrogen positif
 Diet low residual memilki keterbatasan pada fistel GIT proximal (fistel gastro
- duodenalis) untuk fistel bag. Distal (fistel pada colon)  EN hasil bagus.
 Diet low residual (EN)  tidak boleh diberikan pada: Pasien sepsis atau
peritonitis, Ileus paralitik, Abses intra abdominal, Obstruksi usus bahagian
distal.Route pemberian EN  NG tube, ND tube, Feeding yeyunostomy,
Needle catheter yeyunostomy (elemental diets only
 Diet elemental atau diet low residual yang hyperosmolar  diberikan
dengan cara infus perlahan  untuk mencegah terjadinya “cramping dan
dumping”
A2w| 288
c. Somastostatin 14 (1979, Klempa)
 Diberikan untuk menurunkan fistula out put
 Kerja somatostatin 
• Menurunkan sekresi gastrointestinal dengan cara menghambat sekresi
gastrin, gastric acid, biliary flow, pancreatic out put dan intestinal secretion
• Menghambat motilitas sistem GI tract, Meningkatkan intestinal transit time
• Somatostatin 14  menghambat sekresi eksokrin pankreas, motilitas GI ↓,
sekresi lambung ↓, menghambat sekresi basal menekan stimulasi eksogen
 stabilisasi prabedah, penyembuhan fokus infeksi & malnutrisi.
• Somatostatin 14 + TPN  penutupan spontan fistula GI ↑, Rekomendasi T/
fistula GI tanpa obstruksi mekanis
• Output fistula tetap (48 jam post T/ Somatostatin)  T/ stop
d. Fibrin Glue.
 Menyuntik bahan tertentu kedalam fistula tract  obliterasi
 Bahan yang disuntik  Cyanoacrylate glue, Fibrin glue  yang terbaik.
Fibrin glueMenginduksi respons seluler sehingga terbentuk neovaskularisasi
dan proliferasi fibroblast. Dengan endoskopikdisuntik melalui “internal origin”

OPERATIVE/SURGERY TREATMENT
 Indikasi:
1. Prognosis buruk u/ konservtif
2. Fistula persisten (30-60 hr)
3. Koreksi anomali mekanis
 Pertimbangan memulai terapi pembedahan:
1. Apakah t/ konservatif sdh optimal?
2. Adakah alasan anatomis?
3. Apakah status nutrisi sdh efektif terlaksana?
4. Sudah terkontrolkah sepsis?
5. Apakah psn dlm keadaan fit?
Tujuan operasi :
a. Drainage pus
b. Membuat kompleks fistel menjadi direk
c. Melakukan eksteriorisasi, divert atau bypass
d. Eksisi fistel en block dengan obstruksi distalnya dan melakukan anastomosis
end to end.
Macam Operasi :
I. Reseksi  Anastomosis, Omentum patch.
II. Pada usus pasca radiasiBypass, Ekseriorisasi.
III. Keadaan umum jelekBypass, Ekseriorisasi.
IV. Muscle flapBila konservatif gagal, Kompleks fistula :
a. Pasca bedah reseksi usus luas
b. Gastrointestinal bleeding
c. Defect dinding abdomen

A2w| 289
Petunjuk pelaksanaan pengobatan dari fistel menurut “ SHELDON Cs “
 4 phase approach
1. Initial phase :
- Restore blood volume
- Koreksi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
- Perawatan Fistula
- Protect skin
- Monitoring Out put Fistula
- Drain abcess
- Antibiotic
2. Second phase ( up to 3 days )
- Lanjutkan Therapi cairan dan elektrolit
- Parenteral nutrisi dimulai
3. Third phase ( up to 5 days )
- Mulai Enteral feeding: Oral, Tube, Jejunostomy
- InvestigasiAnatomy of the fistule ( contrast study and fistulography )
4. Fourth phase ( after 5 days ) :
- Lanjutkan therapi nitrisi sampai fitel menutup, if gagalOperasi.
- Operasi untuk menghindari keadaan sepsis.

A2w| 290
TRAUMA ABDOMEN
PENDAHULUAN
Respon tubuh manusia pada trauma
Dalam penanggulangan pasien trauma dengan syok, masalah yang perlu
diperhatikan adalah masalah ABC dan D sesuai dengan ATLS (Primary Survey).
Pada kejadian trauma, ada dua hal penting yang terjadi pada tubuh manusia:
1. Biomekanik trauma
Proses trauma-kecelakaan yang akan mengakibatkan benturan pada tubuh
manusia dengan berdampak terjadinya cedera pada tubuh/organ.
2. Respon metabolik terhadap trauma
Tubuh manusia melakukan reaksi terhadap trauma, yang merupakan aksi,
dalam bentuk perubahan metabolisme dan bertujuan untuk
mengatasi/menangani stress trauma yang diterima.
BIOMEKANIK TRAUMA
1. Memahami dampak yang diakibatkan oleh trauma itusendiri.
2. Waspada terhadap jenis perlukaan yang ditimbulkan.
3. Membantu memprediksi organ yang mengalami cedera dan seberapa parah
cedera yang terjadi.
Mekanisme Trauma :
1. Primary collision
a. Frontal
b. Samping (T-bone)
c. Belakang
d. Terbalik (Roll-over)
2. Secondary collision
Penumpang menabrak bagian dalam mobil atau sabuk pengaman. Arah
dan besarnya gaya yang diterima penderita ini akan menentukan organ apa
dan seberapa parah kerusakan yang terjadi pada organ tersebut.
3. Tertiary collision
Pada keadaan ini organ tubuh penderita yang berada dalam suatu rongga
akan melaju sesuai arah tabrakan / gaya yang diterimanya (hukum Newton 3).
Kemungkinan cedera yang dialami organ ini dapat beruba perlukaan langsung
ataupun terlepas/robek dari alat penggantung/ pengikatnya pada rongga
tersebut.
4. Subsidiary collision
Tergantung pada posisi penumpang dalam mobil. Penumpang yang
berada di kursi belakang akan terpental ke depan, atau barang-barang yang
di belakang akan terlempar ke depan membentur penumpang sehingga akan
terjadi kerusakan lebih lanjut pada penumpang tersebut.
Pada suatu benturan denan arah gaya dari depan (frontal) dengan
penderita tanpa sabuk pengaman, dapat dibagi menjadi beberapa fase:
a. Fase 1: Bagian bawah penderita akan bergeser ke depan. Untuk
penumpang yang duduk di depan atau pada sopir, lutut akan menabrak
dashboard.

A2w| 291
b. Fase 2: Tubuh bagian atas penderita akan menyusul bergerak ke depan.
Pada fase ini dada dan/atau perut akan menghantam setir sehingga harus
diwaspadai kemungkinan cedera dada atau perut beserta organ di
dalamnya. Pada penderita yang duduk pada kursi belakang tubunya akan
menabrak kursi didepannya atau membentur penumpang yang duduk di
kursi depan sehingga ada kemungkinan menambah parah cedera yang
dialami penderita yang duduk di kursi depan.
c. Fase 3: Tubuh penderita akan terdorong ke atas. Pada penumpang yang
duduk di depan atau sopir maka kepala akan menghantam kaca depan
menimbulkan cedera “bulls eye injury” atau menabrak bingkai kaca depan.
Kemungkinan patah tulang leher tidak dapat dihindarkan pada fase ini.
d. Fase 4: Penderita kembali ke posisinya semula. Pada fase ini harus hati-
hati kemungkinan terjadi patah tulang leher. Ini terjadi karena pada waktu
gaya yang diterima oleh penderita sudah habis/berhenti sedangkan mobil
masih bergerak sehingga kepala penderita berikut lehernya akan
mengalami hiperekstensi (whiplash injury) jika kursinya tidak memakai
sandaran kepala yang baik. Kemungkinan yang lebih para pada fase ini
adalah jika penderita terpental keluar.
Perlukaan organ intra abdomen dapat dibagi menjadi:
1. Perlukaan organ padat seperti hati, limpa, pankreas, ginjal.
2. Perlukaan organ berongga seperti lambung, , jejunum, kolon, buli-buli.
Perlukaan organ-organ ini dapat terjadi melalui beberapa mekanisme:
1. Benturan langsung
Misalnya hepar atau limpa yang menerima benturan langsung sehingga
terjadi ruptur atau laserasi, tergantung besarnya gaya yang diterima organ ini.
2. Cedera akselerasi-deselerasi
Cedera ini timbul akibat pada saat penderita telah berhenti melaju namun
organ-organ intra abdomen masih melaju, sehingga terjadi robekan pada
penggantungnya, misalnya saja robekan pada mesenterium, robekan pada
pedikel limpa.
3. Efek kantong kertas (paper bag effect)
Efek ini timbul jika kedua ujung organ berongga dalam kondisi tertutup dan
mendapat tekanan dari luar sehingga tekanan didalam mengalami
peningkatan secara mendadak yang jika melebihi kekuatan dinding akan
terjadi robekan. Efek kantong kertas ini hanya terjadi pada organ usus atau
paru
4. Perlukaan akibat memakai sabuk pengaman (seat belt)
Sabuk pengaman yang baik adalah tipe “lap-shoulder belt” yang jika dipakai
dengan benar yakni komponen panggul dari sabuk ini berada tepat di depan
tulang panggul bukan di depan perut. Meskipun begitu perlukaan masih dapat
terjadi yakni:
a. Patah tulang selangka
b. Patah tulang iga
c. Perlukaan organ intra abdomen

A2w| 292
Penumpang yang duduk di belakang, bila tidak memakai sabuk pengaman
dapat terlempar ke depan dan kepalanya akan membentur kursi di depannya
sehingga bisa terjadi cedera servikal, selain itu penumpang di belakang akibat
benturan dengan kursi di depannya akan mendorong kursi ke depan sehingga
penumpang yang duduk di depan akan terjepit antara kursi dan sabuk
pengaman (jika memakai sabuk pengaman), atau terjepit antara kursi dengan
setir (jika ia supir). Pada anak, bila posisi badan dan sabuk pengaman tidak
sesuai maka dapat terjadi “submarining”, anak merosot ke bawah sehingga
sabuk pengaman akan menjerat leher anak dan melukai leher atau terjadi
dekapitasi. Harus lebih diwasapadai lagi pada anak yang duduk dipangku
ibunya dan berada di kursi depan karena akan menerima gaya yang sangat
besar dan anak menjadi pelindung “bumper” ibunya.
5. Perlukaan pada kantung udara (air bag)
Kantung udara hanya ada pada mobil mewah dan hanya akan mengembang
jika terjadi tabrakan dari arah frontal dan tidak akan mengembang pada
tabrakan dari belakang atau samping. Kantung udara yang mengembang
dapat menimbulkan perlukaan seperti patah tulang lengan bawah, perlukaan
mata jika memakai kaca mata. Pada anak kecil kantung udara ini dapat
menyebabkan kematian karena anak terbekap dalam kantung udara tersebut.
RESPON METABOLIK TERHADAP TRAUMA
Trauma pada tubuh manusia akan berdampak lokal maupun sistemik. Setiap
stres, apapun rupanya akan menyebabkan timbulnya respons metabolik.
Respons lokal dapat berupa inflamasi sedangkan secara umum merupakan
proteksi tubuh seperti konversi cairan dan mengadakan energi yang ditujukan
untuk reparasi. Resusitasi yang baik akan mengurangi respons tersebut tetapi
tidak dapat menghilangkannya. Respons metabolik dimulai dengan reaksi
katabolik yang bersifat akut lalu diikuti oleh proses metabolik penyembuhan dan
perbaikan. Respons metabolik ini dibagi menjadi fase “ebb” dan fase ”flow”. Pada
fase ebb terjadi depresi aktivitas enzim dan depresi pemakaian oksigen, curah
jantung menurun dibawah normal, suhu inti tubuh dapat menurun dan terjadi
asidosis laktat. Sedangkan pada fase flow mempunyai dua fase:
- Fase katabolik ditandai dengan terjadinya mobilisasi lemak dan protein
berkaitan dengan meningkatnya eksresi nitrogen pada urin dan penurunan
berat badan.
- Fase anabolik ditandai dengan kembalinya persediaan lemak dan protein
serta meningkatnya berat badan.
Pada fase flow ini terjadi keadaan hipermetabolik, curah jantung dan
kebutuhan oksigen meningkat, demikian juga produksi glukosa meningkat, kadar
asam laktat dapat kembali normal.

A2w| 293
PATHOFISIOLOGI

TRAUMA

PEMBEKUAN DARAH
DARAH

Kontak Dg Collegen

Reflex Saraf Trombosit (3) Keluar : Keluar :


Kontak Dg Jar 1. ThissueFaktor Iii 2. Thissue Pospolid
KOLEGEN Thrombo Plastin Faktor Iii
Thrombo PLASTIN
Platelet XI XII
Count I ACT
EXTE
NSIC XI XII
Transformasi Bengkak PATH ACT
SPASME Irregular Melepas VII VII
WAY
PEMB. Granular X XII
ACT IX
DARAH ACT
V
ADHESI Protrombin X VI
Melekat Pd Jar V Plataleat
Melekat Pd Trombosit Lain
Time (PT) ACT I Pospolipid
a
AGREO PETROMBIN
SI ACTIVATOR VIII
X
Menyumbat Penb Darah C a X
Petrombin TROMBIN
KONSENTRASI a ACT
PEM DARAH Paerial Tromborlastin Time (A Ppt)
VIT K I
SUMBAT TOMBOSIT V
BLEDING FIBRINOGEN
TIME FIBRIN
PLATELET HATI TIME
COUNT
ANTRI
ANTREC VENA
Capiler
OLE
VENOULE

A2w| 294
MEKANISME TRAUMA ABDOMEN
Trauma Tumpul Abdomen
1. Peningkatan tekanan intra-abdomen yang mendadak, memberikan tekanan
untuk merusak organ padat (“to burst injury of solid organs”) seperti hepar
dan limpa, atau rupture dari organ berongga seperti usus
2. “Shearing forces”, secara klasik dimulai dengan deselerasi secara cepat pada
kecelakaan lalu lintas, hal ini dapat merobek pedikel vasculer seperti
mesentrium, porta hepatis and hilus limpa
3. “Compression injury” organ viscera terperangkap antara dua kekuatan yang
datang didinding anterior abdomen atau daerah thoraks dengan tulang
lumbar (kolumna vertebralis)
Trauma Penetrans Abdomen ( Stab Wound & Gunshot )
1. Luka tusuk: daerah trauma, arah trauma, kekuatan tusukan, panjang dan
ukuran tusukan
2. Luka tembak: lebih kompleks, energi kinetik proyektil, “proyectil velocity”
3. Untuk luka tembak: “low velocity proyectil” atau “high velocity proyectil”
4. “Low velocity”: robekan langsung dan “crushing” pada jaringan lokal
5. “High velocity”: “chrusing” pada jaringan lokal dan cavitasi (terowongan)
Stab wound:
Benda yang menusuk (pisau,tombak, panah, balok kayu, dsb) jangan dicabut di
ruang emergensi karena ada efek tamponade terhadap perdarahan, tapi
dilakukan dikamar bedah
GunShot :
 Pintasan peluru tidak selalu lurus, bisa cedera organ akibat pantulan peluru
 Akibat “Blast Effect”, luas kerusakan dapat diluar dugaan
 Bom teroris: selain Blast effect, luka tembusan pecahan benda/logam kecil
tidak terduga dan susah ditemukan
 Luka tembus akibat peluru umumnya harus laparotomi

MISS
M = Mechanism of Injury
I = Injury Sustained
S = Signs & Symptoms
T = Treatment
KRITERIA CURIGA TRAUMA ABDOMEN :
 Hemodinamik tak stabil dengan penyebab tak diketahui
 Shock hipovolemik dg penyebab tak diketahui
 Trauma thoraks berat
 Trauma pelvik
 Gangguan kesadaran
 Base deficit yang jelas
 Hematuria
 Tanda-tanda objektif abdomen (nyeri tekan,dsb)
 Mekanismenya terjadi trauma berat

A2w| 295
Tanda cedera intra abdominal
 Abdomen yang makin distensi
 Kenaikan tekanan intraabdominal
 Rangsang peritoneal (involuntary guarding)
 Udara bebas

PENANGANAN TRAUMA ABDOMEN


 Resusitasi awal harus menjamin jalan napas dan oxygen delivery yang baik
 Minute ventilation minimal 1,5-2 kali normal
 Perdarahan eksterna masif segera hentikan dulu, sebelum resusitasi agresif
 Penilaian Respon Resusitasi
1. Rapid Response
2. Transient Response
3. No ResponseTidak ada perbaikan tensi setelah diguyur 2000-3000 ml
RL dalam waktu 10-15 menit  berarti ada perdarahan masif 
Langsung Ke Kamar Bedah !

 Pasang NGT
Mungkin baru makan,Gelisah & kesakitan  Aerofagia,Dilatasi akut gaster
 Bahaya, Aspirasi, Venous return  CO,Respirasi terganggu.
Kontra indikasi : Fraktur maxilla tengah dgn fraktur basis kranii
 Pasang Kateter Monitor produksi urine, Apa ada hematuria
Kontra indikasi : ruptur urethra

A2w| 296
Penetrating Injury
Gun shot? Explore wound
Evisceration? No under local
Rigid silent abdomen? anesthesia
Free gas on radiography?

Is peritoneum
intact?

Yes Positive

DPL No Yes

Negative
Laparotomy Debride suture
Consider discharge
Admit, observe

A2w| 297
A2w| 298
A2w| 299
DIAGNOSTIC PERITONEAL LAVAGE (DPL)
Root and Collagnes 1965 Metode pemeriksaan ini cepat, murah, akurat, aman
untuk menilai cedera intraperitonal trauma tumpul maupun trauma tembus abd.
Indikasi DPL
1. Equivocal : Gejala klinik yg meragukan misalnya trauma jaringan lunak lokal
disertai dgn trauma tulang yang gejala kliniknya saling mengaburkan.
2. Unreliable : Kesadaran pasien menurun setelah trauma kepala /intoksikasi.
3. Impractical : Mengantisipasi kemungkinan pasien membutuhkan pemeriksaan
yang lama waktunya seperti angiografi atau anastesi umum yg lama untuk
trauma lainnya.
Kontra Indikasi :
 Absolute”: indikasi yang jelas untuk tindakan laparotomi
 “Relative”: secara teknik sulit dilakukan seperti kegemukan, pembedahan
abdominal sebelumnya, kehamilan lanjut
Kelemahan DPL Tidak bisa evaluasi trauma diaphragma dan retroperitoneal.
Komplikasi DPLPerdarahan sekunder pd injeksi anestesi lokal, insisi kulit
atau jaringan bawah kulit yang akan memberikan false positif. Peritonitis akibat
perforasi usus. Robek kandung kencing, Cidera pada struktur abdomen, Infeksi
luka didaerah pencucian (komplikasi tertunda)
TEHNIK DPL :
1. Teknik terbuka
 Kurangi tekanan vesica urinaria dgn pemasangan kateter. Kurangi tekanan
abd (lambung) dgn pemasangan gastric tube.
 Siapkan ventral abd dgn desinfeksi.
 Injeksikan anestesi lokal dgn lidocain dgn campuran epineprin untuk cegah
kontaminasi darah dari kulit,± 2 jari dibawah umbilikus sepanjang ± 5 cm.
 Buat insisi vertikal dikulit dan jaringan bawah kulit sampai facia ± 3 cm.
Klem tepi-tepi fascia, angkat dan buat jahitan tacbasak pd peritoneum dan
insisi pd peritoneum ± 0,5 cm.
 Masukkan kateter dialisis peritoneal kedalam rongga peritoneum. Setelah
kateter dialisis masuk peritoneum, majukan kateter kedaerah pelvis.
 Hubungkan kateter dialisis dengan sebuah syaring dan disedot. Bila
aspirasi, darah (-) (gross blood) masukkan 1 liter NaCl hangat kedalam
peritoneum melalui infus set di dalam kateter dialisis.
 Guncang abdomen untuk menyalurkan cairan keseluruh rongga peritoneum
dan meningkatkan pencampurannya dgn darah. Jika kondisi stabil, biarkan
cairan selama 5–10 menit sebelum dialirkan keluar.
 Setelah cairan keluar ±350cc, ambil ± 20 cc  periksa laboratorium untuk
penghitungan RBC & WBC tanpa diputar. Test positif jika RBC >
100.000/mm3 dan WBC > 500/mm3.
Ingat!!: Hasil negatif tidak berarti tidak ada cedera intra abdominal, bisa
retroperitoneum, yaitu pankreas atau robekan diapragma.
2. Teknik tertutup (Seldinger teknik).
3. Teknik Semi open.

A2w| 300
Indeks + +
- Aspirat > 5 ml
Darah > 10 ml -
Cairan Isi usus
- Lavase > 50.000/mm3
3
Ery. > 100.000/mm > 200/mm3
Lek > 500/mm3 -
Enzim Amilase 20 IU/L -
Alk. Fosfatase IU/L
Empedu Komf. Biokimia
Gross Blood
Indikasi CT SCAN Abdomen:
 Pasien dengan keadaan umum yang stabil
 “Delayed presentation” – gejala muncul lebih dari 24 jam setelah trauma
 Hasil DPL yang meragukan
 Kecurigaan trauma retroperitoneal seperti adanya hematuria tanpa trauma
urethra atau buli-buli
USG –FAST ( UltraSonografi- Focused Abdomnial Sonography for Trauma):
 “More operator dependent”
 Peningkatan resolusi ultrasound, prosedur lebih cepat, non invasif, murah
 USG dapat dengan cepat menunjukan cairan bebas intraperitoneal dan trauma
organ padat, mampu mengevaluasi daerah retroperitonium,
 USG kurang mampu untuk mengidentifikasi perforasi organ berongga.

KONSERVATIVE.
 Pada pasien hemodinamik stabil
 60 – 70% trauma tumpul organ padat dapat ditangani secara non operatif,
angka kesuksesan lebih dari 90%
 “Screening” pasien dengan CT scan
5 Kasus yang memerlukan tindakan Explorasi Laparotomi Emergency:
1. Peritonitis
2. ileus Obstruktif.
3. Luka Penetrans
4. Abdominal Compartemen Syndrome.
5. Perdarahan Aktif-Anemis.
A2w| 301
KEUNTUNGAN KERUGIAN
Pem.Klinik Cepat, noninvasif Tidak meyakinkan
DPL Cepat, tidak mahal Invasif, terlalu sensitif, spesifiknya terbatas
Sensitive >90% deteksi darah Miss retroperitoneal & diaphragma injury
Complikasi minimal False (+) pada pelvic fracture
USG-FAST Cepat, Noninvasif, Mudah, dapat Tergantung operator, tak berguna untuk trauma
dilakukan bed side hollow viscus
CT-SCAN Organ specific, informasi Pasien harus stabil, mahal
retroperitoneal
Penentuan Grading injury Butuh jarak waktu ke ruang CT Scan
Estimasi jml perdaharan Potensial alergi thd kontras
Dapat u/ Follow Up Serial
LAPAROSKOPI Organ specific Nyeri, perlu narkose umum
LAPAROTOMI Sangat spesifik Komplikasi, mahal
HEMATOME RETROPERITONEAL
 Peraturan umum : Pada trauma tumpul, lebih selektif, tergantung lokasi
hematoma
 Zona I / Zona sentral : selalu eksplorasi
 Zona II / Zona lateral : Eksplorasi if Ukuran sangat luas, Pulsating, Expanding
 Zona III / Zona pelvik : tidak dieksplorasi

 Apakah Semua trauma penetrans di Zone II harus di Explorasi?


 Sebagian besar berpendapat : dieksplorasi secara rutin
 Tetapi eksplorasi rutin menyebabkan kenaikan frekuensi nefrektomi !
 Pemecahan masalah: Bila sebelum eksplorasi dapat dibuktikan tidak ada
cedera pembuluh darah besar ginjal atau cedera pelvis renalisno eksplorasi
 Hematome Zone III
 Hematom terjadi pada permukaan fraktur : jangan dieksplorasi !.
 Bila hematoma meluas cepat waktu laparotomi  daerah pelvis harus di
“packing” dan segera dibawa ke Bag. Radiologi untuk arteriografi dan
embolisasi.
 Ligasi a.Iliaca interna hampir selalu tidak berhasil menghentikan perdarahan.
 Bila ada hematoma pelvis akibat trauma tumpul, disertai gangguan aliran
darah ke ekstremitas inferior  harus eksplorasi
A2w| 302
Manuver Kocher Manuver Mattox, untuk Manuver Cattell, untuk
mengekspos aorta abdominal mengekspos v.cava dan
duodenum

A2w| 303
ABDOMINAL COMPARTEMEN SYNDROME
DEFINISI
 Basic Science & Clinical Evidence (2001)Terjadinya TIA akibat edem masif
usus & jaringan sekitar dalam ruang kompartemen abdomen
 Ivatury , et al 2000Sindroma klinik yang ditandai TIA > 20–25 cmH20, airway
pressure, hipoksia, kesulitan ventilasi, oliguria atau anuria, keadaan membaik
setelah dekompresi.
 Morris et al 1993Abdomen distensi & tegang, peak inspiratory pressure
dengan ventilasi mekanik > 85 cmH2O atau ada oligouria.
 Eddy et al , The Nashville experience 1997Abdomen yang distensi & tegang,
elevated peak airway pressure dan hiperkarbia. Oliguria tidak selalu ditemukan
Multiple organ dysfunction syndrome (MODS) attributable to increased
intraabdominal pressures (IAPs), that improves clinically by
decompressive laparotomy
HIA/IAP (Hipertensi Intra Abdominal/Intra Abdominal Pressure) :
Peningkatan tekanan intra abdomen menjadi 20 – 25 cmH2O.
ACS (Abdominal Compartemen Syndrome) : HIA yang tidak terkontrol disertai
dengan gejala klinis seperti gangguan ginjal, hati, kardiovaskuler & splanknikus.
FAKTOR PREDISPOSISI ACS.
 Trauma Abdomen dan Pelvis yang extensive.
 Damage control surgery
 Abdominal packing : Selama maupun setelah packing
 Continuing bleeding
 Kontaminasi cavum peritoneal
 Transfusions Massive dan crystaloid infusions
 Inadequate resuscitation.
 Munculnya Trias of Deathhypothermia-coagulopathy-acidosis
 Penutupan fascia terlalu ketat.
 Hemorrhagic pancreatitis
 Ileus and intestinal obstruction
 Ruptured abdominal aortic aneurysm
 Abdominal sepsis especially when associated with septic shock
 Intraabdominal disease processes : massive ascites, tension
pneumoperitoneum, ovarian masses, etc.
 Loss of abdominal wall compliance : abdominal wall burns, repair of large
hernias

MANIFESTASI KLINIS
Distended Abdomen ( Stone-Hard )
Peak inspiratory pressures ↑ > 85 cm H2O, & ↑ CVP
Hypoxia, Hypercarbia, Oliguria or anuria
HIA/IAP ≥ 25mmHg or 30cmH20/urine

A2w| 304
SINDROMA KOMPARTEMEN ABDOMINAL

Hipoperfusi splanknikus

Iskemia Hepatik

Asidosis mukosa usus


Edema usus
Koagulopati, hipotermi, Hipertensi
Intra Abdominal
dan Asidosis

Tidak terkontrol Oksigen Radikal Bebas


Kerusakan organ
Perdarahan intra abdominal

Sindroma Kompartemen Abdominal 2

Abdomen
Dinding abdomen  ↓ aliran darah
 Traktus Gastrointestinal  ↓ aliran darah mukosa, ↓pH intramukosa,
Translokasi bakteri, >15mmHg blood flow a. Mesenterica Superior.
Hepar ↓ aliran darah portal, ↓fungsi mitokondria hepatosit.
Ginjal ↑ tekanan vena ginjal,↑ plasma renin dan aldosteron, ↓aliran darah
ginjal, ↓filtrasi glomerulus, ↓produksi urin.
Paru ↑tekanan intratorakal, peak airway pressure, peak inspiratory pressure
dan intrapulmonary shunt, ↓compliance paru
Kardiovaskuler↓venous return dan cardiac output, “False” increased of central
venous pressure and pulmonary artery wedge pressure, ↑resistensi vaskuler
sistemik dan pulmoner
Sistem Saraf Pusat ↑tekanan intrakranial sekunder  ↓venous return,
↓tekanan perfusi serebral
Splanchnic Blood Flow ↓ Promotes gut mucosal acidosis, bowel edema and
production of oxygen free radicals
CARA MENGUKUR TIA/IAP
DIREKMenempatkan kateter/transducer di dalam rongga peritoneum lalu
hubungkan dengan manometer air.
INDIREK ( Gaster via NGT, Buli-buli via Kateter, Tek.v.Cava Inferior)
Alat pengukur (kateter/transducer) ditempatkan di dalam suatu organ dalam
rongga abdomen misalnya gaster atau buli-buli
Grade Tekanan Buli Anjuran
I 10 – 15 mmHg Maintenan normovolemik
II 16 – 25 mmHg Resusitasi hipervolemik
III 26 – 35 mmHg Dekompresi
IV >35 mmHg Dekompresi dan reeksplorasi

Grade IAP (mmHg/ cmH2O) Clinical


I 7.3 – 11.0 (10-15) None
a
II 11.7 – 18.3 (16-25) Oliguria, splancnic hypoperfusion
b
III 19.1 – 25.7 (26-35) Anuria,  ventilation pressure
b
IV >25.7 (>35) As above &  pO2

A2w| 305
GRADING SYSTEM ACS
( Abdominal Compartment Syndrome )
GRADE (1 mmHg = 1,26 cmH2O ) Bladder Presure
I 10 - 15
II 16 – 25 Abdominal Perfusion Pressure (APP)
III 26 – 35
IV >35

APP = MAP – IAP (mmHg)

MAP = SP + (DPx2) (mmHg)


3

• APP = Abdominal Perfusion Pressure


• MAP = Mean Arterial Pressure
• SP = Systolic Pressure
• DP = Diastolic Pressure

Percentage of Patients with Respective Organ Dysfunction per Grade of Abdominal


Compartment Syndrome

A2w| 306
PENANGANAN DAN PENCEGAHAN.
Penutupan Fascia Sementara bila dicurigai resiko tinggi IAH.
Rawat ICU Monitoring pH mukosa gaster variable keberhasilan resusitasi.
Pengukuran IAP minimal tiap 4-6 jam.
Peningkatan IAP persisten > 20-25 mmHg indikasi Re-explorasi.

A2w| 307
STOMA ( ILEOSTOMY-COLOSTOMY)
DEFINISI:
Pengalihan Pintas Feses  tidak melalui anus

STOMA SITE LOCATION


ILEOSTOMY  Stoma ileum.

Loop ileostomy maturation. (A) Site of completed


loop over rectus muscle. (B) Incision is made in Modified loop ileostomy (end loop). (A) Ileostomy loop is divided
distal limb just above skin level. (C) Proximal limb is between staples. (B) Proximal end is elevated above skin level and
everted. (D) Both limbs are sutured to skin. everted. (C) Both ends are sutured to skin.

An end-loop ileostomy. (A) Loop of ileum is elevated


proximal to stapled end. (B) Completed maturation of
loop.

Loop ileostomy takedown. (A) Elliptical incision is made around


ileostomy. (B) Ileum is mobilized circumferentially and elevated.
(C & D) Stoma with skin edge is resected,and anterior wall is closed.
(E–I) Ileostomy is resected, and proximal and distal ends reunited
with end-to-end handsewn anastomosis.

A2w| 308
Macam-macam Kolostomi
Menurut letak
- Caecostomy
- Colostomy transversum
- Colostomi sigmoid
Menurut bentuk
- Double Barel Loop colostomy constructed over fascial
bridge. (A) Window in mesocolon is Loop colostomy constructed over
- Double Lup formed and colon is elevated. (B) Fascial glass rod
- Simple Colostomy Bridge is created through mesocolic
window with interrupted sutures. (C)
Menurut lama Colon is opened and sutured to skin.
- Temporer Colostomy
- Prmanen Colostomy

Construction of extraperitoneal colostomy. (A) Lateral peritoneal reflection is incised, and colostomy site is prepared.
(B) Extraperitoneal tunnel is dissected bluntly. (C and D) Colon is brought through tunnel. (E) Peritoneum is closed around colon,
and pelvic floor reconstruction is completed. (F) Properly constructed colostomy with adequate protrusion above skin level.

Repair of fascial stenosis. Incisions are made outside of ostomy appliance, and fascia is split with scissors
to relieve stenosis.

A2w| 309
Ileostomy revision. (A) Circumferential incision around stoma.
Repair of prolapsed end colostomy. (A and B) Mucocutaneous
(B and C) Stoma is mobilized to fascia and peritoneum, and tip
junction of colostomy is incised and colon elevated. (C)
is resected. (D) Ileum is fixed to fascia.(E)New Brooke
Redundant colon is resected. (D) New colostomy is matured.
maturation is done.

True parastomal hernia. Subcutaneuous prolapse Intrastomal hernia (may be Pseudohernia due to weakness of
(pseudohernia) with intact associated with prolapse). abdominal wall without fascial
. defect.
fascial ring

Parastomal colostomy hernia. Types of repair: (A) Direct resuture of fascia after resecting hernia sac. (B) Repair of hernia after
relocating stoma. (C) Repair with synthetic mesh.

A2w| 310
Bertujuan Untuk:
 memudahkan ostomate merawat stoma secara mandiri, mengurangi
resiko komplikasi, meningkatkan kualitas hidup klien.
Menentukan Letak Stoma :
Tidak pada garis pinggang
Tidak pada tulang yang menonjol
Tidak pada bekas luka operasi
Tidak pada area kulit bermasalah
Tidak dibawah payudara yang menggantung
Tidak pada tempat insisi operasi, dekat luka operasi atau drain

Faktor Yang Diperhatikan Saat Menentukan Letak Stoma:


 Tipe pembedahan stoma
 Lokasi terletak pada otot abdominalis
 Tepat untuk pemasangan stoma
 Hindari kulit berlekuk, scar, jauh dari umbilikus, garis pinggang dan tulang
menonjol
Stoma Pada Bayi:
a. Letak stoma jauh dari umbilikus dnegan tujuan meminimalkan resiko infeksi
pada bayi karena proses pengeringan umbilicus.
b. Letak tidak berada pada kuadran bawah perut. Hal ini mencegah bayi
menendang kantong stoma karena pergerakan kakinya yang menekuk ke atas
dan akan memudahkan dalam perawatannya.

A2w| 311
CAIRAN TUBUH
FISIOLOGI CAIRAN TUBUH
Total cairan tubuh ( Total Body Water 60% berat badan ) terdiri atas tiga
kompartemen normal yaitu cairan intravascular ( 5 % berat badan ), cairan
interstitial ( 15% berat badan ), dan cairan intra sel ( 40% berat badan ). Cairan
intravascular dan cairan interstitial bersama-sama disebut sebagai cairan ekstra
seluler. Dalam keadaan patologis yang mengiringi syok yang berlebihan, terjadi
kebocoran cairan ke rongga ketiga ( ke lumen usus, rongga peritoneum ). Cairan
ekstraselular merupakan cairan yang dikeluarkan memalui urine, keringat, dan
penguapan nafas
Bila asupan cairan tidak memadai, tubuh akan mengurangi produksi urine,
sementara kehilangan cairan tubuh melalui keringat dan uap nafas tidak bisa
dihindari. Keadaan ini akan memperberat bagi pasien-pasien pasca bedah yang
membutuhkan asupan cairan guna menyeimbangkan cairan tubuh yang hilang
akibat trauma, infeksi, maupun akibat intervensi pembedahan. Jika asupan
berlebihan tubuh akan menambah produksi urine untuk membuang kelebihan
cairan. TBW dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, dan tingkat obesitas
seseorang. TBW pada laki-laki diperkirakan sebesar 60 % dari berat badan,
wanita sebesar 50 %, Anak-anak sebesar 65%, infant sebsesar 75-80%,
obesitas 40-50%.
Kompartemen Cairan Tubuh
Cairan Intrasel Cairan Ektrasel
• CIS CISt CIV
Dekstrose 5%

Ringer laktat
NaCl 0,9 %

• 40% 15% 5%
Koloid
Protein lasma
Darah

Percent Body Water Maintenance fluid according to weight.


Infants 75-80% Weight (kg) ml per hour ml per 24 hours
Children 65% 50 90 2169
Lean adult males 60% 60 100 2400
Lean adult females 50% 70 110 2640
Obese adults 40-45% 80 120 2880
Elderly adult 47-52% 90 130 3120
100 140 3360
Kehilangan cairan berupa Insensible water loss ( IWL ) maupun Non
Insensible Water Loss, adalah jumlah kehilangan cairan yang terjadi
berhubungan dengan kondisi metabolisme tubuh saat itu. IWL perlu
diperhitungkan dalam menilai dan mengkoreksi keseimbangan cairan dalam
tubuh. Jadi Terapi cairan yang dilakukan dapat bersifat terapi rumatan (
Maintanance/ pemeliharaan ), dan terapi pengganti (resusitasi/replacement).
Kedua sifat terapi ini pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu
menyeimbangkan kadar cairan di dalam tubuh. Namun Pada terapi

A2w| 312
rumatan/maintenance terfokus pada upaya menjaga keseimbangan cairan tubuh
melalui penggantian kehilangan cairan normal dengan memberikan asupan
cairan pemeliharaan. Sedangkan pada terapi pengganti/replacement berupaya
untuk mengganti kehilangan cairan abnormal akibat suatu penyakit atau trauma
yang telah menimbulkan banyak kehilangan cairan tubuh ( Diare,
Perdarahan,dll).
Terapi rumatan/maintenance mengatasi kehilangan cairan insensible dan
menggantikannya sesuai dengan jumlah yang dikeluarkan. Seperti
menggantikan jumlah urine yang keluar. Oliguria sering terjadi, dimana jumlah
urine yang keluar < 0,5 ml/KgBB/jam berturut-turut selama 2 jam pemeriksaan,
atau < 400 ml dalam 24 jam. Diperkirakan bahwa dengan berat badan 70 kg
seseorang membutuhkan cairan pemeliharaan sebesar 2640 ml/hari.
PERTUKARAN CAIRAN TUBUH
Perpindahan suatu zat terlarut dari suatu kompartement membutuhkan
mekanisme transport aktif dan transport pasif, dalam upaya kompensasi tubuh
dalam upaya untuk menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh. Transport
aktif merupakan proses perpindahan zat terlarut melalui membran sel melawan
perbedaan konsentrasi dan atau muatan listrik. Proses ini membutuhkan energi
ATPase yang diaktifasi oleh Na-K  Pompa Natrium-Kalium, dengan cara
memompa 3 molekul ion Na+ keluar sel untuk ditukar dengan 2 ion K+, yang
bertujuan untuk mempertahankan konsentrasi ion Na+ dan K+dan
mempertahankan elektropotensial membrane. Transport pasif merupakan proses
perpindahan zat terlarut yang tidak memerlukan energi. Proses ini terjadi melalui
difusi sederhana, tekanan hidrostsatik dan Osmosis ( difusi zat dari konsentrasi
tinggi ke konsentrasi rendah). Tekanan hidrostatik adalah difusi zat akibat
perbedaan tekanan. Na+ dan Cl– adalah elektrolit utama cairan ekstraseluler, K+
dan PO4– adalah elektrolit utama cairan intraseluler. Tingginya konsentrasi Na+ di
luar sel & K+ di dalam sel disebabkan karena setiap kali Na+ masuk ke dalam sel
selalu dipompakan keluar melalui mekanisme “Sodium Potassium Pump”.
Osmolalitas dan tonisitas cairan tubuh ditentukan oleh konsentrasi elektrolit
dalam tubuh itu sendiri, Cairan ekstraseluler memiliki natrium sebagai kation
utama dan klorida serta bikarbonat sebagai anion utama. Ada sedikit perbedaan
dalam komposisi ion antara plasma dan cairan interstitial yang disebabkan oleh
perbedaan konsentrasi protein, tetapi untuk tujuan klinis keduanya dianggap
sama. Perbedaan komposisi ion antara kompartemen intraselluler dan
ekstraselluler disebabkan oleh permiabilitas selektif dari dinding sel. Walaupun
air bebas berdifusi melalui membrane semi permiabel, influk natrium dan
garamnya kedalam sel terbatas, sedangkan kalium dan garamnya dipermudah.
Karena air mampu berdifusi bebas melintasi membrane sel berarti konsentrasi
total zat terlarut atau osmolalitas semua kompartemen cairan tubuh adalah
identik. Dalam keadaan normal ada korelasi kuat antara jumlah kation-kation in
dengan kandungan air tubuh sehingga menunjukkan dengan jelas keseragaman
osmotic tubuh.

A2w| 313
Pada penyakit bedah, setiap kondisi yang mengubah tekanan osmotik
efektif antara kompartemen ekstraseluler dan intraselluler akan menghasilkan
restribusi air antara kompartemen-kompartemen tersebut. Penurunan tekanan
osmotic ekstraselluler akan menghasilkan pemindahan air dari ekstraselluler ke
intraselluler. Penting dipahami bahwa deplesi atau peningkatan kompartemen
cairan ekstraseluler tanpa perubahan konsentrasi ion (osmolalitas) tidak akan
menghasilkan pemindahan air dari ruang intraselluler. Cairan intraseluler ikut
berkurang atau bertambah akibat perubahan konsentrasi atau komposisi
ekstraseluler, tapi tidak ikut dalam perubahan yang melibatkan hanya kehilangan
volume isotonic.
Perpindahan zat terlarut itu terjadi oleh karena peningkatan permeabilitas
membrane sel sehingga partikel kecil lebih mudah masuk ke pori-pori membran.
Perbedaan konsentrasi akan menimbulkan perpindahan zat dari daerah
berkonsentrasi tinggi ke daerah berkonsentrasi rendah. Adanya perbedaan
potensial listrik sehingga terjadi perpindahan partikel listrik positif ke negatif
begitu juga sebaliknya sehingga diharapkan terjadi keseimbangan potensial
listrik. Perbedaan tekanan hidrostatik akan meningkatkan difusi zat-zat terlarut
melalui membran kapiler.

Proses Osmosis dalam sel.

Gangguan cairan dan elektrolit dapat terjadi akibat Perubahan Volume


yang dapat berupa deficit cairan atau kelebihan cairan, Perubahan Konsentrasi
cairan dan elektrolit dapat berupa hiponatremi maupun hipernatremi, serta dapat
pula diakibatkan oleh Perubahan Komposisi cairan dan elektrolit.
Perubahan Volume akibat deficit cairan mengakibatkan kehilangan cairan
di dalam kompartemen ekstraseluler. Pada fase akut kondisi ini tidak mudah
didiagnosa berdasarkan temuan laboratorium, karena konsentrasi natrium
plasma dan osmolalitas tubuh belum berubah. Kelebihan cairan biasanya terjadi
akibat pemberian sejumlah besar cairan yang mengandung natrium, yang
adakalanya perlu untuk mempertahankan fungsi ginjal pada pasien sepsis atau
sekunder akibat gagal ginjal atau gagal hepar. Pada kondisi ini akan terjadi
peningkatan volume plasma dan atau volume interstitial. Kelebihan volume
interstitial dapat menimbulkan edema sedangkan kelebihan pada volume
intravaskuler terjadi hipertensi, takikardi dan peningkatan tekanan vena.
Perubahan Konsentrasi, dimana tonisitas cairan tubuh merupakan
cerminan konsentrasi natrium plasma. Hiponatremi dan hipernatremi tidak bisa
dideteksi pada stadium awal. Walaupun demikian konsentrasi natrium plasma
harus diperhatikan dan dikoreksi sebelum muncul gejala klinis.

A2w| 314
Perubahan Komposisi berupa perubahan suasana asam dan basa meliputi
keadaan asidosis maupun alkalosis, baik metabolic maupun respiratorik.

KOMPOSISI Plasma Intersterstitel intrasel


(meq/l) ( meq/l) ( meq/l)
KATION
Na 143,0 140,0 14,0
K 4,2 4,0 140,0
Ca 1,8 1,2 <1
Mg 0,8 0,7 20,0

ANION
Cl 108,0 108,0 4,0
HCO3 24,0 28,3 10,0
HPO4 2,0 2,0 11,0
Protein 1,2 0,2 4,0

► Cairan rumatan : Untuk menggantikan cairan yang pada keadaan normal


dikonsumsi per oral (minum, makan). Cairan ini menggantikan kehilangan
insensible, urin dan feses. Kebutuhan bervariasi tetapi cara menaksir
kebutuhan rumatan diperlihatkan dalam tabel 5. Bila mungkin gunakan botol
infus yang sudah berisi K+ di dalamnya. Ini jauh lebih baik daripada
mengoplos/ menambah K+ di bangsal. Larutan standar mengandung 20 atau
40 mmol K+/L (0,15 atau 0,3%).
► Cairan pengganti : Menggantikan semua kehilangan abnormal, baik yang
terlihat atau tidak terlihat. Ini mencakup darah, plasma, kehilangan rongga
ketiga, output dari drain, fistula atau pipa nasogastrik dan diare. Panduan
untuk pergantian cairan diperlihatkan pada Tabel 16.1. Dalam menulis
regimen cairan, taksir dulu kebutuhan rumatan dan pengganti kemudian
resepkan dalam kartu imbang cairan. Jika ada kemungkinan pasien
membutuhkan modifikasi kemudian, jangan resepkan cairan dalam jumlah
besar
Kehilangan Kandungan Cairan pengganti yang sesuai
Rata-rata (mmol/L)
Na+ K+
Darah 140 4 Hartmann(RL)/NaCl 0,9%/koloid/produk darah
Plasma 140 4 Hartmann(RL)/ NaCl 0,9%/ koloid
Rongga ketiga 140 4 Hartmann(RL)/ NaCl 0,9%
Nasogastrik 60 10 NaCl 0,45% + D5+ KCl 20 mEq/L
Sal cerna atas 110 5-10 NaCl 0,9% (periksa K+ dengan teratur)
Diare 120 25 NaCl 0,9%/KCl 20 mEq/L

A2w| 315
TERAPI CAIRAN

Resusitasi Rumatan

Air + Elektrolit +
Kristaloid Koloid Nutrisi

Mengganti kehilangan akut Memelihara


(Syok, dehidrasi, hipovolemik) Keseimbangan
Cairan & Nutrisi

Beberapa hal yang perlu diketahui sebelum melakukan koreksi / balance


cairan :
 Tentukan Kebutuhan Cairan
Kebutuhan cairan
Dewasa 25-40 ml/kgBB/hr 2500 ml/hr
Anak-anak 10 kg I 4 ml/kgBB/Jam 10 kg I x100 ml/hr
10 kg II  + 2 ml/kgBB/jam 10 kg II x 50 ml/hr
> 20 kg  + 1 ml/kgBB/jam 10 kg III x 20 ml/hr
Daily/Maintanance Fluid Requirements
Category Volume Administred/day
Premature (< 2 kg) 150 cc/kg
Neoantal & Infants (2-10 kg) 10 kg I x 100 cc/kg
Infants & Child (10-20 kg) < 10 kg, 1000 cc + 50 cc/kg
Children (>20kg) >20 kg, 1500 cc + 20 cc/kg

 Defisit Cairan / Dehidrasi


DERAJAT DEHIDRASI
WHO 2000
Dehidrasi Ringan 5 % ( 50 cc/kgBB) 10 cc/kgBB/jam
Dehidrasi Sedang 10 %( 100cc/kgBB 20 cc/kgBB/jam
Dehidrasi Berat 15% ( 150 cc/kgBB) 30 cc/kgBB/jam
 Insensible Water Loss
INSENSIBLE WATER LOSS
Umur Neonatus /kgBB/hr UMUR /kgBB/hr
Udara bebas tanpa kelembaban 28 cc Bayi 50-60 cc
Humidified Isolette 14 cc Anak 40 cc
Pemanasan 40-45 cc Remaja 30 cc

A2w| 316
 Mengganti kehilangan normal :
– Urine : 1 ml/kg/jam atau 25 ml.kg per hari.
– Keringat & uap air nafas (S&I loss): 700 ml/m2/hari atau ( 15 X BB/24 jam).
– Natrium 2-4 mEq.kg/hari.
– Kalium 1-3 mEq/kg/hari.
 RD 1000 + D5 1000 ml KaEnMg 2000 ml
Natrium 147 Natrium 100
Kalium 4 Kalium 40
Kalori 400 Kalori 800
 Kebutuhan sehari cairan & Elektrolit maintenance pasien dewasa 50 Kg
Volume : 2000 ml
Natrium : 100-200 mEq (2-4 mEq/kg)
Kalium : 50-150 mEq (1-3 mEq/kg)
Kalori : 1500 kcal (20-30 kcal/kg)
Protein : Dewasa 1-2,5 gr/KgBB/Hr.
Anak-anak  1 gr/KgBB/Hr.
Neonatus  0,5 gr/KgBB/Hr.
Lemak : 20% dari Total Kalori ( 1-3 gr/KgBB/Hr).

 Koreksi Elektrolit.
Natrium : ( 0,6 X BB X Defisit Na ) mEq
Kalium : ( 0,3 X BB X Defisit K ) mEq
 Koreksi Albumin: Dewasa  0,4 X BB X Defisit Albumin
Anak  0,6 X BB X Defisit Albumin
 Koreksi Hb ( Normal 10-14)
FWB ={ (Hb Normal-Hb kini) X BB/kg X80cc} : 12
PRC ={ (Hb Normal-Hb kini) X BB/kg X80cc} : 20

 MONITORING
Keseimbangan cairan, elektrolit (K dan Na) seyogyanya dipertahankan
pada level normal.
Tiap Kenaikan suhu tubuh 1° C  koreksi 10% dari total kebutuhan
cairan.
Kurangi total kalori untuk mengurangi produksi CO2 pada pasien
gangguan respirasi.

A2w| 317
SIRS-MOD-MOF-SEPSIS
TERMINOLOGI
Konsensus "the American College of Chest Physicians and the Society of Critical
Care Medicine" (1991)
 SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome)Terdapat 2 atau
lebih tanda berikut :
Hyperthermia/Hipothermia (Temperatur > 380C atau < 360C)
Tachycardia (Denyut Jantung > 90)
Tachypnea (Frekuensi pernafasan > 20)
Leucocytosis/Leukopenia (Lekosit > 12 x 109/L atau < 4 x 109/L atau 10%
bentuk immature)
 Sepsis ( SIRS + Infeksi) yang dibuktikan dengan kultur
Sepsis Berat Sepsis + disfungsi organ, hipotensi atau hipoperfusi
(termasuk laktat asidosis, oliguria atau perubahan status mental akut)
Syok Septik  Hipotensi (meskipun dengan resusitasi cairan) +
abnormalitas hipoperfusi
 Infection : the invasion of normally sterile cells or tissues by microorganisms
or their products
 Bacteremia : the presence of bacteria in the blood
 Colonization : The presence of viable microorganisms on an epithelial
surface of the host, or on a prosthetic device
 Contamination : The presence of microorganisms in a diagnostic specimen,
without their concomitant presence in the tissue from which that specimens
was obtained
 Inflammation : A Complex, adaptive host response to an acute threat such as
infection or tissue injury. This response may be localized or general
 SIRS : A descriptive term applied to describe the presence of a generalized
inflammatory response, independent of its cause
 Sepsis : The systemic inflammatory response to infection
 Severe sepsis : A systemic inflammatory response that is associated with
organ dysfunction (serious derangements)
 Septic Shock : A Systemic inflammatory response associated with
cardiovascular collapse (arterial hypotension) refractory to fluid replacement
(adequate resuscitation)
 MODS : A clinical syndrome characterized by the development of acute,
potentially reversible dysfunction of organs or organ systems involved in the
primary disease process.
 CARS:Over-exuberant pro-inflammatory signals would lead to inflammatory
mediated injury and excessive counter-inflammation called Compensatory
Anti inflammatory Response Syndrome lead to immuno-suppression
 MARS:A dyscoordinated relationship between pro and counter-inflammatory
signals lead to Mixed Antagonistic Response Syndrome, manifest with
intermittent episodes of systemic inflammation followed by systemic immuno-
suppression.

A2w| 318
Hubungan SIRS, Sepsis, & Infeksi (ACCP-SCCM - Consensus
Conference Chest, 1992 : 1001 - 1004 )

Lain2
Bakteremia

Infeksi
Fungiemia Sepsis SIRS Trauma

Parasitemia

Viremia Luka Bakar


Lain2
Pankreatitis

Release of Mediators
Systemic Activation of
“First Hit” POST INJURY “Second Hit”
Inflammatory Cells
Primed
Lung Inflammatory
INITIAL INSULT Cells
Primed
Liver
Local Activation of Systemic Release WBCs
Inflammatory Cells of Cytokines Primed
Gut
WBCs

Other Primed
LOCAL
Organs WBCs
TISSUE
RESPONSE
SYSTEMIC RELEASE OF
TOXIC MEDIATORS
• Demling et al. Surg Clin North Am 74(3); 1994. GENERALIZED TISSUE INJURY

Traumatologist = Total Care


Three peaks of trauma related deaths
First peak
Laceration of brain
Third peak
brainstem
Sepsis
aorta
Multi organ failure
spinal cord Second peak
heart Extradural
Subdural
DEATHS

Hemopneumothorax
Pelvic fractures
Long bone fractures
Abdominal injuries

1 hour 3 hours

A2w| 319
SIRS Pathophysiology SIRS Pathophysiology
Trauma, Burns, Malignancies, Trauma
Infections, Pancreatitis
Activator
Shock

Inflammatory mediators
Catabolism Tissue damage

Toxins Infection
Inadequate
Healing process SIRS MODS blood flow

Cerebral Cardiac Pulmonary Splanchnic Renal Muscles Skin


Healed Death

Pathophysiology Systemic
Response
Precipitating Phase II
factor
Deteriorated Homeostasis

Phase I Local Response SIRS


Phase III
Cytokines

Metabolic Hematology Cerebral Hepatic Cardiac Renal Pulmonary Gut


Macrophag Endothelials Endocrine

Yefta Moenadjat, Buku Luka MODS


Bakar, 2001

Pathophysiology of sepsis
Demling et al. Surg Clin North Am 74(3); 1994.

Accentuated Stress Response (SEPSIS)


Focus of infection Tissue inflammation
Mediator Activation and Systemic Release
Cytokines
Peripheral Vascular Effects Complement activation products Myocardial Effects
Arachidonic acid metabolites
Arteriolar & venular dilation Preload 
Vasodilators/constrictor, endorphins
Constriction leading to stasis Ejection fraction & stroke work 
Sensitivity to -agonist  Sensitivity to -agonist 
Complement activation
Mediator induced endothelial damage
Impaired tissue perfusion

If process continues

Severe decreased SVR Multiorgan dysfunction Severe myocardial dysfunction


Hypotension, often refractory Pulmonary failure Low CO, increasingly refractory to
to -agonist of volume Liver / Renal failure volume / -agonist

A2w| 320
Activators of the inflammatory responses include :
1. Invasive infection
2. Translocation of microbes or endotoxins from GI reservoir
3. Nonmicrobial events : shock, multisystem trauma, pancreatitis, etc.
The systemic activation of inflammation result in vascular changes of :
1. Vasodilatation
2. Reduced vascular resistance
3. Increase vascular capacitance
4. Altered vascular permeability
The 10 steps characterizes the systemic inflammatory hypothesis of organ failure
1. Activation of systemic inflammation Occurs classically by infection, but can
occur from :
- Septic shock,
- Ischemia/reperfusion injury,
- Sterile sites of severe inflammation (e.g. pancreatitis),
- Multi system injury,
- Microbial translocation from the gut
2. Activation of initiators of inflammation Five initiators of human inflammation :
- Coagulation proteins
- Platelets
- Mast cells
- Contact activating system (bradykinin production, etc)
- Complement proteins
3. Systemic microcirculatory changes
Vasodilatation and increased microvascular permeability. Purposes are to
increase bulk flow, reduce microcirculatory flow velocity, create tissue edema
for phagocytic cell passage to the site of injury or infection
4. Production of chemokines and chemoattractans
First : Result in endothelial changes promote neutrophil margination systematically
Second: Provoke the release proinflammatory cytokines (TNF, IL-1, IL-6)
Third : Provoke counter inflammatory response
5. Margination of neutrophils to endothelial cells is a normal process in local
inflammation
6. Systemic activation of monocytes / macrophages
Systemic activation of monocytes result in systemic release of the pro-
inflammatory cytokines
7. Microcirculatory injury
Systemic activation of inflammation result in lipid peroxidation and
inflammatory injury of microcirculation. Injured endothelium and locally
activated platelets at the site of injury may produce vasoconstrictive mediators
(e.g. thromboxane A20
8. Microcirculatory arrestSeverely injured vascular units will have complete
thrombosis and complete cessation of flow, result in further activation of initiator
events (step 2)
9. Focal necrosis
10. Reactivation of the initiators of inflammation

A2w| 321
MULTIPLE ORGAN DISFUNCTION SYNDROME

Organ System Fry et al Marshall et al Vincent et al


Lung Ventilator dependence 5 PO2/FiO2 < 300 PO2/FiO2 < 400
days
Liver Bill > 2 mg/dl Bill >20mmol/L Bill >20mmol/L
(>33mmol/L)
Kidney Creatinine > 2 mg/dl Creatinine Creatinine
( >171mmol/l ) >100 mmol/l >100 mmol/l
Cardiac - Heart rate x right arterial MAP < 70 mmHg
pressure divided by mean
blood pressure > 10
Hematologic - Platelet count < 120 x Platelet count
103/mm3 < 150 x 103/mm3
Central Nervous - GCS < 15 GCS < 15
System

•Bowel rest/NPO •Cardiac failure •Achlorhydria Intestinal obstruction,


•Malnutrition •Shock •Antacids Ileus, Blind loop,
Opiates, Ca channel
•Stress •Vasopressors •H2 Antagonists blockers

 Mucosal cell  Mesenteric  Gastric pH  Motility


turnover blood flow

Mucosal atrophy Intestinal bacterial


Mucosal sloughing overgrowth

Breakdown
mucosal barrier
Schematic Representation
of the Effect of Critical
Illness on Gastrointestinal Translocation of
Function bacteria and toxins
Rolandelli RH & Koruda MJ :
Surg. Crit. Care, 1994

A2w| 322
DAMAGE CONTROL
1. Initial operation
2. Surgical ICU Resuscitation
3. Planned reoperation

A2w| 323
A2w| 324
A2w| 325

Anda mungkin juga menyukai