Anda di halaman 1dari 29

PENATALAKSANAAN TUMOR ESOFAGUS

Ralph Lukas, Farhat

PENDAHULUAN

Tumor esofagus merupakan jenis tumor yang paling sering terjadi di dalam sel yang
melewati dinding esophagus. Tumor esofagus ada yang bersifat jinak dan ada yang bersifat
ganas. Tumor jinak yang paling sering terdapat pada esophagus adalah tumor yang berasal dari
lapisan otot, yang disebut dengan leimioma. Sedangkan tumor yang bersifat ganas sering dikenal
dengan kanker esofagus. Jenis yang paling sering terjadi pada kanker esofagus adalah skuamous
sel karsinoma dan adenokarsinoma. Dari kedua tumor tersebut sekitar 95% tumor yang ada di
esofagus adalam tumor yang bersifat ganas (Bhayani MK, 2014).
Kanker esofagus merupakan jenis kanker yang sering ditemukan di daerah yang dikenal
dengan julukan Asian Esophageal Cancer Belt yang terbentang dari tepi selatan laut Kaspia di
sebelah barat sampai ke utara Cina meliputi Iran, Asia Tengah, Afganistan, Siberia, dan
Mongolia (Hopskins, J. 2013). Insidens karsinoma esofagus sangat bervariasi diberbagai Negara
tetapi jarang ditemukan di negara-negara barat seperti Amerika dan Inggris. Di Cina kanker
esofagus merupakan peringkat keempat penyebab kematian yang disebabkan oleh kanker
sedangkan di Jepang kanker esofagus penyebab kematian ketujuh akibat kanker (Lin Y, 2013).
Sayangnya, hanya sekitar 50% dari kanker esofagus muncul pada tahap awal dengan
penyakit lokal dan setuju untuk ditreatment. 50% yang lain hadir dengan penyakit metastase,
penyakit nodal jauh di luar standard pengobatan, penyakit T4b dengan invasi dari pembuluh
darah besar, jantung, atau trakea membuat mereka tidak dapat dioperasi, atau terjadi pada pasien
yang terlalu lemah untuk menjalani reseksi bedah atau intensif kemoradiasi. Tingkat
kelangsungan hidup, bahkan dalam pengobatan multimodalitas, masih rendah, dengan hanya
17% dari semua pasien yang masih hidup 5 tahun; 37% dengan penyakit lokal, 19% dengan
keterlibatan nodal regional, dan 3% atau kurang dengan metastasis jauh. Beberapa kemajuan
telah dibuat untuk secara akurat menentukan stadium dan mengobati pasien dengan kanker
esofagus dalam upaya untuk lebih mendeteksi dan merawat orang-orang yang akan mendapatkan
keuntungan kebanyakan dari intervensi (Mawhinney MR, 2012).
Tulisan ini akan mengeksplorasi beberapa pilihan terapi pada tumor esofagus berdasarkan
beberapa pendekatan, sedangkan pasien yang terlalu lemah untuk menjalani terapi harus didekati
dari perspektif paliatif.

ANATOMI

Esofagus merupakan sebuah saluran berupa tabung berotot yang menghubungkan dan
menyalurkan makanan dari rongga mulut ke lambung. Dari perjalanannya dari faring menuju
gaster, esofagus melalui tiga kompartemen dan dibagi berdasarkan kompartemen tersebut, yaitu
leher (pars servikalis) sepanjang 5 cm dan berjalan di antara trakea dan kolumna vertebralis.
Dada (pars thorakalis), setinggi manubrium sterni berada di mediastinum posterior mulai di
belakang lengkung aorta dan bronkus cabang utama kiri, lalu membelok ke kanan bawah di
samping kanan depan aorta thorakalis bawah. Abdomen (pars abdominalis), panjang 2-4 cm,
masuk ke rongga perut melalui hiatus esofagus dari diafragma dan berakhir di kardia lambung
(Yang JY, 2003).
1. Cervical, dimulai dari bagian bawah kartilago krikoid (setinggi C6) sampai suprasternal
notch
2. Upper Thoracis, dari suprasternal notch sampai karina (setinggi T4-T5)
3. Mid Thoracis, dari bifurcation trakea sampai esofagus punction
4. Lower Thoracis, 8cm panjangnya meliputi abdominal esofagus.

Gambar 1. Anatomi Esofagus (www.netterimages.com)


Otot esofagus sepertiga atas adalah otot serat lintang yang berhubungan erat dengan otot-otot
faring , sedangkan dua per tiga bawah adalah otot polos (otot sirkular dan otot longitudinal).
Esofagus menyempit pada tiga tempat:
1. Di sfingter faringoesofageal, setinggi tulang rawan krikoid pada batas antara faring dan
esofagus (peralihan otot serat lintang-otot polos)
2. Di rongga dada bagian tengah akibat tertekan langsung aorta dan bronkus utama kiri
tidak bersifat sfingter
3. Di hiatus esofagus diafragma yaitu tempat hiatus esofagus berakhir di kardia lambung,
murni bersifat sfingter (sfingter gastroesofageal)
Pada orang dewasa, panjang esofagus apabila diukur dari insisivus superior ke otot
krikofaringeus sekitar 15-20 cm, ke arkus aorta 20-25 cm, ke v.pulmonalis inferior 30-35 cm,
dan ke kardioesofagus joint kurang lebih 40-45 cm. Bagian atas esofagus yang berada di leher
dan rongga dada mendapat darah dari a. thiroidea inferior beberapa cabang dari arteri bronkialis
dan beberapa arteri kecil dari aorta. Esofagus di hiatus esofagus dan rongga perut mendapat
darah dari a. phernica inferior sinistra dan cabang a. gastrika sinistra (Dhingra PL, 2006)..
Pembuluh vena dimulai sebagai pleksus di submukosal esofagus. Di esofagus bagian atas dan
tengah, aliran vena dari pleksus esofagus berjalan melalui vena esofagus ke vena azigos dan vena
hemiazigos untuk kemudia masuk ke vena kava superior. Di esofagus bagian bawah, semua
pembuluh vena masuk ke dalam vena koronaria, yaitu cabang vena porta sehingga terjadi
hubungan langsung antara sirkulasi vena porta dan sirkulasi vena esofagus bagian bawah melalui
vena lambung tersebut (Beasley N, 2008).

Gambar 2. Vaskularisasi Esofagus (www.netterimages.com)


Pembuluh limfe esofagus membentuk pleksus di dalam mukosa, submukosa, lapisan otot dan
tunika adventitia. Di bagian sepertiga kranial, pembuluh ini berjalan secara longitudinal bersama
dengan pembuluh limfe dari faring ke kelenjar di leher sedangkan dari bagian dua per tiga kaudal
dialirkan ke kelenjar seliakus, seperti pembuluh limfe dari lambung. Duktus torakikus berjalan di
depan tulang belakang (Bhayani MK, 2014).
Esofagus dipersarafi oleh saraf simpatis dan parasimpatis. N.vagus bersifat parasimpatis
bagis esofagus, meskipun di bawah leher n.vagus membawa gabungan sasraf simpatis dan
parasimpatis. Esofagus pars servikalis dipersarafi oleh n.laringeus rekuren yang berasal dari
n.vagus. Cabang n.vagus dan n.laringeus rekurens kiri mempersarafi esofagus torakalis atas.
N.vagus kiri dan kanan berjalinan dengan serabut simpatis membentuk pleksus esofagus.
Persarafan simpatis berasal dari ganglion servikal superior rantai simpatis, n.splanikus mayor,
pleksus aortik torasikus dan ganglion seliakus (Dhingra PL, 2006).
Secara histologis dinding esofagus terdiri empat lapis (Beasley N, 2008), yaitu (gambar 3):

Gambar 3. Lapisan Dinding Esofagus (www.clevelandclinicmeded.com)


1. Mukosa
Terbentuk dari epitel berlapis gepeng bertingkat yang berlanjut ke faring bagian atas,
dalam keadaan normal bersifat alkali dan tidak tahan terhadap isi lambung yang sangat asam.
2. Submukosa
Mengandung sel-sel sekretoris yang menghasilkan mukus yang dapat mempermudah
jalannya makanan sewaktu menelan dan melindungi mukosa dari cedera akibat zat kimia.
3. Muskularis
Otot bagian esofagus, merupakan otot rangka. Sedangkan otot pada separuh bagian bawah
merupakan otot polos, bagian yang diantaranya terdiri dari campuran antara otot rangka dan
otot polos.
4. Lapisan bagian luar (Serosa)
Terdiri dari jaringan ikat yang jarang menghubungkan esofagus dengan struktur-struktur
yang berdekatan, tidak adanya serosa mengakibatkan penyebaran sel-sel tumor lebih cepat
(bila ada kanker esofagus) dan kemungkinan bocor setelah operasi lebih besar.

FISIOLOGI

Fungsi dasar esofagus adalah membawa material yang ditelan dari faring ke lambung.
Refluks gastrik ke esofagus dicegah oleh sfingter bawah esofagus dan masuknya udara ke
esofagus pada saat inspirasi dicegah oleh sfingter atas esofagus, sfingter atas normalnya selalu
tertutup akibat kontraksi tonik otot krikofaringeus (Dhingra PL, 2006).
Ketika makanan mencapai esofagus, makanan akan didorong ke lambung oleh gerakan
peristaltik. Kekuatan kontraksi peristaltik tergantung kepada besarnya bolus makanan yang
masuk ke esofagus. Gerakan peristaltik esofagus terdiri dari gerakan peristaltik primer dan
sekunder. Gerakan peristaltik primer adalah gerak peristaltik yang merupakan lanjutan dari
gerakan peristaltik pada faring yang menyebar ke esofagus. Gerakan ini berlangsung dengan
kecepatan3-4 cm/detik, dan membutuhkan waktu 8-9 detik untuk mendorong makanan ke
lambung. Gerakan peristaltik sekunder terjadi oleh adanya makanan dalam esofagus. Sesudah
gerakan peristaltik primer dan masih ada makanan pada esofagus yang merangsang reseptor
regang pada esofagus, maka akan terjadi gelombang peristaltik sekunder. Gelombang peristaltik
sekunder berakhir setelah semua makanan meninggalkan esofagus (Leslie N, 2008).
Esofagus dipisahkan dari rongga mulut oleh sfingter esofagus proksimal atau sfingter atas
esofagus (Upper esophageal sphincter/UES), dan dipisahkan dengan lambung oleh sfingter
esofagus distal atau sfingter bawah esofagus ( Lower esophageal sphincter/LES). Sfingter
esofagus proksimal terdiri dari otot rangka dan diatur oleh n.vagus. Tonus dari otot ini
dipertahankan oleh impuls yang berasal dari neuron post ganglion n.vagus yang menghasilkan
asetilkolin (Beasley N, 2008).
Sfingter esofagus distal yang terletak 2-5cm di atas hubungan antara esofagus dan
lambung merupakan otot polos. Secara anatomis, strukturnya tidak berbeda dengan esofagus
tetapi secara fisiologis berbeda oleh karena dalam keadaan normal sfingter selalu konstriksi
(Dhingra PL, 2006).
Proses menelan dapat dibagi menjadi tiga tahap (Mason RC, 2008) yaitu:
1. Fase oral
Terjadi secara sadar. Makanan yang telah dikunyah dan bercampur dengan liur akan
membentuk bolus makanan melalui dorsum lidah ke orofaring akibat kontraksi otot intinsik
lidah. Kontraksi m.levator veli palatine mengakibatkan rongga pada tekukan dorsum lidah
diperluas, palatum mole dan bagian atas dinding posterior faring (Passavant’s ridge)
terangkat penutupan nasofaring akibat kontraksi m.levator veli palatine,
m.palatoglosuasismus fausium tertutup, kontraksi m.palatofaring, sehingga bolus makanan
tidak akan berbalik ke rongga mulut.
2. Fase faringeal
Terjadi secara reflex pada akhir fase oral, membantu jalannya makanan dari faring ke
dalam esophagus. Faring dan taring bergerak ke atas oleh kontraksi m.stilofaring,
m.salfingofaring, m.tirohioid dan m.palatofaring. Aditus laring tertutup oleh epiglotis,
sedangkan ketiga sfingter laring, yaitu plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan plika
vokalis tertutup karena kontraksi m.ariepiglotika dan m.aritenoid obliges. Penghentian aliran
udara ke laring karena refleks yang menghambat pernapasan.
3. Fase esophageal
Terjadi secara tidak sadar yang mempermudah jalannya makanan dari esofagus ke
lambung. Rangsangan makanan pada akhir fase faringeal, relaksasi m.krikofaring introitus
esofagus terbuka dan bolus makanan masuk ke dalam esofagus. Sfingter berkontraksi, tonus
introitus esofagus saat istirahat, refluks dapat dihindari. Akhir fase esophageal sfingter ini
akan menutup kembali.

ETIOLOGI

Etiologi tumor esofagus terdiri dari faktor genetik, faktor lingkungan, serta penyakit dan paparan
yang jarang.
1. Faktor genetik
Peran faktor genetik pada kanker esofagus belum jelas. Tidak ada insiden keganasan pada
anggota keluarga pasien yang menderita penyakit ini, kecuali keluarga dengan tylosis kondisi
genetik autosomal dominan langka. Hal ini mendalilkan bahwa dominasi laki-laki yang kuat
pada karsinoma esofagus mungkin disebabkan faktor lingkungan (Hopskins, J. 2013).
2. Faktor Lingkungan
a. Alkohol
Alkohol dapat merusak sel DNA dengan mengurangi aktivitas metabolisme dalam sel
dan sehingga mengurangi fungsi detoksifikasi sementara terjadi oksidasi. Alkohol adalah
pelarut, khususnya dari senyawa yang larut dalam lemak. (Napier KJ, 2014).
b. Merokok
Beberapa studi telah menunjukkan hubungan antara merokok dan peningkatan risiko
kanker esofagus sel skuamosa. Karsinogen berbahaya dalam tembakau dapat mudah
menembus epitel esofagus. Beberapa karsinogen dalam tembakau berupa amina aromatik,
nitrosamin, polisiklik aromatik hidrokarbon, aldehid dan fenol. Seperti alkohol, risiko
meningkat dengan peningkatan konsumsi. Ia telah mengemukakan bahwa merokok, bersama
dengan konsumsi minuman beralkohol tinggi, meningkatkan risiko berkembangnya kanker
esofagus (Kuwano H, 2014).
c. Makanan
Defisiensi besi, riboflavin, dan vitamin A telah dikaitkan dengan peningkatan kejadian
kanker esofagus sel skuamosa, meskipun bukti langsung untuk peran mereka kurang.
Konsumsi rendah dari masing-masing kelompok makanan segar dan beku daging, ikan, buah-
buahan dan sayuran, dan susu dan produk telur adalah terkait dengan peningkatan kejadian
kanker. Kurangnya makanan yang bervariasi tampaknya memiliki hubungan yang
meyakinkan dengan perkembangan karsinoma esofagus. Konsumsi makanan pada suhu yang
sangat tinggi dan kurangnya asupan air saat makan mungkin juga berperan (Silvera SA,
2014).
d. Sosial ekonomi
Umumnya karsinoma esofagus sel skuamousa adalah penyakit kelompok sosial ekonomi
rendah. Status sosial ekonomi rendah dikaitkan dengan insiden kanker esofagus yang lebih
tinggi di seluruh dunia (Zhang Y, 2013).
3. Penyakit dan Paparan yang Jarang
Meskipun ada penyebab kanker esofagus yang tidak biasa atau jarang, mereka layak
disebut karena implikasi epidemiologinya. Akalasia, paparan radiasi pada esofagus, dan
menelan semua yang berhubungan dengan peningkatan risiko kanker esofagus sel skuamosa
seperti pada kanker kepala dan leher, diet tinggi sayuran acar, anemia defisiensi besi dan
disfagia (Kamangar F, 2009).
Barrett esophagus, metaplasia tubular esofagus tipe intestinal khusus, merupakan faktor
risiko yang berkembang baik untuk adenokarsinoma esofagus. Risiko adenokarsinoma di
esophagus Barret diperkirakan 30-45 kali lebih tinggi daripada populasi normal. Barrett
esophagus ditandai dengan penggantian epitel skuamosa normal oleh mukosa dengan sel
goblet dan konfigurasi permukaan villiform yang menyerupai mukosa usus (Zhang Y, 2013).
Penyakit gastroesophageal reflux, yang didefinisikan sebagai nyeri dada dan / atau
regurgitasi terjadi setidaknya sekali seminggu, telah langsung dihubungkan dengan
peningkatan risiko kanker esofagus. Gastroesophageal reflux telah dikaitkan dengan
adenokarsinoma karena kecenderungan untuk esophagus Barret (dianggap prekursor lesi).
Penelitian terbaru menyatakan lebih sering, lebih parah, dan lebih tahan lama gejala refluks,
semakin besar risiko untuk adenokarsinoma esofagus (Kamangar F, 2009).

KLASIFIKASI

Pada tabel 1terdapat klasifikasi histologi tumor esofagus menurut WHO, yaitu:
Tabel 1. Klasifikasi tumor esofagus menurut WHO
Epithelial tumours Non-epithelial tumours
Squamous cell papilloma Leiomyoma
Intraepithelial neoplasia Lipoma
Squamous Granular cell tumour
Glandular (adenoma) Gastrointestinal stromal tumours
Carcinoma Benign
Squamous cell carcinoma Uncertain malignant potential
Verrucous (squamous) carcinoma Malignant
Basaloid squamous cell carcinoma Leiomyosarcoma
Spindle cell (squamous) carcinoma Rhabdomyosarcoma
Adenocarcinoma Kaposi sarcoma
Adenosquamous carcinoma Malignant melanoma
Mucoepidermoid carcinoma Others
Adenoid cystic carcinoma Secondary tumours
Small cell carcinoma
Undifferentiated carcinoma
Others
Carcinoid tumours

DIAGNOSIS

Gejala klinis dari tumor esofagus terdiri dari:


1. Disfagia
Gejala utama dari kanker esofagus adalah masalah menelan, sering dirasakan oleh
penderita seperti ada makanan yang tersangkut di tenggorokan atau dada. Ketika menelan
menjadi sulit, maka penderita biasanya mengganti makanan dan kebiasaan makannya secara
tidak sadar. Penderita makan dengan jumlah gigitan yang lebih sedikit dan mengunyah
makanan dengan lebih pelan dan hati-hati, seiring dengan pertumbuhan kanker yang
semakin besar, penderita mulai makan makanan yang lebih lembut dengan harapan makanan
dapat dengan lebih mudah masuk melewati esofagus, hingga akhirnya penderita berhenti
mengonsumsi makanan padat dan mulai mengonsumsi makanan cair (Yang JY, 2003).
Akan tetapi, jika kanker tetap terus tumbuh, bahkan makanan cair pun tidak bisa
melewati esofagus. Untuk membantu makanan melewati esofagus biasanya tubuh
mengompensasi dengan menghasilkan saliva. Hal ini juga yang menyebabkan orang yang
menderita kanker esofagus sering mengeluh banyak mengeluarkan mukus atau saliva.
2. Merasakan benjolan unilateral pada tenggorokan dan rasa nyeri saat menelan (Mason RC,
2008)
3. Nyeri pada dada, regurgitasi makanan yang tak tercerna, dan cegukan. Nyeri dada sering
dideskripsikan dengan perasaan tertekan atau terbakar di dada. Gejala ini sering sekali
diartikan dengan gejala yang berkaitan dengan organ lain, seperti jantung, sehingga sering
kali orang tidak menyadari kalau gejala tersebut adalah salah satu gejala yang sering
dikeluhkan pada penderita kanker esofagus (Kuwano H, 2014).
4. Kehilangan berat badan dan kekuatan secara progresif.
Sekitar sebagian dari pasien yang menderita kanker esofagus mengalami penurunan berat
badan. Hal ini terjadi karena masalah menelan sehingga penderita mendapat masukan
makanan yang kurang untuk tubuhnya. Penyebab lain dikarenakan berkurangnya nafsu
makan dan meningkatnya proses metabolisme kanker yang diderita oleh pasien (Berry MF,
2014).
5. Perdarahan (Hopskins J, 2013)

STAGING KANKER ESOFAGUS

The American Joint Committee on Cancer Staging membagi stadium tumor berdasarkan
sistem TNM. T adalah tumor primer, N adalah pembesaran kelenjar limfe regional dan M adalah
metastasi jauh. Sistem TNM dapat ditegakkan dari hasil pemeriksaan klinis, esofagoskopi dan
CT scan (Napier KJ, 2014).

Tabel 2. Sistem stadium TNM berdasarkan The American Joint Committee on Cancer
Primary tumor (T) TX Primary tumor cannot be assessed
T0 No evidence of primary tumor
Tis High-grade dysplasia
T1a Tumor invades lamina propia, muscularis mucosae, or submucosa
T1b Tumor invades lamina propia or muscularis mucosae
T2 Tumor invades submucosa
T3 Tumor invades muscularis propia
T4 Tumor invades adventitia
T4a Resectable tumor invading pleura, pericardium, or diaphragm
T4b Unresctable tumor invading other adjacent structures aorta, vertebral
body, trachea, etc
Regional lymph node (N) NX Regional lymph nodes cannot be assessed
N0 No regional lymph node metastasis
N1 Metastasis in1-2 regional lymph nodes
N2 Metastasis in 3-6 regional lymph nodes
N3 Metastasis in seven or more regional lymph nodes
Distant Metastasis (M) M0 No distant metastasis
M1 Distant metastasis
Histologic Grade (G) GX Grade cannot be assessed-stage grouping as G1
G1 Well-differentiated
G2 Moderately differentiated
G3 Poorly differentiated
G4 Undifferentiated-stage grouping as G3 squamous
Stage T N M Grade Tumor location
Anatomic stage/prognostic groups
Stage 0 Tis N0 M0 1, X Any
Stage IA T1 N0 M0 1, X Any
Stage IB T1 N0 M0 2-3 Any
T2-3 N0 M0 1, X Lower, X
Stage IIA T2-3 N0 M0 1, X Upper, Middle
T2-3 N0 M0 2, 3 Lower, X
Stage IIB T2-3 N0 M0 2, 3 Upper, Middle
T1-2 N1 M0 Any Any
Stage IIIA T1-2 N2 M0 Any Any
T3 N1 M0 Any Any
T4a N0 M0 Any Any
Stage IIIB T3 N2 M0 Any Any
Stage IIIC T4a N1-2 M0 Any Any
T4b Any M0 Any Any
Any N3 M0 Any Any
Stage IV Any Any M1 Any Any

PENEGAKKAN DIAGNOSTIK

Diagnosis kanker esofagus dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan


penunjang termasuk di dalamnya gambaran radiologi dan endoskopi.
1. Laboratorium
Pada pemeriksaan darah rutin didapatkan diantaranya LED meningkat, terdapat gangguan
faal hati dan ginjal, dilihat dari nilai SGOT, SGPT, ureum, dan creatinin yang mengalami
peningkatan (Chevretton BE, 2008).
2. Radiologi
Pemeriksaan ini dilakukan sebelum endoskopi untuk melihat struktur dan fungsi
esofagus.
a. Barium Swallow X-Ray
Pada uji ini barium ditelan. Barium akan melapisi dinding esofagus. Ketika dilakukan
penyinaran (sinar X), barium akan membentuk gambaran esofagus dengan jelas. Tes ini dapat
digunakan untuk melihat apakah ada kelainan pada permukaan dinding esofagus (Hirst LJ,
2008).
Gambar 5. A. Karsinoma Esofagus B. Gambaran Barium X-Ray (Hopskins J, 2013)

b. CT Scan
CT scan biasanya tidak digunakan untuk mendiagnosis kanker esofagus, tetapi CT scan
membantu dalam menentukan stadium kanker esofagus, memungkinkan menunjukkan
perbedaan antara proses intramural dan kompresi ekstrinsik dan menunjukkan sejauh mana
perjalanan tumor dan keterlibatan limfe adenopati. Selain itu dapat membantu menentukan
apakah pembedahan merupakan tatalaksana terbaik untuk kanker esofagus (Napier KJ, 2014).
3. Endoskopi
a. Upper Endoscopy
Endoskopi merupakan uji diagnostik yang paling utama untuk mendiagnosis kanker
esofagus. Upper endoscopy melibatkan pemeriksaan lapisan kerongkongan , lambung , dan
bagian pertama dari usus kecil dengan endoskopi yang fleksibel. Endoskopi gastrointestinal
memungkinkan visualisasi dan biopsi mukosa dari saluran pencernaan bagian atas. Contoh
jaringan yang telah diambil kemudian dikirim ke laboratorium, dan dengan bantuan
mikroskop dapat ditentukan apakah jaringan tersebut merupakan jaringan yang bersifat ganas
(kanker). Jika kanker esofagus menutupi lumen esofagus, maka lumen tersebut dengan
bantuan alat dan endoskopi dapat dilebarkan sehingga makanan dan cairan dapat melaluinya
(Shah MP, 2014).
b. Endoscopy Ultrasonography (EUS)
Alat baru ini, invasif minimal, menggunakan serat optik endoskopi visualisasi untuk
stadium kanker, menyediakan informasi tentang lesi intrinsik termasuk mukosa dan
keterlibatan intramural, dan massa ekstrinsik. Ultrasonografi dapat menggambarkan
kedalaman invasi, mengidentifikasi kemungkinan metastase kelenjar getah bening dan
membimbing biopsi aspirasi jarum halus. (Yang JY, 2003)

PENATALAKSANAAN

Sebelum merencanakan dan memberikan terapi pada karsinoma esofagus, perlu


dilakukan penentuan stadium (staging) dan pengelompokan stadium tumor. Penentuan tingkatan
tumor ini dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti, dilengkapi dengan
pemeriksaan laboratorium. Prosedur dilanjutkan dengan esofagografi memakai suspensi barium,
foto dada, CT scan dada dan abdomen (Hirst LJ, 2008).

Diagnosis kedalaman Diagnosis metastasis Diagnosis metastasis


invasi tumor kelenjar limfe jauh

Menentukan karakteristik Evaluasi


Menentukan
dari lesi (grade dari keadaan
staging
keganasan) umum

Menjelaskan kepada Penilaian dan penjelasan


pasien yang komprehensif

Menentukan strategi terapi

Gambar 6. Algoritme penentuan terapi tumor esofagus (Kuwano H, 2014)

Ada beberapa pilihan yang dapat digunakan untuk terapi kanker esofagus. Pilihannya
pembedahan, terapi radiasi, kemoterapi atau kombinasi dari ketiga jenis pilihan. Sebagai contoh,
terapi radiasi dan kemoterapi dapat diberikan sebelum atau setelah operasi. Pilihan terapi
bergantung pada beberapa hal, diantaranya: lokasi kanker di dalam kerongkongan, apakah
kanker telah menyerang struktur disekitarnya, apakah kanker telah menyebar ke kelenjar getah
bening atau organ tubuh lainnya, gejala dan kondisi kesehatan secara umum (Napier KJ, 2014).
Berdasarkan algoritme tatalaksana yang digunakan oleh Japan Esophageal Society
(gambar 5), pasien kanker esofagus dengan stadium 0 diberikan terapi endoskopi, stadium 1
dengan tindakan bedah dapat disertai radioterapi atau kemoradioterapi, stadium II dan III (T1b-
T3) dengan tindakan bedah atau tindakan bedah yang didahului preoperatif, dapat disertai
radioterapi ataupun kemoradioterapi, stadium III (T4) dan IVa dengan radioterapi ataupun
kemoradioterapi, yang bila memenuhi syarat dapat dilakukan tindakan preoperatif, ataupun bila
tidak memenuhi syarat, hanya dapat dilakukan kemoterapi, radioterapi, ataupun terapi suportif
yang terbaik. Stadium IVb diobati dengan kemoterapi atau perawatan simtomatik dan suportif..
Untuk pasien yang, karena kondisi klinis atau karena penyakit lanjut, tidak dapat diberikan
pengobatan kuratif, tujuan terapi adalah paliatif disfagia, sehingga pasien bisa makan. Tidak ada
metode tunggal paliatif yang terbaik untuk setiap situasi (Kuwano H, 2014).

Esofagography, endoskopi, pemeriksaan patologi, EUS, CT, dll

Stadium 0 Stadium 1 Stadium II, III (T1b-T3) Stadium III (T4), IVa Stadium IVb

Terapi
Preoperatif

Terapi Kemoradioterapi,ra Kemoterapi, radioterapi,


Terapi bedah
endoskopi dioterapi terapi suportif

Terapi post bedah

Gambar 7. Algoritme penatalaksanaan kanker esofagus

Ada bukti bahwa terapi multimodal dapat meningkatkan kelangsungan hidup pasien yang
menjalani reseksi. Radioterapi adjuvant belum terbukti bermanfaat bagi pasien, tetapi
kemoradioterapi neoadjuvant dan kemoterapi saja telah dibuktikan dalam randomized trial lebih
meningkatkan kelangsungan hidup pada pembedahan saja dua dan tiga tahun. Tidak ada
penelitian yang menindaklanjuti pasien di luar ini sehingga manfaat yang berkaitan dengan
penyembuhan tidak jelas dan diragukan, dinyatakan bahwa pengobatan tersebut hanya
menguntungkan pasien ketika kelompok kontrol terapi ajuvan yang buruk meningkatkan operasi
yang buruk (Mason RC, 2008). .
1. Tindakan Bedah
Bedah tetap menjadi dasar pengobatan untuk kanker esophagus. Untuk pembedahan
harus ditentukan apakah dapat dioperasi atau tidak berdasarkan keadaan umum pasien secara
klinis, tidak adanya fiksasi tumor ke jaringan sekitar, atau tidak adanya metastasis ke organ lain.
Selain itu, dalam memutuskan apakah operasi harus dipertimbangkan, tiga pertanyaan
perlu diberikan yaitu: pertama, apakah pasien akan bertahan dengan komorbiditas operasi berupa
gangguan hati dan kardiorespirasi? Kedua, jika pasien bertahan operasi apakah ada kesempatan
bertahan hidup dengan baik minimal 18 bulan? kualitas hidup menunjukkan bahwa pasien yang
tidak bertahan lama ini memiliki kualitas hidup yang buruk. Ketiga, apakah reseksi sempurna
dapat dicapai? jika perbaikan penyakit secara makroskopik tidak tercapai, kelangsungan hidup
pasien sangat terganggu. Tidak ada peran untuk reseksi paliatif. Jika jawaban atas pertanyaan-
pertanyaan ini positif dan operasi dilakukan di sebuah pusat yang baik dengan throughput yang
tinggi - + 25 reseksi per tahun, sebuah angka kematian di rumah sakit dari <5% dan 5 tahun
kelangsungan hidup 25-30% dapat dicapai (Mason RC, 2008).
Ini menekankan penilaian yang benar dari keadaan fisik pasien dan penentuan stadium
yang akurat. Adanya penyakit penyerta, terutama kardiorespirasi dan penyakit hati, secara
substansial meningkatkan risiko operasi. Kehadiran penurunan berat badan dari 10% dari berat
premorbid dan nyaris total disfagia adalah pertanda penyakit lanjut dan kelangsungan hidup
buruk (Kuwano H, 2014).
a. Esofagektomi
Merupakan tindakan pembedahan untuk mengangkat semua bagian dari esofagus, termasuk
sebagian kecil dari lambung. Saat esofagus diangkat maka limfa nodus yang berada dekat dengan
esofagus juga terangkat. Bagian atas esofagus sering dihubungkan dengan bagian lambung yang
tersisa, bagian lambung tersebut ditarik ke arah dada atau leher menjadi bagian baru dari
esofagus. Banyaknya esofagus yang diangkat bergantung pada staging tumor dan lokasi tumor
berada. Jika tumor terletak di bagian distal esofagus, maka bagian esofagus yang diangkat bisa
mencapai 8 hingga 10cm dari normal esofagus (Berry MF, 2014) .
Setiap teknik esofagektomi memiliki keuntungan dan kerugian tersendiri sehubungan dengan
eksposur, lokasi anastomosis, dan komplikasi potensial. Pendekatan bedah dirangkum dalam
tabel 3. Pendekatan yang paling umum adalah Ivor-Lewis atau teknik transthoracic, yang
melibatkan torakotomi kanan dengan garis tengah laparotomi dan anastomosis dari saluran
lambung ke kerongkongan mediastinum proksimal di dada kanan apikal, dan esofagektomi
transhiatal, yang memerlukan laparotomi garis tengah dan insisi serviks kiri dan anastomosis dari
saluran lambung ke kerongkongan serviks (Mawhinney MR, 2012).
Teknik McKeown melibatkan torakotomi kanan, laparotomi, dan anastomosis serviks. Semua
operasi ini telah digambarkan sebagai yang dilakukan secara minimal invasif memanfaatkan
kombinasi laparoskopi dan pendekatan torakoskopik. Transtoraks kiri atau esofagektomi
torakoabdominal melibatkan sayatan bersebelahan melibatkan dada dan perut dan biasanya
disediakan untuk tumor gastroesophageal junction atau kanker lambung proksimal besar (Siewert
klasifikasi tipe II atau III) (Napier KJ, 2014).

Tabel 3. Perbandingan tipe esofagektomi (Mason RC, 2008)


Tipe Operasi Lokasi Insisi Lokasi Anastomosis
Transhiatal Laparotomi, servikal Dada kanan
Lewis-Tanner/ Ivor Lewis/ Laparotomi, torakotomi kanan Leher kiri
Two Stage
McKeown’s operation/ Laparotomi, torakotomi kanan, servikal Leher kiri
Three Stage
Lower Thoracoabdominal Laparotomi, torakotomi kiri, Dada kiri atau leher
torakoabdominal

Tabel 4. Metaanalisis perbandingan esofagektomi transhiatal dengan Lewis-Tanner


(Mason RC, 2008)
Morbiditas (%)
Esofagektomi Transhiatal Esofagektomi Lewis-Tanner
Respiratori 24 25
Kardiovaskular 12,4 10,5
Chyclotoraks 2,1 3,4
Kebocoran Anastomosis 16 10
Striktur Anastoomosis 28 16
Recurrent laryngeal nerve palsy 11,2 4,8
Mortalitas 30 hari 6,3 9,5
Five-year survival 24 26
Jumlah kasus 2675 2808
Pada tabel 4 disajikan bahwa tidak ada bukti baik dari uji coba atau meta-analisis untuk
menunjukkan superioritas satu pendekatan tipe. Banyak studi retrospektif dan prospektif bahwa
jenis operasi tidak menunjukkan perbedaan kelangsungan hidup karena faktor yang
mempengaruhi kelangsungan hidup bukanlah jenis operasi melainkan tahap kanker pada saat
operasi dilakukan. Pengalaman dokter bedah dan kenyamanan dengan prosedur tertentu dan
kemampuan untuk memperoleh margin yang tepat dengan sampel nodal yang memadai adalah
jauh lebih penting. (Kuwano H, 2014).
Komplikasi dari esofagektomi terjadi pada sekitar 40% pasien. Sebagian morbiditas terkait
dengan operasi terdiri dari kompilikasi pernapasan dan jantung. Komplikasi pernapasan (15-
20%) berupa atelektasis, efusi pleura, dan pneumonia. Komplikasi jantung (15-20%) berupa
aritmia dan miokard infark. Komplikasi septik (10%) berupa infeksi luka dan kebocoran
anastomosis tempat penyambungan esofagus dan lambung. Tingkat kebocoran bervariasi
tergantung pada apakah anastomosis dilakukan pada dada (3-12%) atau leher (10-25%).
Anastomosis dada memiliki tingkat kebocoran yang lebih rendah, tetapi kebocoran intratoraks
setelah esofagektomi dapat menyebabkan sepsis dan kematian. Di tangan berpengalaman dan di
pusat-pusat volume tinggi, angka kematian dari esofagektomi adalah 4% -10% (Berry MF,
2014).

2. Terapi Radiasi (Radioterapi)


Terapi radiasi dapat digunakan sebelum atau setelah operasi bahkan dapat digunakan
sebagai terapi tunggal, pengganti operasi. Dosis ideal dan waktu radioterapi belum ditetapkan
sepenuhnya. Dua jenis terapi radiasi dalam pengobatan kanker esofagus, yaitu: terapi radiasi
eksternal dan terapi radiasi internal (brachytherapy). Ada sedikit data tentang keamanan dan
kemanjuran brachytherapy atau radioterapi berkas eksternal saja untuk adenokarsinoma
esofagus. Data yang diterbitkan secara terbatas dari Jepang mengenai terapi radiasi untuk
kanker esofagus skuamosa menunjukkan bahwa hal itu dapat menghasilkan tingkat
kelangsungan hidup secara keseluruhan sekitar 38,7%, serta penyakit-spesifik 5 tahun dengan
tingkat kelangsungan hidup 71%. Tingkat komplikasi adalah 15%, terutama pada mereka
dengan terapi -radiation intraluminal. Meskipun ada beberapa respon terhadap terapi radiasi di
dosis "kuratif", kanker bisa kambuh dalam waktu singkat (3 bulan) dan tingkat kelangsungan
hidup 3 tahun rendah (Hopskins J, 2013).
Efek samping dari terapi radiasi bergantung pada dosis dan tipe radiasi. Terapi radiasi
eksternal yang dilakukan pada daerah dada dan abdomen dapat menyebabkan radang
tenggorokan, atau nyeri pada perut dan usus. Efek samping lainnya yaitu mual dan muntah.
Selain itu, kulit di daerah yang mendapat terapi dapat menjadi merah, kering, dan nyeri.
Terapi radiasi dapat menyebabkan masalah dalam proses menelan. Misalnya, kadang-
kadang terapi radiasi dapat melukai esofagus dan menyebabkan kesulitan dalam menelan.
Atau, radiasi juga dapat menyebabkan esofagus menjadi sempit. Oleh karena itu, sebelum
terapi biasanya sebuah tabung plastik dimasukkan ke dalam esofagus untuk menjaga agar
esofagus tetap terbuka (Napier KJ, 2014).

3. Kemoterapi
Jenis kemoterapi terbagi menjadi kemoterapi adjuvant, kemoterapi neoadjuvant, dan
kemoterapi paliatif. Kemoterapi adjuvant adalah kemoterapi yang diberikan sesudah operasi
yang bertujuan mengurangi kekambuhan lokal dan mengurangi penyebaran yang akan timbul.
Kemoterapi neoadjuvant adalah kemoterapi yang diberikan sebelum operasi yang bertujuan
mengurangi ukuran tumor sehingga mudah dioperasi. Sedangkan kemoterapi paliatif adalah
kemoterapi yang diberikan hanya untuk mengurangi besarnya tumor yang dalam hal ini
karena atau lokasinya mengganggu kelangsungan hidup pasien (Mawhinney MR, 2012).
Kerja kemoterapi dengan menyerang sel-sel yang sedang membelah cepat, menghambat
sel yang sedang membelah, menghentikan pembelahan sel di lokasi/ fase tertentu,
menghambat instruksi untuk membelah, karena itu pada kemoterapi digunakan sistem
kombinasi obat (multiple drugs) dan diberikan beberapa kali yang rata-rata diberikan enam
kali (enam siklus) agar mencapai prinsip kerja kemoterapi yaitu membunuh sel-sel yang
membelah pada waktu berlawanan. Setiap siklus memiliki masa perawatan diikuti oleh masa
istirahat (Kuwano H, 2014).
Pemilihan agen kemoterapi bergantung kepada jenis kanker, stadium kanker, usia pasien,
status kesehatan pasien, penyakit penyerta pasien, dan terapi yang pernah didapat sebelumnya.
Sebagian besar kemoterapi yang saat ini digunakan untuk pengobatan kanker esofagus
berupa alkilatyng, anti metabolit, mitotik inhibitor, antibiotik, topoisomerase inhibitor, anti
mikrotubule. Alkilatyng agent menghambat pertumbuhan sel dan proliferasi dan mengganggu
sintesis DNA dengan pembentukan DNA cross-link. Sediaan ini dapat memiliki efek samping
yang serius seperti penekanan sumsum tulang, reaksi anafilaksis, ototoksisitas, dan toksisitas
ginjal.

Tabel 5. Jenis Agen Kemoterapi


Alkylating Anti Mitotik Antibiotics Antibiotics Anti Antra-
Agents Metabolits Inhibitors Mikrotubul sikline
e
Cisplatin Fluorouracil Etoposide Bleomycin Bleomycin Docetaxel Epirubici
n
Carmustine Arabinoside Teniposide Dactinomyci Dactinomyci Paclitaxel
n n
Chlorambuci Floxuridine Vinblastin Daunorubicin Daunorubicin
l e
Busulfan Cystosine Vincristine Doxorubicin Doxorubicin
Cyclophos- Mercaptopurin Vindesine Mytomycin-c Mytomycin-c
phamide e
Ifosfamide Methotrexate Taxoids Mitoxantrone Mitoxantrone
Melphalan Plicamycin Plicamycin

Anti metabolit bekerja dengan menghambat pertumbuhan sel dan proliferasi serta
mengganggu sintesis DNA dengan menghalangi metilasi asam deoxyuridylate (Baldwin MK,
2015). Anti mitotik inhibitor bekerja pada fase mitosis. Antibiotik bekerja dengan membentuk
ikatan kompleks dengan molekul DNA. Topoisomerase inhibitor bekerja dengan mengikat
topoisomerase dan menyebabkan DNA untai tunggal istirahat. Anti Mikrotubule bekerja dengan
meningkatkan dimer tubulin, menstabilkan mikrotubulus yang ada, dan menghambat
pembongkaran mikrotubulus. Anthrasikline menghambat DNA dan sintesis RNA oleh obstruksi
sterik. Mereka intercalate antara pasangan basa DNA dan memicu pembelahan DNA oleh
topoisomerase II.
Regimen yang sering digunakan untuk kemoterapi adalah:
 5-Fluorouracil
 5-Fluorouracil + Cisplatin
 ECF (Epirubicin + Cisplatin + 5-Fluorouracil)
 IFL (Irinotecan + 5-Fluorouracil + Leucovorin)
 TIC (Paclitaxel + Ifosphamide + Carboplatin)
Kemoterapi neoadjuvant sendiri muncul untuk menawarkan manfaat terbatas yang
terbaik. Sebuah Amerika Utara uji coba secara acak menemukan bahwa kemoterapi sebelum
operasi dengan kombinasi cisplatin dan fluorouracil tidak meningkatkan kelangsungan hidup
secara keseluruhan antara pasien dengan kanker sel skuamosa atau adenokarsinoma esofagus.
Dalam uji coba yang lebih besar, peneliti Inggris menemukan bahwa kemoterapi sebelum operasi
dengan dua agen menghasilkan tingkat ketahanan hidup 5 tahun dari 23,0%, dibandingkan
dengan 17,1% untuk operasi saja.

4. Radiasi dan Kemoterapi


Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa penambahan kemoterapi (cisplatin dan 5-
fluorouracil [5-FU]) untuk radioterapi memperbaiki tingkat kekambuhan lokal (65-44%) dan
ketahanan hidup 2 tahun dari 10% menjadi 38%, memperpanjang survival oleh 4 bulan. Rohatgi
et al melaporkan bahwa respon terhadap kemoradioterapi sebelum operasi berkorelasi kuat
dengan kelangsungan hidup secara keseluruhan dan kelangsungan hidup bebas penyakit pada
pasien dengan kanker esofagus. Demikian pula, Alexander et al mengidentifikasi biomarker
DNA-perbaikan yang memprediksi respon terhadap kemoterapi neoadjuvant (Hopskins J, 2013).

5. Kemoterapi dan Pembedahan


Dalam percobaan multicenter, pasien dengan penyakit stadium I-III diobati dengan
operasi baik sendiri atau kemoterapi diikuti operasi. Sebuah studi oleh David Kelsen dan rekan
menunjukkan tidak ada manfaat dari cisplatin pra operasi 5-FU baik untuk sel skuamosa atau
adenokarsinoma esofagus dibandingkan dengan pembedahan saja ketika menganalisis
kekambuhan lokal dan kelangsungan hidup (Bhayani MK, 2014).

6. Kemoradiasi dan Pembedahan


Dalam sebuah studi Tahap III besar terapi multimodal (kemoradiasi menggunakan
cisplatin 5-FU diikuti dengan operasi) vs pembedahan saja, Walsh dan koleganya
menunjukkan bahwa mantan unggul untuk pasien dengan adenokarsinoma yang dapat
dioperasi. Keuntungan kelangsungan hidup adalah jelas pada 3 tahun. Analisis data dari
CROSS I dan II menunjukkan bahwa kemoradiasi praoperasi ditambah operasi lebih unggul
daripada hanya pembedahan saja dalam mencegah kekambuhan lokal, regional, dan jauh,
metastasis terutama hematogen dan karsinomatosis peritoneal. Secara keseluruhan tingkat
kekambuhan adalah 35% untuk kemoradiasi ditambah operasi dan 58% untuk operasi saja
(Kuwano H, 2014).

7. Endoskopi
Terdapat pengumpulan data menyatakan bahwa terapi endoskopik adalah terapi yang
aman, kurang invasif, dan efektif untuk kanker esofagus stadium sangat awal. Pasien yang dapat
mendapat terapi endoskopi adalah pasien dengan stadium 1 dengan tumor menyerang ke dalam
lamina propria (T1 mukosa) atau submukosa (T1 submukosa) yang tidak memiliki metastasis
regional ataupun metastasis jauh. Pasien dengan karsinoma in-situ atau high-grade dysplasia
juga dapat diobati dengan terapi endoskopi. Kanker submukosa dengan peningkatan metastasis
risiko nodal mungkin tidak dapat untuk diterapi kuratif. Kedua bentuk terapi endoskopik yang
telah digunakan untuk stadium 0 dan I adalah endoskopi reseksi mukosa (ESDM) dan ablasi
mukosa menggunakan terapi fotodinamik, Nd-YAG laser, dan koagulasi argon plasma (Shah
MP, 2014).
a. Endoskopi Reseksi Mukosa
Endoskopi reseksi mukosa telah dianjurkan untuk kanker dini, kanker yang berbatas
dangkal dan terbatas pada mukosa saja, dan telah terbukti menjadi terapi non-bedah yang kurang
invasif, aman, dan sangat efektif untuk kanker dini esofagus sel skuamosa. Beberapa laporan
juga menunjukkan keamanan dan kemanjuran untuk adenokarsinoma awal yang timbul akibat
Barret esofagus. Prognosis setelah pengobatan dengan endoskopi reseksi mukosa sebanding
dengan reseksi bedah (Mawhinney MR, 2012).
Teknik ini dapat dicoba pada pasien, tanpa bukti metastasis nodal atau jauh, dengan
tumor dibedakan yang sedikit terangkat dan diameter kurang dari 2 cm atau tumor dibedakan
yang ulserasi dan kurang dari 1 cm. Modalitas yang paling umum digunakan dari endoskopi
reseksi mukosa termasuk strip biopsi, double-snare polypectomy, reseksi dengan menggunakan
kombinasi dari saline konsentrasi tinggi dengan epinefrin, dan reseksi menggunakan topi.
Metode biopsi strip untuk reseksi mukosa endoskopi kanker esophagus dilakukan dengan
endoskopi double-channel dilengkapi dengan menggenggam forcep dan snare. Setelah menandai
perbatasan lesi dengan koagulator listrik, garam disuntikkan ke submukosa di bawah lesi untuk
memisahkan lesi dari lapisan otot dan memaksa tonjolan nya. Forceps menggenggam yang
melewati loop snare. Mukosa yang mengelilingi lesi digenggam, diangkat, distrangulasi dan
direseksi oleh elektrokauter (Napier KJ, 2014).

Gambar 8. Teknik endoskopi reseksi mukosa dengan injeksi saline (Hopskins J, 2013)

Endoskopi metode polypectomy double-snare diindikasikan untuk lesi yang menonjol.


Menggunakan lingkup double-channel, lesi digenggam dan diangkat oleh snare pertama dan
terjepit dengan jerat kedua untuk reseksi lengkap.
Reseksi endoskopik dengan injeksi saline terkonsentrasi dan epinefrin dilakukan
menggunakan lingkup double-channel. Perbatasan lesi ditandai dengan koagulator. Saline
konsentrasi tinggi dan epinefrin disuntikkan (15-20 ml) ke dalam lapisan submukosa membuat
daerah daerah berisi lesi bengkak sehingga dapat memperjelas tandanya. Mukosa di luar
perbatasan batasnya dipotong menggunakan pisau bedah frekuensi tinggi ke kedalaman lapisan
submukosa. Mukosa yang direseksi diangkat dan digenggam dengan forsep, menjebak dan
strangulasi lesi dengan perangkap, kemudian direseksi oleh elektrokauter (Shah MP, 2014).
Metode keempat reseksi mukosa endoskopi yaitu menggunakan clear cap dan prelooped
snare di dalamnya. Setelah penyisipan, tutup ditempatkan pada lesi dan mukosa yang
mengandung lesi disusun dalam topi dengan aspirasi. Mukosa tertangkap dalam jerat dan terjepit,
dan akhirnya direseksi oleh elektrokauter. Ini disebut "band dan snare" atau teknik "menghisap
dan memotong". Spesimen yang direseksi diambil dan diserahkan untuk pemeriksaan
mikroskopis berupa penentuan kedalaman invasi tumor, batas reseksi, dan kemungkinan
keterlibatan pembuluh darah. “Ulkus” yang dihasilkan sembuh dalam waktu 3 minggu (Gambar
9).
Gambar 9. A-C Teknik endoskopi reseksi mukosa menggunakan clear cap, B’ C’ penampakan
endoskopi (Hopskins J, 2013).

Meskipun sebagian besar lesi yang dirawat di esofagus telah berupa kanker sel skuamosa
awal, endoskopi reseksi snare juga dapat digunakan untuk mengobati polipoid displasia atau lesi
ganas di esophagus Barret. Dalam laporan awal dari Jerman, ERM dilakukan sebagai pengobatan
primer atau terapi tambahan setelah terapi fotodinamik untuk adenokarsinoma Barret esofagus
awal. Teknik "mengisap dan memotong" (dengan dan tanpa injeksi saline sebelumnya)
digunakan sebaik teknik "band dan memotong".
Komplikasi utama dari endoskopi reseksi mukosa termasuk perdarahan pasca operasi dan
perforasi dan pembentukan striktur. Selama prosedur, suntikan 100.000 kali diencerkan epinefrin
ke dalam dinding otot, bersama dengan koagulasi frekuensi tinggi atau kliping dapat diterapkan
ke titik pendarahan untuk hemostasis. Ini penting untuk memberi obat pengurang asam untuk
mencegah perdarahan pasca operasi. Perforasi dapat dicegah dengan injeksi saline yang cukup
untuk menaikkan mukosa yang mengandung lesi. "Tanda non-angkat" dan keluhan rasa sakit
ketika snare menjerat lesi merupaka kontrainidikasi ERM. Ketika perforasi terjadi segera setelah
prosedur, perforasi harus ditutup oleh klip. Operasi harus dipertimbangkan dalam kasus
endoskopi kegagalan penutupan. Insidens komplikasi 0-50% dan kekambuhan sel skuamosa
berkisar 0-8% (Kuwano H, 2014).
b. Terapi Fotodinamik (TPD)
Terapi fotodinamik (TPD) menggunakan berbagai fotosensitizer lain adalah modalitas
endoskopik yang sangat menjanjikan. TPD melibatkan penerapan obat fotosensitizer melalui oral
atau intravena. Ada lokasi pemilihan obat dalam konsentrasi tinggi pada displastik dan jaringan
ganas. Di hadapan oksigen, sinar laser pada panjang gelombang tertentu mengaktifkan obat dan
menghasilkan reaksi fotokimia yang menyebabkan kerusakan jaringan selektif. TPD telah
diterapkan untuk tumor di esofagus, lambung, duodenum, saluran empedu, paru-paru, dan
anggota tubuh lain (Gambar 10) (Mason RC, 2008).

Gambar 10. A-C Terapi fotodinamik (TPD) A’-C’ gambar dari endoskopi

Terapi fotodinamik dan ablasi mukosa telah menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam
berbagai uji klinis pada pasien dengan kanker esofagus. Peningkatan jumlah penelitian telah
menunjukkan TPD aman dan sangat efektif, terutama untuk ablasi khas / epitel kolumnar khusus
dan displasia di Barrett esophagus. TPD juga telah menunjukkan manfaat klinis untuk
pengobatan kuratif awal sel skuamosa dan adenokarsinoma esofagus. Selain itu, PDT juga efektif
untuk penggunaan klinis pada kanker dini lambung, kanker kolorektal dan duodenum serta tumor
ampullary (Bhayani MK, 2014).
Dalam uji coba multisenter yang membandingkan TPD dengan Nd: YAG Laser
fotoablasi, TPD terbukti berkhasiat sama dengan laser ablasi termal untuk paliatif disfagia di
kanker esofagus. TPD adalah sama atau lebih baik daripada Nd: YAG dalam hal respon tumor
obyektif, terutama untuk tumor yang terletak di atas dan sepertiga bawah dari kerongkongan.
Studi ini menyimpulkan bahwa TPD dapat dilakukan dengan lebih mudah dan berhubungan
dengan komplikasi yang lebih sedikit serta hasil jangka panjang yang lebih baik daripada terapi
laser ND: YAG (Berry MF, 2014).
TPD harus dianggap sebagai pengobatan alternatif untuk membuka lumen esofagus. TPD
telah berhasil digunakan untuk membuka lumen esofagus pada pasien dengan obstruksi total dan
sebagian akibat kanker esofagus. Hal ini telah terbukti berguna untuk kanker esophagus, untuk
pasien dengan pilihan radiasi dan kemoterapi, beberapa kanker esofagogastrik, dan sebagai terapi
penyelamatan pada pasien yang stentnya gagal karena migrasi atau pertumbuhan tumor ke dalam
ataupun berlebih.
Meskipun TPD cukup menjanjikan dalam aplikasi terapi, itu bukan tanpa efek samping.
Efek samping berupa disritmia, fotosensitivitas dan pembentukan striktur (Hopskins J, 2013).

4. Perawatan paliatif
Pada pasien yang, karena kondisi klinis atau penyakit lanjut, tidak dapat dilakukan
tindakan operasi, perawatan paliatif berfokus pada mengontrol disfagia. Metode yang paling
tepat untuk mengontrol disfagia ditentukan untuk setiap pasien secara individual, tergantung
pada karakteristik tumor, keinginan pasien, dan keahlian khusus dari dokter. Modalitas
pengobatan untuk membantu mencapai tujuan ini berupa: kemoterapi, radioterapi, terapi Laser,
Stent (Shah MP, 2014).
a. Kemoterapi
Kemoterapi sebagai modalitas tunggal memiliki penggunaan yang terbatas. Hanya
beberapa pasien mencapai tanggapan yang sederhana dan singkat. Studi dari Inggris
menunjukkan bahwa docetaxel mungkin berguna sebagai pengobatan lini kedua untuk pasien
dengan kanker esofagus yang telah berkembang setelah kemoterapi lini pertama. Karena
kelangsungan hidup pada pasien ini diukur dalam bulan, kualitas hidup merupakan pertimbangan
penting. Dalam penelitian di Inggris, kualitas-hidup kuesioner menunjukkan tidak ada perbedaan
antara 2 kelompok pada skor global dan fungsi tetapi tidak menunjukkan peningkatan skor
gejala, dengan kelompok docetaxel melaporkan sedikit rasa sakit.
Pada tahun 2006, ulasan Cochrane mencoba untuk menilai efektivitas kemoterapi
dibandingkan perawatan terbaik yang mendukung, serta yang dari rejimen kemoterapi yang
berbeda terhadap satu sama lain, pada karsinoma esofagus metastasis. Para penulis menemukan
bahwa ada manfaat yang konsisten dengan rejimen kemoterapi tertentu. Cisplatin, 5-fluorouracil
(5-FU), paclitaxel, dan anthracyclines memiliki tingkat respon yang menjanjikan dan toksisitas
ditoleransi (Napier KJ, 2014).

b. Radioterapi
Terapi radiasi berhasil dalam mengurangi disfagia pada sekitar 50% pasien. Pada pasien
dengan kanker esofagus tingkat lanjut, kombinasi kemoterapi dan radioterapi praoperasi telah
menunjukkan hasil yang baik. Herskovic dan rekan melaporkan kelangsungan hidup 2 tahun
38%, dengan masa hidup rata-rata 12,5 bulan, untuk pasien yang diobati dengan kombinasi
radioterapi dengan kemoterapi (fluorouracil dan cisplatin), dibandingkan dengan kelangsungan
hidup 2 tahun 10% dan jangka waktu kelangsungan hidup rata-rata 8,5 bulan pada pasien yang
diobati dengan radioterapi saja (Mawhinney MR, 2041).
Dalam sebuah penelitian, Folkert et al menemukan bahwa dosis-tingkat tinggi (HDR)
brachytherapy endoluminal ditoleransi dengan baik pada pasien medis yang dapat dioperasi
dengan kanker esofagus superfisial primer atau berulang. Selama 3 tahun, 14 pasien diobati
dengan HDR brachytherapy intraluminal, 10 menderita kanker esofagus berulang dan 4 memiliki
lesi sebelumnya tidak disinari (Kuwano H, 2014).

c. Terapi Laser
Terapi laser (Nd: YAG laser) dapat membantu untuk mencapai bantuan sementara dari
disfagia di sebanyak 70% dari pasien. Beberapa sesi biasanya diperlukan untuk menjaga patensi
lumen esofagus. The fotosensitizer porfimer (Photofrin) disetujui FDA untuk paliatif pasien
dengan kanker esofagus obstruksi atau sebagian yang diobati dengan terapi laser Nd: YAG tetapi
tidak memuaskan. Injeksi intravena porfimer diikuti 40-50 jam kemudian dengan pengiriman
cahaya laser dengan panjang gelombang 630 nm. Pengobatan sinar laser kedua dapat diberikan
96-120 jam setelah injeksi (Berry MF, 2014).

d. Stent
Pasien dapat diintubasi dengan stent logam yang diperluas, yang dapat digunakan oleh
endoskopi di bawah bimbingan fluoroskopi dan dapat menjaga patensi lumen esofagus. Stent
sangat berguna untuk pasien dengan fistel trakeoesofagus (Hopskins J, 2013).
DAFTAR PUSTAKA

Beasley,N. 2008, ‘Anatomy of The Pharynx and Oesophagus’ in Scott-Brown’s


Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery 7th edition, eds. M Gleeson, Hodder Arnold,
Great Britain

Berry, MF 2014, ‘Esophageal cancer: staging system and guidelines for staging and treatment’, J
Thorac Dis, vol. 6, no. S3, hh. S289-97

Bhayani,MK & Weber,RS. 2014, ‘Hypopharyngeal and Cervival Esophageal Carcinoma’ in


Bailey’s Head & Neck Surgery Otolaryngology 5th edition,eds. JT Johnson & CA Rosen,
Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia.

Chevretton,BE. 2008, ‘Causes of Dysphagia’ in Scott-Brown’s Otorhinolaryngology, Head and


Neck Surgery 7th edition, eds. M Gleeson, Hodder Arnold, Great Britain.

Dhingra,PL. 2006, ‘Neoplasms of Oesophagus’ in Diseases of Ear, Nose and Throat 4th edition,
Elsevier, London. p. 306-7

Hirst,LJ. 2008, ‘Functional Investigations of The Upper Gastrointestinal Tract’ in Scott-Brown’s


Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery 7th edition, eds. M Gleeson, Hodder Arnold,
Great Britain.

Hopskins, J. 2013. ‘Anatomy, Diagnosis, and Treatment of Esophageal Cancer’ in Head and
Neck Cancer, Elsevier, London. p.1-12

Kamangar, F, Chow, WH, & Abnet, C, et al 2009, ‘Environmental Causes of Esophageal


Cancer’, Gastroenterol Clin North Am, vol. 38, no. 1, hh. 27–vii.
Kuwano, H, Nishimura, Y, & Oyama, T, et al 2014,’ Guidelines for Diagnosis and Treatment of
Carcinoma of the Esophagus April 2012 edited by the Japan Esophageal Society’, The Japan
Esophageal Society and Springer Japan, vol. 2015, no. 12, hh. 1-30

Leslie,P & McHanwell,S. 2008, ‘Physiology of Swallowing’ in Scott-Brown’s


Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery 7th edition, eds. M Gleeson, Hodder Arnold,
Great Britain.

Lin, Y, Totsuka, Y, & He,Y et al 2013, ‘Epidemiology of Esophageal Cancer in Japan and
China’, JE Epidemiol, vol. 23, no 4, hh. 233-42.

Mason,RC. 2008, ‘Oesophageal Diseases’ in Scott-Brown’s Otorhinolaryngology, Head and


Neck Surgery 7th edition, eds. M Gleeson, Hodder Arnold, Great Britain.

Mawhinney, MR, Glasgow, RE 2012, ‘Current treatment Options for The Management of
Esophageal Cancer’, Dovepress Journal, vol. 2012, no. 4, hh. 367–77.

Napier, KJ, Scheerer, M, & Misra, S 2014, ‘Esophageal cancer: A Review of epidemiology,
pathogenesis, staging workup and treatment modalities’, World J Gastrointest Oncol, vol. 6, no.
5, hh. 112-20.

Shah, MP, Gerdes, H 2014, ‘Endoscopic Options for Early Stage Esophageal Cancer’, Journal of
Gastrointestinal Oncology, vol. 6, no. 1, hh. 20-30.

Silvera, SA, Mayne, ST, & Gammon, MD 2014, ‘Diet and lifestyle factors and risk of subtypes
of esophageal and gastric cancer: classification tree analysis’, Ann Epidemiol, vol. 24, no. 1, hh.
50–7.

Yang,JY & Deutsch,ES. 2003, ‘Bronchoesophagology’ in Ballenger’s otorhinolaryngology head


and neck Surgery 16th edition’, eds. JB Snow & JJ Ballenger, BC Decker, Spain.
Zhang, Y 2013, ‘Epidemiology of Esophageal Cancer’, World J Gastroenterol, vol. 19, no. 34,
hh. 5598-606

Anda mungkin juga menyukai