Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

Invaginasi adalah suatu keadaan dimana segmen usus masuk ke dalam segmen
lainnya, yang pada umumnya berakibat dengan terjadinya obstruksi ataupun
strangulasi. Invaginasi sering disebut juga sebagai intussusepsi. Umumnya bagian
yang proximal (intussuseptum) masuk ke bagian distal (intususepien)
(Syamsuhidayat, 2005).Suatu intususepsi terjadi bila sebagian saluran cerna terdorong
sedemikian rupa sehingga sebagian darinya akan menutupi sebagian lainnya hingga
seluruhnya mengecil atau memendek ke dalam suatu segmen yang terletak di sebelah
kaudal(Nelson, 1999).

Estimasi insidensi akurat dari intususepsi tidak tersedia untuk sebagian besar
negara berkembang, demikian juga di banyak negara maju. Irish (2011) menyebutkan
insiden intususepsi adalah 1,5-4 kasus per 1000 kelahiran hidup. Berdasarkan usia,
intususepsi paling banyak dialami oleh anak usia kurang dari 1 tahun dengan puncak
usia 4-8 bulan. Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki paling banyak mengalami
intususepsi dengan rasio yang berbeda di masing-masing wilayah dimana rasio laki-
laki dan perempuan untuk wilayah Asia adalah 9:1. Berdasarkan keterkaitan kejadian
intususepsi dengan musim, didapatkan hasil penelitian yang bervariasi di masing-
masing wilayah di dunia. Intususepsi dilaporkan sebagai suatu kejadian musiman
dengan puncak pada musim semi, musim panas, dan pertengahan musim dingin.
Berdasarkan penelitian epidemiologi intususepsi di Singapura tahun 1997-2004,
insidensi intususepsi mengalami penurunan dan tidak terkait dengan musim.
Perjalanan penyakit ini bersifatprogresiv. Insiden 70% terjadi pada usia < 1tahun
tersering usia 6-7 bulan, anak laki-lakilebih sering dibandingkan anak perempuan(De
Jong, 2005).

Di negara maju, outcome dari pasien dengan intususepsi memiliki prognosis


yang lebih baik karena diagnosis yang tegak secara dini diikuti dengan prosedur terapi
yang kurang invasif seperti reduksi barium enema. Sebaliknya, di negara berkembang,
banyak anak dengan intususepsi dilaporkan mengalami keterlambatan untuk
mendapatkan terapi definitif. Tertundanya diagnosis yang berlanjut menjadi nekrosis
usus, diikuti dengan terapi reduksi operasi, memiliki angka fatalitas yang tinggi,
misalnya 18% di Nigeria, 20% di Indonesia dan hingga 54% di Ethiopia. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh van Heek et al (1996) angka kematian anak-anak
dengan intususepsi di pedesaan Indonesia jauh lebih tinggi daripada di perkotaan di
Indonesia atau di Belanda, mungkin karena pengobatan yang terlambat, yang
menghasilkan lebih banyak pasien yang menjalani operasi dalam kondisi fisik yang
buruk. Mortalitas intususepsi meningkat secara signifikan (lebih dari 10 kali) pada
pasien intususepsi yang baru datang berobat setelah 48 jam sejak onset gejala
dibandingkan dengan pasien intususepsi yang datang berobat sejak 24 jam onset
gejala.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Ileus obstruktif adalah suatu penyumbatan mekanis pada usus dimana
merupakan penyumbatan yang sama sekali menutup atau menganggu jalannya isi usus
(Sabara, 2007).
Invaginasi atau intususepsi adalah suatu keadaan masuknya segmen usus ke
segmen bagian distalnya yang umumnya akan berakhir dengan obstruksi usus
strangulasi (Mansjoer, 2000).

B. ANATOMI USUS
Usus halus merupakan tabung yang kompleks, berlipat-lipat yang
membentang dari pilorus sampai katup ileosekal. Pada orang hidup panjang usus
halus sekitar 12 kaki (22 kaki pada kadaver akibat relaksasi). Usus ini mengisi bagian
tengah dan bawah abdomen. Ujung proksimalnya bergaris tengah sekitar 3,8 cm,
tetapi semakin kebawah lambat laun garis tengahnya berkurang sampai menjadi
sekitar 2,5 cm (Price & Wilson, 1994).
Usus halus dibagi menjadi duodenum, jejenum, dan ileum. Pembagian ini agak
tidak tepat dan didasarkan pada sedikit perubahan struktur, dan yang relative lebih
penting berdasarkan perbedaan fungsi. Duodenum panjangnya sekitar 25cm, mulai
dari pilorus sampai kepada jejenum. Pemisahan duodenum dan jejenum ditandai oleh
ligamentum treitz, suatu pita muskulofibrosa yang berorigo pada krus dekstra
diafragma dekat hiatus esofagus dan berinsersio pada perbatasan duodenum dan
jejenum. Ligamentum ini berperan sebagai ligamentum suspensorium (penggantung).
Kira-kira duaperlima dari sisa usus halus adalah jejenum, dan tiga perlima
terminalnya adalah ileum.. Jejenum terletak di region abdominalis media sebelah kiri,
sedangkan ileum cenderung terletak di region abdominalis bawah kanan (Price &
Wilson, 1994). Jejunum mulai pada juncture denojejunalis dan ileum berakhir pada
junctura ileocaecalis (Snell, 1997).
Lekukan-lekukan jejenum dan ileum melekat pada dinding posterior abdomen
dengan perantaraan lipatan peritoneum yang berbentuk kipas yang dikenal sebagai
messenterium usus halus. Pangkal lipatan yang pendek melanjutkan diri sebagai
peritoneum parietal pada dinding posterior abdomen sepanjang garis berjalan ke
bawah dan ke kenan dari kiri vertebra lumbalis kedua ke daerah articulatio sacroiliaca
kanan. Akar mesenterium memungkinkan keluar dan masuknya cabang-cabang arteri
vena mesenterica superior antara kedua lapisan peritoneum yang memgbentuk
messenterium (Snell. 1997)
Usus besar merupakan tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 5
kaki (sekitar 1,5 m) yang terbentang dari sekum sampai kanalis ani. Diameter usus
besar sudah pasti lebih besar daripada usus kecil. Rata-rata sekitar 2,5 inci (sekitar 6,5
cm), tetapi makin dekat anus semakin kecil (Price & Wilson, 1994). Usus besar dibagi
menjadi sekum, kolon dan rektum. Pada sekum terdapat katup ileocaecaal dan
apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati dekitar dua atau tiga
inci pertama dari usus besar. Katup ileocaecaal mengontrol aliran kimus dari ileum ke
sekum. Kolon dibagi lagi menjadi kolon asendens, transversum, desendens dan
sigmoid (Price & Wilson, 1994).
Kolon ascendens berjalan ke atas dari sekum ke permukaan inferior lobus
kanan hati, menduduki regio iliaca dan lumbalis kanan. Setelah mencapai hati, kolon
ascendens membelok ke kiri, membentuk fleksura koli dekstra (fleksura hepatik).
Kolon transversum menyilang abdomen pada regio umbilikalis dari fleksura koli
dekstra sampai fleksura koli sinistra. Kolon transversum, waktu mencapai daerah
limpa, membengkok ke bawah, membentuk fleksura koli sinistra (fleksura lienalis)
untuk kemudian menjadi kolon descendens. Kolon sigmoid mulai pada pintu atas
panggul. Kolon sigmoid merupakan lanjutan kolon descendens. Ia tergantung ke
bawah dalam rongga pelvis dalam bentuk lengkungan. Kolon sigmoid bersatu dengan
rektum di depan sakrum. Rektum menduduki bagian posterior rongga pelvis. Rektum
ke atas dilanjutkan oleh kolon sigmoid dan berjalan turun di depan sekum,
meninggalkan pelvis dengan menembus dasar pelvis. Disisni rektum melanjutkan diri
sebagai anus dalan perineum (Snell, 1997).
C. SUPLAI VASKULER
Pada usus halus, arteri mesentericus superior dicabangkan dari aorta tepat di
bawah arteri seliaka. Arteri ini mendarahi seluruh usus halus kecuali duodenum yang
sebagian atas duodenum adalah arteri pancreotico duodenalis superior, suatu cabang
arteri gastroduoodenalis. Sedangkan separoh bawah duodenum diperdarahi oleh arteri
pancreoticoduodenalis inferior, suatu cabang arteri mesenterica superior. Pembuluh-
pembuluh darah yang memperdarahi jejenum dan ileum ini beranastomosis satu sama
lain untuk membentuk serangkaian arkade. Bagian ileum yang terbawah juga
diperdarahi oleh arteri ileocolica. Darah dikembalikan lewat vena messentericus
superior yang menyatu dengan vena lienalis membentuk vena porta (Price & Wilson,
1994: Snell, 1997)
Pada usus besar, arteri mesenterika superior memperdarahi belahan bagian
kanan (sekum, kolon ascendens, dan dua pertiga proksimal kolon transversum) : (1)
ileokolika, (2) kolika dekstra, (3) kolika media, dan arteria mesenterika inferior
memperdarahi bagian kiri (sepertiga distal kolon transversum, kolon descendens dan
sigmoid, dan bagian proksimal rektum) : (1) kolika sinistra, (2) sigmoidalis, (3)
rektalis superior (Price & Wilson, 1994; Schwartz, 2000).

Arteria mesenterica inferior dan cabang-cabangnya


(Sumber : Snell, 2011)
Aliran vena dan arteri pada colon dan rektum

D. PERSARAFAN USUS
Saraf-saraf duodenum berasal dari saraf simpatis dan parasimpatis (vagus) dari
pleksus mesentericus superior dan pleksus coeliacus. Sedangkan saraf untuk jejenum
dan ileum berasal dari saraf simpatis dan parasimpatis (nervus vagus) dari pleksus
mesentericus superior (Snell, 1997). Rangsangan parasimpatis merangasang aktivitas
sekresi dan pergerakan, sedangkan rangsangan simpatis menghambat pergerakan
usus. Serabut-serabut sensorik sistem simpatis menghantarkan nyeri, sedangkan
serabut-serabut parasimpatis mengatur refleks usus. Suplai saraf intrinsik, yang
menimbulkan fungsi motorik, berjalan melalui pleksus Auerbach yang terletak dalam
lapisan muskularis, dan pleksus Meissner di lapisan submukosa (Price & Wilson,
1994).
Persarafan usus besar dilakukan oleh sistem saraf ototonom dengan
perkecualian sfingter eksterna yang berada dibawah kontrol voluntar (Price & Wilson,
1994). Sekum, appendiks dan kolon ascendens dipersarafi oleh serabut saraf simpatis
dan parasimpatis nervus vagus dari pleksus saraf mesentericus superior. Pada kolon
transversum dipersarafi oleh saraf simpatis nervus vagus dan saraf parasimpatis
nervus pelvikus. Serabut simpatis berjalan dari pleksus mesentericus superior dan
inferior. Serabut-serabut nervus vagus hanya mempersarafi dua pertiga proksimal
kolon transversum; sepertiga distal dipersarafi oleh saraf parasimpatis nervus
pelvikus. Sedangkan pada kolon descendens dipersarafi serabut-serabut simpatis dari
pleksus saraf mesentericus inferior dan saraf parasimpatis nervus pelvikus (Snell,
1997).
Perangsangan simpatis menyebabkan penghambatan sekresi dan kontraksi,
serta perangsangan sfingter rektum, sedangkan perangsangan parasimpatis
mempunyai efek berlawanan (Price & Wilson, 1994).

E. FISIOLOGI USUS
Usus halus mempunyai dua fungsi utama : pencernaan dan absorpsi
bahanbahan nutrisi dan air. Proses pencernaan dimulai dalam mulut dan lambung oleh
kerja ptialin, asam klorida, dan pepsin terhadap makanan masuk. Proses dilanjutkan di
dalam duodenum terutama oleh kerja enzim-enzim pankreas yang menghidrolisis
karbohidrat, lemak, dan protein menjadi zat-zat yang lebih sederhana. Adanya
bikarbonat dalam sekret pankreas membantu menetralkan asam dan memberikan Ph
optimal untuk kerja enzim-enzim. Sekresi empedu dari hati membantu proses
pencernaan dengan mengemulsikan lemak sehimgga memberikan permukaan lebih
luas bagi kerja lipase pankreas (Price & Wilson, 1994).
Proses pencernaan disempurnakan oleh sejumnlah enzim dalam getah usus
(sukus enterikus). Banyak di antara enzim-enzim ini terdapat pada brush border vili
dan mencernakan zat-zat makanan sambil diabsorpsi (Price & Wilson, 1994) Isi usus
digerakkan oleh peristalsis yang terdiri atas dua jenis gerakan, yaitu segmental dan
peristaltik yang diatur oleh sistem saraf autonom dan hormone (Sjamsuhidajat Jong,
2005). Pergerakan segmental usus halus mencampur zat-zat yang dimakan dengan
sekret pankreas, hepatobiliar, dan sekresi usus, dan pergerakan peristaltik mendorong
isi dari salah satu ujung ke ujung lain dengan kecepatan yang sesuai untuk absorpsi
optimal dan suplai kontinu isi lambung (Price & Wilson, 1994).
Absorpsi adalah pemindahan hasil-hasil akhir pencernaan karbohidrat, lemak
dan protein (gula sederhana, asam-asam lemak dan asa-asam amino) melalui dinding
usus ke sirkulasi darah dan limfe untuk digunakan oleh sesl-sel tubuh. Selain itu air,
elektrolit dan vitamin juga diabsorpsi. Absoprpsi berbagai zat berlangsung dengan
mekanisme transpor aktif dan pasif yang sebagian kurang dimengerti (Price &
Wilson, 1994). Lemak dalam bentuk trigliserida dihidrodrolisa oleh enzim lipase
pankreas ; hasilnya bergabung dengan garam empedu membentuk misel. Misel
kemudian memasuki membran sel secara pasif dengan difusif, kemudian mengalami
disagregasi, melepaskan garam empedu yang kembali ke dalam lumen usus dan asam
lemak serta monogliserida ke dalam sel. Sel kemudian membentuk kembali
trigliserida dan digabungkan dengan kolesterol, fosfolipid, dan apoprotein untuk
membentuk kilomikron, yang keluar dari sel dan memasuki lakteal. Asam lemak kecil
dapat memasuki kapiler dan secara langsung menuju ke vena porta. Garam empedu
diabsorpsi ke dalam sirkulasi enterohepatik dalam ileum distalis. Dari kumpulan 5
gram garam empedu yang memasuki kantung empedu, sekitar 0,5 gram hilang setiap
hari; kumpulan ini bersirkulasi ulang 6 kali dalam 24 jam (Sabiston, 1995; Schwartz,
2000 ).
Protein oleh asam lambung di denaturasi, pepsin memulai proses proteolisis.
Enzim protease pankreas (tripsinogen yang diaktifkan oleh enterokinase menjadi
tripsin, dan endopeptidase, eksopeptidase) melanjutkan proses pencernaan protein,
menghasilkan asam amino dan 2 sampai 6 residu peptida. Transport aktif membawa
dipeptida dan tripeptida ke dalam sel untuk diabsorpsi (Schwartz, 2000 ). Karbohidrat,
metabolisme awalnya dimulai dengan dengan menghidrolisis pati menjadi maltosa
(atau isomaltosa), yang merupakan disakarida. Kemudian disakarida ini, bersama
dengan disakarida utama lain, laktosa dan sukrosa, dihidrolisis menjadi monosakarida
glukosa, galaktosa, dan fruktosa. Enzim laktase, sukrase, maltase, dan isimaltase
untuk pemecaha disakarida terletak di dalam mikrovili ’brush border’ sel epitel.
Disakarida ini dicerna menjadi monosakarida sewaktu berkontak dengan mikrovili ini
atau sewaktu mereka berdifusi ke dalam mikrovili. Produk pencernaan, monosakarida,
glukosa, galaktosa, dan fruktosa, kemudian segera disbsorpsi ke dala darah porta
(Guyton, 1992). Air dan elektrolit, cairan empedu, cairan lambung, saliva, dan cairan
duodenum menyokong sekitar 8-10 L/hari cairan tubuh, kebanyakan diabsorpsi.
Air secara osmotik dan secara hidrostatik diabsorpsi atau melalui difusi pasif.
Natrium dan khlorida diabsorpsi dengan pemasangan zat telarut organik atau secara
transport aktif. Bikarbonat diabsorpsi secara pertukaran natrium/hidrogen. Kalsium
diabsorpsi melalui transport aktif dalam duodenum dan jejenum, dipercepat oleh
hormon parathormon (PTH) dan vitamin D. Kalium diabsorpsi secara difusi pasif
(Schwartz, 2000 ).
Usus besar mempunyai berbagai fungsi yang semuanya berkaitan dengan
proses akhir isi usus. Fungsi usus besar yang paling penting adalah mengabsorpsi air
dan elektrolit, yang sudah hampir lengkap pada kolon bagian kanan. Kolon sigmoid
berfungsi sebagai reservoir yang menampung massa feses yang sudah dehidrasi
sampai defekasi berlangsung (Preice & Wilson, 1994). Kolon mengabsorpsi air,
natrium, khlorida, dan asam lemak rantai pendek serta mengeluarkan kalium dan
bikarbonat. Hal tersebut membantu menjaga keseimbangan air adan elektrolit dan
mencegah dehidrasi. Menerima 900-1500 ml/hari, semua, kecualim100-200 ml
diabsorpsi, paling banyak di proksimal. Kapasitas sekitar 5l/hari (Schwartz, 2000).
Gerakan retrograd dari kolon memperlambat transit materi dari kolon kanan,
meningkatkan absorpsi. Kontraksi segmental merupakan pola yang paling umum,
mengisolasi segmen pendek dari kolon, kontraksai ini menurun oleh antikolinergik,
meningkat oleh makanan, kolinergik. Gerakan massa merupakan pola yang kurang
umum, pendorong antegrad melibatkan segmen panjang 0,5-1,0 cm/detik, 20-30 detik
panjang, tekanan 100-200 mmHg, tiga sampai empat kali sehari, terjadi dengan
defekasi (Schwartz, 2000).
Sepertiga berat feses kering adalah bakterri; 10¹¹-10¹²/gram. Anaerob > aerob.
Bakteroides paling umum, Escherichia coli berikutnya. Umber penting vitamin K
(Schwartz, 2000). Gas kolon berasal dari udara yang ditelan, difusi dari darah,
produksi intralumen. Nitrogen, oksigen, karbon dioksida, hidrogen, metan. Bakteri
membentuk hidrogen dan metan dari protein dan karbohidrat yang tidak tercerna.
Normalnya 600 ml/hari (Schwartz, 2000).

F. ETIOLOGI
Ileus obstruktif dapat disebabkan oleh (Doherty et al 2002) :
1. Adhesi (perlekatan usus halus) merupakan penyebab tersering ileus obstruktif,
sekitar 50-70% dari semua kasus. Adhesi bisa disebabkan oleh riwayat operasi
intraabdominal sebelumnya atau proses inflamasi intraabdominal. Obstruksi yang
disebabkan oleh adhesi berkembang sekitar 5% dari pasien yang mengalami
operasi abdomen dalam hidupnya. Perlengketan kongenital juga dapat
menimbulkan ileus obstruktif di dalam masa anak-anak.
2. Hernia inkarserata eksternal (inguinal, femoral, umbilikal, insisional, atau
parastomal) merupakan yang terbanyak kedua sebagai penyebab ileus obstruktif ,
dan merupakan penyebab tersering pada pasien yang tidak mempunyai riwayat
operasi abdomen. Hernia interna (paraduodenal, kecacatan mesentericus, dan
hernia foramen Winslow) juga bisa menyebabkan hernia.
3. Neoplasma. Tumor primer usus halus dapat menyebabkan obstruksi intralumen,
sedangkan tumor metastase atau tumor intraabdominal dapat menyebabkan
obstruksi melalui kompresi eksternal.
4. Intususepsi usus halus menimbulkan obstruksi dan iskhemia terhadap bagian usus
yang mengalami intususepsi. Tumor, polip, atau pembesaran limphanodus
mesentericus dapat sebagai petunjuk awal adanya intususepsi.
5. Penyakit Crohn dapat menyebabkan obstruksi sekunder sampai inflamasi akut
selama masa infeksi atau karena striktur yang kronik.
6. Volvulus sering disebabkan oleh adhesi atau kelainan kongenital, seperti malrotasi
usus. Volvulus lebih sering sebagai penyebab obstruksi usus besar.
7. Batu empedu yang masuk ke ileus. Inflamasi yang berat dari kantong empedu
menyebabkan fistul dari saluran empedu ke duodenum atau usus halus yang
menyebabkan batu empedu masuk ke traktus gastrointestinal. Batu empedu yang
besar dapat terjepit di usus halus, umumnya pada bagian ileum terminal atau katup
ileocaecal yang menyebabkan obstruksi.
8. Striktur yang sekunder yang berhubungan dengan iskhemia, inflamasi, terapi
radiasi, atau trauma operasi.
9. Penekanan eksternal oleh tumor, abses, hematoma, intususepsi, atau penumpukan
cairan.
10. Benda asing, seperti bezoar.
11. Divertikulum Meckel yang bisa menyebabkan volvulus, intususepsi, atau hernia
Littre.
12. Fibrosis kistik dapat menyebabkan obstruksi parsial kronik pada ileum distalis dan
kolon kanan sebagai akibat adanya benda seperti mekonium.
Intestinal obstruksi terdapat dua bentuk yaitu : mekanik obstruksi dan
neurogenik obstruksi paralitik (Meingot’s 90 ; Bailey 90).

 Menurut etiologinya ada 3 keadaan :


a. Sebab didalam lumen usus
b. Sebab pada dinding usus
c. Sebab diluar dinding usus (Meingot’s 90)
 Menurut tinggi rendahnya dibagi :

a. Obstruksi usus halus letak tinggi

b. Obstruksi usus halus letak rendah


c. Obstruksi usus besar.

 Berdasarkan waktunya dibagi :

a. Acuta intestinal obstruksi


b. Cronik intestinal obstruksi
c. Acut super exposed on cronik

Etiologi dari intususepsi terbagi menjadi 2, yaitu idiopatik dan kausal(Santoso,


Yosodiharjo dan Erfan, 2011).

1. Idiopatik

Menurut kepustakaan, 90-95 % intususepsi pada anak di bawah umur satu


tahun tidak dijumpai penyebab yang spesifik sehingga digolongkan
sebagai “infantile idiophatic intussusceptions”. Kepustakaan lain menyebutkan
di Asia, etiologi idiopatik dari intususepsi berkisar antara 42-100%.

Definisi dari istilah intususepsi ‘idiopatik’ bervariasi di antara penelitian


terkait intususepsi. Sebagian besar peneliti menggunakan istilah ‘idiopatik’ untuk
menggambarkan kasus dimana tidak ada abnormalitas spesifik dari usus yang
diketahui dapat menyebabkan intususepsi seperti diverticulum meckel atau polip
yang dapat diidentifikasi saat pembedahan. Dalam kasus idiopatik, pemeriksaan
yang teliti dapat mengungkapkan hipertrofi jaringan limfoid mural (Peyer patch),
yang disebabkan oleh infeksi adenovirus atau rotavirus.

Intususepsi idiopatik memiliki etiologi yang tidak jelas. Salah satu teori
untuk menjelaskan kemungkinan etiologi intususepsi idiopatik adalah bahwa hal
itu terjadi karena Peyer patch yang membesar; hipotesis ini berasal dari 3
pengamatan: (1) penyakit ini sering didahului oleh infeksi saluran pernapasan
atas, (2) wilayah ileokolika memiliki konsentrasi tertinggi dari kelenjar getah
bening di mesenterium, dan (3) pembesaran kelenjar getah bening sering
dijumpai pada pasien yang memerlukan operasi. Apakah Peyer patch yang
membesar adalah reaksi terhadap intususepsi atau sebagai penyebab intususepsi,
masih tidak jelas.

2. Kausal
Pada penderita intususepsi yang lebih besar (lebih dua tahun), adanya
kelainan usus dapat menjadi penyebab intususepsi atau “lead
point” seperti: inverted Meckel’s diverticulum, polip usus, leiomioma,
leiosarkoma, hemangioma, blue rubber blep nevi, lymphoma dan duplikasi usus.
Divertikulum Meckel adalah penyebab paling utama, diikuti dengan polip
seperti peutz-jeghers syndrome, dan duplikasi intestinal. Lead point lain
diantaranyalymphangiectasias, perdarahan submukosa dengan Henoch-Schönlein
purpura, trichobezoars dengan Rapunzel syndrome, caseating granulomas yang
berhubungan dengan tuberkulosis abdominal.

Lymphosarcoma sering dijumpai sebagai penyebab intususepsi pada anak


yang berusia di atas enam tahun. Intususepsi dapat juga terjadi setelah
laparotomi, yang biasanya timbul setelah dua minggu pasca bedah, hal ini terjadi
akibat gangguan peristaltik usus, disebabkan manipulasi usus yang kasar dan
lama, diseksi retroperitoneal yang luas dan hipoksia lokal.

G. PATOFISIOLOGI
Berbagai variasi etiologi yang mengakibatkan terjadinya intususepsi pada
dewasa pada intinya adalah gangguan motilitas usus terdiri dari dua komponen yaitu
satu bagian usus yang bergerak bebas dan satu bagian usus lainya yang terfiksir/atau
kurang bebas dibandingkan bagian lainnya, karena arah peristaltik adalah dari oral
keanal sehingga bagian yang masuk kelumen usus adalah yang arah oral atau
proksimal, keadaan lainnya karena suatu disritmik peristaltik usus, pada keadaan
khusus dapat terjadi sebaliknya yang disebut retrograd intususepsi pada pasien pasca
gastrojejunostomi. Akibat adanya segmen usus yang masuk kesegmen usus lainnya
akan menyebabkan dinding usus yang terjepit sehingga akan mengakibatkan aliran
darah menurun dan keadaan akhir adalah akan menyebabkan nekrosis dinding usus.

Perubahan patologik yang diakibatkan intususepsi terutama mengenai


intususeptum. Intususepien biasanya tidak mengalami kerusakan. Perubahan pada
intususeptum ditimbulkan oleh penekanan bagian ini oleh karena kontraksi dari
intususepien, dan juga karena terganggunya aliran darah sebagai akibat penekanan dan
tertariknya mesenterium. Edema dan pembengkakan dapat terjadi. Pembengkakan
dapat sedemikian besarnya sehingga menghambat reduksi. Adanya bendungan
menimbulkan perembesan (ozing) lendir dan darah ke dalam lumen. Ulserasi pada
dindidng usus dapat terjadi. Sebagai akibat strangulasi tidak jarang terjadi gangren.
Gangren dapat berakibat lepasnya bagian yang mengalami prolaps. Pembengkakan
ddari intisuseptum umumnya menutup lumen usus. Akan tetapi tidak jarang pula
lumen tetap patent, sehingga obstruksi komplit kadang-kadang tidak terjadi pada
intususepsi (Tumen 1964).

Invaginasi akan menimbulkan gangguan pasase usus (obstruksi) baik partiil


maupun total dan strangulasi (Boyd, 1956). Hiperperistaltik usus bagian proksimal
yang lebih mobil menyebabkan usus tersebut masuk ke lumen usus distal. Usus bagian
distal yang menerima (intussucipient) ini kemudian berkontraksi, terjadi edema.
Akibatnya terjadi perlekatan yang tidak dapat kembali normal sehingga terjadi
invaginasi.

Patogenesis dari intususepsi diyakini akibat sekunder dari ketidakseimbangan


pada dorongan longitudinal sepanjang dinding intestinal. Ketidakseimbangan ini dapat
disebabkan oleh adanya massa yang bertindak sebagai “lead point” atau oleh pola yang
tidak teratur dari peristalsis (contohnya, ileus pasca operasi). Gangguan elektrolit
berhubungan dengan berbagai masalah kesehatan yang dapat mengakibatkan motilitas
intestinal yang abnormal, dan mengarah pada terjadinya invaginasi. Beberapa
penelitian terbaru pada binatang menunjukkan pelepasan nitrit oksida pada usus, suatu
neurotransmitter penghambat, menyebabkan relaksasi dari katub ileocaecal dan
mempredisposisi intususepsi ileocaecal. Penelitian lain telah mendemonstrasikan
bahwa penggunaan dari beberapa antibiotik tertentu dapat menyebabkan hiperplasia
limfoid ileal dan dismotilitas intestinal dengan intususepsi (Blanco, 2012).

Sebagai hasil dari ketidakseimbangan, area dari dinding usus terinvaginasi ke


dalam lumen. Proses ini terus berjalan, dengan diikuti area proximal dari intestinal, dan
mengakibatkan intususeptum berproses sepanjang lumen dari intususipiens. Apabila
terjadi obstruksi sistem limfatik dan vena mesenterial, akibat penyakit berjalan
progresif dimana ileum dan mesenterium masuk ke dalam caecum dan colon, akan
dijumpai mukosa intussusseptum menjadi oedem dan kaku. Mengakibatkan obstruksi
yang pada akhirnya akan dijumpai keadaan strangulasi dan perforasi usus.

Pembuluh darah mesenterium dari bagian yang terjepit mengakibatkan


gangguan venous return sehingga terjadi kongesti, oedem, hiperfungsi goblet sel serta
laserasi mukosa usus. Hal inilah yang mendasari terjadinya salah satu manifestasi
klinis intususepsi yaitu BAB darah lendir yang disebut juga red currant jelly stool
(Irish, 2011).
Gambaran ilustrasi patogenesis intususepsi (Irish, 2011)

H. KALSIFIKASI INVAGINASI
Intususepsi dibedakan dalam 4 tipe :
1. Ileoileal usus halus ke usus halus
2. Ileosekal  valvula ileosekalis mengalami invaginasi prolaps ke sekum dan
menarik ileum di belakangnya. Valvula tersebut merupakan apex dari intususepsi
3. Kolokolika  kolon ke kolon
4. Ileokolika  ileum prolaps melalui valvula ileosekalis ke kolon
Kombinasi lain dapat terjadi seperti ileo-ileocolica dan appendicalcolica. Kasus
yang paling banyak ditemukan adalah ileo-colica (75%).
I. GAMBARAN KLINIS
Rasa sakit adalah gejala yang paling khas dan hampir selalu ada. Dengan
adanya serangan rasa sakit/kholik yang makin bertambah dan mencapai puncaknya,
dan kemudian menghilang sama sekali, diagnosis hampir dapat ditegakkan. Rasa
sakit berhubungan dengan passase dari intususepsi. Diantara satu serangan dnegan
serangan berikutnya, bayi atau orang dewasa dapat sama sekali bebas dari gejala.
Selain dari rasa sakit gejala lain yang mungkin dapat ditemukan adalah
muntah, keluarnya darah melalui rektum, dan terdapatnya masa yang teraba di
perut. Beratnya gejala muntah tergantung pada letak usus yang terkena. Semakin
tinggi letak obstruksi, semakin berat gejala muntah. Hemathocezia disebabkan oleh
kembalinya aliran darahdari usus yang mengalami intususepsi. Terdapatnya sedikit
darah adalah khas, sedangkan perdarahan yang banyak biasanya tidak ditemukan.
Pada kasus-kasus yang dikumpulkan oleh Orloof, rasa sakit ditemukan pada
90%, muntah pada 84%, keluarnya darah perektum pada 80%dan adanya masa
abdomen pada 73% kasus (Cohn, 1976).
Gambaran klinis intususepsi dewasa umumnya sama seperti keadaan
obstruksi usus pada umumnya, yang dapat mulai timbul setelah 24 jam setelah
terjadinya intususepsi berupa nyeri perut dan terjadinya distensi setelah lebih 24
jamke dua disertai keadaan klinis lainnya yang hampir sama gambarannya seperti
intususepsi pada anak-anak. Pada orang dewaasa sering ditemukan perjalanan
penyakit yang jauh lebih panjang, dan kegagalan yang berulang-ulang dalam usaha
menegakkan diagnosis dengan pemeriksaan radiologis dan pemeriksaan-
pemeriksaan lain (Cohn, 1976). Adanya gejala obstruksi usus yang berulang, harus
dipikirkan kemungkinan intususepsi. Kegagalan untuk memperkuat diagnosis
dengan pemeriksaan radiologis seringkali menyebabkan tidak ditegakkanya
diagnosis. Pemeriksaan radiologis sering tidak berhasil mengkonfirmasikan
diagnosis karena tidak terdapat intususepsi pada saat dilakukan pemeriksaan.
Intussusepsi yang terjadi beberapa saat sebelumnya telah tereduksi spontan. Dengan
demikian diagnosis intussusepsi harus dipikirkan pada kasus orang dewasa dengan
serangan obstruksi usus yang berulang, meskipun pemeriksaan radiologis dan
pemeriksaan-pemeriksaan laim tidak memberikan hasil yang positif.
Pada kasus intususepsi khronis ini, gejala yang timbul seringkali tidak jelas
dan membingungkan sampai terjadi invaginasi yang menetap. Ini terutama terdiri
dari serangan kolik yang berulang, yang seringkali disertai muntah, dan kadang-
kadang juga diare. Pada banyak kasus ditemukan pengeluaran darah dan lendir
melalui rektum, namun kadang-kadang ini juga tidak ditemukan. Gejala-gejala lain
yang juga mungkin didapatkan adalah tenesmus dan anoreksia. Masa abdomen
dapat diraba pada kebanyakan kasus, terutama pada saat serangan (Tumen, 1964).

J. PENEGAKAN DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Gejala klinis yang sering dijumpai berupa nyeri kolik sampai kejang yang
ditandai dengan flexi sendi koksa dan lutut secara intermiten, nyeri disebabkan oleh
iskemi segmen usus yang terinvaginasi. Iskemi pertama kali terjadi pada mukosa
usus bila berlanjut akan terjadi strangulasi yang ditandai dengan keluarnya mucus
bercampur dengan darah sehingga tampak seperti agar-agar jeli darah Terdapatnya
darah samar dalam tinja dijumpai pada + 40%, darah makroskopis pada tinja
dijumpai pada + 40% dan pemeriksaan Guaiac negatif dan hanya ditemukan mucus
pada + 20% kasus.

Diare merupakan suatu gejala awal disebabkan oleh perubahan faali saluran
pencernaan ataupun oleh karena infeksi. Diare yang disebut sebagai gejala paling
awal invaginasi, didapatkan pada 85% kasus. Pasien biasanya mendapatkan
intervensi medis maupun tradisional pada waktu tersebut. Intervensi medis berupa
pemberian obat-obatan. Hal yang sulit untuk diketahui adalah jenis obat yang
diberikan, apakah suatu antidiare (suatu spasmolitik), obat yang sering kali dicurigai
sebagai pemicu terjadinya invaginasi. Sehingga keberadaan diare sebagai salah satu
gejala invaginasi atau pengobatan terhadap diare sebagai pemicu timbulnya
invaginasi sulit ditentukan

Muntah reflektif sampai bilus menunjukkan telah terjadi suatu obstruksi,


gejala ini dijumpai pada + 75% pasien invaginasi. Muntah dan nyeri sering dijumpai
sebagai gejala yang dominan pada sebagian besar pasien. Muntah reflektif terjadi
tanpa penyebab yang jelas, mulai dari makanan dan minuman yang terakhir dimakan
sampai muntah bilus. Muntah bilus suatu pertanda ada refluks gaster oleh adanya
sumbatan di segmen usus sebelah anal. Muntah dialami seluruh pasien. Gejala lain
berupa kembung, suatu gambaran adanya distensi sistem usus oleh suatu sumbatan
didapatkan pada 90%.
Gejala lain yang dijumpai berupa distensi, pireksia, Dance’s Sign dan
Sousage Like Sign, terdapat darah samar, lendir dan darah makroskopis pada tinja
serta tanda-tanda peritonitis dijumpai bila telah terjadi perforasi. Dance’s Sign dan
Sousage Like Sign dijumpai pada + 60% kasus, tanda ini patognomonik pada
invaginasi. Masa invaginasi akan teraba seperti batang sosis, yang tersering
ditemukan pada daerah paraumbilikal. Daerah yang ditinggalkan intususeptum akan
teraba kosong dan tanda ini disebut sebagai Dance’s Sign. Pemeriksaan colok dubur
teraba seperti portio uteri, feces bercampur lendir dan darah pada sarung tangan
merupakan suatu tanda yang patognomonik.

Pemeriksaan foto polos abdomen, dijumpainya tanda obstruksi dan masa di


kwadran tertentu dari abdomen menunjukkan dugaan kuat suatu invaginasi. USG
membantu menegakkan diagnosis invaginasi dengan gambaran target sign pada
potongan melintang invaginasi dan pseudo kidney signpada potongan longitudinal
invaginasi. Foto dengan kontras barium enema dilakukan bila pasien ditemukan
dalam kondisi stabil, digunakan sebagai diagnostik maupun terapetik.

TRIAS INVAGINASI :

1. Anak mendadak kesakitan episodic, menangis dan mengankat kaki (Craping


pain), bila lanjut sakitnya kontinyu
2. Muntah warna hijau (cairan lambung)
3. Defekasi feses campur lendir (kerusakan mukosa) atau darah (lapisan dalam)
currant jelly stool
The Brighton Collaboration Intussuseption Working Group mendirikan sebuah
diagnosis klinis menggunakan campuran dari kriteria minor dan mayor. Strasifikasi
ini membantu untuk membuat keputusan berdasarkan tiga level dari pembuktian
untuk membuktikan apakah kasus tersebut adalah intususepsi (Irish, 2011).

 Kriteria Mayor
a. Adanya bukti dari obstruksi usus berupa adanya riwayat muntah hijau,
diikuti dengan distensi abdomen dan bising usus yang abnormal atau
tidak ada sama sekali.
b. Adanya gambaran dari invaginasi usus, dimana setidaknya tercakup
hal-hal berikut ini: massa abdomen, massa rectum atau prolaps rectum,
terlihat pada gambaran foto abdomen, USG maupun CT Scan.
c. Bukti adanya gangguan vaskularisasi usus dengan manifestasi
perdarahan rectum atau gambaran feses “red currant jelly” pada
pemeriksaan “Rectal Toucher“.
 Kriteria Minor
a. Bayi laki-laki kurang dari 1 tahun
b. Nyeri abdomen
c. Muntah
d. Lethargy
e. Pucat
f. Syok hipovolemi
g. Foto abdomen yang menunjukkan abnormalitas tidak spesifik.
Berikut ini adalah pengelompokkan berdasarkan tingkat pembuktian, yaitu :

 Level 1 – Definite (ditemukannya satu kriteria di bawah ini)


i. Kriteria Pembedahan – Invaginasi usus yang ditemukan saat
pembedahan
ii. Kriteria Radiologi – Air enema atau liquid contrast enema
menunjukkan invaginasi dengan manifestasi spesifik yang bisa
dibuktikan dapat direduksi oleh enema tersebut.
iii. Kriteria Autopsi – Invagination dari usus
 Level 2 – Probable (salah satu kriteria di bawah)
i. Dua kriteria mayor
ii. Satu kriteria mayor dan tiga kriteria minor
 Level 3 – Possible
i. Empat atau lebih kriteria minor

2. Pemeriksaan Fisik :
 Obstruksi mekanis ditandai darm steifung dan darm counter.
 Teraba massa seperti sosis di daerah subcostal yang terjadi spontan
 Nyeri tekan (+)
 Dance sign (+)  Sensai kekosongan padakuadran kanan bawah
karena masuknya sekum pada kolon ascenden
 RT : pseudoportio (+), lender darah (+)  Sensasi seperti portio
vagina akibat invaginasi usus yang lama
3. Pemeriksaan Radiologis :
 Foto polos abdomen
Tanda obstruksi (+) : Distensi, Air fluid level, Heringbone(gambaran
plikacircularis usus)

 Barium enema
Dikerjakan untuk tujuan diagnosis dan terapi, untuk diagnosis
dikerjakan bila gejala-gejala klinik meragukan. Pada barium enema
akan tampak gambaran cupping, coiled spring appearance.

 Ultrasonografi Abdomen
Pada tampilan transversal USG, tampak konfigurasi usus
berbentuk ‘target’ atau ‘donat’ yang terdiri dari dua cincin echogenisitas
rendah yang dipisahkan oleh cincin hiperekoik, tidak ada gerakan pada
donat tersebut dan ketebalan tepi lebih dari 0,6 cm. Ketebalan tepi luar
lebih dari 1,6 cm menunjukkan perlunya intervensi pembedahan. Pada
tampilan logitudinal tampak pseudokidney sign yang timbul sebagai
tumpukan lapisan hipoekoik dan hiperekoik (Pendergast & Wilson,
2003).
Pemeriksaan USG selain sebagai diagnostik, juga dapat
digunakan untuk membantu mendiferensiasikan tipe dari intususepsi.
Park et al (2007) melaporkan bahwa intususepsi transien dari usus kecil
lebih sering terlokalisir pada kuadran kanan bawah atau region
periumbilikal, memiliki diameter anteroposterior yang lebih kecil (1,38
cm vs 2,53 cm), memiliki garis luar yang lebih tipis (0,26 cm vs 0,53
cm), dan tidak memiliki nodus limfatikus, dimana berbanding terbalik
dengan intususepsi ileocolic.
Sebuah studi oleh Munden et al (2007) mendukung penemuan
ini, dengan diameter anteroposterior rata-rata adalah 1,5 cm pada
intususepsi ileoileal dan 3,7 cm pada intususepsi ileocolic dan panjang
rata-ratanya berkisar 2,5 cm dan 8,2 cm secara respektif (Irish, 2011).

 Colon In loop  berfungsi sebagai :


o Diagnosis cupping sign, letak invaginasi
o Terapi  Reposisi dengan tekanan tinggi, bila belum ada
tanda2 obstruksi dan kejadian < 24 jam
 CT Scan
Intususepsi yang digambarkan pada CT scan merupakan gambaran
klasik seperti pada USG yaitu target sign. Intususepsi temporer dari
usus halus dapat terlihat pada CT maupun USG, dimana sebagian besar
kasus ini secara klinis tidak signifikan (Irish, 2011).

K. DIAGNOSIS BANDING
 Obstruksi intestinal lain (volvulus, malrotasi)
 Trauma Abdomen
 Appendisitis Akut
 Hernia
 Gastroenteritis
 Perlengketan jaringan
 Volvulus
 Meckel diverticulum
 Perdarahan gastrointestinal
 Proses-proses yang menumbuhkan nyeri abdomen

L. PENATALAKSANAAN
Dasar pengobatan adalah :
a. Koreksi keseimbangan cairan dan elektrolit.
b. Menghilangkan peregangan usus dan muntah dengan selang nasogastrik.
c. Antibiotika.
d. Laparotomi eksplorasi.

Penatalaksanaan penanganan suatu kasus invaginasi pada bayi dan anak sejak dahulu
mencakup dua tindakan :

 Reduksi hidrostatik
Metode ini dengan cara memasukkan barium melalui anus menggunakan kateter
dengan tekanan tertentu. Pertama kali keberhasilannya dikemukakan oleh Ladd
tahun 1913 dan diulang keberhasilannya oleh Hirschprung tahun 1976.

 Reduksi manual (milking) dan reseksi usus


Pasien dengan keadaan tidak stabil, didapatkan peningkatan suhu, angka lekosit,
mengalami gejala berkepanjangan atau ditemukan sudah lanjut yang ditandai
dengan distensi abdomen, feces berdarah, gangguan sistema usus yang berat
sampai timbul shock atau peritonitis, pasien segera dipersiapkan untuk suatu
operasi. Tindakan selama operasi tergantung kepada penemuan keadaan usus,
reposisi manual dengan milking harus dilakukan dengan halus dan sabar, juga
bergantung kepada ketrampilan dan pengalaman operator. Reseksi usus
dilakukan apabila pada kasus yang tidak berhasil direduksi dengan cara manual,
bila viabilitas usus diragukan atau ditemukan kelainan patologis sebagai
penyebab invaginasi. Setelah usus direseksi dilakukan anastomose “end to end”
apabila hal ini memungkinkan, bila tidak mungkin maka dilakukan exteriorisasi
atau enterostomi.

M. KOMPLIKASI :
Bila intususepsi tidak segera ditangani, maka dapat terjadi komplikasi seperti :
1. Perforasi usus
Apabila kondisi usus semakin memburuk dari obstruksi usus sampai nekrosis
jaringan segmen usus. Awalnya aliran darah yang melewati usus mengalmi
penurunan sehingga menyebabkan adanya pembengkakan dan peradangan.
Pembengkakan dapat menyebabkan perforasi.
2. Syok
Sebagai akibat dari kemajuan penyakit dengan gejala yang meliputi kelesuan,
denyut jantung cepat, denyut nadi lemah, tekanan darah rendah, dan nafas
cepat.

N. PROGNOSIS
Keberhasilan penatalaksanaan invaginasi ditentukan oleh cepatnya
pertolongan yang diberikan, jika pertolongan kurang dari 24 jam dari serangan
pertama, maka akan memberikan prognosis yang lebih baik. Kematian dengan terapi
sekitar 1-3 %. Jika tanpa terapi, 2-5 hari akan berakibat fatal.
Kematian disebabkan oleh intususepsi idiopatik akut pada bayi dan anak-anak
sekarang jarang di negara maju. Sebaliknya, kematian terkait dengan intususepsi tetap
tinggi di beberapa negara berkembang. Pasien di negara berkembang cenderung untuk
datang ke pusat kesehatan terlambat, yaitu lebih dari 24 jam setelah timbulnya gejala,
dan memiliki tingkat intervensi bedah, reseksi usus dan mortalitas lebih tinggi (Bines,
Ivanoff, 2002).
Mortalitas secara signifikan lebih tinggi (lebih dari sepuluh kali lipat dalam
kebanyakan studi) pada bayi yang ditangani 48 jam setelah timbulnya gejala daripada
bayi yang ditangani dalam waktu 24 jam setelah onset pertama (Bines dan Ivanoff,
2002). Angka rekurensi dari intususepsi untuk reduksi nonoperatif dan operatif
masing-masing rata-rata 5% dan 1-4% (Irish, 2011).
BAB III
LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS PASIEN
Nama : A. FS
Usia : 11 Bulan
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Krajan Kulon 2/2 Gebang Purworejo
Berat badan : 10,6 kg
Tanggal masuk RS : 07 Maret 2017
Diagnosa masuk : Ileus Obstruktif ec Intususepsi dd Volvulus

2. RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT


A. KELUHAN UTAMA
BAB hitam, perut kembung, muntah setiap makan dan minum, demam

B. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


- Pasien merupakan konsulan dari TS anak dengan diagnosa suspect ileus dd
invaginasi
- 1 Hari SMRS, pasien mengalami muntah 20 kali, muntah berwarna kuning
kehijauan, demam (+), kejang (-), BAB (-), BAK (+), nafsu makan menurun,
perut kembung (-), flatus (+)
- HRMS, pasien muntah 12 kali, muntah berwarna kuning kehijauan, demam
(+), kejang (-), BAB cair 1 kali, lender (+), darah (-), BAK (+), perut kembung
(-), flatus (+).
- HDRS 1, pasien masih muntah 10 kali, muntah berwarna kuning kehijauan,
demam sudah mulai menurun, kejang (-), BAB cair 3 kali, lender (+), darah (-
), BAK (+), nafsu makan menurun, pasien terkadang menangis tiba-tiba dan
tangisan tidak berhenti setelah diberi susu, perut kembung (-), flatus (+)
- HDRS 2, pasien masih muntah 5 kali, muntah setiap makan dan minum,
demam (+), kejang (-), BAB cair (-), BAK (+), perut mulai kembung, nafsu
makan menurun , perut kembung (+), flatus (-).
- HDRS 3, pasien BAB hitam 2 kali, muntah 5 kali, demam (+), kejang (-),
BAK (+), nafsu makan menurun, perut kembung (+), flatus (-), pasien masih
mau minum.

C. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


- Sejak lahir tidak pernah muntah kehijauan
- Sejak lahir tidak pernah BAB hitam
- Riwayat dipijat (+)
- Diare (-)

D. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


- Keluarga tidak ada yang memiliki keluhan serupa.
- Tidak ada keluarga yang cacat sejak lahir

E. RIWAYAT PRIBADI
1. Riwayat Kehamilan
Pasien merupakan anak dari kehamilan pertama, dari ibu berusia 27 tahun dan
tidak ada riwayat keguguran sebelumnya. Selama hamil, ibu rutin
memeriksakan kehamilanya ke bidan. Selama hamil ibu tidak pernah sakit dan
tidak pernah konsumsi jamu.
2. Riwayat Kelahiran
Bayi lahir spontan di bidan, pada usia kehamilan sekitar 9 bulan. Bayi lahir
langsung menangis, BAB hijau keluar beberapa jam setelah lahir, disusul
dengan BAK. Bayi mendapat mendapat imunisasi hepatitis B dan vitamin K
dari bidan.
3. Riwayat Makanan
Umur 0-3 bulan : ASI
Umur 3-5 bulan : ASI, bubur SUN diencerkan
Umur 6-11 bulan : ASI, nasi lumat, pisang 1-2 kali sehari
4. Riwayat Pertumbuhan
Anak ditimbang tiap 3 bulan sekali di posyandu, berat badan pasien selalu
naik setap bulanya.
5. Riwayat Imunisasi
Imunisasi terakhir didapat adalah imunisasi campak saat usia 9 bulan

F. ANAMNESIS SISTEM
a. Sistem saraf pusat : pusing (-), nyeri kepala (-)
b. Sistem integumentum : tidak ada keluhan
c. Sistem muskuloskeletal : nyeri pada persendian (-)
d. Sistem gastrointestinal : mual (+), muntah (+), BAB Hitam, diare
e. Sistem urinaria : BAK normal
f. Sistem respiratori : sesak nafas (-), batuk (-).
g. Sistem cardiovascular : berdebar-debar (-)

3. PEMERIKSAAN FISIK
Kesan umum : Lemah, tampak rewel, tidak kooperatif
Kesadaran : Compos mentis GCS : E4 V5 M6
Vital sign : - Tekanan darah :-
- Nadi : 121 x/menit
- Pernafasan : 29 x/menit
- Suhu badan : 38,8 oC
Pemeriksaan
kepala : Bentuk mesocephal, rambut warna hitam,
distribusi merata
- Mata : Konjungtiva anemis (+/+), dan sklera
ikterik (-/-)
- Telinga : secret (-), perdarahan (-)
- Hidung : secret (-), epistaksis (-), tidak ada
deviasi septum
- Mulut : sianosis (-), lidah kotor (-), pharing
hiperemis (-)
- Bibir : sedikit kering (+), sianosis (-)
- Air mata (-)
Pemeriksaan
leher : - Kelenjar tiroid : tidak ditemukan
pembengkakan
- Kelenjar limfonodi : tidak ditemukan
pembengkakan

Pemeriksaan : Bentuk dada : simetris (+)


dada Pemeriksaan Jantung :
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba pada sela iga ke 5 line
midclaviclaris.
Perkusi : Batas jantung
- Kanan atas : SIC II linea para sternalis kanan
- Kiri atas : SIC II linea para sternalis kiri
- Kanan bawah : SIV IV linea para sternalis kanan
- Kiri bawah : SIC V linea midclavicularis kiri
Auskultasi : bunyi jantung I-II reguler,
murmur (-), gallop (-), irama derap (-).

Pemeriksaan : Kanan kiri


paru-paru
Inspeksi Tampak simetris Tampak simetris
retraksi retraksi
subcostalis (-) subcostalis (-)
retraksi retraksi
supraclavicularis supraclavicularis
(-) (-)
retraksi retraksi
intercostalis (-) intercostalis (-)
ketinggalan ketinggalan
gerak (-) gerak (-)
Palpasi Ketinggalan Ketinggalan
gerak (-) gerak (-)
deformitas (-) deformitas (-)
Perkusi Sonor pada Sonor pada
seluruh seluruh
lapangan paru lapangan paru
Auskultasi Suara dasar Suara dasar
vesicular vesicular
ronkhi (-) ronkhi (-)
wheezing (-) wheezing (-)

Pemeriksaan : Inspeksi : distended (+), darm contour tidak tampak,


perut darm steifung tidak tampak
Auskultasi : peristaltik (+) menurun, metallic sound (-)
Perkusi : timpani
Palpasi : Supel (+), NT (-), defans muskuler (-), hepar
dan lien tidak teraba, sulit meraba massa, dance’s sign-sulit
dinilai, turgor kulit 2 detik

Pemeriksaan genital dan : Pembesaran kelenjar limfe inguinal (-/-)


regio inguinal
Pemeriksaan ekstremitas : Superior : oedem (-/-), tremor (-/-), sianosis (-/-),
capillary refill <2 detik, akral hangat, tonus otot
cukup
Inferior : oedem (-/-), tremor (-/-), sianosis (-/-),
capillary refill <2 detik, akral hangat, tonus otot
cukup

Pemeriksaan rectal toucher : TMSA mencengkram,


Ampula recti kolaps,
Pseudoporsio (-)
Mukosa licin,
Tidak teraba massa
NT (-)
Lender (+)
Darah (+)

Kesimpulan anamesis dan diagnosa fisik :


Pasien merasakan muntah sejak 5 hari yang lalu, awalnya muntah berwarna
kehijauan, selanjutnya muntahan yang keluar sesuai dengan makanan dan minuman
yg dikonsumsi, demam (+), perut kembung (+), nafsu makan menurun, diare cair (+),
lender (+), darah (-), BAB hitam (+), BAK (+), pasien masih mau minum, kejang (-),
Flatus (-). Pasien sudah berobat tetapi keluhan belum membaik. Riwayat pernahdipijat
sebelumnya.
- KU : Lemah, compos mentis, rewel, tidak kooperatif
- Vital Sign : TD: - mmHg; HR : 121x/m; RR : 29x/m; S : 38,8oC
- Kepala : CA (+/+) SI (-/-), air mata (-), bibir sedikit kering
- Thorax : simetris (+/+) vesikuler (+/+), bunyi jantung S1/S2
reguler
- Abdomen : distended (+),damn contour (-), damn steifung (-),
peristaltik (+) menurun, metallic sound (-),timpani, supel, NT (-),sulit
meraba massa, dance’s sign-sulit dinilai, sausage sign sulit dinilai,
turgor kulit 2 detik.
- RT : Ampula colaps, STLD (+), massa (-), pseudoportio (-)
- Ekstremitas : udem (-), CRT < 2 detik, hangat

4. DIAGNOSIS KERJA
Ileus Obstruktif ec Intususepsi Ileocolica

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium Darah (Tanggal: 04 Maret 2017

PARAMETER HASIL SATUAN NILAI KET


NORMAL
HB 11,7 q/dL 15,2 – 23,6 L
AL (Angka Leukosit) 12,6 ribu/ul 9,4 – 34,0 N
AE (Angka Eritrosit) 5 juta/ul 4,30 – 6,30 N
AT (Angka 456 ribu/ul 150-400 H
Trombosit)
HMT (Hematokrit) 36 % 44 -72 L
MCV 72 Fl 98 – 122 L
MCH 23 Pq 33 – 41 L
MCHC 33 g/dL 31 – 35 N
DIFFERENTIAL COUNT
Neutrofil 67,30 % 50 – 70 N
Limfosit 27,60 % 25 – 40 N
Monosit 4,90 % 2–8 N
Eosinofil 0,00 % 2.00 – 4.00 L
Basofil 0,20 % 0– 1 N

Kimia Klinik
Kalium 3,77 mmol/L 3.6 – 6,1 N
Natrium 130,9 mmol/L 135 – 140 L
Klorida 95,9 mmol/dL 96 – 107 L

Hematologi dan Kimia Klinik tanggal 07 Maret 2017

Hematologi
PT 11,9 Sec < 16 sec N
APTT 44,10 Sec < 36 H
Gol Darah B/positive
Kimia Klinik
Albumin 2,8 g/dL 3,4 - 4,8 L

USG Abdomen atas bawah tanggal 07 Maret 2017


Hasil USG Abdomen atas bawah

- Sebagian udara usus prominent, tampak distensi sistema usus, dinding usus tampak
normal
- Tampak strukur echogenitas heterogen di proyeksi region lumbal dekstra, pada
potongan transversal membentuk gambaran target sign, pada potongan longitudinal
membentuk sausage sign, ukuran l.k 4,13 cm x 7, 01 cm
- Hepar: ukuran dan echostruktur normal, permukaan licin, sistema vascular dan bilier
intrahepatal tak prominent, tak tampak lesi masa/nodul
- Lien: ukuran dan echostruktur normal, tak tampak lesi masa/nodul
- Pancreas: tak tervisualisasi
- Vesica fellea: ukuran normal, dinding tak menebal, tak tampak lesi masa/ batu
- Ren dextra et sinistra: ukuran dan echostruktur normal, batas cortex dan medullar
tegas, sistema pelvicpcalices tak melebar, tak tampak lesi masa/batu
- Vesica urinaria: terisi cairan, dinding licin, tak menebal, tak tampak lesi masa/batu

Kesan

- Distensi sistema usus sesuai gambaran bowel obstruction


- Lesi di proyeksi region lumbal dextra, suspect ileocolica intususeption
- Tak tampak kelainan pada hepar, lien, vesica fellea, kedua rend an vesica urinaria

6. PENATALAKSANAAN
- Pro Laparotomi Eksplorasi dan Milking Prosedur tanggal 07 Maret 2017

Laporan Operasi
Dokter bedah : dr. Eka, Sp. B
Dokter anestesi : dr Bambang, Sp. An
Tanggal operasi : 07 Maret 2017
Diagnose pra operasi : ileus obstruktif e.c susp invaginasi dd volvulus
Diagnose pasca operasi : ileus obstruksi e.c invaginasi ileocolica
Operasi : laparotomi eksplorasi dan milking prosedur dengan
general anestesi
Sifat : emergency
Uraian pembedahan :
- Pasien posisi supine dalam stadium general anestesi
- Dilakukan prosedur sepsis antisepsis
- Dilakukan eksisi medial, eksisi diperdalam lapis demi lapis sd peritoneum
- Dilakukan eksplorasi sistema usus, didapatkan intususepsi ileum kedalam
colon ascenden sepanjang kurang lebih 20 cm, didapatkan dilatasi segmen
usus di proximal dari intususepsi
- Dilakukan milking prosedur sampai ileum terbebas, evaluasi sistema usus;
kesan viable, pasase usus lancar
- Dilakukan dekompresi ileum
- Control perdarahan, pasang drain intraperitoneal satu buah
- Tutup luka operasi lapis demi lapis
- Operasi selesai

Anda mungkin juga menyukai