Anda di halaman 1dari 38

TINJAUAN PUSTAKA

(ILEUS OBSTRUKTIF, APENDISITIS, TUMOR KOLOREKTAL)

Pembimbing :
Dr. Winoto Hardjolukito, SpB

Disusun oleh :
Abraham Isnan ( 2014730001)
Neng Angie Rivera (2014730073)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2019
BAB I
KASUS

Laki-laki, 60 tahun. Tidak bisa BAB dan flatus, muntah-muntah, muntah kekuning-kuningan,
demam (-), BAK sedikit, perut kembung 3-4 hari yang lalu. Sebelumnya sering sakit perut,
sering meliling, diobati namun nyeri timbul kembali dan lebih sakit, pasien tidak tau obatnya.
BAB II
ANALISA KASUS

Etiologi

Gejala klinis
Pemeriksaan fisik
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

ILEUS
Anatomi Usus
Usus halus terbentang dari pylorum sampai caecum dengan panjang 270 cm sampai
290 cm. Usus halus dibagi menjadi duodenum, jejenum dan ileum. Duodenum panjangnya
sekitar 25 cm, mulai dari pilorus sampai jejenum. Panjang jejenum 100-110 cm dan panjang
ileum 150 -160 cm. Pemisahan duodenum dan jejenum ditandai oleh Ligamentum Treitz.
Ligamentum ini berperan sebagai ligamentum suspensorium. Kira-kira dua per lima dari sisa
usus halus adalah jejenum, dan tiga per lima bagian terminalnya adalah ileum. Jejenum
mempunyai vaskularisasi yang besar dimana lebih tebal dari ileum. Apendiks vermiformis
merupakan tabung buntu berukuran sekitar jari kelingking yang terletak pada daerah
ileosekal, yaitu pada apeks sekum. (Basson, 2004)
Arteri mesenterika superior dicabangkan dari aorta tepat di bawah arteri celiaca.
Arteri ini mendarahi seluruh usus halus kecuali duodenum yang diperdarahi oleh arteri
gastroduodenalis dan cabangnya arteri pankreatikoduodenalis superior. Darah dikembalikan
lewat vena mesenterika superior yang menyatu dengan vena lienalis membentuk vena porta.
Usus halus dipersarafi cabang-cabang kedua sistem saraf otonom. Rangsangan
parasimpatis merangsang aktivitas sekresi dan pergerakan, sedangkan rangsangan simpatis
menghambat pergerakan usus. Serabut saraf sensorik sistem simpatis menghantarkan nyeri,
sedangkan serabut saraf parasimpatis mengatur refleks usus.
Usus besar dibagi menjadi caecum, colon dan rektum. Pada caecum terdapat katup
ileosekal dan apendiks yang melekat pada ujung caecum. Caecum menempati sekitar dua
atau tiga inchi pertama dari usus besar. Kolon dibagi lagi menjadi colon ascenden, colon
transversum, descenden dan sigmoid. Tempat dimana colon membentuk belokan tajam yaitu
pada abdomen kanan dan kiri atas berturut-turut dinamakan fleksura hepatika dan fleksura
lienalis. Colon sigmoid mulai setinggi krista iliaka dan berbentuk suatu lekukan berbentuk S.
Lekukan bagian bawah membelok ke kiri waktu colon sigmoid bersatu dengan rektum. Usus
besar memiliki empat lapisan morfologik seperti bagian usus lainnya.
Sekum, kolon ascenden dan bagian kanan kolon transversum diperdarahi oleh cabang
a.mesenterika superior yaitu a.ileokolika, a.kolika dekstra dan a.kolika media. Kolon
transversum bagian kiri, kolon descendens, kolon sigmoid dan sebagian besar rektum
perdarahi oleh a.mesenterika inferior melalui a.kolika sinistra, a.sigmoid dan a.hemoroidalis
superior. Pembuluh vena kolon berjalan paralel dengan arterinya. Kolon dipersarafi oleh oleh
serabut simpatis yang berasal dari n.splanknikus dan pleksus presakralis serta serabut
parasimpatis yang berasal dari N.vagus. (Basson, 2004)

Gambar 2.1 Anatomi sistem pencernaan (Translight Medical Media, 2008)

Fisiologi

Usus halus mempunyai dua fungsi utama yaitu pencernaan dan absorbsi bahan-bahan
nutrisi, air, elektrolit dan mineral. Proses pencernaan dimulai dalam mulut dan lambung oleh
kerja ptialin, asam klorida dan pepsin terhadap makanan yang masuk. Proses dilanjutkan di
dalam duodenum terutama oleh kerja enzim-enzim pankreas yang menghidrolisis
karbohidrat, lemak, dan protein menjadi zat-zat yang lebih sederhana. Adanya bikarbonat
dalam sekret pankreas membantu menetralkan asam dan memberikan pH optimal untuk kerja
enzim-enzim. Sekresi empedu dari hati membantu proses pencernaan dengan mengemulsikan
lemak sehingga memberikan permukaan yang lebih luas bagi kerja lipase pankreas.
Proses pencernaan disempurnakan oleh sejumlah enzim dalam getah usus (sukus
enterikus). Banyak di antara enzim – enzim ini terdapat pada brush border vili dan
mencernakan zat – zat makanan sambil diabsorbsi. Pergerakan segmental usus halus akan
mencampur zat –zat yang dimakan dengan sekret pankreas, hepatobiliar dan sekresi usus dan
pergerakan peristaltik mendorong isi dari salah satu ujung ke ujung lainnya dengan kecepatan
yang sesuai untuk absorbsi optimal dan suplai kontinu isi lambung. Absorbsi adalah
pemindahan hasil akhir pencernaan karbohidrat, lemak dan protein melalui dinding usus ke
sirkulasi darah dan limfe untuk digunakan oleh sel – sel tubuh. Selain itu, air, elektrolit dan
vitamin juga diabsorbsi (Price, 2002).
Kontraksi usus halus disebabkan oleh aktifitas otot polos usus halus yang terdiri dari 2
lapis yaitu lapisan otot longitudinal dan lapisan otot sirkuler. Otot yang terutama berperan
pada kontraksi segmentasi untuk mencampur makanan adalah otot longitudinal. Bila bagian
mengalami distensi oleh makanan, dinding usus halus akan berkontraksi secara lokal. Tiap
kontraksi ini melibatkan segmen usus halus sekitar 1 – 4 cm. Pada saat satu segmen usus
halus yang berkontraksi mengalami relaksasi, segmen lainnya segera akan memulai
kontraksi, demikian seterusnya. Bila usus halus berelaksasi, makanan akan kembali ke
posisinya semula. Gerakan ini berulang terus sehingga makanan akan bercampur dengan
enzim pencernaan dan mengadakan hubungan dengan mukosa usus halus dan selanjutnya
terjadi absorbs (Price, 2002).
Kontraksi segmentasi berlangsung oleh karena adanya gelombang lambat yang
merupakan basic electric rhytm (BER) dari otot polos saluran cerna. Proses kontraksi
segmentasi berlangsung 8 sampai 12 kali/menit pada duodenum dan sekitar 7 kali/menit pada
ileum. Gerakan peristaltik pada usus halus mendorong makanan menuju ke arah kolon
dengan kecepatan 0,5 sampai 2 cm/detik, dimana pada bagian proksimal lebih cepat daripada
bagian distal. Gerakan peristaltik ini sangat lemah dan biasanya menghilang setelah
berlangsung sekitar 3 sampai 5 cm
Aktifitas gerakan peristaltik akan meningkat setelah makan. Hal ini sebagian besar
disebabkan oleh masuknya makanan ke duodenum sehingga menimbulkan refleks peristaltik
yang akan menyebar ke dinding usus halus. Selain itu, hormon gastrin, CCK, serotonin, dan
insulin juga meningkatkan pergerakan usus halus. Sebaliknya sekretin dan glukagon
menghambat pergerakan usus halus. (Manaf, 2003)
Fungsi sfingter ileocaecal diatur oleh mekanisme umpan balik. Bila tekanan di dalam
caecum meningkat sehingga terjadi dilatasi, maka kontraksi sfingter ileocaecal akan
meningkat dan gerakan peristaltik ileum akan berkurang sehingga memperlambat
pengosongan ileum. Bila terjadi peradangan pada caecum atau pada appendiks maka sfingter
ileocaecal akan mengalami spasme, dan ileum akan mengalami paralisis sehingga
pengosonga ileum sangat terhambat.
Histologi
Lapisan usus halus dibagi kedalam empat lapisan:
 Tunica Serosa. Tunica serosa atau lapisan peritoneum, tak lengkap di atas duodenum,
hampir lengkap di dalam usus halus mesenterica, kekecualian pada sebagian kecil,
tempat lembaran visera dan mesenterica peritoneum bersatu pada tepi usus.
 Tunica Muscularis. Dua selubung otot polos tak bergaris membentuk tunica
muscularis usus halus. Ia paling tebal di dalam duodenum dan berkurang tebalnya ke
arah distal. Lapisan luarnya stratum longitudinale dan lapisan dalamnya stratum
circulare. Yang terakhir membentuk massa dinding usus. Plexus myentericus saraf
(Auerbach) dan saluran limfe terletak diantara kedua lapisan otot.
 Tela Submucosa. Tela submucosa terdiri dari jaringan ikat longgar yang terletak
diantara tunica muskularis dan lapisan tipis lamina muskularis mukosa, yang terletak
di bawah mukosa. Dalam ruangan ini berjalan jalinan pembuluh darah halus dan
pembuluh limfe. Di samping itu, di sini ditemukan neuroplexus meissner.
 Tunica Mucosa. Tunica mucosa usus halus, kecuali pars superior duodenum, tersusun
dalam lipatan sirkular tumpang tindih yang berinterdigitasi secara transversa. Masing-
masing lipatan ini ditutup dengan tonjolan, villi.
Usus halus ditandai oleh adanya tiga struktur yang sangat menambah luas permukaan
dan membantu fungsi absorpsi yang merupakan fungsi utamanya:
 Lapisan mukosa dan submukosa membentuk lipatan-lipatan sirkular yang dinamakan
valvula koniventes (lipatan kerckringi) yang menonjol ke dalam lumen sekitar 3
ampai 10 mm. Lipatan-lipatan ini nyata pada duodenum dan jejenum dan menghilang
dekat pertengahan ileum. Adanya lipatan-lipatan ini menyerupai bulu pada radiogram.
 Vili merupakan tonjolan-tonjolan seperti jari-jari dari mukosa yang jumlahnya sekitar
4 atau 5 juta dan terdapat di sepanjang usus halus. Villi panjangnya 0,5 sampai 1 mm
(dapat dilihat dengan mata telanjang) dan menyebabkan gambaran mukosa
menyerupai beludru.
 Mikrovili merupakan tonjolan menyerupai jari-jari dengan panjang sekitar 1 μ pada
permukaan luar setiap villus. Mikrovilli terlihat dengan mikroskop elektron dan
tampak sebagai brush border pada mikroskop cahaya.
Bila lapisan permukaan usus halus ini rata, maka luas permukaannya hanyalah sekitar
2.00 cm². Valvula koniventes, vili dan mikrovili bersama-sama menambah luas permukaan
absorpsi sampai 2 juta cm², yaitu menigkat seribu kali lipat (Price&Wilson, 2002).
Usus besar memiliki empat lapisan morfologik seperti juga bagian usus lainnya. Akan
tetapi, ada beberapa gambaran yang khas pada usus besar saja. Lapisan otot longitudinal usus
besar tidak sempurna, tetapi terkumpul dalam tiga pita yang dinamakan taenia koli. Taenia
bersatu pada sigmoid distal, dengan demikian rektum mempunyai satu lapisan otot
longitudinal yang lengkap. Panjang taenia lebih pendek daripada usus, hal ini menyebabkan
usus tertarik dan berkerut membentuk kantong-kantong kecil peritoneum yang berisi lemak
dan melekat di sepanjang taenia. Lapisan mukosa usus besar jauh lebih tebal daripada lapisan
mukosa usus halus dan tidak mengandung villi atau rugae. Kriptus lieberkūn (kelenjar
intestinal) terletak lebih dalam dan mempunyai lebih banyak sel goblet daripada usus halus.
(Price&Wilson, 2002).

ILEUS
Ileus merupakan suatu kondisi dimana terdapat gangguan pasase (jalannya makanan)
di usus yang segera memerlukan pertolongan atau tindakan. Ileus terutama dibagi dua
berdasarkan penyebabnya, yaitu ileus obstruktif dan ileus paralitik (Hamami, 2003).
Ileus Mekanik (Ileus Obstruktif)
Definisi
Ileus adalah hambatan pasase usus yang dapat disebabkan oleh obstruksi lumen usus
atau gangguan peristalsis usus. Secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu Ileus Obstruktif
dan Ileus Paralitik. Ileus yang disebabkan oleh obstruksi disebut juga ileus mekanik, dan
memiliki angka kejadian tersering.

Klasifikasi
Lokasi Obstruksi
 Letak Tinggi : Duodenum-Jejunum
 Letak Tengah : Ileum Terminal
 Letak Rendah : Colon-Sigmoid-rectum
Stadium
 Parsial : menyumbat lumen sebagian
 Simple/Komplit: menyumbat lumen total
 Strangulasi: Simple dengan jepitan vasa 

Etiologi
i. Penyempitan lumen usus
 Isi Lumen : Benda asing, skibala, ascariasis.
 Dinding Usus : stenosis (radang kronik), keganasan.
 Ekstra lumen : Tumor intraabdomen.
ii. Adhesi
iii. Invaginasi 
iv. Volvulus 
v. Malformasi Usus

Gambar 2.3 Bermacam penyebab ileus obstruktif. (Hamami,2003)


Patofisiologi
Pada ileus obstruksi, hambatan pasase muncul tanpa disertai gangguan vaskuler dan
neurologik. Makanan dan cairan yang ditelan, sekresi usus, dan udara terkumpul dalam
jumlah yang banyak jika obstruksinya komplit. Bagian usus proksimal distensi, dan bagian
distal kolaps. Fungsi sekresi dan absorpsi membrane mukosa usus menurun, dan dinding usus
menjadi udema dan kongesti. Distensi intestinal yang berat, dengan sendirinya secara terus
menerus dan progresif akan mengacaukan peristaltik dan fungsi sekresi mukosa dan
meningkatkan resiko dehidrasi, iskemia, nekrosis, perforasi, peritonitis, dan
kematian. (Purnawan, 2009)
Pada obstruksi strangulata, kematian jaringan usus umumnya dihubungkan dengan
hernia inkarserata, volvulus, intussusepsi, dan oklusi vaskuler. Strangulasi biasanya berawal
dari obstruksi vena, yang kemudian diikuti oleh oklusi arteri, menyebabkan iskemia yang
cepat pada dinding usus. Usus menjadi udema dan nekrosis, memacu usus menjadi gangrene
dan perforasi. 
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis.
 Nyeri (Kolik)
Obstruksi usus halus : nyeri dirasakan disekitar umbilikus
Obstruksi kolon : nyeri dirasakan disekitar suprapubik.
 Muntah
Stenosis Pilorus : Encer dan asam
Obstruksi usus halus : Berwarna kehijauan
Obstruksi kolon : onset muntah lama.
 Perut Kembung (distensi)
 Konstipasi
Tidak ada defekasi
Tidak ada flatus
Adanya benjolan di perut, inguinal, dan femoral yang tidak dapat kembali menandakan
adanya hernia inkarserata. Selain itu, invaginasi dapat didahului oleh riwayat buang air besar
berupa lendir dan darah. Riwayat operasi sebelumnya dapat menjurus pada adanya adhesi
usus serta onset keluhan yang berlangsung cepat dapat dicurigai sebagai ileus letak tinggi dan
onset yang lambat dapat menjurus kepada ileus letak rendah.
1. Pada pemeriksaan fisik dapat pula ditemukan :
 Adanya strangulasi ditandai dengan adanya lokal peritonitis seperti : 
Takikardia, pireksia (demam), Rebound tenderness, nyeri lokal, hilangnya suara usus
local. Untuk mengetahui secara pasti hanya dengan laparotomi. 
 Adanya obstruksi ditandai dengan :

Inspeksi
Perut distensi, dapat ditemukan kontur dan steifung. Benjolan pada regio inguinal, femoral
dan skrotum menunjukkan suatu hernia inkarserata. Pada Intussusepsi dapat terlihat massa
abdomen berbentuk sosis. Adanya adhesi dapat dicurigai bila ada bekas luka operasi
sebelumnya.

Auskultasi
Hiperperistaltik, bising usus bernada tinggi, borborhygmi. Pada fase lanjut bising usus dan
peristaltik melemah sampai hilang.
Perkusi
Hipertimpani

Palpasi
Kadang teraba massa seperti pada tumor, invaginasi, hernia.

Rectal Toucher
- Isi rektum menyemprot : Hirschprung disease
- Adanya darah dapat menyokong adanya strangulasi, neoplasma
- Feses yang mengeras : skibala
- Feses negatif : obstruksi usus letak tinggi
- Ampula rekti kolaps : curiga obstruksi
- Nyeri tekan : lokal atau general peritonitis

2. Pemeriksaan penunjang
Laboratorium
Tes laboratorium mempunyai keterbatasan nilai dalam menegakkan diagnosis, tetapi
sangat membantu memberikan penilaian berat ringannya dan membantu dalam resusitasi.
Pada tahap awal, ditemukan hasil laboratorium yang normal. Selanjutnya ditemukan adanya
hemokonsentrasi, leukositosis dan nilai elektrolit yang abnormal. Peningkatan serum amilase
sering didapatkan. Leukositosis menunjukkan adanya iskemik atau strangulasi, tetapi hanya
terjadi pada 38% - 50% obstruksi strangulasi dibandingkan 27% - 44% pada obstruksi non
strangulata. Hematokrit yang meningkat dapat timbul pada dehidrasi. Selain itu dapat
ditemukan adanya gangguan elektrolit. Analisa gas darah mungkin terganggu, dengan
alkalosis metabolik bila muntah berat, dan metabolik asidosis bila ada tanda – tanda shock,
dehidrasi dan ketosis.

Radiologik
Adanya dilatasi dari usus disertai gambaran “step ladder” dan “air fluid level” pada
foto polos abdomen dapat disimpulkan bahwa adanya suatu obstruksi. Foto polos abdomen
mempunyai tingkat sensitivitas 66% pada obstruksi usus halus, sedangkan sensitivitas 84%
pada obstruksi kolon.
Foto Polos Abdomen
Dapat ditemukan gambaran ”step ladder dan air fluid level” terutama pada obstruksi
bagian distal. Pada kolon bisa saja tidak tampak gas. Jika terjadi stangulasi dan nekrosis,
maka akan terlihat gambaran berupa hilangnya mucosa yang reguler dan adanya gas dalam
dinding usus. Pelebaran udara usus halus atau usus besar dengan gambaran anak tangga
dan air-fluid level. Penggunaan kontras dikontraindikasikan jika adanya perforasi-peritonitis.
Barium enema diindikasikan untuk invaginasi, dan endoskopi disarankan pada kecurigaan
volvulus.

Gambar 2.4 Radiolagi dari Ileus obstruktif (American Gastroenterological


Association, 2003)

Diagnosis banding
Ileus obstruksi harus dibedakan dengan:

1. Carcinoid gastrointestinal.
2. Penyakit Crohn.
3. Intussuscepsi pada anak.
4. Divertikulum Meckel.
5. Ileus meconium.
6. Volvulus.
7. Infark Myocardial Akut.
8. Malignansi, Tumor Ovarium.
9. TBC Usus.
Penatalaksanaan
Obstruksi mekanis di usus dan jepitan atau lilitan harus dihilangkan segera setelah
keadaan umum diperbaiki. Tindakan umum sebelum dan sewaktu pembedahan meliputi
tatalaksana dehidrasi, perbaikan keseimbangan elektrolit dan dekompresi pipa lambung.
Tindakan bedah dilakukan apabila terdapat strangulasi, obstruksi lengkap, hernia inkarserata
dan tidak ada perbaikan pada pengobatan konservatif. (Purnawan,2009)

1. Persiapan penderita
Persiapan penderita berjalan bersama dengan usaha menegakkan diagnosa obstruksi
ileus secara lengkap dan tepat. Sering dengan persiapan penderita yang baik, obstruksinya
berkurang atau hilang sama sekali. Persiapan penderita meliputi :
 Balance Penderita dirawat di rumah sakit.
 Penderita dipuasakan
 Kontrol status airway, breathing and circulation.
 Dekompresi dengan nasogastric tube.
 Intravenous fluids and electrolyte
 Dipasang kateter urin untuk menghitung cairan.

2. Operatif
Bila telah diputuskan untuk tindakan operasi, ada 3 hal yang perlu :
 Berapa lama obstruksinya sudah berlangsung.
 Bagaimana keadaan/fungsi organ vital lainnya, baik sebagai akibat obstruksinya
maupun kondisi sebelum sakit.
 Apakah ada risiko strangulasi.
Kewaspadaan akan resiko strangulasi sangat penting. Pada obstruksi ileus yang
ditolong dengan cara operatif pada saat yang tepat, angka kematiannya adalah 1% pada 24
jam pertama, sedangkan pada strangulasi angka kematian tersebut 31%.
Pada umumnya dikenal 4 macam (cara) tindakan bedah yang dikerjakan pada obstruksi ileus :
a) Koreksi sederhana (simple correction). Hal ini merupakan tindakan bedah sederhana
untuk membebaskan usus dari jepitan, misalnya pada hernia incarcerata non-strangulasi,
jepitan oleh streng/adhesi atau pada volvulus ringan.
b) Tindakan operatif by-pass. Membuat saluran usus baru yang "melewati" bagian usus yang
tersumbat, misalnya pada tumor intralurninal, Crohn disease, dan sebagainya.
c) Membuat fistula entero-cutaneus pada bagian proximal dari tempat obstruksi, misalnya
pada Ca stadium lanjut.
d) Melakukan reseksi usus yang tersumbat dan membuat anastomosis ujung-ujung usus
untuk mempertahankan kontinuitas lumen usus, misalnya pada carcinomacolon,
invaginasi strangulate dan sebagainya.
Pada beberapa obstruksi ileus, kadang-kadang dilakukan tindakan operatif bertahap,
baik oleh karena penyakitnya sendiri maupun karena keadaan penderitanya, misalnya pada
Ca sigmoid obstruktif, mula-mula dilakukan kolostomi saja, kemudian hari dilakukan reseksi
usus dan anastomosis.
3. Pasca Operasi
Suatu problematik yang sulit pada keadaan pasca bedah adalah distensi usus yang
masih ada. Pada tindakan operatif dekompressi usus, gas dan cairan yang terkumpul dalam
lumen usus tidak boleh dibersihkan sama sekali oleh karena catatan tersebut mengandung
banyak bahan-bahan digestif yang sangat diperlukan. Pasca bedah tidak dapat diharapkan
fisiologi usus kembali normal, walaupun terdengar bising usus. Hal tersebut bukan berarti
peristaltik usus telah berfungsi dengan efisien, sementara ekskresi meninggi dan absorpsi
sama sekali belum baik.
Sering didapati penderita dalam keadaan masih distensi dan disertai diare pasca
bedah. Tindakan dekompressi usus dan koreksi air dan elektrolit serta menjaga keseimbangan
asam basa darah dalam batas normal tetap dilaksanakan pada pasca bedahnya. Pada obstruksi
yang lanjut, apalagi bila telah terjadi strangulasi, monitoring pasca bedah yang teliti
diperlukan sampai selama 6 - 7 hari pasca bedah. Bahaya lain pada masa pasca bedah adalah
toksinemia dan sepsis. Gambaran kliniknya biasanya mulai nampak pada hari ke 4-5 pasca
bedah. Pemberian antibiotika dengan spektrum luas dan disesuaikan dengan hasil kultur
kuman sangatlah penting. (Purnawan, 2009)
Komplikasi 
 Nekrosis usus
 Perforasi usus
 Sepsis
 Syok-dehidrasi
 Abses
 Sindrom usus pendek dengan malabsorpsi dan malnutrisi
 Pneumonia aspirasi dari proses muntah
 Gangguan elektrolit

Prognosis
Mortalitas obstruksi tanpa strangulata adalah 5% sampai 8% asalkan operasi dapat
segera dilakukan. Keterlambatan dalam melakukan pembedahan atau jika terjadi strangulasi
atau komplikasi lainnya akan meningkatkan mortalitas sampai sekitar 35% atau 40%.
Prognosisnya baik bila diagnosis dan tindakan dilakukan dengan cepat.

APPENDISITIS

DEFINISI APPENDISITIS
Appendisitis adalah inflamasi pada appendiks vermiformis dan merupakan penyebab
akut abdomen yang paling sering.

EPIDEMIOLOGI APPENDISITIS
Appendisitis akut adalah salah satu penyakit bedah terbanyak. Insiden paling sering
terjadi pada usia dekade kedua sampai keempat, dengan usia rata-rata 31,3 tahun dan
median 22 tahun. Frekuensi angka kejadian lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan
dengan perempuan. Rasio laki-laki : perempuan sekitar 1,2 - 1,3 : 1. Appendektomi
adalah prosedur bedah yang paling sering dilakukan (84%).

A. ETIOLOGI APPENDISITIS
1. Obstruksi
Penyebab obtruksi lumen adalah hiperplasia limfoid, fecalith, benda asing, striktur
(tumor), dan parasit.
2. Infeksi Bakteri3
Table 30-1 Common Organisms Seen in Patients with Acute
Appendicitis

Aerobic and Facultative Anaerobic

Gram - negative bacilli Gram - negative bacilli


Escherichia coli Bacteroides fragilis
Pseudomonas aeruginosa Other Bacteroides species
Klebsiella species Fusobacterium species

Gram - positive cocci Gram - positive cocci


Streptococcus anginosus Peptostreptococcus species
Other Streptococcus species
Enterococcus species Gram - positive bacilli
Clostridium species

B. PATOGENESIS APPENDISITIS3,4
- Appendiks obstruksi
Obstruksi appendiks merupakan kejadian awal yang paling sering pada appendisitis.
Hiperplasia dari folikel limfoid submukosa sekitar 60% penyebab obstruksi (paling
sering pada remaja). Pada orang dewasa yang lebih tua dan anak-anak, fecalith
adalah penyebab paling sering (35%).
- Tekanan intraluminal
Meningkatnya tekanan intraluminal akibat obstruksi lumen appendiks menyebabkan
sekresi mukosa meningkat, pertumbuhan bakteri yang berlebihan, dinding appendiks
menipis karena terjadi distensi dan terjadi obstruksi limfatik dan vena.
- Nekrosis dan Perforasi
Nekrosis dan perforasi terjadi ketika aliran arteri terganggu.

MANIFESTASI KLINIS APPENDISITIS


Symptoms
- Nyeri abdomen diffus di epigastrium bawah atau regio umbilicalis kemudian
terlokalisasi di kuadran kanan bawah (RLQ)
- Mual muntah
- Anoreksia
- Konstipasi atau diare
Signs
- Direct rebound tenderness (Mc.Burney’s point)
- Rovsing’s sign
Nyeri di kuadran kanan bawah ketika tekanan palpatory diberikan pada kuadran kiri
bawah dan juga menunjukkan tempat iritasi peritoneal.
- Iliopsoas sign
Iliopsoas sign positif apabila pelvis nyeri ketika paha kanan di ekstensikan.
- Obturator sign
Obturator sign positif jika hipogastrikus nyeri pada peregangan m. obturatorius
internus dan ini menunjukkan iritasi di panggul. Pemeriksaan ini dilakukan dengan
gerakan rotasi internal pasif dari paha kanan tertekuk dengan posisi pasien terlentang.
- Dunphy sign
Dunphy sign positif jika nyeri abdomen bertambah ketika pasien batuk.

Alvarado Scale for the Diagnosis of Appendicitis

Manifestations Value
Symptoms Migration of pain 1
Anorexia 1
Nausea and/or vomiting 1
Signs Right lower quadrant tenderness 2
Rebound tenderness 1
Elevated temperature 1
Laboratory values Leukocytosis 2
Left shift in leukocyte counts 1

- Skor >8 : Berkemungkinan besar menderita appendisitis. Pasien ini dapat langsung
diambil tindakan pembedahan tanpa pemeriksaan lebih lanjut. Kemudian perlu
dilakukan konfirmasi dengan pemeriksaan patologi anatomi.
- Skor 2-8 : Tingkat kemungkinan sedang untuk terjadinya apendisitis. Pasien ini
sebaiknya dikerjakan pemeriksaan penunjang seperti foto polos abdomen ataupun CT
scan.
- Skor <2 : Kecil kemungkinan pasien ini menderita apendisitis. Pasien ini tidak perlu
untuk di evaluasi lebih lanjut dan pasien dapat dipulangkan dengan catatan tetap
dilakukan follow up pada pasien ini.

DIAGNOSIS APPENDISITIS
Diagnosis apendisitis ditegakkan dengan evaluasi klinis, meskipun tes laboratorium dan
prosedur pencitraan dapat membantu.

- Manifestasi Klinis
Apendisitis biasanya dimulai dengan progresif, ketidaknyamanan midabdominal
persisten yang disebabkan oleh obstruksi dan distensi appendiks merangsang saraf
aferen visceral otonom (tingkat T8-T10). Kadang terjadi anorexia dan demam ringan
(<38,5°C). Distensi appendiks menyebabkan kongesti vena yang dapat menyebabkan
rangsangan gerak peristaltik usus, menyebabkan sensasi kram yang segera diikuti
dengan mual dan muntah. Gejala termasuk anoreksia (90%), mual dan muntah
(70%), dan diare (10%). Setelah peradangan meluas secara transmural ke peritoneum
parietal, serat-serat nyeri somatik dirangsang dan rasa sakit terlokalisasi di RLQ.
Iritasi peritoneal dikaitkan dengan nyeri pada gerakan, demam ringan, dan takikardi.
Timbulnya gejala biasanya kurang dari 24 jam untuk apendisitis akut.
Bila appendiks retrocecal atau di belakang ileum, maka dapat dipisahkan dari
peritoneum perut anterior dan tanda-tanda lokalisasi perut bisa tidak ada. Iritasi
struktur berdekatan dapat menyebabkan diare, frekuensi kencing, pyuria, atau
hematuria mikroskopis tergantung pada lokasi. Bila appendisitis terletak di panggul,
mungkin mensimulasikan gastroenteritis akut, dengan rasa sakit menyebar, mual,
muntah, dan diare. Diagnosis mungkin dicurigai jika pemeriksaan rektal digital
menghasilkan rasa sakit.

- Pemeriksaan Fisik
Assessing the patient's abdomen. Pemeriksaan dimulai dengan memeriksa perut
pasien di daerah lain dari tenderness yang dicurigai. Lokasi appendisitis adalah
variabel. Namun, biasanya ditemukan di tingkat vertebral S1, lateral linea tepat pada
titik McBurney (dua pertiga jarak dari umbilikus ke spina iliaka anterosuperior).
Rovsing sign mengindikasikan iritasi peritoneal. Tenderness kuadran-kanan-bawah
langsung dinilai. Tingkat ketahanan otot untuk palpasi sama dengan beratnya proses
inflamasi. Hyperesthesia cutaneous sering ada di atas regio tenderness maksimal.
Iliopsoas menyiratkan tanda appendisitis retrocecal. Sebuah appendisitis panggul
dapat menghasilkan tanda obturatorius positif.
Rectal Examination dilakukan untuk mengevaluasi keberadaan tenderness lokal
atau massa peradangan di daerah pararectal. Hal ini paling berguna untuk presentasi
atipikal sugestif dari appendisitis panggul atau retrocecal.
Pada wanita, pemeriksaan panggul dilakukan untuk menilai tenderness gerak rahim
dan rasa sakit atau massa pada adnexal. Massa teraba di RLQ menunjukkan abses
periappendiceal atau phlegmon.

DIFFERENTIAL DIAGNOSIS APPENDISITIS


Differensial diagnosis appendisitis akut tergantung pada empat faktor utama yaitu lokasi
anatomi dimana terjadinya peradangan appendiks, tahap proses (sederhana atau
perforasi), umur pasien dan jenis kelamin.

- Gastrointestinal Disease
Gastroenteritis ditandai dengan mual dan emesis sebelum timbulnya sakit perut,
bersama dengan malaise umum, demam tinggi, diare, sakit perut dan nyeri. Meskipun
diare adalah salah satu tanda-tanda kardinal radang lambung, dapat terjadi pada
pasien dengan usus buntu. Selain itu, jumlah WBC seringkali normal pada pasien
dengan gastroenteritis.
Mesenterika Limfadenitis biasanya terjadi pada pasien lebih muda dari 20 tahun
dan nyeri RLQ, sakit perut tapi tanpa tenderness rebound atau kekakuan otot. Nodal
histologi dan biakan yang diperoleh pada operasi dapat mengidentifikasi etiologi,
terutama Yersinia dan Shigella spesies dan Mycobacterium tuberculosis. Mesenterika
limfadenitis diketahui terkait dengan infeksi saluran pernapasan atas.
Meckel Diverticulitis hadir dengan gejala dan tanda-tanda tidak bisa dibedakan dari
appendisitis, tapi khas terjadi pada bayi.
Ulkus Peptikum, Diverticulitis, dan Kolesistitis dapat menyajikan gambar klinis
yang mirip dengan appendisistis.
Typhlitis, ditandai dengan peradangan pada dinding sekum atau ileum terminal,
dikelola nonoperatively. Hal ini paling sering terlihat pada pasien imunosupresi
menjalani kemoterapi untuk leukemia dan pada pasien HIV-positif. Sebelum operasi
sulit untuk membedakan antara typhlitis appendisitis.
- Urologic diseases
Pielonefritis menyebabkan demam tinggi, kaku, nyeri costovertebral, dan tenderness.
Diagnosa dikonfirmasi oleh urinalisis dengan cultur.
Kolik saluran kemih. Passage batu ginjal menyebabkan nyeri panggul menjalar ke
selangkangan tapi tenderness lokal sedikit. Hematuria menunjukkan diagnosis yang
dikonfirmasi oleh pyelography intravena atau CT noncontrast. foto polos sering
menunjukkan batu ginjal.
- Gynecologic diseases
Pelvic inflammatory disease dapat hadir dengan gejala dan tanda-tanda tidak bisa
dibedakan dari appendisitis akut, tetapi sering dapat dibedakan berdasarkan beberapa
faktor. Tenderness gerak serviks dan keputihan seperti susu memperkuat diagnosis
PID. Pada pasien dengan PID, rasa sakit biasanya bilateral, dengan intens menjaga
pada pemeriksaan perut dan panggul. USG transvaginal dapat digunakan untuk
memvisualisasikan ovarium dan untuk mengidentifikasi abses Tubo-ovarium.
Kehamilan ektopik. Tes kehamilan sebaiknya dilakukan pada semua pasien wanita
usia subur dengan keluhan perut. Kista ovarium terbaik terdeteksi oleh USG
transvaginal atau transabdominal.
Torsi ovarium. Peradangan mengelilingi ovarium iskemik sering dapat teraba pada
pemeriksaan panggul bimanual. Pasien-pasien ini dapat mengalami demam,
leukositosis, dan nyeri RLQ konsisten dengan appendisitis. Sebuah viskus twisted,
bagaimanapun, berbeda karena memproduksi tiba-tiba, rasa sakit akut dengan emesis
sering dan berlanjut simultan. torsi ovarium dapat dibuktikan dengan Doppler USG.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Evaluasi Laboratorium
Complete blood cell count. Jumlah leukosit yang lebih dari 10.000 sel / uL, dengan
dominasi sel polymorphonuclear (> 75%), membawa sensitivitas 77% dan
spesifisitas 63% untuk appendisitis. Jumlah leukosit dan proporsi bentuk mature
meningkat jika ada perforasi appendiks. Pada orang dewasa yang lebih tua, jumlah
leukosit dan diferensial lebih sering normal daripada pada orang dewasa muda.
Wanita hamil biasanya memiliki jumlah WBC yang tinggi dapat mencapai 15.000
hingga 20.000 selama proses kehamilan.
Complete Blood Count (CBC)
• Leukocytosis (10.000-18.000/mm3) dengan polymorphonuclear (PMN)
predominan
• Jika white blood count (WBC) > 18.000/mm 3 pikirkan adanya perforasi dengan
atau tanpa abses
Serum elektrolit, nitrogen urea darah, dan kreatinin serum diperoleh untuk
mengidentifikasi dan memperbaiki kelainan elektrolit yang disebabkan oleh dehidrasi
sekunder untuk muntah atau asupan oral yang buruk.
Urinalysis. Urinalysis abnormal pada 25% sampai 40% dari pasien appendisitis.
Pyuria, albuminuria, dan hematuria sering terjadi. Jumlah bakteri yang banyak dapat
dipikirkan ISK sebagai penyebab sakit perut. Urine menunjukkan lebih dari 20
leukosit per bidang daya tinggi atau lebih dari 30 sel darah merah per bidang daya
tinggi menunjukkan ISK. Hematuria yang signifikan harus dipikirkan pertimbangan
urolithiasis.
• WBCs atau RBCs mungkin ditemukan jika adanya iritasi VU atau ureter karena
inflamasi appendiks
• Bakteriuria
Evaluasi Radiologi. Diagnosis appendisitis biasanya dapat dibuat tanpa evaluasi
radiologis pada kasus yang kompleks.
X-ray jarang membantu dalam mendiagnosis appendisitis. Pada sebuah studi
menunjukkan bahwa appendicolith atas hanya 1,14% dari sinar-x dilakukan pada
pasien dengan pembedahan terbukti appendisitis. Temuan lain radiologis yang
sugestif termasuk sekum menggelembung dengan tingkat kecil-usus yang berdekatan
udara-cairan, kehilangan bayangan psoas kanan, scoliosis ke kanan, dan gas dalam
lumen apendiks. Sebuah apendiks perforasi jarang menyebabkan pneumoperitoneum.
USG sangat berguna pada wanita usia subur dan pada anak-anak karena penyebab
lain dari keluhan perut dapat didemonstrasikan. Temuan terkait dengan appendisitis
akut termasuk appendiks diameter lebih besar dari 6 mm, kurangnya kompresibilitas
luminal, dan kehadiran sebuah appendicolith. Appendiks diperbesar dilihat pada
USG memiliki sensitivitas 86% dan spesifisitas 81%. appendiks berlubang lebih sulit
untuk didiagnosis dan ditandai oleh hilangnya submucosa echogenic dan kehadiran
koleksi cairan loculated periappendiceal atau panggul. Pada wanita, patologi ovarium
mungkin diidentifikasi atau dikecualikan. Kualitas dan ketepatan sangat bergantung
pada operator.
CT scan, awalnya direkomendasikan hanya dalam kasus-kasus klinis yang kompleks
atau diagnosa tidak pasti, merupakan tes yang paling umum digunakan dalam
diagnostik radiografi. Hal CT scan lebih unggul dalam mendiagnosis appendisitis
dengan sensitivitas 94% dan spesifisitas 95%. Pada CT scan dapat ditemukan
distensi, appendiks berdinding tebal dengan lapisan inflamasi sekitar lemak,
phlegmon pericecal atau abses, appendicolith, atau udara RLQ bebas intra-abdomen
yang merupakan sinyal perforasi. CT scan sangat berguna dalam membedakan antara
abses periappendiceal dan phlegmon.
MRI merupakan alternatif ketika satu kebutuhan pencitraan cross-sectional untuk
menghindari radiasi pengion. Hal ini terutama berguna pada pasien hamil yang
apendiks tidak divisualisasikan.

Imaging
Abdominal X Ray (AXR) terlihat Appendicolith/fecalith
CT scan abdominal
(+) Bila ditemukan dilatasi appendix > 6 mm, penebalan appendix
(+) palsu jika terlihat inflamasi periappendix, dilatasi tuba fallopi, insipissated stool,
overlying fat
(-) palsu jika inflamasi terbatas diatas appendix, retrocecal ceacum, appendix besar,
perforasi (appendix compressible).
Diagnostik Laparoskopi. Laparoskopi diagnostik sangat berguna untuk
mengevaluasi wanita berovulasi dengan tegas untuk pemeriksaan appendisitis. Pada
subkelompok ini, sepertiga perempuan terbukti memiliki patologi ginekologi primer.
appendiks ini juga bisa dihapus melalui pendekatan laparoskopi. Oleh karena itu,
beberapa ahli bedah menganjurkan pendekatan laparoskopi awal pada semua wanita
berovulasi yang diduga appendisitis.

PENATALAKSANAAN
Preoperative
Isotonik pengganti cairan intravena harus dimulai untuk mencapai output kemih
cepat dan untuk memperbaiki kelainan elektrolit. Suction nasogastrik sangat
membantu, terutama pada pasien dengan peritonitis. Suhu yang tinggi ditatalaksana
dengan acetaminophen dan selimut pendingin. Anestesi tidak boleh diinduksi pada
pasien dengan suhu yang lebih tinggi dari 39°C.
- Antibiotik
Antibiotik profilaksis umumnya efektif dalam pencegahan komplikasi infeksi
pascabedah (luka infeksi, abses intra-abdomen). Preoperative inisiasi lebih disukai,
meskipun beberapa menyarankan bahwa hal itu dapat ditunda. Untuk appendisitis
akut, cakupan biasanya terdiri dari sefalosporin generasi kedua. Pada pasien dengan
appendisitis nonperforated akut, dosis tunggal antibiotik cukup. Terapi Antibiotik
dalam apendisitis perforasi atau gangren harus dilanjutkan selama 3 sampai 5 hari.
- Appendectomy
Dengan beberapa pengecualian, pengobatan appendisitis adalah appendektomy.
Pasien dengan peritonitis difus atau diagnosis dipertanyakan harus dieksplorasi
melalui insisi garis tengah. Mortalitas setelah appendektomi tinggi pada pasien usia
lanjut. Pada kebanyakan pasien, irisan melintang memberikan penampilan terbaik
kosmetik dan memungkinkan kemudahan perpanjangan secara medial untuk
eksposur yang lebih besar. Lapisan otot transversus abdominis dan lapisan otot
obliqus abdominis eksternal dan internal dapat dibagi dalam arah seratnya. Setelah
masuk ke rongga peritoneal, didapatkan cairan purulent untuk gram stain dan cultur.
Setelah sekum diidentifikasi, taenia anterior dapat diikuti ke dasar appendiks.
appendiks dengan lembut dilepaskan dari luka dan sekitarnya dengan hati-hati pada
setiap perlekatan yang mengganggu. Jika appendiks normal pada inspeksi (5%
sampai 20% dari eksplorasi), tersebut akan dihapus dan diagnosis alternatif yang
sesuai akan dipikirkan. Sekum, kolon sigmoid, dan ileum secara hati-hati diperiksa
untuk perubahan indikasi divertikular (termasuk divertikulum Meckel), infeksi,
iskemik, atau penyakit inflamasi usus (misalnya, penyakit Crohn). Bukti
limfadenopati mesenterika dicari. Pada wanita, ovarium dan saluran tuba diperiksa
untuk bukti PID, pecah kista folikel, kehamilan ektopik, atau patologi lainnya. cairan
peritoneal empedu menunjukkan ulkus peptikum atau perforasi kandung empedu.
- Laparoskopi Appendektomi
Laparoskopi appendektomi merupakan alternatif untuk pendekatan terbuka. Hal ini
paling berguna ketika diagnosis tidak pasti atau bila ukuran pasien akan memerlukan
sayatan besar. Walaupun studi terbaru menunjukkan bahwa panjang pasca operasi
mungkin tinggal sedikit singkat sebagian besar pasien yang menjalani appendektomi
rutin dapat dengan aman keluar dari rumah sakit pada hari pertama pasca operasi.
Terlepas dari pilihan pendekatan, perhatian harus dilakukan untuk memastikan ligasi
aman ujung appendiks.
- Drainage of Periappendiceal Abscess
Pengelolaan abses appendiks masih kontroversial. Pasien yang memiliki abses
periappendiceal baik lokal dan pada awalnya terlihat ketika gejala yang mereda dapat
diobati dengan antibiotik sistemik dan dipertimbangkan untuk drainase kateter
perkutan, diikuti oleh appendektomi elektif 6 sampai 12 minggu kemudian. Strategi
ini berhasil di lebih dari 80% pasien. Appendiks harus dibuang karena pasien
memiliki risiko 60% terkena appendisitis kembali dalam waktu 2 tahun. Antibiotik
sistemik yang diberikan selama minimal 5 hari atau sampai pasien menyelesaikan
afebrile dan leukositosis. Sebuah studi baru-baru ini membandingkan appendektomy
langsung (antibiotik, operasi) dengan manajemen hamil (antibiotik, drainase
perkutan, dan usus buntu interval) pada pasien dengan abses appendiks menemukan
bahwa kelompok langsung-appendektomi memiliki tingkat komplikasi yang lebih
tinggi dan lebih lama tinggal di rumah sakit.
- Incidental Appendectomy
Insidental appendektomi adalah pengangkatan appendiks normal pada laparotomi
untuk kondisi lain. appendiks harus mudah diakses melalui sayatan perut ini, dan
pasien harus secara klinis cukup stabil untuk mentolerir waktu tambahan yang
dibutuhkan untuk menyelesaikan prosedur. Karena sebagian besar kasus appendisitis
terjadi awal kehidupan, manfaat appendektomi insidental berkurang secara
substansial sekali orang yang lebih tua dari 30 tahun. penyakit Crohn yang
melibatkan sekum itu, radiasi pengobatan hingga ke kekebalan, sekum, dan cangkok
vaskular atau bioprostheses lain merupakan kontraindikasi untuk appendektomi
insidental karena peningkatan risiko komplikasi infeksi atau kebocoran tunggul

appendiks.
KOMPLIKASI APENDISITIS AKUT
- Perforasi
Perforasi disertai dengan nyeri hebat dan demam. Hal ini biasa dalam waktu 12 jam
pertama dari appendisitis tetapi hadir dalam 50% pasien apendisitis lebih muda dari
10 tahun dan lebih tua dari 50 tahun. Konsekuensi akut perforasi termasuk demam,
takikardia, peritonitis umum, dan pembentukan abses. Pengobatan appendisitis,
irigasi peritoneal, dan antibiotik spektrum luas intravena selama beberapa hari.
Selama kehamilan, perforasi secara substansial meningkatkan risiko kematian ibu
dari diabaikan sampai 4%. Angka kematian janin naik dari 0% menjadi 1,5% pada
appendisitis uncompicated untuk 20% hingga 35% dalam pengaturan perforasi.
- Risiko Infeksi Luka Pascaoperasi
Resiko infeksi luka pascaoperasi dapat dikurangi dengan antibiotik intravena yang
sesuai diberikan sebelum sayatan kulit. Kejadian luka infeksi meningkat dari 3%
pada kasus apendisitis nonperforated menjadi 4,7% pada pasien dengan usus buntu
yang berlubang atau gangren. penutupan primer tidak dianjurkan dalam pengaturan
perforasi (Bedah 2000; 127:136). luka infeksi dikelola dengan membuka,
pengeringan, dan pengemasan luka untuk memungkinkan penyembuha. Antibiotik
intravena yang ditunjukkan untuk selulitis atau sepsis sistemik.
- Intra-abdominal dan abses panggul
Abses Intra-abdominal dan panggul terjadi paling sering dengan perforasi apendiks.
Pascaoperasi abses intra-abdomen dan pelvis yang paling baik ditangani dengan
drainase dengan panduan CT-atau USG perkutan. Jika abses tidak bisa diakses atau
resisten terhadap drainase perkutan, drainase operasi diindikasikan. Terapi antibiotik
dapat menutupi tetapi tidak signifikan untuk mengobati atau mencegah abses.
- Komplikasi Lain
Pyelephlebitis adalah thrombosis septik vein portal disebabkan oleh Escherichia coli
dengan gejala klinis demam tinggi, sakit kuning, dan akhirnya abses hati. CT scan
menunjukkan thrombus dan gas di vena portal. perlakuan Prompt (operasi atau
percutaneous) dari infeksi primer sangat penting, bersama dengan antibiotik
spektrum luasintravena.
Fistula Enterocutaneous dari kebocoran pada penutupan ujung appendiks kadang-
kadang memerlukan penutupan bedah, tetapi sering menutup secara spontan.
Small-Bowel Obstruction. Obstruksi usus kecil adalah empat kali lebih umum
setelah pembedahan pada kasus apendisitis perforasi daripada di appendisitis tanpa
komplikasi.

TUMOR KOLOREKTAL
Tumor Kolorektal dapat dibagi dalam dua kelompok yakni polip kolon dan kanker kolon.
Polip adalah tonjolan di atas permukaan mukosa.
Polip kolon dapat dibagi dalam tiga tlpe yakni neoplasma epitelium, nonneoplasma dan
submukosa. Makna kllinis yang penting dari polip ada dua yakni pertama kemungkinan
mengalami transformasi menjadi kanker kolorektal dan kedua dengan tindakan pengangkatan
polip, kanker kolorektal dapat dicegah.

1. Epidemiologi
Secara epidemiologis, kanker kolorektal menduduki urutan ke-4 kanker terbanyak di dunia,
dimana jumlah pasien laki-laki sedikit lebih banyak daripada perempuan dengan
perbandingan 19,4 dan 15,3 per 100.000 penduduk.
Penyakit tersebut paling banyak ditemukan di Amerika Utara, Australia, Selandia Baru dan
sebagian Eropa. Kejadiannya beragam di antara berbagai populasi etnik, ras atau populasi
multietnik/multi rasial. Secara umum didapatkan kejadian kanker kolorektal meningkat tajam
setelah usia 50 tahun. Suatu fenomena yang dikaitkan dengan pajanan terhadap berbagai
karsinogen dan gaya hidup.
Kanker kolorektal adalah penyebab kematian kedua terbanyak dari seluruh pasien kanker di
Amerika Serikat (AS). Lebih dari 150.000 kasus baru, terdiagnosis setiap tahunnya di AS
dengan angka kematian per tahun mendekati angka 60.000. Di AS rerata usia pasien kanker
kolorektal 67 tahun dan lebih dari 50o/o kematian terJadi pada mereka yang berumur di atas
55 tahun.
Di lndonesia, seperti yang terdapat pada laporan registrasi kanker nasional yang di keluarkan
oleh Direktorat Pelayanan Medik Departmen Kesehatan bekerja sama dengan Perhimpunan
Patologi Anatomik lndonesia didapatkan angka yang agak berbeda. Hal yang menarik di sini
adalah kecenderungan untuk umur yang lebih muda dibandingkan dengan laporan dari negara
barat. Untuk Data dari Bagian Patologi Anatomik FKUI mendapatkan angka 35,265% untuk
usia di bawah 40 tahun.

2. Etiologi dan Patogenesis


Kanker kolorektal timbul melalui interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan faktor
lingkungan. Faktor genetik mendominasi yang lainnya pada kasus sindrom herediter seperti
Fomitiot Adenomatous Polyposis (FAP) dan Hereditary Nonpolyposis ColorectolConcer
(HNPC), Kanker kolorektal yang sporadis muncul setelah melewati rentang masa yang lebih
panjang sebagai akibat faktor lingkungan yang menimbulkan perubahan genetik yang
berkembang menjadi kanker. Kedua jenis kanker kolorektal (herediter vs sporadis) tidak
muncul secara mendadak melainkan melalui proses yang dapat diidentifikasi pada mukosa
kolon (seperti: displasia adenoma).
3. Faktor Lingkungan
Sejumlah bukti menunjukkan bahwa lingkungan berperan penting pada kejadian kanker
kolorektal. Risiko kanker kolorektal meningkat pada masyarakat yang bermigrasi dari
wilayah dengan insidens kanker kolorektal yang rendah ke wilayah yang insidensnya tinggi.
Hal ini menambah bukti bahwa faktor lingkungan seperti perbedaan pola makanan
berpengaruh pada karsinogenesis.
Kandungan dari makronutrien dan mikronutrien berhubungan dengan kanker kolorektal'
Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa lemak hewani, terutama dari sumber daging
merah, berpengaruh pada kejadian kanker kolorektal. Penelitian pada binatang yang diberikan
diet lemak tinggi meningkatkan proliferasi kolonosit dan pembentukan tumor.
Transformasi sel tampaknya melalui peningkatan konsentrasi empedu dalam kolon dan ini
telah diketahui sebagai promotor kanker lagipula pada masyarakat dengan konsumsi serat
rendah disertai dengan insiden kanker kolon yang tinggi. Kebiasaan minum alcohol
meningkatkan 2 sampai 3 kali lipat kejadian kanker kolon. Sebaliknya masyarakat yang
mengonsumsi ikan laut memiliki insidens kanker kolorektal yang rendah. Diet folat tinggi
berhubungan dengan penurunan risiko kanker kolorektal. Meskipun antioksidan seperti
vitamin A, E dan C dianggap dapat menurunkan risiko kanker, namun sebuah penelitian
prospektif gagal membuktikan penurunan insidens polip pada kelompok yang mendapat
suplemen vitamin tersebut.

4. Faktor Genetik
Banyak kelainan genetik yang dikaitkan dengan keganasan kolorektal di antaranya sindroma
polyposis. Namun demikian sindroma poliposis hanya terhitung <1% dari semua kanker
kolorektal. Selain itu terdapat Hereditary Non-polyposis Colorectol Cancer (HNPCC atau
Sindroma Lynch) sebesar 2-3% dari kanker kolorektal. Kanker kolorektal terjadi sebagai
akibat kerusakan genetik pada lokus yang mengontrol pertumbuhan sel. Perubahan kolonosit
normal menjadi jaringan adenomatosa dan akhirnya karsinoma kolon melibatkan sejumlah
mutasi yang mempercepat pertumbuhan sel. Terdapat dua mekanisme yang menimbulkan
instabilitas genom dan berujung pada kanker kolorektal yakni:
1). lnstabilitas kromosom (CromosomaI instability atau CIN);
2). Instabilitas mikrosatelit (microsotellite instability atau MIN).
Umumnya asal kanker kolon melalui mekanisme CIN yang melibatkan penyebaran material
genetik yang tak berimbang kepada sel anak sehingga timbulnya aneuploidi. lnstabilitas
mikrosatelit (MlN) disebabkan oleh hilangnya aktivitas perbaikan ketidakcocokan atau
mismatch repair (MMR) dan merupakan mekanisme terbentuknya kanker pada HNPCC.

Instrabilitas Kromosom
lnstabilitas kromosom (Cromosomal instability atau CIN yang merupakan hasil perubahan-
perubahan besar pada kromosom seperti translokasl, amplifikasi, delesi dan berbagai bentuk
kehilangan alel lainnya disertai dengan hilangnya heterozigositas (LOH) pada DNA yang
berdekatan dengan lokasi kelainan-kelainan tersebut.
Awal proses kejadian KKR yang melibatkan mutasi somatik terjadi pada gen adenomatous
polyposis coli
(APC). Kelainan pada APC yang sporadis maupun yang familial seperti familial
adenomotous polyposis (FAP). Gen APC mengatur kematian sel dan mutasi pada gen ini
menyebabkan pengobatan proliferasi yang selanjutnya berkembang menjadi adenoma.
Mutasi pada proto onkogen selular K-ras yang biasanya terjadi. pada adenoma kolon-yang
berukuran besar akan menyebabkan gangguan pertumbuhan sel yang tidak normal.
Transisi dari adenoma menjadi karsinoma merupakan akibat dari mutasi gen supresor tumor
p53. Dalam keadaan normal protein gen p53 akan menghambat proliferasi sel yang
mengalami kerusakan DNA. Mutasi gen p53 menyebabkan sel dengan kerusakan DNA,tetap
dapat mengalami replikasi yang menghasilkan .sel-sel dengan kerusakan DNA yang tebih
parah. Replikasi sel-sel dengan kehilangan sejumlah segmen pada kromosom yang berisi
beberapa alel (misal loss of heterozygosity)'. Hal ini dapat menyebabkan kehllangan gen
supresor tumor yang lain seperti DCC (deleted in colon cancer) yang merupakan tahap akhir
dari trasformasi ke arah keganasan.
Seringkali sel-sel ini punya kemampuan untuk menginvasi dan bermetastasis yang
merupakan titik awal keganasan. Karsinogenesis kolon tidak selalu membutuhkan semua
jenis mutasi tersebut di atas dan tampaknya masih ada kerusakan genetik lain yang berperan
namun belum ditemukan sampai saat ini. Bagaimanapun juga model mutasi yang dijelaskan
di atas dapat menjadi landasan kerangka konsep untuk memahami Proses karsinogen KKR.
Instabilitas Mikrosatelit dan HNPCC
Instabilitas mikrosatelit(microsatellite instability atau MlN) di mana terjadi peningkatan
risiko terjadinya mutasi- mutasi noktah (point mutations) yang memenga.ruhi satu atau lebih
pasangan basa DNA secara acak sepanjang genom.
Berbeda dengan KKR yang sporadic, HNPCC disebabkan oleh instabilitas mikrosatelit
dimana terjadi mutasi pada gen MMR (Mismatch repair) yang berfungsi memperbaikl
gangguan replikasi DNA sehingga mengakibatkan pembentukan kanker. Protein yang
dihasilkan oleh gen MMR dapat mendeteksi dan memperbaiki gangguan replikasi DNA pada
sel (fase pasca mitosis). Sel-sel yang kehilangan kemampuan untuk memperbaiki
ketdiakcocokan (MMR) ini tampaknya masih memerlukan mutasi sebelum mengalami
karsinogenesis oleh karena semua sel kolon mempunyai satu gen yang lengkap maka mutasl
somatik kedua diperlukan sebelum fungsi MMR hilang. Mekanisme second hit ini yang
menjelaskan tidak munculnya poliposis pada HNPCC' Sekarang ini 5 gen MMR telah
diidentifikasi yaitu: h MSH2, h MLH1, h PMSl, h PM52 dan h MSH6.
HNPCC dapat dibedakan dari KKR sporadis biasanya muncul pada usia lebih muda (± 40
th), rislko mendapat tumor sinkronous lebih tinggi(18%vs 60%), letak tumor sebelah kanan
(60% -80% vs 25%) dan lebih sering tumor mucinosa (35% vs 20%), HNPCC dibagi dalam 2
varian yaitu, Sindroma Lynch I dan ll. Syndroma Lynch I terisolir, KKR ,muncul awal
sedangkan sindroma Lynch l, mucosal bersamaan dengan karslnoma ditempat lain (misalnya
endometrium, ovarium, traktus urinarius, lambung danusus halus).

5. Penyakit yang Berhubungan dengan KKR


Inflammatory Bowel Disease (IBD). Khususnya colitis Ulcerative berhubungan dengan
meningkatnya risiko KKR. Risiko KKR tergantung rentang waktu dan luasnya inflamasi.
Demikian juga pasien kanker serviks yang menjalani radioterapi atau pasien kanker kandung
kemih yang menjalani uretero- sigmoidektomi mempunyai risiko untuk mendapat KKR yang
lebih tinggi. Keadaan klinis lainnya yang berhubungan dengan KKR meliputi bakteremia
oleh Streptokokus group D, infeksi skistosoma haematobium dan akromegali.
Prevensi Primer. Beberapa jenis obat telah diteliti memiliki kemampuan menghambat KKR.
Diantara obat-obat ini yang paling efektif adalah aspirin dan obat anti inflamasi non-steroid
lainnya yang juga bersifat menghambat proliferasi sel melalui supresi sintesis prostaglandin.
Suplemen asam folat dan kalsium menurunkan risiko timbulnya polip adenomatosa dan
KKR. Estrogent repLacement therapy mempunyai hubungan dengan penurunan risiko KKR
pada perempuan.
Penapisan. Alasan melakukan penapisan KKR adalah untuk deteksi dini, lesi yang masih
terbatas superfisial pada individu yang asimptomatik untuk meningkatkan angka kesembuhan
dari pembedahan.
Modalitas untuk penapisan KKR di antaranya tes darah samar feses, pemeriksaan enema
barium kontras ganda. Sigmoidoskopi fleksibel dan kolonoskopi. Kolonoskopi dianggap yang
paling cost effective dan dianjurkan dilakukan setiap 10 tahun bagi individu dengan risiko
sedang. Sementara untuk kelompok risiko yang lebih tinggi sebaiknya dilakukan setiap 3-5
tahun.
Akhir-akhir ini telah ditemukan cara-cara baru untuk mengetahui adanya perubahan genetik
mukosa kolon dengan pemeriksaan feses di antaranya adalah pemeriksaan COX-2 pada feses.

6. Stadium, Faktor Prognostik dan Pola Penapisan


Prognosis pasien KKR berhubungan dengan dalamnya penetrasi tumor ke dinding kolon,
keterlibatan KGB regional atau metastasis jauh. Semua variabel ini digabung sehingga dapat
ditentukan sistem stoging yang awalnya dikembangkan oleh Dukes dan diaplikasi dalam
metode klasifikasi TNH dalam hal ini, T menunjukkan kedalaman penetrasi tumor, N
menandakan keterlibatan kelenjar getah bening dan M ada tidaknya metastasis jauh.
Lesi superfisialyang tidak mencapai lapisan muskularis atau KGB dianggap sebagai stadium
A (T1N0M0), tumor yang merasuk lebih dalam namun tidak menyebar ke KGB
dikelompokkan sebagai stadium B1 (T2N0M0). Bila tumor terbatas sampai lapisan
muskularis disebut stadium 82 (T3N0M0,). Bila tumor menginfiltasi serosa dan KGB disebut
stadium C (Tx,N1M0), dan bila terdapat anak sebar di hati, paru, atau tulang mempertegas
stadium D (Tx,Nx,M1). Bila status metastasis belum dapat dipastikan maka sulit menentukan
stadium. Oleh karena itu pemeriksaan mikroskopik terhadap spesimen bedah sangat penting
dalam menentukan stadium.
Umumnya rekurensi kanker kolorektal terjadi dalam 4 tahun setelah pembedahan sehingga
harapan hidup rata-rata 5 tahun dapat menjadi indikator kesembuhan.
Kanker kolorektal umumnya menyebar ke KGB regional atau ke hati melalui sirkulasi vena
portal. Hati merupakan organ yang paling sering mendapat anak sebar KGB. Sepertiga kasus
KKR yang rekuren disertai dengan metastasis ke hati dan duapertiga pasien KKR ditemukan
metastasis di hati pada waktu meninggal. KKR jarang bermetastasis ke paru. KGB
superklavikula tulang atau otak tanpa ditemukan anak sebar di hati terlebih dahulu.
Pengecualian terjadi bilamana tumor dapat terletak di distal rektum, sel tumor dapat
menyebar melalui pleksus vena paravertebrae kemudian dapat mencapai paru atau KGB
supraklavikula tanpa melewati sistem vena porta. Rata-rata harapan hidup setelah ditemukan
metastasis berkisar 6-9 bulan (hepatomegaly & gangguan pada hati) atau 20-30 bulan (nodul
kecil di hati yang ditandai oleh peningkatan CEA dan gambaran CT-Scan).
7. Gambaran Klinis
Keluhan Utama
Kebanyakan kasus KKR didiagnosis pada usia sekitar 50 tahun dan umumnya sudah
memasuki stadium lanjut sehingga prognosisnya juga buruk. Keluhan yang paling sering
dirasakan pasien KKR di antaranya: perubahan pola buang air besar, perdarahan per anus
(hematokezia) dan konstipasi.
Kanker kolorektal umumnya berkembang lamban, keluhan dan tanda-tanda fisik timbul
sebagai bagian dari komplikasi seperti obstruksi, serta perdarahan akibat invasi lokal, dan
kakeksia. Obstruksi kolon biasanya terjadi di kolon transversum. Kolon descenden dan kolon
sigmoid karena ukuran lumennya lebih kecil daripada bagian kolon yang lebih proksimal.
Obstruksi parsial awalnya ditandai dengan nyeri abdomen. Namun bila obstruksi total terjadi
akan menyebabkan nausea, muntah, distensi dan obstipasi.
Kanker kolorektal dapat berdarah sebagai bagian dari tumor yang rapuh dan mengalami
ulserasi. Meskipun perdarahan umunnya tersamar namun hematokezia timbul pada sebagian
kasus. Tumor yang terletak lebih distal umumnya disertai hematokezia atau darah dalam
feses tetapi tumor yang proksimal sering disertai dengan anemia defesiensi besi.
lnvasi lokal dari tumor menimbulkan tenesmus, hematuria,infeksi saluran kemih berulang dan
obstruksi uretra. Akut abdomen dapat terjadi jika tumor tersebut menimbukan perforasi.
Kadang timbul fistula antara kolon dengan lambung atau usus halus. Asites maligna dapat
terjadi akibat invasi tumor ke.lapisan serosa dan sebaran ke peritoneal. Metastasis jauh ke
hati dapat menimbulkan nyeri perut, ikterus dan hipertensi portal.

8. Pendekatan Diagnosis
Prosedur Diagnosis pada Pasien dengan Gejala
Keberadaan kanker kolorektal dapat dikenali dari beberapa tanda seperti: anemia mikrositik,
hematokezia, nyeri perut, berat badan turun atau perubahan defekasi, oleh sebab itu perlu
segera dilakukan pemeriksaan endoskopi atau radiologi. Temuan darah samar di feses
memperkuat dugaan neoplasia namun bila tidak ada darah samar tidak dapat menyingkirkan
lesi neoplasma.
Laboratorium. Umumnya pemeriksaan laboratorium pada pasien adenoma kolon
memberikan hasil normal. Perdarahan intermitten dan polip yang besar dapat dideteksi
melalui darah samar feses atau anemia defisiensi besi.
Pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan enema barium kontras ganda hanya mampu
mendeteksi 50% polip kolon dengan spesifisitas 85%. Bagian rektosigmoid sering sulit untuk
divisualisasi meskipun bila dibaca oleh ahli radiologi senior. Oleh karena itu pemeriksaan
rektosigmoidoskopi masih diperlukan. Bilamana ada lesi yang mencurigakan pemeriksaan
kolonoskopi diperlukan untuk biopsi. Pemeriksaan lumen barium teknik kontras ganda
merupakan alternatif lain untuk kolonoskopi namun pemeriksaan ini sering tak bisa
mendeteksi lesi berukuran kecil. Enema barium cukup efektif untuk memeriksa bagian kolon
di balik striktur yang tak terjangkau dengan pemeriksaan kolonoskopi.
Kolonoskopi. Kolonoskopi merupakan cara pemeriksaan mukosa kolon yang sangat akurat
dan dapat sekaligus melakukan biopsi pada lesi yang mencurigakan. Pemeriksaan kolon yang
lengkap dapat mencapai >95% pasien. Rasa tidak nyaman yang timbul sangat tergantung
pada operator untuk itu sedikit obat penenang intravena akan sangat membantu meskipun ada
risiko perforasi dan perdarahan, tetapi kejadian seperti ini kurang dari 0,5%. Kolonoskopi
dengan enema barium, diindikasikan terutama untuk mendeteksi lesi kecil seperti adenoma.
Masalah biaya sering dipersoalkan pada penggunaan kolonoskopi untuk pemeriksaan
penapisan. Sejumlah studi telah membuktikan bahwa kolonoskopi merupakan pemeriksaan
yang paling akurat dan sangat cost effective untuk pemeriksaaan pasien yang simptomatik.
Kolonoskopi merupakan prosedur terbaik pada pasien yang diperkirakan mempunyai polip
kolon. Kolonoskopi mempunyai sensitivitas (95%) dan spesifisitas (99%) paling tinggi
dibanding modalitas yang lain untuk mendeteksi polip adenomatosus. Di samping itu dapat
melakukan biopsi dan tindakan polipektomi untuk mengangkat polip. Secara endoskopi sulit
untuk membedakan jenis-jenis polip secara histologi, oleh karena itu blopsi dan polipektomi
penting untuk menegakkan diagnosis secara histologi.
Evaluasi histologi. Adenoma diklasifikasikan sesuai dengan gambaran histologi yang
dominan. Yang paling sering adalah adenoma tubular (95%), adenoma tubulovilosum (10%)
dan adenom serrata (1%). Temuan sel atipik pada adenoma dikelompokkan menjadi ringan,
sedang dan berat. Gambaran atipik berat menunjukkan adanya fokus karsinomatosus namun
belum menyentuh membran basalis. Bilamana sel ganas menembus membrane basalis tapi
tidak melewati muskularis mukosa disebut karsinoma intra mukosa. Secara umum, risiko
displasi berat atau adenokarsinoma berhubungan dengan ukuran polip dan dominasi jenis
vilosum.
Penapisan pada pasien tanpa gejala. Sebenarnya KKR dapat diobati bila terdeteksi pada
stadium dini. Saat ini usaha tersebut diarahkan untuk mendeteksi adenoma preneoplastik dan
kanker dini. Sejumlah negara sudah memulai penapisan pada masyarakat luas sebelum ada
gejala.
Penapisan pada masyarakat luas dilakukan dengan beberapa cara seperti: tes darah samar dari
feses dan sigmoidoskopi. Pilihan pemeriksaan penapisan untuk masyakarat luas meliputi:
• FOBT (FecaL Occult Blood Test) setahun sekali .
• Sigmoidoskopi fleksibel setiap 5 tahun .
• Enema barium kontras ganda setiap 5 tahun .
• Kolonoskopi setiap 10 tahun
Telah dibuktikan bahwa penapisan KKR dengan modalitas tersebut di atas dapat mendeteksi
kanker dini, lebih lanjut beberapa penelitian terkini membuktikan adanya peningkatan masa
harapan hidup pasien KKR.
Modalitas lain untuk penapisan KKR di antaranya virtual kolonoskopi atau kolonografi
dengan memanfaatkan alat CT Scan multislice. Cara ini sangat menjanjikan namun
kemampuannya untuk mendeteksi polip berukuran < 1cm rendah baik spesifitas maupun
sensitivitasnya.

9. Penatalaksanaan
Perjalanan Alami
Meskipun adenoma kolon merupakan lesi premaligna, namun perjalanan menjadi
adenokarsinoma belum diketahui. Literature lama dari laporan pengamatan jangka panjang
menunjukkan bahwa perkembangan menjadi adenokarsinoma dari polip 1cm 3% setelah 5
tahun, 8% setelah 10tahun, dan 24% setelah 20 tahun diagnosis ditegakkan.
Pertumbuhan dan potensi menjadi ganas bervariasi secara substansial. Rata-rata waktu yang
dibutuhkan untuk perubahan adenoma menjadi adenokarsinoma adalah 7 tahun. Laporan lain
menunjukkan perubahan polip adenomatosus dengan atipia berat menjadi kanker
membutuhkan waktu rat-rata 4 tahun sementara bila atipia sedang 11 tahun.
Pengobatan
Kemoprevensi. Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) termasuk aspirin dianggap
berhubungan dengan penurunan mortalitas KKR. Beberapa OAINS seperti Sulindac dan
Celecoxib telah terbukti secara efektif menurunkan insiden berulangnya adenoma pada pasien
dengan FAP. Data epidemiologi menunjukkan adanya penurunan risiko kanker dikalangan
pemkai OAIN namun bukti yang telah mendukung manfaat pemberian aspirin dan OAINS
lainnya untuk mencegah KKR sporadic masih lemah.
Endoskopi dan Operasi. Umumnya polip adenomatosus dapat diangkat dengan tindakan
polipektomi. Bila ukuran <5mm maka pengangkatan cukup dengan biopsy atau dengan
elektrokoagulasi bipolar. Disamping polipektomi, KKR dapat diatasi dengan operasi. Indikasi
untuk hemikolektomi adalah tumor caecum, kolon asenden, dan kolom transversum. Lesi di
feksura linealis dan kolon desenden diatasi dengan hemiektomi kiri.
Tumor di sigmoid dan rectum proksimal dapat diangkat dengan tindakan LAR (Low Anterior
Resection), angka mortalitas akibat operasi sekitar 5% tetapi bila operasi dikerjakan secara
emergensi maka mortalitas menjadi lebih tinggi. Reseksi metastasis di hati dapat memberikan
hasil 25-35% rata-rata masa bebas tumor (disease free survival rate)
s Pasien Dukes A jarang mengalami rekurensi sehingga tidak perlu terapi adjuvant. Pasien
KKR dukes C yang mendapatkan levamisol dan 5 FU secara signifikan meningkatkan
harapan hidup dan masa interval bebas tumor (disease free interval). Kemoterapi adjuvant
tidak berpengaruh pada KKR dukes B. Irinotecan (CPT 11) inhibitor topoisomer dapat
memperpanjang masa harapan hidiup. Oxaliplatin analog platinum juga memperbaiki respon
setelah diberikan 5 FU dan leucovorin. Manjemen KKR yang non reseksibel
• Nd-YAG foto koagulasi laser
• Self expanding metal endoluminal stent
DAFTAR PUSTAKA

1. Townsend, Courtney M. 2007. Sabiston Textbook of Surgery, 18th ed. Saunders, An


Imprint of Elsevier.
2. Debas, Haile T. 2003. Gastrointestinal Surgery : Pathofisiology and Management.
New York : Springer. Hal : 311-318
3. Brunicardi, F. Charles. 2010. Schwartz’s Principles of Surgery, ninth edition. The
McGraw-Hill Companies, Inc. United States of America.
4. Stead, G. Latha. 2003. Firts Aid for the Surgery Clerkship. McGraw-Hill Companies,
Inc. United States of America.
5. Klingensmith, Mary E dkk. 2008. Washington Manual of Surgery, 5th Edition.
Lippincott Williams & Wilkins.
6. American Gastroenterological Association. 2003. Reviews : Postoperatives Ileus :
Etiologies and Interventions. University of California San Fransisco : California.
7. Badash, Michelle. Paralytic Ileus (Adynamic Ileus, Non-mechanical Bowel
Obstruction). EBSCO Publishing, 2005.
8. Basson, M.D.: Colonic Obstruction. Editor: Ochoa, J.B., Talavera, F., Mechaber, A.J.,
and Katz, J. http://www.emedicine.com. Last Updated, June 14, 2004.
9. Davidson, Intestinal Obstruction. 2006. Available at: http//www.mayoclinic.com.
10. Fiedberg, B. and Antillon, M.: Small-Bowel Obstruction. Editor: Vargas, J., Windle,
W.L., Li, B.U.K., Schwarz, S., and Altschuler, S. http://www.emedicine.com. Last
Updated, June 29, 2004.
11. Hamami, AH., Pieter, J., Riwanto, I., Tjambolang, T., dan Ahmadsyah, I. Usus Halus,
apendiks, kolon, dan anorektum. Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Editor:
Sjamsuhidajat, R. dan De Jong, Wim. Jakarta: EGC, 2003. Hal: 615-681.
12. Levine, B.A., and Aust, J.B. Kelainan Bedah Usus Halus. Dalam Buku Ajar Bedah
Sabiston’s essentials surgery. Editor: Sabiston, D.C. Alih bahasa: Andrianto, P., dan
I.S., Timan. Editor bahasa: Oswari, J. Jakarta: EGC, 1992.

Anda mungkin juga menyukai