Anda di halaman 1dari 29

1. Shuhart, Margaret, M.D., Kris Kowdley, M.D., dan Bill Neighbor, M.D.

,
2. “Gastrointestinal Bleeding”. Medline Article, Vol.41,
3. http://www.uwgi.org/guidelines/ch_07/ch07txt.htm (diunduh pada tanggal: 27 Oktober
4. 2011
5. Shuhart, Margaret, M.D., Kris Kowdley, M.D., dan Bill Neighbor, M.D.,
6. “Gastrointestinal Bleeding”. Medline Article, Vol.41,
7. http://www.uwgi.org/guidelines/ch_07/ch07txt.htm (diunduh pada tanggal: 27 Oktober
8. 2011
9. Shuhart, Margaret, M.D., Kris Kowdley, M.D., dan Bill Neighbor, M.D.,
10. “Gastrointestinal Bleeding”. Medline Article, Vol.41,
11. http://www.uwgi.org/guidelines/ch_07/ch07txt.htm (diunduh pada tanggal: 27 Oktober
12. 2011
13.
14. Shuhart, Margaret, M.D., Kris Kowdley, M.D., dan Bill Neighbor, M.D.,
15. “Gastrointestinal Bleeding”. Medline Article, Vol.41,
16. http://www.uwgi.org/guidelines/ch_07/ch07txt.htm (diunduh pada tanggal: 27 Oktober
17. 2011
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang

Perdarahan saluran cerna merupakan masalah yang sering dihadapai. Manifestasinya


bervariasi mulai dengan perdarahan masif yang mengancam jiwa hingga perdarahan samar
yang tidak dirasakan. Pendekatan pada pasien dengan perdarahan dan lokasi perdarahan
saluran cerna adalah dengan menentukan beratnya perdarahan dan lokasi perdarahan.
Hematemesis (muntah darah segar atau hitam) menunjukkan perdarahan dari saluran cerna
bagian atas, proksimal dari ligamentum Treitz. Melena (tinja hitam, bau khas) biasanya
akibat perdarahan saluran cerna bagian atas, meskipun demikian perdarahan dari usus halus
atau kolon bagian kanan, juga dapat menimbulkan melena. 1
Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) dibedakan perdarahan varises esofagus
dan non-varises, karena antara keduanya terdapat ketidaksamaan dalam pengelolaan dan
prognosisnya. Manifestasi klinik perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) bisa beragam
tergantung lama, kecepatan, banyak sedikitnya darah yang hilang, dan apakah perdarahan
berlangsung terus menerus atau tidak.1
Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA) merupakan salah satu penyakit yang
sering dijumpai di bagian gawat darurat rumah sakit. Sebagian besar pasien datang dalam
keadaan stabil dan sebagian lainnya datang dalam keadaan gawat darurat yang memerlukan
tindakan yang cepat dan tepat. Kejadian perdarahan akut saluran cerna ini tidak hanya terjadi
diluar rumah sakit saja namun dapat pula terjadi pada pasien-pasien yang sedang menjalani

1
perawatan di rumah sakit terutama di ruang perawatan intensif dengan mortalitas yang cukup
tinggi. 1
Perdarahan saluran cerna bagian atas memiliki prevalensi sekitar 75 % hingga 80 %
dari seluruh kasus perdarahan akut saluran cerna. Insidensinya telah menurun, tetapi angka
kematian dari perdarahan akut saluran cerna, masih berkisar 3 % hingga 10 %, dan belum ada
perubahan selam 50 tahun terakhir.1

I.2 Anatomi Saluran Cerna Bagian Atas

Yang termasuk dalam saluran cerna bagian atas adalah saluran cerna di atas
(proksimal) ligamentum Treitz, dimulai dari jejunum proksimal, duodenum, gaster dan
esofagus. Pemisahan duodenum dan jejunum ditandai oleh adanya ligamentum Treitz, yaitu
suatu pita muskulofibrosa yang berorigo pada krus dekstra diafragma dekat hiatus esofagus
dan berinsersio pada perbatasan antara duodenum dan jejunum. Ligamentum ini berperan
sebagai ligamentum suspensorium (penggantung).1

Gambar 1. Sketsa saluran cerna bagian atas.

2
Gambar 2. Ligamentum treitz

I.2.1 Esofagus

Gambar 3. Bentuk anatomi dari esofagus

Esofagus merupakan suatu saluran yang panjangnya 25 cm terbentang dari pharynx


sampai gaster. Bagian terbesar esofagus terletak di daerah thorax. Bagian yang di abdomen di
bawah diaphragma disebut pars abdominalis esophagei. Esofagus Bersama nervus vagus
menembus crus dextrum diaphragma pada suatu lubang yang disebut hiatus esophagei pada

3
setinggi vertebra thoracal 9 atau 10 sedikit di sebelah kiri garis tengah. Pars abdominalis
esophagei yang panjangnya kurang lebih 1,25cm membentuk lekukan pada lobus kiri
hepar(impression esophagei hepatis), dan masuk ke bagian lambung yang disebut cardia
ventriculi di bagian rawan iga 7 kiri. Peralihan esofagus ke dalam lambung disebut ostium
cardiacum. Gelombang kontraksi dari jaringan otot (peristaltik) mendorong makanan ke
dalam lambung. Meskipun secara anatomis tidak terdapat sphincter, namun otot polos
circularis pada ujung bawah esofagus secara fisiologi berfungsi sebagai sphincter yang
mengatur masuknya makanan dari esofagus ke lambung dan mencegah terjadinya reflux isi
lambung ke esofagus. Jika tidak sedang makan, kontraksi tonus sphincter tersebut mencegah
reflux. Penutupan sphincter ini d bawah control vagal, diperkuat oleh hormon gastrin, dan
berkurang terhadap respon dari secretin, cholecytokin dan glucagon, disfungsi sphincter ini
dapat berakibat tertumpuknya makanan di dalam esofagus pars thoracalis sehingga terjadi
dilatasi (pelebaran). Esofagus ke depan berhubungan dengan permukaan posterior lobus
hepar dan kebelakang dengan crus sinistrum diafraghma.1
Pars abdominalis esophagei mendapat darah dari r.esophagei.a.gastrica sinistra dan
cabang cabang a. phrenica inferior. Vena mengalirkan darah ke v.zygos atau v.gastrica
sinistra. Persarafan esofagus diurus oleh r. anterior et posterior n. vagus (system
parasimpatis), dan dari system simpatikus melalui nervus splanchnici.1
Dinding esofagus seperti juga bagian lain saluran gastrointestinal, terdiri atas
empat lapisan: mukosa, submukosa, muskularis, dan serosa (lapisan luar). Lapisan mukosa
bagian dalam terbentuk dari epitel gepeng berlapis yang berlanjut ke faring di ujung atas;
epitel lapisan ini mengalami perubahan mendadak pada perbatasan esofagus dalam lambung
(garis – Z) dan menjadi epitel toraks selapis. Mukosa esofagus dalam keadaan normal bersifat
alkali dan tidak tahan terhadap isi lambung yang sangat asam. Lapisan submukosa
mengandung sel – sel sekretori yang memproduksi mukus. Mukus mempermudah jalannya
makanan sewaktu menelan dan melindungi mukosa dari cedera akibat zat kimia. Lapisan otot
lapisan luar tersusun longitudinal dan lapisan dalam tersusun sirkular. Otot yang terdapat di
5% bagian atas esofagus adalah otot rangka, sedangkan otot di separuh bagian bawah adalah
otot polos. Bagian di antaranya terdiri dari campuran otot rangka dan otot polos. Berbeda
dengan bagian saluran cerna lainnya, tunika serosa (lapisan luar) esofagus tidak memiliki
lapisan serosa ataupun selaput peritoneum, melainkan lapisan ini terdiri atas jaringan ikat
longgar yang menghubungkan esofagus dengan struktur – struktur yang berdekatan. Tidak
adanya serosa menyebabkan semakin cepatnya penyebaran sel – sel tumor (pada kasus
kanker esofagus) dan meningkatnya kemungkinan kebocoran setelah operasi.2
4
I.2.2 lambung (gaster)
Lambung adalah perluasan organ berongga besar menyerupai kantung dalam rongga
peritoneum yang terletak diantara esofagus dan usus halus. Dalam keadaan kosong, lambung
menyerupai tabung bentuk J, dan bila penuh, berbentuk seperti buah pir raksasa. Lambung
terdiri dari antrum kardia (yang menerima esofagus), fundus besar seperti kubah, badan
utama atau korpus dan pylorus.3
Secara anatomis ventriculus terbagi atas kardiaka, fundus, korpus, dan pilorus.
Sphincter cardia mengalirkan makanan masuk ke dalam ventriculus dan mencegah refluks isi
ventrikulus memasuki oesophagus kembali. Di bagian pilorus ada sphincter piloricum. Saat
sphincter ini berelaksasi makanan masuk ke dalam duodenum, dan ketika berkontraksi
sphincter ini mencegah terjadinya aliran balik isi duodenum (bagian usus halus) ke dalam
ventriculus.4

Gambar 4. Anatomi Lambung manusia

Perdarahan lambung berasal dari arteri gastrica sinistra yang berasal dari truncus
coeliacus, arteri gastric dekstra yang dilepaskan dari arteri hepatica, arteri gastroepiploica
cabang dari arteri gastricaduodenalis, 10 arteri gastroepiploica cabang dari arteri
gastricaduodenalis, arteri gastro-omentalis yang berasal dari arteri splenica, dan arteri gastrica
breves berasal dari distal arteri splenica.5

5
Gambar 5. Arteri-arteri gaster

Vena-vena lambung mengikuti arteri-arteri yang sesuai dalam hal letak dan lintasan.
Vena gastrica dekstra dan vena-vena gastrica sinistra mencurahkan isinya ke dalam vena
porta hepatis, dan vena gastrica breves dan vena gastro-omentalis membawa isinya ke vena
splenica yang bersatu dengan vena mesentrika superior untuk membentuk vena porta hepatis.
Vena gastro-omentalis dekstra bermuara dalam vena mesentrica superior.5

Gambar 6. Penyaluran vena-vena gaster

6
Pembuluh limfe lambung mengikuti arteri sepanjang curvatura mayor dan curvatura
gastric minor. Pembuluh-pembuluh ini menyalurkan limfe dari permukaan ventral dan
permukaan dorsal lambung kedua curvatura tersebut utuk dicurahkan ke dalam nodi
lymphoidei gastroepiploici yang tersebar ditempat tersebut. Pembuluh eferen dari kelenjar
limfe ini mengikuti arteri besar ke nodi lymphoidei coeliaci. Persarafan lambung parasimpatis
berasal dari truncus vagalis anterior dan truncus vagalis posterior serta cabangnya. Persarapan
simpatis berasal dari segmen medula spinalis T6-T9 melalui plexus coeliacus dan disebarkan
melalui plexus sekeliling arteria gastrica dan arteria gastro-omentalis.5

I.2.1 Duodenum dan Jejenum

Panjang duodenum adalah sekitar 25 cm, mulai dari pilorus hingga jejunum. Sekitar
duaperlima dari sisa usus halus adalah jejunum, dan tiga perlima bagian akhirnya adalah
ileum. Jejunum terletak di regio mid-abdominalis sinistra, sedangkan ileum cenderung
terletak di regio abdominalis dekstra sebelah bawah. Masuknya kimus ke dalam usus halus
diatur oleh sfingter pilorus, sedangkan pengeluaran zat yang telah tercerna ke dalam usus
besar diatur oleh katup ileosekal.6

Gambar 7. Bentuk anatomi dari duodenum dan jejunum.

Dinding usus halus terdiri atas 4 lapisan dasar. Yang paling luar (lapisan serosa)
dibentuk oleh peritoneum. Peritoneum mempunyai lapisan viseral dan parietal, dan ruang
yang terletak di antara lapisan – lapisan ini disebut sebagai rongga peritoneum. Peritoneum
melipat dan meliputi hampir seluruh visera abdomen.7
Otot yang melapisi usus halus mempunyai dua lapisan: lapisan luar terdiri atas serabut
– serabut longitudinal yang lebih tipis, dan lapisan dalam terdiri atas serabut – serabut
sirkular. Penataan yang demikian membantu gerakan peristaltik usus halus. Lapisan

7
submukosa terdiri atas jaringan ikat, sedangkan lapisan mukosa bagian dalam tebal serta
banyak mengandung pembuluh darah dan kelenjar.7
Usus halus dicirikan dengan adanya tiga struktur yang sangat menambah luas
permukaan dan membantu fungsi utamanya yaitu absorpsi. Lapisan mukosa dan submukosa
membentuk lipatan – lipatan sirkular yang disebut sebgai valvula koniventes (lipatan
Kerckring) yang menonjol ke dalam lumen sekitar 3 sampai 10 mm. Adanya lipatan – lipatan
ini menyebabkan gambaran usus halus menyerupai bulu pada pemeriksaan radiografi. Villi
merupakan tonjolan – tonjolan mukosa seperti jari – jari yang jumlahnya sekitar empat atau
lima juta dan terdapat di sepanjang usus halus. Villi panjangnya 0,5 sampai 1,5 mm dan
menyebabkan gambaran mukosa menjadi menyerupai beludru. Mikrovilli merupakan
tonjolan menyerupai jari – jari yang panjangnya sekitar 1 m pada permukaan luar setiap vilus.
Mikrovili terlihat dengan pemeriksaan mikroskop elektron dan tampak sebagai brush border
pada pemeriksaan mikroskop cahaya. Bila lapisan permukaan usus halus ini rata, maka luas
permukaannya hanya sekitar 2.000 cm2. Valvula koniventes, vili, dan mikrovili sama – sama
menambah luas permukaan absorpsi hingga 1,6 juta cm2, yaitu meningkat sekitar seribu kali
lipat. Penyakit – penyakit usus halus (mis.,sprue) yang menyebabkan terjadinya atrofi dan
pendataran vili, sangat mengurangi luas permukaan absorpsi dan mengakibatkan terjadinya
malabsorpsi.7

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Definisi
Perdarahan saluran cerna bagian atas adalah perdarahan yang terjadi dan berasal pada
area proksimal saluran pencernaan bagian proximal dari Ligamentum Treitz. Yang termasuk
organ – organ saluran cerna di proximal Ligamentum Trieitz adalah esofagus, lambung
(gaster), duodenum dan sepertiga proximal dari jejunum. Kejadian perdarahan saluran cerna
bagian atas merupakan yang paling sering terjadi dan sering ditemukan dibandingkan dengan
kejadian perdarahan saluran cerna bagian bawah. Lebih dari 50% kejadian perdarahan saluran
cerna bagian atas dikarenakan oleh penyakit erosif dan ulseratif dari gaster dan/atau
duodenum.8
Perdarahan saluran cerna bagian atas (PSCBA) adalah kehilangan darah dari saluran
cerna atas, di mana saja, mulai dari esofagus sampai dengan duodenum (dengan batas
anatomik di ligamentum Treitz), dengan manifestasi klinis berupa hematemesis, melena,
9
hematoskezia atau kombinasi.

II.2 Epidemiologi

Perdarahan saluran cerna merupakan salah satu kasus kegawatan di bidang


gastroenterologi yang saat ini masih menjadi permasalahan di bidang kesehatan dan
perekonomian dunia. Selama empat dekade terakhir ini tidak terdapat perubahan angka
kejadian meskipun telah dicapai kemajuan dalam pengelolaan atau terapi. Peningkatan
insidensi di sebagian negara berhubungan dengan penggunaan aspirin dan obat antiinflamasi
non steroid (OAINS). Selain itu, prevalensi perdarahan SCBA sangat bervariasi berdasarkan
umur, jenis kelamin dan beberapa faktor lainnya. Hasil akhir berupa perdarahan ulang dan
kematian merupakan akibat dari penatalaksanaan yang kurang adekuat.10
Di Amerika Serikat angka kejadiannya berkisar antara 50-150 per 100.000 penduduk
per tahun. Angka kematiannya bervariasi antara 4-14% tergantung pada kondisi pasien dan
penanganan yang tepat. Pasien dengan komplikasi atau tanpa komplikasi di Amerika serikat
rata-rata lama rawat inap adalah 4,4 dan 2,7 hari dengan biaya perawatan sebesar 5632 US
dollar dan 3402 US dollar. Umumnya 80% dari kasus dapat berhenti dengan sendirinya. 10%
kasus membutuhkan prosedur intervensi untuk mengontrol perdarahan. 10

9
Dari 1673 kasus perdarahan saluran cerna bagian atas di SMF Penyakit Dalam RSU
dr.Sutomo Surabaya, 76.9% disebabkan oleh pecahnya varises esofagus, 19.2% oleh gastritis
erosif, 1.0% oleh tukak peptik dan 0.6% oleh kanker lambung, dan 2.6% oleh karena sebab –
sebab yang lain. Laporan dari RS pemerintah di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta urutan 3
penyebab terbanyak perdarahan saluran cerna bagian atas sama dengan di RSU dr.Sutomo
Surabaya.10

II.3 Etiopatologi
Banyak kemungkinan penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas yaitu 11:
1. Duodenal ulcer

2. Gastric atau duodenal erosions

3. Varices

4. Gastric ulcer

5. Mallory – Weiss tear

6. Erosive esophagitis

7. Angioma

8. Arteriovenous malformation

9. Gastrointestinal stromal tumors

Secara teoritis lengkap terjadinya penyakit atau kelainan saluran cerna bagian
atas disebabkan oleh ketidakseimbangan faktor agresif dan faktor defensif, dimana faktor
agresif meningkat atau faktor defensifnya menurun. Yang dimaksud dengan faktor
agresif antara lain asam lambung, pepsin, refluks asam empedu, nikotin, obat anti
inflamasi non steroid (OAINS) dan obat kortikosteroid, infeksi Helicobacter pylori dan
faktor radikal bebas , khususnya pada pasien lanjut usia. Yang dimaksud dengan faktor
defensif yaitu aliran darah mukosa yang baik, sel epitel permukaan mukosa yang utuh,
prostaglandin, musin atau mukus yang cukup tebal, sekresi bikarbonat, motilitas yang
normal, impermeabilitas mukosa terhadap ion H+ dan regulasi pH intra sel.11
Penyebab varises esofagus merupakan yang terbanyak di Indonesia, disebabkan oleh
penyakit sirosis hati. Sirosis hati di Indonesia masih banyak disebabkan oleh infeksi
virus hepatitis B dan hepatitis C. Varises esofagus adalah vena collateral yang

10
berkembang sebagai hasil dari hipertensi sistemik ataupun hipertensi segmental portal.
Saat ini, faktor-faktor terpenting yang bertanggung jawab atas terjadinya perdarahan
varises adalah: tekanan portal, ukuran varises, dinding varises dan tegangannya, dan
tingkat keparahan penyakit hati.11
Pada gagal hepar seperti sirosis hepatis kronis, kematian sel dalam hepar
mengakibatkan peningkatan tekanan vena porta. Sebagai akibatnya terbentuk saluran
kolateral dalam submukosa esophagus dan rektum serta pada dinding abdomen anterior
untuk mengalihkan darah dari sirkulasi splenik menjauhi hepar. Dengan meningkatnya
tekanan dalam vena ini, maka vena tersebut menjadi mengembang dan membesar
(dilatasi) oleh darah dan timbul varises. Varises bisa pecah, mengakibatkan perdarahan
gastrointestinal masif. Selanjutnya dapat mengakibatkan kehilangan darah tiba-tiba,
penurunan arus balik vena ke jantung dan penurunan curah jantung. Jika perdarahan
menjadi berlebihan, maka akan mengakibatkan penurunan perfusi jaringan. 12
Dalam berespon terhadap penurunan curah jantung, tubuh melakukan mekanisme
kompensasi untuk mencoba mempertahankan perfusi. Mekanisme ini merangsang tanda-
tanda dan gejala utama yang terlihat. Jika volume darah tidak digantikan, penurunan
perfusi jaringan mengakibatkan disfungsi seluler. Sel-sel akan berubah menjadi
metabolisme anaerob dan terbentuk asam laktat. Penurunan aliran darah akan
mengakibatkan/ memberi efek pada seluruh sistem tubuh dan tanpa suplai oksigen yang
mencukupi sistem tersebut akan mengalami kegagalan.12

Gambar.8 proses regenerasi sel hati yang terganggu


Penyebab perdarahan non varises yang banyak di Indonesia yaitu gastritis erosif, tukak
peptik. Gastritis erosif dan tukak peptik ini berhubungan dengan pemakaian obat anti

11
inflamasi non steroid (OAINS), infeksi Helicobacter pylori dan stres. Penggunaan NSAIDs
merupakan penyebab umum terjadi tukak gaster. Penggunaan obat ini dapat mengganggu
proses peresapan mukosa, proses penghancuran mukosa, dan dapat menyebabkan cedera.
Sebanyak 30% orang dewasa yang menggunakan NSAIDs mempunyai GI yang kurang baik.
Faktor yang menyebabkan peningkatan penyakit tukak gaster dari penggunaan NSAIDs
adalah usia, jenis kelamin, pengambilan dosis yang tinggi atau kombinasi dari NSAIDs,
penggunaan NSAIDs dalam jangka waktu yang lama, penggunaan disertai antikoagulan, dan
severe comorbid illness. Walaupun prevalensi penggunaan NSAIDs pada anak tidak
diketahui, tetapi sudah tampak adanya peningkatan, terutama pada anak dengan arthritis
kronik yang dirawat dengan NSAIDs. Penggunaan kortikosteroid saja tidak meningkatkan
terjadinya tukak gaster, tetapi penggunaan bersama NSAIDs mempunyai potensi untuk
menimbulkan tukak gaster.13

Gambar 9. Patofisiologi pendarahan saluran cerna atas akibat NSAIDA

Sindroma Mallory-Weiss adalah sebuah kondisi di mana lapisan mukosa di bagian distal
esophagus pada gastroesophageal junction mengalami laserasi yang dapat menyebabkan
hematemesis (muntah darah). Laserasi seringkali juga menyebabkan perdarahan arteri
submukosa. Perdarahan muncul ketika luka sobekan telah melibatkan esophageal venous atau

12
arterial plexus. Pasien dengan hipertensi portal dapat meningkatkan resiko daripada
perdarahan dibandingkan dengan pasien hipertensi non-portal. Sindrom Mallory-Weiss
biasanya sekunder terhadap peningkatan mendadak tekanan intraabdominal. Faktor pencetus
meliputi muntah, mengedan saat buang air besar, mengangkat beban, batuk, kejang epilepsi,
cegukan di bawah anestesi, dada tertekan, trauma abdomen, preparat kolonoskopi dan
gastroskopi.14

Gambar 10. Sindroma Mallory-Weiss


II.4 Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda klinis perdarahan saluran cerna bagian atas yang sering ditemukan
pada pasien adalah:
1. Anemia defisiensi besi akibat perdarahan tersembunyi yang telah berlangsung lama.
2. Hematemesis dan atau melena yang disertai atau tanpa anemia, dengan atau tanpa
gangguan hemodinamik, derajat hipovolemi menentukan tingkat kegawatan pasien.15

Adapun manifestasi klinis yang ditemukan sebagai ciri khas dari perdarahan saluran
cerna bagian atas terutama dapat dibedakan dari perdarahan saluran cerna bagian bawah,
antara lain: hematemesis, melena, emesis yang berwarna seperti kopi, nyeri pada epigastrium,
dan reaksi vasovagal seperti mual, muntah.16

II.5 Tatalaksana Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas

Pengelolaan dasar pasien perdarahan saluran cerna sama seperti perdarahan pada
umumnya, yakni meliputi pemeriksaan awal, resusitasi, diagnosis, dan terapi. Tujuan

13
pokoknya adalah mempertahankan stabilitas hemodinamik, menghentikan perdarahan, dan
mencegah perdarahan ulang. Konsensus Nasional PGI-PEGI-PPHI menetapkan bahwa
pemeriksaan awal dan resusitasi pada kasus perdarahan wajib dan harus bisa dikerjakan pada
setiap lini pelayanan kesehatan masyarakat sebelum dirujuk ke pusat layanan yang lebih
tinggi. Adapun langkah-langkah praktis pengelolaan perdarahan SCBA adalah sebagai
berikut:

l). pemeriksaan awal, penekanan pada evaluasi status hemodinamik;

2). resusitasi, terutama untuk stabilisasi hemodinamik;

3). melanjutkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan lain yang diperlukan;

4). memastikan perdarahan saluran cerna bagian atas atau "bagian bawah;

5). menegakkan diagnosis pasti penyebab pedarahan;

6). terapi untuk menghentikan perdarahan, penyembuhan penyebab perdarahan,


mencegah perdarahan ulang.

Dengan menegakkan diagnosis penyebab perdarahan dengan baik sangat menentukan


langkah terapi yang diambil.17

II.5.1 Pemeriksaan Awal Pada Perdarahan Saluran Cerna

Langkah awal pada semua kasus perdarahan saluran makanan adalah menentukan beratnya
perdarahan dengan memfokuskan pada status hemodinamik. Pemeriksaannya meliputi :

1). tekanan darah dan nadi posisi baring,

2). perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi,

3). ada tidaknya vasokonstriksi perifer (akral dingin),

4). kelayakan napas,

5). tingkat kesadaran,

6). produksi urin.

14
Perdarahan akut dalam jumlah besar melebihi 20% urine intravaskular akan mengakibatkan
kondisi hemodinamik tidak stabil, dengan tanda-tanda sebagai berikut17 :

1). hipotensi (< 90/60 mm Hg atau MAP < 70 mmHg) dengan frekuensi nadi >
100/menit;

2). tekanan diastolik ortostatik turun > l0 mm Hg atau sistolik turun > 20 mm Hg;

3). frekuensi nadi ortostatik meningkat > l5l menit;

4). akral dingin;

5). kesadaran memrun;

6). anuria atau oliguria (produksi urin < 30 ml/jam).

Kecurigaan perdarahan akut dalam jumlah besar selain ditandai kondisi hemodinamik
tidak stabil ialah bila ditemukan17 :

1). hematemesis,

2). hematokesia (berak darah segar);

3). darah segar pada aspirasi pipa nasogastrik dan dengan lavase tidak segera jernih,

4). hipotensi persisten,

5). dalan24 jam menghabiskan tranfusi darah melebihi 800- 1000ml.

II.5.2 Resusitasi Terutama Untuk Stabilisasi Hemodinamik Pada Perdarahan Saluran


Cerna.
Pada kondisi hemodinamik tidak stabil, berikan infus cairan kristaloid (misalnya
cairan garam fisiologis) dengan tetesan cepat menggunakan dua jarum berdiameter besar
(minimal 16 G) dan pasang monitor CVP (central venous pressure); tujuannya memulihkan
tanda – tanda vital dan mempertahankan tetap stabil. Biasanya tidak sampai memerlukan
cairan koloid (misalnya dekstran) kecuali pada kondisi hipoalbuminemia berat. Secepatnya
kirim pemeriksaan darah untuk menentukan golongan darah, kadar hemoglobin, hematokrit,
trombosit, leukosit. Adanya kecurigaan diatesis hemoragik perlu segera ditindaklanjuti
dengan melakukan tes Rumpel-Leede, pemeriksaan waktu perdarahan, waktu pembekuan,
retraksi bekuan darah, PTT, dan aPTT.17

15
Kapan transfusi darah diberikan sifatnya sangat individual, tergantung dari jumlah
darah yang hilang, perdarahan masih aktif atau sudah berhenti, lamanya perdarahan
berlangsung, dan akibat klinik dari perdarahan tersebut. Pemberian transfusi darah pada
perdarahan saluran cerna dipertimbangkan pada keadaan berikut ini:
1. Perdarahan dalam kondisi hemodinamik tidak stabil.
2. Perdarahan baru atau masih berlangsung dan diperkirakan jumlahnya 1 liter atau
lebih.
3. Perdarahan baru atau masih berlangsung dengan hemoglobin kurang dari 10 %
atau hematokrit kurang dari 30%.
4. Terdapat tanda – tanda oksigenasi jaringan yang menurun.
Perlu dipahami bahwa nilai hematokrit untuk memperkirakan jumlah perdarahan
kurang akurat bila perdarahan sedang atau baru berlangsung. Proses hemodilusi dari cairan
ekstravaskuler selesai dalam waktu 24 hingga 72 jam setelah onset perdarahan. Target
pencapaian hematokrit setelah transfusi darah tergantung kasus yang dihadapi, untuk usia
muda dengan kondisi sehat cukup sebesar 20 – 25%, usia lanjut sebanyak 30%, sedangkan
pada hipertensi portal jangan melebihi hingga 27 – 28%.17

II.5.3 Pemeriksaan Lanjutan

Sambil melakukan upaya mempertahankan stabilitas hemodinamik lengkapi


anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan-pemeriksaan lain yang diperlukan.

II.5.3.1 Anamnesis

Dalam anamnesis yang perlu ditekankan :17

l). Sejak kapan terjadinya perdarahan dan berapa perkiraan darah yang keluar,

2). Riwayat perdarahan sebelumnya,

3). Riwayat perdarahan dalam keluarga,

4).Ada tidaknya perdarahan di bagian tubuh lain,

5). Penggunaan obat- obatan terutama anti inflammasi non-steroid dan anti koagulan,

6). Kebiasaan minum alkohol,

16
7). Mencari kemungkinan adanya penyakit hati kronik, demam berdarah, demam tifoid, gagal
ginjal kronik, diabetes melitus, hipertensi, alergi obat-obatan

8). Riwayat transfusi sebelumnya.

II.5.3.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisis yang perlu diperhatikan : 17

l). Stigmata penyakit hati kronik,

2). Suhu badan dan perdarahan di tempat lain,

3). Tanda-tanda kulit dan mukosa penyakit sistematik yang bisa disertai perdarahan saluran
makanan, misalnya pigmentasi mukokutaneus pada sindrom Peutz-Jegher.

II.5.3.3 Pemeriksaan lain

Kelengkapan pemeriksaan yang perlu diperhatikan : 17

1). Elektro kardiogram; terutama pasien berusia > 40 tahun, karena pada pasien diatas 40
tahun beresiko terjadinya hipertensi vena porta

2). BUN, kreatinin serum; pada perdarahan SCBA pemecahan darah oleh kuman usus akan
mengakibatkan kenaikan BUN, sedangkan kreatinin serum tetap normal atau sedikit
meningkat

3). Elektrolit (Na, K Cl); perubahan elektrolit bisa terjadi karena perdarahan, transfusi, atau
kumbah lambung

4). Pemeriksaan lainnya tergantung macam kasus yang dihadapi.

II.5.4. Membedakan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas atau Bawah


Cara praktis dalam membedakan perdarahan saluran cerna bagian atas atau saluran
cerna bagian bawah terdapat pada tabel berikut ini.

Tabel 1. Perbedaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas dan Perdarahan Saluran
Cerna Bagian Bawah.
Perdarahan Saluran Perdarahan Saluran
Cerna Bagian Atas Cerna Bagian Bawah
Manifestasi klinik pada Hematemesis dan/melena Hematoskezia
umumnya

17
Aspirasi nasogastrik berdarah seperti warna Jernih
kopi
Rasio (BUN/Kreatinin) Meningkat > 35 < 35
Auskultasi usus Hiperaktif Normal

Seorang pasien yang datang dengan keluhan hematemesis, muntahan seperti kopi
karena berubahnya darah oleh asam lambung, hampir pasti perdarahannya berasal dari
saluran cerna bagian atas. Timbulnya melena, berak hitam lengket dengan bau busuk, bila
perdarahannya berlangsung sekaligus sejumlah 50 – 100 ml atau lebih. Untuk lebih
memastikan keterangan melena yang diperoleh dari anamnesis, dapat dilakukan pemeriksaan
digital rektum. Perdarahan saluran cerna bagian atas dengan manifestasi hematoskezia
dimungkinkan bila perdarahannya cepat dan banyak melebihi 1000 ml dan disertai kondisi
hemodinamik yang tidak stabil atau syok.17
Pada semua kasus perdarahan saluran cerna disarankan untuk pemasangan pipa
nasogastrik, kecuali pada perdarahan kronik dengan hemodinamik stabil atau yang sudah
jelas perdarahan saluran cerna bagian bawah. Pada perdarahan saluran cerna bagian atas akan
keluar cairan seperti kopi atau cairan darah segar sebagai tanda bahwa perdarahan masih
aktif. Selanjutnya dilakukan bilas lambung dengan air suhu kamar. Sekiranya sejak awal
tidak ditemukan darah pada cairan aspirasi, dianjurkan pipa nasogastrik tetap terpasang
sampai 12 atau 24 jam. Bila selama kurun waktu tersebut hanya ditemukan cairan empedu
dapat dianggap bukan perdarahan saluran cerna bagian atas.17
Perbandingan BUN dan kreatinin serum juga dapat dipakai untuk memperkirakan asal
perdarahan, nilai puncak biasanya dicapai dalam 24 hingga 48 jam sejak terjadinya
perdarahan, normal perbandingannya 20, di atas 35 kemungkinan perdarahan berasal dari
saluran cerna bagian atas, dibawah 35 kemungkinan perdarahan berasal dari saluran cerna
bagian bawah. Pada kasus yang masih sulit untuk menentukan asal perdarahannya, langkah
pemeriksaan selanjutnya ialah endoskopi saluran cerna bagian atas.17

II.5.5 Diagnosis Penyebab Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas

Dari 1673 kasus perdarahan saluran cerna bagian atas di SMF Penyakit Dalam RSU
dr.Sutomo Surabaya, 76.9% disebabkan oleh pecahnya varises esofagus, 19.2% oleh gastritis
erosif, 1.0% oleh tukak peptik dan 0.6% oleh kanker lambung, dan 2.6% oleh karena sebab –
sebab yang lain. Laporan dari RS pemerintah di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta urutan 3

18
penyebab terbanyak perdarahan saluran cerna bagian atas sama dengan di RSU dr.Sutomo
Surabaya. Sedangkan laporan dari RS pemerintah di Ujung Pandang menyebutkan tukak
peptik menempati urutan pertama penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas. Laporan
kasus di rumah sakit swasta, yakni RS Darmo Surabaya, perdarahan karena tukak peptik
sebanyak 51.2%, gastritis erosif sebanyak 11.7%, varises esofagus sebanyak 10.9%,
keganasan sebanyak 9.8%, esofagitis 5.3%, sindrom Mallory-Weiss sebanyak 1.4%, idiopatik
sebanyak 7% dan penyebab – penyebab lainnya sebanyak 2.7%. Di negara barat, tukak peptik
berada di urutan pertama sebagai penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas dengan
frekuensi sekitar 50%. Walaupun pengelolaan perdarahan saluran cerna bagian atas telah
banyak berkembang namun mortalitasnya relatif tidak berubah, masih berkisar 8 – 10%. Hal
ini dikarenakan bertambahnya kasus perdarahan dengan usia lanjut, dan akibat komorbiditas
yang menyertai.17
Sarana diagnostik yang bisa digunakan pada kasus perdarahan saluran cerna adalah
endoskopi gastrointestinal, radiografi dengan barium, radionuklid, dan angiografi. Pada
semua pasien dengan tanda – tanda perdarahan saluran cerna bagian atas atau yang asal
perdarahannya masih meragukan, maka pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas
merupakan prosedur pilihan. Dengan pemeriksaan ini sebagian besar kasus diagnosis
penyebab perdarahan bisa ditegakkan. Selain itu dengan endoskopi bisa pula dilakukan upaya
terapeutik. Bila perdarahan masih tetap berlanjut atau asal perdarahan sulit diidentifikasi
perlu dipertimbangkan pemeriksaan dengan radionuklid atau angiografi yang sekaligus bisa
digunakan untuk menghentikan perdarahan. Adapun hasil tindakan endoskopi atau angiografi
sangat tergantung tingkat keahlian, keterampilan, dan pengalaman operator pelaksana.17
Tujuan pemeriksaan endoskopi selain menemukan penyebab serta asal perdarahan,
juga untuk menentukan aktivitas perdarahan. Forest membuat klasifikasi perdarahan tukak
peptik atas dasar temuan endoskopi yang bermanfaat untuk menentukan tindakan selanjutnya.

Tabel 2. Klasifikasi Aktivitas Perdarahan Tukak Peptik Menurut Forest.


Aktivitas Perdarahan Kriteria Endoskopis
Forest Ia Perdarahan aktif. Perdarahan arteri
menyembur.
Forest Ib Perdarahan aktif. Perdarahan merembes.
Forest II Perdarahan berhenti dan Gumpalan darah pada
masih terdapat sisa – sisa dasar tukak atau terlihat
perdarahan. pembuluh darah.
Forest III Perdarahan berhenti Lesi tanpa tanda sisa
tanpa sisa perdarahan. perdarahan.

19
Klasifikasi Forrest digunakan untuk mengklasifikasi temuan selama evaluasi endoskopik,
digambarkan sebagai berikut:

 Ulkus dengan perdarahan aktif menyemprot (Forrest IA);


 Ulkus dengan perdarahan merembes (Forrest IB);
 Ulkus dengan pembuluh darah visibel tak berdarah (Forrest IIA);
 Ulkus dengan bekuan adheren (Forrest IIB);
 Ulkus dengan bintik pigmentasi datar (Forrest IIC); dan
 Ulkus berdasar bersih (Forrest III).

Pasien dengan risiko tinggi perdarahan ulang tanpa terapi adalah pasien dengan
perdarahan arterial aktif (90%), adanya pembuluh darah visibel tak berdarah (50%) atau

bekuan adheren (33%).17

Gambar 11. Klasifikasi berdasarkan forrest


II.5.6 Terapi Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas
II.5.6.1 Terapi Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas Non-Endoskopis
Salah satu usaha dalam menghentikan perdarahan yang sudah lama dilakukan adalah
bilas lambung lewat pipa nasogastrik dengan air suhu kamar. Prosedur ini diharapkan
mengurangi distensi lambung dan memperbaiki proses hemostatik, namun demikian
manfaatnya dalam menghentikan perdarahan tidak terbukti. Bilas lambung ini sangat
diperlukan untuk persiapan pemeriksaan endoskopi dan dapat dipakai untuk membuat
perkiraan kasar jumlah perdarahan. Berdasar percobaan hewan, bilas lambung dengan air es

20
kurang menguntungkan, waktu perdarahan menjadi memanjang, perfusi dinding lambung
menurun, dan bisa timbul ulserasi pada mukosa lambung.17
Pemberian vitamin K pada pasien dengan penyakit hati kronis yang mengalami
perdarahan saluran cerna bagian atas diperbolehkan, dengan pertimbangan pemberian
tersebut tidak merugikan dan relatif murah.17
Vasopressin dapat menghentikan perdarahan saluran cerna bagian atas lewat efek
vasokonstriksi pembuluh darah splanknikus, menyebabkan aliran darah dan tekanan vena
porta menurun. Digunakan di klinik untuk perdarahan akut varises esofagus sejak tahun 1953.
Pernah dicoba pada terapi perdarahan nonvarises, namun berhentinya perdarahan tidak
berbeda dengan plasebo. Terdapat dua bentuk sediaan, yakni pitresin yang mengandung
vasopressin murni dan preparat pituitary gland yang mengandung vasopressin dan oxytocin.
Pemberian vasopressin dilakukan dengan mengencerkan sediaan vasopressin 50 unit dalam
100 ml dekstrose 5%, diberikan 0.5 – 1 mg/menit/iv selama 20 – 60 menit dan dapat diulang
tiap 3 – 6 jam; atau setelah pemberian pertama dilanjutkan per infus 0.1 – 0.5 U/menit.
Vasopressin dapat menimbulkan efek samping serius berupa insufisiensi koroner mendadak,
oleh karena itu pemberiannya disarankan bersamaan dengan preparat nitrat, misalnya
nitrogliserin intravena dengan dosis awal 40 mcg/menit kemudian secara titrasi dinaikkan
sampai maksimal 400 mcg/menit dengan tetap mempertahankan tekanan sistolik di atas 90
mmHg.17
Somatostatin dan analognya (ocreotide) diketahui dapat menurunkan aliran darah
splanknikus, khasiatnya lebih selektif dibanding vasopressin. Penggunaan di klinik pada
perdarahan akut varises esofagus dimulai sekitar tahun 1978. Somatostatin dapat
menghentikan perdarahan akut varises esofagus pada 70 – 80% kasus, dan dapat pula
digunakan pada perdarahan nonvarises. Dosis pemberian somatostatin, diawali dengan bolus
250 mcg/iv, dilanjutkan per infus 250 mcg/jam selama 12 – 24 jam atau sampai perdarahan
berhenti; ocreotide dosis bolus 100 mcg/iv dilanjutkan per infus 25 mcg/jam selama 8 – 24
jam atau sampai perdarahan berhenti, Obat-obatan golongan anti sekresi asam yang
dilaporkan bermanfaat untuk mencegah perdarahan ulang saluran cerna bagian atas karena
tukak peptik adalah inhibitor pompa proton dosis tinggi. Diawali bolus omeprazol 80 mg/iv
kemudian dilanjutkan per infus 8 mg/kgBB/jam selama 72 jam, perdarahan ulang pada
kelompok plasebo 20% sedangkan yang diberi omeprazol hanya 4.2%. Suntikan omeprazol
yang beredar di Indonesia hanya untuk pemberian bolus, yang bisa digunakan per infus
adalah persediaan esomeprazol dan pantoprazol dengan dosis sama seperti omeprazol. Pada
perdarahan saluran cerna bagian atas ini, obat – obatan seperti antasida, sukralfat, dan
21
antagonis reseptor H2 masih boleh diberikan untuk tujuan penyembuhan lesi mukosa
penyebab perdarahan. Antagonis reseptor H2 dalam mencegah perdarahan ulang saluran
cerna bagian atas dikarenakan tukak peptik kurang bermanfaat.17

A B
Gambar 12. Pemasangan Sengstaken-Blakemore tube

Penggunaan balon tamponade untuk menghentikan perdarahan varises esofagus


dimulai sekitar tahun 1950, paling populer adalah Sengstaken-Blakemore tube (SB-tube) yang
mempunyai tiga pipa serta dua balon masing – masing untuk esofagus dan lambung.
Komplikasi pemasangan SB-tube yang bisa berakibat fatal ialah pnemonia aspirasi, laserasi
sampai perforasi. Pengembangan balon sebaiknya tidak melebihi 24 jam. Pemasangan SB-
tube seyogyanya dilakukan oleh tenaga medik yang berpengalaman dan ditindaklanjuti
dengan observasi yang ketat.17
Untuk pasien-pasien yang dilakukan terapi non bedah perlu dimonitor akan
kemungkinan perdarahan ulang. Second look endoscopy masih kontroversi Realimentasi
bergantung pada hasil endoskopi. Pasien-pasien bukan risiko tinggi dapat diberikan diit
segera setelah endoskopi sedangkan pasen dengan risiko tinggi perlu puasa antara 24-48 jam ,
kemudian baru diberikan makanan secara berthap.17

22
Gambar 12. Sengstaken-Blakemore tube (SB-tube)

Gambar 13. Mekanisme pemasangan dan penggunaan SB-tube.

II.5.6.2 Terapi Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas Secara Endoskopis

Terapi endoskopi ditujukan pada perdarahan tukak yang masih aktif atau tukak
dengan pembuluh darah yang tampak. Metode terapinya meliputi:17
1. Contact thermal (monopolar atau bipolar elektrokoagulasi, heater probe).
2. Noncontact thermal (laser).
3. Nonthermal (misalnya suntikan adrenalin, polidokanol, alkohol, cyanoacrylate, atau
pemakaian klip).
Berbagai cara terapi endoskopi tersebut akan efektif dan aman apabila dilakukan oleh
ahli endoskopi yang terampil dan berpengalaman. Endoskopi terapeutik ini dapat diterapkan
pada 90% kasus perdarahan saluran cerna bagian atas, sedangkan 10% sisanya tidak dapat
dikerjakan karena alasan teknis seperti darah terlalu banyak sehingga pengamatan terhalang
atau letak lesi tidak terjangkau. Secara keseluruhan 80% perdarahan tukak peptik dapat
berhenti spontan, namun pada kasus perdarahan yang berasal dari arterial yang bisa berhenti
spontan hanya 30%. Terapi endoskopi yang relatif mudah dan tanpa banyak peralatan
pendukung ialah penyuntikan submukosa sekitar titik perdarahan menggunakan adrenalin 1 :
10.000 sebanyak 0,5 – 1 ml tiap kali suntik dengan batas dosis 10 ml atau alkohol absolut
(98%) tidak melebihi 1 ml. Penyuntikan bahan sklerosan seperti alkohol absolut atau
polidokanol umumnya tidak dianjurkan karena bahaya timbulnya tukak dan perforasi akibat
nekrosis jaringan di lokasi penyuntikan. Keberhasilan terapi endoskopi dalam menghentikan

23
perdarahan bisa mencapai di atas 95% dan tanpa terapi tambahan lainnya perdarahan ulang
frekuensinya sekitar 15 – 20%.17

Gambar 14. Endoscopic variceal band ligation of esophageal varices.

Hemostasis endoskopi merupakan terapi pilihan pada perdarahan karena varises


esofagus. Ligasi varises merupakan pilihan pertama untuk mengatasi perdarahan varises
esofagus. Dengan ligasi varises dapat dihindari efek samping akibat pemakaian sklerosan,
lebih sedikit frekuensi terjadinya ulserasi dan striktur. Ligasi dilakukan mulai dari distal
mendekati cardia bergerak spiral setiap 1 – 2 cm. Dilakukan pada varises yang sedang
berdarah atau bila ditemukan tanda baru mengalami perdarahan seperti bekuan darah yang
melekat, bilur – bilur merah, noda hematokistik, vena pada vena. Skleroterapi endoskopik
sebagai alternatif bila ligasi endoskopik sulit dilakukan karena perdarahan yang masif, terus
berlangsung, atau teknik yang tidak memungkinkan. Sklerosan yang bisa digunakan antara
lain campuran sama banyak polidokanol 3%, NaCl 0.9%, dan alkohol absolut. Campuran
dibuat sesaat sebelum skleroterapi dikerjakan. Penyuntikan dimulai dari bagian paling distal
mendekati kardia dilanjutkan ke proksimal bergerak spiral sampai sejauh 5 cm. Pada
perdarahan varises lambung dilakukan penyuntikan cyanoacrylate sebab skleroterapi untuk
varises lambung hasilnya kurang baik.17

24
Gambar 15. Skleroterapi pada varises esofagus.

II.5.6.3 Terapi Radiologi

Terapi angiografi perlu dipertimbangkan bila perdarahan tetap berlangsung dan belum
bisa ditentukan asal perdarahan, atau bila terapi endoskopi dinilai gagal dan pembedahan
sangat beresiko. Tindakan hemostasis yang bisa dilakukan dengan penyuntikan vasopressin
atau embolisasi arterial. Bila dinilai tidak ada kontraindikasi dan fasilitas dimungkinkan, pada
perdarahan varises dapat dipertimbangkan TIPS (Transjugular Intrahepatic Portosystemic
Shunt). 17

Gambar 16. Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt (TIPS).

25
II.5.6.4 Pembedahan

Pembedahan pada dasarnya dilakukan bila terapi medik, endoskopi dan radiologi
dinilai gagal. Ahli bedah sebaiknya dilibatkan sejak awal dalam bentuk tim multidisipliner
pada pengelolaan kasus perdarahan saluran cerna bagian atas untuk menentukan waktu yang
tepat kapan tindakan bedah sebaiknya dilakukan.17

tabel 3. Tindakan pembedahan pada pendarahan saluran cerna bagian atas18

26
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan

Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) dibedakan menjadi 2 kategori, yaitu
perdarahan varises esofagus dan non-varises, karena antara keduanya terdapat ketidaksamaan
dalam pengelolaan dan prognosisnya.
Perdarahan saluran cerna bagian atas adalah perdarahan yang terjadi dan berasal pada
area proksimal saluran pencernaan bagian proximal dari Ligamentum Treitz. Yang termasuk
organ – organ saluran cerna di proximal Ligamentum Trieitz adalah esofagus, lambung
(gaster), duodenum dan sepertiga proximal dari jejunum
Pengelolaan perdarahan saluran cerna secara praktis meliputi : evaluasi status
hemodinamik, stabilisasi hemodinamik, melanjutkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan lain yang diperlukan, memastikan perdarahan saluran cerna bagian atas atau
bawah, menegakkan diagnosis pasti penyebab perdarahan, terapi spesifik.
Prioritas utama dalam menghadapi kasus perdarahan saluran cerna bagian atas adalah
penentuan status hemodinamik dan upaya resusitasi sebelum menegakkan diagnosis atau
pemberian terapi lainnya.
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan cara terpilih untuk
menegakkan diagnosis penyebab perdarahan dan sekaligus berguna untuk melakukan
hemostasis. Pada perdarahan tukak lambung dapat dilakukan antara lain dengan penyuntikan
adrenalin 1 : 10.000, sedangkan pada perdarahan varises esofagus dengan ligasi atau
skleroterapi.
Terapi angiografi perlu dipertimbangkan bila perdarahan tetap berlangsung dan belum
bisa ditentukan asal perdarahan, atau bila terapi endoskopi dinilai gagal dan pembedahan
sangat beresiko.
Pembedahan pada dasarnya dilakukan bila terapi medik, endoskopi dan radiologi
dinilai gagal.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku anatomi abdomen I. HARJADI WIDJAJA 2008


2. Wilson, Lorraine M. dan Glenda N. Lindseth. “Gangguan Esofagus”. PATOFISIOLOGI –
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume I. Edisi 6. EGC:Penerbit Buku Kedokteran,
Jakarta. 2003. Hal: 404-405.
3. Price, Wilson. 2006. Patofisiologi Vol 2 ; Konsep Kllinis Proses-proses Penyakit.
Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Jakarta
4. Faradillah, Firman, dan Anita. 2009. Gastro Intestinal Track Anatomical Aspect.
Surakarta : Keluarga Besar Asisten Anatomi FKUNS.
5. Moore, K. L. (2010). Clinically Oriented Anatomy. Philadelphia: Lippincott Williams
& Wilkins
6. Lindseth, Glenda N. “Gangguan Lambung dan Duodenum”. PATOFISIOLOGI – Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume I. Edisi 6. EGC:Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.
2003. Hal: 417-419, 423, 428.
7. Lindseth, Glenda N. “Gangguan Usus Halus”. PATOFISIOLOGI – Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Volume I. Edisi 6. EGC:Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta. 2003. Hal: 437-
439.
8. Shuhart, Margaret, M.D., Kris Kowdley, M.D., dan Bill Neighbor, M.D.,
“gastrointestinal bleeding” . Medline Article, vol.41, (di unduh pada tanggal: 24 juni
2020)
9. Djojoningrat D. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas (Hematemesis Melena). 1 ed.
Jakarta: Interna Publishing; 2011.
10. Adi, Pangestu. “Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas”. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta. 2007. Hal: 289 – 292.
11. Porter, R.S., et al., 2008. The Merck Manual of Patient Symptoms. USA: Merck
Research Laboratories
12. de Franchis R. Evolving Consensus in Portal Hypertension Report of the Baveno IV
Consensus Workshop on methodology of diagnosis and therapy in portal hypertension
-Special report. J Hepatology 2005;43:167-176
13. Anand, B.S., Katz, J., 2011. Peptic Ulcer Disease, Medscape Reference, Professor.
Department of Internal Medicine, Division of Gastroenterology, Baylor College of
Medicine. Available from:http://emedicine.medscape.com/ ( Accessed 23 juni 2020)
14. Jutabha, R., et al. 2003. Acute Upper Gastrointestinal Bleeding. Dalam: Friedman,
S.L., et al. Current Diagnosis & Treatment in Gastroenterology 2 ed. USA: McGraw-
Hill Companies, 53 – 67.
15. Adi, Pangestu. “Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas”. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta. 2007.
16. Sabatine, Marc S. “Gastrointestinal Bleeding”. Pocket Medicine: The Massachusetts General
Hospital Handbook of Internal Medicine. Fourth Edition. Wolters Kluwer Health and
Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. 2011. Section: GIB 3 – 3.

28
17. Adi, P. Pengelolaan perdarahan saluran cerna bagian atas. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam (edisi IV Jilid I) (447-452). Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FK-UI; 2006.
18. Jae-Sun, K., In-Seob L,.2018. Role of surgery in gastrointestinal bleeding. Gastrointest
Interv 2018;7:136–141

29

Anda mungkin juga menyukai