Anda di halaman 1dari 38

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi dan Fisiologi Saluran Pencernaan1,2

Gambar 1. Sistem Pencernaan1

Yang termasuk dalam saluran cerna bagian atas adalah saluran cerna di atas

(proksimal) ligamentum Treitz, dimulai dari jejunum proksimal, duodenum, gaster

dan esofagus.

2
Gambar 2. Saluran cerna bagian atas.

A. Duodenum dan Jejunum

Panjang duodenum adalah sekitar 25 cm, mulai dari pilorus hingga jejunum.

Pemisahan duodenum dan jejunum ditandai oleh adanya ligamentum Treitz, yaitu

suatu pita muskulofibrosa yang berorigo pada krus dekstra diafragma dekat hiatus

esofagus dan berinsersio pada perbatasan antara duodenum dan jejunum.

Ligamentum ini berperan sebagai ligamentum suspensorium (penggantung). Sekitar

duaperlima dari sisa usus halus adalah jejunum, dan tiga perlima bagian akhirnya

adalah ileum. Jejunum terletak di regio mid-abdominalis sinistra, sedangkan ileum

cenderung terletak di regio abdominalis dekstra sebelah bawah. Masuknya kimus ke

dalam usus halus diatur oleh sfingter pilorus, sedangkan pengeluaran zat yang telah

tercerna ke dalam usus besar diatur oleh katup ileosekal.

3
Gambar 3. Bentuk anatomi dari duodenum dan jejunum.

Dinding usus halus terdiri atas 4 lapisan dasar. Yang paling luar (lapisan

serosa) dibentuk oleh peritoneum. Peritoneum mempunyai lapisan viseral dan

parietal, dan ruang yang terletak di antara lapisan – lapisan ini disebut sebagai rongga

peritoneum. Peritoneum melipat dan meliputi hampir seluruh visera abdomen.

Otot yang melapisi usus halus mempunyai dua lapisan: lapisan luar terdiri atas

serabut – serabut longitudinal yang lebih tipis, dan lapisan dalam terdiri atas serabut –

serabut sirkular. Penataan yang demikian membantu gerakan peristaltik usus halus.

Lapisan submukosa terdiri atas jaringan ikat, sedangkan lapisan mukosa bagian dalam

tebal serta banyak mengandung pembuluh darah dan kelenjar.

Usus halus dicirikan dengan adanya tiga struktur yang sangat menambah luas

permukaan dan membantu fungsi utamanya yaitu absorpsi. Lapisan mukosa dan

submukosa membentuk lipatan – lipatan sirkular yang disebut sebgai valvula

4
koniventes (lipatan Kerckring) yang menonjol ke dalam lumen sekitar 3 sampai 10

mm. Adanya lipatan – lipatan ini menyebabkan gambaran usus halus menyerupai

bulu pada pemeriksaan radiografi. Villi merupakan tonjolan – tonjolan mukosa

seperti jari – jari yang jumlahnya sekitar empat atau lima juta dan terdapat di

sepanjang usus halus. Villi panjangnya 0,5 sampai 1,5 mm dan menyebabkan

gambaran mukosa menjadi menyerupai beludru. Mikrovilli merupakan tonjolan

menyerupai jari – jari yang panjangnya sekitar 1 m pada permukaan luar setiap vilus.

Mikrovili terlihat dengan pemeriksaan mikroskop elektron dan tampak sebagai brush

border pada pemeriksaan mikroskop cahaya. Bila lapisan permukaan usus halus ini

rata, maka luas permukaannya hanya sekitar 2.000 cm2. Valvula koniventes, vili, dan

mikrovili sama – sama menambah luas permukaan absorpsi hingga 1,6 juta cm2, yaitu

meningkat sekitar seribu kali lipat. Penyakit – penyakit usus halus (mis.,sprue) yang

menyebabkan terjadinya atrofi dan pendataran vili, sangat mengurangi luas

permukaan absorpsi dan mengakibatkan terjadinya malabsorpsi.

B. Lambung (Gaster)

Lambung terletak oblik dari kiri ke kanan menyilang di abdomen atas tepat di

bawah diafragma. Dalam keadaan kosong lambung menyerupai tabung bentuk J, dan

bila penuh akan berbentuk seperti buah pir raksasa. Kapasitas normal lambung adalah

1 sampai 2 L.

Secara anatomis, lambung terbagi atas fundus, korpus, dan antrum pilorikum

atau pilorus. Sebelah kanan atas lambung terdapat cekungan kurvatura minor dan

5
bagian kiri bawah lambung terdapat kurvatura mayor. Sfingter pada kedua ujung

lambung mengatur pengeluaran dan pemasukan yang terjadi. Sfingter kardia atau

sfingter esofagus bawah, mengalirkan makanan masuk ke dalam lambung dan

mencegah refluks isi lambung memasuki esofagus kembali. Daerah lambung tempat

pembukaan sfingter kardia dikenal dengan nama daerah kardia. Di saat sfingter

pilorikum terminal berelaksasi, makanan masuk ke dalam duodenum, dan ketika

berkontraksi sfingter ini akan mencegah terjadinya aliran balik isi usus ke dalam

lambung.

Gambar 4. Anatomi lambung (gaster).

6
Sfingter pilorus memiliki arti klinis yang penting karena dapat mengalami

stenosis (penyempitan pilorus yang menyumbat) sebagai penyulit penyakit ulkus

peptikum. Abnormalitas sfingter pilorus dapat pula terjadi pada bayi. Stenosis pilorus

atau pilorospasme terjadi bila serabut otot di sekelilingnya mengalami hipertrofi atau

spasme sehingga sfingter gagal berelaksasi untuk mengalirkan makanan dari lambung

ke dalam duodenum. Bayi akan memuntahkan makanan tersebut dan tidak mencerna

atau menyerapnya. Keadaan ini mungkin dapat diperbaiki melalui operasi atau

pemberian obat adrenergik yang menyebabkan relaksasi serabut otot.

Gambar 5. Bentuk anatomi dari lambung (gaster)

7
Lambung tersusun atas empat lapisan. Tunika serosa atau lapisan luar

merupakan bagian dari peritoneum viseralis. Dua lapisan peritoneum viseralis

menyatu pada kurvatura minor lambung dan duodenum kemudian terus memanjang

ke hati, membentuk omentum minus. Lipatan peritoneum yang keluar dari satu organ

menuju ke organ lain disebut sebagai ligamentum. Jadi, omentum minus (disebut juga

ligamentum hepatogastrikum atau hepatoduodenalis) menyokong lambung sepanjang

kurvatura minor sampai ke hati. Pada kurvatura mayor, peritoneum terus ke bawah

membentuk omentum majus, yang menutupi usus halus dari depan seperti sebuah

apron besar. Sakus omentum minus adalah tempat yang sering terjadi penimbunan

cairan (pseudokista pankreatikum) akibat penyulit pankreatitis akut.

Tidak seperti daerah saluran cernal lain, bagian muskularis tersusun atas tiga

lapis dan bukan dua lapis otot polos: lapisan longitudinal di bagian luar, lapisan

sirkular di bagian tengah, dan lapisan oblik di bagian dalam. Susunan serabut otot

yang unik ini memungkinkan berbagai macam kombinasi kontraksi yang diperlukan

untuk memecah makanan menjadi partikel – partikel yang kecil, mengaduk dan

mencampur makanan tersebut dengan cairan lambung, dan mendorongnya ke arah

duodenum.

C. Esofagus

Esofagus merupakan organ silindris berongga dengan panjang sekitar 25 cm

dan berdiameter 2 cm, yang terbentang dari hipofaring hingga kardia lambung.

Esofagus terletak di posterior jantung dan trakea, di anterior vertebra, dan menembus

8
hiatus diafragma tepat di anterior aorta. Esofagus terutama berfungsi menghantarkan

bahan yang dimakan dari faring ke lambung.

Gambar 6. Bentuk anatomi dari esofagus

Pada kedua ujung esofagus terdapat otot sfingter. Otot krikofaringeus

membentuk sfingter esofagus bagian atas dan teridri atas serabut – serabut otot

rangka. Bagian esofagus ini secara normal berada dalam keadaan tonik atau kontraksi

kecuali pada waktu menelan. Sfingter esofagus bagian bawah, walaupun secara

anatomis tidak nyata, bertindak sebagai sfingter dan beperan sebagai sawar terhadap

9
refluks isi lambung ke dalam esofagus. Dalam keadaan normal sfingter ini menutup,

kecuali bila makanan masuk ke dalam lambung atau waktu bertahak atau muntah.

Dinding esofagus seperti juga bagian lain saluran gastrointestinal, terdiri atas

empat lapisan: mukosa, submukosa, muskularis, dan serosa (lapisan luar). Lapisan

mukosa bagian dalam terbentuk dari epitel gepeng berlapis yang berlanjut ke faring di

ujung atas; epitel lapisan ini mengalami perubahan mendadak pada perbatasan

esofagus dalam lambung (garis – Z) dan menjadi epitel toraks selapis. Mukosa

esofagus dalam keadaan normal bersifat alkali dan tidak tahan terhadap isi lambung

yang sangat asam. Lapisan submukosa mengandung sel – sel sekretori yang

memproduksi mukus. Mukus mempermudah jalannya makanan sewaktu menelan dan

melindungi mukosa dari cedera akibat zat kimia. Lapisan otot lapisan luar tersusun

longitudinal dan lapisan dalam tersusun sirkular. Otot yang terdapat di 5% bagian

atas esofagus adalah otot rangka, sedangkan otot di separuh bagian bawah adalah otot

polos. Bagian di antaranya terdiri dari campuran otot rangka dan otot polos. Berbeda

dengan bagian saluran cerna lainnya, tunika serosa (lapisan luar) esofagus tidak

memiliki lapisan serosa ataupun selaput peritoneum, melainkan lapisan ini terdiri atas

jaringan ikat longgar yang menghubungkan esofagus dengan struktur – struktur yang

berdekatan. Tidak adanya serosa menyebabkan semakin cepatnya penyebaran sel –

sel tumor (pada kasus kanker esofagus) dan meningkatnya kemungkinan kebocoran

setelah operasi.

10
2. Definisi Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas

Perdarahan saluran cerna bagian atas adalah perdarahan saluran makanan

proksimal mulai dari esofagus, gaster, duodenum, jejunum proksimal ( batas

anatomik di ligamentum treitz ). Sebagian besar perdarahan saluran cerna bagian atas

terjadi sebagai akibat penyakit ulkus peptikum (PUD, peptic ulcer disease) yang

disebabkan oleh H. Pylori atau penggunaan obat-obat anti-inflamasi non-steroid

(OAINS) atau alkohol. Robekan Mallory-Weiss, varises esofagus, dan gastritis

merupakan penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas yang jarang.6

3. Epidemiologi

Upper gastrointestinal tract bleeding (“UGI bleeding”) atau lebih dikenal

perdarahan saluran cerna bagian atas memiliki prevalensi sekitar 75 % hingga 80 %

dari seluruh kasus perdarahan akut saluran cerna. Insidensinya telah menurun, tetapi

angka kematian dari perdarahan akut saluran cerna, masih berkisar 3 % hingga 10 %,

dan belum ada perubahan selam 50 tahun terakhir. Tidak berubahnya angka kematian

ini kemungkinan besar berhubungan dengan bertambahnya usia pasien yang

menderita perdarahan saluran cerna serta dengan meningkatnya kondisi comorbid.

Peptic ulcers adalah penyebab terbanyak pada pasien perdarahan saluran

cerna, terhitung sekitar 40 % dari seluruh kasus.Penyebab lainnya seperti erosi

gastric (15 % - 25 % dari kasus), perdarahan varises (5 % - 25 % dari kasus), dan

Mallory-Weiss Tear (5 % - 15 % dari kasus).Penggunaan aspirin ataupun NSAIDs

11
memiliki prevalensi sekitar 45 % hingga 60 % dari keseluruhan kasus perdarahan

akut.

Di Indonesia kejadian yang sebenarnya di populasi tidak diketahui. Berbeda

dengan di negera barat dimana perdarahan karena tukak peptik menempati urutan

terbanyak maka di Indonesia perdarahan karena ruptura varises gastroesofagei

merupakan penyebab tersering yaitu sekitar 50-60%, gastritis erosif hemoragika

sekitar 25-30%, tukak peptik sekitar 10-15% dan karena sebab lainnya < 5%.

Mortalitas secara keseluruhan masih tinggi yaitu sekitar 25%, kematian pada

penderita ruptur varises bisa mencapai 60% sedangkan kematian pada perdarahan non

varises sekitar 9-12%. Sebahagian besar penderita perdarahan SCBA meninggal

bukan karena perdarahannya itu sendiri melainkan karena penyakit lain yang ada

secara bersamaan seperti penyakit gagal ginjal, stroke, penyakit jantung, penyakit hati

kronis,

pneumonia dan sepsis. 7

Ulkus peptikum yakni ulkus gaster dan duodenum masuk dalam 5 besar

penyebab dispepsia. Angka kejadian lebih tinggi pada pria dan usia lanjut. Hal ini

dapat dijelaskan oeh karena berbagai penyebab, mulai dari perbedaan definisi

perdarahan SCBA, karakteristik populasi, prevalensi obat – obatan penyebab ulkus

dan Helicobacter pylori. Mortalitas dikaitkan dengan usia lanjut dan adanya

komorbiditas berat. Mortalitas juga meningkat dengan perdarahan berulang yang

merupakan parameter mayor.

12
Etiologi perdarahan, lebih sering pada perdarahan variseal dan jarang pada

lesi mukosal kecil seperti robekan Mallory – Weiss.Perdarahan ulkus peptikum

merupakan penyebab tersering perdarahan SCBA berkisar 31 – 67 % dari semua

kasus, diikuti oleh gastritis erosif, perdarahan variceal, esofagitis, keganasan dan

robekan.Di Indonesia 70 % penyebab perdarahan SCBA adalah karena varises

esofagus yang pecah. Namun demikian, diperkirakan oleh karena semakin

meningkatnya pelayanan terhadap penyakit hati kronis dan bertambahnya populasi

perdarahan oleh karena ulkus peptikum akan meningkat.8

Tabel 1. Penyebab tersering perdarahan SCBA pada pasien yang menjalani endoskopi

di RSCM selama tahun 2001 – 2005

Penyebab Jumlah kasus Persentase

Pecahnya varises esofagus 280 kasus 33.4 %

Perdarahan ulkus 225 kasus 26.9 %

peptikum

Gastritis erosiva 219 kasus 26.2 %

Tidak ditemukan 38 kasus 4.5 %

Lain – lain 45 kasus 9%

Total 807 kasus 100 %

4 Etiologi dan Patofisiologi

Banyak kemungkinan penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas yaitu 9:

13
1. Duodenal ulcer

2. Gastric atau duodenal erosions

3. Varices

4. Gastric ulcer

5. Mallory – Weiss tear

6. Erosive esophagitis

7. Angioma

8. Arteriovenous malformation

9. Gastrointestinal stromal tumors

Perdarahan Saluran Cerna Atas Berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi 2

golongan, yaitu karena rupture varises dan bukan karena rupture varises.

Secara teoritis lengkap terjadinya penyakit atau kelainan saluran cerna bagian atas

disebabkan oleh ketidakseimbangan faktor agresif dan faktor defensif, dimana faktor

agresif meningkat atau faktor defensifnya menurun. Yang dimaksud dengan faktor

agresif antara lain asam lambung, pepsin, refluks asam empedu, nikotin, obat anti

inflamasi non steroid (OAINS) dan obat kortikosteroid, infeksi Helicobacter pylori

dan faktor radikal bebas , khususnya pada pasien lanjut usia. Yang dimaksud dengan

faktor defensif yaitu aliran darah mukosa yang baik, sel epitel permukaan mukosa

yang utuh, prostaglandin, musin atau mukus yang cukup tebal, sekresi bikarbonat,

motilitas yang normal, impermeabilitas mukosa terhadap ion H+ dan regulasi pH

intra sel.

14
Gambar 7. Patofisiologi ulkus pada saluran cerna bagian atas

Perdarahan Karena Non Varises

Penyebab perdarahan non varises terbanyak di Indonesia yaitu gastritis erosif,

tukak peptik.Gastritis erosif dan tukak peptik ini berhubungan dengan pemakaian

obat anti inflamasi non steroid (OAINS), infeksi Helicobacter pylori dan

stres.Penggunaan NSAIDs merupakan penyebab umum terjadi tukak gaster.

Penggunaan obat ini dapat mengganggu proses peresapan mukosa, proses

penghancuran mukosa, dan dapat menyebabkan cedera. Sebanyak 30% orang dewasa

yang menggunakan NSAIDs mempunyai GI yang kurang baik.

Faktor yang menyebabkan peningkatan penyakit tukak gaster dari penggunaan

NSAIDs adalah usia, jenis kelamin, pengambilan dosis yang tinggi atau kombinasi

dari NSAIDs, penggunaan NSAIDs dalam jangka waktu yang lama, penggunaan

15
disertai antikoagulan, dan severe comorbid illness. Walaupun prevalensi penggunaan

NSAIDs pada anak tidak diketahui, tetapi sudah tampak adanya peningkatan,

terutama pada anak dengan arthritis kronik yang dirawat dengan NSAIDs.

Penggunaan kortikosteroid saja tidak meningkatkan terjadinya tukak gaster, tetapi

penggunaan bersama NSAIDs mempunyai potensi untuk menimbulkan tukak

gaster.11

Gambar 9.Patofisiologi Mucosal Injury & Bleeding akibat NSAID

16
Gambar 10. Patofisiologi ulkus pada saluran cerna bagian atas

17
Sindroma Mallory-Weiss adalah sebuah kondisi di mana lapisan mukosa di

bagian distal esophagus pada gastroesophageal junction mengalami laserasi yang

dapat menyebabkan hematemesis (muntah darah). Laserasi seringkali juga

menyebabkan perdarahan arteri submukosa. Perdarahan muncul ketika luka sobekan

telah melibatkan esophageal venous atau arterial plexus. Pasien dengan hipertensi

portal dapat meningkatkan resiko daripada perdarahan dibandingkan dengan pasien

hipertensi non-portal. Sindrom Mallory-Weiss biasanya sekunder terhadap

peningkatan mendadak tekanan intraabdominal. Faktor pencetus meliputi muntah,

mengedan saat buang air besar, mengangkat beban, batuk, kejang epilepsi, cegukan di

bawah anestesi, dada tertekan, trauma abdomen, preparat kolonoskopi dan

gastroskopi.12

Gambar 11.Mallory Weiss Tear7

18
5 Manifestasi Klinik

Saluran cerna bagian atas merupakan tempat yang sering mengalami

perdarahan. Dari seluruh kasus perdarahan saluran cerna sekitar 80% sumber

perdarahannya berasal dari esofagus,gaster dan duodenum.7

Manifestasi klinis pasien dapat berupa :

 Hematemesis : Muntah darah dan mengindikasikan adanya perdarahan saluran

cerna atas, yang berwarna coklat merah atau “coffee ground”.

 Melena : Kotoran (feses) yang berwarna gelap yang dikarenakan kotoran

bercampur asam lambung, biasanya mengindikasikan perdarahan saluran cerna

bagian atas, atau perdarahan daripada usus-usus ataupun colon bagian kanan

dapat juga menjadi sumber lainnya.

 Penampilan klinis lainnya yang dapat terjadi adalah anemia, sinkope, instabilitas

hemodinamikkarena hipovolemik dan gambaran klinis dari komorbid seperti

penyakit hati kronis,penyakit paru, penyakit jantung, penyakit ginjal.7,9

Studi meta-analysis mendokumentasikan insidensi dari gejala klinis Perdarahan

Saluran Cerna Bagian Atas akut sebagai berikut: Hematemesis - 40-50%, Melena -

70-80%, Hematochezia - 15-20%, Hematochezia disertai melena - 90-98%, Syncope -

14.4%, Presyncope - 43.2%, Dyspepsia - 18%, Nyeri epigastric - 41%, Heartburn -

21%, Nyeri abdominal diffuse - 10%, Disfagia - 5%, Berat badan turun - 12%,

Jaundice 5,2%.7

19
6 Diagnosis

Seperti dalam menghadapi pasien-pasien gawat darurat lainnya dimana

dalammelaksanakan prosedur diagnosis tidak harus selalu melakukan anamnesis yang

cermat dan pemeriksaan fisik yang detail.Bila pasiendalam keadaan tidak stabil yang

didahulukan adalah resusitasi ABC. Setelah keadaan pasien cukup stabil maka dapat

dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lebihseksama.7

a. Anamnesis

Pada anamnesis yang perlu ditanyakan adalah riwayat penyakit hati kronis,

riwayatdispepsia,riwayat mengkonsumsi NSAID,obat rematik,alkohol,jamu –

jamuan,obat untukpenyakit jantung,obat stroke. Kemudian ditanya riwayat

penyakit ginjal,riwayat penyakitparu dan adanya perdarahan ditempat lainnya.

Riwayat muntah-muntah sebelumterjadinya hematemesis sangat mendukung

kemungkinan adanya sindroma Mallory Weiss.

Dalam anamnesis yang perlu ditekankan13 :

1. Sejak kapan terjadinya perdarahan dan berapa perkiraan darah yang keluar

2. Riwayat perdarahan sebelumnya

3. Riwayat perdarahan dalam keluarga

4. Ada tidaknya perdarahan dibagian tubuh lain

5. Penggunaan obat-obatan terutama antiinflamasi nonsteroid dan antikoagulan

6. Kebiasaan minum alkohol

7. Mencari kemungkinan adanya penyakit hati kronis, demam berdarah, demam

tifoid, GGK, DM, hipertensi, alergi obat-obatan

20
8. Riwayat transfusi sebelumnya

b. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan awal perdarahan saluran cerna

Adanya stigmata penyakit hati kronik, suhu badan dan perdarahan di tempat

lain, tanda – tanda Langkah awal menentukan beratnya perdarahan dengan

memfokuskan status hemodinamiknya. Pemeriksaan meliputi :

 Tekanan darah dan nadi posisi baring

 Perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi

 Ada tidaknya vasokonstriksi perifer ( akral dingin )

 Kelayakan nafas

 Tingkat kesadaran

 Produksi urin.

Perdarahan akut dalam jumlah besar melebihi 20 % volume intravaskular

akan mengakibatkan kondisi hemodinamik tidak stabil dengan tanda – tanda

sebagai berikut:

 Hipotensi ( tekanan darah < 90/60 mmHg , frekuensi nadi > 100x/menit )

 Tekanan diastolik ortostatik turun > 10 mmHg atau sistolik turun > 20

mmHg

 Frekuensi nadi ortostatik meningkat > 15/menit

 Akral dingin

 Kesadaran menurun

21
 Anuria atau oliguria

Kecurigaan perdarahan akut dalam jumlah besar selain ditandai kondisi

hemodinamik tidak stabil ialah bila ditemukan: hematemesis, hematokezia, darah

segar pada aspirasi pipa nasogastrik dengan, hipotensi persisten, 24 jam

menghabiskan transfusi darah melebihi 800 – 1000 mL.13

Pada pemeriksaan fisik perlu diperhatikan kulit dan mukosa penyakit

sistematik. Perlu juga dicari stigmata pasien dengan sirosis hati karena pada

pasien sirosis hati dapat disertai gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi,

epistaksis, ikterus dengan air kemih berwarna seperti teh pekat, muntah darah atau

melena

Pemeriksaan fisik lainnya yang penting yaitu pemeriksaan masa abdomen,

nyeri abdomen, rangsangan peritoneum, penyakit paru, penyakit jantung, penyakit

rematik dll.Pemeriksaan yang tidak boleh dilupakan adalah colok dubur.Warna

feses ini mempunyai nilai prognostik.

Dalam prosedur diagnosis ini penting melihat aspirat dari Naso Gastric Tube

(NGT).Aspirat berwarna putih keruh menandakan perdarahan tidak aktif, aspirat

berwarna merah marun menandakan perdarahan masif sangat mungkin

perdarahan arteri.Seperti halnya warna feses maka warna aspirat pun dapat

memprediksi mortalitas pasien. Walaupun demikian pada sekitar 30% pasien

dengan perdarahan tukak duodeni ditemukan adanya aspirat yang jernih pada

NGT.7

22
c. Pemeriksaan penunjang

Kelengkapan pemeriksaan yang perlu diperhatikan13:

1. Elektrokardiogram, terutama pada pasien berusia di atas 40 tahun.

2. BUN dan kreatinin serum. Pada perdarahan saluran cerna bagian atas,

pemecahan darah oleh kuman usus akan mengakibatkan kenaikan BUN,

sedangkan kreatinin serum tetap normal atau sedikit meningkat.

3. Kadar elektrolit (Natrium, Kalium, Clorida) dimana perubahan elektrolit bisa

terjadi karena perdarahan, transfusi, atau kumbah lambung.

4. Pemeriksaan lainnya :

1) Endoskopi

Dalam prosedur diagnosis ini pemeriksaan endoskopi merupakan

gold standard.Tindakan endoskopi selain untuk diagnostik dapat dipakai

pula untuk terapi. Prosedur ini tidak perlu dilakukan segera( bukan

prosedur emergensi), dapat dilakukan dalam kurun waktu 12 - 24 jam

setelah pasien masuk dan keadaan hemodinamik stabil . Tidak ada

keuntungan yang nyata bila endoskopi dilakukan dalam keadaan darurat.

Dengan pemeriksaan endoskopi ini lebih dari 95% pasien-pasien dengan

hemetemesis, melena atau hematemesis –melena dapat ditentukan lokasi

perdarahan dan penyebab perdarahannya.7

Lokasi dan sumber perdarahan

 Esofagus :Varises,erosi,ulkus,tumor

23
 Gaster :Erosi,ulkus,tumor,polip,angiodisplasia,varises,gastropati

kongestif

 Duodenum :Ulkus,erosi,tumor,divertikulitis

Di Negara barat tukak peptic berada di urutan pertama penyebab

perdarahan SCBA dengan frekuensi sekitar 50%.Walaupun pengelolaan

perdarahan SCBA telah banyak berkembang namun mortalitasnya

relative tidak berubah. Hal ini dikarenakan bertambahnya kasus

perdarahan dengan usia lanjut dan akibat komorbiditas yang menyertai.13

Klasifikasi aktivitas perdarahan tukak peptic menurut Forest :

 Forrest Ia :Tukak dengan perdarahan aktif dari arteri

 Forrest Ib :Tukak dengan perdarahan aktif berupa oozing

 Forrest II : Perdarahan berhenti dan masih terdapat sisa-sisa

perdarahan

 Forrest III : Perdarahan berhenti tanpa sisa perdarahan

24
Tabel 2. Klasifikasi Forrest

Gambar 12.Gambaran endoskopi pada pasien gastric ulcer akibat penggunaan

NSAIDs dan test H.Pylori negatif

25
Gambar 13.Gambaran endoskopi pada pasien duodenal ulcer dengan test H.Pylori

positif tetapi tidak ada riwayat penggunaan NSAIDs

Gambar 15. Klasifikasi Forrest untuk Ulkus Peptik

26
Gambar 16.Gambaran endoskopi pada pasien Mallory-Weiss Tear

2) Angiography

Angiography dapat digunakan untuk mendiagnosa dan

menatalaksana perdarahanberat, khususnya ketika penyebab perdarahan

tidak dapat ditentukan dengan menggunakan endoskopi atas maupun

bawah.7

3) Conventional radiographic imaging

Conventional radiographic imaging biasanya tidak terlalu

dibutuhkan pada pasien dengan perdarahan saluran cerna tetapi

adakalanya dapat memberikan beberapa informasi penting. Misalnya

pada CT scan; CT Scandapat mengidentifikasi adanya lesi massa, seperti

tumor intra-abdominal ataupun abnormalitas pada usus yang mungkin

dapat menjadi sumber perdarahan.7

27
Tabel 3.Perbedaan perdarahan SCBA dan SCBB13

Klinis Kemungkinan Kemungkinan

PSCA PSCB

Hematemesis Hampir pasti Jarang

Melena Sangat Mungkin Mungkin

Hematoschizia Mungkin Sangat mungkin

Blood streak stool Jarang Hampir pasti

Darah samarfeses Mungkin Mungkin

Aspirasi nasogastrik Berdarah Normal

Rasio >35 <35

BUN:creatinin

Peristaltik Meningkat Normal

7 Penatalaksanaan

Pengelolaan dasar pasien perdarahan saluran cerna sama seperti perdarahan

pada umumnya, yakni meliputi pemeriksaan awal, resusitasi, diagnosis, dan terapi.

Tujuan pokoknya adalah mempertahankan stabilitas hemodinamik, menghentikan

perdarahan, dan mencegah terjadinya perdarahan ulang. Konsensus Nasional PGI –

28
PEGI – PPHI menetapkan bahwa pemeriksaan awal dan resusitasi pada kasus

perdarahan wajib dan harus bisa dikerjakan pada setiap lini pelayanan kesehatan

masyarakat sebelum dirujuk ke pusat layanan yang lebih tinggi. Adapun langkah –

langkah praktis pengelolaan perdarahan saluran cerna bagian atas adalah sebagai

berikut:

1. Pemeriksaan awal, penekanan pada evaluasi status hemodinamik.

2. Resusitasi, terutama untuk stabilisasi hemodinamik.

3. Melanjutkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan lain yang diperlukan.

4. Memastikan perdarahan saluran cerna bagian atas atau bagian bawah.

5. Menegakkan diangosis pasti penyebab perdarahan.

6. Terapi untuk menghentikan perdarahan, penyembuhan penyebab perdarahan dan

mencegah terjadinya perdarahan ulang.

Dengan adanya penegakan diagnosis penyebab perdarahan sangat menentukan

langkah terapi yang akan diambil pada tahap selanjutnya.

Stabilisasi Hemodinamik Pada Perdarahan Saluran Cerna

Pada kondisi hemodinamik tidak stabil, berikan infus cairan kristaloid

(misalnya cairan garam fisiologis dengan tetesan cepat dengan menggunakan dua

jarum berdiameter besar (minimal 16 G) dan pasang monitor CVP (central venous

pressure); tujuannya memulihkan tanda-tanda vital dan mempertahankan tetap stabil.

Biasanya tidak sampai memerlukan cairan koloid (misalnya dekstran) kecuali pada

kondisi hipoalbuminemia berat. Secepatnya kirim pemeriksaan darah untuk

menentukan darah golongan darah, kadar hemoglobin, transfuse, trombosit, leukosit.

29
Adanya kecurigaan transfuse hemoragik pelu ditindaklanjuti dengan melakukan test

rumple-leed, pemeriksaan waktu perdarahn, waktu pembekuan, retraksi bekuan

darah, PPT dan aPTT.

Kapan transfuse darah diberikan sifatnya sangat individual tergantung dengan jumlah

darah yang hilang, perdarahan masih aktif atau sudah berhenti, lamanya perdarahan

berlangsung, dan akibat klinik perdarahan tersebut. Pemberian transfuse darah dapa

perdarahan saluran cerna dipertimbangkan pada keadaan berikut ini :

1. Perdarahan dalam kondisi hemodinamik tidak stabil

2. Perdarahan baru atau masih berlangsung dan diperkirakan jumlahnya 1 liter atau lebih

3. Perdarahan baru atau masih berlangsung dengan hemoglobin kurang dari 10 gr% atau

hematokrit kurang dari 30%

4. Terdapat tanda-tanda oksigenasi jaringan yang menurun

Perlu dipahami bahwa nilai hematokrit untuk memperkirakan jumlah perdarahan

kurang akurat bila perdarahan sedang atau baru berlangsung. Proses hemodilusi dari

cairan ekstravaskular selesai 24-72 jam setelah onset perdarahan. Target pencapaian

transfusesetelah transfuse darah tergantung kasusyang dihadapi, untuk usia muda

dengan kondisi sehat cukup 20-25%, usia lanjut 30%, sedangkan pada hipertensi

portal jangan melebihi 27-28%.13

30
Perdarahan SCBA Non-Varises

1. Diet

Walaupun tidak diperoleh bukti yang kuat terhadap berbagai bentuk diet yang

dilakukan, namun pemberian diet yang mudah cerna khususnya pada ulkus yang aktif

perlu dilakukan. Makan dalam jumlah sedikit dan lebih sering, lebih baik daripada

makan yang sekaligus kenyang.5

Mengurangi makanan yang merangsang pengeluaran asam lambung/ pepsin,

makanan yang merangsang timbulnya nyeri dan zat-zat lain yang dapat mengganggu

pertahanan mukosa gastroduodenal. Beberapa peneliti menganjurkan makanan biasa,

lunak, tidak merangsang dan diet seimbang.

Merokok menghalangi penyembuhan ulkus, menghambat sekresi bikarbonat

pankreas, menambah keasaman bulbus duodeni, menambah refluks dudenogastrik

akibat relaksasi sfingter pilorus sekaligus meningkatkan kekambuhan ulkus. Merokok

sebenarnya tidak mempengaruhi sekresi asam lambung tetapi dapat memperlambat

pemyembuhan luka serta meningkatkan angka kematian karena efek peningkatan

kekambuhan penyakit saluran pernafasan dan penyakit jantung koroner.

Alkohol mempunyai bukti yang merugikan. Air jeruk yang asam, coca-cola,

bir, kopi tidak mempunyai pengaruh ulserogenik tetapi dapat menambah sekresi asam

lambung dan belum jelas dapat menghalangi penyembuhan luka dan sebaiknya

jangan diminum sewaktu perut kosong.5

31
2. Hindari Obat-Obatan Tertentu.

OAINS sebaiknya dihindari. Pemberian secara parenteral (supositorik dan injeksi)

tidak terbukti lebih aman. Bila diperlukan dosis OAINS diturunkan atau

dikombinasikan dengan ARH2/PPI/misoprostrol. Pada saat ini sudah tersedia COX 2

inhibitor yang selektif untuk penyakit OA/RA yang kurang menimbulkan keluhan

perut.Agen inhibitor COX-2 selektif dibedakan menurut susunan sulfa (rofecoxib,

etoricoxib) dan sulfonamida (celecoxib, valdecoxib). Penggunaan parasetamol atau

kodein sebagai analgesik dapat dipertimbangkan pemakaiannya.5, 7, 9, 10

3. Antasida.

Pada saat ini antasida sudah jarang digunakan, antasida sering digunakan

untuk menghilangkan keluhan rasa sakit/dispepsia. Preparat yang mengandung

magnesium tidak dianjurkan pada gagal ginjal karena menimbulkan hipermagnesemia

dan kehilangan fosfat sedangkan alumunium menyebabkan konstipasi dan

neurotoksik tapi bila dikombinasi dapat menghilangkan efek samping. Dosis anjuran

4 x 1 tablet, 4 x 30 cc.

4. Koloid Bismuth (Coloid Bismuth Subsitrat/Cbs Dan Bismuth Subsalisilat/Bss).

Mekanisme belum jelas, kemungkinan membentuk lapisan penangkal bersama

protein pada dasar ulkus dan melindunginya terhadap pengaruh asam dan pepsin,

berikatan dengan pepsin sendiri, merangsang sekresi PG, bikarbonat, mukus. Efek

samping jangka panjang dosis tinggi khusus CBS neuro toksik.Obat ini mempunyai

efek penyembuhan hampir sama dengan ARH2 serta adanya efek bakterisidal

terhadap Helicobacter pylori sehingga kemungkinan relaps berkurang. Dosis anjuran

32
2x2 tablet sehari dengan efek samping berupa tinja berwarna kehitaman sehingga

menimbulkan keraguan dengan perdarahan.

5. Sukralfat.

Suatu kompleks garam sukrosa dimana grup hidroksil diganti dengan

aluminium hidroksida dan sulfat. Mekanisme kerja kemungkinan melalui pelepasan

kutub aluminium hidroksida yang berikatan dengan kutub positif molekul protein

membentuk lapisan fisikokemikal pada dasar ulkus, yang melindungi ulkus dari

pengaruh agresif asam dan pepsin. Efek lain membantu sintesa prostaglandin,

menambah sekresi bikarbonat dan mukus, meningkatkan daya pertahanan dan

perbaikan mukosal. Dosis anjuran 4x1 gr sehari.

6. Prostaglandin.

Mekanisme kerja mengurangi sekresi asam lambung menambah sekresi

mukus, bikarbonat, dan meningkatkan aliran darah mukosa serta pertahanan dan

perbaikan mukosa. Efek penekanan sekresi asam lambung kurang kuat dibandingkan

dengan ARH2. Biasanya digunakan sebagai penangkal terjadinya ulkus lambung

pada pasien yang menggunakan OAINS. Dosis anjuran 4x200 mg atau 2x400 mg

pagi dan malam hari. Efek samping diare, mual, muntah, dan menimbulkan kontraksi

otot uterus sehingga tidak dianjuran pada orang hamil dan yang menginginkan

kehamilan.

7. Antagonis Reseptor H2/ARH2.

(Cimetidin, Ranitidine, Famotidine, Nizatidine), struktur homolog dengan

histamin. Mekanisme kerjanya memblokir efek histamin pada sel parietal sehingga

33
sel parietal tidak dapat dirangsang untuk mengeluarkan asam lambung. Inhibisi ini

bersifat reversibel. Pengurangan sekresi asam post prandial dan nokturnal, yaitu

sekresi nokturnal lebih dominan dalam rangka penyembuhan dan kekambuhan ulkus.

Dosis terapeutik :

Cimetidin : dosis 2x400 mg atau 800 gr malam hari

Ranitidin : 300 mg malam hari

Nizatidine : 1x300 mg malam hari

Famotidin : 1x40 mg malam hari

Roksatidin : 2x75 mg atau 150 mg malam hari

Dosis terapetik dari keempat ARH2 dapat menghambat sekresi asam dalam potensi

yang hampir sama, tapi efek samping simetidin lebih besar dari famotidin karena

dosis terapeutik lebih besar.

8. Proton Pump Inhibitor/ PPI

(Omeprazol, Lanzoprazol, pantoprazol, Rabeprazol, Esomesoprazol).

Mekanisme kerja PPI adalah memblokir kerja enzim K+ H+ ATPase yang akan

memecah K+ H+ ATP menghasilkan energi yang digunakan untuk mengeluarkan

asam HCl dari kanalikuli sel parietal ke dalam lumen lambung. PPI mencegah

pengeluaran asam lambung dari sel kanalikuli, menyebabkan pengurangan rasa sakit

pasien ulkus, mengurangi aktivitas faktor agresif pepsin dengan pH>4 serta

meningkatkan efek eradikasi oleh triple drugs regimen.

Dosis Terapetik :

Rabeprazole 2x 20 mg/ hari

34
Omeprazole 2x 20 mg/ hari

Esomesoprazole 2x 20 mg/ hari

Lanzoprazole 2x 30 mg/ hari

Pantoprazole 2x 40 mg/ hari

9. Regimen Terapi Antibiotik Ulkus Peptik (Helicobacter Pylori)5

Terapi Triple. Secara historis regimen terapi eradikasi yang pertama digunakan

adalah: bismuth, metronidazole, tetrasiklin. Regimen triple terapi (PPI 2x1,

Amoxicillin 2x1000, klaritromisin 2x500, metronidazole 3x500, tetrasiklin 4x500)

dan yang banyak digunakan saat ini:

1. Proton pump inhibitor (PPI) 2x1 + Amoksisilin 2 x 1000 + Klaritromisin 2x500

2. PPI 2x1 + Metronidazol 3x500 + Claritromisin 2x500 (bila alergi penisilin)

3. PPI 2x1 + Metronidazol 3x500 + Amoksisilin 2x 1000

4. PPI 2x1 + Metronidazol 3x500 + Tetrasiklin 4x500 bila alergi terhadap klaritromisin

dan penisilin

Lama pengobatan eradikasi HP 1 minggu (esomesoprazol), 5 hari rabeprazole.

Ada anjuran lama pengobatan eradikasi 2 minggu, untuk kesembuhan ulkus, bisa

dilanjutkan pemberian PPI selama 3-4 minggu lagi. Keberhasilan eradikasi sebaiknya

di atas 90%. Efek samping triple terapi 20-30%.

Kegagalan pengobatan eradikasi biasanya karena timbulnya efek samping dan

compliance dan resisten kuman. Infeksi dalam waktu 6 bulan pasca eradikasi

biasanya suatu rekurensi denfan infeksi kuman lain.

35
Tujuan eradikasi HP adalah mengurangi keluhan/gejala, penyembuhan ulkus,

mencegah kekambuhan. Eradikasi selain dapat mencegah kekambuhan ulkus, juga

dapat mencegah perdarahan dan keganasan.

Terapi Quadripel. Jika gagal dengan terapi triple, maka dianjurkan memberikan

regimen terapi Quadripel yaitu: PPI 2x sehari, Bismuth subsalisilat 4x2 tab, MNZ

4x250, Tetrasiklin 4x500, bila bismuth tidak tersedia diganti dengan triple terapi. Bila

belum berhasil, dianjurkan kultur dan tes sensitivitas.

Secara lengkap tatalaksana untuk perdarahan saluran cerna dapat dilihat pada tabel 5:

Tabel 4. Tatalaksana Konservatif Perdarahan SCBA

TATALAKSANA NON FARMAKOLOGIS

• Tirah baring (bed rest)


• Puasa (terutama bila penyebab PSCBA adalah varises esofagus)
• Pasang NGT dan bilas air es tiap 6 jam untuk :
- mengeluarkan bekuan darah
- menghentikan perdarahan
- memperkirakan jumlah perdarahan
• Infus cairan dan elektrolit NaCl 0,9 % atau RL atau Asering
• Pengganti plasma : hemacel/gelafundin
• Transfusi darah : WB atau PRC sesuai Hb dan jumlah perdarahan yang
terjadi, sampai Hb 10 g%
• Klisma 1-2 x/hari → mencegah ensefalopati hepatikum
• Nutrisi parenteral total sampai perdarahan berhenti : DHI (cair) → DHII
(bubur saring) → DHIII (bubur kasar/lunak) → DH IV (nasi tim/biasa)
• Pemberian "loading" cairan :
- Jika tanda syok ditemukan pada posisi berbaring, kehilangan cairan
diperkirakan sekitar 50%
– 1 jam pertama guyur cairan dan evaluasi TD, nadi dan kesadaran
sampai TD sistolik > 100 mmHg
– selanjutnya infus sesuai dengan kondisi pasien
– pasien usia > 50 tahun atau PJK, kecepatan pemberian cairan
setengahnya
- Jika tanda syok tersebut ditemukan dalam posisi duduk, kehilangan

36
cairan diperkirakan sekitar 30%
– Pada kondisi ini guyur sampai dengan 2 kolf
– Bila TD sistolik > 100 mmHg infus sesuai kondisi pasien.
• Jika memungkinkan, pasang monitor tekanan vena sentral (CVP)
TATALAKSANA FARMAKOLOGIS
PERDARAHAN SCBA VARISES
• Vasopresin
• Somatostatin 250 mcg (iv) + drip 250 mcg/jam
• Octreotide
• Propanolol 2 x 10 mg/hr → dosis dapat ditingkatkan bila TD diastolik
turun 20 mmHg atau denyut nadi turun 20% dari semula
• Isosorbid mononitrat (ISMO) 2-3 x 1 tablet/hr
• Metoklopramid 3 x 10 mg/hari → menurunkan tekanan intra varises
esophagus
• Laktulosa 4 x 1 sendok makan/hari
• Neomycin 4 x 500 mg/hr
Bila ada gangguan hemostasis :
• DIC → heparin: 3 x 2500 u/hr iv
• Fibrinolisis primer → asam traneksamat 3 x 1 ampul/hr iv
• Defisiensi faktor II, VII, IX, X → vitamin K 3x 1 ampul/hari
Defisiensi faktor lain : transfusi FFP 5-10 unit
PERDARAHAN SCBA NON VARISES
• Injeksi H2-RA atau PPI intra vena /hari
• Sitoprotektor: Sucralfate atau misoprostol
• Antasida 3-4 x10 cc/hr
• Regimen antibiotic eradikasi H. Pylori untuk ulkus peptik (terapi triple →
quadriple)

9 Prognosis

Identifikasi letak perdarahan adalah langkah awal yang paling penting dalam

pengobatan.Setelah letak perdarahan terlokalisir, pilihan pengobatan dibuat secara

langsung dan kuratif. Meskipun metode diagnostik untuk menentukan letak

perdarahan yang tepat telah sangat meningkat dalam 3 dekade terakhir, 10-20% dari

pasien dengan perdarahan saluran cerna bagian bawah tidak dapat dibuktikan sumber

perdarahannya. Oleh karena itu, masalah yang kompleks ini membutuhkan evaluasi

37
yang sistematis dan teratur untuk mengurangi persentase kasus perdarahan saluran

cerna yang tidak terdiagnosis dan tidak terobati.

Dalam penatalaksanaan perdarahan SCBA banyak faktor yang berperan

terhadap hasil pengobatan. Ada beberapa prediktor buruk dari perdarahan SCBA

antara lain, umur diatas 60 tahun, adanya penyakit komorbid lain yang bersamaan,

adanya hipotensi atau syok, adanya koagulopati, onset perdarahan yang cepat,

kebutuhan transfusi lebih dari 6 unit, perdarahan rekurens dari lesi yang sama.

Setelah diobati dan berhenti, perdarahan SCBA dapat berulang lagi atau rekurens.

Secara endoskopik ada beberapa gambaran endoskopik yang dapat memprediksi akan

terjadinya perdarahan ulang antara lain tukak peptik dengan bekuan darah yang

menutupi lesi, adanya visible vessel tak berdarah, perdarahan segar yang masih

berlangsung.15Resiko kematian dan perdarahan ulang dapat dinilai menggunakan skor

Blatchford atau Rockall:

Tabel 5. Skor Blatchford

Skor >6
diasosiasikan
dengan risiko
komplikasi
sebanyak
50%, dan
segera
membutuhka
n tindakan
Tabel 5.Skor Rockal

38
10 Komplikasi

Komplikasi perdarahan saluran cerna atas yang masif adalah syok

hipovolemia.Syok hipovolemik diinduksi oleh penurunan volume darah, yang terjadi

salah satunya adalah akibat perdarahan hebat menyebabkan tidak adekuatnya perfusi

dan oksigenasi jaringan.Bahaya syok adalah tidak adekuatnya perfusi ke jaringan atau

tidak adekuatnya aliran darah ke jaringan. Jaringan akan kekurangan oksigen dan bisa

menyebabkan gangguan fungsi organ.

Keadaan syok akan melalui tiga tahapan mulai dari tahap kompensasi (masih

dapatditangani oleh tubuh), dekompensasi (sudah tidak dapat ditangani oleh tubuh),

danireversibel (kerusakan target organ).

39

Anda mungkin juga menyukai