Anda di halaman 1dari 49

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perdarahan saluran cerna bagian atas adalah perdarahan yang terjadi dan berasal
pada area proksimal saluran pencernaan bagian proximal dari ligamentum lreitz.
Kejadian perdarahan saluran cerna bagian atas merupakan yang paling sering terjadi
dan sering ditemukan dibandingkan dengan kejadian perdarahan saluran cerna bagian
bawah. Insiden tahunan UGIB bervariasi antara 47-116 (atau sekitar 100 orang) per
100.000 penduduk dan lebih tinggi pada daerah dengan tingkat sosioekonomi yang
kurang.
Di Rumah Sakit dr. Mohamad Saleh Kota Probolinggo, kasus pasien yang
datang dengan perdarahan saluran cerna bagian atas cukup sering dijumpai. Belum
maksimalnya penanganan karena kurangnya sarana prasarana dan pengetahuan
tentang perdarahan saluran cerna bagian atas juga turut menyumbang angka
mortalitas di rumah sakit pasien dengan UGIB yang belum bisa membaik selama 50
tahun terakhir dan tetap berada pada kisaran angka 10%.
Dengan pengenalan yang lebih mendalam tentang perdarahan saluran cerna
bagian atas, penulis berharap bisa membantu pembaca dan teman-teman sejawat
dalam menangani kasus-kasus pasien dengan perdarahan saluran cerna bagian atas
dengan lebih baik sehingga mortalitas UGIB bisa dikurangi atau diturunkan dari
angka 10%.

1.2 Tujuan Penulisan


Penulisan referat berjudul Perdarahan Non-Variceal ini bertujuan untuk
menjelaskan definisi, etiopatologi, gejala dan tanda klinis, penegakan diagnosis, serta
penatalaksanaan yang tepat, cepat dan akurat mengenai Perdarahan Non-Variceal
sehingga pasien yang datang dengan keluhan perdarahan non-variceal bisa
mendapatkan prognosis yang baik dan keselamatan pasien menjadi lebih terjamin.
Diharapkan dengan penulisan referat ini dapat memberikan informasi yang
bermanfaat bagi pembaca terutama yang memiliki interaksi secara langsung dalam
penanganan terhadap pasien dengan Perdarahan Non-Variceal agar bisa
mendapatkan pengetahuan yang lebih tentang tatalaksana dan penangan terbaik bagi
pasien yang datang dengan perdarahan non-variceal.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Saluran Cerna Bagian Atas


Yang termasuk dalam saluran cerna bagian atas adalah saluran cerna di atas
(proksimal) ligamentum treitz, dimulai dari jejunum proksimal, duodenum, gaster dan
esophagus.1

Gambar 1 : Sketsa Saluran Cerna2

2.1.1 Duodenum dan Jejunum


Panjang duodenum adalah sekitar 25 cm, mulai dari pilorus hingga jejunum.
Pemisahan duodenum dan jejunum ditandai oleh adanya ligamentum Treitz, yaitu
suatu pita muskulofibrosa yang berorigo pada krus dekstra diafragma dekat hiatus
esofagus dan berinsersio pada perbatasan antara duodenum dan jejunum.
Ligamentum ini berperan sebagai ligamentum suspensorium (penggantung). Sekitar
duaperlima dari sisa usus halus adalah jejunum, dan tiga perlima bagian akhirnya
adalah ileum. Jejunum terletak di regio mid-abdominalis sinistra, sedangkan ileum
cenderung terletak di regio abdominalis dekstra sebelah bawah. Masuknya kimus ke
dalam usus halus diatur oleh sfingter pilorus, sedangkan pengeluaran zat yang telah
tercerna ke dalam usus besar diatur oleh katup ileosekal 5

Gambar 2 : Bentuk Anatomi Dari Duodenum Dan Jejunum3


Dinding usus halus terdiri atas 4 lapisan dasar. Yang paling luar (lapisan serosa)
dibentuk oleh peritoneum. Peritoneum mempunyai lapisan viseral dan parietal, dan
ruang yang terletak di antara lapisan lapisan ini disebut sebagai rongga peritoneum.
Peritoneum melipat dan meliputi hampir seluruh visera abdomen.4

Otot yang melapisi usus halus mempunyai dua lapisan: lapisan luar terdiri atas
serabut serabut longitudinal yang lebih tipis, dan lapisan dalam terdiri atas serabut
serabut sirkular. Penataan yang demikian membantu gerakan peristaltik usus halus.
Lapisan submukosa terdiri atas jaringan ikat, sedangkan lapisan mukosa bagian dalam
tebal serta banyak mengandung pembuluh darah dan kelenjar.5
Usus halus dicirikan dengan adanya tiga struktur yang sangat menambah luas
permukaan dan membantu fungsi utamanya yaitu absorpsi. Lapisan mukosa dan
submukosa membentuk lipatan lipatan sirkular yang disebut sebgai valvula
koniventes (lipatan Kerckring) yang menonjol ke dalam lumen sekitar 3 sampai 10
mm. Adanya lipatan lipatan ini menyebabkan gambaran usus halus menyerupai
bulu pada pemeriksaan radiografi. Villi merupakan tonjolan tonjolan mukosa seperti
jari jari yang jumlahnya sekitar empat atau lima juta dan terdapat di sepanjang usus
halus. Villi panjangnya 0,5 sampai 1,5 mm dan menyebabkan gambaran mukosa
menjadi menyerupai beludru. Mikrovilli merupakan tonjolan menyerupai jari jari
yang panjangnya sekitar 1 m pada permukaan luar setiap vilus. Mikrovili terlihat
dengan pemeriksaan mikroskop elektron dan tampak sebagai brush border pada
pemeriksaan mikroskop cahaya. Bila lapisan permukaan usus halus ini rata, maka
luas permukaannya hanya sekitar 2.000 cm2. Valvula koniventes, vili, dan mikrovili
sama sama menambah luas permukaan absorpsi hingga 1,6 juta cm2, yaitu
meningkat sekitar seribu kali lipat. Penyakit penyakit usus halus (mis.,sprue) yang
menyebabkan terjadinya atrofi dan pendataran vili, sangat mengurangi luas
permukaan absorpsi dan mengakibatkan terjadinya malabsorpsi.6
2.1.2 Lambung (Gaster)
Lambung terletak oblik dari kiri ke kanan menyilang di abdomen atas tepat di
bawah diafragma. Dalam keadaan kosong lambung menyerupai tabung bentuk J, dan
bila penuh akan berbentuk seperti buah pir raksasa. Kapasitas normal lambung adalah
1 sampai 2 L. Secara anatomis, lambung terbagi atas fundus, korpus, dan antrum
pilorikum atau pilorus. Sebelah kanan atas lambung terdapat cekungan kurvatura
minor dan bagian kiri bawah lambung terdapat kurvatura mayor. Sfingter pada kedua

ujung lambung mengatur pengeluaran dan pemasukan yang terjadi. Sfingter kardia
atau sfingter esofagus bawah, mengalirkan makanan masuk ke dalam lambung dan
mencegah refluks isi lambung memasuki esofagus kembali. Daerah lambung tempat
pembukaan sfingter kardia dikenal dengan nama daerah kardia. Di saat sfingter
pilorikum terminal berelaksasi, makanan masuk ke dalam duodenum, dan ketika
berkontraksi sfingter ini akan mencegah terjadinya aliran balik isi usus ke dalam
lambung.7
Sfingter pilorus memiliki arti klinis yang penting karena dapat mengalami
stenosis (penyempitan pilorus yang menyumbat) sebagai penyulit penyakit ulkus
peptikum. Abnormalitas sfingter pilorus dapat pula terjadi pada bayi. Stenosis pilorus
atau pilorospasme terjadi bila serabut otot di sekelilingnya mengalami hipertrofi atau
spasme sehingga sfingter gagal berelaksasi untuk mengalirkan makanan dari lambung
ke dalam duodenum. Bayi akan memuntahkan makanan tersebut dan tidak mencerna
atau menyerapnya. Keadaan ini mungkin dapat diperbaiki melalui operasi atau
pemberian obat adrenergik yang menyebabkan relaksasi serabut otot.8

Gambar 3 : Anatomi Dari Lambung (Gaster)9


Lambung tersusun atas empat lapisan. Tunika serosa atau lapisan luar
merupakan bagian dari peritoneum viseralis. Dua lapisan peritoneum viseralis
menyatu pada kurvatura minor lambung dan duodenum kemudian terus memanjang
ke hati, membentuk omentum minus. Lipatan peritoneum yang keluar dari satu organ
menuju ke organ lain disebut sebagai ligamentum. Jadi, omentum minus (disebut juga
ligamentum hepatogastrikum atau hepatoduodenalis) menyokong lambung sepanjang
kurvatura minor sampai ke hati. Pada kurvatura mayor, peritoneum terus ke bawah
membentuk omentum majus, yang menutupi usus halus dari depan seperti sebuah
apron besar. Sakus omentum minus adalah tempat yang sering terjadi penimbunan
cairan (pseudokista pankreatikum) akibat penyulit pankreatitis akut.8

Tidak seperti daerah saluran cernal lain, bagian muskularis tersusun atas tiga
lapis dan bukan dua lapis otot polos: lapisan longitudinal di bagian luar, lapisan
sirkular di bagian tengah, dan lapisan oblik di bagian dalam. Susunan serabut otot
yang unik ini memungkinkan berbagai macam kombinasi kontraksi yang diperlukan
untuk memecah makanan menjadi partikel-partikel yang kecil, mengaduk dan
mencampur makanan tersebut dengan cairan lambung, dan mendorongnya ke arah
duodenum.7
Submukosa tersusun atas jaringan areolar longgar yang menghubungkan lapisan
mukosa dan lapisan muskularis. Jaringan ini memungkinkan mukosa bergerak dengan
gerakan peristaltik. Lapisan ini juga mengandung pleksus saraf, pembuluh darah, dan
saluran limfe.7
Mukosa, lapisan dalam lambung, tersusun atas lipatan lipatan longitudinal
yang disebut rugae, yang memungkinkan terjadinya distensi lambung sewaktu diisi
makanan. Terdapat beberapa tipe kelenjar pada lapisan ini dan dikategorikan menurut
bagian anatomi lambung yang ditempatinya. Kelenjar kardia berada di dekat
orifisium kardia dan mensekresikan mukus. Kelenjar fundus atau gastrik terletak di
fundus dan pada hampir seluruh korpus lambung. Kelenjar gastrik memiliki tiga tipe
utama sel. Sel sel zimogenik (chief cell) mensekresikan pepsinogen. Pepsinogen
diubah menjadi pepsin dalam suasana asam. Sel sel parietal mensekresikan asam
hidroklorida (HCl) dan faktor intrinsik. Faktor intrinsik diperlukan untuk absorpsi
vitamin B12 di dalam usus halus. Kekurangan faktor intrinsik akan mengakibatkan
terjadinya anemia pernisiosa. Sel-sel mukus (leher) ditemukan di leher kelenjar
fundus dan mensekresikan mukus. Hormon gastrin diproduksi oleh sel G yang
terletak pada daerah pilorus lambung. Gastrin merangsang kelenjar gastrik untuk
menghasilkan asam hidroklorida dan pepsinogen. Substansi lain yang disekresi dalam
lambung adalah enzim dan berbagai elektrolit, terutama ion natrium, kalium, dan
klorida.7
Persarafan lambung sepenuhnya berasal dari sistem saraf otonom. Suplai saraf
parasimpatis untuk lambung dan duodenum dihantarkan ke dan dari abdomen melalui
saraf vagus. Trunkus vagus menpercabangkan ramus gastrika, pilorika, hepatika, dan
8

seliaka. Pengetahuan anatomi ini sangat penting, karena vagotomi selektif merupakan
tindakan pembedahan primer yang penting dalam mengobati ulkus duodenum. Hal ini
akan dibahas dengan lebih lengkap pada bagian selanjutnya dalam bab ini. 8
Persarafan simpatis melalui saraf splanchnicus major dan ganglia seliaka.
Serabut serabut aferen menghantarkan impuls nyeri yang dirangsang oleh
peregangan, kontraksi otot, serta peradangan, dan dirasakan di daerah epigastrium
abdomen. Serabut serabut eferen simpatis menghambat motilitas dan sekresi
lambung. Pleksus saraf mienterikus (Auerbach) dan submukosa (Meissner)
membentuk persarafan intrinsik dinding lambung dan mengkoordinasi aktivitas
motorik dan sekresi mukosa lambung. 8
Seluruh suplai darah di lambung dan pankreas (serta hati, empedu, dan limpa)
terutama berasal dari arteri seliaka atau trunkus seliakus, yang mempercabangkan
cabang cabang yang memperdarahi kurvatura minor dan mayor. Dua cabang arteri
yang

penting

dalam

klinis

adalah

arteria

gastroduodenalis

dan

arteria

pankreatikoduodenalis (retroduodenalis) yang berjalan di sepanjang bulbus posterior


duodenum. Ulkus pada dinding posterior duodenum dapat mengerosi arteri ini dan
menyebabkan terjadinya perdarahan. Darah vena dari lambung dan duodenum, serta
yang berasal dari pankreas, limpa, dan bagian lain saluran gastrointestinal, berjalan ke
hati melalui vena porta.6
2.1.3 Esofagus
Esofagus merupakan organ silindris berongga dengan panjang sekitar 25 cm dan
berdiameter 2 cm, yang terbentang dari hipofaring hingga kardia lambung. Esofagus
terletak di posterior jantung dan trakea, di anterior vertebra, dan menembus hiatus
diafragma tepat di anterior aorta. Esofagus terutama berfungsi menghantarkan bahan
yang dimakan dari faring ke lambung.10

Gambar 4 : Bentuk Anatomi Esofagus11


Pada kedua ujung esofagus terdapat otot sfingter. Otot krikofaringeus
membentuk sfingter esofagus bagian atas dan teridri atas serabut serabut otot
rangka. Bagian esofagus ini secara normal berada dalam keadaan tonik atau kontraksi
kecuali pada waktu menelan. Sfingter esofagus bagian bawah, walaupun secara
anatomis tidak nyata, bertindak sebagai sfingter dan beperan sebagai sawar terhadap
refluks isi lambung ke dalam esofagus. Dalam keadaan normal sfingter ini menutup,
kecuali bila makanan masuk ke dalam lambung atau waktu bertahak atau muntah.8
Dinding esofagus seperti juga bagian lain saluran gastrointestinal, terdiri atas
empat lapisan: mukosa, submukosa, muskularis, dan serosa (lapisan luar). Lapisan
mukosa bagian dalam terbentuk dari epitel gepeng berlapis yang berlanjut ke faring di
ujung atas; epitel lapisan ini mengalami perubahan mendadak pada perbatasan
esofagus dalam lambung (garis Z) dan menjadi epitel toraks selapis. Mukosa
esofagus dalam keadaan normal bersifat alkali dan tidak tahan terhadap isi lambung
yang sangat asam. Lapisan submukosa mengandung sel sel sekretori yang

10

memproduksi mukus. Mukus mempermudah jalannya makanan sewaktu menelan dan


melindungi mukosa dari cedera akibat zat kimia. Lapisan otot lapisan luar tersusun
longitudinal dan lapisan dalam tersusun sirkular. Otot yang terdapat di 5% bagian atas
esofagus adalah otot rangka, sedangkan otot di separuh bagian bawah adalah otot
polos. Bagian di antaranya terdiri dari campuran otot rangka dan otot polos. Berbeda
dengan bagian saluran cerna lainnya, tunika serosa (lapisan luar) esofagus tidak
memiliki lapisan serosa ataupun selaput peritoneum, melainkan lapisan ini terdiri atas
jaringan ikat longgar yang menghubungkan esofagus dengan struktur struktur yang
berdekatan. Tidak adanya serosa menyebabkan semakin cepatnya penyebaran sel
sel tumor (pada kasus kanker esofagus) dan meningkatnya kemungkinan kebocoran
setelah operasi.10
Persarafan utama esofagus diinervasi oleh serabut serabut simpatis dan
parasimpatis dari sistem saraf otonom. Serabut parasimpatis dibawa oleh nervus
vagus, yang dianggap sebagai saraf motorik esofagus. Fungsi serabut simpatis hingga
saat ini masih kurang diketahui.8
Selain persarafan ekstrinsik tersebut, terdapat jala jala serabut saraf intramural
intrinsik di antara lapisan otot sirkular dan longitudinal (pleksus Auerbach atau
mienterikus), dan tampaknya berperan dalam pengaturan peristaltik esofagus normal.
Jala jala saraf intrinsik kedua (pleksus Meissner) terdapat di submukosa saluran
gastrointestinal, tetapi agak tersebar dalam esofagus. 12.
Fungsi sistem saraf enterik tidak bergantung pada saraf saraf ekstrinsik.
Stimulasi sistem simpatis dan parasimpatis dapat mengaktifkan atau menghambat
fungsi gastrointestinal. Ujung saraf bebas dan perivaskular juga ditemukan dalam
submukosa esofagus dan ganglia mienterikus. Ujung saraf ini dianggap berperan
sebagai

mekanoreseptor,

termoosmo,

dan

kemoreseptor

dalam

esofagus.

Mekanoreseptor menerima rangsangan mekanis seperti sentuhan, dan kemoreseptor


menerima rangsangan kimia dalam esofagus. Reseptor termo-osmo dapat dipengaruhi
oleh suhu tubuh, bau, dan perubahan tekanan osmotik.10.
Distribusi darah ke esofagus mengikuti pola segmental. Bagian atas disuplai
oleh cabang cabang arteria tiroidea inferior dan subklavia. Bagian tengah disuplai

11

oleh cabang cabang segmental aorta dan arteria bronkiales, sedangkan bagian
subdiafragmatika disuplai oleh arteria gastrika sinistra dan frenika inferior.8
Aliran darah vena juga mengikuti pola segmental. Vena esofagus daerah leher
mengalirkan darah ke vena azigos dan hemiazigos, dan di bawah diafragma vena
esofagus masuk ke dalam vena gastrika sinistra. Hubungan antara vena porta dan
vena sistemik memungkinkan pintas dari hati pada kasus hipertensi porta. Aliran
kolateral melalui vena esofagus menyebabkan terbentuknya varises esofagus (vena
varikosa esofagus). Vena yang melebar ini dapat pecah, menyebabkan perdarahan
yang bersifat fatal. Komplikasi ini sering terjadi pada penderita sirosis hepatis.12
2.2 Definisi :
Perdarahan saluran cerna atas atau yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan
Upper Gastrointestinal Bleeding (UGIB) adalah perdarahan yang terjadi dan berasal
pada area proksimal saluran pencernaan bagian proximal dari Ligamentum Treitz.
Yang termasuk organ organ saluran cerna di proximal Ligamentum Trieitz adalah
esofagus, lambung (gaster), duodenum dan sepertiga proximal dari jejunum. Kejadian
perdarahan saluran cerna bagian atas merupakan yang paling sering terjadi dan sering
ditemukan dibandingkan dengan kejadian perdarahan saluran cerna bagian bawah.
Lebih dari 50% kejadian perdarahan saluran cerna bagian atas dikarenakan oleh
penyakit erosif dan ulseratif dari gaster dan/atau duodenum. 13
Upper Gastrointestinal Bleeding merupakan suatu keadaan darurat medis umum
yang terkait dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Perdarahan akut
saluran cerna bagian atas menyumbang sekitar 2500 pasien rawat inap setiap
tahunnya di Inggris.2 Insiden tahunan UGIB bervariasi antara 47-116 (atau sekitar
100 orang) per 100.000 penduduk dan lebih tinggi pada daerah dengan tingkat
sosioekonomi yang kurang.3 Di Malaysia, angka kejadian UGIB sekitar 72 kasus per
100.000.14,15 Perdarahan ulkus peptikum tetap menjadi penyebab paling umum dari
perdarahan non-variceal akut saluran cerna bagian atas. 80% dari perdarahan pada
saluran cerna bagian atas berhenti secara spontan. Namun, 20% dari pasien mungkin
juga mengalami perdarahan yang persisten atau berulang. Sebagian besar morbiditas

12

dan mortalitas perdarahan saluran cerna bagian atas terjadi pada pasien dengan
perdarahan berulang atau pasien dengan penyakit komorbid yang signifikan.14,15
Morbiditas di rumah sakit belum membaik selama 50 tahun terakhir dan tetap
berada pada kisaran angka 10%. Ini mungkin sebagian disebabkan oleh fakta bahwa
kebanyakan pasien dengan UGIB adalah pasien usia lanjut dengan penyakit
kardiovaskular advanced, penyakit pernapasan, atau penyakit serebrovaskular,
sehingga menempatkan pasien ini pada peningkatan risiko kematian yang saat ini
menduduki proporsi kasus yang jauh lebih tinggi. Saat ini edoskopi terapeutik
dianggap sebagai bentuk pengobatan yang aman dan efektif. Analisis klinis dan faktor
endoskopi bisa memberikan penilaian risiko yang akurat, perencanaan pengobatan
yang rasional dan peningkatan hasil.16
2.3 Etiologi :
Penyebab paling umum dari non-variceal UGIB adalah penyakit ulkus
peptikum. Riwayat pasien dengan non-variceal UGIB memperlihatkan bahwa ulkus
atau dispepsia yang menyerupai ulkus tidak ditemukan pada sekitar 20% dari
keseluruhan kasus yang diketahui. Pada pasien seperti ini konsumsi aspirin atau nonsteroid antiinflamation drugs

(NSAIDS) cukup umum ditemukan. Infeksi

Helicobacter pylori kurang lazim pada pendarahan ulkus dibandingkan pada kasus
ulkus yang rumit.17,18
2.3.1

Ulkus Peptikum
Perdarahan ulkus peptikum terjadi terutama dari ulkus duodenum atau ulkus

lambung. Perdarahan ini terjadi sebagai akibat adanya erosi pembuluh darah dengan
tingkat keparahan perdarahan tergantung pada ukuran pembuluh yang terkena. Aliran
darah yang sederhana seringkali disebabkan oleh kerusakan pada pembuluh
submukosa kecil dengan ukuran kurang dari 0,1 mm. Pendarahan arteri yang lebih
parah menunjukkan besar pembuluh yang terkena memiliki diameter antara 0,1 dan 2
mm pada dasar ulkus telah terkikis oleh proses inflamasi. Ulkus besar yang timbul
dari bagian posterior dari tutup duodenum dapat mengikis arteri gastroduodenal dan
memprovokasi terjadinya perdarahan cepat.17
2.3.2 Erosi

13

Gastritis erosif akut dapat menyebabkan perdarahan terus-menerus sebagai


akibat dari hilangnya secara difusi epitel mukosa dan ulkus kecil. Kondisi ini sering
dikaitkan dengan penggunaan OAINS, steroid dan asupan alkohol. gastritis
hemoragik yang mungkin terjadi sebagai akibat dari gangguan aliran darah mukosa
sering disebabkan oleh rangsangan stres termasuk shock, gagal hati dan cedera
kepala.18
2.3.3 Oesofagitis
Esofagitis biasanya hanya menyebabkan perdarahan akut ringan. Kadangkadang pembuluh darah yang signifikan juga mungkin terlibat dengan perdarahan
arteri besar yang konsekuen.18
2.3.4 Robekan Mallory-Weiss
Robekan Mallory-Weiss adalah suatu robekan akut pada persimpangan gastroesofagus akibat muntah parah atau retching (pergerakan terbalik (peristalsis) dari
esophagus tanpa disertai muntah), kejadian ini sering terjadi setelah konsumsi asupan
alkohol yang berlebihan. Robekan Mallory-Weiss kebanyakan terjadi pada mukosa
lambung, namun dapat meluas hingga kerongkongan yang mengakibatkan muntah
masif yang disertai darah dengan warna merah yang biasanya berhenti secara
spontan. Endoskopi hemostasis mungkin diperlukan dalam beberapa kasus. Kadangkadang muntah yang berulang dapat mengakibatkan robekan dengan ketebalan
penuh (Boerrhaave sindrom) yang berhubungan dengan rasa sakit yang sangat dan
tiba-tiba pada perut bagian atas atau dada.17
2.3.5 Keganasan
Karsinoma dan limfoma perut umumnya berdarah pada saat ulserasi telah
mencapai tingkat lanjut, dan kadang-kadang hadir dengan perdarahan akut. Prognosis
biasanya ditentukan sesuai dengan tahapan penyakit.7
2.3.6 Lain-Lain
Ada beberapa penyebab lain yang mungkin hadir sebagai penyebab nonvariceal UGIB seperti yang tercantum pada Tabel 1.18
Tabel 1 : Etiologi Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas Non-variceal18
Etiologi Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas Non-variceal
14

Esofagus :
Robekan Mallory-Weiss, reflux esofagitis, ulkus esofagus, ulkus Barrets, ulkus
cameron pada hernia hiatus*, neoplasma esophagus.
Perut:
Ulkus lambung, erosi lambung, perdarahan gastritis, karsinoma lambung, limfoma
lambung , leiomioma, polip lambung, perdarahan telangiectasia herediter, lesi
dieulafoy*, Gastric Antral Vascular Ectasia(GAVE)*, Angiodisplasia *
Duodenum :
Ulkus duodenum, erosi duodenum, malformasi vascular, fistula aorta-duodenum,
polip (termasuk sindrom Peutz-Jeghers dan sindrom polip lainnya), karsinoma
ampula, karsinoma pancreas, haemobilia*
Usus Halus :
Ulkus perut, divertikulum (termasuk divertikulum Meckel), malformasi vascular,
tumor.
* Penyebab penting dari UGIB jelas

2.4. Epidemiologi
UGIB adalah sebuah alasan paling umum bagi seorang pasien untuk masuk ke
unit gawat darurat rumah sakit. Baru-baru ini sebuah studi prospektif dengan skala
besar dari Inggris melaporkan kejadian keseluruhan UGIB kurang lebih 103 orang per
100.000 penduduk dewasa per tahun, dengan angka kematian secara keseluruhan
sebesar 14%, tetapi hanya 0,6% bagi mereka dengan umur di bawah 60 tahun dan
tanpa penyakit komorbiditas. Sebagian besar kematian yang terjadi adalah pada
pasien dengan usia lanjut dan komorbiditas yang cukup signifikan. Penelitian
retrospektif dari Amerika Serikat juga menunjukkan kejadian serupa berupa 102
kasus per 100.000 orang dewasa. Sebuah figure yang tersedia dari studi prospektif
kecil dari Singapura lebih dari satu dekade lalu menunjukkan mortalitas keseluruhan
sekitar 10%.18,19,20

15

Angka kejadian UGIB dua kali lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan
wanita. Insiden meningkat secara nyata seiring dengan usia. Akibatnya, banyak
pasien dengan UGIB memiliki kondisi komorbiditas aktif, sebagai faktor risiko yang
konsisten untuk peningkatan mortalitas. Sebuah penelitian prospektif multisenter
lokal baru-baru ini telah memberikan sebuah informasi baru tentang epidemiologi
UGIB di Malaysia. Study ini merekrut 1.830 pasien dari empat rumah sakit
pemerintah di Bagian Timur Malaysia selama periode waktu dua tahun, studi ini
melaporkan angka kejadian UGIB sebesar 72 kasus per 100.000 penduduk dengan
puncak kejadian pada decade ke-4 dan ke-6. Tingkat kematian dari UGIB kurang
lebih 10,2%, namun meningkat secara substansial dengan usia dan tidak berbeda
antara kedua jenis kelamin. Pasien rawat inap yang dirawat untuk diagnosis lain tetapi
kemudian berkembang menjadi UGIB memiliki angka kematian tertinggi yang
hampir mencapai 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pasien dengan admisi
darurat atau transfer dari rumah sakit lain dengan diagnose awal UGIB. 64% dari
pasien pada seri penelitian ini mengaku memiliki penyakit tukak lambung sebagai
penyebab perdarahan. Penyebab paling sering berikutnya adalah penyakit erosif
mukosa dengan angka kejadian sebesar 16,5%. Perdarahan variceal menyumbang
angka kejadian sebesar 6,4% dan 3,6% keganasan. Hampir 9% dari seluruh pasien
tidak memiliki penyebab yang terlihat sebagai penyabab UGIB setelah endoskopi.
Hasil ini sebanding dengan seri lainnya yang dilaporkan. Menariknya, 1 dari 7 pasien
dengan perdarahan variceal juga memiliki penyakit ulkus peptikum secara
bersamaan.14

2.5 Faktor Resiko


2.5.1 Nonsteroidal Anti -Inflammatory Drugs (NSAIDs)
Sekitar 15-30% pasien yang mengkonsumsi NSAID mengembangkan penyakit
ulkus lambung di kemudian hari, namun tingkat kejadian penyakit pencernaan serius
seperti perdarahan, perforasi dan obstruksi kira-kira sepuluh kali lebih sedikit

16

dibandingkan dengan pasien yang tidak mengkonsumsi NSAID. Terjadinya suatu


cedera tergantung pada faktor klinis, jenis dan dosis NSAID yang dipakai.
Penggunaan NSAID juga telah ditemukan sebagai faktor risiko untuk perdarahan
ulang ulkus peptikum dalam beberapa studi. Hal ini dapat meningkatkan risiko
komplikasi ulkus sebanyak empat kali lipat. Resiko perdarahan meningkat sejalan
dengan usia yang lebih tua, penggunaan NSAID konvensional, kondisi komorbid,
konsumsi steroid yang bersamaan dan antikoagulan serta riwayat komplikasi
gastrointestinal. munculnya obat selektif COX-2 inhibitor merupakan suatu hal yang
menjanjikan dalam hal mengurangi toksisitas gastrointestinal.22,23,24,25
2.5.2 Aspirin
Paparan terhadap aspirin membawa risiko yang pasti tejadinya cedera saluran
cerna. Resiko UGIB tidak berbeda secara nyata antara pengguna aspirin dosis rendah
non-coated dan coated aspirin dosis rendah. Setiap dosis aspirin memiliki potensi
untuk menyebabkan perdarahan saluran cerna, bentuk enteric-coated aspirin
membawa risiko yang sama seperti aspirin biasa. Penggunaan bersamaan aspirin
dengan NSAID meningkatkan risiko komplikasi. Riwayat UGIB adalah faktor risiko
yang signifikan untuk perdarahan berulang pada mereka yang memakai aspirin dosis
rendah atau NSAID lainnya.19,20,21
2.5.3 Helicobacter Pylori
Helicobacter pylori merupakan penyebab utama penyakit ulkus peptikum yang
uncomplicated. Manfaatnya pemberantasan H. pylori untuk mengurangi kekambuhan
ulkus dan perdarahan setelah pemberantasan infeksi H. pylori pada indeks episode
perdarahan sangat baik pada lesi yang diidentifikasi H. pylori sebagai faktor etiologi
tunggal. Efek perlindungan yang diberikan oleh untuk H. pylori dalam pengaturan
regimen ini memberikan tingkat perlindungan yang sama seperti terapi antisekresi
yang berkelanjutan. Cara pengujian H. pylori dalam penatalaksaan UGIB mungkin
memegang peranan yang cukup penting. Secara khusus, tes urease berbasis biopsi
mungkin akan mengeluarkan hasil negatif palsu. Interaksi antara NSAID dan H.
pylori masih kontroversial hingga saat jurnal ini diturunkan. Pengobatan secara
eradikasi mungkin tepat untuk pasien yang menderita UGIB sekunder untuk

17

penggunaan aspirin dosis rendah, sedangkan pengobatan dengan omeprazole terlihat


sebagai strategi terbaik untuk pencegahan perdarahan ulkus berulang kaena
pengunaan NSAID. H .pylori berkontribusi untuk peningkatan resiko ulkus pada
pasien yang memulai pengobatan NSAID, sedangkan NSAID mungkin memiliki
bagian

terbanyak

dari

penyakit

ulkus

kronis

akibat

NSAID

penggunan.

Pemberantasan H. pylori secara substansial mengurangi risiko ulkus pada pasien yang
akan memulai terapi NSAID jangka panjang. 29,30,31,32,33,34

2.6 Tanda dan Gejala Klinis


Gejala dan tanda klinis perdarahan saluran cerna bagian atas yang sering
ditemukan pada pasien adalah 15 :
1. Anemia defisiensi besi akibat perdarahan tersembunyi yang telah berlangsung
lama.
2. Hematemesis dan atau melena yang disertai atau tanpa anemia, dengan atau tanpa
gangguan hemodinamik, derajat hipovolemi menentukan tingkat kegawatan
pasien.
Adapun manifestasi klinis yang ditemukan sebagai ciri khas dari perdarahan
saluran cerna bagian atas terutama dapat dibedakan dari perdarahan saluran cerna
bagian bawah, antara lain: hematemesis, melena, emesis yang berwarna seperti kopi,
nyeri pada epigastrium, dan reaksi vasovagal seperti mual, muntah dan rasa enek.14
Tabel 2 : Situasi Klinis Perdarahan UGIB35
Tabel 2: Gejala Klinis Perdarahan Saluran Cerna Atas
Akut
1. Haemetemesis dengan atau tanpa melena.
2. Melena dengan atau tanpa haemetemesis.
3. Haematochezia (jarang terhjadi) menunjukkan situasi perdarahan yang mengancam
nyawa.
Kronis
1. Anemia defisiensi besi dengan atau tanpa bukti kehilangan darah yang terlihat.

18

2. Kehilangan darah yang terdeteksi oleh pemeriksaan positif tes darah okultisme.

2.7 Penatalaksanaan
Pengelolaan dasar pasien perdarahan saluran cerna sama seperti perdarahan
pada umumnya, yakni meliputi pemeriksaan awal, resusitasi, diagnosis, dan terapi.
Tujuan pokoknya adalah mempertahankan stabilitas hemodinamik, menghentikan
perdarahan, dan mencegah terjadinya perdarahan ulang. Konsensus Nasional PGIPEGI-PPHI menetapkan bahwa pemeriksaan awal dan resusitasi pada kasus
perdarahan wajib dan harus bisa dikerjakan pada setiap lini pelayanan kesehatan
masyarakat sebelum dirujuk ke pusat layanan yang lebih tinggi. Adapun langkahlangkah praktis pengelolaan perdarahan saluran cerna bagian atas adalah sebagai
berikut 5:
1. Pemeriksaan awal, penekanan pada evaluasi status hemodinamik.
2. Resusitasi, terutama untuk stabilisasi hemodinamik.
3. Melanjutkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan lain yang
diperlukan.
4. Memastikan perdarahan saluran cerna bagian atas atau bagian bawah.
5. Menegakkan diangosis pasti penyebab perdarahan.
6. Terapi untuk menghentikan perdarahan, penyembuhan penyebab perdarahan
dan mencegah terjadinya perdarahan ulang.
Dengan adanya penegakan diagnosis penyebab perdarahan sangat menentukan
langkah terapi yang akan diambil pada tahap selanjutnya. 5
2.7.1 Pemeriksaan Awal Pada Perdarahan Saluran Cerna
Langkah awal pada semua kasus perdarahan saluran makanan adalah
menentukan beratnya perdarahan dengan memfokuskan pada status hemodinamik.
Pemeriksaannya meliputi5 :
1. Tekanan darah dan nadi dalam posisi berbaring.
2. Perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi.
3. Ada tidaknya vasokonstriksi perifer berupa akral teraba dingin.
4. Kelayakan nafas.
5. Tingkat kesadaran.
6. Produksi urin.

19

Perdarahan akut dalam jumlah besar melebihi 20% volume intravaskuler akan
mengakibatkan kondisi hemodinamik tidak stabil, dengan tanda tanda sebagai
berikut5 :
1. Hipotensi (< 90/60 mmHg atau MAP < 70 mmHg) dengan frekuensi nadi
lebih dari 100x/menit.
2. Tekanan diastolik ortostatik turun lebih dari 10 mmHg atau sistolik turun lebih
3.
4.
5.
6.

dari 20 mmHg.
Frekuensi nadi ortostatik meningkat 15x/menit.
Akral dingin.
Kesadaran menurun.
Anuria atau oliguria (produksi urin kurang dari 30 ml/jam).
Kecurigaan perdarahan akut dalam jumlah besar selain ditandai dengan kondisi

hemodinamik tidak stabil ialah bila ditemukan5 :


1. Hematemesis.
2. Hematoskezia.
3. Darah segara pada aspirasi pipa nasogastrik dan dengan lavase tidak segera
jernih.
4. Hipotensi persisten.
5. Dalam waktu 24 jam telah menghabiskan transfusi darah melebihi 800-1000
ml.
2.7.2 Resusitasi Terutama Dan Stabilisasi Hemodinamik
Pada kondisi hemodinamik tidak stabil, berikan infus cairan kristaloid
(misalnya cairan garam fisiologis) dengan tetesan cepat menggunakan dua jarum
berdiameter besar (minimal 16 G) dan pasang monitor CVP (central venous
pressure); tujuannya memulihkan tanda tanda vital dan mempertahankan tetap
stabil. Biasanya tidak sampai memerlukan cairan koloid (misalnya dekstran) kecuali
pada kondisi hipoalbuminemia berat. Secepatnya kirim pemeriksaan darah untuk
menentukan golongan darah, kadar hemoglobin, hematokrit, trombosit, leukosit.
Adanya kecurigaan diatesis hemoragik perlu segera ditindaklanjuti dengan
melakukan tes Rumpel-Leede, pemeriksaan waktu perdarahan, waktu pembekuan,
retraksi bekuan darah, PTT, dan aPTT.4

20

Kapan transfusi darah diberikan sifatnya sangat individual, tergantung dari


jumlah darah yang hilang, perdarahan masih aktif atau sudah berhenti, lamanya
perdarahan berlangsung, dan akibat klinik dari perdarahan tersebut. Pemberian
transfusi darah pada perdarahan saluran cerna dipertimbangkan pada keadaan berikut
ini4 :
1. Perdarahan dalam kondisi hemodinamik tidak stabil.
2. Perdarahan baru atau masih berlangsung dan diperkirakan jumlahnya 1 liter
atau lebih.
3. Perdarahan baru atau masih berlangsung dengan hemoglobin kurang dari 10
atau hematokrit kurang dari 30%.
4. Terdapat tanda tanda oksigenasi jaringan yang menurun.
Perlu dipahami bahwa nilai hematokrit untuk memperkirakan jumlah
perdarahan kurang akurat bila perdarahan sedang atau baru berlangsung. Proses
hemodilusi dari cairan ekstravaskuler selesai dalam waktu 24 hingga 72 jam setelah
onset perdarahan. Target pencapaian hematokrit setelah transfusi darah tergantung
kasus yang dihadapi, untuk usia muda dengan kondisi sehat cukup sebesar 20 25%,
usia lanjut sebanyak 30%, sedangkan pada hipertensi portal jangan melebihi hingga
27 28%.5

2.7.3. Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, dan Pemeriksaan Penunjang.


Sambil melakukan upaya mempertahankan stabilisasi hemodinamik, maka bisa
dilengkapi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan-pemeriksaan lain yang
diperlukan.4
Dalam anamnesis yang perlu ditekankan adalah5 :
1. Sejak kapan terjadinya perdarahan dan berapa perkiraan darah yang keluar.
2. Riwayat perdarahan sebelumnya.
3. Riwayat perdarahan dalam keluarga.
4. Ada tidaknya perdarahan di bagian tubuh lain.
5. Penggunaan obat obatan terutama anti inflamasi non-steroid dan anti
koagulan.
6. Kebiasaan minum alkohol.

21

7. Mencari kemungkinan adanya penyakit hati kronik, demam berdarah, demam


tifoid, gagal ginjal kronik, diabetes melitus, hipertensi dan alergi obat
obatan.
8. Riwayat transfusi sebelumnya.
Pemeriksaan fisik yang perlu diperhatikan 5:
1. Stigmata penyakit hati kronik.
2. Suhu badan dan perdarahan di bagian tubuh lain.
3. Tanda tanda kulit dan mukosa penyakit sistemik yang bisa disertai
perdarahan saluran cerna, misalnya pigmentasi mukokutaneus pada sindrom
Peutz-Jegher.
Kelengkapan pemeriksaan yang perlu diperhatikan 5 :
1. Elektrokardiogram, terutama pada pasien berusia di atas 40 tahun.
2. BUN dan kadar kreatinin serum karena pada perdarahan saluran cerna bagian
atas, pemecahan darah oleh kuman usus akan mengakibatkan kenaikan BUN,
sedangkan kreatinin serum tetap normal atau sedikit meningkat.
3. Kadar elektrolit (Natrium, Kalium, Clorida) dimana perubahan elektrolit bisa
terjadi karena perdarahan, transfusi, atau kumbah lambung.
4. Dan pemeriksaan pemeriksaan penunjang lainnya yang perlu dilakukan
tergantung jenis kasus perdarahan saluran cerna atas yang dihadapi.

2.7.4. Membedakan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas Dan Bawah


Cara praktis dalam membedakan perdarahan saluran cerna bagian atas atau
saluran cerna bagian bawah terdapat pada tabel berikut ini 5.
Tabel 3: Perbedaan Perdarahan Saluran Cerna Atas dan Bawah5

Manifestasi klinik pada

Perdarahan Saluran

Perdarahan Saluran

Cerna Bagian Atas

Cerna Bagian Bawah

Hematemesis dan/melena

Hematoskezia
22

umumnya
Aspirasi nasogastrik

Berdarah

Jernih

Rasio (BUN/Kreatinin)

Meningkat > 35

< 35

Auskultasi usus

Hiperaktif

Normal

Seorang pasien yang datang dengan keluhan hematemesis, muntahan seperti


kopi karena berubahnya darah oleh asam lambung, hampir pasti perdarahannya
berasal dari saluran cerna bagian atas. Timbulnya melena, berak hitam lengket dengan
bau busuk, bila perdarahannya berlangsung sekaligus sejumlah 50 100 ml atau
lebih. Untuk lebih memastikan keterangan melena yang diperoleh dari anamnesis,
dapat dilakukan pemeriksaan digital rektum. Perdarahan saluran cerna bagian atas
dengan manifestasi hematoskezia dimungkinkan bila perdarahannya cepat dan
banyak melebihi 1000 ml dan disertai kondisi hemodinamik yang tidak stabil atau
syok.5
Pada semua kasus perdarahan saluran cerna disarankan untuk pemasangan pipa
nasogastrik, kecuali pada perdarahan kronik dengan hemodinamik stabil atau yang
sudah jelas perdarahan saluran cerna bagian bawah. Pada perdarahan saluran cerna
bagian atas akan keluar cairan seperti kopi atau cairan darah segar sebagai tanda
bahwa perdarahan masih aktif. Selanjutnya dilakukan bilas lambung dengan air suhu
kamar. Sekiranya sejak awal tidak ditemukan darah pada cairan aspirasi, dianjurkan
pipa nasogastrik tetap terpasang sampai 12 atau 24 jam. Bila selama kurun waktu
tersebut hanya ditemukan cairan empedu dapat dianggap bukan perdarahan saluran
cerna bagian atas.7
Perbandingan

BUN

dan

kreatinin

serum juga

dapat

dipakai

untuk

memperkirakan asal perdarahan, nilai puncak biasanya dicapai dalam 24 hingga 48


jam sejak terjadinya perdarahan, normal perbandingannya 20, di atas 35
kemungkinan perdarahan berasal dari saluran cerna bagian atas, dibawah 35
kemungkinan perdarahan berasal dari saluran cerna bagian bawah. Pada kasus yang

23

masih sulit untuk menentukan asal perdarahannya, langkah pemeriksaan selanjutnya


ialah endoskopi saluran cerna bagian atas.5

2.7.5 Diagnosis Penyebab Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas


Dari 1673 kasus perdarahan saluran cerna bagian atas di SMF Penyakit Dalam
RSU dr.Sutomo Surabaya, 76.9% disebabkan oleh pecahnya varises esofagus, 19.2%
oleh gastritis erosif, 1.0% oleh tukak peptik dan 0.6% oleh kanker lambung, dan 2.6%
oleh karena sebab sebab yang lain. Laporan dari RS pemerintah di Jakarta,
Bandung, dan Yogyakarta urutan 3 penyebab terbanyak perdarahan saluran cerna
bagian atas sama dengan di RSU dr.Sutomo Surabaya. Sedangkan laporan dari RS
pemerintah di Ujung Pandang menyebutkan tukak peptik menempati urutan pertama
penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas. Laporan kasus di rumah sakit swasta,
yakni RS Darmo Surabaya, perdarahan karena tukak peptik sebanyak 51.2%, gastritis
erosif sebanyak 11.7%, varises esofagus sebanyak 10.9%, keganasan sebanyak 9.8%,
esofagitis 5.3%, sindrom Mallory-Weiss sebanyak 1.4%, idiopatik sebanyak 7% dan
penyebab penyebab lainnya sebanyak 2.7%. Di negara barat, tukak peptik berada di
urutan pertama sebagai penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas dengan
frekuensi sekitar 50%. Walaupun pengelolaan perdarahan saluran cerna bagian atas
telah banyak berkembang namun mortalitasnya relatif tidak berubah, masih berkisar
8-10%. Hal ini dikarenakan bertambahnya kasus perdarahan dengan usia lanjut, dan
akibat komorbiditas yang menyertai.5
Sarana diagnostik yang bisa digunakan pada kasus perdarahan saluran cerna
adalah endoskopi gastrointestinal, radiografi dengan barium, radionuklid, dan
angiografi. Pada semua pasien dengan tanda tanda perdarahan saluran cerna bagian
atas atau yang asal perdarahannya masih meragukan, maka pemeriksaan endoskopi
saluran cerna bagian atas merupakan prosedur pilihan. Dengan pemeriksaan ini
sebagian besar kasus diagnosis penyebab perdarahan bisa ditegakkan. Selain itu
dengan endoskopi bisa pula dilakukan upaya terapeutik. Bila perdarahan masih tetap

24

berlanjut atau asal perdarahan sulit diidentifikasi perlu dipertimbangkan pemeriksaan


dengan radionuklid atau angiografi yang sekaligus bisa digunakan untuk
menghentikan perdarahan. Adapun hasil tindakan endoskopi atau angiografi sangat
tergantung tingkat keahlian, keterampilan, dan pengalaman operator pelaksana. 7
Tujuan pemeriksaan endoskopi selain menemukan penyebab serta asal
perdarahan, juga untuk menentukan aktivitas perdarahan. Forest membuat klasifikasi
perdarahan tukak peptik atas dasar temuan endoskopi yang bermanfaat untuk
menentukan tindakan selanjutnya.5

Tabel 4 : Klasifikasi Aktivitas Perdarahan Tukak Peptik Menurut Forest5


Aktivitas Perdarahan

Kriteria Endoskopis

Forest Ia

Perdarahan aktif

Perdarahan arteri menyembur

Forest Ib

Perdarahan aktif

Perdarahan merembes

Forest IIa
Forest IIb

Pembuluh darah tampak terlihat


Perdarahan berhenti dan masih
terdapat sisa sisa perdarahan.

membandel (adherent)
Hematin berpigmen datar pada

Forest IIc

Forest III

Gumpalan darah yang

dasar ulkus
Perdarahan berhenti tanpa sisa
perdarahan.

Lesi tanpa tanda sisa perdarahan


baru atau dasar ulkus bersih
yang tertutup fibrin

2.8 Terapi
2.8.1 Terapi Endoskopi
Terapi Endoskopi telah terbukti meningkatkan hasil tatalaksana pada perdarahan
nonvariceal (Grade A). Dalam meta-analisis terbaru yang pada 30 percobaan acak
yang melibatkan lebih dari 2000 pasien, terapi endoskopik kecepatan terhadap
25

kemungkinan perdarahan lebih lanjut, kebutuhan untuk operasi mendesak, dan


mortalitas. Gastroskopi dini sangat bermanfaat sebagai instrumen terapi dan
prognosis, menurunkan tingkat transfusi darah dan secara signifikan mengurangi
masa tinggal di rumah sakit (Grade A). Endoskopi dilakukan setelah resusitasi.
Dalam kebanyakan kasus, hal ini dilakukan secara elektif pada daftar rutin berikutnya
dalam waktu 24 jam saat pasien masuk rumah sakit. Hanya sebagian kecil dari pasien
dengan perdarahan perlu endoskopi darurat diluar jadwal. Endoscopists on-call
haruslah berpengalaman dan mampu menerapkan berbagai perawatan endoskopik.
Terapi endoskopi diindikasikan ketika ada stigmata mayor perdarahan yang baru
terjadi (SRH). Ada sedikit keraguan bahwa ulkus Forrest 1a, 1b dan 2a harus
dilakukan endoskopi hemostasis (Grade A). Pasien dengan gumpalan adherent juga
dapat dimasukkan dalam kelompok risiko tinggi. Lebih dari hingga sepertiga
pembekuan darah yang menutupi ulkus dapat dihilangkan untuk mengungkapkan
stigmata mayor dari perdarahan yang baru terjadi. Opini saat ini lebih mendukung
perpindahan bekuan darah dengan irigasi atau dihilangkan secara mekanik, diikuti
dengan hemostasis endoskopik yang mendasari pembuluh darah yang terlihat (Grade
A). SRH kecil seperti Forrest 2c dan ulkus 3, mungkin bisa dikelola secara
konservatif dan keluar rumah sakit lebih awal.15,36,37,38,39,40,41,42
Tabel 5 : Perawatan Endoskopi Untuk Non-variceal UGIB17,18
Perawatan Endoskopi Untuk Non-variceal UGIB
Thermal
Heater probe
Elektrokoagulasi Multipolar (BICAP, Gold Probe)
Koagulasi plasma argon
Laser
Injeksi
Adrenalin (1: 10.000)
Prokoagulan (lem fibrin, trombin manusia)

26

Sclerosants (etanolamin, 1% polidoconal)


Alkohol (98%)
Mekanis
Klip
Ligasi band
Endoloops
Staples
jahitan
Terapi Kombinasi
Injeksi ditambah terapi termal
Injeksi ditambah terapi mekanik
Metode yang jarang digunakan digambarkan dalam huruf miring.

2.8.2 Terapi Injeksi


1. Adrenalin
Dalam penelitian hewan coba, injeksi mukosa 1: 10.000 pengenceran adrenalin
menyebabkan terjadinya vasokonstriksi yang berkepanjangan hingga 2 jam.
Adrenalin juga menyebabkan agregasi platelet dan efek tamponade lokal pada
pembuluh darah ketika disuntikkan dalam volume besar. Volume total 4 -16ml (1:
10.000) bisa disuntikkan dengan aman karena kebanyakan dari adrenalin akan
mengalami metabolisme lintas pertama di hati. Ada beberapa komplikasi sistemik
lainnya selain takikardia sementara. Adrenalin adalah agen injeksi pilihan karena
efeknya yang tidak merusak jaringan.46
Injeksi adrenalin telah mengurangi lamanya waktu tinggal di rumah sakit,
kebutuhan transfusi dan intervensi operasi (41% sampai 15%). Tingkat perdarahan
ulang di uji coba secara acak ini adalah 15% untuk terapi adrenalin dan 41% untuk

27

kontrol pada perdarahan ulkus aktif (Grade A). Adrenalin tetap menjadi gold standar
hingga saat ini karena murah, mudah didapatkan dan bisa mencapai kontrol dalam
perdarahan ulkus aktif. Kemampuan adrenalin merupakan sebuah komponen penting
dalam terapi kombinasi.16,42,44
2. Sclerosants
1% polidocanol, alkohol dan etanolamin adalah sclerosants yang digunakan
dalam hemostasis ulkus. Pada studi hewan 1% polidocanol menyebabkan hemostasis
dengan menginduksi kejang pada dinding usus dan edema awal dengan diikuti oleh
peradangan dan trombosis pembuluh darah. Alkohol absolut menghentikan
pendarahan dengan menyebabkan dehidrasi cepat dan fiksasi jaringan, sehingga
menghilangkan perdarahan pada pembuluh darah. Jumlah kerusakan jaringan secara
langsung terkait dengan volume sclerosant yang disuntikkan. Alkohol, dengan efek
ulcerogenicnya menyebabkan ulserasi yang berlangsung dalam jangka waktu yang
lama. Hal ini dapat mengurangi kemungkinan perdarahan ulang serta tingkat operasi
darurat (Grade B).45
Mengingat adanya resiko perforasi, penyuntikan sclerosant volume besar
haruslah dilakukan secara hati-hati. Nekrosis lambung Fatal telah dilaporkan.
Penambahan sclerosant pada pembuluh darah setelah injeksi adrenalin awal belum
terlihat memberikan keuntungan apapun dibandingkan injeksi adrenalin saja (Grade
A).46,47,48
3. Prokoagulan (Agen Trombotik)
Trombin manusia dan fibrin sealant adalah prokoagulan yang telah diteliti pada
ulkus hemostasis. Trombin manusia setelah injeksi epinefrin telah dibandingkan
dengan injeksi epinefrin saja. Pengurangan yang signifikan dalam perdarahan
berulang, transfusi darah dan kematian telah berhasil diamati pada kelompok terapi
gabungan. Lem fibrin adalah formulasi dari fibrinogen dan trombin yang bila
dikombinasikan secara langsung akan membentuk jaringan fibrin. Kedua zat ini

28

disuntikkan melalui jarum double-lumen. Keuntungan injeksi fibrin adalah kerusakan


jaringan yang terjadi sangat minimal, sehingga mengurangi risiko nekrosis jaringan
dan perforasi dan memungkinkan dilakukannya suntikan berulang. Dalam percobaan
multisenter di Eropa, pasien dengan perdarahan ulkus aktif atau ulkus dengan
pendarahan pembuluh darah yang tidak terlihat, secara acak menerima suntikan
tunggal polidocanol, injeksi fibrin sealant tunggal dan injeksi fibrin harian hingga
ulkus bersih dan terlihat. Fibrin sealant secara signifikan mengurangi resiko
perdarahan berulang hanya jika disuntikkan setiap hari. Sebuah program harian
endoskopi dijadwalkan dan pengobatan berulang telah dianjurkan. Ada kekhawatiran
tentang penularan virus dengan menggunakan lem fibrin. 49,50,51
2.8.3 Modalitas Termal
Modalitas termal dapat dibagi ke dalam metode kontak dan non-kontak. Ada
keuntungan yang berbeda dari metode kontak melebihi metode elektrokoagulasi nonkontak, yaitu tekanan mekanis dapat diterapkan pada titik perdarahan menggunakan
elektroda untuk kompresi perdarahan pembuluh darah sebelum terjadinya koagulasi.
Prinsip koagulasi coaptive adalah bahwa kombinasi dari kompresi mekanik dan
perlakuan panas menghasilkan penyegelan kuat dari pembuluh darah dibandingkan
dengan pengobatan non-mekanikal.52
1. Metode Kontak Termal
1.1 Elektrokoagulasi Monopolar
Dalam elektrokoagulasi monopolar arus mengalir melalui pasien dan
keluar melalui piringan ground. Karena tak terduganya kedalaman koagulasi
yang terjadi, elektrokoagulasi monopolar tidak lagi direkomendasikan untuk
hemostasis endoskopik.52
1.2 Elektrokoagulasi Multiple
Elektrokoagulasi multipolar probe terdiri dari 3 pasang elektroda yang
diatur dalam array linier pada ujungnya dan terhubung dengan generator
listrik. Aliran listrik dibatasi antara elektroda pada probe sehingga

29

menghindari masalah dengan ground dan aliran listrik yang menyimpang.


Kedalaman cedera lebih dangkal dan lebih dapat diprediksi dibandingkan
dengan elektrokoagulasi monopolar. Probe 7Fr kecil dan 10Fr besar (BICAP,
Gold Probe) tersedia untuk digunakan dengan masing-masing saluran
endoskopi 2.8mm dan 3.7mm. Efek yang optimal dapat diperoleh dengan
menggunakan probe besar 3.7mm dengan pengaturan kekuatan rendah 3-5
pada generator dan koagulasi berkepanjangan menggunakan tegangan 10-14
selama 2 detik. Khasiat BICAP mirip dengan probe heater (Grade B). 52,53

1.3 Probe Pemanas


Ujung probe pemanas terdiri dari ujung logam yang ditutupi oleh Teflon
yang dipanaskan oleh coil yang dikendalikan oleh komputer hingga suhu
250C. Secara praktis hal ini memerlukan (i) tamponade kuat menggunakan
probe 3.2mm dan (ii) koagulasi berkelanjutan dengan menggunakan 4
tegangan berturut-turut pada 30J setidaknya selama 8 detik. Probe pemanas
berguna karena memiliki jet air untuk membersihkan darah apapun. Secara
umum, probe pemanas dan injeksi adrenalin sebanding dalam efikasinya
(Grade A). Tingkat perdarahan ulang dengan menggunakan probe pemanas
secara sendiri dibandingkan dengan laser atau kontrol, dan dibandingkan
dengan laser atau BICAP secara statistik tidak berbeda signifikan.54,55,56
2. Terapi Kombinasi
Penambahan terapi probe pemanas pada injeksi epinefrin dalam subkelompok
pasien dengan spurter secara signifikan mengurangi kebutuhan untuk operasi bila
dibandingkan dengan injeksi epinephrine saja (Grade B). Namun Dalam banyak
penelitian, belum ada bukti yang menunjukkan manfaat tambahan apapun dalam
menggabungkan terapi injeksi dengan koagulasi termal. Penelitian terakhir tidak
mendukung tren saat ini yang condong pada terapi kombinasi menggunakan injeksi
serta terapi termal atau mekanis.18,57
3. Metode Termal Non-Kontak

30

3.1 Koagulasi Plasma Argon


Koagulasi Plasma Argon atau Argon Plasma Coagulation (APC) adalah
modalitas electrosurgical khusus di mana arus listrik dengan frekwensi tinggi
dilakukan dengan 'contact-free' melalui arus listrik yang terionisasi dan
memasukkan argon konduktif elektrik (plasma argon) ke dalam jaringan yang
akan dirawat. Tujuan dari teknik ini adalah untuk menciptakan suhu terapi
yang efektif untuk hemostasis termal dan/atau ablasi jaringan patologis.
Pada hemostasis, APC sangat berguna untuk perdarahan difus yang
timbul dari area yang luas, pendarahan karena gangguan koagulasi atau
perdarahan tumor. Teknik ini telah digunakan secara sukses untuk Gastric
Antral Vascular

Ectasia

(GAVE), angiodisplasia dan telangiectasia

hemoragik. Komplikasi yang dilaporkan (<1%) termasuk emfisema dinding


usus, pneumomediastinum dan perforasi.58
Pengobatan perdarahan ulkus dengan APC tampaknya tidak memberikan
keuntungan apapun dibandingkan dengan probe pemanas untuk hemostasis
endoskopik (Grade B).59
3.2 Laser
Beberapa percobaan untuk membandingkan metode monopolar,
multipolar, dan elektrokoagulasi probe pemanas dengan Nd: YAG dan laser
argon,

serta

modalitas

injeksi

adrenalin,

etanol

dan

polidocanol

mengungkapkan bahwa semua metode efektif dalam menurunkan kejadian


perdarahan ulang dan kebutuhan untuk operasi darurat. Complications dari
terapi laser meliputi perforasi, perdarahan, pembentukan fistula dan
stenosis. Terapi laser saat ini tidak dianjurkan (Grade B).43,56,60-62

2.8.4 Terapi Endoskopik Lainnya


1. Metode Mekanikal
Penempatan klip logam secara endoskopi baru-baru ini dianjurkan untuk
tatalaksana hemostasis (Grade B). Salah satu uji coba secara acak prospektif
31

membandingkan haemoclips dengan modalitas termal. Perdarahan ulang akut terjadi


pada 1,8% pasien haemoclip dibandingkan dengan 21% pada pasien dengan probe
pemanas (p <0,05). Jumlah rata-rata unit darah yang ditransfusikan dan lama waktu
tinggal di rumah sakit juga secara signifikan lebih rendah untuk haemoclips. Tidak
ada perbedaan dalam keadaan darurat tingkat operasi atau kematian selama 30-hari.
Haemoclips mungkin sangat berguna untuk pendarahan aktif pembuluh besar tapi
mungkin sulit untuk diterapkan dalam ulkus dengan tempat yang sulit (misalnya
kurva tinggi yang lebih rendah atau ulkus duodenum posterior).43,63,64

2.8.5 Terapi Farmakologis


Agregasi platelet in vitro dan disagregrasi, koagulasi dan fibrinolisis sangat
bergantung pada pH intragastrik. Agregasi platelet dan pembekuan darah optimal
pada pH 7,4. Pencernaan peptic trombus maksimal pada kisaran pH 1 - 3.5 dan pepsin
1 mungkin bisa terus berfungsi hingga pH 5. Agregasi platelet juga sangat terganggu
pada pH in-vitro rendah. Karena pembekuan darah dan agregasi platelet akan
dihapuskan pada pH yang lebih rendah dari 5.4, kegagalan obat antisecretory
tradisional untuk menanggulangi hemostasis pada pendarahan tukak lambung
mungkin akan mencerminkan kontrol pH yang tidak memadai. Terapi supresif asam
juga menurunkan aktivitas fibrinolitik yang meningkat yang tercatat pada pendarahan
ulkus. Hal ini memberikan penggunaan rasional asam reduktor yang lebih kuat seperti
pompa proton inhibitor dalam pengelolaan perdarahan ulkus peptikum.65,66,67
1. H2-Receptor Antagonis
Sebuah meta-analisis yang memeriksa 27 percobaan acak dari
cimetidine atau ranitidin pada pengobatan UGIB yang melibatkan lebih dari
2.500 pasien menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara
terapi H2 antagonis (21%) dan plasebo (23%). Bahkan, hanya satu dari 27 uji
individu yang melaporkan penurunan yang signifikan dalam perdarahan ulang

32

dengan terapi antagonis H2. Sebuah prospektif besar, acak, double-blind,


percobaan kontrol placebo untuk mengevaluasi penggunaan famotidine pada
perdarahan akut ulkus peptikum ditemukan tingkat pendarahan berulang,
kebutuhan untuk operasi dan jumlah kematian tidak berbeda antara kedua
kelompok. Sebuah meta-analisis terbaru menyimpulkan bahwa tidak ada bukti
yang mendukung penggunaan reseptor H2-antagonis dalam pengobatan
perdarahan ulkus duodenum tetapi ada bukti moderat dari manfaat
penggunaan reseptor H2-antagonis pada ulkus lambung. Penggunaan H2
antagonis di perdarahan saluran cerna atas tidak dianjurkan (Grade A).68,69,70
2. Proton Pump Inhibitors (PPIs)
Penggunaan omeprazole bolus intravena dibandingkan dengan plasebo
mengungkapkan adanya sedikit bukti endoskopik perdarahan yang terusmenerus pada pasien dengan pemberian omeprazole, tetapi pada titik akhir
lain termasuk kematian, adalah serupa pada kedua kelompok. Sebuah studi
tunggal pusat mengungkapkan bahwa dosis

tinggi omeprazol oral

mengakibatkan berkurangnya perdarahan ulang dan keperluan transfusi yang


lebih rendah bila dibandingkan dengan plasebo (80). Terapi endoskopi tidak
digunakan dalam percobaan ini. Berbagai uji coba telah membandingkan
penggunaan dosis tinggi omeprazol intravena dengan plasebo mengikuti
hemostasis

endoskopik

primer.

Penelitian

yang

paling

meyakinkan

mengungkapkan penurunan yang signifikan dalam perdarahan ulang dalam


waktu 30 hari pada kelompok omeprazole (6,7%) bila dibandingkan dengan
plasebo (22,5%). Meskipun angka kematian dan jumlah

pasien yang

membutuhkan pembedahan juga lebih rendah pada kelompok omeprazole,


namun perbedaan ini tidaklah signifikan.79,73-75
Pantoprazole intravena juga telah digunakan pada pendarahan ulkus
peptikum. Infus pantoprazole dibandingkan dengan ranitidin pada pasien
dengan Forrest Ia, Ib, IIa dan IIb setelah menjalani hemostasis endoskopik
dengan adrenalin atau adrenalin dengan polidocanol. Ada kecenderungan

33

untuk tingkat perdarahan ulang yang lebih rendah pada kelompok


pantoprazole yang berlawanan dengan ranitidine.76
Dalam meta-analisis yang membandingkan pompa proton inhibitor
dengan H2 antagonis, telah diamati bahwa perdarahan persisten atau berulang
lebih rendah frekwensinya pada pemberian pompa proton inhibitor (6,7%)
dibandingkan dengan H2 antagonis (13,4%). Tingkat keperluan untuk operasi
dan tingkat kematian tidak mencapai signifikansi statistik yang bermakna
,tetapi menunjukkan menguntungkan yang condong terhadap PPI. Ketika
analisis dikelompokkan menurut terapi endoskopi, hanya subkelompok pasien
yang tidak diobati dengan endoskopi yang menunjukkan penurunan yang
signifikan dalam perdarahan persisten atau berulang.77
Disarankan bahwa setelah terapi endoskopi pada ulkus peptikum dengan
pendarahan mayor, PPI dengan dosis intravena tinggi

(misalnya IV

Omeprazol 80mg awal yang diikuti dengan infus 8mg perjam selama 72 jam)
harus dilakukan (Grade B).
2.8.6

Terapi Bedah
Peran operasi bedah dalam penanganan UGIB telah banyak berubah dengan

penggunaan yang lebih luas dari endoskopik hemostasis pada perdarahan ulkus, tidak
lagi bertujuan untuk menyembuhkan penyakit tetapi terutama untuk menghentikan
pendarahan. Kematian setelah operasi darurat berkorelasi dengan score 2 Apache pra
operasi. Adapun indikasi pembedahan sebagai mode utama untuk pengobatan
adalah101 :
1. Perdarahan Masif
Masih tidak ada alternatif lain yang terbukti untuk operasi darurat pada
kasus perdarahan massif tak terkontrol dengan prosedur endoskopi. Hal ini
mungkin karena pendarahan yang tidak responsive terhadap hemostasis
endoskopik atau kegagalan visualisasi endoskopik dari perdarahan karena
perdarahan yang berlimpah. Lanjutan upaya pengobatan dengan endoskopik
adalah sia-sia dan berbahaya untuk dilakukan. 78
2. Ulkus Yang Tidak Dapat Diakses dengan Kontrol Endoskopik
34

Ada situasi di mana perdarahan ulkus tidak dapat diakses untuk kontrol
endoskopi. Hal ini dapat terjadi pada duodenum yang sering cacat dan
menyempit. Operasi primer diindikasian dalam tingkat keadaan seperti ini.
Tingkat

dari operasi primer-darurat bervariasi tergantung pada campuran

kasus dan keahlian manajemen endoskopi. Dengan demikian dokter bedah


harus terlibat sejak awal dalam merawat tim untuk merawat pasien dan
kerjasama erat antara endoscopists/gastroenterologist dan ahli bedah adalah
sangat penting. 78
3. Tipe Operasi yang Dilakukan
Tampaknya tidak ada perbedaan antara lokal (under-running/oversewing atau eksisi ulkus) dan operasi radikal (reseksi lambung atau vagotomy)
sehubungan dengan kematian meskipun tingkat perdarahan ulang mungkin
lebih tinggi pada kelompok local.79
Sementara teknik operasi under-ruuning atau over-sewing untuk
perdarahan ulkus disarankan pada sebagian besar kasus, eksisi ulkus atau
bahkan operasi yang lebih radikal (misalnya reseksi lambung untuk ulkus
yang besar,kronis dan ulkus yang mempenetrasi lambung) dapat dilakukan
dalam kasus-kasus tertentu. Hanya ada satu percobaan prosedur bedah yang
berbeda untuk perdarahan ulkus duodenum. Tingkat perdarahan ulang
terendah pada pasien yang dilakukan gastrektomi yang menyertakan ulkus
baik dengan Billroth I atau rekonstruksi Billroth II bila dibandingkan dengan
operasi yang lebih konservatif. Namun, kebocoran empedu yang mengikuti
gastrektomi jauh lebih tinggi dan angka kematiannya secara keseluruhan
adalah serupa pada kedua kelompok acak. Penelitian yang sama menunjukkan
bahwa ketika sebuah pendarahan ulkus duodenum di under-run kan, ligase
dari gastroduodenal dan arteri gastroepiploic kanan mengurangi tingkat
perdarahan ulang ke tingkat yang hampir sama seperti gastrektomi (Grade B).
Saat ini tidak memungkinkan untuk membuat rekomendasi yang pasti karena
tidak adanya prospektif percobaan acak yang baik. Besarnya operasi harus

35

disesuaikan dengan jenis ulkus, keparahan penyakit pada pasien dan


pengalaman dari ahli bedah.80

Gambar 3 : Alogaritme Perdarahan UGIB Non-Variceal17,18,43

36

2.9 Prognosis
Pasien lansia dan orang dengan kondisi medis yang kronis menghadapi UGIB
akut dengan kurang baik dan memiliki risiko kematian yang lebih tinggi. Angka
kematian sekitar 7% didapatkan pada pasien yang MRS dengan UGIB. Resiko
meningkat menjadi sekitar 26% pada pasien yang mengembangkan perdarahan saat
berada di rumah sakit setelah dirawat karena diagnose awal yang lain. Skor kurang
dari 3 pada sistem skoring Rockall dikaitkan dengan prognosis yang sangat baik,
sedangkan skor 8 atau lebih dikaitkan dengan tingkat kematian yang lebih tinggi.2,3,4
Faktor-faktor yang mempengaruhi risiko kematian meliputi19,81,82 :
1) Umur
Kematian di bawah usia 40 tahun jarang terjadi. 30% dari pasien berusia
lebih dari 90 tahun dengan UGIB mati akibat perdarahan.
2) Komorbiditas
Komplikasi lebih mungkin terjadi apabila pasien dengan UGIB juga
memiliki penyakit penyerta.
3) Shock
Kehadiran tanda-tanda syok pada presentasi memberikan prognosis yang
lebih buruk.
4) Prognosis juga buruk dengan:. penyakit hati, rawat inap, pendarahan terus
setelah presentasi, hematemesis, haematochezia dan peningkatan urea
darah.
Temuan Endoskopi :
Banyak hal telah dilakukan untuk mengklasifikasi dan mengidentifikasi
temuan endoskopi yang berkorelasi dengan risiko tinggi, misalnya:
Mallory-Weiss Tear atau ulkus yang bersih memiliki risiko
pendarahan ulang dan kematian yang rendah.
Perdarahan aktif pada pasien dengan shock memiliki risiko 80%
untuk terjadinya pendarahan ulang atau kematian.
Non-perdarahan tetapi memiliki pembuluh darah yang visible
memiliki risiko 50% terjadinya pendarahan ulang.

37

Kematian dilaporkan lebih rendah pada unit spesialis yang mungkin


dikarenakan oleh kepatuhan terhadap protokol dan bukan karena kemajuan teknis.
Prognosis pada penyakit hati berhubungan secara signifikan dengan tingkat
keparahan penyakit hati dibandingkan dengan besarnya perdarahan.19,81,82
Tabel 6 : Rockall Risk Scoring System83
Variabel
Usia
Shock

Skor 0
<60
Tidak ada

Skor 1
60-79
Nadi >100

shock

TD >100 Sis

Skor 2
>80
TDS <100
CHF, IHD,

Komorbid

Nil mayor

Morbiditas
mayor

Diagnosa

Mallory-Weiss

Semua diagnosa
lainnya

Bukti
Perdaraha

Skor 3

Renal failure,
liver failure,
metastatic
cancer

Malignansi GI
darah,sumbatan

Tidak ada

adherent,

spurting vessel

BAB III
KESIMPULAN

38

Perdarahan saluran cerna bagian atas adalah perdarahan yang terjadi dan berasal
pada area proksimal saluran pencernaan bagian proximal dari ligamentum treitz.
Insiden tahunan UGIB bervariasi antara 47-116 (atau sekitar 100 orang) per 100.000
penduduk dan lebih tinggi pada daerah dengan tingkat sosioekonomi yang kurang.
Angka mortalitas di rumah sakit bagi pasien dengan UGIB belum membaik selama
50 tahun terakhir dan tetap berada pada kisaran angka 10%.
penyakit ulkus peptikum adalah penyebab paling umum dari non-variceal
UGIB. Konsumsi aspirin atau non-steroid antiinflamation drugs (NSAIDS) cukup
umum ditemukan pada pasien dengan UGIB. Infeksi Helicobacter pylori kurang
lazim pada pendarahan ulkus dibandingkan pada kasus ulkus yang rumit.
Gejala klinis yang sering ditemukan pada pasien dengan UGIB diantaranya
adalah anemia defisiensi besi akibat perdarahan tersembunyi yang telah berlangsung
lama, hematemesis dan atau melena yang disertai atau tanpa anemia, dengan atau
tanpa gangguan hemodinamik.
Saat ini terapi endoskopi merupakan terapi pilihan untuk mendeteksi lokasi
perdarahan dan menghentikan perdarahan yang terjadi serta mencegah terjadinya
perdarahan ulang. Terapi bedah saat ini jarang dilakukan kecuali pada kasus-kasus
dengan perdarahan massif yang tidak merespon terhadap terapi endoskopi atau pada
kasus dengan letak perdarahan yang tidak bisa dicapai dengan kontrol endoskopi.
Ahli radiologi dan ahli bedah seyogyanya dilibatkan dalam tim multidisipliner
pengelolaan perdarahan saluran cerna bagian atas.

DAFTAR PUSTAKA
1. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP. Nasional
Dr. Cipto Mangunkusumo. Jakarta: 2007
39

2. myVMC

team,

30

Januari

2014,

Gastrointestinal

System,

http://www.myvmc.com/anatomy/gastrointestinal-system/, diunduh pada 4


Mei 2015.
3. MicrobeWiki,

29

April

2011,

Small

Intestine,

https://microbewiki.kenyon.edu/index.php/Small_Intestine, diunduh pada 4


Mei 2015.
4. Sabatine, Marc S. Gastrointestinal Bleeding. Pocket Medicine: The
Massachusetts General Hospital Handbook of Internal Medicine. Fourth
Edition. Wolters Kluwer Health and Lippincott Williams & Wilkins,
Philadelphia. 2011. Section: GIB 3 3.
5. Adi, Pangestu. Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 2007. Hal: 289
292.
6. Lindseth,

Glenda

N.

Gangguan

Lambung

dan

Duodenum.

PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume I. Edisi 6.


EGC:Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta. 2003. Hal: 417-419, 423, 428.
7. Tarigan, Pengarapen. Tukak Gaster. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
I. Edisi IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta. 2007. Hal: 341.
8. Lindseth, Glenda N. Gangguan Usus Halus. PATOFISIOLOGI Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume
9. Admin

cafemlm,

July

12

2014,

Stomach

Diagram,

http://www.cafemlm.com/kesihatan-dan-anda/kanser-perut-stomachcancer.html/attachment/stomach-diagram diunduh pada 4 Mei 2015.

40

10. Abdurachman, S.A. Tumor Esofagus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
I. Edisi IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta. 2007. Hal: 327.
11. Webmd

team,

2014,

Digestive

Disorders

Health

Center,

http://www.webmd.com/digestive-disorders/picture-of-the-esophagus,
diunduh pada 4 Mei 2015.
12. Wilson, Lorraine M. dan Glenda N. Lindseth. Gangguan Esofagus.
PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume I. Edisi 6.
EGC:Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta. 2003. Hal: 404-405.
13. Shuhart, Margaret, M.D., Kris Kowdley, M.D., dan Bill Neighbor, M.D.,
Gastrointestinal

Bleeding.

Medline

Article,

Vol.41,

http://www.uwgi.org/guidelines/ch_07/ch07txt.htm (diunduh pada tanggal: 27


Oktober 2011)
14. Cheng JLS, Gunn A, Menon J, Arokiasamy J, Ong P, Loong SY, Oommen
G, Damodaran A. Aetiology of Acute Upper Gastrointestinal Bleeding in
East Malaysia. Med J Mal. 2001; 56 (supp A) D31
15. Cheng JLS, Menon J, Arokiasamy J, Ong P. Racial Differences in Acute
Upper Gastrointestinal Bleeding in East Malaysia. Med J Mal. 2001; 56 (supp
A) D29
16. NIH Consensus Conference. Therapeutic endoscopy and bleeding ulcers.
JAMA 1989; 262:36972
17. Dallal HJ, Palmer KR. Upper gastrointestinal haemorrhage. BMJ 2002;
Vol.323:1115-1117
18. Ghosh S, Watts D, Kinnear M. Management of gastrointestinal haemorrhage.
Postgrad Med J 2002; 78:4-14
41

19. Rockall TA, Logan RFA, Devlin HB, Northfield TC on behalf of steering
committee and members of the national audit of acute gastrointestinal
haemorrhage. Incidence of and mortality from acute upper gastrointestinal
haemorrhage in the United Kingdom. BMJ 1995;311:222-62
20. Longstreth

GF. Epidemiology of

Hospitalization

for Acute

Upper

Gastrointestinal Hemorrhage: A Population-Based Study. Am J Gastroenterol


1995;90(2):206-210
21. Kang JY, Chua CL, Guan R, et al. A six month study of upper
gastrointestinal haemorrhage at Singapore General Hospital. Sing Med J.
1983;24:124-7
22. Laine L. Approaches to non-steroidal anti-inflammatory drug use in the
highrisk patient .Gastroenterology 2001;120:594-606
23. Hernandez Diaz S et al. Association between non-steroidal anti-inflammatory
drugs and upper gastrointestinal tract bleeding /perforation:an overview of
epidemiologic studies published in the 1990s. Arch Int Med 2000;160:2093-9
24. Hernandez-Diaz S, Garcia-Rodriguez LA. Epidemiologic assessment of the
safety of conventional non-steroidal anti-inflammatory drugs. Am J Med
2001;110(Suppl 1):20-27
25. Bombardier C, Laine L, Reincin A, et al. Comparison of upper gastrointestinal
toxicity of rofecoxib and naproxen in patients with rheumatoid arthritis. N
Engl J Med 2000;343:1520-1528
26. Sorensen HT, Mellemkjaer L, Blot WJ et al. Risk of upper gastrointestinal
bleeding associated with the use of low-dose aspirin. Am J Gastroenterol
2000;95:2218-2224

42

27. De Abajo FJ, Garci Rodriguez LA. Risk of upper gastrointestinal bleeding and
perforation associated with low-dose aspirin as plain and enteric-coated
formulations. BMC Clin Pharmacol 2001;1:
28. Lanas A, Bajador E, Serrano P et al. Nitrovasodilators, low dose aspirin, other
non-steroidal anti-inflammatory drugs and the risk of upper gastrointestinal
bleeding. N Engl J Med 2000;343:834-9
29. .Jaspersen D, et al. Helicobacter pylori eradication reduces the rate of
rebleeding in ulcer haemorrhage. Gastrointest Endosc 1995;41:5-7
30. Labenz J, Borsch G. Role of Helicobacter pylori eradication in the prevention
of

peptic

ulcer

relapse.

Digestion

1994;55:19-23

24. Graham DY, Heeps KS, Ramirez FC et al. Treatment of Helicobacter


pylori
reduces the rate of rebleeding in peptic ulcer disease. Scand J Gastroenterol
1993;28:939-42
31. Capurso G, Annibale B, Osborn J et al.Occurrence and relapse of bleeding
from duodenal ulcer: respective roles of acid secretion and Helicobacter
pylori

infection.

Aliment

Pharmacol

Ther

2001;15:821-829

and Colin R, Czernichow P, Baty V et al. Low sensitivity of invasive tests for
the
detection of Helicobacter pylori infection in patients with bleeding ulcer.
Gasterenterol Clin Biol 2000;24:31-35
32. Hawkey CJ. Risk of ulcer bleeding in patients infected with Helicobacter
pylori taking non-steroidal anti-inflammatory drugs. Gut 2000;46:310-311
33. Chan FK, Chung SC, Suen BY et al. Preventing recurrent upper
gastrointestinal bleeding in patients with Helicobacter pylori infection who
are taking low-dose aspirin or naproxen. N Engl J Med 2001;344:967-973
43

34. Chan FK. Helicobacter pylori, NSAIDs and gastrointestinal haemorrhage.


Eur J Gastroenterol Hepatol 2002;14:1-3
35. Yamada T, Alpers DH et al. Textbook of Gastroenterology, JB Lippincott
Company. 1995: 671-685
36. Laine L, Peterson WL: Bleeding peptic ulcer. N Engl J Med 1994; 331:717727
37. Cook DJ, Guyatt GH, Salena BJ et al: Endoscopic therapy for acute
nonvariceal

upper

gastrointestinal

hemorrhage:

meta-analysis.

Gastroenterology 1992; 102:139-148


38. Spiegel BMR, Vakil NB, Offman JJ. Endoscopy for acute, non-variceal upper
gastrointestinal tract haemorrhage: is sooner better? Arch Int Med
2001;161:1393-404
39. Palmer KR, Choudari CP. Endoscopic intervention in bleeding peptic ulcer.
Gut.1995; 37(2):161-4
40. Lin HJ, Wang K, Perng CL, Lee FY, Lee CH, Lee SD. Natural history of
bleeding peptic ulcers with a tightly adherent blood clot: a prospective
observation. Gastrointestinal Endoscopy.1996; 43(5):470-3.
41. Lau JY, Chung SCS. Management of upper gastrointestinal haemorrhage.`J
Gastroenterology and Hepatology 2001;15(s3):G8-G12.
42. Chung SCS, Leung JW, Steele RJ et al. Endoscopic injection of adrenaline for
actively bleeding ulcers:a randomized trial. BMJ 1988; 296:1631-33.
43. Palmer KR. British Society of Gastroenterology Endoscopy Committee.
Nonvariceal

upper

gastrointestinal

haemorrhage:

guidelines.

Gut

2002:51(Supplement IV):1-6.

44

44. Kubba AK, Murphy W., Palmer KR. Endoscopic injection for bleeding peptic
ulcer: a comparison of adrenaline alone with adrenaline plus human thrombin.
Gastroenterology.1996; 111(3):623-8
45. Asaki S. Efficacy of endoscopic pure ethanol injection method for
gastrointestinal bleeding. World J Surg 2000; 24:294-298
46. Levy J, Khakoo S, Barton R et al. Fatal injection sclerotherapy of a bleeding
peptic ulcer. Lancet 1991; 337:504
47. Chung SCS, Leung JWC, Leough HT et al. Adding a sclerosant to endoscopic
epinephrine injection in actively bleeding ulcers:a randomised trial.
Gastrointest Endosc 1993;39: 611-15.
48. Choudari CP, Palmer KR. Endoscopic injection therapy for bleeding peptic
ulcer:a comparison of adrenaline alone with adrenaline plus ethanolamine
oleate. Gut 1994; 35:608-10
49. Kubba AK, Murphy W, Palmer KR. Endoscopic injection for bleeding peptic
ulcer: A comparison of adrenaline alone with adrenaline plus human
thrombin. Gastroenterology 1996; 111: 6238.
50. Rutgeerts P, Rauws E, Wara P et al. Randomised trial of single and repeated
fibrin glue compared with injection of polidocanol in treatment of bleeding
peptic ulcer. Lancet 1997; 350: 692-6
51. Blackstone MO. Fibrin glue for bleeding peptic ulcers (Commentary).
Lancet 1997; 350: 679-8.
52. Leung JW, Chung SCS. Practical management of nonvariceal upper
gastrointestinal bleeding In Tytgat GNJ, Classen M, ed. Practice of
Therapeutic Endoscopy. Churchill Livingstone.1994;1-16

45

53. Jensen DM, Machicado GA, Kovacs TOG et al. Controlled randomised study
of heater probe and BICAP for haemostasis of severe ulcer bleeding.
Gastroenterology 1998;94:A 208
54. Jensen DM. Heater probe for endoscopic haemostasis of bleeding peptic ulcer.
Gastrointest Clin N Am 1991;1:319-39
55. Choudahari CP, Rajagopal C, Palmer KR. A comparison of endoscopic
injection therapy versus heater probe in major peptic ulcer haemorrhage. Gut
1992;33:1159-61
56. Hui WM, Ng MMT, Lok ASF et al. A randomized comparative study of laser
photocoagulation, heater probe and bipolar electrocoagulation in the treatment
of actively bleeding ulcers. Gastrointest Endosc 1991;7:299-304
57. Chung SCS, Lau JY, Sung JJ et al. Randomized comparison between
adrenaline injection alone and adrenaline injection plus heat probe treatment
for actively bleeding ulcers. BMJ 1997;314:1307-11
58. Probst A, Scheubel R, Wienbeck M. Treatment of watermelon stomach
(GAVE syndrome) by means of endoscopic argon plasma coagulation (APC)
: long term outcome. Zeitschrift fur Gastroenterologie 2001; 39:447-52
59. Cipolletta L, Bianco MA, Totondano G, Piscopo R, Prisco A, Garofano
ML. Prospective comparison of argon plasma coagulator and heater probe in
the endoscopic treatment of major peptic ulcer bleeding. Gastrointest Endosc
1998; 48:191-5
60. Loizou LA, Bown SG. Endoscopic treatment for bleeding peptic
ulcersrandomized comparison of adrenaline injection and adrenaline injection
+ NdYAG laser photocoagulation. Gut 1991; 32:1100-03

46

61. Mathewson K, Swain CP, Bland M et al. Randomized comparison of NdYAG


laser, heat probe, and no endoscopic therapy for bleeding peptic ulcers.
Gastroenterology 1990;98:1239-44
62. Swain CP, Bown SG, Salmon PR et al. Controlled trial of neodymium YAG
laser photocoagulation in bleeding peptic ulcers. Lancet 1986;i: 1113-4
63. Cipolletta L, Bianco MA, Marmo R et al. Endoclips versus heater probe in
preventing early recurrent bleeding from peptic ulcer: a prospective and
randomised trial. Gastrointest Endosc 2001;53:147-151
64. Quadri A, Vakil N. Peptic ulcer bleeding: Clips, Heat and Outcome. Am J
Gasteroenterol 2002;97: 200-201
65. Green PJ et al. Effect of acid and pepsin on blood coagulation and platelet
aggregation:

possible

contributor

to

prolonged

gastrointestinal

haemorrhage. Gastroenterology 1974;74:38-43


66. JT, Ward R, Allen A et al. Mucus degradation by pepsin-comparison
of mucolytic activity of pepsin 1 and pepsin 3. Implications in peptic
ulceration. Gut 1986; 27:243-8.
67. Vreeburg EM, Levi M, Rauws EAJ et al. Enhanced mucosal fibrinolytic
activity in gastroduodenal ulcer haemorrhage and the beneficial effect of acid
suppression. Aliment Pharmacol Ther 2002 Jun; 16:1137-42
68. Collins R, Langman M. Treatment with Histamine H2 antagonists in upper
gastrointestinal hemorrhage. Implications of randomized trials. N Engl J
Med 1985; 313:660.
69. Walt RP et al. Continuous intravenous famotidine for haemorrhage from
peptic ulcer .Lancet 1992 ; 340:1058-62.

47

70. Levine J et al. Meta-analysis: The efficacy of H2-receptor antagonists in


bleeding peptic ulcer. Aliment Pharmacol Ther 2002 Jun; 16:1137-42
71. Daneshmend TK, Hawkey CJ, Langman MJS, Logan RFA, Long RG, Walt
RP. Omeprazole versus placebo for acute upper gastrointestinal bleeding:
randomised double blind controlled trial. BMJ 1992; 304:143-7.
72. Schaffaalitzky D, Muckadell OB, Havelund T, Harling H et al. Effect of
omeprazole on the outcome of endoscopically treated bleeding peptic ulcers:
randomized double blind placebo controlled multicenter study. Scan J
Gastroenterol 1997; 32:320-7.
73. Hasselgren G, Lind T, Lundell L et al. Continuous intravenous infusion of
omeprazole in elderly patients with peptic ulcer bleeding: results of a
placebocontrolled multicenter trial. Scan J Gastroenterol 1997; 32:328-33.
74. Lin HJ, Lo WC, Lee FY, Perng CL, Tseng GY. A prospective randomized
comparative trial showing that omeprazole prevents rebleeding in patients
with bleeding peptic ulcer after successful endoscopic therapy. Arch Intern
Med 1998;158:54-8.
75. Lau JY. Sung JJ, Lee KK et al. Effect of intravenous omeprazole on
recurrent bleeding after endoscopic treatment of bleeding peptic ulcers. N
Engl J Med Aug 3 2000;343:310-16.
76. Fried R, Begliner C, Meier R, Stumpf J, Adler G, Schepp W, Klein M,
Fischer R. Comparison of intravenous pantoprazole with intravenous
ranitidine in peptic ulcer bleeding. Gut 1999 Suppl V;(45):P0104.
77. Gisbert JP, Gonzalez L, Calvet X, Roque M, Gabriel R , Pajares JM.
Proton pump inhibitors versus H2 antagonists: a meta-analysis of their

48

efficacy in treating bleeding peptic ulcer. Aliment Pharmacol Ther


2001;15(7):917-26.
78. Scheim M, Gecalter G. Apache II score in massive upper gastrointestinal
haemorrhage from peptic ulcer; a prognostic value and potential clinical
applications. Br J Surg 1989;76:733-6
79. Poxon VA, Keighley MRB, Dykes PW, Hepinstall K, Jaderberg M.
Comparison of minimal and conventional surgery in patients with bleeding
peptic ulcer: a multicentre trial. Br J Surg 1991; 78:1344
80. Millat B, Hay JM, Valleur P, Fingerhut A, Fagniez PL. French Associations
for Surgical Research: Emergency surgical treatment for bleeding duodenal
ulcer: oversewing plus vagotomy versus gastric resection, a controlled
randomized trial. World J Surg 1993; 17:568
81. Management of acute upper and lower gastrointestinal bleeding; Scottish
Intercollegiate Guidelines Network - SIGN (September 2008)
82. Acute upper GI bleeding, NICE Clinical Guideline (June 2012)
83. British Society of Gastroenterology Endoscopy Committee (2002). "Nonvariceal upper gastrointestinal haemorrhage: guidelines. Gut. 51 Suppl 4: iv1
6. doi:10.1136/gut.51.suppl_4.iv1. PMC 1867732. PMID 12208839

49

Anda mungkin juga menyukai