Anda di halaman 1dari 4

International Standard for Tuberculosis Care

Standar Internasional Layanan Tuberkulosis

Standar Diagnosis

1. Untuk memastikan diagnosis dini, penyedia layanan harus


memiliki kesadaran terterhadap faktor risiko individual dan
kelompok dan melakukan evaluasi klinis yang cepat serta
pemeriksaan penunjang yang sesuai pada individu dengan
gejala dan temuan yang sesuai dengan tuberkulosis.
2. Semua pasien, termasuk anak-anak, dengan gejala batuk
selama dua minggu atau lebih yang tidak dapat dijelaskan
atau dengan temuan sugestif tuberkulosis pada foto toraks
harus diperiksakan TB.
3. Semua pasien, termasuk anak-anak, dengan suspek TB paru
serta memproduksi sputum sebaiknya diperiksakan paling
tidak 2 spesimen sputum secara mikroskopis atau spesimen
tunggal dengan Xpert MTB/RIF pada laboratorium dengan
standar kualitas terjamin. Pasien dengan risiko resistensi obat,
dengan risiko HIV, atau sakit berat, sebaiknya diperiksakan
Xpert MTB/RIF sebagai pemeriksaan diagnostik awal.
Pemeriksaan serologi berbasis darah dan interferon-gamma
release assays sebaiknya tidak dipakai untuk mendiagnosis TB
aktif.
4. Untuk semua pasien, termasuk anak-anak, dengan suspek TB
ekstrapulmoner, spesimen yang tepat dari suspek organ yang
terlibat sebaiknya diperiksakan secara histologis dan
mikrobiologis. Xpert MTB/RIF direkomendasikan sebagai tes
mikrobiologis awal untuk suspek TB meningitis karena
kebutuhan akan diagnosis cepat.
5. Pada pasien dengan suspek TB pulmoner dengan apusan
sputum negatif, Xpert MTB/RIF dan atau kultur sputum
sebaiknya dilakukan. Di antara pasien dengan apusan dan
Xpert MTB/RIF negatif dengan bukti klinis sugestif TB, OAT
sebaiknya dinisiasi setelah pengumpulan spesimen untuk
pemeriksaan kultur.
6. Pada semua anak dengan suspek TB intratoraks (pulmoner,
pleura, dan mediastinum atau nodus limfe hilus), konfirmasi
bakteriologis sebaiknya melalui pemeriksaan sekresi (sputum
yang diekspektorasi, sputum yang diinduksi, atau bilas
lambung) untuk pemeriksaan mikroskopis, Xpert MTB/RIF, dan
atau kultur.

Standar Tata Laksana

7. Sebagai bentuk tanggung jawab kesehatan masyarakat, dan


terhadap pasien secara individu, penyedia layanan harus
meresepkan regimen yang tetap, mengawasi kepatuhan pada
regimenm dan jika perlu, mengevaluasi faktor yang
mengakibatkan ketidakpatuhan pada pengobatan. Kordinasi
diperlukan dengan faskes lokal dan atau organisasi lain.
8. Semua pasien yang belum diobati sebelumnya dan tidak
memiliki faktor risiko resistensi sbeiaknya menerima obat lini
pertama yang ditetapkan WHO. Fase inisial harus dengan 2
bulan isoniazid, rifampicin, pyrazinamide, dan ethambutol.
Fase lanjutan dengan isoniazid dan rifampicin. Dosis harus
sesuai dengan rekomendasi WHO dan penggunaan obat
kombinasi dosis tetap lebih memudahkan untuk pasien.
9. Pendekatan berbasis pasien untuk pengobatan harus
dilaksanakan untuk tiap pasien untuk mendukung kepatuhan,
meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi penderitaan.
Pendekatan ini harus bedasarkan kebutuhan pasien dan
respek antara pasien dan penyedia layanan.
10. Respons pengobatan pada pasien dengan TB paru
(termasuk dengan TB didiagnosis dengan tes molekuler cepat)
harus dimonitor dengan sputum mikroskopis pada akhir fase
inisial (2bulan). Jika positif, sputum harus diperiksa lagi 2
bulan dan jika positif, tes molekuler untuk sensitivitas obat
atau kultur dengan suseptibilitas obat harus dilaksanakan.
Pada TB ekstrapulmoner dan anak, respon pengobatan lebih
baik dievaluasi secara klinis.
11. Evaluasi dari resistensi obat berdasarkan pengobatan
sebelumnya, pajanan terhadap organisme resisten obat, dan
prevalensi resistensi obat komunitas harus dilakukan pada
semua pasien. Tes suseptibilitas obat sebaiknya dilakukan di
awal pada semua pasien dengan risiko resistensi. Pasien
dengan hasil sputum positif pada akhir 3 bulan pengobatan,
pasien gagal pengobatan, pasien hilang pada tindak lanjut,
atau relaps setelah satu atau lebih pengobatan sebaiknya
selalu dinilai sebagai resisten obat. Pasien tersebut harus
diperiksakan Xpert MTB/RIF pada awal. Jika terdapat resistensi
rifampicin, kultur dan suspetibilitas terhadap iNH,
fluorokuinolon, dan obat IV lini kedua harus dilaksanakan
segera. Konseling dan edukasi pasien serta pengobatan
empiris dengan obat lini kedua sebaiknya dimulai segera
untuk meminimalisir transmisi. Langkah kontrol infeksi yang
tepat harus dilakukan.
12. Pasien dengan risioko tinggi TB karena organisme
resistensi obat (terutama MDR dan XDR) harus diberikan
regimen khusus dengan OAT lini kedua. Dosis OAT sesuai
dengan rekomendasi WHO. Regimen yang dipilih dapat
terstandardisasi atau berdasarkan konfirmasi dan dugaan pola
suseptibilitas obat. Paling tidak 5 obat, pyrazinamide dan 4
obat yang sensitif, termasuk obat injeksi, sebaiknya diberikan
6-8 bulan pada fase intensif dan paling tidak 3 obat yang
sensitif pada fase lanjutan. Pengobatan sebaiknya paling tidak
18-24 bulan . Observasi dibutuhkan untuk memastikan
kepatuhan. Konsultasi ke dokter yang berpengalaman
menangani pasien MDR/XDR harus dilakukan.
13. Data riwayat pengobatan yang sistematik dan aksesibel,
respons bakteriologis, keluaran, dan efek samping harus
dimiliki oleh semua pasien.
14. Tes HIV dan konseling harus dilakukan pada semua
pasien dengan atau suspek memiliki TB kecuali ada konfirmasi
negatif dalam 2 bulan sebelumnya. Karena hubungan erat TB
dan HIV, pendekatan integratif pada prevensi, diagnosis, dan
pengobatan TB dan HIV direkomendasikan di daerah endemik
HIV. Tes HIV pentinng sebagai bagian manajemen rutin pada
pasien di daerah dengan prevalensi tinggi HIV, pasien dengan
tanda dan gejala berhubungan HIV, dan pasien dengan
riwayat risiko tinggi pajanan HIV.
15. Pada pasien dengan infeksi HIV dan TB yang memiliki
imunosupresi parah (CD4 <50), ART sebaiknya diinisiasi dalam
waktu 2 minggu pada awal pengobatan TB kecuali ada TB
meningitis. Pada pasien TB HIV tanpa memandang CD4, ART
harus diinisiasi dalam waktu 8 minggu setelah mulai OAT.
Pasien TB HIV harus menerima profilaksis kotrimoksazol.
16. Pasien HIV setelah evaluasi ketat tidak memiliki TB aktid
harus ditatalaksana TB laten dengan isoniazid paling tidak 6
bulan.
17. Semua penyedia layanan sebaiknya melakukan
asesmen untuk kondisi komorbid dan faktor lain yang dapat
mempengaruhi respons pengobatan TB atau keluaran dan
mengidentifikasi layanan tambahan yang dapat membantu
pasien mencapai hasil optimal. Layanan ini harus dimasukkan
pada rencana personal pengobatan yang termasuk rujukan
untuk kondisi lain. Perhatian khusus harus diberikan pada
kondisi yang mempengaruhi hasil pengobatan seperti DM,
penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan terlarang, gizi
kurang, dan rokok. Rujukan untuk layanan psikososial, layanan
antenatal atau bayi juga harus diberikan.
18. Semua penyedia layanan sebaiknya memastikan orang
terdekat pasien dievaluasi dengan rekomendasi internasional
dengan prioritas:
a. Orang dengan gejala khas TB
b. Balita
c. Kontak dengan suspek maupun imunokompromais
terkonfirmasi, terutama HIV
d. Kontak dengan pasien MDR/XDR
19. Balita dan pasien dengan HIV dekat dengan pasien TB
dan setelah evaluasi ketat tidak ada TB aktif harus
diasumsikan TB laten dan diberi isoniaid paling tidak 6 bulan.
20. Setiap faskes dengan pasien suspek maupun
terkonfirmasi TB harus menerapkan rencana kontrol infeksi
yang sesuai untuk meminimalisir kemungkinan transmisi
M.tuberculodid pada pasien dan pekerja kesehatan.
21. Semua penyedia layanan harus melaporkan kasus TB
baru dan pengobatan ulang dan hasil pengobatan pada
otoritas kesehatan masyarakat lokal sesuai dengan kebijakan
yang berlaku.

Anda mungkin juga menyukai