Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

DERMATITIS SEBOROIK

Pembimbing:
dr. Rita Maria, Sp.KK

Disusun oleh:
Jihan Hanifa Indriani
2110221016

Dipresentasikan Hari/Tanggal:
Jumat, 25 Juni 2021

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UPN VETERAN JAKARTA
RSPAD GATOT SOEBROTO
PERIODE 7 JUNI 2021 – 10 JULI 2021
i
BAB 1
PENDAHULUAN

Dermatitis seboroik (DS) adalah penyakit kulit inflamasi umum dengan


morfologi papuloskuamosa di daerah yang kaya akan kelenjar sebasea, terutama kulit
kepala, wajah, dan lipatan tubuh. Bentuk ringan dari DS yaitu ketombe, yang ditandai
dengan bagian kering, atau sisik yang mengelupas. DS pada bayi merupakan
kecemasan bagi orang tua, gambaran yang sering muncul sebagai sisik / scaling yang
keras dan berminyak pada daerah koronal dan frontal kulit kepala. Semua hal ini
terjadi dalam tiga bulan pertama kehidupan dan bersifat ringan, self-limiting,
membaik secara spontan.1
Pathogenesis DS masih belum diketahui hingga sampai sekarang. Namun,
berbagai faktor intrinsik dan lingkungan, seperti sekresi sebasea, kolonisasi jamur
permukaan kulit, kerentanan individu, dan interaksi antara faktor-faktor ini,
semuanya berkontribusi pada patogenesis SD dan ketombe.1
Estimasi prevalensi dermatitis seboroik terbatasi oleh tidak adanya kriteria
diagnostik yang divalidasi serta skala tingkat keparahan penyakit. Dermatitis seboroik
diperkirakan mempengaruhi dari 3% sampai 10% dari populasi umum. Kisaran luas
dalam prevalensi tergantung pada komposisi usia sampel dan negara yang dianalisis.
Penyakit ini lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. 2 Selanjutnya hampir 70%
bayi dalam tiga bulan pertama kehidupan mungkin mengalami kondisi tersebut. Di
antara orang dewasa, insiden puncak terjadi pada dekade ketiga dan keempat
kehidupan. Tampaknya ada predileksi etnis, dengan beberapa kasus terlihat pada
orang Afrika-Amerika. Dermatitis seboroik juga lebih sering terjadi pada pasien
dengan penyakit Parkinson dan pada pasien yang diobati. dengan obat psikotropika
tertentu seperti haloperidol decanoate (Haldol, Ortho-McNeil), lithium (Eskalith,
GlaxoSmithKline, buspirone (BuSpar, Bristol-Myers Squibb), dan chlorpromazine
(Thorazine, GlaxoSmithKline).3

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI


II.1.1 KULIT
Kulit merupakan barier protektif yang memiliki fungsi vital seperti perlindungan
terhadap kondisi luar lingkungan baik dari pengaruh fisik maupun pengaruh kimia,
serta mencegah kelebihan kehilangan air dari tubuh dan berperan sebagai
termoregulasi. Kulit bersifat lentur dan elastis yang menutupi seluruh permukaan
tubuh dan merupakan 15% dari total berat badan orang dewasa.4,5 Secara umum
fungsi kulit sebagai berikut:
a) Perlindungan jaringan dan organ di bawahnya terhadap benturan, abrasi,
kehilangan cairan, dan cairan kimia
b) Ekskresi garam, air, dan sisa zat organik oleh kelenjar integumen.
c) Pemeliharaan suhu tubuh normal melalui isolasi atau pendinginan evaporatif,
sesuai kebutuhan.
d) Produksi melanin, yang melindungi jaringan di bawahnya dari radiasi
ultraviolet.
e) Produksi keratin, yang melindungi dari abrasi dan berfungsi sebagai anti air.
f) Sintesis vitamin D3, suatu steroid yang diubah menjadi kalsitriol, suatu
hormon yang penting untuk metabolisme kalsium normal.
g) Penyimpanan lipid dalam adiposit di dermis dan di jaringan adiposa di
hipodermis (lapisan subkutan).
h) Deteksi sentuhan, tekanan, nyeri, getaran, dan rangsangan suhu dan
penyampaian informasi tersebut ke sistem saraf.
i) Koordinasi respon imun terhadap patogen dan kanker di kulit.4

2
II.1.2 EPIDERMIS
Epidermis merupakan lapisan terluar kulit yang terdiri dari epitel berlapis
bertanduk, mengandung sel malonosit, Langerhans dan merkel. Tebal epidermis
berbeda-beda pada berbagai tempat di tubuh, paling tebal terdapat pada telapak
tangan dan kaki. Ketebalan epidermis hanya sekitar 5% dari seluruh ketebalan kulit.
Jaringan kulit terhubung erat satu sama lain oleh desmosom, keratinosit muncul di
bagian terdalam epidermis dari lapisan sel yang disebut stratum basale. Sel-sel ini
mengalami mitosis yang hampir terus menerus sebagai respons terhadap dorongan
faktor pertumbuhan epidermal, suatu peptida yang diproduksi oleh berbagai sel di
seluruh tubuh. Saat sel-sel ini didorong ke atas oleh produksi sel-sel baru di
bawahnya, mereka membuat keratin yang akhirnya mendominasi isi sel mereka. Pada
saat keratinosit mencapai permukaan kulit, mereka sudah mati, struktur seperti sisik
yang tidak lebih dari membran plasma berisi keratin.4
Epidermis terdiri atas lima lapisan (dari lapisan yang paling atas sampai yang
terdalam) yaitu stratum korneum, stratum lusidum, stratum granulosum, stratum
spinosum dan stratum basale.4

Gambar 1. Lapisan Epidermis Kulit

3
II.1.3 DERMIS
Dermis adalah jaringan ikat yang kuat dan fleksibel. Sel-selnya khas dari yang
ditemukan di jaringan ikat mana pun: fibroblas, makrofag, dan kadang-kadang sel
mast dan sel darah putih. Matriks semi-cairnya, tertanam dengan serat, mengikat
seluruh tubuh bersama-sama seperti stocking tubuh. Ini adalah "kulit" Anda dan sama
persis dengan kulit binatang yang digunakan untuk membuat kulit.4
Dermis tersusun oleh sel-sel dalam berbagai bentuk dan keadaan, dermis
terutama terdiri dari serabut kolagen dan elastin. Serabut-serabut kolagen menebal
dan sintesa kolagen akan berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Sedangkan
serabut elastin terus meningkat dan menebal, kandungan elastin kulit manusia
meningkat kira-kira 5 kali dari fetus sampai dewasa. Pada usia lanjut kolagen akan
saling bersilang dalam jumlah yang besar dan serabut elastin akan berkurang
mengakibatkan kulit terjadi kehilangan kelenturanannya dan tampak berkeriput.4
Dermis memiliki suplai serat saraf, pembuluh darah, dan pembuluh limfatik
yang kaya. Bagian utama dari folikel rambut, serta kelenjar minyak dan keringat,
berasal dari jaringan epidermis tetapi berada di dermis. Dermis memiliki dua lapisan,
papiler dan retikuler, yang berbatasan satu sama lain sepanjang batas yang tidak
jelas.4
II.1.4 SUBKUTAN
Lapisan subkutan merupakan lapisan dibawah dermis yang terdiri dari lapisan
lemak. Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang menghubungkan kulit secara longgar
dengan jaringan di bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda-beda menurut daerah
tubuh dan keadaan nutrisi individu. Berfungsi menunjang suplai darah ke dermis
untuk regenerasi.

4
Gambar 1. Anatomi Kulit4
II.1.5 KELENJAR SEBASEA
Kelenjar sebasea (se-ba’shus; "berminyak"), atau kelenjar minyak, adalah
kelenjar alveolar bercabang sederhana yang ditemukan di seluruh tubuh kecuali di
kulit tebal telapak tangan dan telapak kaki. Mereka kecil di batang tubuh dan anggota
badan, tetapi cukup besar di wajah, leher, dan dada bagian atas. Kelenjar ini
mengeluarkan zat berminyak yang disebut sebum (sebum). Sel-sel pusat alveolus
mengakumulasi lipid berminyak sampai menjadi begitu membesar sehingga pecah,
sehingga secara fungsional kelenjar ini adalah kelenjar holokrin. Akumulasi lipid dan
fragmen sel membentuk sebum.4,5
Sebagian besar, tetapi tidak semua, kelenjar sebaceous berkembang sebagai
pertumbuhan folikel rambut dan mengeluarkan sebum ke dalam folikel rambut, atau
kadang-kadang ke pori-pori di permukaan kulit. Kontraksi arrector pili memaksa
sebum keluar dari folikel rambut ke permukaan kulit. Sebum melembutkan dan
melumasi rambut dan kulit, mencegah rambut menjadi rapuh, dan memperlambat
kehilangan air dari kulit ketika kelembaban eksternal rendah. Mungkin yang lebih
penting adalah aksi bakterisidanya (membunuh bakteri).4

5
Hormon, terutama androgen, merangsang sekresi sebum. Kelenjar sebasea
relatif tidak aktif selama masa kanak-kanak tetapi diaktifkan pada kedua jenis
kelamin selama masa pubertas, ketika produksi androgen mulai meningkat.4

Gambar 3. Kelenjar Sebasea


II.2 DERMATITIS SEBOROIK
II.2.1 DEFINISI
Dermatitis seboroik (DS) merupakan penyakit eritroskuamosa kronis, biasa
ditemukan pada usia anak dan dewasa. Keadaan ini ditandai oleh kelainan kulit di
area tubuh dengan banyak folikel sebasea dan kelenjar sebasea aktif, yaitu daerah
wajah, kepala, telinga, badan bagian atas dan lipatan tubuh (inguinal, inframamae dan
aksila). Kadang-kadang dapat juga mengenai daerah interskapular, umbilikus,
perineum, dan anogenital.6

Dermatitis seboroik biasanya kronis dan tipikal reaksi inflamasai


papulosquamous yang kambuh ditandai dengan berbagai tingkat eritema, scaling, dan
papula bersisik di daerah dengan kepadatan kelenjar sebaceous yang berlebih.3,7,8

6
II.2.2 EPIDEMIOLOGI
Dermatitis seboroik dapat terjadi pada semua kelompok usia, namun biasanya
terpisah menjadi dua golongan usia yaitu neonatus dan dewasa.3,7,8 Pada bayi,
penyakit memuncak pada 3 bulan pertama, sedangkan pada dewasa pada usia 40
hingga 60 tahun.6 DS biasanya diderita lebih banyak oleh lelaki dibandingkan dengan
perempuan, dalam berbagai golongan usia dan ras. Di berbagai negara Asia, pasien
DS berusia antara 12 hingga 20 tahun. DS juga dapat ditemukan pada pasien dengan
kondisi imunosupresi (misalnya pasien dengan HIV/AIDS, transplantasi organ) dan
penyakit lain misalnya Parkinson, serta gangguan nutrisi dan kelainan genetik.6

II.2.3 FAKTOR RESIKO


 Imunosupresan, seperti3
 Pasien HIV (36% insidensi DS pada 155 pasien HIV)
 Penerima transplant organ
 Kondisi medis lainnya. other medical conditions, such as2,3
 chronic alcoholic pancreatitis
 hepatitis C
 Kanker maligna
 Penyakit genetik
 Down syndrome
 Hailey−Hailey disease (disebabkan oleh mutasi genetik ATP2C1 ditandai
dengan blister dan erosi pada kulit, utamanya leher, aksila, lipatan kulit dan
genitalia
 cardiofaciocutaneous syndrome
 Kondisi dengan peningkatan akumulasi sebum, seperti
 Parkinson disease
 Cidera kepala dan cidera tulang belakang
 Facial nerve palsy

7
II.2.4 ETIOLOGI & PATOGENESIS
Patogenesis DS masih belum diketahui dengan pasti, namun dianggap sebagai
penyakit kulit multifaktorial yang membutuhkan faktor predisposisi internal dan
eksternal untuk perkembangannya, kemungkinan termasuk keterlibatan 1 dari faktor
berikut.1,3
a. Pengaruh hormon androgen pada aktivitas kelenjar sebaceous dan/atau
komposisi lipid pada permukaan kulit,
b. Infeksi jamur Malassezia pada kulit
c. Terganggunya respons imunologis kulit
d. Pengaruh neurologis pada aktivitas kelenjar sebasea
Jumlah sebum yang diproduksi bukan merupakan faktor utama pada kejadian
DS. Permukaan kulit pasien DS kaya akan lipid trigliserida dan kolesterol, namun
rendah asam lemak dan skualen. Flora normal kulit, yaitu Malassezia sp dan
Propionibacterium acnes, memiliki enzim lipase yang aktif yang dapat
mentransformasi trigliserida menjadi asam lemak bebas. Asam lemak bebas bersama
dengan reactive oxygen species (ROS) bersifat antibakteri yang akan mengubah flora
normal kulit. Perubahan flora normal, aktivasi lipase dan ROS akan menyebabkan
dermatitis seboroik.6 Malassezia sp yang sebelumnya bersifat non-patogenik dapat
berubah menjadi patogenik apabila pada kondisi lingkungan yang terpenuhi. Jamur
ini memiliki kemampuan untuk berproliferasi yang berakibat kepada penurunan sifat
barrier kulit, dan pengontrolan inflamasi sehingga reaksi infalamsi dan ditandai
dengan gambaran klinis berupa skuama. Semakin tinggi densitas jamur pada kulit,
semakin tinggi juga derajat keparahan dari dermatitis seboroik yang diderita oleh
pasien.1,7
Respon imun nonspesifik oleh Malassezia sp menginisiasi kaskade perubahan
kulit, jamur akan menginvasi stratum korneum pada host, yang kemudian melepaskan
lipase yang menghasilkan pembentukan asam lemak bebas (FFA) dan memicu proses
inflmasi. Inflamasi ini mengakibatkan stratum korneum mengalami hiperproliferasi

8
(scaling) dan diferensiasi korneosit yang tak lengkap, yang mana mengakibatkan
terganggunya barrier stratum korneum serta mengganggu fungsinya. Produksi
berlebihan dari reactive oxygen species (ROS) atau antioksidan inadekuat dapat
berkontribusi terhadap aktivasi respon imun nonspesifik.1,3,7

Gambar 1. Peran jamur Malassezia sp dalam terjadinya dermatitis seboroik

II.2.5 MANIFESTASI
Pada bayi berusia kurang dari 3 bulan lesi akan swasirna, sedangkan pada
dewasa bersifat kronis dan dapat residif. Secara klinis dapat ditemukan kondisi
seboroik (seborrhoic state) berupa perubahan warna kulit menjadi eritema atau
hipopigmentasi atau keabuan dengan folikel yang terbuka, serta skuama
pitiriasiformis ringan hingga berat. Pada orang dewasa kelainan ditemukan area
wajah dan kelopak mata serta di daerah kepala berupa pitiriasis kapitis atau ketombe.
Sedangkan di area badan tampak lesi pitiriasiformis berbentuk petaloid atau folikular.
Kelainan dapat khusus di daerah lipatan disertai eksematisasi, atau dapat juga
generalisata hingga eritrodermik.6–8
II.2.5.1 Manifestasi Pada Balita
Pada bayi dapat terjadi dari usia minggu pertama kelahiran hingga 3 bulan,
dan kelainan berhubungan dengan waktu neonatus memproduksi sebum yang

9
selanjutnya akan mengalami regresi hingga pubertas. Tempat predileksi adalah kulit
kepala bagian vertex (cradle cap) berupa plak eritematosa disertai skuama kuning
kecoklatan yang lekat dan menyebar ke seluruh bagian kulit kepala. Selain itu, juga
terdapat krusta. Lesi dapat ditemukan di wajah, leher dan menyebar ke punggung
serta ektremitas, berupa plak inflamasi di daerah intertrigo, yaitu aksila dan lipat
paha. Lesi juga bisa didapatkan di area popok. Diagnosis banding perlu dipikirkan
pada bayi dengan gejala dermatitis seboroik yang luas, harus dibedakan misalnya
dengan dermatitis, atopik, antara lain dengan melakukan pemeriksaan penunjang
misalnya immunoglobulin E total.7

Gambar 2. Dermatitis Seboroik pada Bayi


II.2.5.2 Manifestasi Pada Orang Dewasa
Pada orang dewasa DS bersifat kronis dan residif, terjadi ada usia 30-60
dengan puncak di usia 40 tahunan.1 Pada kulit kepala umumnya tingkat keparahan
DS sedang, skuama sedikit, kering, warna putih dan mudah lepas. Pada gejala yang
lebih berat terdapat plak berasal dari skuama kering yang tebal kekuningan. Lesi
dapat terlihat juga di wajah secara simetris yaitu di alis, dahi, kelopak mata atas, plika
nasolabialis dan cuping hidung. Tempat lain yang sering terkena pada regio
retroaurikularis, kanal auditori eksternal, aurikula dan conchae bowl. Gejala yang

10
ditemukan berupa eritema dan gatal disertai rasa terbakar dan gatal ringan terutama di
kulit kepala. Folikulitis pitirosporum juga dapat ditemukan di daerah seboroik.
Biasanya dimulai saat remaja sebagai akibat respons aktivitas androgen yang
meningkatkan produktivitas kelenjar sebasea. DS pada orang dewasa mengalami
periode remisi dan eksaserbasasi. Pencetus kekambuhan DS umumnya akibat stres
emosional, letih, depresi, perubahan suhu, higiene pribadi, pajanan matahari,
perubahan pola makan, infeksi, obat dan berada di ruangan dingin cukup lama.
Pada pasien HIV-AIDS, DS umumnya parah dan cenderung sulit diatasi
dengan terapi standar. Secara klinis dapat ditemukan erupsi di wajah berupa butterfly
rash, menyerupai lesi sistemik lupus eritematosa. DS biasanya terjadi pada pasien
dengan hitung CD4+ sebesar 200 – 500/mm3 dan dapat ditemukan sebagai
manifestasi klinis pertama pada pasien HIV-AIDS.
Diagnosis dermatitis seboroik umumnya cukup ditegakkan dengan
pemeriksaan klinis, namun perlu dipikirkan diagnosis banding, misalnya psoriasis,
dermatitis atopik, dermatitis kontak iritan, dermatofitosis, dermatitis demodex,
pitiriasis versikolor, lupus erimatosus diskoid, pemfigus foliaseus dan rosasea.

Gambar 3. Plak Eritematous dengan yellow scaling Pada sisi kanan lipatan nasolabial
Pria 86 tahun.

11
Gambar 4. Plak Eritematous dengan yellow scaling Pada sisi kiri lipatan nasolabial
Wanita 64 tahun.

Gambar 5. Plak Eritematous dengan scale sepanjang batas inferior dan papul
eritematos pada leher Wanita 64 tahun.
II.2.6 TATALAKSANA
Tatalaksana berfokus kepada penanganan gejala ketika gejala timbul kembali
dan umumnya rekurensi sering terjadi pada pasien dengan kondisi imunokompromis.
Terapi medikamentosa DS pada skalp dan nonskalp meliputi pemakaian obat secara
topikal dan sistemik, dapat pula disertai pemakaian bahan lain yang dapat digunakan
sebagai terapi ajuvan ataupun terapi pencegahan.
Pilihan pengobatan medikamentosa untuk DS umumnya berupa obat
antijamur, anti inflamasi, keratolitik, dan kalsineurin inhibitor. 9 Laporan terbaru
menyatakan penambahan pilihan pengobatan pada DS non skalp berupa obat yang

12
mengandung bahan nonsteroid bersifat antiinflamasi berkhasiat antijamur (anti-
inflammatory with antifungal properties/AIAFp) dengan bukti kesahihan B (level of
evidence).

Tabel 1. Pilihan Pengobatan Dermatitis Seboroik

Pedoman pengobatan DS juga dibuat oleh para pakar di Asia, dengan


mengikuti algoritma komprehensif yang khusus dikembangkan untuk pengobatan DS
di Asia baik pada anak maupun dewasa. Dalam berbagai laporan kasus mengenai
penggunaan obat topikal yang mengandung bahan antiinflamasi-antifungal (AIAF)
merupakan pilihan untuk pengobatan kasus DS akut maupun sebagai terapi
pemeliharaan.9
Pengobatan DS dibagi berdasarkan berat ringannya penyakit, obat sistemik
digunakan pada kasus DS sedang dan berat. Telah dibuat panduan pengobatan DS
untuk populasi di Asia yang dapat dijadikan acuan pengobatan DS (tabel 2),
pengobatan menggunakan obat antijamur topikal, steroid topikal, kalsineurin inhibitor
topikal dan obat antijamur sistemik.9

13
Pada dermatitis seboroik ringan dapat diberikan keratolitik, seperti zinc
pyrithinone, selenium sulfide, atau coal tar-containing shampoo nampaknya dapat
mengurangi scaling, dan menjadi lini pertama pada gejala ringan ketombe. Formula
efektif lainnya berupa tea tree oil 5%, atau asam laktat (Kaprolac). Sedangkan, pada
dermatitis seboroik sedang dapat mempertimbangkan pemberian antifungal topical
seperti ketoconazole dengan formula sebagai 1% shampoo diaplikasikan setiap 3-4
hari selama 8 minggu, 2% shampoo diaplikasikan sekali sehari untuk dosis inisial
kemudian berikutnya dua kali seminggu, 2% foam diaplikasikan dua kali sehari untuk
4 minggu.8
Tabel 2. Pengobatan DS Nonskalp Berdasarkan Derajat 9

14
Sediaan anti-inflamasi nonsteroid topikal berkhasiat antijamur telah
digunakan di beberapa negara Eropa dan Asia untuk pasien DS. Produk tersebut tidak
mengandung kortikosteroid maupun bahan imunomodulator. Penggunaan produk
bukan obat resep merupakan pilihan pengobatan yang berguna khususnya untuk
daerah wajah. Produk dapat menjadi pilihan pertama, khususnya bagi pasien yang
enggan menggunakan obat konvensional. Krim juga mengandung emolien yang dapat
menghilangkan gejala dermatitis seboroik, misalnya memperbaiki kulit kering,

15
mengurangi gatal, mengurangi kemerahan, dan rasa nyeri, serta mempermudah
penyembuhan.9
II.2.7 KOMPLIKASI
Hipopigmentasi dapat terjadi dengan dermatitis seboroik pada individu
dengan jenis kulit yang lebih gelap. Blepharitis dapat terjadi dan dapat dikelola
dengan menerapkan higienitas kelopak mata yang baik, menghindari riasan mata, dan
lensa kontak kemudian kompres hangat diaplikasikan dua kali sehari dengan
menyeka lembut sepanjang tepi kelopak mata untuk membantu membersihkan
kotoran.
II.2.8 PROGNOSIS
Dermatitis seboroik pada anak-anak dan orang dewasa sering merupakan
kondisi kronis dengan kekambuhan akut dan remisi spontan, seringkali membutuhkan
terapi jangka panjang untuk mengurangi frekuensi kambuh atau menghindari
kekambuhan.

16
BAB III
KESIMPULAN

Dermatitis Seboroik merupakan penyakit kulit inflamasi umum dengan


morfologi papuloskuamosa di daerah yang kaya akan kelenjar sebasea, terutama kulit
kepala, wajah, dan lipatan tubuh.1 Prevalensi dermatitis seboroik masih sulit
ditentukan karena keterbatasan definisi diagnostik dari dermatitis seboroik. Namun,
diperkirakan sekitar 3-11% populasi umum mengalami dermatitis seboroik dan pada
bayi sekitar 70% mengalami dermatitis seboroik.3,10 Berbagai faktor intrinsik dan
lingkungan, seperti ragi Malassezia, kondisi epidermis inang, sekresi sebasea, respon
imun, dan interaksi antara faktor-faktor ini, semuanya dapat berkontribusi pada
patogenesis. Manajemen SD dan ketombe yang efektif memerlukan pembersihan
gejala dengan pengobatan antijamur dan antiinflamasi, memperbaiki gejala terkait
seperti pruritus, dan kesehatan kulit kepala dan kulit secara umum untuk membantu
mempertahankan remisi. Mengingat kulit orang Asia dibandingkan dengan non-Asia
lebih reaktif terhadap iritan, agen topikal dengan potensi iritan, dan oleh karena itu
dengan kemungkinan komplikasi lesi SD, harus dihindari. Secara khusus, produk
kosmetik yang mengandung alkohol, sabun dan krim cukur, emolien berminyak, dan
faktor pemicu yang diketahui, jika menyebabkan iritasi, harus diganti dengan produk
yang lebih lembut. Terakhir, adanya kondisi kering atau lembab di tempat
kerja/tempat tinggal, yang merupakan faktor fasilitasi untuk SD umum di banyak
negara Asia, juga harus dipertimbangkan.8

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Dessinioti C, Katsambas A. Seborrheic dermatitis: Etiology, risk factors, and


treatments: Facts and controversies. Clin Dermatol. 2013;
2. Naldi L, Diphoorn J. Seborrhoeic dermatitis of the scalp. BMJ Clin Evid.
2015;
3. Ijaz N, Fitzgerald D. Seborrhoeic dermatitis. Br J Hosp Med. 2017;
4. Marieb EN, Hoehn K. Human anatomy & physiology. 2016. 151 p.
5. Martini FH, Nath JL, Bartholomew EF. Fundamentals of Anatomy &
Physiology. 9th edition.
6. Sandra W, Marina A. PILIHAN PENGOBATAN JANGKA PANJANG
PADA DERMATITIS SEBOROIK. MDVI. 2016;43(4):153–9.
7. Clark GW, Pope SM, Jaboori KA. Diagnosis and treatment of seborrheic
dermatitis. Am Fam Physician. 2015;
8. Borda LJ, Perper M, Keri JE. Treatment of seborrheic dermatitis: a
comprehensive review. J Dermatolog Treat. 2019;
9. Cheong WK, Yeung CK, Torsekar RG, Suh DH, Ungpakorn R, Widaty S, et
al. Treatment of Seborrhoeic Dermatitis in Asia: A Consensus Guide. Ski
Appendage Disord. 2015;
10. Berk T, Scheinfeld N. Seborrheic dermatitis. P T. 2010;35(6):348–52.

18

Anda mungkin juga menyukai