Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN
Pruritus adalah sensasi kulit yang tidak nyaman dan menimbulkan
rangsangan untuk menggaruk. Dapat pula mempengaruhi pekerjaan, tidur dan
aktivitas sehari-hari. Pruritus merupakan gejala dari berbagai penyakit kulit, dan
merupakan gejala awal dari gangguan sistemik atau gangguan kejiwaan.1,2
Pruritus mempengaruhi orang-orang dari semua ras dan usia. Namun, pada
orang yang lebih muda, biasanya pasien memiliki dermatitis atopik atau urtikaria
atau gangguan kulit yang terbatas tetapi jelas. Pada pasien usia lanjut (mereka
yang berusia lebih dari 60 tahun dan terutama mereka yang berusia 70-an dan 80-
an), terjadi erupsi pruritus. Sayangnya, gejala ini sering kronis dan sulit untuk
didiagnosis secara akurat.3,4
Pasien geriatri sering diserang oleh penyakit kulit pruritus. Kebanyakan
pasien lansia pruritus datang dengan erupsi kulit. Prevalensi tinggi gangguan kulit
inflamasi pruritus pada pasien lanjut usia merupakan konsekuensi dari tiga
perubahan fisiologis yang terjadi pada penuaan: (1) perbaikan pelindung
epidermal berkurang; (2) sistem kekebalan pasien lanjut usia diaktifkan dan
memiliki fungsi Th1 yang rusak bersama dengan peningkatan fungsi Th2
(immunosenescense); dan (3) gangguan neurodegeneratif dapat menyebabkan
pruritus oleh efek pusat atau perifer. Konsekuensi dari penuaan ini dapat menimpa
pasien yang sama, menjelaskan mengapa orang tua sering memiliki beberapa
kondisi kulit yang tumpang tindih.3,4
Dengan demikian, pada kesempatan kali ini akapn dibahas lebih tentang
uraian patogenesis bentuk paling umum dari penyakit kulit pruritus pada pasien
usia lanjut dan keunggulan yang memungkinkan dokter kulit untuk membuat
diagnosis yang akurat dan juga menyarankan strategi manajemen untuk setiap
jenis umum penyakit kulit pruritus pada pasien lansia.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI & HISTOLOGI KULIT
2.1.1 Anatomi
Kulit merupakan organ terbesar tubuh. Kulit meliputi organ luar yang
melindungi bagian dalam badan dari unsur-unsur asing dan dari virus serta
bakteri. Kulit juga sangat kompleks, elastis, dan sensitif, bervariasi pada keadaan
iklim, umur, seks, ras dan juga bergantung pada lokasi tubuh.1,5

Gambar 2.1 Anatomi Kulit5


2.1.2 Histologi Kulit
Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama yaitu
lapisan epidermis, lapisan dermis dan lapisan subkutis (hipodermis). Jika dilihat
pada batas tegas, tidak ada batas tegas yang memisahkan dermis dan subkutis,
subkutis ditandai dengan adanya jaringan ikat longgar dan adanya sel dan jaringan
lemak. Pada lapisan epidermis terdiri atas stratum korneum, stratum lusidum,
stratum granulosum, stratum spinosum dan starum basale.1,5

2
A. Stratum korneum (lapisan tanduk) adalah lapisan kulit yang paling luar
dan terdiri atas beberapa lapis sel-sel gepeng yang mati, tidak berinti, dan
protoplasmanya telah berubah menjadi keratin (zat tanduk).
B. Stratum lusidum terdapat langsung dibawah lapisan korneum, merupakan
lapisan sel-sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah
menjadi protein yang disebut eleidin. Lapisan tersebut tampak lebih jelas
di telapak tangan dan kaki.
C. Stratum granulosum (lapisan keratohialin) merupakan 2 atau 3 lapis sel-sel
gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti di antaranya.
Butir-butir kasar ini terdiri atas keratohialin. Mukosa biasanya tidak punya
lapisan ini. Stratum granuloum juga tampak jelas di telapak tangan dan
kaki.
D. Stratum spinosum (staratum malphigi) atau disebut prickle cell
layer (lapisan akanta) pula terdiri atas beberapa lapis sel yang berbentuk
poligonal yang besarnya berbeda-beda karena adanya proses mitosis.
Protoplasmanya jernih karena banyak mengandung glikogen, dan inti
terletak ditengah-tengah. Sel-sel ini makin dekat dengan permukaan makin
gepeng bentuknya. Di antara sel-sel spinosum terdapat jembatan-jembatan
antar sel yang terdiri atas protoplasma dan tonofibril atau keratin.
Perlekatan antar jembatan-jembatan ini membentuk penebalan bulat kecil
yang disebut nodulus bizzozero. Di antara sel-sel spinosum terdapat pula
sel langerhans. Sel-sel stratum spinosum mengandung banyak glikogen.
E. Stratum basale terdiri atas sel-sel berbentuk kubus (kolumnar) yang
tersusun vertikal pada perbatasan dermo-epidermal berbaris seperti pagar
(palisade). Lapisan ini merupakan lapisan epidermis yang paling bawah.
Sel-sel basal ini mengadakan mitosis dan berfungsi reproduktif. Lapisan
ini terdiri atas dua jenis sel yaitu :5
1) Sel-sel yang berbentuk kolumnar dengan protoplasma basofilik inti
lonjong dan besar, dihubungkan satu dengan yang lain oleh jembatan
antar sel.

3
2) Sel pembentuk melanin (melanosit) atau clear cell merupakan sel-sel
berwarna muda, dengan sitoplasma basofilik dan inti gelap, dan
mengandung butir pigmen (melanosomes).
Selanjutnya, lapisan dermis adalah lapisan dibawah epidermis yang jauh
lebih tebal dari pada epidermis. Lapisan ini terdiri atas lapisan elastik dan fibrosa
padat dengan elemen-elemen selular dan folikel rambut. Secara garis besar dibagi
dalam dua bagian yaitu:1,5
A. Pars papilare, yaitu bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung
serabut saraf dan pembuluh darah.
B. Pars retikulare, yaitu bagian dibawahnya yang menonjol ke arah subkutan,
bagian ini terdiri atas serabut-serabut penunjang misalnya serabut kolagen,
elastin dan retikulin. Dasar (matriks) lapisan ini terdiri atas cairan kental
asam hialuronat dan kondroitin sulfat, dibagian ini terdat pula fibroblas,
membentuk ikatan (bundel) yang mengandung hidroksiprolin dan
hidroksisilin.
Selanjutnya, di bawahnya lapisan dermis adalah lapisan subkutis, terdiri
atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak didalamnya. Sel-sel lemak
merupakan sel bulat, besar dengan inti terdesak ke pinggir sitoplasma lemak yang
bertambah. Sel-sel ini membentuk kelompok yang dipisahkan satu dengan yang
lain oleh trabekula yang fibrosa. Lapisan sel-sel lemak disebut penikulus adiposa,
berfungsi sebagai cadangan makanan.1,5

Gambar 2.2 Histologi Kulit5

4
2.2 FISIOLOGI KULIT
Kulit dapat dengan mudah dilihat dan diraba, hidup dan menjamin
kelangsungan hidup. Fungsi utama kulit ialah proteksi, absorpsi, ekskresi,
persepsi, pengaturan suhu tubuh, pembentukan pigmen, pembentukan vitamin D,
dan keratinisasi. Pada manusia kulit dapat pula mengekspresikan emosi karena
adanya pembuluh darah, kelenjar keringat, dan otot-otot di bawah kulit.1,5
A. Fungsi proteksi : Kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisis
atau mekanis, misalnya tekanan, gesekan, tarikan gangguan kimiawi,
misalnya zat-zat kimia terutama yang bersifat iritan, contohnya lisol, karbol,
asam, alkali kuat lainnya; gangguan yang bersifat panas, misalnya radiasi,
sengatan sinar ultra violet; gangguan infeksi luar terutama kuman atau
bakteri maupun jamur. Hal diatas dimungkinkan karena adanya bantalan
lemak, tebalnya lapisan kulit dan serabut-serabut jaringan penunjang yang
berperanan sebagai pelindung terhadap gangguan fisis. Melanosit turut
berperanan dalam melindungi kulit terhadap pajanan sinar matahari dengan
mengadakan tanning. Proteksi rangsangan kimia dapat terjadi karena sifat
stratum korneum yang impermeabel terhadap berbagai zat kimia dan air,
disamping itu terdapat lapisan keasaman kulit yang melindungi kontak zat-
zat kimia dan kulit. Lapisan keasaman kulit ini mungkin terbentuk dari hasil
ekskresi keringat dan sebum, keasaman kulit menyebabkan pH kulit berkisar
pada pH 5 - 6,5 sehingga merupakan perlindungan kimiawi terhadap infeksi
bakteri maupun jamur. Proses kreatinisasi juga berperan sebagai sawar
(barrier) mekanis karena sel-sel mati melepaskan diri secara teratur.
B. Fungsi absorbsi : Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan dan
benda padat, tetapi cairan yang mudah menguap lebih mudah diserap,
begitupun yang larut lemak. Permeabilitas kulit terhadap oksigen dan karbon
dioksida dan uap air memungkinkan kulit ikut mengambil bagian pada
fungsi respirasi. Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi oleh tebal tipisnya
kulit, hidrasi, kelembaban, metabolisme dan jenis venikulum. Penyerapan
dapat berlangsung melalui celah antara sel, menembus sel-sel epidermis atau

5
melalui muara saluran kelenjar; tetapi lebih banyak yang melalui sel-sel
epidermis daripada yang melalui muara kelenjar.
C. Fungsi ekskresi : Kelenjar-kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak
beguna lagi atau sisa metabolisme dalam tubuh berupa NaCl, urea, asam
urat, dana amonia. Kelenjar lemak pada fetus atas pengaruh hormon
androgen dari ibunya memproduksi serum untuk melindungi kulitnya
terhadap cairan amonion, pada waktu lahir dijumpai sebagai vernix caseosa.
Sebum yang diproduksi melindungi kulit karena lapisan sebum ini selain
meminyaki kulit juga menahan evaporasi air yang berlebihan sehingga kulit
tidak menjadi kering. Produksi kelenjar lemak dan keringat di kulit
menyebabkan keasaman kulit pada pH 5 - 6.5.
D. Fungsi persepsi : Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis
dan subkutis. Terhadap rangsangan panas diperankan oleh badan-badan
ruffini di dermis dan subkutis. Terhadap dingin diperankan oleh badan-
badan krause yang terletak di dermis. Badan taktil meissner terletak di
papilladermis berperan terhadap rabaan, demikian pula badan markel ranvier
yang terletak di epidermis. Sedangkan terhadap tekanan diperankan oleh
badan paccini di epidemis. Saraf-saraf sensorik tersebut lebih banyak
jumlahnya di daerah yang erotik.
E. Fungsi pengaturan suhu tubuh (termoregulasi) : Kulit melakukan peranan ini
dengan cara mengeluarkan keringat dan mengerutkan (otot berkontraksi)
pembuluh darah kulit. Kulit kaya akan pembuluh darah sehingga
memungkinkan kulit mendapat nutrisi yang cukup baik. Tonus vaskuler
dipengaruhi oleh saraf simpatis.
F. Fungsi pembentukan pigmen : Sel pembentuk pigmen (melanosit), terletak
di lapisan basal dan sel ini berasal dari rigi saraf .perbandingan jumlah sel
basal : melanosit adalah 10 : 1. Jumlah melanosit dan jumlah serta besarnya
butiran pigmen (melanosomes) menentukan warna kulit ras maupun
individu. Pada pulasan H.E sel ini jernih berbentuk bulat dan merupakan sel
dendrit, disebut pula sebagai clear cell. Melanosum dibentuk oleh alat golgi
dengan bantuan enzim tirosinase, ion Cudan oksigen. Pajanan terhadap sinar

6
matahari mempengaruhi produksi melanosom. Pigmen disebar ke epidermis
melalui tangan-tangan dendrit sedangkan ke lapisan kulit dibawahnya
dibawa oleh sel melanofag(melanofor). Warna kulit tidak sepenuhnya
dipengaruhi oleh pigmen kulit, melainkan juga oleh tebal tipisnya kulit, dan
reduksi Hb.
2.3 DEFINISI
Pruritus adalah sensasi kulit yang tidak nyaman dan menimbulkan
rangsangan untuk menggaruk. Dapat pula mempengaruhi pekerjaan, tidur dan
aktivitas sehari-hari. Pruritus merupakan gejala dari berbagai penyakit kulit, dan
merupakan gejala awal dari gangguan sistemik atau gangguan kejiwaan. Bila tidak
disertai kelainan kulit, maka disebut pruritus esensial disebabkan oleh atau
berasosiasi dengan banyak keadaan, yang akan dibahas di bawah ini. Ada kalanya
juga disebut sebagai pruritus simtomatik.1,2
Pruritus merupakan yang paling umum dikeluhkan pada lansia. Salah satu
penyebab pruritus yakni senilitas. Pruritus senilitas (gatal pada usia lanjut)
merupakan rasa gatal yang ditimbulkan akibat kulit yang kering dan retak
(chapped skin) mudah menjadi pruritik.1,2
2.4 EPIDEMIOLOGI
Pruritus mempengaruhi orang-orang dari semua ras dan usia. Namun, pada
orang yang lebih muda, biasanya pasien memiliki dermatitis atopik atau urtikaria
atau gangguan kulit yang terbatas tetapi jelas. Pada pasien usia lanjut (mereka
yang berusia lebih dari 60 tahun dan terutama mereka yang berusia 70-an dan 80-
an), terjadi erupsi pruritus. Sayangnya, gejala ini sering kronis dan sulit untuk
didiagnosis secara akurat. Prevalensi pruritus pada lansia (senilis) meningkat
seiring dengan pertumbuhan populasi lansia.2,3,4
2.5 ETIOLOGI
Rasa gatal terjadi karena stimulasi yang amat ringan, seperti gosokan
dengan pakaian atau perubahan suhu di sekitar penderita. Lokalisasi tersering
ialah daerah genital eksterna, perineal dan perianal. Selain itu, ada pula pruritus
yang merupakan permulaan dermatitis eksfoliativa generalisata (eritroderma).
Kadang-kadang terdapat genesis dermatitis seboroik atau psoriasis.1

7
2.6 PATOFISIOLOGI PENUAAN PADA KULIT
Penuaan mempengaruhi tiga komponen penting yang terlibat dalam
menghasilkan peradangan kulit dan dalam merasakan pruritus: (1) sistem
kekebalan tubuh; (2) fungsi penghalang epidermis; dan (3) sistem saraf :2
A. Penuaan Sistem Kekebalan Tubuh
Perubahan yang terjadi dalam sistem kekebalan tubuh dengan usia
disebut "immunosenescense”. Ada dua fitur umum dari sistem kekebalan
tubuh yang sudah tua: (1) itu bersifat proinflamasi; dan (2) ada
penyimpangan yang signifikan dari fungsi sel T dan B. Pada beberapa pasien
ini menghasilkan fenotipe “alergi”, atau dominasi Th2 yang jelas. Penyebab
nyata dari keadaan proinflamasi dan dominasi Th2 adalah hilangnya sel T
naif, yang mengurangi repertoar sel-T. Upaya kekebalan yang diperlukan
untuk mengendalikan infeksi virus kronis, terutama cytomegalovirus (pada
banyak orang), dan HIV (pada mereka yang terinfeksi) menyebabkan
hilangnya sel-sel T naif karena repertoar kekebalan menjadi padat dengan
sel T dan B yang "bergabung". Hilangnya sel T naif juga mengurangi
kemampuan pasien yang sudah tua untuk bereaksi secara efektif terhadap
agen infeksi yang sebelumnya belum pernah ia alami. Selain itu, aktivitas
Th17 terjaga dengan baik dalam penuaan.
B. Penuaan dan Epidermal Barrier
Seiring bertambahnya usia, ada perubahan signifikan pada
penghalang epidermal. Mulai sekitar usia 55 tahun, pH permukaan
epidermis menjadi kurang asam. Enzim yang dibutuhkan untuk memproses
lipid yang menyusun penghalang air epidermal membutuhkan pH asam. Ini
awalnya diwujudkan sebagai tingkat pengurangan perbaikan penghalang.
Pasien lansia sering mendapat iritasi dan pruritus akibat mencuci produk dan
strategi yang ditoleransi dengan baik pada usia yang lebih muda. Pada
sekitar usia 70, tingkat produksi prekursor penghalang lipid berkurang,
sehingga lipid tidak cukup untuk mempertahankan penghalang. Asam dan
symphomyelinase netral, ceramide synthase, dan asam ceramidase, enzim
yang diperlukan untuk menghasilkan ceramide dengan fungsi struktural

8
dalam penghalang epidermal, berkurang di lapisan dalam epidermis pada
orang tua. Aquaporin-3 adalah gliserol dan saluran membran air yang sangat
penting dalam menjaga hidrasi kulit dengan memungkinkan konsentrasi
gliserol stratum korneum yang memadai. Dengan semua defek pada
langkah-langkah yang penting untuk fungsi barrier epidermal dan hidrasi,
xerosis adalah akibatnya masalah utama pada lansia. Sebuah penghalang
yang rusak memiliki dua konsekuensi lain: (1) kegagalan barrier atau
ketidakcukupan mungkin terkait dengan peningkatan risiko untuk
pengembangan dermatitis kontak, karena penghalang gangguan mungkin
tidak mencegah penetrasi antigen potensial ke dalam epidermis; dan (2)
ketika penghalang gagal, sitokin dilepaskan untuk menginduksi perbaikan
penghalang adalah proinflamasi, menghasilkan dermatitis. Hubungan antara
mutasi fillagrin dan dermatitis atopik menunjukkan hubungan antara
penghalang yang rusak dan penyakit kulit inflamasi.
C. Otot Degeneratif dan Penyakit Saraf
Pasien lansia sering menderita penyakit degeneratif pada tulang
belakang. Penyakit degeneratif dapat menyebabkan kerusakan saraf sensorik
saat keluar dari sumsum tulang belakang. Pruritus brakhioradial dan
parestesia adalah kondisi dengan patogenesis yang jelas ini. Selain itu,
dalam kasus yang jarang, penyakit neurodegeneratif sistem saraf pusat dapat
menghasilkan gatal. Diabetic truncal pruritus mungkin merupakan gejala
dari polyneuropathy diabetes.
Sensasi gatal diperantarai oleh reseptor-reseptor epidermal/dermal yang
terhubung ke serat-C aferen non-myelin yang mengirimkan impuls dari perifer.
Impuls-impuls ini kemudian berlanjut dari sistem saraf perifer sampai ke talamus
dan korteks somatosensori primer di pusat sistem saraf. Histamin dianggap
sebagai mediator utama sensasi gatal, meskipun neurotransmiter lainnya juga
telah terlibat.6,7,8

9
Gambar 2.3 Jalur Neurologi Pruritus9

2.7 FAKTOR RESIKO


Penuaan kulit dapat dibagi menjadi dua kategori, yakni penuaan intrinsik
dan penuaan ekstrinsik. Penuaan intrinsik mengacu pada perubahan yang
merupakan penuaan yang normal terjadi pada semua individu. Sedangkan
penuaan ekstrinsik terjadi akibat konsekuensi dari faktor ekstrinsik yang berefek
terhadap kulit. Adapun lebih jelasnya, berikut faktor intrinsik dan ekstrinsik pada
penuaan kulit.10,11
Penuaan Intrinsik Penuaan Ekstrinsik
Pengurangan dalam pergantian sel Paparan sinar UV
kulit
Gangguan fungsi penghalang kulit Pencemaran lingkungan
Gangguan respons sistem kekebalan Merokok
tubuh
Pengurangan lemak subkutan Faktor gaya hidup (tidur, stres, diet)
Gangguan termoregulasi
Vaskularisasi menurun
Aktivitas kelenjar sebasea dan
keringat menurun
Persepsi sensorik menurun

Tabel 2.1 Faktor Intrinsik dan ekstrinsik terkait dengan penuaan pada
kulit10,11

10
2.8 DIAGNOSA
2.8.1 Anamnesis
Mendiagnosa pruritus pada orang tua, bisa menjadi rumit dan
multifaktorial penyebabnya. Dalam mendiagnosis pasien lanjut usia dengan
pruritus, anamnesis, riwayat lengkap, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
dermatologi sangat penting. Karena pasien usia lanjut mungkin mengalami
penurunan sumber daya, gangguan kognisi, depresi atau cacat fisik, mereka lebih
rentan mengabaikan proses perawatan kebersihan yang normal. Hal inilah yang
dapat menyebabkan terjadinya pruritus.2
Riwayat penyakit yang harus ditanyakan yakni :2
A. Permulaan penyakit, lokasi, progresi gatal, faktor yang dapat
meringankan/memperberat
B. Durasi pruritus (akut: <6 minggu atau kronis:> 6 minggu)
C. Apakah ruam berhubungan dengan pruritus (apakah itu gatal tanpa ruam
atau ruam itu gatal?)
D. Apakah gatal sudah cukup parah sampai mengganggu tidur?
E. Apakah ada obat yang sedang dikonsumsi atau dosis pengobatan tertentu
yang sedang dikonsumsi?
F. Apakah ada produk yang dijual bebas atau bekas yang sedang digunakan?
G. Penggunaan kosmetik atau krim baru
H. Riwayat atopi, eksim, asma, demam
I. Riwayat diet yang terfokus untuk kemungkinan defisiensi nutrisi
J. Kondisi lingkungan (misalnya penggunaan listrik, selimut, pemanas,
pancuran air panas, dll.)
K. Kesehatan umum dan kesejahteraan seperti kehilangan berat badan atau
nafsu makan, mood, tidur
L. Terpapar pada setiap kontak penyakit yang mengalami demam seperti
penyakit rubella, gondok atau varicella, yang menunjukkan kemungkinan
etiologi infeksi

11
2.8.2 Pemeriksaan Fisis
Penyebab paling umum dari kulit gatal di pada lanjut usia, terutama di
musim gugur dan musim dingin adalah xerosis atau kulit kering. 'Kulit kering' ini
cukup jelas didapatkan pada pemeriksaan kulit, yang paling menonjol pada kaki
bagian bawah, anterior, tetapi juga sering terdapat pada tungkai atas dan
punggung. Jika gatal cukup parah, lesi kulit sekunder dapat berkembang menjadi
ekskoriasi, infeksi dan likenifikasi (penebalan, hiperpigmentasi dan beberapa
effloresensi lainnya) jika di gosok lama. Waktu memeriksa kulit adalah penting
untuk melihat area yang mungkin biasanya tidak terlihat, seperti jari-jari, daerah
intertriginosa dan daerah genital. Munculnya ruam meningkatkan kecurigaan dari
dermatosis primer yang mendasarinya. Pruritus yang terlokalisasi dalam distribusi
dermatom tanpa perubahan kulit pada lokasi pruritus atau hanya perubahan kulit
sekunder dari goresan menunjukkan pruritus neuropatik. Ketika pasien memiliki
dorongan yang berlebihan untuk mencakar atau memilih pada kulit normal, itu
mungkin tanda psikogenik pruritus. Pemeriksaan juga harus mencari
kemungkinan penyebab sekunder. Organomegly (hati, limpa), yang meningkatkan
kemungkinan yang mendasarinya penyakit sistemik yang harus dinilai. Kelenjar
getah bening harus dipalpasi dalam kasus yang jarang terjadi yakni limfoma
dengan pruritus.2
2.8.3 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dapat dilakukan seperti darah lengkap, fungsi ginjal,
fungsi hati, glukosa puasa dan fungsi tiroid pada tingkat pertama (FT4, TSHs).
Pemeriksaan darah lengkap dapat membantu dalam evaluasi gangguan
hematologis seperti leukemia, anaemia dan polisitemia. Pemeriksaan fungsi ginjal
dan hati dapat mengevaluasi bukti disfungsi ginjal atau hati. Kelainan dalam
pemeriksaan fungsi hati juga bisa terkait dengan infeksi, atau hepatitis terkait
obat-obatan, alkoholik atau inflamasi. Mengingat hubungan dengan neoplasma,
semua pasien harus memiliki pemeriksaan kanker sesuai usia yang tepat. Biopsi
tanpa adanya penyakit kulit yang terlihat tidak memberikan hasil apapun.2

12
2.9 DIAGNOSA BANDING
Pruritus dapat menjadi manifestasi klinis dari beberapa faktor penyakit
dermatologi atau merupakan manifestasi dari penyakit sistemik.2
Xerosis Ini merupakan penyebab paling umum dari
pruritus dalam ketiadaan lesi kulit yang dapat
diidentifikasi. Ini ditandai dengan kulit kering
dan bersisik, biasanya di ekstremitas bawah.
Dermatitis Atopik Dermatitis atopik ditandai dengan pruritus dan
didefinisikan sebagai penyakit inflamasi kulit
kronis yang umumnya terkait dengan rhinitis alergi
atau asma.
Dermatitis Kontak Dermatitis kontak disebabkan oleh paparan
langsung pada suatu zat (mis. Poison ivy). Ini bisa
sangat pruritus.
Dermatofit Infeksi dermatofit dapat menyebabkan pruritus
terlokalisasi dengan ruam khas dari perifer hingga
ke sentral
Kutu Rambut Pruritus disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas
tertunda terhadap air liur kutu. Suit untuk dinilai
tanpa menggunakan alat bantu kaca pembesar.
Psoriasis Pruritus dapat timbul dalam sejumlah besar pasien
dengan psoriasis. Ini dapat digeneralisasikan
dalam konteks ini dan tidak terbatas pada bidang
plak psoriasis.
Skabies Ini disebabkan oleh pengendapan telur tungau di
dalam lapisan epidermal kulit. Gejala pruritus
sering memburuk pada malam hari.
Urtikaria (gatal- Kondisi yang dimediasi histamin adalah umum
gatal) dan mempengaruhi hingga seperempat dari
populasi. Lesi ini berbatas tegas, eritematosa
dengan penonjolan yang tinggi.

Tabel 2.2 Penyakit dermatology umum yang menyebabkan pruritus2

13
Penyakit  Limpoma (terkhusus pada Hodgkin’s
Neoplastik/keganasan diseases, pada 30% kasus)
 Leukemia (terkhusus leukemia limpatik
kronik)
 Tipe lain dari kanker dan multiple
myeloma
Kerusakan Gagal ginjal kronik (>50% pasien dengan gagal
Ginjal/Gagal ginjal ginjal kronik dan 80% pada pasien yang sedang
menjalani dialisis dengan pruritus)
Penyakit hepar/gagal Cholestasis dengan berbagai keadaan
hepar  Sirosis bilier primer
 Kolangitis sklerosis
 Virus hepatitis
 Drug induced kolestasis
Obat-obatan Diuretik, agen penurun kolesterol (fibrat, statin),
angiotensin converting enzyme inhibitors,
antikonvulsan, allopurinol
Gangguan Hematologi Polisitemia vera, anemia def.besi,
makroglobulinemia
Gangguan Endokrin Hipotiroidisme, hipertiroidisme,
hyperparatiroidisme
Penyakit Tropis Jenis-jenis parasit
Gangguan Kejiwaan Stress, anxietas, depresi, phobic disorders,
obsesive konfulsif disorder, hypokondriasis
Gangguan Saraf Infark cerebral, abses serebri, multiple sklerosis,
tumor otak
Infeksi HIV

Tabel 2.3 Penyakit sistemik yang menyebabkan pruritus2

14
2.10. PENGOBATAN
Pengobatan dapat dilakukan mulai dari mengubah kebiasaan pola hidup
termasuk pengobatan spesifik.
Berikut beberapa langkah-langkah yang dapat dengan mudah dilakukan :2
 Mandi menggunakan air dingin dengan cepat (<2-3 menit)
 Ganti sabun mandi dengan yang bebas dari bahan detergen
 Menepuk kulit yang lembab setelah mandi,minimalkan untuk menggosok
 Menggunakan emolien pada kulit yang lembab, terutama setelah mandi
 Menghindari menggunakan alat pemanas ruangan berlebihan pada musim
dingin
 Menggunakan alat sirkulasi udara/pelembab udara pada ruangan yang
tertutup terutama di musim kering contohnya pada musim salju
 Menghindari penggunaan selimut elektrik di tempat tidur
 Meminimalkan kontak langsung dengan kain yang berbahan wol dan sintetis
 Menggunting kuku yang panjang untuk meminimalkan komplikasi
menggaruk (dapat menyebabkan infeksi sekunder).
Jika penyebab yang mendasari ditemukan, harus diobati karena pruritus
sering membaik ketika penyakit yang mendasarinya ditangani. Pengubahan obat
terbaru yang dicurigai menyebabkan pruritus harus dirasionalisasi. Jika
menanggapi tindakan yang tercantum di atas tidak memuaskan kemudian
pendekatan pengobatan bertahap dapat diujicoba. Penggunaan emolien secara
teratur adalah pengobatan utama dalam pruritus, bertujuan untuk memastikan
hidrasi kulit yang optimal dan mencegah siklus gatal-garuk. Emolien
meningkatkan fungsi sawar kulit, mencegah transepidermal kehilangan air dan
masuknya iritasi.2,3
Untuk pasien dengan gejala urtikaria dominan dapat diberikan
antihistamin. Topikal perawatan termasuk antipruritik seperti mentol 1% dalam
krim encer. Kortikosteroid topikal terbukti efektif dalam mengelola pruritus,
terutama ketika berhubungan dengan yang mendasarinya kondisi inflamasi atau
imunologi. Kortikosteroid topikal dianggap efektif sekunder untuk anti-inflamasi.
Terapi topikal adalah terapi utama untuk gatal ringan dan terlokalisir sementara

15
terapi sistemik harus dipertimbangkan untuk gatal yang parah dan umum. Pada
beberapa pasien fototerapi mungkin menjadi berguna. Ketika semua opsi ini
gagal, dapat dilakukan rujukan ke spesialis kulit dan kelamin untuk pengobatan
lebih lanjut.2,3

Golongan Obat Dosis Keterangan


Barrier repair cream/ Sesuai kebutuhan Mengandung pH
moisturizers/emolients rendah lebih baik untuk
digunakan
Kortikosteroid topikal Variabel Tidak secara langsung
sebagai antipruritic,
berguna pada pruritus
karena inflamasi pada
kulit dermatosis
Calcineurin inhibitors Tacrolimus 0.03% dan Terutama berguna pada
topical 0.1% ointment pruritus anogenital,
Primecrolimus 1% cream dapat menyebabkan
awalnya rasa terbakar
dan nyeri
Doxepin 5% cream Hindari pada anak-
anak, 20-25% resiko
terhadap efek sedasi
Menthol 1-3% cream atau lotion Berguna untuk pasien
yang merasa sensasi
dingin dapat
mengurangi rasa gatal
Capsaicin 0.025%-0.1% cream Sangat berguna bagi
yang menderita rasa
gatal neuropati,
awalnya rasa terbakar

16
Asam salisil 2%-6% Berguna dalam lichen
simplex kronik, hindari
pada kulit yang sedang
inflamasi dan anak-
anak
Anastesi lokal Pramoxine 1.0%-2.5% Berguna untuk pruritus
pada wajah dan yang
terkait dengan CKD
Lidokain patch 5% Berfungsi pada
neurophatic pruritus
Campuran eutektik
lidokain 2.5% dan
prilokain 2.5%
5% urea+3% polidocanol Keduanya sebagai
anastesi dan sekaligus
mosturizer
Cannabinoids N-palmitoylethanolamine Berguna pada
cream dermatitis atopik dan
pruritus karena CKD

Tabel 2.4 Pengobatan Topikal Pruritus4


A. Moisturizer, Emollient dan Barrier Cream
Pelembab, emolien, dan pelindung-penghalang krim adalah landasan
pengobatan antipruritik yang sering mengurangi pruritus melalui fungsi
penghalang yang lebih baik. Transepidermal water loss (TEWL)
mencerminkan fungsi epidermal barrier dan telah dikaitkan dengan intensitas
gatal pada pasien dengan dermatitis atopik. Pengamatan ini dapat dijelaskan
oleh fungsi barrier epidermis suboptimal yang memfasilitasi masuknya agen
penyebab iritasi dan gatal. Menariknya, TEWL telah terbukti meningkat pada
malam hari dan dengan demikian terapi topikal yang menyediakan oklusif

17
mungkin sangat berguna untuk pruritus nokturnal serta mereka yang memiliki
kulit kering atau atopik.4,12
Penelitian terbaru menunjukkan protease serin, melalui aktivasi
protease-activating receptor 2 (PAR2) yang terletak di terminal serat C, dapat
memainkan peran penting dalam mediasi pruritus. Terapi topikal dengan pH
rendah dapat mengurangi pruritus melalui pengurangan aktivitas dari protease
serin seperti mast sel tryptase (agonis PAR2 endogen). Selain itu, terapi
topikal dengan pH rendah mungkin sangat berguna dalam mengoptimalkan
fungsi sawar kulit melalui pemeliharaan pH asam yang normal dari
permukaan kulit.4,12
B. Kortikosteroid Topikal
Kortikosteroid topikal seharusnya hanya digunakan untuk meredakan
gatal yang terkait dengan penyakit kulit inflamasi seperti dermatitis atopik
atau psoriasis. Namun, mereka tidak boleh digunakan untuk mengobati gatal
kronis umum atau untuk periode yang lama. Kortikosteroid tidak secara
langsung antipruritic dan diyakini mereka memberikan efek menguntungkan
pada pruritus melalui pengurangan peradangan kulit. Telah ditunjukkan bahwa
2,5% hidrokortison secara signifikan menurunkan pruritus yang diinduksi
secara eksperimental bila dibandingkan dengan plasebo. Meskipun kekuatan
kortikosteroid yang lebih tinggi memiliki efikasi yang lebih besar, ada juga
peningkatan risiko efek samping (misalnya atrofi kulit, telangiektasia, dan
penekanan pada hipotalamus-hipofisis).4,13
C. Immunimodulator topikal
Para inhibitor kalsineurin topikal (TCI), tacrolimus dan pimecrolimus,
telah terbukti efektif dalam mengurangi pruritus pada pasien dermatitis atopik.
Laporan dari dermatitis pruritus lain yang berhasil diobati dengan inhibitor
kalsineurin topikal termasuk dermatitis kronis iritatif pada tangan, graft-versus
host penyakit, lichen sclerosis, pruritus anogenital dan prurigo nodularis. Efek
samping yang umum dari agen-agen ini adalah sensasi terbakar dan
menyengat transien. Mekanisme yang mendasari pengurangan pruritus ini
terlihat dengan TCI tidak jelas. Ada kemungkinan bahwa sifat anti-inflamasi

18
dari agen ini memediasi efek antipruritic mereka. Namun, bukti terbaru telah
mengimplikasikan reseptor transien reseptor-reseptor vanili-1 (TRPV1) yang
terletak pada serabut saraf memiliki peran untuk bermain dalam pengurangan
pruitus yang terlihat dengan TCI. Dari catatan, TRPV1 telah baru-baru ini
terlibat dalam patogenesis gatal melalui aktivasi fosfolipase A2 dan 12-
lipoxygenase.4,14
D. Antihistamin topikal
Doxepin, antidepresan trisiklik, adalah antagonis H1 dan H2 yang
poten. Krim Doxepin 5% telah terbukti secara signifikan mengurangi pruritus
pada pasien dengan dermatitis atopik, lichen simplex kronik, dermatitis kontak
dan dermatitis nummular. Namun, dapat menyebabkan kantuk, melalui
absorpsi sistemik doxepin, terjadi pada sekitar 20-25% pasien, membatasi
penggunaannya terutama pada anak-anak. Efek samping umum lainnya dari
perawatan ini termasuk kulit terbakar lokal dan dermatitis kontak alergik.4,15
E. Menthol
Menthol telah digunakan sendiri atau dalam kombinasi sebagai
antipruritik topikal selama berabad-abad. Menthol memunculkan sensasi
dingin yang sama dengan suhu rendah melalui reseptor TRPM8, anggota dari
potensi reseptor transien (TRP) keluarga saluran ion rangsang. Mendinginkan
kulit dan mentol keduanya menghasilkan bantuan gatal yang diinduksi
percobaan, meskipun yang terakhir ini tidak berhubungan dengan penurunan
suhu kulit. Hal ini menyebabkan mentol pada konsentrasi 1 - 3% yang umum
digunakan untuk meredakan pruritus sementara dosis yang lebih tinggi dapat
menyebabkan iritasi. Dari catatan, pasien yang melaporkan pengurangan
pruritus dengan sensasi dingin khususnya dapat memperoleh manfaat dari
terapi topikal yang mengandung menthol.4,16
F. Capsaicin
Capsaicin topikal bertindak melalui TRPV1 yang diekspresikan pada
saraf kulit sensoris untuk melepaskan neuropeptida seperti zat P. TRPV1 baru-
baru ini telah terlibat dalam patogenesis pruritus dan dengan demikian dapat
menjadi target melalui capsaicin yang memberikan efek antipruritik. Efek

19
menguntungkan dari capsaicin telah dilaporkan pada gangguan pruritus kronis
dan terlokalisasi, terutama yang berasal dari neuropatik, seperti notalgia
paresthetica dan pruritus brachioradial serta kondisi pruritus lainnya (misalnya
prurigo nodularis, pruritus aquagenik dan pruritus yang berhubungan dengan
penyakit ginjal kronis). Aplikasi awal menyebabkan sensasi terbakar intens
yang intens di tempat aplikasi yang dapat menyebabkan kepatuhan yang buruk
atau penghentian pengobatan dini; Namun, efek samping ini biasanya hilang
setelah menggunakan obat selama beberapa hari atau dengan aplikasi anestesi
topikal. Sebuah penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa Afrika Amerika
menampilkan hiperalgesia dan inflamasi neurogenik yang terbatas dalam
respon terhadap capsaicin topikal yang menunjukkan bahwa respon terhadap
anti agen-agen penjahat mungkin berbeda antara populasi etnis.4,17
G. Anastesi Lokal
Anastesi lokal topikal seperti pramoxine 1 persen, lidocaine 5 persen,
dan campuran eutektik lidocaine 2,5 persen dan prilocaine 2,5 persen,
semuanya telah terbukti memiliki sifat antipruritik. Dalam uji komparatif
terkontrol acak, double blind, pramoxine merupakan anti-gatal lotion terbukti
lebih efektif daripada lotion kontrol untuk pengobatan pruritus pada pasien
hemodialisis dewasa. Menariknya, lidokain intravena baru-baru ini dilaporkan
untuk memperbaiki keparahan pruritus dalam serangkaian kasus pasien
dengan penyakit hati kolestatik kronis. Polidocanol adalah surfaktan non-ionik
dengan sifat anestesi lokal dan efek melembabkan. Dalam penelitian open-
label, kombinasi 5 persen urea dan 3 persen polidocanol ditemukan secara
signifikan mengurangi pruritus pada pasien dengan dermatitis atopik,
dermatitis kontak, dan psoriasis.4,18
H. Asam Salisil Topikal
Asam asetilsalisilat topikal, inhibitor siklooksigenase, telah terbukti
secara signifikan mengurangi pruritus dalam uji coba plasebo double blind,
pada pasien dengan lichen simplex kronik, namun, salisilat oral tidak
meredakan pruritus kecuali pada polisitemia vera. Prostanoid, meliputi
prostaglandin (PG) dan thromboxanes (TX), adalah produk siklooksigenase

20
asam arakidonat. Yang penting, TXA2 baru-baru ini telah ditunjukkan untuk
menginduksi respon yang berhubungan dengan gatal melalui reseptor
thromboxane-prostanoid (TP) yang terletak di kedua keratinosit serta serabut
saraf kulit pada tikus. Tanggapan ini dihapus oleh kekurangan reseptor TP dan
antagonis reseptor TP. Ada kemungkinan bahwa tindakan antipruritic asam
asetilsalisilat topikal dapat sebagian dijelaskan oleh efek penghambatan
mereka pada prostanoid.4
I. Cannbinoids topikal
Baru-baru ini telah ditunjukkan bahwa kedua reseptor cannabinoid
CB1 dan CB2 diekspresikan pada serabut saraf sensoris kutaneus, sel mast dan
keratinosit. Hal ini diikuti oleh pengamatan bahwa distribusi perifer dari
agonis reseptor cannabinoid melemahkan gatal yang diinduksi histamin pada
manusia. Agonis CB2, N-palmitoylethanolamine telah dimasukkan ke dalam
krim dengan bantuan pruritus yang dilaporkan pada pasien dengan dermatitis
atopik, liken simpleks, prurigo nodularis dan pruritus terkait penyakit ginjal
kronis. Hasil awal yang menjanjikan ini menuntun seseorang untuk percaya
bahwa terapi yang menargetkan reseptor cannabinoid dapat mengarah pada
pengembangan perawatan antipruritic yang efektif di masa depan.4

21
BAB III

KESIMPULAN

Pruritus adalah sensasi kulit yang tidak nyaman dan menimbulkan


rangsangan untuk menggaruk. Pruritus merupakan yang paling umum dikeluhkan
pada lansia. Salah satu penyebab pruritus yakni senilitas. Pruritus senilitas (gatal
pada usia lanjut) merupakan rasa gatal yang ditimbulkan akibat kulit yang kering
dan retak (chapped skin) mudah menjadi pruritik.
Penuaan mempengaruhi tiga komponen penting yang terlibat dalam
menghasilkan peradangan kulit dan dalam merasakan pruritus: (1) sistem
kekebalan tubuh; (2) fungsi penghalang epidermis; dan (3) sistem saraf. Adapun
penuaan pada kulit dapat dibagi dua yakni penuaan intriksi mengacu pada
perubahan yang merupakan penuaan yang normal terjadi pada semua individu,
sedangkan penuaan ekstrinsik terjadi akibat konsekuensi dari faktor ekstrinsik
yang berefek terhadap kulit.
Dalam mendiagnosa pruritus senilis dapat dilakukan dari anamnesis
meliputi permulaan penyakit, lokasi, durasi hingga riwayat lengkap yang diderita
oleh seorang pasien saat itu. Selain itu, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
dermatologi sangat penting untuk mendiagnosa pasien lanjut usia dengan pruritus.
Setelah berhasil menegakkan diagnosis, dilakukan pengobatan mulai dari
mengubah kebiasaan pola hidup seperti mandi menggunakan air dingin,
mengganti sabun mandi yang bebas dari bahan detergen ataupun menggunting
kuku yang panjang untuk meminimalkan komplikasi hingga pengobatan spesifik
seperti penggunaan emolien, moisturizer, atau kortikosteroid topikal sesuai
dengan tingkat keluhan yang berhasil di diagnosis oleh seorang dokter.

22
DAFTAR PUSTAKA
1. Sularsito, Sri Adi. 2016. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin : Hubungan
Kelainan Kulit dan Penyakit Sistemik, ed.VII, hal. 391-392. Jakarta;
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Chinniah, Niranthari; Gupta, Monisha. 2014. Pruritus in the elderly - a
guide to assessment and management. Australia. visited in Oct 20th 2018
3. Berger, Timothy G., Steinhoff, Martin. 2013. Pruritus in Elderly Patients-
Eruptions of Senescence.30(2): 113-117 visited in website
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3694596/
4. Patel T, Yosipovitch G. Therapy of pruritus. Expert Opin Pharmacother
2013;11:1673¬–82. Website
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC 2885583/ visited in Oct
25th 2018
5. Goldsmith, Lowell A. 2013. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine Eighth Edition. United States : The McGraw-Hill Companies

6. Panuganti B, Tarbox M. 2013. Evaluation and management of pruritus and


scabies in the elderly population. Clin Geriatr Med;29:479–9.
7. Ikoma A, Steinhoff M, Stander S, Yosipovitch G, Schmelz M. 2016. The
neurobiology of itch. Nat Rev Neurosci;7:535–47.
8. Stander S, Weisshaar E, Luger TA. 2017. Neurophysiological and
neurochemical basis of modern pruritus treatment. Exp Dermatol;17:161–
69.
9. Nagihan, Tarikci, et al. 2015. Article : Pruritus in Systemic Disease, A
Review of Etiological Factors and New Treatment Modalities. Vol.
2015;1-8
10. Worley CA. 2016. Aging skin and wound healing. Dermatol Nurs;18:265-
66.
11. Cowdell F. 2014. Care and Management of patients with pruritus. Nurs
Older People;21:35-41.

23
12. Farage MA, Miller KW, Berardesca E, Maibach HI. 2013. Clinical
implications of aging skin: cutaneous disorders in the elderly. Am J Clin
Dermatol;10:73–86.
13. Reamy BV, Bunt CW, Fletcher S. 2017. A diagnostic approach to pruritis.
Am Fam Physician;82:95– 202.
14. Expert Group for Dermatology. 2013. Itch without rash. In: eTG Complete
[Internet]. Melbourne: Therapeutic Guidelines Ltd,. Available at
www.tg.org.au [Accessed 25 Oct 2018].
15. Lee CH, Chuang HY, Shih CC, et al. 2016. Transepidermal water loss,
serum IgE and beta-endorphin as important and independent biological
markers for development of itch intensity in atopic dermatitis. Br J
Dermatol. ;154:1100–7.
16. Yosipovitch G, Xiong GL, Haus E, et al. 2015. Time-dependent variations
of the skin barrier function in humans: transepidermal water loss, stratum
corneum hydration, skin surface pH, and skin temperature. J Invest
Dermatol. ;110:20–3.
17. Patel T, Ishiuji Y, Yosipovitch G. 2017. Nocturnal itch: why do we itch at
night? Acta Derm Venereol. ;87:295–8.
18. Steinhoff M, Neisius U, Ikoma A, et al. 2013. Proteinase-activated
receptor-2 mediates itch: a novel pathway for pruritus in human skin. J
Neurosci. ;23:6176–80.

24

Anda mungkin juga menyukai