Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Skenario 1
Seorang laki-laki 47 tahun, datang ke puskesmas dengan keluhan gatal pada
panggul dan selangkangan sejak 7 hari yang lalu. Pasien juga mengeluhkan kulit
bagian tersebut agak merah. Pasien tinggal di daerah tropis dan sering
berkeringat. Pasien senang memakai celana pendek ketat setiap harinya,
1.2 Kata Kunci
• Laki-laki 47 tahun
• Gatal pada panggul dan selangkangan sejak 7 hari
• Kulit agak merah
• Tinggal di daerah tropis
• Sering berkeringat
• Senang memakai celana pendek ketat
1.3 Rumusan Masalah
1. Menjelaskan anatomi, histologi, dan fisiologi dari kulit?
2. Menjelaskan definisi, faktor resiko dan penyebab gatal ?
3. Menjelaskan mekanisme gejala pada skenario?
4. Menjelaskan differensial diagnosis yang terkait dengan skenario?
5. Menjelaskan integrasi keislaman berdasarkan scenario?
1.4 Learning Outcome
• Mahasiswa mampu mengetahui anatomi, histologi, dan fisiologi dari kulit
• Mahasiswa mampu mengetahui definisi, faktor resiko dan penyebab gatal
• Mahasiswa mampu mengetahui mekanisme gejala pada skenario
• Mahasiswa mampu menyebutkan dan menjelaskan differensial diagnosis
• Mahasiswa mampu mengetahui integrasi keislaman

1
1.5 Hipotesa
Dari gejala yang dialami, dapat diambil beberapa kemungkinan penyakit yang
dialami pasien, yaitu :
• Tinea Kruris
• Dermatitis Kontak Alergi
• Pediculosis Pubis
1.6 Problem Tree

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Anatomi, histologi, dan fisiologi kulit


➢ Anatomi dan Histologi Kulit 1,2

Kulit merupakan pembungkus yang elastisk yang melindungi tubuh dari


pengaruh lingkungan. Kulit juga merupakan alat tubuh yang terberat dan
terluas ukurannya, yaitu 15% dari berat tubuh dan luasnya 1,50 – 1,75 m.
Rata- rata tebal kulit 1-2 mm. Paling tebal (6 mm) terdapat di telapak tangan
dan kaki dan paling tipis (0,5 mm) terdapat di penis.Kulit terbagi atas tiga
lapisan pokok, yaitu epidermis, dermis atau korium, dan jaringan subkutan
atau subkutis.
1. Epidermis
Ditinjau dari histologi, kulit terbagi atas beberapa lapisan. Yakni :
a. Epidermis, merupakan lapisan terluar dari kulit yang merupakan suatu
lapisan tipis, dimana epidermis memiliki beberapa lapisan yaitu :
1) Stratus Korneum : Stratum korneum (lapisan tanduk)adalah
lapisan kulit yang paling luar dan terdiri atas beberapa lapis sel-sel

3
gepeng yang mati, tidak berinti, dan protoplasmanya telah berubah
menjadi keratin (zat tanduk).
2) Stratum Lucidum : Stratum lusidum terdapat langsung dibawah
lapisan korneum, merupakan lapisan sel-sel gepeng tanpa inti
dengan protoplasma yang berubah menjadi protein yang disebut
eleidin.lapisan tersebut tampak lebih jelas di telapak tangan dan
kaki.
3) Stratum Granulosum : Staratum granulosum (lapisan keratohialin)
merupakan 2 atau 3 lapis sel-sel gepeng dengan sitoplasma
berbutir kasar dan terdapat inti di antaranya. Butir-butir kasar ini
terdiri atas keratohialin. Mukosa biasanya tidak punya lapisan ini.
Stratum granuloum juga tampak jelas di telapak tangan dan kaki.
4) Stratum Spinosum : Stratum spinosum (staratum malphigi) atau
disebut pula prickle cell layer (lapisan akanta) terdiri atas beberapa
lapis sel yang berbentuk poligonal yang besarnya berbeda-beda
karena adanya proses mitosis. Protoplasmanya jernih karena
banyak mengandung glikogen, dan inti terletak ditengah-tengah.
Sel-sel ini makin dekat dengan permukaan makin gepeng
bentuknya. diantara sel-sel spinosum terdapat jembatan-jembatan
antar sel yang terdiri atas protoplasma dan tonofibril atau keratin.
Perlekatan antar jembatan-jembatan ini membentuk penebalan
bulat kecil yang disebut nodulus bizzozero. Diantara sel-sel
spinosum terdapat pula sel langerhans. Sel-sel stratum spinosum
mengandung banyak glikogen.
5) Stratum Basal : Staratum basale terdiri atas sel-sel berbentuk
kubus (kolumnar) yang tersusun vertikal pada perbatasan dermo-
epidermal berbaris seperti pagar (palisade). Lapisan ini merupakan
lapisan epidermis yang paling bawah. Sel-sel basal ini

4
mengadakan mitosis dan berfungsi reproduktif. Lapisan ini terdiri
atas dua jenis sel yaitu:
- Sel-sel yang berbentuk kolumnar dengan protoplasma basofilik
inti lonjong dan besar, dihubungkan satu dengan yang lain oleh
jembatan antar sel.
- Sel pembentuk melanin (melanosit) atau clear cell merupakan
sel-sel berwarna muda, dengan sitoplasma basofilik dan inti
gelap, dan mengandung butir pigmen (melanosomes).
2. Dermis
Dermis merupakan lapisan dibawah epidermis yang jauh lebih tebal
daripada epidermis. Lapisan ini terdiri atas lapisan elastik dan fibrosa
padat dengan elemen-elemen selular dan folikel rambut.secara garis besar
dibagi dalam dua bagian yaitu:
a. Pars papilare : bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung
serabut saraf dan pembuluh darah.
b. Pars retikulare : bagian dibawahnya yang menonjol kearah subkutan,
bagian ini terdiri atas serabut-serabut penunjang misalnya serabut
kolagen, elastin dan retikulin. Dasar (matriks) lapisan ini terdiri atas
cairan kental asam hialuronat dan kondroitin sulfat, dibagian ini terdat
pula fibroblas, membentuk ikatan (bundel) yang mengandung
hidroksiprolin dan hidroksisilin. Kolagen muda serabut bersifat lentur
dengan bertambah umur menjadi kurang larut sehingga makin stabil.
Retikulin mirip kolagen muda. serabut elastin biasanya bergelombang,
berbentuk amorf dan mudah mengembang serta lebih elastis.
3. Lapisan subkutis
Lapisan subkutisadalah kelanjutan dermis, terdiri atas jaringan ikat
longgar berisi sel-sel lemak didalamnya. Sel-sel lemak merupakan sel
bulat, besar dengan inti terdesak ke pinggit sitoplasma lemak yang
bertambah. Sel-sel ini membentuk kelompok yang dipisahkan satu

5
dengan yang lain oleh trabekula yang fibrosa. Lapisan sel-sel lemak
disebut penikulus adiposa, berfungsi sebagai cadangan makanan. Di
lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah, dan getah
bening. Tebal tipisnya jaringan lemak tidak sama bergantung pada
lokalisasinya. Di abdomen dapat mencapai ketebalan 3 cm, Di daerah
kelopak mata dan penis sangar sedikit. Lapisan lemak ini juga merupakan
bantalan.
Vaskularisasi dikulit diatur oleh 2 pleksus, yaitu pleksus yang terletak
di bagian atas dermis (pleksus superfisial) dan yang terletak di subkutis
(pleksus profunda). Pleksus yang di dermis bagian atas mengadakan
anastomosis di papil dermis, pleksus yang disubkutis dan di pars retikulare
juga mengadakan anastomosis, di bagian ini pembuluh darah berukuran
lebih besar. Bergandengan dengan pembuluh darah terdapat saluran getah
bening
➢ Fisiologi Kulit 1,2
1. Fungsi proteksi
Kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisis atau
mekanis, misalnya tekanan, gesekan, tarikan; gangguan kimiawi, misalnya
zat-zat kimia terutama yang bersifat iritan, contohnya lisol, karbol, asam,
alkali kuat lainnya; gangguan yang bersifat panas, misalnya radiasi,
sengatan sinar ultra violet; gangguan infeksi luar terutama kuman/bakteri
maupun jamur.
Hal diatas dimungkinkan karena adanya bantalan lemak, tebalnya
lapisan kulit dan serabut-serabut jaringan penunjang yang berperanan
sebagai pelindung terhadap gangguan fisis.
Melanosit turut berperanan dalam melindungi kulit terhadap pajanan
sinar matahari dengan mengadakan tanning. Proteksi rangsangan kimia
dapat terjadi karena sifat stratum korneum yang impermeabel terhadap
berbagai zat kimia dan air, disamping itu terdapat lapisan keasaman kulit

6
yang melindungi. kontak zat-zat kimia dan kulit. Lapisan keasaman kulit
ini mungkin terbentuk dari hasil ekskresi keringat dan sebum, keasaman
kulit menyebabkan pH kulit berkisar pada pH 5 - 6,5 sehingga merupakan
perlindungan kimiawi terhadap infeksi bakteri maupun jamur. Proses
kreatinisasi juga berperan sebagai sawar (barrier) mekanis karena sel-sel
mati melepaskan diri secara teratur.
2. Fungsi absorbsi
Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air,larutan dan benda padat,
tetapi cairan yang mudah menguap lebih mudah diserap, begitupun yang
larut lemak. Permeabilitas kulit terhadap oksigen dan karbondioksida dan
uap air memungkinkan kulit ikut mengambil bagian pada fungsi respirasi.
Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit, hidrasi,
kelembaban, metabolisme dan jenis vehikulum. Penyerapan dapat
berlangsung melalui celah antar sel, menembus sel-sel epidermis atau
melalui muara saluran kelenjar; tetapi lebih banyak yang melalui sel-sel
epidermis daripada yang melalui muara kelenjar.
3. Fungsi ekskresi
Kelenjar-kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak beguna lagi
atau sisa metabolisme dalam tubuhberupa NaCl, urea, asam urat, dana
amonia. Kelenjar lemak pada fetus atas pengaruh hormon androgen dari
ibunya memproduksi serum untuk melindungi kulitnya terhadap cairan
amonion, pada waktu lahir dijumpai sebagai vernix caseosa. Sebum yang
diproduksi melindungi kulit karena lapisan sebum ini selain meminyaki
kulit juga menahan evaporasi air yang berlebihan sehingga kulit tidak
menjadi kering. Produksi kelenjar lemak dan keringat di kulit
menyebabkan keasaman kulit pada pH 5 - 6.5.
4. Fungsi persepsi
Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis.
Terhadap rangsangan panas diperankan oleh badan-badan ruffini di dermis

7
dan subkutis. Terhadap dingin diperankan oleh badan-badan krause yang
terletak di dermis. Badan taktil meissner terletak di papilla dermis
berperan terhadap rabaan, demikian pula badan markel ranvier yang
terletak di epidermis. Sedangkan terhadap tekanan diperankan oleh badan
paccini di epidemis. Saraf-saraf sensorik tersebut lebih banyak jumlahnya
di daerah yang erotik.
5. Termoregulasi
Kulit melakukan peranan ini dengan cara mengeluarkan keringat dan
mengerutkan (otot berkontraksi) pembuluh darah kulit. Kulit kaya akan
pembuluh darah sehingga memungkinkan kulit mendapat nutrisi yang
cukup baik. Tonus vaskuler dipengaruhi oleh saraf simpatis. Pada bayi
biasannya dinding pembuluh darah belum terbentuk sempurna, sehingga
terjadi ekstravasasi cairan, karena itu kulit bayi tampak lebih edematosa
karena lebih banyak mengandung air dan Na.
6. Fungsi pembentukan pigmen
Sel [pembentuk pigmen(melanosit), terletak di lapisan basal dan sel ini
berasal dari rigi saraf .perbandingan jumlah sel basal : melanosit adalah 10
: 1. Jumlah melanosit dan jumlah serta besarnya butiran pigmen
(melanosomes) menentukan warna kulit ras maupun individu. Pada
pulasan H.E sel ini jernih berbentuk bulat dan merupakan sel dendrit,
disebut pula sebagai clear cell. Melanosum dibentuk oleh alat golgi
dengan bantuan enzim tirosinase, ion Cudan oksigen. Pajanan terhadap
sinar matahari mempengaruhi produksi melanosom. Pigmen disebar ke
epidermis melalui tangan-tangan dendrit sedangkan ke lapisan kulit
dibawahnya dibawa oleh sel melanofag(melanofor). Warna kulit tidak
sepenuhnya dipengaruhi oleh pigmen kulit, melainkan juga oleh tebal
tipisnya kulit, reduksi Hb dan karoten.

8
7. Fungsi pembentukan vit D
Dimungkinkan dengan mengubah 7 dihidroksi kolesterol dengan
pertolongan sinar matahari. Tetapi kebutuhan tubuh akan vitamin D tidak
cukup hanya dari hal tersebut, sehingga pemberian vitamin D sistemik
masih tetap diperlukan. Pada manusia kulit dapat pula mengekspresikan
emosi karena adanya pembuluh darah, kelenjar keringat dan otot-otot di
bawah kulit.

2.2 Gatal
2.2.1 Definisi
Pruritus atau rasa gatal merupakan suatu proses yang kompleks yang
melibatkan stimulasi dari ujung-ujung saraf superficial pada kulit yang
menimbulkan keinginan untuk menggaruk.3
2.2.2 Etiologi 2
1. Faktor eksogen antara lain:
a. Penyakit dermatologik
b. Dermatitis kontak (dengan pakaian, logam, serta benda asing)
c. Rangsangan dari ektoparasit (misal: serangga, tungau skabies,
pedikulus, larva migrans)
d. Faktor lingkungan (menyebabkan kulit kering atau lembab)
2. Faktor endogen antara lain
Adanya reaksi obat atau adanya penyakit. Penyakit sistemik dapat
menimbulkan gejala pruritus di kulit. Pruritus ini disebut dengan pruritus
primer, dan dapat bersifat lokalista atau generalista. Bahkan pruritus
psikogenik cenderung dapat muncul pada seseorang yang sering merasa
malu, memiliki perasaan bersealah, masokisme, serta ekshibisonisme.
Pruritus yang timbul akibat faktor sistemik antara lain disebabkan oleh:

9
a. Kehamilan Pruritus gravidarum, melibatkan induks oleh estrogen dan
kadang berhubungan dengan kolestasis. Terjadi terutama di trimester
terakhir kehamilan.
b. Penuaan Pruritus yang timbul akibat kulit yang sudah tua dan bisa
terjadi akibat stimulasi yang sangat ringan.
c. Penyakit hepar, gejala berhubungan dengan kolestasis. Adanya
kolestasis ini mengakibatkan peningkatan sintesis opioid.
d. Penyakit endokrin Terjadi pada pasien diabetes, terjadi akibat
hiperglikemi.
e. Penyakit ginjal, neoplastik, dan penyakit lain.

2.2 Mekanisme gejala pada skenario


2.3.1 Mekanisme Gatal
Zat-zat kimia dan rangsangan fisik (mekanik) dapat memicu terjadinya
pruritus. Histamine adalah mediator inflamasi yang berpengaruh dalam
timbulnya rasa gatal. Histamin dibentuk oleh sel mast jaringan dan basofil.
Pelepasannya dirangsang oleh kompleks antigen-antibodi (IgE) yang
sebelumnyavdiproduksi oleh sel B. Ketika sel mast menghasilkan histamin,
histamine akan mentimulasi ujung saraf bebas yang terletak di dekat junction
dermoepidermal yang bertanggung jawab untuk sensasi ini. Sinaps terjadi di
akar dorsal korda spinalis (substansia grisea), bersinaps dengan neuron kedua
yang menyebrang ke tengah, lalu menuju traktus spinotalamikus konlateral
hingga berakhir di thalamus. Dari thalamus, terdapat neuron ketiga yang
meneruskan rangsang hingga ke pusat persepsi di korteks serebri. Saraf yang
menghantarkan sensasi gatal merupakan serabut saraf tipe C-tak
termielinasi.4,5
2.3.2 Patomekanisme Eritema 6
Kemerahan yang terjadi diakibatkan karena proses inflamasi. Proses
inflamasi sangat berkaitan erat dengan sistem imunitas tubuh. Secara garis

10
besae imunitas tubuh dibagi atas 2 yaitu sistem imun bawaan/non spesifik dan
sistem imun didapat/spesifik. Spesifik akan menyerang semua antigen yang
masuk sedangkan non spesifik merupakan pertahan selanjutnya yang
memilih-milih antigen yang masuk. Ketika antigen masuk ke dalam tubuh,
maka spesialis-spesialis fagositik (makrofag dan neutrofil. Akan memfagosit
antigen tersebut.6
Hal tersebut bersamaan dengan terjadinya pelepasan histamine oleh sel
mast di daerah jaringan yang rusak. Histamin yang dilepaskan ini membuat
pembuluh darah bervasodilatasi untuk meningkatkan aliran darah pada daerah
yang terinfeksi. Selain itu, histamine juga membuat permeabilitas kapiler
meningkat sehingga protein plasma yang seharusnya tetap berada di dalam
pembuluh darah akan mudah keluar ke jaringan. Hal ini menyebabkan kulit
berwarna kemerahan.6

2.4 Differential Diagnosis


2.4.1 Tinea Kruris
2.4.1.1 Definisi
Tinea kruris dan korporis merupakan dermatofitosis tersering di dunia
yang masih menjadi salah satu masalah kesehatan di Indonesia. Tinea
kruris adalah dermatofitosis yang mengenai sela paha, daerah genitalia,
pubis, perineal, dan perianal.7
2.4.1.2 Epidemiologi
Berdasarkan urutan kejadian dermatofitosis tinea korporis (57%), tinea
unguinum (20%), tinea kruris (10%),tinea pedis dan tinea barbae (6%),
dan sebanyak 1% tipe lainnya.Di berbagai negara saat ini terjadi
peningkatan bermakna dermatofitosis. Di Kroasia dilaporkan prevalensi
dermatofitosis 26% pada tahun 1986 dan meningkat menjadi 73% pada
tahun 2001.Pada tahun 2011 di Rumah Sakit (RS) Dr.M.Djamil Padang
tinea kruris merupakan dermatofitosis terbanyak (72%), berdasarkan data

11
rekam medis selama tahun 2010 ditemukan 288 orang penderita baru
dematofitosis dengan 207 orang penderita baru tinea kruris. Tinea kruris
lebih sering pada rentang usia 51-60 tahun dan tiga kali lebih sering terjadi
pada laki-laki dibandingkan dengan wanita. Orang dewasa lebih sering
menderita tinea kruris bila dibandingkan dengan anak-anak.7
2.4.1.3 Etiologi
Kebanyakan tinea kruris disebabkan oleh Species Tricophyton rubrum
dan Epidermophyton floccosum dimana E. floccosum merupakan spesies
yang paling sering menyebabkan terjadinya epidemi. T.Mentagrophytes
dan T. verrucosum jarang menyebabkan tinea kruris. Tinea Kruris seperti
halnya tinea korporis, menyebar melalui kontak langsung ataupun kontak
dengan peralatan yang terkontaminasi, dan dapat mengalami eksaserbasi
karena adanya oklusi dan lingkungan yang hangat, serta iklim yang
lembab.7
2.4.1.4 Manifestasi klinik
Secara klinis tinea kruris biasanya tampak sebagai papulovesikel
eritematosa yang multipel dengan batas tegas dan tepi meninggi.Terdapat
central healing yang ditutupi skuama halus pada bagian tengah
lesi,dengan tepi yang meninggi dan memerah sering ditemukan. Pruritus
sering ditemukan, seperti halnya nyeri yang disebabkan oleh maserasi
ataupun infeksi sekunder. Tinea kruris yang disebabkan oleh E. floccosum
paling sering menunjukkan gambaran central healing, dan paling sering
terbatas pada lipatan genitokrural dan bagian pertengahan paha atas.
Sebaliknya, infeksi oleh T. rubrum sering memberikan gambaran lesi yang
bergabung dan meluas sampai ke pubis, perianal, pantat, dan bagian
abdomen bawah. Tidak terdapat keterlibatan pada daerah genital.7

12
2.4.1.5 Faktor yang berperan dalam penyebaran tinea kruris: 7
• Kondisi kebersihan lingkungan yang buruk
• Kebiasaan menggunakan pakaian yang ketat atau lembab : tidak
pertukaran udara, dan jika kondisinya lembab maka akan menjadi
tempat pertumbuhan mikroba dan juga akan menyebabkan kemerahan
akibat dari gesekan.
• Iklim tropis : berkisar 15-30°C, dan pertumbuhan mikroba sangat baik
pada iklim seperti ini yang akan memicu kelembaban jika kebersihan
seseorang tidak baik.
• Peningkatan keringat
• Usia produktif : merupakan usia yang berkisar 45-64 tahun yang
merupakan masa aktif seseorang dalam beraktifitas yang bisa memicu
peningkatan keringat
• Obesitas dan diabetes melitus juga merupakan faktor resiko tambahan
oleh karena keadaan tersebut menurunkan imunitas untuk melawan
infeksi. Penyakit ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat
merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup

13
2.4.1.6 Diagnosis
• Anamnesis
Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan
tambahan: rasa gatal hebat pada daerah kruris (lipat paha),
lipat perineum, bokong dan dapat ke genitalia; ruam kulit
berbatas tegas, eritematosa dan bersisik, semakin hebat jika
banyak berkeringat. 8
• Pemeriksaanfisik
Lokalisasi : Regio inguinalis bilateral, simetris. Meluas ke
perineum, sekitar anus, intergluteal sampai ke gluteus.
Dapat pula meluas ke suprapubis dan abdomen bagian
bawah. Effloresensi/sifat-sifatnya: Makula eritematosa
numular sampai geografis, berbatas tegas dengan tepi lebih
aktif terdiri dari papula atau pustul. Jika kronik macula
menjadi hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya.8
• Pemeriksaan penunjang
a) LampuWood
Lampu wood pertama kali digunakan dalam praktek
dermatologi untuk mendeteksi jamur infeksi hair oleh
Margaret dan Deveze tahun 1925. Lampu Wood
memancarkan radiasi UV gelombang panjang (UVR),
juga disebut cahaya hitam, yang dihasilkan oleh tinggi
tekanan busur merkuri dilengkapi dengan filter
senyawaterbuat dari barium silikat dengan 9% nikel
oksida, yang Filter Wood. Filter ini terlihat buram pada
semua sinar kecuali sebuah band antara 320 dan 400 nm
dengan puncak pada 365 nm. Dermatofita yang
menyebabkan fluoresens umumnya anggota genus

14
Microsporum. Namun, tidak adanya fluoresensi tidak
selalu mengesampingkan tinea capitis seperti
kebanyakan spesies Trichophyton, dengan pengecualian
T. schoenleinii, yang nonfluoresens. Gambaran Tinea
kruris tidak terlihat pada pemeriksaan ini. 9
b) KOH (potassium hidroksida):
Tampak elemen jamur seperti hifa, spora dan miselium.10
2.4.1.7 Penatalaksanaan
• Medikamentosa 11,12
Pada kebanyakan kasus tinea kruris dapat dikelola
dengan pengobatan topikal. Steroid topikal tidak
direkomendasikan. Agen topikal memiliki efek
menenangkan, yang akan meringankan gejala lokal. Terapi
topikal untuk pengobatan tinea corporis atau tinea kruris
termasuk: terbinafine, butenafine, ekonazol, miconazole,
ketoconazole, klotrimazole, ciclopirox. Formulasi topikal
dapat membasmi area yang lebih kecil dari infeksi, tetapi
terapi oral diperlukan di mana wilayah infeksi yang lebih
luas yang terlibat atau di mana infeksi kronis atau berulang.
- Griseovulfin: pada masa sekarang, dermatofitosis pada
umumnya dapat diatasi dengan pemberian griseovulvin.
Obat ini bersifat fungistatik. Secara umum griseovulfin
dalam bentuk fineparticle dapat diberikan dengan dosis
0,5 – 1 untuk orang dewasa dan 0,25 – 0,5 g untuk
anak- anak sehari atau 10 – 25 mg per kg berat badan.
Lama pengobatan bergantung pada lokasi penyakit,
penyebab penyakit dan keadaan imunitas penderita.
Setelah sembuh klinis di lanjutkan 2 minggu agar

15
tidakresidif.
- Butenafine adalah salah satu antijamur topikal terbaru
diperkenalkan dalam pengobatan tinea kruris dalam dua
minggu pengobatan dimana angka kesembuhan
sekitar70%.
- Flukonazol (150 mg sekali seminggu) selama 4-6
minggu terbukti efektif dalam pengelolaan tinea kruris
dan tinea corporis karena 74% dari pasien
mendapatkankesembuhan.
- Itrakonazol dapat diberikan sebagai dosis 400 mg / hari
diberikan sebagai dua dosis harian 200 mg untuk
satuminggu.
- Terbinafine 250 mg / hari telah digunakan dalam
konteks ini klinis dengan rejimen umumnya 2-4minggu.
- Itrakonazol diberikan 200 mg / hari selama 1 minggu
dianjurkan, meskipun rejimen 100 mg / hari selama 2
minggu juga telah dilaporkanefektif.
- Ketokonazol Obat ini bersifat fungistatik. Pada kasus
resisten terhadap griseovulfin dapat diberikan obat
tersebut sebanyak 200 mg perhari selama 10 hari – 2
minggu pada pagi hari setelah makan.
• Non-medikamentosa
Pencegahan kekambuhan penyakit sangat penting,
seperti mengurangi faktor predisposisi, seperti
menggunakan pakaian yang menyerap keringat,
mengeringkan tubuh setelah mandi atau berkeringat, dan
membersihkan pakaian yang terkontaminasi.13

16
2.4.1.8 Prognosis
Prognosis Tinea kruris akan baik, asalkan kelembaban dan kebersihan
kulit selalu dijaga. 14

2.4.2 Dermatitis Alergi


2.4.2.1 Definisi
Dermatitis kontak alergi (DKA),meerupakan reaksi peradangan kulit
yang didahului proses sensitisasi. 15
2.4.2.2 Epidemiologi 16,17
Diperkirakan jumlah DKA maupun DKI makin bertambah seiring
dengan bertambahnya jumlah produk yang mengandung bahan kimia yang
dipakai oleh masyarakat.
Dahulu diperkiran bahwa kejadian DKI akibat kerja sebanyak 80% dan
DKA 20%, tetapi data baru dari Inggris dan Amerika Serikat
menunjukkan bahwa dermatitis kontak alergi akibat kerja ternyata cukup
tinggi yaitu berkisar antara 50 dan 60 persen. Sedangkan, dari satu
penelitian ditemukan frekuensi DKA bukan akibat kerja tiga kali lebih
sering dibandingkan dengan DKA akibat kerja.
Dari Indonesia penelitian Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Manado
periode Januari 2001 – Desember 2005 didapatkan jumlah penderita
dermatitis kontak 1.198 orang atau 5,51% dari 21.741 orang penderita
penyakit kulit rawat jalan.
2.4.2.3 Etiologi
Banyak zat yang berbeda dapat menyebabkan dermatitis kontak alergi,
yang disebut 'alergen' seperti wewangian,pengawet molekul kecil, dll.
Biasanya zat ini tidak menimbulkan masalah bagi kebanyakan orang, dan
bahkan mungkin tidak diperhatikan saat pertama kali orang tersebut
terpapar.18

17
Bahan kimia sederhana dengan berat molekul rendah (< 1000 dalton),
disebut sebagai hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dan dapat
menembus stratum korneum seehingga mencapai sel epidermis bagian
dalam yang hidup.16
Penyebab DKA pada umumnya adalah bahan kimia yang terkandung
dalam alat-alat yang dikenakan oleh penderita (asesoris, pakaian, sepatu,
kosmetika, obat-obat topikal) atau yang berhubungan dengan pekerjaan
(semen, sabun cuci, pestisida, bahan pelarut, bahan cat atau polutan yang
lain). Disamping bahan penyebab, ada faktor penunjang yang
mempermudah timbulnya dermatitis kontak tersebut yaitu suhu, udara,
kelembaban, dan gesekan.19
2.4.2.4 Patogenesis 16
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada DKA mengikuti respon
imun yang diperantarai oleh sel ( cell-mediated immune respons ) atau
reaksi imunologi tipe IV. Reaksi ini terjadi melalui dua fase :
• Fase sensitasi
Hapten yang masuk kedalam epidermis melewati stratum korneum
akan ditangkap oleh sel langerhans dengan cara pinositosis, dan
diproses secara kimiawi oleh enzim lisosom atau sitosol serta
dikonjugasikan pada molekul HLA-DR untuk menjadi antigen
lengkap. Setelah keratosit terpajan oleh hapten, keratosit akan
melepaskan sitokin (IL-1) yang akan mengaktifkan seel langerhans
dan mampu menstimulasi sel T. Aktivasi tersebut akan mengubah
fenotip sel langerhans dan meningkatkan sekresi sitokin tertentu
(misalnya IL-1) serta ekspresi molekul permukaan sel termasuk MHC
kelas I dan II, ICAM-1, LFA-3 dan B7. Sitokin proinflamasi lain yang
dilepaskan oleh keratosit yaitu TNFα, yang dapat mengaktifkan sel-T,

18
makrofag dan granulosit, menginduksi perubahan molekul adhesi sel
dan pelepasan sitokin serta juga meningkatkan MHC kelas I dan II.
TNFα menekan produksi E-cadherin yang mengikat sel langerhans
pada epidermis, juga menginduksi aktivasi gelatinolisis sehingga
memperlancar sel langerhans melewati membrane basalis bermigrasi
ke kelenjar getah bening setempat melalui saluran limfe. Di dalam
kelenjar limfe, sel langerhans mempresentasikan kompleks antigen
HLA-DR kepada sel T penolong spesifik, yaitu sel T yang
mengekspresikan molekul CD4 yang dapat mengenali HLA-DR yang
dipresentasikan oleh sel langerhans, dan kompleks reseptor sel T CD3
yang mengenali antigen yang telah diproses. Keberadaan sel T spesifik
ini ditentukan secara genetic.
Sel langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel T untuk
mensekresi IL-2 dan mengekspresikan reseptor IL-2 (IL-2R). sitokin
ini akan menstimulasi proliferasi dan diferensiasi sel T spesifik,
sehingga menjadi lebih banyak dan berubah menjadi sel T memori (sel
T teraktivasi) yang akan meninggalkan kelenjar getah bening dan
beredar keseluruh tubuh. Pada saat itu individu telah tersensitisasi.
Fase ini rata-rata berlangsung selama 2-3 minggu.
Menurut ‘danger’ signal, sinyal antigenik murni suatu hapten
cenderung menyebabkan toleransi, sedangkan sinyal iritan
menimbulkan sensitisasi.
• Fase elisitasi
Fase kedua (elisitasi) hipersensitivitas tipe lambat terjadi pada
pajanan ulang alergen (hapten) yang sama atau serupa (pada reaksi
silang).
Hapten akan ditangkap oleh sel langerhans dan diproses secara
kimiawi menjadi antigen diikat oleh HLA-DR kemudian diekspresikan

19
dipermuaan sel. Selanjutnya kompleks HLA-DR-antigen akan
diprsentasikan kepada sel T yang telah tersensitisasi (sel T memori)
baik di kulit maupun di kelenjar limfe sehingga terjadi proses aktivasi.
Sel langerhans mensekresikan IL-1 yang merangsang sel T untuk
memproduksi IL-2 dan mengekpresi IL-2R yang akan menyebabkan
proliferasi dan ekspansi populasi sel T di kulit. Sel T terkativasi juga
mengeluarkan IFN-γ yang akan mengaktifkan keratosit untuk
mengekspresikan ICAM-1 dan HLA-DR. adanya ICAM-1
memungkinkan keratosit untuk berinteraksi dengan sel T dan leukosit
lain yang mengekspresi molekul LFA-1. Sedangkan HLA-DR
memungkinkan keratosit untuk berinteraksi langsung dengans sel T
CD4+, dan juga memungkinkan untuk presentasi antigen kepada sel
tersebut. Keratosit menghasilkan juga sejumlah sitokin antara lain IL-
1, IL-6, TNF-α, dan GMCSF, semuanya dapat mengaktivasi sel T.
IL-1 dapat merangsang keratosit untuk menghasilkan eikosanoid.
Sitokin dan eikosanoid ini akan mengaktifkan sel mast dan makrofag.
Sel mast yang berada didekat pembuluh darah dermis akan
melepaskan histamine, berbagai jenis factor kemotaktik, PGE2 dan
PGD2, leukotrien B4 (LTB4). Eikosanoid baik yang berasal dari sel
mast (prostaglandin) maupun dari keratosit atau leukosit akan
menyebabkan dilatasi vaskuler dan meningkatkan permeabilitas
sehingga molekul terlarut seperti komplemen dan kinin mudah
berdifusi kedalam dermis dan epidermis. Selain itu, factor kemotaktik
dan eikosanoid akan menarik neutrofil, monosit dan sel darah lain dari
dalam pembuluh darah masuk ke dalam dermis. Rentetan kejadian
tersebut akan menimbulkan respon klinik DKA. Fase elisitasi
umumnya berlangsung antara 24-48 jam.

20
2.4.2.5 Gejala Klinis
Pasien umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada
tingkat keparahan dan lokasi dermatitisnya. Pada stadium akut, dimulai
dengan bercak eritematosa berbatas tegas kemudian diikuti edema,
papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah
menyebabkan erosi dan eksudasi (basah).16
Pada dermatitis kontak alergi kronis terlihat kulit kering, berskuama,
papul, likenifikasi, dan mungkin juga fisur, berbatas tidak tegas.
Dermatitis kontak alergi dapat meluas ke tempat lain, misalnya dengan
cara autosensitisasi. Berbagai lokasi kejadian dermatitis kontak alergi
yaitu tangan, lengan, wajah, telinga, leher, badan, genitalia, tungkai atas
dan bawah.19

21
2.4.2.6 Diagnosis 16
Diagnosis didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan
pemeriksaan klinis yang teliti. Data yang berasal dari anamnesis juga
meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topical yang pernah digunakan,
obat sistemik, kosmetik, berbagai bahan yang diketahui menimbulkan
alergi, penyakit kulit yang pernah dialami, riwayat atopic, baik dari yang
bersangkutan maupun keluarganya.
Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokasi dan
pola kelainan kulit serig kali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya.
Misalnya, diketiak oleh deodorant; dikedua kaki oleh sepatu;/sandal.
Kelainan kulit pada DKA sering tidak menunjukkan gambaran
morfologik yang khas. Gambaran klinis dapat menyerupai dermatitis
atopic, dermatitis numularis, dermatitis seboroik, atau psoriasi. Uji temple
dapat dilakukan untuk menentukan apakah dermatitis tersebut merupakan
dermatitis konta alaergi.
2.4.2.7 Penatalaksanaan 16
Upaya pencegahan pajanan ulang dengan allergen penyebab.
Umumnya kelainan kulit akan mereda dalam beberapa hari.
Kortikosteroid dapat diberikan dalam jangka pendek untuk mengatasi
peradangan pada DKA akut yang ditandai dengan eritema, edema, vesikel
atau bula, serta eksudatif (madidans). Untuk topical cukup dikompres
dengan larutan garam faal atau larutan asam salisilat 1:1000, atau
pemberian kortikosteroid atau makrolaktam (pimecrolimus atau
tacrolimus) secara topical
2.4.2.8 Prognosis 16
Prognosis DKA umumnya baik, sejauh dapat menghindari bahan
penyebab.

22
2.4.3 Pediculosis Pubis
2.4.3.1 Definisi
Pedikulosis pubis adalah infeksi rambut dan kulit di daerah pubis dan
di sekitarnya oleh parasit Phtirus pubis.20
2.4.3.2 Epidemiologi
Penyakit ini menyerang orang dewasa dan dapat digolongkan dalam
Penyakit akibat Hubungan Seksual (PHS) serta dapat pula menyerang
jenggot dan kumis. Infeksi ini juga dapat terjadi pada anak-anak, yaitu di
alis atau bulu mata dan pada tepi batas rambut kepala. 21
2.4.3.3 Etiologi
Penyebab penyakit ini adalah kutu Phtirus pubis. Kutu ini mempunyai
panjang dan lebar lebih kurang 1 – 2 mm. Parasit ini merupakan obligat
artinya harus menghisap darah manusia untuk dapat mempertahankan
hidup. 21
Prosesnya dimulai dari Phthirus pubis betina bertelur di rambut. Telur-
telur tersebut lalu nempel di rambut hingga menetas menjadi larva. Dari
telur kutu hingga menetas menjadi larva bisa memakan waktu sekitar 6-10
hari. 21
2.4.3.4 Patogenesis 21
Gejala yang dominan yaitu rasa gatal (di daerah pubis). Gatal tersebut
biasanya digaruk. Karena ada garukan, maka terjadi erosi, ekskoriasi, dan
infeksi sekunder (ada pus dan krusta).
Bila infeksi sekunder berat, rambut akan menggumpal karena
banyaknya pus dan krusta. Dalam keadaan ini menimbulkan bau busuk.
2.4.3.5 Gejala klinis 21
Gejala klinis yang tampak terutama adalah rasa gatal di daerah pubis
dan disekitarnya. Gatal ini dapat meluas sampai ke daerah abdomen dan
dada. Dapat dijumpai bercak-bercak yang berwarna abu-abu atau kebiruan
yang disebut sebagai macula serulae.

23
Tidak hanya menyerang pubis, dapat juga meluas ke ketiak dan daerah
lain. Kutu ini dapat dilihat dengan mata biasa dan susah untuk dilepaskan
karena kepalanya dimasukkan kedalam muara folikel rambut.
Gejala patognomonik lainnya adalah black-dot, yaitu adanya bercak-
bercak hitam yang tampak jelas pada celana dalam berwarna putih yang
dilihat oleh penderita pada waktu bangun tidur. Bercak hitam ini
merupakan krusta berasal dari darah yang sering diinterpretasikan salah
sebagai hematuria. Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder dengan
pembesaran kelenjar getah bening regional.
2.4.3.6 Diagnosis
Pediculosis pubis dapat di diagnosis dengan mengidentifikasi dari
hidup kutu atau perkembangan telurnya. Semua pasien dengan pediculosis
pubis harus diselidiki secara saksama terhadap penyakit menular seksual
lainnya. Penularan terjadi melalui hubungan seksual.22
2.4.3.7 Penatalaksanaan 20
• Penatalaksanaan Umum yakni dengan mencukur rambut kemaluan,
ketiak, atau jenggot yang terkena infeksi parasit ini. Pakaian dalam
harus dijemur, direbus atau diseterika.
• Penatalaksanaan Khusus yakni dengan pemberian :
- Gamma benzen heksaklorida 1 % dalam bentuk krim atau lotion,
dioleskan sekali sehari, diulang sesudah 1 minggu
- Krotamiton 1 % krim atau lotion, dioleskan sekali sehari dan dapat
diulang sesudah 1 minggu
- Jika ada infeksi sekunder, dapat di obati dengan antibiotik

Mitra seksual juga harus diperiksa dan diobat jika memang perlu
diobati, untuk mencegah penularan kembali penyakit Pedikulosis Pubis ini.
2.4.3.8 Prognosis 20
Baik

24
2.5 Integrasi Islam 23
Tersebutlah doa Nabi Ayyub yang terkenal dengan kesabarannya bahkan
ketika ditempa segala macam ujian termasuk penyakit kulit yang dialamninya.

Dan (ingatlah kisah) Ayyub, ketika ia menyeru Tuhannya, “(Ya Tuhanku),


sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang
Maha Penyayang diantara semua penyayang.” (al-Anbiya [21]: 83)

Hingga Allah SWT mengangkat semua semua cobaan karena ketabahan


dan ketulusan Nabi Ayyub dengan mengabulkan doanya

Maka Kami pun memperkenankan doanya, lalu Kami lenyapkan penyakitnya


dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan
bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari Kami dan untuk menjadi
peringatan bagi semua yang menyembah Allah. (al-Anbiya [21]: 84)

25
DAFTAR PUSTAKA

23. Alqur’an-u-lkarim

1. Djuanda, Adhi.2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.Edisi keenam.Jakarta :


FKUI
2. Djuanda A. Hamzah. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit Kelamin Edisi V. Jakarta
: Fakultas Kedokteran UI. 2007
3. Djajakusumah Tony S. 2015. Penatalaksanaan Pruritus Anogenital. Jurnal
Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Vol.14 : 293-300
4. Champion RH. Eczema, Lichenification, Prurigo, and Ertthroderma 1992. In:
Champion RH eds. Rook‟s, textbook of dermatology,Washington ; Blackwell
Scientific Publications
5. Ayu Elvina Putu. 2014. Hubungan Rasa Gatal Dan Nyeri. Jurnal SMFIlmu
Kesehatan Kulit Dan Kelamin RSUD Wangaya Vol.38 No.4 : 263-266
6. Champion RH. 2013. Eczema, Lichentification, Prurigo, and Erthroderma. In
champion RH eds Rook’s texbook of dermatology. Washington : Blackwell
Scientific Publication.
7. Tanti yosella. 2015. Diagnosis and Treatment Of Tinea Cruris. J
MAJORITY. Vol.4, No.2 : 122-124
8. Siregar. 2013. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi ke-2. Penerbit
Buku Kedokteran. Jakarta: EGC.
9. Kuswadji. 2009. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi ke-5. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia hlm. 107-9.
10. Wolff K, Johnson RA. Fitzpatrick’s. 2009. Color Atlas and Synopsis of
Clinical Dermatology. Edisi ke-6. hlm. 692-718. New York: The McGraw-
Hill Companies.Hinchliff, Sue. 1999. Kamus Keperawatan, Edisi 17. Jakarta :
EGC
11. Nadalo D, Montoya C. 2006. What is the best way to treat tinea
kruris?. The journal of Family Practice. 55(3): 256-7.

26
12. Gupta KA, Cooper EA. 2008. Update in Antifungal Therapy of
Dermatophytosis.Mycopathologia. 166:353-367.
13. Risdianto A, Kadir D, Amin S. 2013. Tinea corporis and Tinea cruris Cause
by Trichophyton Mentagrophytes Type Granular in Asthma Bronchiale
Patient. Department of Dermatovenereology Universitas Hasanuddin.
2(2):31-8.
14. Daili SSE, Menaldi LS, Wisnu MI. 2010. Penyakit Kulit yang Umum Di
Indonesia. Jakarta: PT. Medical Multimedia Indonesia. hlm. 22-30.
15. Hanifati, Sonia dan Sri Linuwih Menaldi. 2014. Kapita Selekta Kedokteran
Edisi IV. Jakarta: Media Aesculapius; hal. 330
16. Menaldi, Sri Linuwih SW, et a., ed. 2016. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Edisi Ketujuh. Jakarta; Badan Penerbit FKUI; hal. 161-165
17. Sunaryo ,Yurike, et al. 2017. Profil Dermatitis Kontak Di Poliklinik Kulit
Dan Kelamin BluRSUP Prof Dr. R. D. Kandou Manado Periode Januari –
Desember 2012. Manado. Diakses pada tanggal 3 Maret 2018 pada
http://ejournal.unsrat.ac.id
18. Sundararaj, Thilak, et al. 2017. A Study of 300 Cases of Allergic Contact
Dermatitis. India. Department of Dermatology, Venereology and Leprosy,
Meenakshi Medical College & Research institute, Enathur, Kanchipuram,
Tamilnadu, India. Diakses pada tanggal 3 Maret 2018 pada
http://dx.doi.org/10.18203/issn.2455-4529.IntJResDermatol20164409
19. Batasina, Timothy, et al. 2017. Profil Dermatitis Kontak Alergi di Poliklinik
RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado Periode Januari – Desember 2013.
Kandidat Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado.
Diakses pada tanggal 3 Maret 2018 pada http://ejournal.unsrat.ac.id
20. Siregar R.S. 2005. Atlas Berwarna Sarripati Penyakit Kulit Edisi II. Jakarta.
EGC, Hal.170-171.
21. Wisnugroho, Cahyo. 2012. Pediculosis Pubis. September-Oktober. Hal. 19-
24. Batam.

27
22. Leone Peter A. 2007. Scabies And Pediculosis Pubis : An Update Of
Treatment Regimens And General Review. Journal Of Clinical Infection
Diseases. Vol.44: 153-159

28

Anda mungkin juga menyukai