Anda di halaman 1dari 79

MODUL GATAL

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) :

Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa akan dapat menjelaskan tentang


penyebab, patomekanisme, gambaran klinik, pemeriksaan penunjang,
penatalaksanaan, komplikasi, pencegahan dan pengendalian penyakit-penyakit
radang kulit.

KASUS :

Skenario :

Seorang wanita 20 tahun datang kerumah sakit dengan keluhan gatal dan
bercak kemerahan disertai sisik pada daerah badan yang telah dialami sejak 2
minggu yang lalu. Riwayat keluarga menderita penyakit yang sama tidak ada.
Hasil pemeriksaan laboratorium dalam batas normal

KATA SULIT :

KATA/KALIMAT KUNCI :

1. Wanita, 20 tahun
2. Keluhan gatal dan bercak kemerahan disertai sisik pada daerah badan
3. Keluhan sejak 2 minggu yang lalu
4. Tidak ada riwayat keluarga menderita penyakit yang sama
5. Pemeriksaan laboratorium dalam batas normal

PERTANYAAN :

1. Jelaskan Anatomi, Histologi dan fisiologi kulit!


2. Jelaskan bentuk-bentuk efloresensi kulit!
3. Jelaskan patomekanisme gatal dan bercak merah!
4. Sebutkan penyakit-penyakit dengan gejala klinik gatal dan bercak
kemerahan!

1
5. Jelaskan langkah-langkah diagnosis!
6. Jelaskan DD dan DS dari kasus!

JAWABAN PERTANYAAN :

1. Anatomi, Histologi dan Fisiologi Kulit


Anatomi dan Histologi Kulit
Kulit merupakan pembatas tubuh dengan lingkungan sekitar karena
posisinya yang terletak di bagian paling luar. Luas kulit dewasa 1,5 m2
dengan berat kira-kira 15% berat badan.

Gambar 1. Lapisan Kulit

a. Lapisan Epidermis (kutikel)

Gambar 2. Lapisan Epidermis


1) Stratum Korneum (lapisan tanduk)
lapisan kulit paling luar yang terdiri dari sel gepeng yang mati,
tidak berinti, protoplasmanya berubah menjadi keratin (zat tanduk).
2) Stratum Lusidum
terletak di bawah lapisan korneum, lapisan sel gepeng tanpa inti,
protoplasmanya berubah menjadi protein yang disebut eleidin.
Lapisan ini lebih jelas tampak pada telapak tangan dan kaki.
3) Stratum Granulosum (lapisan keratohialin)
merupakan 2 atau 3 lapis sel gepeng dengan sitoplasma berbutir
kasar dan terdapat inti di antaranya. Butir kasar terdiri dari
keratohialin. Mukosa biasanya tidak mempunyai lapisan ini.
4) Stratum Spinosum (stratum Malphigi) atau prickle cell layer
(lapisan akanta) terdiri dari sel yang berbentuk poligonal,
protoplasmanya jernih karena banyak mengandung glikogen,
selnya akan semakin gepeng bila semakin dekat ke permukaan. Di
antara stratum spinosum, terdapat jembatan antar sel (intercellular
bridges) yang terdiri dari protoplasma dan tonofibril atau keratin.
Perlekatan antar jembatan ini membentuk penebalan bulat kecil
yang disebut nodulus Bizzozero. Di antara sel spinosum juga
terdapat pula sel Langerhans.
5) Stratum Basalis
terdiri dari sel kubus (kolumnar) yang tersusun vertikal pada
perbatasan dermo-epidermal berbaris seperti pagar (palisade). Sel
basal bermitosis dan berfungsi reproduktif.
 Sel kolumnar: protoplasma basofilik inti lonjong besar, di
hubungkan oleh jembatan antar sel.
 Sel pembentuk melanin (melanosit) atau clear cell: sel
berwarna muda, sitoplasma basofilik dan inti gelap,
mengandung pigmen (melanosomes)

b. Lapisan Dermis (korium, kutis vera, true skin)

3
terdiri dari lapisan elastik dan fibrosa pada dengan elemen-elemen
selular dan folikel rambut.

Gambar 3. Lapisan Dermis

1) Pars Papilare:
bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung serabut saraf dan
pembuluh darah.
2) Pars Retikulare:
bagian bawah yang menonjol ke subkutan. Terdiri dari serabut
penunjang seperti kolagen, elastin, dan retikulin. Dasar (matriks)
lapisan ini terdiri dari cairan kental asam hialuronat dan kondroitin
sulfat, dibagian ini terdapat pula fibroblas. Serabut kolagen
dibentuk oleh fibroblas, selanjutnya membentuk ikatan (bundel)
yang mengandung hidroksiprolin dan hidroksisilin. Kolagen muda
bersifat elastin, seiring bertambahnya usia, menjadi kurang larut
dan makin stabil. Retikulin mirip kolagen muda. Serabut elastin
biasanya bergelombang, berbentuk amorf, dan mudah
mengembang serta lebih elastis.

c. Lapisan Subkutis (hipodermis)


Lapisan paling dalam, terdiri dari jaringan ikat longgar berisi sel
lemak yang bulat, besar, dengan inti mendesak ke pinggir sitoplasma
lemak yang bertambah. Sel ini berkelompok dan dipisahkan oleh
trabekula yang fibrosa. Lapisan sel lemak disebut dengan panikulus
adiposa, berfungsi sebagai cadangan makanan. Di lapisan ini terdapat
saraf tepi, pembuluh darah, dan getah bening. Lapisan lemak berfungsi
juga sebagai bantalan, ketebalannya berbeda pada beberapa kulit. Di
kelopak mata dan penis lebih tipis, di perut lebih tebal (sampai 3 cm).

Gambar 4. Lapisan Hipodermis

Vaskularisasi di kuli diatur pleksus superfisialis (terletak di


bagian atas dermis) dan pleksus profunda (terletak di subkutis) .

d. Adneksa Kulit
Adneksa kulit merupakan struktur yang berasal dari epidermis
tetapi berubah bentuk dan fungsinya, terdiri dari kelenjar keringat,
kelenjar sebasea, rambut dan kuku.
1) Kelenjar Kulit => terdapat pada lapisan dermis
a) Kelenjar Keringat (glandula sudorifera)
Keringat mengandung air, elektrolit, asam laktat, dan glukosa.
pH nya sekitar 4-6,8.

5
 Kelenjar Ekrin: kecil-kecil, terletak dangkal di dermis
dengan secret encer.
Kelenjar Ekrin terbentuk sempurna pada minggu ke 28
kehamilan dan berfungsi 40 minggu setelah kelahiran.
Salurannya berbentuk spiral dan bermuara langsung pada
kulit dan terbanyak pada telapak tangan, kaki, dahi, dan
aksila. Sekresi tergantung beberapa faktor dan saraf
kolinergik, faktor panas, stress emosional.
 Kelenjar Apokrin: lebih besar, terletak lebih dalam,
secretnya lebih kental. Dipengaruhi oleh saraf adrenergik,
terdapat di aksila, aerola mammae, pubis, labia minora,
saluran telinga. Fungsinya belum diketahui, waktu lahir
ukurannya kecil, saat dewasa menjadi lebih besar dan
mengeluarkan secret
b) Kelenjar Palit (glandula sebasea)
Terletak di seluruh permukaan kuli manusia kecuali telapak
tangan dan kaki. Disebut juga dengan kelenjar holokrin karena
tidak berlumen dan sekret kelenjar ini berasal dari dekomposisi
sel-sel kelenjar. Kelenjar palit biasanya terdapat di samping
akar rambut dan muaranya terdapat pada lumen akar rambut
(folikel rambut). Sebum mengandung trigliserida, asam lemak
bebas, skualen, wax ester, dan kolesterol. Sekresi dipengaruhi
oleh hormon androgen. Pada anak-anak, jumlahnya sedikit.
Pada dewasa menjadi lebih banyak dan berfungsi secara aktif.
2) Kuku
Bagian terminal lapisan tanduk (stratum korneum) yang
menebal. Pertumbuhannya 1mm per minggu.
Gambar 5. Kuku

a) Nail root (akar kuku) => bagian kuku yang tertanam dalam
kulit jari
b) Nail Plate (badan kuku) => bagian kuku yang terbuka/ bebas.
c) Nail Groove (alur kuku) => sisi kuku yang mencekung
membentuk alur kuku
d) Eponikium => kulit tipis yang menutup kuku di bagian
proksimal
e) Hiponikium => kulit yang ditutupi bagian kuku yang bebas

3) Rambut
Terdiri dari akar rambut, bagian yang terbenam dalam kulit dan
batang rambut, bagian yang berada di luar kulit. Jenis-jenis rambut
yaitu:
a) Lanugo: rambut halus pada bayi, tidak mengandung pigmen.
b) Rambut terminal: rambut yang lebih kasar dengan banyak
pigmen, mempunyai medula, terdapat pada orang dewasa.
Pada dewasa, selain di kepala terdapat juga bulu mata, rambut
ketiak, rambut kemaluan, kumis, janggut yang pertumbuhannya
dipengaruhi oleh androgen (hormon seks). Rambut halus di dahi
dan badan lain disebut rambut velus.
Rambut tumbuh secara siklik, fase anagen (pertumbuhan) b
erlangsung 2-6 tahun dengan kecepatan tumbuh 0,35 mm perhari.
Fase telogen (istirahat) berlangsung beberapa bulan. D antara

7
kedua fase tersebut terdapat fase katagen (involusi temporer). Pada
suatu saat 85% rambut mengalami fase anagen dan 15 % sisanya
dalam fase telogen.
Rambut normal dan sehat berkilat, elastis, tidak mudah patah,
dan elastis. Rambut mudah dibentuk dengan memperngaruhi
gugusan disulfida misalnya dengan panas atau bahan kimia.

Fisiologi Kulit

Kulit beserta turunannya, meliputi rambut, kuku, kelenjar sebasea,


kelenjar keringat, dan kelenjar mamma disebut juga integumen. Fungsi
spesifik kulit terutama tergantung sifat epidermis. Epitel pada epidermis
ini merupakan pembungkus utuh seluruh permukaan tubuh dan ada
kekhususan setempat bagi terbentuknya turunan kulit, yaitu rambut, kuku,
dan kelenjar-kelenjar.
Kulit adalah organ terbesar pada tubuh manusia, dengan berat sekitar 5
kg dan luas 2 m2 pada seseorang dengan berat badan 70 kg. Kulit yang
tidak berambut disebut kulit glabrosa, ditemukan pada telapak tangan dan
telapak kaki. Pada kedua lokasi tersebut, kulit memiliki relief yang jelas di
permukaannya yang disebut dermatoglyphics.
Kulit merupakan organ yang tersusun dari 4 jaringan dasar:
a. Kulit mempunyai berbagai jenis epitel, terutama epitel berlapis gepeng
dengan lapisan tanduk. Penbuluh darah pada dermisnya dilapisi oleh
endotel. Kelenjar-kelenjar kulit merupakan kelenjar epitelial.
b. Terdapat beberapa jenis jaringan ikat, seperti serat-serat kolagen dan
elastin, dan sel-sel lemak pada dermis.
c. Jaringan otot dapat ditemukan pada dermis. Contoh, jaringan otot
polos, yaitu otot penegak rambut (m. arrector pili) dan pada dinding
pembuluh darah, sedangkan jaringan otot bercorak terdapat pada otot-
otot ekspresi wajah.
d. Jaringan saraf sebagai reseptor sensoris yang dapat ditemukan pada
kulit berupa ujung saraf bebas dan berbagai badan akhir saraf. Contoh,
badan Meissner dan badan Pacini.

Kulit (dan adneksa) menjalankan berbagai tugas dalam memelihara


kesehatan manusia secara utuh yang meliputi fungsi, yaitu :
a. Perlindungan fisik (terhadap gaya mekanik, sinar ultraviolet, bahan
kimia)
b. Perlindungan imunologik
c. Ekskresi
d. Pengindera
e. Pengaturan suhu tubuh
f. Pembentukan vitamin D
g. Kosmetis.

Fungsi kulit berdasarkan lapisannya :


a. Epidermis
Penyusun terbesar epidermis adalah keratinosit. Terselip di antara
keratinosit adalah sel Langerhans dan melanosit, dan kadang-kadang
juga sel Merkel dan limfosit. Keratinosit tersusun dalam beberapa
lapisan. Lapisan paling bawah disebut stratum basalis, di atasnya
berturut-turut adalah stratum spinosum dan stratum granulosum.
Ketiga lapisan epidermis ini dikenal sebagai stratum Malphigi.
Lapisan teratas adalh stratum korneum yang tersusun oleh keratinosit
yang telah mati (korneosit).
1) Stratum Basalis
Keratinosit stratum basalis berjajar di atas lapisan struktural
yang disebut basal membrane zone (BMZ) dan melekat kuat oleh
karena adanya protein struktural yang disebut hemidesmosom.
Terdapat berbagai jenis hemidesmosom, yang penting diantaranya

9
adalah BPAg dan integrin. Gangguan pada struktur hemidesmosom
akan menyebabkan kulit tidak dapat menahan trauma mekanik.
Terdapat tiga subpopulasi keratinosit di stratum basalis, yaitu:
 Sel punca (stem cells)
 Transient amplifying cells (TAC)
 Sel pascamitosis (post-mitotic cells)
Sel punca lambat membelah diri, biasanya aktif saat terjadi
kerusakan luas epidermis yang membutuhkan regenerasi cepat.
TAC aktif bermitosis dan merupakan subpopulasi terbesar stratum
basalis. Sel-sel ini tidak lama tinggal di stratum basalis. Setelah
beberapa kali membelah diri (pascamitosis) dan berkomitmen
untuk berdiferensiasi, mereka berpindah ke lapisan stratum basalis
(suprabasal).
Keratinosit memiliki struktur intrasitoplasma yang disebut
keratin intermediate filament (KIF). Dua macam keratin akan
berpasangan dan terpilin dalam ikatan α-heliks yang kokoh, dan
berfungsi sebagai sitoskeleton. Sitoskeleton memberi kekuatan
pada keratinosit untuk menahan gaya mekanik pada kulit. Saat
keratinosit mati dan mencapai stratum korneum, KIF akan
mengalami penataan ulang guna membentuk sawar kulit.
Sitoplasma keratinosit banyak mengandung melanin, pigmen
warna yang tersimpan dalam melanosom. Melanosit mensintesis
melanin dan mendistribusikannya pada sekitar 36 keratinosit di
stratum basalis. Melanin tersebar dalam keratinosit memberikan
warna keselurahan pada kulit seseorang. Melanin dapat menyerap
sinar ultraviolet yang berbahaya bagi DNA. Hal inilah yang
menyebabkan warna kulit manusia menunjukkan variasi geografis,
populasi asli pada kondisi alam dengan intensitas sinar ultraviolet
tinggi memiliki warna kulit lebih gelap. Selain merusak DNA,
sinar UV juga mampu mempercepat penuaan dan timbulnya
kerutan.
Sel Merkel berfungsi sebagai reseptor mekanik
(mechanoreseptors), terutama berlokasi pada kulit dengan
sensitivitas raba yang tinggi, termasuk kuli yang berambut maupun
glabrosa (bibir dan jari).

2) Stratum Spinosum
Keratinosit stratum spinosum memiliki bentuk poligonal,
berukuran lebih besar daripada keratinosit stratum basale. Pada
pemeriksaan mikroskopis terlihat struktur mirip taji (spina) pada
permukaan keratinosit yang sebenarnya merupakan penyambung
antar keratinosit yang disebut desmosom. Desmosom terdiri dari
berbagai protein struktural, misalnya desmoglein dan desmokolin.
Struktur ini memberikan kekuatan pada epidermis untuk menahan
trauma fisis di permukaan kulit.
Keratinosit stratum spinosum mulai membentuk struktur
khusus yang disebut lamellar granules (LG) yang dapat dilihat
menggunakan mikroskop elektron. Struktur ini terdiri dari berbagai
protein dan lipid, misalnya glikoprotein, glikolipid, fosfolipid, dan
yang terpenting glukosilseramid yang merupakan cikal bakal
seramid, yang kelak akan berperan dalam pembentukan sawar lipid
pada stratum korneum. Sawar lipid akan bersinergi dengan sawar
struktural yang terbentuk oleh KIF pada lapisan stratum korneum.
Pada stratum spinosum dan granulosum terdapat sel
Langerhans (SL), sel dendritik yang merupakan sel penyaji
antingen. Antigen yang menerobos sawar kulit akan difagosit dan
diproses oleh SL, untuk kemudian dibawa dan disajikan kepada
limfosit untuk dikenali. Dengan demikian, SL berperan penting
dalam pertahanan imunologik manusia. Keratinosit sendiri juga
mampu membangkitkan respons imunologik dengan cara
melepaskan sitokin proinflamasi, jika terjadi jejas yang
mengancam.

11
3) Stratum Granulosum
Keratinosit stratum granulosum mengandung keratohyaline
granules (KG) yang terlihat pada pemeriksaan mikroskopik biasa.
KG mengandung profilagrin dan loricrin yang penting dalam
pembentukan cornified cell envelope (CCE). Secara sederhana,
keratinosit di stratum granulosum memulai program kematiannya
sendiri (apoptosis), sehingga kehilangan inti dan organel sel
penunjang hidupnya.
Profilagrin akan dipecah menjadi filagrin yang akan
bergabung dengan KIF menjadi makrofilamen. Beberapa molekul
filagin kelak akan dipecah menjadi molekul asam urokanat yang
memberikan kelembaban stratum korneum dan menyaring sinar
ultraviolet. Loricrin akan bergabung dengan protein-protein
struktural desmosom, dan berikatan dengan membran plasma
keratinosit. Proses-proses tersebut menghasilkan CCE yang akan
menjadi bagian dari sawar kulit di stratum korneum.
Waktu yang diperlukan bagi keratinosit basal untuk mencapai
stratum korneum kira-kira 14 hari, dan dapat lebih singkat pada
keadaan hiperproliferasi misalnya psoriasis dan dermatitis kronik.

4) Stratum Korneum
CCE yang mulai dibentuk pada stratum korneum akan
mengalami penataan bersama dengan lipid yang dihasilkan pada
LG. Susunan kedua komponen sawar kulit tersebut sering
dikiaskan sebagai brick-and-mortar, CCE menjadi batu bata yang
diliputi oleh lipid sebagai semen di sekitarnya. Matriks lipid
ekstraseluler ampuh menahan kehilangan air dan juga mengatur
permeabilitas, deskuamasi, aktivitas peptida antimikroba, eksklusi
toksin dan penyerapan kimia secara selektif. Korneosit lebih
berperan dalam memberi penguatan terhadap trauma mekanis,
produksi sitokin yang memulai proses peradangan serta
perlindungan terhadap sinar UV.
Waktu yang diperlukan bagi korneosit untuk melepaskan diri
(shedding) dari epidermis kira-kira 14 hari.

b. Dermis
Dermis merupakan jaringan di bawah epidermis yang juga
memberikan ketahanan pada kulit, termoregulasi, perlindungan
imunologik, dan ekskresi. Fungsi-fungsi tersebut mampu
dilaksanakan dengan baik karena berbagai elemen yang berada pada
dermis, yakni struktur fibrosa dan filamentosa, ground substance, dan
seluler yang terdiri dari endotel, fibroblas, sel radang, kelenjar, folikel
rambut dan saraf.
Serabut kolagen (collagen bundles) membentuk sebagian besar
dermis, bersama-sama serabut elastik memberikan kulit kekuatan dan
elastisitasnya. Keduanya tertanam dalam matriks yang disebut ground
substancei yang terbentuk dari proteoglikans (PG) dan
glikosaminoglikans (GAG). PG dan GAG dapat menyerap dan
mempertahankan air dalam jumlah besar sehingga berperan dalam
pengaturan cairan dalam kulit dan mempertahankan growth factors
dalam jumlah besar.
Fibroblas, makrofag dan sel mast rutin ditemukan pada dermis.
Fibroblas adalah sel yang memproduksi protein matriks jaringan ikat
dan serabut kolagen serta elastik di dermis. Makrofrag merupakan
salah satu elemen pertahanan imunologik pada kulit yang mampu
bertindak sebagai fagosit, sel penyaji antigen (APC), maupun
mikrobisidal dan tumorisidal2.

c. Hipodermis/ Subkutis
Subkutis yang terdiri dari atas jaringan lemak mampu
mempertahankan suhu tubuh, dan merupakan cadangan energi,

13
juga menyediakan bantalan yang meredam trauma melalui
permukaan kulit. Deposisi lemak menyebabkan terbentuknya lekuk
tubuh yang memberikan efek kosmetik. Sel-sel lemak terbagi-bagi
dalam lobus, satu sama lain dipisahkan oleh septa.

d. Adneksa Kulit
Yang tergolonga adneksa kulit adalah rambut, kelenjar ekrin dan
apokrin, serta kuku. Folikel rambut sering disebut sebagai unit
polisebasea karena terdiri atas bagian rambut dan kelejar sebasea yang
bermuara ke bagian folikel rambut yang disebut ismus. Rambut yang
tebal dan berpigmen disebut rambut terminal, misalnya kulit kepala
dan janggut. Rambut yang halus, panjangnya kurang dari 1 cm dan
tidak berpigmen disebut velus, terdapat pada sebagian besar
permukaan kulit kecuali kulit glabrosa. Unit pilosebasea pada aksila
dna inguinal mengandung kelenjar apokrin, dan pada dada, punggung
atas dan wajah memiliki kelenjar sebasea yang besar.
Rambut tumbuh mengikuti siklus 3 fase, yaitu anagen
(pertumbuhan), katagen (involusi), dan telogen (istirahat). Panjang
masing-masing fase berbeda pada lokasi kulit yang berbeda. Pada kulit
kepala fase anagen berlangsung kira-kira selama 3 tahun, fase katagen
3 minggu, dan fase telogen 3 bulan. Pada suatu waktu pada kulit
kepala 85% rambut berada pada fase anagen, sekitar 10% berada pada
fase telogen dan sisanya pada tahap katagen. Maka, pada keadaan
normal dapat ditemukan rambut yang rontok.
Kelenjar ekrin berada pada epidermis dan dermis. Bagian di
epidermis disebut akrosiringium. Bagian sekretorik kelenjar ekrin
terletak di dermis dalam, dekat perbatasan dengan subkutis. Kelenjar
ini tersebar di seluruh permukaan kulit kecuali di daerah ujung penis,
klitoris, dan bibir. Kepadatan pada berbagai lokasi tubuh berbeda-beda.
Fungsi utama kelenjar ekrin adalah:
1) Mengatur pelepasan panas;
2) Ekskresi air dan elektrolit; dan
3) Mempertahankan keasaman permukaan kulit sehingga mencegah
kolonisasi kuman patogen.
Kelenjar apokrin baru aktif saat pubertas, sekret yang
dihasilkannya akan diurai oleh kuman sehingga keluarlah bau. Fungsi
kelenjar apokrin pada manusia tidak jelas tetapi mungkin sekret
kelenjar ini mengandung semacam feromon.

Gambar 6. Reseptor Taktil di Kulit

2. Bentuk-Bentuk Effloresiensi Kulit

 Makula : kelainan kulit berbatas tegas berupa perubahan warna


semata-mata. Contoh : melanoderma, leikoderma, purpura, petekie,
ekimosis.

15
Gambar 7. Makula
 Eritema : kemerahan pada kulit yang disebabkan pelebaran pembuluh
darah kapiler yang reversibel

Gambar 8. Eritema
 Urtika : edema setempat yang timbul mendadak dan hilang perlahan-
lahan

Gambar 9. Urtika
 Vesikel : gelembung berisi ciran serum, beratap, berukuran kurang ½
cm garis tengah, dan mempunyai dasar, vesikel berisi darah disebut
vesikel hemoragik.

Gambar 10. Vesikel


 Pustul : vesikel yang berisi nanah, bila nanah mengendap di bagian
bawah vesikel disebut vesikel hipopion.

Gambar 11. Pustul


 Bula : vesikel yang berukuran lebih besar. Dikenal juga istilah bula
hemoragik, bula purulen, dan bula hipopion.

17
Gambar 12. Bula
 Kista : ruangan berdinding dan berisi cairan, sel, maupun sisa sel.
Kista terbentuk bukan akibat peradangan, walaupun demikian dapa
tmeradang. Dinding kista merupakan selaput yang teridiri atas jaringan
ikat dan biasanya dilapisi sel epitel atau endotel. Kista terbentuk dari
kelenjar yang melebar dan tertutup, saluran kelenjar, pembuluh darah,
saluran getah bening, atau lapisan epidermis. Isi kista terdiri atas hasil
dindingnya, yaitu serum, getah bening, keringat, sebum, sel-sel epitel,
lapisan tanduk, dan rambut.

Gambar 13. Kista


 Abses : merupakan kumpulan nanah dalam jaringan, bila mengenai
kulit bererti didalam kutis atau subkutis. Batas antara ruanagan yang
berisikan nanah dan jaringan disekitarnya tidak jelas. Abses biasanya
terbentuk dari jaringan infiltrat radang. Sel dan jaringan hancu
rmembentuk nanah. Dinding abses terdiri atas jaringan sakit, yang
belum menjadi nanah.
Gambar 14. Abses
 Papul : penonjolan di atas permukaan kulit, sirkumskrip, berukuran
lebih kecil dari ½ cm, dan berisikan zat padat. Bentuk papul dapat
bermacam-macam, misalnya setengah bola, contohnya pada eksem
atau dermatitis, kerucut pada keratosis folikular, datar pada veruka
palana jevenilis, datar dan berdasar poligonal pada liken planus,
berduri pada veruka, bertangkai pada fibroma pendulans dan veruka
filiformis. Warna papul dapat merah akibat peradangan, pucat,
hiperkrom, putih, atau seperti kulit disekitarnya. Beberapa infiltrat
mempunyai warna sendiri yang biasanya baru terlihat setelah eritema
yang timbul bersamaan ditekan dan hilang (lupus, sifilis). Letak papul
dapat epidermal atau kutan.

Gambar 15. Papul

19
 Nodus : massa padat sirkumskrip, terletak dikutan atau subkutan, dapat
menonjol, jika diameternya lebih kecil dari pada 1 cm disebut nodulus.

Gambar 16. Nodus


 Tumor : istilah umum untuk benjolan yang berdasarkan pertumbuhan
sel maupun jaringan.

Gambar 17. Tumor


 Infiltrat : adalah tumor terdiri atas kumpulan sel radang.
 Vegetasi : pertumbuhan berupa penonjolan bulat atau runcing yang
menjadi satu. Vegetasi dapat dibawah pernukaan kulit, misalnya pada
tubuh. Dalam hal ini disebut granulasi, seperti pada tukak.
 Sikatriks : terdiri atas jaringan tak utuh, relief kulit tidak normal,
permukaan kulit dan licin dan tidak terdapat adneksa kulit. Sikatriks
dapat atrofik, kulit mencekung dan dapat hipertrofik, yang secara klinis
dapat menonjol karena kelebihan jaringan ikat.
Gambar 18. Sikatriks
 Anetoderma : bila kutis kehilangan elastisitas tanpa perubahan pada
bagian kulit yang lain, dapat dilihat bagian-bagian yang bila ditekan
dengan jari seakan-akan berlubang.

Gambar 19. Anetoderma


 Erosi : kelainan kulit yang disebabkan kehilangan jaringan yang tidak
melampaui stratum basal. Contoh bila kulit digaruk sampai stratum
spinosum akan keluar cairan sereus dari bekas garukan.
 Ekskoriasi : bila garukan lebih dalam lagi sehingga tergores sampai
ujung papil, maka akan terlihat darah yang jeluar selain serum.
Kehilangan kulit yang disebabkan oleh hilangnya jaringan sampai
dengan stratum papilare disebut ekskoriasi.

21
Gambar 20. Ekskoriasi
 Ulkus : adalah hilangnya jaringan yang lebih dalam dari ekskoriasi.
Ulkus yang demikian mempunyai tepi, dinding, dasar, danisi.
Termaksud erosi dan ekskoriasi dengan bentuk linear adalah fisura
atau rhagades, yakni belahan kulit yang terjadi oleh tarikan jaringan
disekitarnya, terutama terlihat pada sendi dan batas kulit dengan
selaput lendir.

Gambar 21. Ulkus


 Skuama : adalah lapisan stratum korneum yang terlepas dari kulit.
Skuama dapat halus sebagai taburan tepung, maupun lapisan tebal dan
luas sebagai lembaran kertas. Dapat dibedakan, misalnya pitirisiformis
(halus), psoriasiformis (berlapis-lapis), iktiosiformis (seperti ikan),
kutikular (tipis), lamelar (berlapis), membranosa atau eksfoliativa
(lembaran-lembaran), dan keratotik (terdiri atas zat tanduk).
Gambar 22. Skuama
 Krusta : adalah cairan badan yang mengering dapat bercampur dengan
jaringan nekrotik, maupun benda asing (kotoran, obat, dan
sebagainya). Warnanya bermacam-macam : kuning muda bersal dari
serum, kuning kehijauan berasal dari pus, dan kehitaman berasal dari
darah.

Gambar 23. Krusta


 Likenifikasi : penebalan kulit disertai relief kulit yang makin jelas.

23
Gambar 24. Likenifikasi
 Guma : infiltrat sirkumskrip, menahun, destruktif, biasanya melunak.
 Eksantema : kelainan pada kulit yang timbul serentak dalam waktu
singkat, dan tidak berlangsung lama, umumnya didahului demam.
 Fagedenikum : proses yang menjurus kedalam dan meluas (ulkus
tropikum, ulkus mole).
 terebrans : proses yang menjurus ke dalam.
 monomorf : kelainan kulit yang pada satu ketika terdiri atas hanya satu
macam kulit.
 Polimorf : kelainan kulit yang sedang berkembang, terdiri atas
bermacam-macam efflorsensi.
 Telangiektasis : pelebaran pembuluh darah kapiler yang menetap pada
kulit.
 Roseola : eksantema yang lentikular berwarna merah tembaga pada
sifilis dan frambusia.
 Eksantemaskariatiniformis : erupsi yang difus dapat generalisata atau
lokalisata, berbentuk eritema numular.
 Eksantemamorbiliformis : erupsi berbentuk eritema yang lentikuler.
 Galopans : proses yang sangat cepat meluas (ulkus diabetikum
galopans).
3. Patomekanisme Gatal dan Bercak Merah

a. Gatal
Kita belum memahami secara jelas mengapa pada penyakit kulit
timbul rasa gatal dan kita hanya mengetahui sedikit sekali tentang
terjadinya iritasi pada kulit pada kulit yang tampaknya normal.
Sensasi yang kita sebut dengan rasa gatal, dihasilkan, dikondisikan
dan diapresiasi pada beberapa tingkat dalam system saraf stimulus;
mediator dan reseptor; jalur-jalur saraf perifer; pemrosesan di system
saraf pusat; interpretasi. Berbagai macam stimuli dapt menyebabkan
timbulnya priuritus, termasuk kemungkinan sejumlah zat kimia,
khususnya histamine,prostaglandine dan berbagai jenis proteinase.
Akan tetapi, masih tetap belum dapat dipahami secara mendetail:
engapa histamine dapat menyebabkan rasa gatal tanpa timbul kelainan
apapun dikulit, sedangkan antihistamine non-sedatif tidak mempunyai
pengaruh pada pruritus yang sederhana.
Yang lebih kompleks mekanisme sentral mungkin juga merupakan
mekasime penting didalam modulasi dan apresiasi pruritus. Banyak
stimuli yang mencetuskan timbulnya rasa gatal juga menimbulkan rasa
nyeri bila berlangsung pada intensitas yang lebih tingggi. Bahkan,
mengaruk pruritus tampaknya dpat menyebabkan timbulnya rasa nyeri
dan menghilangkan iritasi yang ada. Namun demikian stimuli sensoris
yang lain dapat juga menghilangkan pruritus, dan mekanisme –
mekanisme yang lebih rumit telah diutarakan untuk menjelaskan hal
tersebut. Slah satu teori melibatkan suatu system filtrasi yang rumit
untuk mengendalikan jalur masukan stimuli berikutnya dan
meneruskan informasi ke pusat-pusat yang lebih tinggi.

b. Bercak Merah
Kemerahan yang terjadi karena adanya proses inflamasi. Proses
inflamasi berkaitan dengan sistem imunitas tubuh. Secara garis besar

25
imunitas tubuh dibagi 2 yaitu sistem imun bawaan/non spesifik dan
sistem imun didapat/spesfik. Sistem imun non spesifik akan
menyerang semua antigen yang masuk, sedangkan sistem imun spesfik
merupakan pertahanan selanjutnya yang akan memilih-milih antigen
yang masuk.
Komponen utama radang adalah reaksi vaskuler. Kemerahan
(rubor) berkaitan dengan reaksi vaskuler. Ketika antigan masuk ke
dalam tubuh makan sel-sel imunitas (makrofag, neutrofil, sel mast, sel
dendritik) akan memfagositosis antigen tersebut. Hal tersebut
bersamaan dengan terjadinya pelepasan histamine oleh sel mast di
daerah jaringan yang rusak. Histamine yang dilepaskan membuat
pembuluh darah bervasodilatasi (vasodilatasi mulai terjadi pada
arteriol dan lebih lebar dari vasodilatasi venules) untuk meningkatkan
aliran darah pada daerah yang terinfeksi. Karena vasodilatasi
daribarteriol mengakibatkan bagian ujung darah kapiler penuh berisi
darah ekspansi/kongesti vaskuler ini yang akan memberi warna merah
pada kulit.

4. Penyakit-Penyakit dengan Gejala Klinik Gatal dan Bercak


Kemerahan

a. Psoriasis
Poriasis merupakan penyakit papuloskuamosadengan gambaran
morfologi, distribusi, serta derajat keparahan penyaki tyang
bervariasi.Lesi klasik psoriasis biasanya berupa plak berwarna
kemerahan yang berbatas tegas dengan skuama tebal berlapis yang
berwarna keputihan pada permukaan lesi. Ukurannya bervariasi mulai
dari papul yang berukuran kecil sampai dengan plak yang menutupi
area tubuh yangluas. Lesi pada psoriasis umumnya terjadi secara
simetris, walaupun dapat terjadi secara unilateral. Dibawah skuama
akan tampak kulit berwarna kemerahan mengkilat dan tampak bintik-
bintik perdarahan pada saat skuama diangkat.

b. Parapsoriasis
Parapsoriasis merupakan penyakit kulit yang belum diketahui
penyebabnya, pada umumnya tanpa keluhan, kelainan kulit terutama
terdiri atas eritema dan skuama, berkembangnya biasa perlahan-lahan,
perjalanannya umumnya kronik.

c. Eritroderma
Eritroderma adalah kelainan kulit yang ditandai dengan adanya
eritema di seluruh tubuh atau hamper seluruh tubuh, biasanya disertai
skuama. Keadaan ini mulai terjadi secara akut sebagai erupsi terjadi
bercak-bercak atau eritematous yang menyeluruh disertai gejala panas,
rasa tidak enak badan

d. Dermatitis seboroik
Merupakan kelainan kulit yang didasari oleh faktor-faktor
konstitusi dan bertempat predileksi di tempat-tempat seboroik
.Kelainan kulit berupa eritema dan skuama yang berminyak dan agak
kekuningan, batasnya agak kurang tegas

e. Tinea corproris
Tinea korporis adalah dermatofitosis pada kulit yang tidak
berambut (glabrous skin) kecuali telapak tangan, telapak kaki, dan lipat
paha. Gejala subyektif yaitu gatal, dan terutama jika berkeringat dan
kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan

f. Ptyriasis rosea
Pitiriasis Rosea adalah penyakit kulit yang belum diketahui
penyebabnya, dimulai dengan sebuah lesi inisial berbentuk eritema dan

27
skuama halus. Kemudian disusul oleh lesi-lesi yang lebih kecil di
badan, lengan dan paha atas yang tersusun sesuai dengan lipatan kulit
dan biasanya menyembuh dalam waktu 3-8 minggu. Gejala konstitusi
pada umumnya tidak terdapat, sebagian penderita mengeluh gatal
ringan. Pitiriasis berarti skuama halus. Penyakit dimulai dengan lesi
pertama, umumya di badan, soliter, berbentuk oval dan anular,
diameternya kira-kira 3 cm. ruam terdiri atas eritema dan skuama halus
di pinggir
g. Ptyriaasis versikalor
h. Ptyriasis rubra pilaris
i. Liken planus
Lichen planus adalah lesi putih ataupun plak pada mukosa rongga
mulut yang tidak dapat dihapuskan dan tidak dapat dikategorikan
sebagai salah satu lesi putih yang lain. Lesi pada rongga mulut dapat
disertai dengan lesi pada membrana mukosa yang lain ataupun pada
kulit terutama pada pergelangan tangan dan kaki. Lesi tersebut
biasanya gatal dan dapat berubah warna menjadi kuning atau coklat
sebelum menghilang.

j. Urtikaria
Urtikaria adalah reaksi vaskular di kulit akibat bermacam-macam
sebab, biasanya ditandai dengan edema setempat yang cepat timbul
dan menghilang perlahan-lahan, berwarna pucat dan kemerahan
.Keluhan subjektif biasanya gatal, rasa terbakar, atau tertusuk.

k. Neurodermatitis
Neurodermatitis merupakan peradangan kulit kronis, gatal,
sirkumskrip, ditandai dengan kulit tebal dan garis kulit tampak lebih
menonojol (likenifikasi) akibat garukan atau gosokan berulang-ulang.
Penderita mengeluh gatal sekali, bila timbul malam hari dapat
menggangu tidur. Rasa gatal memang tidak terus-menerus, biasanya
pada waktu tidak sibuk, bila muncul sulit ditahan untuk tidak digaruk.
Penderita merasa enak bila digaruk; setelah luka, baru hilang rasa
gatalnya untuk sementara (karena diganti dengan rasa nyeri).

5. Langkah-Langkah Diagnosis
a. Anamnesis
Bila pasien datang untuk pertama kali pada dokter, tanyakan
keluhan utama yang menyebabkan pasien datang. Hal yang ditanyakan
pada pasien :
1) Keluhan Utama
Merupakan keluhan yang mendorong pasien untuk meminta
pertolongan medis. Bila pasien dating pertama kali pada dokter
dapat ditanyakan pasien dating dengan keluhan apa. Ada pun
kompone-komponen dari keluhan utama seperti :
a) Subjektif ( gatal, nyeri, baal, gangguan kosmetik)
b) Objektif (benjolan, bercak, beruntusan, biduran, lenting, lepuh)
c) Lokasi
d) Onset
2) Riwayat perjalanan penyakit dan kejadian selama penyakit
berlangsung
a) Sejak kapan mulai sakit ( berapa hari, minggu, bulan)
b) Bagaimana dan berupa kelainan apa pada awalnya (merah-
merah, bintik-bintik, luka, dsb)
c) Dimana kelainan pertama kali timbul (kaki, kepala, wajah,
anggota gerak)
d) Apakah menjalar/tidak, atau hilang timbul
e) Apakah gatal, sakit
f) Apakah keluar cairan/kering
g) Apakah ada gejala lain yang menyertai (keluhanpadasendi,
fenitalia, kuku)
 Riwayat pengobatan dan penggunaan obat-obatan

29
 Apakah ada obat-obatan yang digunakan sebelum keluhan
timbul
 Apakah ada obat-obatan yang telah digunakan untuk
keluhan saat ini. Bila ada bagaimana pengaruhnya, apakah
membaik, menetap atau memburuk.
h) Riwayat penyakit dahulu
 Apakah penah mengalami keluhan serupa
 Apakah pernah mengalami penyakit kulit lain sebelumnya
 Apakah pasien memiliki penyakit diabetes
i) Riwayat penyakit keluarga
 Apakah ada keluarga pasien yang mengalami keluhan
serupa dengan pasien.
 Apakah orang yang tinggal serumah dengan pasien pernah
atau juga menngalami keluhan serupa dengan paasien
 Apakah pasien memiliki allergi makanan, obat, cuaca, atau
zat-zat tertentu
j) Riwayat psikososial
 Tanyakan kebiasaan sehari-hari pasien mengenai
kebersihan diri dan tempat tinggal pasien.
 Tanyakan mengenai kondisi sosial ekonomi, jumlah
penghuni dalam rumah pasien, kondisi tempat tinggal
pasien
 Tanyakan apakah pasien sering terpapar sinar matahari
sepanjang hidup.

b. Pemeriksaan Fisik
1) Inspeksi
Pemeriksaan keadaan umum perlu dicari hubungannya dengan
penyakit kulit yang sedang diderita. Pemeriksaan kulit harus
dikerjakan ditempat terang, jika perlu dengan bantuan kaca
pembesar. Bila ada kelainan tempat lain, perlu dilakukan inspeksi
seluruh kulit tubuh pasien. Periksa kuku, rambut dan selaput lendir
(mukosa, mulut, mukosa genital dan anal).
Pada inspeksi perlu diperhatikan lokalisasi, warna, bentuk,
ukuran, penyebaran, batas, efloresensi yang khusus. Bila terdapat
kemerahan pada kulit ada tiga kemungkinan : Eritema, purpura,
dan telangiektasis. Cara membedakkannya yakni ditekan dengan
jari dan digeser. Pada eritema warna kemerahan akan hilang dan
warna tersebut akan kembali setelah jari dilepaskan karena terjadi
vasodilatasi kapiler. Sebaliknya pada purpura tidak menghilang
sebab terjadi perdarahan di kulit, demikian pula telangiektasis
akibat pelebaran kapiler yang menetap. Cara lain ialah yang
disebut diaskopi yang berarti menekan dengan benda transparan
(diaskop) pada tempat kemerahan tersebut. Diaskopi disebut positif
jika warna merah menghilang (eritema), disebut negatif bila warna
merah tidak menghilang (purpura atau telengektasis). Pada
telengektasis tampak kapiler yang berbentuk seperti tali yang
berkelok-kelok dapat berwarna merah atau biru.
2) Palpasi

Setelah inspeksi selesai dapat dilakukan palpasi. Pada


pemeriksaan ini diperhatikan adanya tanda-tanda peradangan akut
atau tidak, misalnya dolor, kalor, fungsio lesa ( rubor dan tumor
dapat pula dilihat), ada tidaknya indurasi, fluktuasi, dan
pembesaran kelenjar regional maupun generalisata.

Setelah pemeriksaan dermatologic (inspeksi dan palpasi) dan


pemeriksaan umum selesai dapat dibuat diagnosis sementara dan
diagnosis banding.

3) Pemeriksaan Rambut

31
Padakelainan di rambut, pelu di lakukan penilaian perubahan
rambut seperti : Kehilangan rambut (alopesia) :
a) Alopesiaareata : adalah kebotakan yang terjadi setempat –
setempat dan berbatas tegas, umumnya terdapat pada kulit
kepala namun juga dapat mengenai daerah berambut lainnya.
b) Alopesia universalis adalah kebotakan yang mengenai seluruh
rambut yang ada pada tubuh.
c) Alopesia totalis adalah kebotakan yang mengenai seluruh
rambut kepala
 Hirsutisme : Pertumbuhan rambut yang berlebihan pada
wanita dan anak-anak pada tempat yang merupakan tanda
seks sekunder, misalnya kumis, janggut dan cambang.
 Hipertrikosis : adalah penambahan jumlah rambut pada
tempat-tempat yang biasanya juga ditumbuhi oleh rambut.

4) Pemeriksaan Kuku
Padakelainan di kuku, pelu di lakukan penilaian perubahan
kuku seperti :
 Koilonikia : kuku tipis dan berbentuk cembung dengan pinggir
yang meninggi. Dapat dijumpai pada penyakit anemia def. Fe,
pajanan asam kuat, hipertiroid, nail patella syndrome, raynaud
disease.
 Onikauksis : kuku menjadi menebal tanpa kelainan bentuk.
Dapat disebabkan oleh trauma, infeksi jamur, penyakit darier,
psoriasis, defek ektodermal.

 Onikogrifosis : Kuku berubah bentuk dan menebal seperti


cakar. Dapat disebabkan oleh trauma neuropati perifer.

 Hiperkeratosis subungual : disebabkan karena gangguan


inflamasi yang menyebabkan keratinisasi abnormal kuku distal
dan hyponychium dengan akumulasinya dibawah lempeng
kuku. Penyebab tersering pada psoriasis, onikomikosis, trauma,
dermatitis atopik dan kontak.

c. Status dermatologikus

1) Lokasi
Terdapat beberapa cara untuk mendeskripsikan lokasi ruam.
Dapat di deskripsikan berdasarkan regio, generalisata, niversal.
Bilaingin absolute memakai system absis dan ordinat. Bisa juga
cara simetrikal (simetris/asimetris). Dapat pula dengan cara
kraniokauda (dari ujung rambut sampai ujung kaki), namun yang
paing sering digunakan ialah gabungan sistem region digilir secara
beraturan menurut sistem kranio-kauda.
a) Generalisata: Tersebar pada sebagian besar tubuh
b) Universali : Hampir atau seluruh tubuh (90-100%)
c) Regional : Mengenaidaerah tertentu
d) Solitar : Hanya satu lesi
e) Konfluens : Dua atau lebih lesi yang menjadi satu
f) Diskret : Terpisah satu dengan yang lainnya
g) Serpiginosa: Proses menjalar ke satu arah diikuti oleh
penyembuhan di bagian yang ditinggalkan.
h) Iriformis : Eritema berbentuk bulat lonjong dengan vesikel
berwarna lebih gelap ditengahnya.
i) Simetris : mengenai kedua belah badan yang sama
j) Bilateral : Mengenai kedua belah badan
k) Unilateral : Mengenai sebelah badan

2) Penampakan Lesi
a) Susunan bentuk
 Soliter : Sendiri
 Diseminata : Menyebar rata keseluruh tubuh tapi
terpisah (scabies

33
dan varicella)
 Herpetiformis : vesikel berkelompok mirip herpes zoster
b) Gambaran
 Liniar : Sepertigaris lurus
 Sirsinar/anular : Seperti lingkaran
 Arsinar : Berbentuk bulan sabit
 Polikistik : Bentuk pinggiran lesi yang sambung-
menyambung
 Korimbiformis: Susunan seperti induk ayam yang
dikelilingi anaknya.
c) Bentuk
 Teratur : Misalnya bulat, lonjong, sepeti ginjal, dan
sebagainya
 Tidakteratur : Tidak mempunnyai bentuk teratur

d) Ukuran

 Miliar : Sebesar kepala jarum pentul


 Lentikular : Sebesar biji jagung
 Numular : Sebesar koin logam 100 rupiah
 Plakat : Lebih besar dari nummular

e) Batas

 Sirkukrip : Berbatas tegas


 Difus : Tidak berbatas tegas

Nilai pula lesi sekunder yang ditemukan :

 Bentuk
 Jumlah
 Ukuran
 Susunan
 Letak
 Gambaran

d. Pemeriksaan Penunjang

1) Teknik khusus untuk pemeriksaan klinis


a) Pemeriksaan Lampu Wood
Dengan lampu Wood, pigmen fluoresen dan perbedaan warna
pigmentasi melanin yang subtle bisa divisualisasi. Cara
Pemeriksaan:
 Kulit dan rambut yang akan diperiksa harus dalam keadaan
sealamiah mungkin.
 Obat topikal, bahan kosmetik, lemak, eksudat harus
dibersihkan terlebih dahulu karena dapat memberikan hasil
positif palsu.
 Pemeriksaan harus dilakukan di dalam ruangan kedap
cahaya agar perbedaan warna lebih kontras.
 Jarak lampu Wood dengan lesi yang akan diperiksa ±10-
15cm.
 Lampu Wood diarahkan ke bagian lesi dengan pendaran
paling besar/jelas.
b) Diaskopi
Diaskopi terdiri dari penekanan pada lesi dengan
menggunakan sebuah lensa datar transparan atau objek lain
(seperti slide kaca atau sekeping plastik yang tidak berwarna,
jernih, dan kaku). Alat ini mengkompresi darah dari pembuluh
darah kecil, agar warna lain pada lesi dapat dievaluasi.
Diaskopi membantu pemeriksa menilai seberapa banyak
darah intravaskular sebuah lesi yang merah atau ungu. Jika lesi
terutama terdiri dari kongesti vaskular, diakopi akan memucat.

35
Tekanan yang lebih kuat pada kapiler akan mendorong sel
darah merah ke dalam pembuluh darah di sekitarnya yang
mempunyai tekanan yang lebih rendah. Jika pada diaskopi
gagal terjadi pucat, atau pucat tidak sempurna, hal ini bermakna
banyak sel darah merah mengalami ekstravasasi atau jaringan
pembuluh yang berisi darah tersebut abnormal, sehingga tidak
memungkinkan sel lewat dengan sempurna.
Sarkoma Kaposi mencakup baik pembuluh darah neoplastik
aberan maupun eritrosit yang ekstravasasi, sehingga tidak
memucat. Pada nodul granulomatous, tampak gambaran warna
kecoklatan yang trasnlusen, dikenal sebagai nodul „apple jelly‟
(contohnya pada lupus vulgaris).
c) Dermoskopi
Dermoskop, juga dikenal sebagai mikroskop epiluminesens
adalah lensa tangan dengan builtin lighting dan magnifikasi
10x hingga 30x ; dermoskop membantu inspeksi terhadap
lapisan kulit epidermis yang lebih dalam dan dalam lagi secara
non-invasif. Dermoskopi sangat berguna untuk lesi pigmentasi
bagi membedakan corak pertumbuhan yang jinak atau ganas.

2) Tes Klinis ( Clinical tests)


a) Tes Tempel (Patch Test)
Metode ini adalah dengan menerapkan alergi untuk sebuah
patch yang kemudian diletakkan pada kulit. Hal tersebut dapat
dilakukan untuk menunjukkan yang memicu dermatitis kontak
alergi.15 Jika ada alergi antibodi dalam sistem tubuh, kulit
akan menjadi jengkel dan mungkin gatal, lebih mirip gigitan
nyamuk. Reaksi ini berarti pasien alergi terhadap zat tersebut.
b) Prick Test (Uji tusuk)
Uji tusuk dapat dilakukan dalam waktu singkat dan lebih
sesuai untuk anak. Tempat uji kulit yang paling baik adalah
pada daerah volar lengan bawah dengan jarak sedikitnya 2
sentimeter dari lipat siku dan pergelangan tangan. Setetes
ekstrak alergen dalam gliserin (50% gliserol) diletakkan pada
permukaan kulit. Lapisan superfisial kulit ditusuk dan
dicungkil ke atas memakai lanset atau jarum yang dimodifikasi,
atau dengan menggunakan jarum khusus untuk uji tusuk.
Ekstrak alergen yang digunakan 1.000-10.000 kali lebih pekat
daripada yang digunakan untuk uji intradermal. Dengan
menggunakan sekitar 5 ml ekstrak pada kulit, diharapkan risiko
terjadinya reaksi anafilaksis akan sangat rendah. Uji tusuk
mempunyai spesifitas lebih tinggi dibandingkan dengan uji
intradermal, tetapi sensitivitasnya lebih rendah pada.
c) Injeksi intradermal
Sejumlah 0,02 ml ekstrak alergen dalam 1 ml semprit
tuberkulin disuntikkan secara superfisial pada kulit sehingga
timbul 3 mm gelembung. Dimulai dengan konsentrasi terendah
yang menimbulkan reaksi, kemudian ditingkatkan berangsur
masing-masing dengan konsentrasi 10 kali lipat sampai
menimbulkan indurasi 5-15 mm.3 Uji intradermal ini seringkali
digunakan untuk titrasi alergen pada kulit.Tes alergi pengujian
injeksi intradermal tidak direkomendasikan untuk penggunaan
rutin untuk aeroallergens dan makanan, tetapi mungkin untuk
mendeteksi racun dan diagnosis alergi obat. Ini membawa
resiko lebih besar anafilaksis dan harus dilakukan dengan
tenaga medis yang berkopeten melalui pelatihan spesialis.
d) ji Gores (Scratch Test)
Uji gores kulit (SPT)adalah prosedur yang membawa resiko
yang relatif rendah, namun reaksi alergi sistemik telah
dilaporkan.
e) Tes Provokasi Oral

37
Tes Provokasi (TP) adalah administrasi terkontrol dari obat
yang digunakan untuk mendiagnosis reaksi hipersensitivitas.
Pengertian lain mengatakan bahwa tes provokasi merupakan tes
yang dilakukan mulai dengan memberikan obat dengan dosis
yang lebih kecil dari dosis yang diduga akan menimbulkan
reaksi berat, kemudian dosis ditingkatkan dan diberikan jarak
tertentu sampai tercapai dosis penuh sesuai dengan yang
diharapkan. TP merupakan baku emas (gold standard) yang
digunakan untuk menetapkan dan meniadakan diagnosis
hipersensitivitas dari zat tertentu, tidak hanya yang dapat
menyebabkan gejala alergi, tetapi juga manifestasi klinis yang
merugikan terlepas dari mekanismenya.

3) Pemeriksaan Radiologi dan Imaging


Karena kelainan pada kulit bisa dilihat dengan mata telanjang,
pemeriksaan radiologi dan imaging pada penyakit-penyakit kulit
memiliki kepentingan yang lebih rendah berbanding pada spesialti
yang lainnya. Namun yang demikian, pemeriksaan ini masih
memainkan peran yang penting dalam dermatologi pada kasus-
kasus tertentu.
Dalam praktek dermatologi, Ultrasonografi (USG), Magnetic
Resonance Imaging (MRI), scan radioisotope, dan PET scan
semuanya digunakan terutama untuk yang berkaitan dengan deteksi
limfadenopati atau keganasan kulit metastatik yang lainnya. Peran
Ultrasound resolusi tinggi semakin penting dalam dokumentasi
pembesaran nodul dan infiltrasi tumor, serta bisa digunakan untuk
memandu biopsi. Selain dari itu, prosedur radiologi juga digunakan
untuk menilai dengan tepat lesi tebal pada skleroderma, derajat
ekstensi infeksi pada selulitis tipe berat (dan membedakannya dari
necrotizing fasciitis menggunakan MRI), serta assessment invasi
lokal tumor.
Teknik-teknik imaging juga berperan penting dalam
manajemen penyakit seperti neurofibromatosis, di mana terdapat
keterlibatan sistem saraf pusat, atau dalam penilaian perubahan otot
pada dermatomiositis. Limfosintigrafi mungkin berguna untuk
penilaian fungsi sistem limfatik pada ekstremitas bawah yang
edem.

6. DD dan DS

PITYRIASIS ROSEA

a. Definisi
Pitiriasis rosea adalah penyakit kulit yang belum diketahui
penyebabnya, dimulai dengan sebuah lesi inisial berbentuk eritema dan
skuama halus. Kemudian disusun oleh lesi-lesi yang lebih kecil di
badan, lengan dan paha atas yang tersusun sesuai dengan lipatan kulit
dan biasanya menyembuh dalam waktu 3-8 minggu.

b. Epidemiologi
Kurang lebih 75% kasus pitiriasis rosea didapatkan pada usia
antara 10-35 tahun. Puncak insidensnya terdapat pada usia antara 20-
29 tahun. Namun ada juga yang mengatakan puncak insidensinya
terdapat pada usia antara 15-40 tahun. Namun bagaimanapun penyakit
ini bisa muncul dari usia 3 bulan.
Prevalensi yang dilaporkan dari pusat dermatologi adalah
0,3-3 %.Penyakit ini terdapat di seluruh dunia dan didapatkan kira-
kira sebanyak 20% dari setiap kunjungan pasien yang berobat jalan
pada ahli penyakit kulit. Insidens pada pria dan wanita hampir sama,
walaupun sedikit lebih banyak ditemukan pada wanita.

c. Etiologi

39
Penyebab dari penyakit ini belum diketahui, demikian pula cara
penyebaran infeksinya. Ada yang mengemukanan hipotesis bahwa
penyebabnya adalah virus karena merupakan penyakit swasima (self
limiting disease) yang umumnya sembuh sendiri dalam waktu 3-8
minggu.
Sementara ahli yang lain mengaitkan dengan berbagai faktor yang
diduga berhubungan dengan timbulnya Pityriasis rosea, diantaranya:
1) Faktor cuaca. Hal ini karena Pityriasis rosea lebih kerap ditemukan
pada musim semi dan musim gugur.
2) Faktor penggunaan obat-obat tertentu, seperti bismuth, barbiturat,
captopril, mercuri, methoxypromazine, metronidazole, D-
penicillamine, isotretinoin, tripelennamine hydrochloride,
ketotifen, dan salvarsan.
3) Diduga berhubungan dengan penyakit kulit lainnya (dermatitis
atopi, seborrheic dermatitis, acne vulgaris) dikarenakan Pityriasis
rosea dijumpai pada penderita penyakit dengan dermatitis atopik,
dermatitis seboroik, acne vulgaris dan ketombe.
Watanabe et al melakukan penelitian dan mempercayai bahwa
Pitiriasis Rosea disebabkan oleh virus. Mereka melakukan replikasi
aktif dari Herpes Virus ( HHV )-6 dan -7 pada sel mononuklear dari
kulit yang mengandung lesi, kemudian mengidentifikasi virus pada
sampel serum penderita. Dimana virus-virus ini hampir kebanyakan
didapatkan pada masa kanak-kanak awal dan tetap ada pada fase laten
dalam sel mononuklear darah perifer, terutama CD-4 dan sel T, dan
pada air liur.
Menurut Broccolo dkk 2005, DNA HHV-7 dan sedikit DNA HHV-
6 ditemukan pada plasma bebas dalam plasma atau sampel serum dari
banyak penderita pityriasis rosea, dan tidak ditemukan pada individu
yang menderita penyakit inflamasi kulit lainnya. Protein dan mRNA
HHV-7 dan sedikit mRNA HHV-6 dan protein, dideteksi pada
kumpulan leukosit yang ditemukan di regio perivaskular dan
perifolikular pada lesi PR, tetapi tidak ditemukan pada pasien dengan
penyakit inflamasi kulit lainnya. Peningkatan imunoglobulin spesifik
HHV-6 dan HHV-7 pada kondisi tidak adanya antibodi imunoglobulin
G spesifik terhadap virus tidak terjadi pada pasien PR, sementara pada
peningkatan infeksi virus primer terhadap antibodi IgM sendiri
merupakan tanda khas. Kemudian penemuan terakhir bahwa terdapat
DNA HHV-6 dan HHV-7 pada saliva pasien dengan PR, yang tidak
ditemukan pada pasien-pasien dengan infeksi primer oleh virus-virus
ini. Berdasarkan pada penemuan-penemuan ini, kesimpulan yang dapat
diambil adalah pityriasis rosea ini berkaitan erat dengan reaktivasi
HHV-7 dan sedikit HHV-6.
Chlamydia pneumonia, Mycoplasma pneumonia dan Legionella
pneumonia telah dikemukakan sebagai agen penyebab pitiriasis rosea
yang berpotensi kuat, namun belum ada penelitian yang menunjukkan
kenaikan kadar antibodi yang signifikan terhadap mikroorganisme
yang telah disebutkan di atas pada penderita pitiriasis rosea.

d. Patogenesis
Para ahli masih berbeda pendapat tentang faktor-faktor penyebab
timbulnya PR. Ada yang menduga penyebabnya adalah virus,
dikarenakan penyakit ini dapat sembuh dengan sendirinya (self
limited). Keterlibatan dua virus herpes yaitu HHV-6 dan HHV-7, telah
diusulkan sebagai penyebab erupsi. Dilaporkan terdapat DNA virus
dalam peripheral blood mononuclear cell (PBMC) dan lesi kulit dan
hal ini tidak terpengaruh dari banyaknya orang dengan PR akut. HHV-
7 terdeteksi sedikit lebih banyak daripada HHV-6, tetapi sering kedua
virus ditemukan. Namun, bukti dari adanya HHV-6 atau HHV-7 dan
aktivitasnya juga ditemukan dalam proporsi (10-44%) dari individu
yang tidak terpengaruh, hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan
dengan infeksi, di mana virus tidak selalu menyebabkan penyakit.
Sementara ahli yang lain mengaitkan dengan berbagai faktor yang

41
diduga berhubungan dengan timbulnya PR, misalnya faktor
penggunaan obat-obat tertentu.

e. Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan,
namun sangat membantu dalam beberapa kondisi, dengan tujuan
meyingkirkan diagnosis banding. Biopsi kulit dilakukan jika erupsi
atipikal, diagnosis tidak pasti, atau penyakit belum sembuh setelah 3-4
bulan. Gambaran histopatologi dari pitiriasis rosea meliputi:
1) Akantosis ringan
2) Parakeratosis fokal
3) Ekstravasasi eritrosit ke lapisan epidermis
4) Spongiosis dapat ditemukan pada kasus akut
5) Infiltrat perivaskular ringan dari limfosit ditemukan pada dermis.

Gambar 25. Histopatologi dari Ptyriasis Rosea

f. Gejala Klinis
Kurang lebih pada 20-50% kasus, bercak merah pada pitiriasis
rosea didahului dengan munculnya gejala mirip infeksi virus seperti
gangguan traktus respiratorius bagian atas atau gangguan
gastrointestinal. Sumber lain menyebutkan kira-kira 5% dari kasus
pitiriasis rosea didahului dengan gejala prodormal berupa sakit kepala,
rasa tidak nyaman di saluran pencernaan, demam, malaise, dan
artralgia. Lesi utama yang paling umum ialah munculnya lesi soliter
berupa makula eritem atau papul eritem pada batang tubuh atau leher,
yang secara bertahap akan membesar dalam beberapa hari dengan
diameter 2-10 cm, berwarna pink salmon, berbentuk oval dengan
skuama tipis.
Lesi yang pertama muncul ini disebut dengan Herald
patch/Mother plaque/Medalion. Insidens munculnya Herald
patch dilaporkan sebanyak 12-94%, dan pada banyak penelitian kira-
kira 80% kasus pitiriasis rosea ditemukan adanya Herald patch. Jika
lesi ini digores pada sumbu panjangnya, maka skuama cenderung
untuk melipat sesuai dengan goresan yang dibuat, hal ini disebut
dengan “Hanging curtain sign”. Herald patch ini akan bertahan
selama satu minggu atau lebih, dan saat lesi ini akan mulai hilang,
efloresensi lain yang baru akan bermunculuan dan menyebar dengan
cepat.
Kemunculan dan penyebaran efloresensi yang lain dapat bervariasi
dari hanya dalam beberapa jam hingga sampai 3 bulan. Bentuknya
bervariasi dari makula berbentuk oval hingga plak berukuran 0,5-2 cm
dengan tepi yang sedikit meninggi. Warnanya pink salmon (atau
berupa hiperpigmentasi pada orang-orang yang berkulit gelap) dan
khasnya terdapat koleret dari skuama di bagian tepinya. Umum
ditemukan beberapa lesi berbentuk anular dengan bagian tengahnya
yang tampak lebih tenang.

43
Gambar 26. Herald Patch

Pada pitiriasis rosea gejalanya akan berkembang setelah 2


minggu, dimana ia mencapai puncaknya. Karenanya akan
ditemukan lesi-lesi kecil kulit dalam stadium yang berbeda. Fase
penyebaran ini secara perlahan-lahan akan menghilang setelah 2-4
minggu. Sumber lain yang menyebut erupsi kulit akan menghilang
secara spontan setelah 3-8 minggu. Namun pada beberapa kasus
dapat juga bertahan hingga 3-5 bulan. Lesi-lesi ini muncul
terutama pada batang tubuh dengan sumbu panjang sejajar
pelipatan kulit. Tampilannya tampak seperti pohon natal yang
terbalik (inverted christmas tree appearance). Hal ini
membingungkan karena susunan lesi yang muncul membentuk
garis yang mengarah ke bawah dari kolumna vertebra bila dilihat
dari belakang, namun jika dilihat dari depan maka garisnya
mengarah ke atas dari sentral abdomen. Hal ini nampak tidak
sesuai jika kita bandingkan dengan arsitektur dari pohon natal
sebenarnya. Tapi bagaimanapun, terlepas dari tampilan lesi yang
mirip dengan pohon natal, terbalik ataupun tidak, tidak diragukan
lagi herald patch merupakan lesi patognomonik dari pitiriasis
rosea.
Gambar 3. Inverted Christmas Tree

Lokasinya juga sering ditemukan di lengan atas dan paha atas.


Lesi-lesi yang muncul berikutnya jarang menyebar ke lengan
bawah, tungkai bawah, dan wajah. Namun sesekali bisa didapatkan
pada daerah tertentu seperti leher, sela paha, atau aksila. Pada
daerah ini lesi berupa bercak dengan bentuk sirsinata yang
bergabung dengan tepi yang tidak rata sehingga sangat mirip
dengan Tinea korporis. Jika terdapat keraguan menegakkan
diagnosis secara klinis dan fasilitas memungkinkan, lakukan
pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH. Selain itu, bila dijumpai
lesi serupa PR tetapi tanpa herald patch maka sebagai diagnosis
banding perlu dipikirkan antara lain erupsi obat, sifilis stadium II,
dan dermatomikosis. Pada kondisi tersebut, pemeriksaan uji
serologis untuk sifilis merupakan indikasi.
Gatal ringan-sedang dapat dirasakan penderita, biasanya saat
timbul gejala. Gatal merupakan hal yang biasa dikeluhkan dan
gatalnya bisa menjadi parah pada 25% pasien. Gatal akan lebih
dirasakan saat kulit dalam keadaan basah, berkeringat, atau akibat
dari pakaian yang ketat. Akan tetapi, 25% penderitanya tidak
merasakan gatal. Relaps dan rekurensi jarang sekali ditemukan.
Ekskoriasi jarang ditemukan.

45
Terkadang pitiriasis rosea bisa muncul dalam bentuk distribusi
yang tidak khas, dan penegakan diagnosisnya tergantung dari
manifestasi klinis yang ada dan lesi utama berupa herald
patch. Predileksi tempat yang atipikal mencakup telapak kaki,
wajah, scalp, dan genitalia. Sebagai tambahan, multipel herald
patch ditemukan pada 5,5% kasus. Yang lebih tidak umum lagi,
jenisnya sendiri tidak khas, contohnya ruam kulit bisa dikelilingi
oleh vesikel-vesikel.

g. Diagnosis
Penegakan diagnosis PR didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan
klinis, dan pemeriksaan penunjang.
1) Anamnesis
Anamnesis dibutuhkan untuk mendukung penegakan diagnosis PR
yaitu:
a) Pada PR klasik, pasien biasanya menggambarkan onset dari
timbulnya lesi kulit tunggal pada daerah badan, beberapa hari
sampai minggu kemudian diikuti timbulnya berbagai lesi kecil.
b) Gatal hebat dirasakan pada 25% pasien PR tanpa komplikasi,
50% lainnya merasakan gatal dari yang ringan sampai sedang,
dan 25% lainnya tidak mengeluhkan rasa gatal.
c) Sebagian kecil pasien menunjukkan gejala prodromal seperti
gejala flu, demam, malaise, arthralgia, dan faringitis.
2) Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan terlihat:
a) Kelainan berupa bercak berskuama dengan batas
tegas berbentuk oval atau bulat (“herald patch”) yang meluas
ke perifer, terlihat erupsi makulopapular berwarna merah-
coklat berukuran 0,5-4 cm.
b) Bagian tepi lesi terlihat lebih aktif, meninggi, eritematosa
dengan bagian tengah berupa central clearing.
c) Terlokalisasi pada badan, leher, dan daerah poplitea atau pada
area yang lembab dan hangat misalnya di area lipatan kulit.
d) Erupsi sekunder mengikiuti garis Langer, berbentuk pola pohon
natal atau pola pohon cemara.
Biopsi biasanya tidak selalu diindikasikan untuk
menggevaluasi pasien dengan suspek PR. Karena bisa terjadi
kesalahan untuk beberapa penyakit kulit, diagnosis klinis PR
mungkin kadang-kadang sulit, terutama di varian atipikal.
3) Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan Laboratorium.
Pemeriksaan ini jarang diperlukan dalam kasus
PR. Pemeriksaan fisik, hitung darah sel, biokimia dan analisis
urin dalam rentang normal, kadang ditemukan leukositosis,
neutrophilia, basophilia dan limfositosis.
Tes VDRL dan uji fluorescent antibody trepenomal
dilakukan untuk menyingkirkan adanya sifilis.
b) Biopsi kulit
Superfisial peri infiltrasi vaskular dengan limfosit, histiosit,
dengan eosinofil jarang terlihat. Sel epidermis menunjukkan sel
darah merah diskeratosis dan ekstravasasi RBCs dapat dilihat.

h. Laboratorium
Pitiriasis rosea merupakan diagnosis klinis. Tidak ada tes
laboratorium yang membantu dalam membuat diagnosis. Hasil biopsi
lesi kulit yang dilakukan hanya menampakkan terjadinya inflamasi
nonspesifik. Meliputi perubahan nilai hitung jenis leukosit dan laju
endap darah (LED), serta total serum protein level, globulin
level, dan albumin level, walaupun nilai perubahannya minimal. Ketika
lesi yang muncul baru berupa patch soliter (herald patch), pemeriksaan
kerokan kulit dengan KOH akan berguna untuk menyingkirkan
diagnosis tinea korporis.

47
Gambaran lesi PR sering membingungkan dengan gambaran lesi
pada sifilis sekunder. Maka, apabila gambaran lesi tidak khas dan tidak
ditemukan herald patch, perlu dilakukan tes serologis terhadap sifilis.

i. Pengobatan
Pengobatan bersifat simtomatik, untuk gatal-gatal dapat diberikan
sedativa, sedangkan sebagai obat topikal dapat diberrikan bedak asam
salisilat yang dibubuhi mentol ½-1 %. Pengobatan bersifat simtomatik,
untuk gatalnya diberikan sedatif, sedangkan obat topikal dapat
diberikan bedak asam salisilat yang dibubuhi mentol 1/2 -1%.
Kebanyakan pasien tidak memerlukan pengobatan karena sifatnya
yang asimptomatik. Penatalaksanaan pada pasien yang datang berobat
pertama kali:
1) Tenangkan pasien bahwa ia tidak memiliki penyakit sistemik
dalam tubuhnya, penyakit ini tidak menular, dan biasanya tidak
akan berulang kembali.
2) Colloidal bath
1 bungkus bubur gandum Aveeno dituangkan ke dalam bak mandi
atau ember besar yang beris i 6-8 inci air yang hangatnya suam-
suam kuku. Pasien diminta untuk mandi selama 10-15 menit setiap
harinya. Hindari sabun dan air panas sebisanya untuk mengurangi
rasa gatal yang ada.
3) Lotion kocok putih non-alkohol atau Calamine lotion digunakan 2
kali sehari pada lesi kulit.
4) Antihistamin jika ada keluhan gatal.
5) Terapi UVB dapat diberikan pada kasus dengan peningkatan
suberitem, sebanyak 1-2 kali seminggu. Gejala klinis yang berat
akan berkurang namun tidak akan berpengaruh terhadap rasa gatal
dan lamanya sakit.

Kunjungan berikutnya:
1) Jika kulitnya menjadi terlalu kering karena Colloidal bath dari
lotionnya, hentikan pemakaian lotion atau diganti dengan krim atau
salep hidrokortison 1%, gunakan 2 kali sehari pada daerah yang
kering.
2) Teruskan fototerapi.
Fototerapi dapat bermanfaat pada kasus-kasus yang lama
penyembuhannya. Fototerapi UVB dapat mempercepat hilangnya
erupsi kulit yang ada. Satu-satunya efek samping dari terapi ini
ialah kulit yang terasa sedikit perih dan kekeringan pada kulit.
Namun risiko terjadinya hiperpigmentasi postinfeksi dapat
meningkat dengan terapi ini.

Jika disertai dengan gatal hebat:


1) Selain obat-obat di atas diberikan pula prednison 5 mg. Diberikan
4 kali 1 tablet selama 3 hari, kemudian 3 kali 1 tablet selama 4 hari,
kemudian 2 tablet setiap pagi selama 1-2 minggu, sampai gatalnya
menghilang.
2) Eritromisin 250 mg, diberikan 2 kali sehari selama 2 minggu, telah
dicoba oleh beberapa penulis. Dari suatu penelitian diketahui
eritromisin dosis 250 mg yang diberikan 4 kali sehari pada orang
dewasa dan dosis 25-40 mg/kgBB dibagi dalam 4 dosis untuk
anak-anak, dalam waktu 2 minggu semua gejala klinis yang
nampak sebelumnya telah hilang.
3) Edukasi pasien :
a) Pasien biasanya khawatir akan berapa lama bercak di kulitnya
akan hilang dan apakah penyakitnya bersifat menular. Mereka
harus diberi pengertian bahwa pitiriasis rosea akan sembuh
dengan sendirinya dan tidak bersifat menular.
b) Pasien sebaiknya diminta untuk datang kembali apabila ruam
masih tetap ada setelah 3 bulan lebih.

49
j. Komplikasi
Tidak ada komplikasi yang serius yang terjadi pada pasien dengan
pitiriasis rosea. Gatal yang hebat bisa saja terjadi dan mengarah pada
pembentukan eksema dan infeksi sekunder akibat garukan. Pasien
mungkin mengalami gejala seperti flu, tetapi biasanya relatif ringan
jika hal ini terjadi.Sekitar 1/3 pasien PR mengalami derajat kecemasan
dan depresi yang signifikan, yang diakibatkan ketidakpastian mengenai
durasi penyembuhan penyakitnya.
Edukasi sangat penting pada pasien-pasien ini bahwa tidak ada
komplikasi yang serius yang akan terjadi. Namun, PR selama
kehamilan perlu mendapatkan perhatian khusus. Pada 38 kasus
kehamilan dengan PR, Drago dkk melaporkan 9 kelahiran prematur,
walaupun semua bayi lahir dari ibu yang tidak memliki kelainan dalam
kehamilannya. Lima ibu mengalami keguguran, paling sering terjadi
pada trimester pertama. Oleh karena itu perlu diwaspadai dan terus
diikuti perkembangannya secara teliti dan diberikan perhatian yang
lebih.

k. Prognosis
Prognosis baik karena penyakit ini sembuh spontan biasanya dalam
waktu 3-8 minggu. Pitiriasis rosea merupakan penyakit akut yang
bersifat self limiting illnesyang akan menghilang dalam waktu 3-8
minggu, dengan beberapa minngu pertama terkait dengan lesi kulit
inflamasi yang baru dan mungkin gejala seperti flu. Dapat terjadi
hipopigmentasi dan hiperpigmentasi pasca inflamasi pada kasus
pityriasis rosea. Relaps dan rekuren jarang ditemukan.
PSORIASIS

a. Definisi
Psoriasis adalah penyakit peradangan kulit kronik dengan dasar
genetik yang kuat dengan karakteristik perubahan pertumbuhan dan
diferensiasi sel epidermis disertai manivestasi vaskuler, juga diduga
adanya pengaruh sistem syaraf.

b. Epidemiologi
Prevalensi psoriasis bervariasi antara 0,1-11,8% di berbagai
populasi dunia. Insidens di Asia cenderung rendah (0,4%). Tidak ada
perbedaan insidens pada pria ataupun wanita.4 Beberapa variasi
klinisnya antara lain psoriasis vulgaris (85-90%) dan artritis psoriatika
(10%).
Seperti lazimnya penyakitkronis, mortalitas psoriasis rendah
namun morbiditas tinggi, dengan dampak luas pada kualitas hidup
pasien ataupun kondisi sosioekonominya. Penyakit ini terjadi pada
segala usia, tersering pada usia 15-30 tahun. Puncak usia kedua adalah
57-60 tahun.
Bila Terjadi pada usia dini (15-35 tahun), terkait HLA (Human
Leukocyte Antigen) I antigen (terutama HLA Cw6), serta ada riwayat
keluarga, lesi kulit akan lebih luas dan persisten.

c. Etiologi
Psoriasis merupakan penyakit kulit kronis inflamatorik dengan
faktor genetik yang kuat, dengan ciri gangguan perkembangan dan
diferensiasi epidermis, abnormalitas pembuluh darah, faktor
imunologis dan biokimiawi, serta fungsi neurologis. Penyebab
dasarnya belum diketahui pasti. Dahulu diduga berkaitan dengan
gangguan primer keratinosit, namun berbagai penelitian telah
mengetahui adanya peran imunologis.

51
Peran Genetik Bila kedua orang tua mengidap psoriasis, risiko
seseorang mendapat psoriasis adalah 41%, 14% bila hanya dialami
oleh salah satunya, 4% bila 1 orang saudara kandung terkena, dan
turun menjadi 2% bila tidak ada riwayat keluarga. Psoriasis
Susceptibility 1 atau PSORS1 (6p21.3) adalah salah satu lokus genetik
pada kromosom yang berkontribusi dalam patogenesis psoriasis.
Beberapa alel HLA yang berkaitan adalah HLA B13 dan HLA DQ9.
HLA Cw6 merupakan alel yang terlibat dalam patogenesis artritis
psoriatika serta munculnya lesi kulit yang lebih dini. HLA Cw6 akan
mempresentasikan antigen ke sel T CD 8+.

d. Faktor pencetus
Faktor genetik dapat mencetuskan psoriasis, namun faktor
lingkungan ternyata juga berperan penting pada patogenesis psoriasis.
Beberapa penelitian membuktikan adanya hubungan antara Human
leucocyte antigen (HLA), yaitu HLA-B13, -B17, -B39, -B57, -CW6, -
CW7, -DR4, -DR7, dan analisis kromosomal dengan kejadian
psoriasis.
Faktor pencetus eksternal antara lain trauma fisik seperti garukan,
stres psikologik, paparan sinar matahari, pembedahan, obat-obatan dan
infeksi dapat mencetuskan psoriasis pada individu yang telah
mempunyai predisposisi genetik. Faktor pencetus tersebut selain
memperberat psoriasis juga dapat menimbulkan kekambuhan yang
berat. Beberapa obat yang dilaporkan dapat mengeksaserbasi psoriasis
antara lain beta blocker, ACE (angiotensin converting enzyme)
inhibitor, antimalaria, dan litium. Infeksi bakteri, virus, dan jamur juga
dilaporkan dapat mencetuskan psoriasis.

e. Patofisiologi
Lesi kulit psoriasis melibatkan epidermis dan dermis. Terdapat
penebalan epidermis, disorganisasi stratum korneum akibat
hiperproliferasi epidermis dan peningkatan kecepatan mitosis, disertai
peningkatan ekspresi intercellular adhesion molecule 1(ICAM 1) serta
abnormalitas diferensiasi sel epidermis.
Aktivasi sel T terutama dipengaruhi oleh sel Langerhans. Sel T
serta keratinosit yang teraktivasi akan melepaskan sitokin dan
kemokin, dan menstimulasi infl amasi lebih lanjut Selain itu, kedua
komponen ini akan memproduksi tumor necrosis factor α (TNF α),
yang mempertahankan proses infl amasi. Oleh karena itu, psoriasis
bukan hanya disebabkan oleh autoimunitas terkait sel limfosit T seperti
teori terdahulu, tetapi melibatkan proses yang lebih kompleks
termasuk abnormalitas mikrovaskuler dan keratinosit.

f. Manifestasi Klinis
Psoriasis merupakan penyakit inflamatorik kronik dengan
manifestasi klinis pada kulit dan kuku. Lesi kulit biasanya merupakan
plak eritematosa oval, berbatas tegas, meninggi, dengan skuama
berwarna keperakan, hasil proliferasi epidermis maturasi prematur dan
kornifi kasi inkomplet keratinosit dengan retensi nuklei di stratum
korneum (parakeratosis). Meskipun terdapat beberapa predileksi khas
seperti pada siku, lutut, serta sakrum, lesi dapat ditemukan di seluruh
tubuh. Gambaran klinis lain yang dapat menyertai adalah artritis
psoriatika pada sendi interfalang jari tangan, distrofi kuku, dan lesi
psoriatik nail bed.
Lesi Kulit Lesi klasik psoriasis adalah plak eritematosa berbatas
tegas, meninggi, diselubungi oleh skuama putih. Lesi kulit cenderung
simetris, meskipun dapat unilateral.

Klasifikasi Klinis Lesi Kulit Psoriasis


1) Psoriasis Vulgaris/Tipe Plakat Kronis/Chronic Stationary Psoriasis

53
Merupakan bentuk tersering (90% pasien), dengan karakteristik
klinis plakat kemerahan, simetris, dan berskuama pada ekstensor
ekstremitas.
2) Psoriasis Guttata (Eruptif )
Guttata berasal dari bahasa Latin “Gutta” yang berarti “tetesan”,
dengan lesi berupa papul kecil (diameter 0,5-1,5 cm) di tubuh
bagian atas dan ekstremitas proksimal.
3) Psoriasis Plakat Berukuran Kecil
Pada tipe ini, lesi muncul pada usia yang lebih tua, kronis,
berukuran lebih besar (1-2 cm), dengan skuama lebih banyak dan
tebal. Biasanya muncul pada lanjut usia di beberapa negara Asia.
4) Psoriasis Inversa
Pada tipe ini muncul di lipatan-lipatan kulit seperti aksila,
genitokruris, serta leher. Lesi biasanya berbentuk eritema
mengkilat berbatas tegas dengan sedikit skuama, disertai gangguan
perspirasi pada area yang terkena.
5) Psoriasis Eritrodermik
Tipe ini mengenai hampir seluruh bagian tubuh, dengan efl
oresensi utama eritema. Skuama tipis, superfi sial, tidak tebal, serta
melekat kuat pada permukaan kulit di bawahnya seperti psoriasis
pada umumnya, dengan kulit yang hipohidrosis. Risiko hipotermia
sangat besar karena vasodilatasi luas pada kulit.
6) Psoriasis Pustular
Psoriasis pustular memiliki beberapa variasi secara klinis seperti
psoriasis pustular generalisata (Von Zumbuch), psoriasis pustular
annular, impetigo herpetiformis, dan psoriasis pustular lokalisata
(pustulosis palmaris et plantaris dan akrodermatitis kontinua).
7) Sebopsoriasis
Sebopsoriasis ditandai dengan adanya plak eritematosa dengan
skuama berminyak pada area kulit yang seboroik (kulit kepala,
glabella, lipatan nasolabialis, perioral, serta sternum).
8) Napkin Psoriasis
Bentuk ini biasanya muncul pada usia 3-6 bulan di area kulit yang
terkena popok (diaper area).
9) Psoriasis Linear
Bentuk yang jarang. Lesi kulit berupa lesi linear terutama di
tungkai, kadang muncul sesuai dermatom kulit tungkai. Kadang
merupakan bentuk dari nevus epidermal inflamatorik linear
verukosa.

Gambar 27. Manifestasi klinik Psoriasis

Manifestasi Klinis Psoriasis di Berbagai Organ


1) KukuPerubahan kuku muncul pada sekitar 40% pasien dengan
psoriasis. Lekukan kuku (nail pitting) merupakan gambaran yang
paling sering muncul, pada berbagai jari kecuali jempol.
Deformitas kuku lainnya akibat kerusakan matriks kuku adalah
onikodistrofi (kerusakan lempeng kuku), crumbling nail, serta titik
kemerahan pada lunula
2) Geographic Tongue Geographic tongue atau benign migratory
glossitis merupakan kelainan idiopatik yang berakibat hilangnya
papil fi liformis lidah.Lesi biasanya berupa bercak eritematosa
berbatas tegas menyerupai peta dan berpindah-pindah.

55
3) Artritis Psoriatika Merupakan bentuk klinis psoriasis ekstrakutan
yang paling sering muncul, pada sekitar 40% pasien psoriasis.
Terkait kuat dengan faktor genetik.

e. Diagnosis
Anamnesis
Salah satu hal yang pertama kali penting ditanyakan adalah onset
penyakit dan riwayat keluarga, karena onset dini dan riwayat keluarga
berkaitan dengan tingginya ekstensi dan rekurensi penyakit. Selain itu,
tentukan apakah lesi merupakan bentuk akut atau kronis, serta keluhan
pada persendian, karena kemungkinan artritis psoriatika pada asien
dengan riwayat pembengkakan sendi sebelum usia 40 tahun.

Histopatologi
Gambaran histopatologisnya antara lain elongasi rete ridges,
parakeratosis, serta infi ltrasi berbagai sel radang. Pada lesi awal di
dermis bagian atas tepat dibawah epidermis terdapat pembuluh darah
drah dermis yang jumlahnya lebih banyak daripada kulit normal.
Infiltrat sel radang limfosit, makrofag, sel dendritik dan sel mast
terdapat disekitar pembuluh darah. Pada psoriasis matang dijumpai
limfosit tidak saja pada dermis tetapi juga pada epidermis. Gambaran
spesifik psoriasis adalah bermigrasinya sel radang granulosit
neutrofilik berasal dari ujung subset kapiler dermal mencapai bagian
atas epiddermis.
Gambar 28. Gambaran histopatologi Psoriasis

Salah satu teknik yang digunakan untuk mengukur derajat


keparahan psoriasis yaitu dengan menggunakan skor Psoriasis Area
and Severity Index (PASI). Skor PASI merupakan gold standar
pengukuran yang digunakan untuk mengetahui derajat keparahan dan
luas lesi psoriasis. Pada uji klinis, perubahan skor PASI digunakan
untuk menilai kemajuan terapi. Klinisi berpendapat bahwa
keberhasilan pengobatan psoriasis ditunjukkan dengan adanya
perbaikan skor PASI hingga lebih atau sama 75%, walaupun perbaikan
skor PASI <75% masih menunjukkan adanya perbaikan klinis
psoriasis.

f. Tatalaksana
Tatalaksana psoriasis adalah terapi supresif, tidak menyembuhkan
secara sempurna, bertujuan mengurangi tingkat keparahan dan ekstensi
lesi sehingga tidak terlalu mempengaruhi kualitas hidup pasien.
1) Terapi Topikal
Sebagian besar kasus psoriasis dapat ditatalaksana dengan
pengobatan topikal meskipun memakan waktu lama dan juga secara
kosmetik tidak baik, sehingga kepatuhan sangat rendah.
a) Kortikosteroid

57
Glukokortikoid dapat menstabilkan dan menyebabkan translokasi
reseptor glukokortikoid. Sediaan topikalnya diper gunakan sebagai
lini pertama pengobatan psoriasis ringan hingga sedang di area
fleksural dan genitalia, karena obat topikal lain dapat mencetuskan
iritasi.
b) Vitamin D3 dan Analog
Setelah berikatan dengan reseptor vitamin D, vitamin D3 akan
meregulasi pertumbuhandan diferensiasi sel, mempengaruhi fungsi
imun, menghambat proliferasi keratinosit, memodulasi diferensiasi
epidermis, serta menghambat produksi beberapa sitokin pro-infl
amasi seperti interleukin 2 dan interferon gamma. Analog vitamin
D3 yang telah digunakan dalam tatalaksana penyakit kulit adalah
calcipotriol, calcipotriene, maxacalcitrol, dan tacalcitol.
c) Anthralin (Dithranol)
Dithranol dapat digunakan untuk terapi psoriasis plakat kronis,
dengan efek antiproliferasi terhadap keratinosit dan anti infl amasi
yang poten, terutama yang resisten terhadap terapi lain. Dapat
dikombinasikan dengan phototherapy UVB dengan hasil
memuaskan (regimen Ingram).
d) Tar Batubara
Penggunaan tar batubara dan sinar UV efeknya antara lain
mensupresi sintesis DNA dan mengurangi aktivitas mitosis lapisan
basal epidermis, serta beberapa komponen memiliki efek anti
inflamasi.
e) Tazarotene
Merupakan generasi ketiga retinoid yang dapat digunakan secara
topikal untuk mereduksi skuama dan plak, walaupun efektivitasnya
terhadap eritema sangat minim. Efi kasinya dapat ditingkatkan bila
dikombinasikan dengan glukokortikoid potensi tinggi atau
phototherapy.
f) Inhibitor Calcineurin
Topikal Takrolimus (FK 506) merupakan antibiotik golongan
makrolid yang bila berikatan dengan immunophilin (protein
pengikat FK506), membentuk kompleks yang menghambat
transduksi sinyal limfosit T dan transkripsi interleukin 2. Meskipun
takrolimus tidak efektif dalam pengobatan plak kronis psoriasis,
namun terbukti efektif untukpsoriasis fasialis dan inversa.
g) Emolien
Emolien seperti urea (hingga 10%) sebaiknya digunakan selama
terapi, segera setelah mandi, untuk mencegah kekeringan pada
kulit, mengurangi ketebalan skuama, mengurangi nyeri akibat fi
sura, dan mengurangi rasa gatal pada lesi tahap awal.
2) Phototherapy
Phototherapy dapat mendeplesi sel limfosit T secara selektif, terutama
di epidermis, melalui apoptosis dan perubahan respons imun Th1
menjadi Th2.
a) Sinar Ultraviolet B (290-320 nm)
Terapi UVB inisial berkisar antara 50-75% minimal erythema dose
(MED). Tujuan terapi adalah mempertahankan lesi eritema
minimal sebagai indikator tercapainya dosis optimal. Terapi
diberikan hingga remisi total tercapai atau bila perbaikan klinis
lebih lanjut tidak tercapai dengan peningkatan dosis.
b) Psoralen dan Terapi Sinar Ultraviolet A (PUVA)
PUVA merupakan kombinasi psoralen dan longwave ultraviolet A
yang dapat memberikan efek terapeutik, yang tidak tercapai dengan
penggunaan tunggal keduanya.
c) Excimer Laser
Diindikasikan untuk tatalaksana pasien psoriasis dengan plak
rekalsitran, terutama di bahu dan lutut.
d) Terapi Fotodinamik

59
Terapi fotodinamik telah dilakukan pada beberapa dermatosis infl
amatorik termasuk psoriasis. Meski demikian, terapi ini tidak
terbukti memuaskan.

3) Terapi Obat Sistemik Per Oral


a) Metotreksat
Metotreksat (MTX) merupakan pilihan terapi yang sangat efektif
bagi psoriasis tipe plak kronis, juga untuk tatalaksana psoriasis
berat jangka panjang, termasuk psoriasis eritroderma dan psoriasis
pustular. MTX bekerja secara langsung
menghambathiperproliferasi epidermis melalui inhibisi di
hidrofolat reduktase. Efek antiinflamasi disebabkan oleh inhibisi
enzim yang berperan dalam metabolisme purin.
b) Acitretin
Monoterapi acitretin paling efektif bila diberikan pada psoriasis
tipe eritrodermik dan generalized pustular psoriasis.
c) Siklosporin A (CsA)
CsA per oral merupakan sangat efektif untuk psoriasis kulit
ataupun kuku, terutama pasien psoriasis eritrodermik.
d) Ester Asam Fumarat
Preparat ini diabsorbsi lengkap di usus halus, dihidrolisis menjadi
metabolit aktifnya, monometilfumarat, yang akan menghambat
proliferasi keratinosit serta mengubah respons sel Th1 menjadi
Th2. Terapi ini dapat diberikan jangka lama (>2 tahun) untuk
mencegah relaps ataupun singkat (hingga tercapai perbaikan).
e) Sulfasalazine
Merupakan agen terapi sistemik yang jarang digunakan untuk
tatalaksana psoriasis.
f) Steroid Sistemik
Steroid sistemik tidak rutin dalam tatalaksana psoriasis, karena
risiko kambuh tinggi jika terapi dihentikan. Preparat ini
diindikasikan pada psoriasis persisten yang tidak terkontrol dengan
modalitas terapi lain, bentuk eritroderma, dan psoriasis pustular
(Von Zumbuch).
g) Mikofenolat Mofetil
Merupakan bentuk pro-drug asam miko fenolat, yaitu inhibitor
inosin 5’ monophosphate dehydrogenase. Asam mikofenolat
mendeplesi guanosin limfosit T dan B serta menghambat
proliferasinya, sehingga menekan respons imun dan pembentukan
antibodi.
h) 6-Thioguanin
Merupakan analog purin yang sangat efektif untuk tatalaksana
psoriasis.
i) Hidroksiurea
Hidroksiurea merupakan anti-metabolit yang dapat digunakan
secara tunggal dalam tatalaksana psoriasis, tetapi 50% pasien yang
berespons baik terhadap terapi ini mengalami efek samping supresi
sumsum tulang (berupa leukopenia atau trombositopenia) serta
ulkus kaki.
4) Terapi Kombinasi
Terapi kombinasi dapat meningkatkan efektivitas dan mengurangi
efek samping terapi, serta dapat memberikan perbaikan klinis yang
lebih baik dengan dosis yang lebih rendah. Kombinasi yang biasa
diberikan untuk artritis inflamatorik adalah MTX dan agen anti-TNF,
yang juga dapat diberikan pada psoriasis rekalsitrans.

5) Terapi Biologis
Terapi biologis merupakan modalitas terapi yang bertujuan
memblokade molekul spesifik yang berperan dalam patogenesis
psoriasis. Agen-agen biologis memiliki efektivitas yang setara dengan
MTX dengan risiko hepatotoksisitas yang lebih rendah.

61
Meski demikian, harganya cukup mahal, serta memiliki berbagai
efek samping seperti imunosupresi, reaksi infus, pembentukan
antibodi, serta membutuhkan evaluasi keamanan penggunaan jangka
panjang. Oleh karena itu, terapi ini hanya diindikasikan bila penyakit
tidak berespons atau memiliki kontraindikasi terhadap MTX.
a) Alefacept
b) Efalizumab
c) Antagonis Tumor Necrosis α (TNF α)
d) Anti-interleukin 12/Interleukin 23 P40

g. Komplikasi
Pasien dengan Psoriasis memiliki angka morbiditas dan mortalitas
yang meningkat terhadap gangguan kardiovaskuler terutama ppada pasien
psoriasis berat dan lama. Risiko infark miokard terutama pada pasien
psoriasis muda yang menderita dalam jangka waktu yang panjang. Pasien
juga mempunayai risiko terkena limfoma maligna. Gangguan eosional
dikiuti dengan maslah depresi sehubungan dengan amnifestasi klinis
berdampak terhadap menurunnya harga diri, penolakan sosial, merasa
malu, maslah seksual, dan gangguan kemampuan profesional. Semuanya
diperberat dengan perasaan gatal dan nyeri dan keadaan ini menyebabkan
penurunan kualitas hidup pasien.

h. Prognosis
Psoriasis guttata biasanya akan hilang sendiri (self limited) dalam
12-16 minggu tanpa pengobatan, meskipun pada beberapa pasien menjadi
lesi plakat kronik. Psoriasis tipe plakat kronis berlangsung seumur hidup,
dan interval antar gejala tidak dapat diprediksi. Remisi spontan dapat
terjadi pada 50% pasien dalam waktu yang bervariasi. Eritroderma dan
generalized pustular psoriasis memiliki prognosis yang lebih buruk
dengan kecenderungan menjadi persisten.
ERITRODERMA

a. Definisi
Eritroderma ialah kelainan kulit yang ditandai dengan adanya
eritema universalis ( 90 % -100 % ) , biasanya disertai skuama . Bila
eritemanya antara 50 % -90 % kami menamainya pre-eritroderma.
Pada definisi tersebut yang mutlak harus ada ialah eritema, sedangkan
skuama tidak selalu terdapat, misalnya pada eritroderma karena alergi
obat sistemik, pada mulanya tidak disertai skuama, baru kemudian
pada stadium penyembuhan timbul skuama. Pada eritroderma yang
kronik, eritema tidak begitu jelas, karena bercampur dengan
hiperpigmentasi.

b. Etiologi

1) Alergi obat sistemik


2) Akibat perluasan penyakit kulit
3) Penyakit sistemik termasuk keganasan

c. Epidemiologi

Seperti telah disebutkan jumlah pasien eritro- derma di bagian


kami makin bertambah. Penyebab utama ialah psoriasis yang meluas.
Hal tersebut seiring dengan meningkatnya insidens psoriasis.

d. Patofisiologi
Patofisiologi eritroderma belum jelas dapat diketahui ialah akibat
suatu agent dalam tubuh, maka tubuh bereaksi berupa pelebaran
pembuluh darah kapiler (eritema) yang universal Kemungkinan
pelbagai sitokin berperan.
Eritema berarti terjadi pelebaran pembuluh darah yang
menyebabkan aliran darah ke kulit meningkat sehingga kehilangan
panas bertambah Akibatnya pasien merasa dingin dan menggigil. Pada

63
eritroderma kronis dapat terjadi gagal jantung Juga dapat teradi
hipotermia akibat peningkatan perfusi kulit. Penguapan cairan yang
makin me- ningkat dapat menyebabkan dehidrasi. Bila suhu badan
meningkat, kehilangan panas juga me ningkat. Pengaturan suhu
terganggu. Kehilangan panas menyebabkan hipermetabolisme
kompen- satoar dan peningkatan laju metabolisme basal. Kehilangan
cairan oleh transpirasi meningkat sebanding dengan laju metabolisme
basal.
Kehilangan skuama dapat mencapai 9 gram m2 permukaan kulit
atau lebih per hari sehingga menyebabkan kehilangan protein.
Hipoproteinemia dengan berkurangnya albumin dan peningkatan
relatif globulin tenutama globulin y merupakan kelainan yang khas.
Edema sering terjadi, kemung- kinan disebabkan oleh pergeseran
cairan ke ruang ekstravaskuler
Eritroderma akut dan kronis dapat meng ganggu mitosis rambut
dan kuku, berupa kerontokan rambut difus dan kehilangan kuku. Pada
eritroderma yang telah berlangsung berbulan- bulan dapat terjadi
perburukan keadaan umum yang progresif.

e. Gejala klinis dan diagnosis

1) Eritroderma akibat alergi obat sistemik

Untuk menentukannya diperlukan anamnesis yang teliti.


Pengertian alergi obat secara sisternik ini ialah masuknya obat ke
dalam tubuh dengan berbagai cara, misalnya melalu mulut, hidung,
rektum dan vagina, serta dengan cara suntikan/infus. Selain itu
alergi dapat pula terjadi karena obat mata, obat kumur, tapal gigi
dan melalui kulit sebagai obat luar.

Waktu mulai masuknya obat ke dalam tubuh hingga timbul


penyakit bervariasi dapat segera sampai 2 minggu. Bila ada obat
lebih dari satu yang masuk ke dalam tubuh yang diduga sebagai
penyebabnya ialah obat yang paling sering menimbulkan alergi.

Gambaran kinisnya berupa eritema universal dan skuama akan


timbul di stadium penyembuhan

2) Eritroderma akibat perluasan penyakit kulit

Pada penyakit tersebut yang sering terjadi ialah akibat


psoriasis dapat pula karena dermatitis seboroik pada bayi (penyakit
Leiner), oleh karena itu hanya kedua penyakit tersebut yang akan
dijelaskan.

a) Eritroderma karena psoriasis (psoriasis eritrodermik)

Psoriasis dapat menjadi eritroderma yang disebabkan oleh


penyakitnya sendiri atau karena pengobatan yang terlalu kuat,
misalnya pengobatan topical dengan konsentrasi yang terlalu
tinggi. Pada anamnesis hendaknya ditanyakan, apakah pernah
menderita psoriasis. Penyakit tersebut bersifat menahun dan
residif, kelainan kulit berupa skuama yang berlapis-lapis dan
kasar di atas kulit yang eritematosa dan sirkumskrip.

Umumnya didapati eritema yang tidak merata. Pada tempat


predileksi psoriasis dapat ditemukan kelainan yang lebih
eritematosa dan agak meninggi dari- pada di sekitamya dan
skuama di tempat itu lebih tebal. Kukujuga perlu dilihat, dican
apakah ada pitting nail berupa lekukan miliar, tanda ini hanya
menyokong dan tidak patognomonis untuk psoriasis. Jika ragu-
ragu, pada tempat yang meninggitersebut dilakukan biopsi
untuk pemeriksaan histopatologik. Kadang-kadang biopsi
sekali tidak cukup dan harus dilakukan beberapa kali.

Sebagian para pasien tidak me- nunjukkan kelainan


semacam itu, jadi yang terlihat hanya eritema yang universal

65
dan skuama. Pada pasien demikian kami baru mengetahui
bahwa penyebabnya psoriasis setelah diberi terapi dengan
kortikosteroid. Pada saat eritrodermanya mengurang, maka
mulailah tampak tanda-tanda psoriasis

b) Penyakit Leiner

Sinonim penyakit ini ialah eritroderma deskuamativum.


Etiologinya belum diketahui pasti, tetapi umumnya penyakit ini
disebabkan oleh dermatitis seboroik yang meluas, hampir
selalu terdapat kelainan yang khas untuk dermatitis seboroik.

Usia penderita antara 4 minggu sampai 20 minggu.


Keadaan umumnya baik, biasanya tanpa keluhan. Kelainan
kulit berupa eritema universal disertai skuama yang kasar.

3) Eritroderma akibat penyakit sistemik termasuk keganasan

Berbagai penyakit atau kelainan alat dalam dapat menyebabkan


kelainan kulit berupa eritroderma. Jadi setiap kasus eritroderma
yang tidak termasuk golongan I dan lI harus dicari penyebabnya,
yang berarti harus dipeniksa secara menyeluruh (termasuk peme-
riksaan laboratorium dan sinar-X toraks), apakah ada penyakit pada
alat dalam dan harus dican pula, apakah ada infeksi pada alat
dalam dan infeksi fokal.

Ada kalanya terdapat leukositosis namun tidak ditemukan


penyebabnya, jadi terdapat infeksi bakterial tersembunyi (occult
infection) yang perlu diobati. Termasuk di dalam golongan ini
ialah sindrom Sézary yang akan dibicarakan berikut ini. Ada
pasien-pasien eritroderma yang meskipun telah dicari kausanya
belum juga dapat ditemukan. Mereka hendaknya diobser vasi
kemungkinan kelak akan menjadi limfoma.

Sindrom Sézary
Penyakit ini termasuk limfoma, ada yang berpendapat
merupakan stadium dini mikosis fungoides. Penyebabnya belum
diketahui, diduga berhubungan dengan infeksi virus HTLV-V dan
dimasukkan ke dalam CTCL (Cutaneous T-Cell Lymphoma) .Yang
diserang ialah orang dewasa, mulainya penyakit pada laki-laki rata-
rata berumur 64 tahun sedangkan pada perempuan 53 tahun.

Sindrom ini ditandai dengan eritema ber- warna merah


membara yang universal disertai skuama dan rasa sangat gatal.
Selain itu, terdapat pula infiltrat pada kulit dan edema. Pada seper-
tiga hingga setengah para pasien didapati spleno- megali,
limfadenopati superfisial, alopesia, hiper- pigmentasi,
hiperkeratosis palmaris dan plantaris, serta kuku yang distrofik.

Pada pemeriksaan laboratorium sebagian besar kasus


menunjukkan leukositosis (rata-rata 20.000 / mm ) , 19 % dengan
eosinofilia dan limfo- sitosis. Selain itu, terdapat pula limfosit
atipik yang disebut sel Sézary. Sel ini besarmya 10-20 um,
mempunyai sifat yang khas, inti homogen, lobular dan tak teratur.
Selain terdapat dalam darah, sel tersebut juga terdapat dalam
kelenjar getah bening dan kulit. Biopsi pada kulit juga memberi
kelainan yang agak khas, yakni terdapat infiltrat pada dermis
bagian atas dan terdapatnya sel Sézary.

Disebut sindrom Sézary,jika jumlah sel Sézary yang beredar


1000/mm2 atau lebih atau melebihi 10 % sel - sel yang beredar .
Bila jumlah sel tersebut di bawah 1000/mm2 dinamai sindrom pre-
Sézary

f. Tata laksana

1) Nonmedikamentosa

67
Pada eritroderma golongan 1, obat yang diduga sebagai
penyebab harus segera dihentikan.

2) Medikamentosa

Umumnya pengobatan eritroderma adalah kortikosteroid. Pada


golongan I, yang disebabkan oleh alergi obat secara sistemik, dosis
prednison 4x 10 mg. Penyembuhan terjadi cepat, umumnya dalam
beberapa hari beberapa minggu.

Pada golongan II akibat perluasan penyakt kulit juga diberikan


kortikosteroid. Dosis mula prednison 4x10-15 mg sehari. Jika
beberapa hari tidak tampak perbaikan dosis dapat dinaikkan.
Setelah tampak perbaikan, dosis diturunkan perlahan-lahan. Jika
eritroderma terjad akibat pengobatan dengan ter pada psoriasis.
maka obat tersebut harus dihentikan. Eritroderma karena psoriasis
dapat pula diobati dengan asetretin (lihat pengobatan sistemik
psoriasis). Lama penyembuhan golongan Il ini bervariasi beberapa
minggu hingga beberapa bulan.

Pada pengobatan dengan kortikosteroid jangka lama (long


term), yakni jika melebihi 1 bulan lebih baik digunakan
metilprednisolon daripada prednison dengan dosis ekuivalen
karena efeknya lebih sedikit.

Pengobatan penyakit Leiner dengan kortiko- steroid memberi


hasil yang baik, Dosis prednison 3 x 1-2 mg sehari. Pada sindrom
Sézary peng-obatannya terdiri atas kortikosteroid (prednison 30 mg
sehari) atau metilprednisolon ekuivalen dengan sitostatik, biasanya
digunakan klorambusil dengan dosis 2-6 mg sehari.

Pada eritroderma kronis diberikan pula diet tinggi protein,


karena terlepasnya skuama meng- akibatkan kehilangan protein.
Kelainan kulit perlu pula diolesi emolien untuk mengurangi radiasi
akibat vasodilatasi oleh eritema, misalnya dengan salap lanolin 10
% atau krim urea 10 %

g. Komplikasi Dan Prognosis

Eritroderma yang termasuk golongan I, yakni karena alergi obat


secara sistemik, prognosisnya baik. Penyembuhan golongan ini ialah
yang ter cepat dibandingkan dengan golongan yang lain.

Pada eritroderma yang belum diketahui sebabnya, pengobatan


dengan kortikosteroid hanya mengurangi gejala dan pasien akan
mengalami ketergantungan kortikosteroid (corticosteroid dependence).

Sindrom Sézary prognosisnya buruk, pasien laki-laki umumnya


akan meninggal setelah 5 tahun sedangkan pasien perempuan setelah
10 tahun. Kematian disebabkan oleh infeksi atau penyaki berkembang
menjadi mikosis fungoides.

Eritroderma merupakan penyakit yang serius dan dapat berakibat


fatal bila tidak segera diterapi. Pada penelitian yang dilakukan
Moerbonp di RSUD Moerwardi Surakarta didapatkan jumlah kematian
sebanyak 6 pasien (1,23%), yang disebabkan berturut-turut sepsis 3
pasien, gagal Ginjal kronik 1 pasien, pneumonia 1 pasien dan keto
asidosis diabetik 1 pasien. Berdasarkan kepustakaan angka kematian
pada pasien eritroderma berkisar 18-64%. Sekitar 18-20% kematian
disebabkan faktor yang tidak ada hubunganengan eritroderma.
Gangguan metabolik dapat menyebabkan hipotermia, dekompensasi
kordis, kegagalan sirkulasi perifer, dan tromboflebitis. Gagal jantung,
infeksi saluran nafas (pneumonia) dan Acute Respiratory Distress
Syndrome(ARDS), serta sepsis merupakan penyebab kematian
tersering.

69
DERMATITIS SEBOROIK

a. Definisi
Merupakan kelainan kulit yag didasari oleh faktor konstitusi dan
memiliki predileksi didaerah seboroik. Penyakit ini sering
dihubungkan dengan peningkatan produksi sebum.

b. Etiopatogenesis
Penyebabnya belum diketahui, faktor predisposisinya ialah
kelainan konstitusi berupa status seboroik yang rupanya diturunkan,
bagaimana caranya belum dipastikan. Banyak percobaan telah
dilakukan untuk menghubungkan penyakit ini dengan infeksi oleh
bakteri atau pityrosporum ovale yang merupakan flora normal kulit
manusia. Pertumbuhan P. Ovale yang berlebihan dapat mengakibatkan
reaksi inflamasi,baik akibat produk metabolitnya yang masuk kedalam
epidermis, maupun karena sel jamur itu sendiri, melalui aktiasi sel
limfosit T dan sel langerhans. Status seboroik sering berasosiasi
dengan meningginya suseptibilitas terhadap infeksi piogenik, tetapi
tidak terbukti bahwa mikroorganisme iniah yang menyebabkan
dermatitis seboroik.
Dermatitis seboroik berhubungan erat dengan keaktian glandula
sebasea. Glandula tersebut aktif pada bayi yang baru lahir, kemudian
menjadi tidak aktif selama 9 – 12 tahun akibat stimulasi hormon
androgen dari ibu berhenti. Dermatitis seboroik pada bayi terjadi pada
umur bulan- bulan pertama, kemudian jarang pada usia sebelum akil
balik dan insidensnya mencapai puncaknya pada umur 18- 40 tahun,
kadang- kadang pada umur tua. Dermatitis seboroik lebih sering terjadi
pada pria dibandingkan dengan wanita.
Meskipun kematangan kelenjar sebasea rupanya merupakan faktor
terjadinya dermatitis seboroik, tetapi tidak ada hubungan langsung
secara kuantitatif antara keaktian kelenjar tersebut dengan
suseptibilitas untuk memperoleh dermatitis seboroik. Dapat juga
diakibatkan oleh proliferasi epidermis yang meningkat seperti pada
psoriasis. Pada orang yang telah mempunyai faktor predisposisi,
timbulnya dermatitis seboroik dapat disebabkan oleh faktor kelelahan,
stres emosional, infeksi, atau defisiensi imun.

c. Manifestasi klinis
1) Eritema dan skuama berminyak, agak kekuningan, batas difus.
2) Bentuk ringan : skuama halus- kasar, bercak eritema di kepala,
sering pula disebut pitiriasis sika ( ketombe dan dandruff ).
3) Pitiriasis steatoides : bentuk skuama berminyak.
4) Rambut mudah rontok.
5) Bentuk berat : bercak skuama, berminyak, eksudasi, krusta tebal.
6) Sangat berat : krusta kotor menutupi seluruh kepala, bau tidak
sedap. Pada bayi disebut cradle cap.
7) Daerah predileksi lain : supra- orbita, liang telinga luar, lipatan
nasolabial, sternal, areola mammae, lipatan bawah mammae.
8) Eritroderma, leiner disease.

d. Diagnosis
Ditegakan secara klinis, pemeriksaan penunjang ( histopatologi )
dilakukan bila terdapat diagnosis banding.

e. Terapi
1) Non farmakologi
Hindari obat pemicu dermatitis like lesion, seperti metildopa,
simetidin, neuroleptik, dan stres.
2) Farmakologi
a) Bayi
 Pelepasan skuama dan krusta
Asam salisilat 3- 5% dalam oleum oliarum

71
 Krim/ lotion hidrokortison 1%
 Sampo anti jamur ( imidazol )
 Bila lesi kering
berikan krim kortikosteroid potensi rendah/ sedang 1- 2 kali
perhari setelah mandi.
 Bila lesi basah/ akut
Kompres larutan asam salisilat 1% atau PK 1 : 10. 000 2- 3
kali sehari, selama 1- 2 jam.
Krim kortikosteroid potensi rendah/ sedang 1- 2 kali perhari
setelah mandi.
b) Dewasa
 Sampo selenium sulfida 1- 2,5%, imidazol, atau zinc
piriton.
 Pelepasan skuama dengan krim asam salisilat/
kortikosteroid digunakan pada malam hari.

f. Prognosis

Penyakit ini sukar disembuhkan, meskipun terkontrol pengobatannya.

TINEA CORPORIS

a. Definisi
Tinea corporis merupakan dermatofitosisnpada kulit tubuh yang
tidak berambut(glabrous skin) seperti di daerah muka, leher, badan,
lengan, dan gluteus.

b. Etiologi
Penyebab tersering Tinea Korporis adalah Trichophyton rubrum
dan Trichophyton mentagrophytes.
c. Epidemiologi
Di indonesia, dermatofitosis merupakan 52% dari seluruh
dermatomikosis dan tinea kruris dan tinea korporis merupakan
dermatofitosis terbanyak.17 Insidensi dermatomikosis di berbagai
rumah sakit pendidikan dokter di Indonesia yang menunjukkan angka
persentase terhadap seluruh kasus dermatofitosis bervariasi dari 2,93%
(Semarang) yang terendah sampai 27,6% (Padang) yang tertinggi.
Laki-laki pasca pubertas lebih banyak terkena dibanding wanita,
biasanya mengenai usia 18-25 tahun serta 40-50 tahun.

d. Faktor risiko
Keadaan lembab oleh karena keringat dan obesititas.

e. Patomekanisme
Dermatofit terutama hidup daerah yang mati, lapisan korneum
kulit,rambut dan kuku yang menarik untuk lingkungan yang hangat,
lembab kondusif untuk proliferasi jamur. Jamur dapat melepaskan
keratinase dan enzim lain untuk menyerang lebih dalam stratum
korneum, walaupun biasanya kedalaman infeksi terbtas pada
epidermis. Mereka umumnya tidak menyerang secara mendalam
karena mekanisme pertahanan host spesifik yang dapat termasuk
aktivasi serum fak.inhibitor, komplemen, anleukositpolimorfonuklear.
Setelah masa inkubasi 1-3 minggu,dermatofit menginvasi perifer
dalam pola sentrifuge. Sebagai tanggapan terhdap infeksi, perbatasan
aktif memiliki peningkatan proliferasi sel epidermis dengan skala
yang dihasilkan. Hal ini menyebabkan mekanisme definisi parsial
sehingga terjadi penumpukan kulit yang terinfeksi dan meninggalkan
kulit yang sehat dibagian tengah hingga bagian lesi. Eliminasi
dermatofit oleh sel imunitas.

73
f. Manifestasi klinis
Kelainan yang dilihat dari Tinea korporis dalam klinik merupakan
lesi bulat atau lonjong , berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama,
kadang-kadang dengan vesikel dan papul di tepi. Daerah tengahnya
biasanya lebih tenang, sementara yang di tepi lebih aktif ( tanda
peradangan lebih jelas ) yang sering disebut dengan sentral healing.
Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi-lesi pada
umumnya merupakan bercak – bercak terpisah satu dengan yang lain.
Kelainan kulit dapat pula terlihat sebagai lesi-lesi dengan pinggir yang
polisiklik, karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu. Bentuk
dengan tanda radang yang lebih nyata, lebih sering dilihat pada anak-
anak daripada orang dewasa karena umumnya mereka mendapat
infeksi baru pertama kali.
Pada tinea korporis yang menahun, tanda radang mendadak
biasanya tidak terlihat lagi. Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian
tubuh dan bersama-sama dengan kelainan pada sela paha. Dalam hal
ini disebut tinea corporis et cruris atau sebaliknya tinea cruris et
corporis.

Gambar 29. Manifestasi klinis Tinea Korporis

g. Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan gambaran klinis, hasil pemeriksaan
sediaan langsung yang positif dan biakan. Kadang – kadang diperlukan
pemeriksaan dengan lampu Wood, yang mengeluarkan sinar ultraviolet
dengan gelombang 3650 Ao. Pemeriksaan sediaan langsung dengan
KOH 10-20% bila positif memperlihatkan elemen jamur berupa hifa
panjang dan artrospora. Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan
untuk menyokong pemeriksaan langsung sediaan basah dan untuk
menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan
menanamkan bahan klinis pada media buatan. Yang dianggap paling
baik pada waktu ini adalah medium agar dekstrosa Sabouraud.5
Biakan memberikan hasil lebih cukup lengkap, akan tetapi lebih sulit
dikerjakan, lebih mahal biayanya, hasil diperoleh dalam waktu lebih
lama dan sensitivitasnya kurang (± 60%) bila dibandingkan dengan
cara pemeriksaan sediaan langsung.

h. Tatalaksana
1) Umum :
a) Meningkatkankebersihanbadan
b) Menghindaripakaian yang ketatdantidakmenyerapkeringat
2) Khusus
a) Sistemik
 Antihistamin
 Griseofulvin
Anak-anak : 15-20 mg/kgBB/hari
Dewasa: 500-1000 mg/hr
 Intrakonazol 100 mg/hrselama 2 minggu
 Ketakonazol 200 mg/hr dalam 3 minggu
b) Topikal
 Salepwhitfield
 Campuranasamsalisilat 5%,asam benzoate 10%
danresorsinol 5% dalam spiritus
 Castellani’s paint
 Imidazol
 Ketakonazole

75
 Piroksolaminsiklik

i. Komplikasi dan prognosis


Berat ringan bentuk klinis yang tampak tidak bergantung pada
spesies penyebab akan tetapi lebih banyak oleh tingkat
kebersihan,umur dan ketahanan penderita sendiri.

j. Pencegahan
1) Hindari penggunaan handuk, topi, sikat rambut dan pakaian
bergantian terutama dengan orang yang terinfeksi.
2) Usahakan untuk selalu menjaga kebersihan diri misalnya dengan
mandi dua kali sehari,selalu mengganti pakaian yang terlalu ketat
dan tak menyerap keringat.
3) Hindari garukan pada area yang terinfeksi.
4) Setelah mandi, keringkan kulit dengan baik terutama pada kulit
diselajari, dan pada kulit yang saling bersentuhan (lipatan) seperti
lipatan paha, bawah payudara dan ketiak.
DAFTAR PUSTAKA

Bagian Anatomi FK Unhas. 2015. Anatomi Biomedik I. Makassar: Fakultas


Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Graham R, Tony B. 2004 Lacture Notes Dermatologi Edisi ke 8. Jakarta : Penerbit


Erlangga Medical Series.

Jonatan B. 2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin : Pytiriasis Rosea. Fakultas
Kedokteran Universitas Taruamegara. Jakarta.

Kalangi, Sonny J R. 2013. Histofisiologi Kulit. Jurnal Biomedik (JBM) 5 (3):S12

Lianury, Robby. 2015. Diktat Histologi Biomedik I. Makassar: Fakultas


Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Menaldi, Sri Linuwih SW dkk. 2017. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta:
FK UI.

Mochat, M. dkk. ANGKA KEJADIAN ERITRODERMA DI RSUD DR.


MOEWARDI SURAKARTA PERIODE AGUSTUS 2011 - AGUSTUS
2013. Departement/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK
Universitas Sebelas Maret/ RSUD dr.Moewardi Surakarta.

Tanto, Chris dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I Edisi Ke 4. Jakarta :
Media Aeskulapius.

Wahid S, Miskad UA. 2016. Imunologi Lebih Mudah Dipahami. Surabaya :


Brilian Internasional.

Yuliastuti, Dwinidya. 2015. Psoriasis. Jurnal Cermin Dunia Kedokteran (CDK) :


42( 12) : 901-906.

77
LAPORAN TUTORIAL
MODUL GATAL
BLOK INDERA KHUSUS

KELOMPOK 5

Tutor : dr. Zida Maulina, M. Ked. Trop

Rekha Apriliani K1A1 15 149 Dian Indra Malik K1A1 15 063


Iga Dwi Listya Juniary K1A1 15 150 Murni Safitri. M K1A1 15 030
Muhammad Alfian. R K1A1 15 087 Nining Milasari K1A1 15 031
Muhammad Fauzan Iftihar K1A1 15 088 Ni Putu Cecilia K1A1 15 032
Muhammad Nurjayadin K1A1 15 089 Anisa Nur Afiyah K1A1 15 006
Mujahidah Yunus K1A1 15 090 Auxyline P. Galla K1A1 13 103
Mustaufan Dwi Wibowo K1A1 15 091 Tri Wulandari Iskandar K1A1 13 147

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2018

79

Anda mungkin juga menyukai