Anda di halaman 1dari 25

PENDAHULUAN

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat rahmat dan
karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Kami juga bersyukur atas berkat
rezeki dan kesehatan yang diberikan kepada kami sehingga kami dapat mengumpulkan
bahan – bahan materi makalah ini dari internet. Kami telah berusaha semampu kami untuk
mengumpulkan berbagai macam bahan tentang Askep Kusta.
Kami sadar bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari sempurna, karena itu kami
mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk menyempurnakan makalah ini
menjadi lebih baik lagi. Oleh karena itu kami mohon bantuan dari para pembaca,
Demikianlah makalah ini kami buat, apabila ada kesalahan dalam penulisan, kami mohon
maaf yang sebesarnya dan sebelumnya kami mengucapkan terima kasih.
BAB 1
PENDAHUKUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India kustha, dikenal sejak
1400 tahun sebelum masehi. Kata kusta disebut dalam kitab injil, terjemahan dari bahasa
Hebrew zaraath yang sebenarnya mencakup beberpa penyakit kulit lainya. Ternyata bahwa
berbagai diskripsi mengenai penyakit ini sangat kabur, apabila dibandingkan dengan kusta
yang kita kenal sekarang. (Kosasih dan Sri Linuwih, 2010. )
Nama lain kusta adalah ’the great imitor’[pemalsu yang ulung]karena manifestasi
penyakitnya menyerupai penyakit kulit atau penyakit saraf lain, misalnya penyakit jamur.
Dalam target global WHO pada eradikasi kusta tahun [EKT] 2000 diharapkan prevalensi
penyakit kusta kurang dari 1 per 10.000 penduduk.
(Widoyono. 2011)

1.2 1. TUJUAN UMUM

Mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien dengan Kusta
2. Tujuan Khusus

1. Mahasiswa dapat menjelaskan anatomi kulit


2. Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian Kusta
3. Mahasiswa dapat menjelaskan dan mengetahui Etiologi
4. Mahasiswa dapat menjelaskan dan mengetahui Patofisiologi
5. Mahasiswa dapat menjelaskan dan mengetahui Pathways Keperawatan Pada Kusta
6. Mahasiswa dapat menjelaskan dan mengetahui Manifestasi Klinik
7. Mahasiswa dapat menjelaskan discharge planning kusta
8. Mahasiswa dapat menjelaskan pencegahan kusta
BAB 2

KONSEP TEORI

2.1 ANATOMI KULIT

Kulit merupakan pembatas tubuh dengan lingkungan sekitar karena posisinya yang terletak
di bagian paling luar. Luas kulit dewasa 1,5 m2 dengan berat kira-kira 15% berat badan.

A. Klasifikasi berdasar :

1. Warna :

terang (fair skin), pirang, dan hitam

merah muda : pada telapak kaki dan tangan bayi

hitam kecokelatan : pada genitalia orang dewasa

2. Jenisnya :

Elastis dan longgar : pada palpebra, bibir, dan preputium

Tebal dan tegang : pada telapak kaki dan tangan orang dewasa

Tipis : pada wajah

Lembut : pada leher dan badan

Berambut kasar : pada kepala

B. Anatomi kulit secara histopatologik

1. Lapisan Epidermis (kutikel)

 Stratum Korneum (lapisan tanduk)

lapisan kulit paling luar yang terdiri dari sel gepeng yang mati, tidak berinti,
protoplasmanya berubah menjadi keratin (zat tanduk)

 Stratum Lusidum
terletak di bawah lapisan korneum, lapisan sel gepeng tanpa inti, protoplasmanya
berubah menjadi protein yang disebut eleidin. Lapisan ini lebih jelas tampak pada
telapak tangan dan kaki.

 Stratum Granulosum (lapisan keratohialin)

merupakan 2 atau 3 lapis sel gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar dan terdapat
inti di antaranya. Butir kasar terdiri dari keratohialin. Mukosa biasanya tidak
mempunyai lapisan ini.

 Stratum Spinosum (stratum Malphigi) atau prickle cell layer (lapisan akanta )

Terdiri dari sel yang berbentuk poligonal, protoplasmanya jernih karena banyak
mengandung glikogen, selnya akan semakin gepeng bila semakin dekat ke
permukaan. Di antara stratum spinosum, terdapat jembatan antar sel (intercellular
bridges ) yang terdiri dari protoplasma dan tonofibril atau keratin. Perlekatan antar
jembatan ini membentuk penebalan bulat kecil yang disebut nodulus Bizzozero. Di
antara sel spinosum juga terdapat pula sel Langerhans.

 Stratum Basalis

terdiri dari sel kubus (kolumnar) yang tersusun vertikal pada perbatasan dermo-
epidermal berbaris seperti pagar (palisade). Sel basal bermitosis dan berfungsi
reproduktif.

 Sel kolumnar

protoplasma basofilik inti lonjong besar, di hubungkan oleh jembatan antar sel.

Sel pembentuk melanin (melanosit) atau clear cell => sel berwarna muda,
sitoplasma basofilik dan inti gelap, mengandung pigmen (melanosomes)

2. Lapisan Dermis (korium, kutis vera, true skin )

terdiri dari lapisan elastik dan fibrosa pada dengan elemen-elemen selular dan folikel
rambut. menonjol ke epidermis, berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah. yang
menonjol ke subkutan. Terdiri dari serabut penunjang seperti kolagen, elastin, dan
retikulin. Dasar (matriks) lapisan ini terdiri dari cairan kental asam hialuronat dan
kondroitin sulfat, dibagian ini terdapat pula fibroblas. Serabut kolagen dibentuk oleh
fibroblas, selanjutnya membentuk ikatan (bundel) yang mengandung hidroksiprolin
dan hidroksisilin. Kolagen muda bersifat elastin, seiring bertambahnya usia, menjadi
kurang larut dan makin stabil. Retikulin mirip kolagen muda. Serabut elastin biasanya
bergelombang, berbentuk amorf, dan mudah mengembang serta lebih elastis.

3. Lapisan Subkutis (hipodermis)

lapisan paling dalam, terdiri dari jaringan ikat longgar berisi sel lemak yang bulat,
besar, dengan inti mendesak ke pinggir sitoplasma lemak yang bertambah. Sel ini
berkelompok dan dipisahkan oleh trabekula yang fibrosa. Lapisan sel lemak disebut
dengan panikulus adiposa, berfungsi sebagai cadangan makanan. Di lapisan ini
terdapat saraf tepi, pembuluh darah, dan getah bening. Lapisan lemak berfungsi juga
sebagai bantalan, ketebalannya berbeda pada beberapa kulit. Di kelopak mata dan
penis lebih tipis, di perut lebih tebal (sampai 3 cm).

Vaskularisasi di kuli diatur pleksus superfisialis (terletak di bagian atas dermis) dan
pleksus profunda (terletak di subkutis)

C. Adneksa Kulit

1. Kelenjar Kulit terdapat pada lapisan dermis

 Kelenjar Keringat (glandula sudorifera)

Keringat mengandung air, elektrolit, asam laktat, dan glukosa. pH nya sekitar 4-
6,8.

 Kelenjar Ekrin kecil-kecil, terletak dangkal di dermis dengan secret encer.

Kelenjar Ekrin terbentuk sempurna pada minggu ke 28 kehamilan dan berfungsi


40 minggu setelah kelahiran. Salurannya berbentuk spiral dan bermuara langsung
pada kulit dan terbanyak pada telapak tangan, kaki, dahi, dan aksila. Sekresi
tergantung beberapa faktor dan saraf kolinergik, faktor panas, stress emosional.
 Kelenjar Apokrin lebih besar, terletak lebih dalam, secretnya lebih kental.

Dipengaruhi oleh saraf adrenergik, terdapat di aksila, aerola mammae, pubis,


labia minora, saluran telinga. Fungsinya belum diketahui, waktu lahir ukurannya
kecil, saat dewasa menjadi lebih besar dan mengeluarkan secret

 Kelenjar Palit (glandula sebasea)

Terletak di seluruh permukaan kuli manusia kecuali telapak tangan dan kaki.
Disebut juga dengan kelenjar holokrin karena tidak berlumen dan sekret kelenjar
ini berasal dari dekomposisi sel-sel kelenjar. Kelenjar palit biasanya terdapat di
samping akar rambut dan muaranya terdapat pada lumen akar rambut (folikel
rambut). Sebum mengandung trigliserida, asam lemak bebas, skualen, wax ester,
dan kolesterol. Sekresi dipengaruhi oleh hormon androgen. Pada anak-anak,
jumlahnya sedikit. Pada dewasa menjadi lebih banyak dan berfungsi secara aktif.

2. Kuku

bagian terminal lapisan tanduk (stratum korneum) yang menebal. Pertumbuhannya


1mm per minggu. kuku yang tertanam dalam kulit jari kuku yang terbuka/ bebas.
kuku yang mencekung membentuk alur kuku menutup kuku di bagian proksimal
bagian kuku yang bebas

3. Rambut

 Akar rambut : bagian yang terbenam dalam kulit


 Batang rambut : bagian yang berada di luar kulit
A. Jenis rambut
 Lanugo rambut halus pada bayi, tidak mengandung pigmen.
 Rambut terminal rambut yang lebih kasar dengan banyak pigmen,
mempunyai medula, terdapat pada orang dewasa.

Pada dewasa, selain di kepala, terdapat juga bulu mata, rambut ketiak, rambut
kemaluan, kumis, janggut yang pertumbuhannya dipengaruhi oleh androgen
(hormon seks). Rambut halus di dahi dan badan lain disebut rambut velus.
Rambut tumbuh secara siklik, fase anagen (pertumbuhan) b erlangsung 2-6
tahun dengan kecepatan tumbuh 0,35 mm perhari. Fase telogen (istirahat)
berlangsung beberapa bulan. D antara kedua fase tersebut terdapat fase
katagen (involusi temporer). Pada suatu saat 85% rambut mengalami fase
anagen dan 15 % sisanya dalam fase telogen.

Rambut normal dan sehat berkilat, elastis, tidak mudah patah, dan elastis.
Rambut mudah dibentuk dengan memperngaruhi gugusan disulfida misalnya
dengan panas atau bahan kimia.

D. Fungsi kulit

1. Fungsi Proteksi

Kulit punya bantalan lemak, ketebalan, serabut jaringan penunjang yang dapat
melindungi tubuh dari gangguan :

 fisis/ mekanis : tekanan, gesekan, tarikan.


 kimiawi : iritan seperti lisol, karbil, asam, alkali kuat
 panas : radiasi, sengatan sinar UV
 infeksi luar : bakteri, jamur

Beberapa macam perlindungan :

 Melanosit lindungi kulit dari pajanan sinar matahari dengan mengadakan tanning
(penggelapan kulit)
 Stratum korneum impermeable terhadap berbagai zat kimia dan air.
 Keasaman kulit kerna ekskresi keringat dan sebum perlindungan kimiawo
terhadap infeksi bakteri maupun jamur
 Proses keratinisasi sebagai sawar (barrier) mekanis karena sel mati melepaskan
diri secara teratur.

2. Fungsi Absorpsi
permeabilitas kulit terhadap O2, CO2, dan uap air memungkinkan kulit ikut
mengambil fungsi respirasi. Kemampuan absorbsinya bergantung pada ketebalan kulit,
hidrasi, kelembaban, metabolisme, dan jenis vehikulum. PEnyerapan dapat melalui
celah antar sel, menembus sel epidermis, melalui muara saluran kelenjar.

3. Fungsi Ekskresi

mengeluarkan zat yang tidak berguna bagi tubuh seperti NaCl, urea, asam urat, dan
amonia. Pada fetus, kelenjar lemak dengan bantuan hormon androgen dari ibunya
memproduksi sebum untuk melindungi kulitnya dari cairan amnion, pada waktu lahir
ditemui sebagai Vernix Caseosa.

4. Fungsi Persepsi

kulit mengandung ujung saraf sensori di dermis dan subkutis. Saraf sensori lebih
banyak jumlahnya pada daerah yang erotik. subkutis peka rangsangan panas
rangsangan dingin dermis peka rangsangan rabaan

 Badan Merkel Ranvier di epidermis peka rangsangan rabaan


 Badan Paccini di epidemis peka rangsangan tekanan

5. Fungsi Pengaturan Suhu Tubuh (termoregulasi)

dengan cara mengeluarkan keringat dan mengerutkan (otot berkontraksi) pembuluh


darah kulit. Kulit kaya pembuluh darah sehingga mendapat nutrisi yang baik. Tonus
vaskuler dipengaruhi oleh saraf simpatis (asetilkolin). Pada bayi, dinding pembuluh
darah belum sempurna sehingga terjadi ekstravasasi cairan dan membuat kulit bayi
terlihat lebih edematosa (banyak mengandung air dan Na)

6. Fungsi Pembentukan Pigmen

karena terdapat melanosit (sel pembentuk pigmen) yang terdiri dari butiran pigmen
(melanosomes)

7. Fungsi Keratinisasi
Keratinosit dimulai dari sel basal yang mengadakan pembelahan, sel basal yang lain
akan berpindah ke atas dan berubah bentuknya menjadi sel spinosum, makin ke atas
sel makin menjadi gepeng dan bergranula menjadi sel granulosum. Makin lama inti
makin menghilang dan keratinosit menjadi sel tanduk yang amorf. Proses ini
berlangsung 14-21 hari dan memberi perlindungan kulit terhadap infeksi secara
mekanis fisiologik.

8. Fungsi Pembentukan Vitamin D

kulit mengubah 7 dihidroksi kolesterol dengan pertolongan sinar matahari. Tapi


kebutuhan vit D tubuh tidak hanya cukup dari hal tersebut. Pemberian vit D sistemik
masih tetap diperlukan.

2.2. Defenisi

Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialahMycobacterium


Leprae yang bersifat intraselular obligat. (Kosasih dan Sri Linuwih 2010).

Saraf parifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan ukosa traktus respiratorius bagian atas,
kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. (Amin dan Hardhi 2013).

Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang masih merupakan Masalah yang
sangat kompleks.masalah yang ada bukan saja dari segi medisnya ,tetapi juga masalah sosial
,ekonomi,budaya ,serta keamanan dan ketahanan nasional . (Widoyono. 2011).

2.3. Etiologi

Kuman penyebab adalah Myicobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A. HANSEN pada
tahun 1874 di Nerwegia, yang sampe sekarang belum juga dapat dibiakan dalam media
artifisial. M. Leprae berbentuk kuman dengan ukuran 3 – 8 µm x 0,5 µm, tahan asam dan
alkohol serta positif-Gram. (Kosasih dan Sri Linuwih 2010. )
Kusta tampil dalam dua jenis bentuk klinis utama, yaitu kusta bentuk kering atau
tuberkuloid, dan kusta bentuk basah, disebut juga kusta lepromatosa. Bentuk ketiga yaitu
bentuk peralihan (borederline). (Amin dan Hardhi 2013).

 Kusta bentuk kering : tidak mnular, kelainan kulit berupa bercak keputihan sebesar uang
logam atau lebih besar, sering timbul dipipi, punggung, pantat, paha, atau lengan. Bercak
tampak kering, kulit kehilangan daya rasa sama sekali.
 Kusta bentuk basah : bentuk menular karena kumamnya banyak terdapat diselaput lendir
hidung, kulit dan organ tubuh lainnya, dapat berupa bercak kemerahan, kecil – kecil
tersebar diseluruh tubuh atau berupa penebalan kulit yang luas sebagai infiltrate yang
tampak mengkilap dan berminyak, dapat berupa benjolan merah sebesar biji jagung yang
tersebar dibadan, muka dan daun telingga. Disertai rontoknya alis mata, menebalnya daun
telingga.
 Kusta tipe peralihan : merupakan peralihan antara kedua ttipe utama. Pengobatan tipe ini
dimaksukkan kedalam jenis kusta basah. (Amin dan Hardhi, 2013)

2.4. Patofisiologi

M. Leprae adalah organisme tahan asam intrasel yang sangat sulit tumbuh dalam biakan,
tetapi dapat ditumbuhkan dalam almadilo (trenggileng), kuman ini tumbuh lebih lambat dari
pada mikobakterium lain dan tumbuh paling subur pada suhu 320C sampai 340C, yakni
suhu kulit manusia dan suhu tubuh inti armadilo, seperti M. Tuberkulosis M. Leprae tidak
mengeluarkan toksin, dan virulensinya didasarkan pada sifat dinding selnya. Dinding selnya
cukup mirip dengan dinding M. Tuberkulosis sehingga imunisasi dengan basil Calnette –
guerin sedikit banyak memberi perlindungan terhadap infeksi M. Leprae. Imunitas seluler
tercermin oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap penyuntikan ekstrak bakteri yang
disebut lepromin kedalam dermis.

Pada sebagian kasus, terbentuk antibodi terhadap respon antigen M. Leprae. Antibodi ini
biasanya tidak bersifat protektif, tetapi dapat membentuk kompleks imun dengan gen
antigen bebas yang dapat menyebabkan eritema nodosem, vaskulitis dan glomerulonefritis.
(Robbins dan Cotran. 2009).
Kusta tuberkuloid berawal dari lesi lokal yang mula – mula datar dan merah, tetapi
kemudian membesar dan membentuk ireguler disertai indurasi, peninggian, tepi
hiperpigmentasi dan bagian tengah yang pucat dan cekung (penyembuhan disentral).
Kelainan saraf mendominasi gambaran kusta tuberkuloid. Saraf terbungkus oleh reaksi
peradangan granulomatosa dan, jika cukup kecil (misalnya cabang perifer), akan mengalami
kerusakan. Degenerasi saraf menyebabkan anastesi kulit serta atrofi kulit dan otot
menyebabkan pasien mudah mengalami trauma di bagian yang terkena, disertai kulit
pembentukan ulkus kulit indolen. Dapat terjadi kontraktur, paralisis dan autoamputasi jari
tangan atau kaki. Kelainan saraf wajah dapat menyebabkan paralisis kelopak mata, disertai
keratitis dan ulkus kornea. Pada pemeriksaan mikroskopik, semua lesi memperlihatkan lesi
granulotoma mirip dengan lesi yang ditemukan pada tuberkulosis, dan basil hampir tidak
pernah ditemukan. Adanya granuloma dan ketiadaan bakteri mencerminkan imunitas sel T
yang kuat. Karena kusta memperlihatkan perjalanan penyakit yang sangat lambat, hingga
berpuluh – puluh tahun, sebagian besar pasien meninggal bersama kusta dan bukan
disebabkan olehnya.

Kusta lepramatosa mengenai kulit, saraf perifer, kamera anterior mata, saluran napas atas
(hingga laring), testis, tangan dan kaki. Organ vital dan susunan saraf pusat jarang terkena,
mungkin karena suhu inti tubuh terlalu tinggi untuk tumbuhnya M.leprae. lesi lepramatosa
mengandung agregat magrofat penuh lemak (sel kusta), yang sering terisi oleh masa basil
tahan asam. Kegagalan menahan infeksi membentuk granuloma memcerminkan rendahnya
respon TH1. Terbentuk lesi makuler, papular, noduler diwajah, telingga, pergelangan
tangan, siku dan lutut. Seiring dengan perkembangan penyakit, lesi nodular menyatu untuk
menimbulkan fasies leonina (“muka singa”) yang khas.sebagian besar lesi kulit hipoestetik
atau anestetik. Lesi dihidung dapat menyebabkan peradangan persisten dan pembentukan
duh yang penuh basil. Saraf perifer, terutama nervus ulnaris dan pereneus dibagian yang
dekat kulit, diserang mikobakteri disertai reaksi peradangan minimal. Hilangnya sensibilitas
dan kelainan – kelainan trofik ditangan dan kaki mengikuti lesi saraf. Kelenjar limfe
memperlihatkan agregat magrofag berbusa didaerah parakorteks (sel T), disertai pembesaran
sentrum germinativum, pada penyakit tahap lanjut, agregat magrofag juga terbentuk di pulpa
merah limpa dan hati. Testis biasanya banyak mengandung basil, disertai dektruksi tubulus
seminiferus dan sterilitas. (Robbins dan Cotran. 2009).
pathways Keperawatan ( NANDA NIC NOC 2015)

Mikrobakterium
leprae M. Sensabilitas 1
Resiko trauma
tuberkoloid

Menyerang kulit Menyerang saraf tepi neuritis


dan saraf tepi
sensorik dan motorik

Macula, nodula, Menyerang saraf


papula ulkus ulnaris,nervus
popliteus,nervus
aurikularis,nervus
radialis

Kulit terlihat rusak Keganasan cancer


epidemoid
Kelumpuhan otot

malu
metatase
Kontraktor otot dan
sendi
Inefektif koping
individu

Gangguan aktivitas
Gangguan citra
Amputasi
trubuh

Hambatan mobilitas
fisik
Infeksi bakteri

Resti infeksi

Gangguan rasa Perubahan aktivitas


nyaman resti cidera
Hambatan mobilitas
fisik

2.5 KLASIFIKASI

2.6 KLASIFIKASI

1. Tipe Tuberkuloid (TT)

Lesi ini mengenai baik kulit maupun syaraf, jumlah lesi bisa satu atau beberapa, dapat
berupa makula atau plakat yang berbatas jelas dan pada bagian tengah dapat
ditemukan lesi yang regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan
tepi yang meninggi, bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata.
Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan
sedikit rasa gatal. Tidak adanya kuman merupakan tanda terdapatnya respon imun
pejamu yang adekuat terhadap kuman kusta.

2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)

Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plakat yang sering
disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran
hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe TT. Adanya gangguan
saraf tidak seberat tipe TT dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan
terletak dekat saraf perifer yang menebal.

3. Tipe Mid Borderline (BB)

Merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga sebagai bentuk dismorfik dan
jarang dijumpai. Lesi sangat bervariasi, dapat berbentuk makula infiltratif, permukaan
lesi dapat mengkilap dan batas lesi kurang jelas. Ciri khasnya adalah lesi punched out,
yaitu, suatu lesi hipopigmentasi dengan bagian tengah oval dan berbatas jelas.

4. Tipe Borderline Lepromatosus (BL)


Secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dan dengan cepat menyebar
ke seluruh badan. Walaupun masih kecil, papul dan nodul lebih tegas dengan distribusi
lesi yang hampir simetris dan beberapa nodul nampaknya melekuk pada bagian
tengah. Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan infiltrasi di pinggir dan
beberapa tampak seperti punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf lebih cepat muncul
dibandingkan dengan tipe LL.

5. Tipe Lepromatous Leprosy

Jumlah lesi pada tipe ini sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematus,
berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan
anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di daerah wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu,
cuping telinga; sedangkan di badan mengenai bagian badan yang dingin, seperti
lengan, punggung tangan, dan ekstensor tungkai. Pada stadium lanjut, tampak
penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, facies leonina, madarosis,
iritis, keratitis, deformitas pada hidung, pembesaran kelenjar limfe, dan orkitis yang
selanjutnya dapat menjadi atrofi testis.Kerusakan saraf yang luas menyebabkan
gejala stocking and glove anesthesia dan pada stadium lanjut serabut-serabut saraf
perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anastesi dan
pengecilan otot tangan dan kaki.

2.5 Manifestasi klinis ( NANDA NIC NOC )

1. Macula hipopigmentasi
2. Hiperpegmentasi
3. Eritematosa
4. Gejala kerusakan saraf ( sensorik, motorik, autonom )
5. Kerusakan jaringan (kulit, mukosa traktus respiataorius atas tulang-tulang jari dan wajah
)
6. Kulit kering dan alopesia

2.4 komplikasi

2.6 Pemeriksaan penunjang (NANDA NIC NOC)


1. Test sensibilitas pada kulit yang mengalami kelainan
2. Laboraturium ; basil tahan asam. Diagnose pasti apabila adanya mati rasa dan kuman
tahan asam pada kulit yang (+) ( positif)
3. Pengobatan kusta / lepra lamanya pengobatan tergantung dari berbagai jenis kusta
lepromatus pengobatan minimal 10 tahun, obat yang diberikan dapsone (DSS) (Dosis 2 x
seminggu )

2.7 Masalah yang lazim muncul (NANDA NIC NOC)

1. Hipertermia b.d adanya infeksi


2. Harga diri rendah situasional
3. Gangguan citra tubuh b.d perubahan citra tubuh terhadap lesi pada kulit
4. Hambatan mobilitas fisik b.d kontraktor otot dan kaku sendi
5. Resiko infeksi b.d ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer kerusakan integritas kulit
6. Defisiensi pengetahuan tentang penyakit, penyebab infeksi, tindakan dan pencegahan
7. Resiko trauma b.d peningkatan resiko cidera jaringan karena neuritis
8. Resiko cidera b.d kerusakan integritas kulit, luekositosis kulit

2.7 Discharge planning ( NANDA NIC NOC )

1. Biasakan hidup bersih dan cuci tangan sebelum melakukan aktivitas dan sesudah
melakuka aktivitas
2. Makan makanan yang bergizi seimbang
3. Hindari penularan melalui penggunaan handuk pisau cukur secara bersamaan
4. Kenali dan kendalikan stress emosional yang dapat memicu terjadinya masalah kulit
5. Menghilangkan sumber penularan yaitu dengan mengobati semua penderita

2.8. Pencegahan

Pencegahan kusta

1. Pencegahan primer

Pencegahan primer dapat dilakukan dengan :


a. Penyuluhan kesehatan

Pencegahan primer dilakukan pada kelompok orang sehat yang belum terkena
penyakit kusta dan memiliki resiko tertular karena berada disekitar atau dekat dengan
penderita seperti keluarga penderita dan tetangga penderita, yaitu dengan memberikan
penyuluhan tentang kusta. Penyuluhan yang diberikan petugas kesehatan tentang
penyakit kusta adalah proses peningkatan pengetahuan, kemauan dan kemampuan
masyarakat yang belum menderita sakit sehingga dapat memelihara, meningkatkan
dan melindungi kesehatannya dari penyakit kusta. Sasaran penyuluhan penyakit kusta
adalah keluarga penderita, tetangga penderita dan masyarakat (Depkes RI, 2006)

b. Pemberian imunisasi

Sampai saat ini belum ditemukan upaya pencegahan primer penyakit kusta seperti
pemberian imunisasi (Saisohar,1994). Dari hasil penelitian di Malawi tahun 1996
didapatkan bahwa pemberian vaksinasi BCG satu kali dapat memberikan
perlindungan terhadap kusta sebesar 50%, sedangkan pemberian dua kali dapat
memberikan perlindungan terhadap kusta sebanyak 80%, namun demikian penemuan
ini belum menjadi kebijakan program di Indonesia karena penelitian beberapa negara
memberikan hasil berbeda pemberian vaksinasi BCG tersebut (Depkes RI, 2006).

2. Pencegahan sekunder

Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan :

Pengobatan pada penderita kusta untuk memutuskan mata rantai penularan,


menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya cacat atau mencegah
bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan. Pemberian Multi drug
therapy pada penderita kusta terutama pada tipeMultibaciler karena tipe tersebut
merupakan sumber kuman menularkan kepada orang lain (Depkes RI, 2006).

3. Pencegahan tertier

a. Pencegahan cacat kusta


Pencegahan tersier dilakukan untuk pencegahan cacat kusta pada penderita.Upaya
pencegahan cacat terdiri atas (Depkes RI, 2006) :

1. Upaya pencegahan cacat primer meliputi penemuan dini penderita sebelum cacat,
pengobatan secara teratur dan penangan reaksi untuk mencegah terjadinya
kerusakan fungsi saraf.
2. Upaya pencegahan cacat sekunder meliputi perawatan diri sendiri untuk mencegah
luka dan perawatan mata, tangan, atau kaki yang sudah mengalami gangguan fungsi
saraf.

b. Rehabilitasi kusta

Rehabilitasi merupakan proses pemulihan untuk memperoleh fungsi penyesuaian diri


secara maksimal atas usaha untuk mempersiapkan penderita cacat secara fisik, mental,
sosial dan kekaryaan untuk suatu kehidupan yang penuh sesuai dengan kemampuan
yang ada padanya. Tujuan rehabilitasi adalah penyandang cacat secara umum dapat
dikondisikan sehingga memperoleh kesetaraan, kesempatan dan integrasi sosial dalam
masyarakat yang akhirnya mempunyai kualitas hidup yang lebih baik (Depkes RI,
2006). Rehabilitasi terhadap penderita kusta meliputi :

1) Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah


terjadinya kontraktur.
2) Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak
mendapat tekanan yang berlebihan.
3) Bedah plastik untuk mengurangi perluasan infeksi.
4) Terapi okupsi (kegiatan hidup sehari-hari) dilakukan bila gerakan normal
terbatas pada tangan.
5) Konseling dilakukan untuk mengurangi depresi pada penderita cacat.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

SECARA TEORITIS

1. PENGKAJIAN

a. BIODATA

Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-anak dan dewasa
pemberian dosis obatnya berbeda.

Pekerjaan, alamat menentukan tingkat sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan.
Karena pada kenyataannya bahwa sebagian besar penderita kusta adalah dari golongan
ekonomi lemah.

b. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya lesi dapat
tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-kadang gangguan keadaan
umum penderita (demam ringan) dan adanya komplikasi pada organ tubuh

c. RIWAYAT KESEHATAN MASA LALU

Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam kondisi lemah,
kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi.

d. RIWAYAT KESEHATAN KELUARGA

Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang disebabkan oleh kuman
kusta ( mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah
satu anggota keluarga yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular.

e. RIWAYAT PSIKOSOSIAL

Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar masyarakat akan
beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan, sehingga klien akan
menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami gangguan jiwa pada konsep diri
karena penurunan fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita.
f. POLA AKTIVITAS SEHARI-HARI

Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan kaki maupun
kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang lain dalam perawatan diri
karena kondisinya yang tidak memungkinkan

g. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada tipe I,
reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan saraf tepi
motorik.

Sistem penglihatan. Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi
sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi
motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta. Pada
morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-organ tubuh akan
mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka
alis mata akan rontok.

Sistem pernafasan. Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat
gangguan pada tenggorokan.

Sistem persarafan:

a. Kerusakan fungsi sensorik

Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa. Alibat kurang/
mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea mata
mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip.

b. Kerusakan fungsi motorik

Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-lama ototnya
mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok
dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila terjadi pada mata akan
mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos).
c. Kerusakan fungsi otonom

Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah
sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah.

Sistem muskuloskeletal. Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan
atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.

Sistem integumen. Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak


eritem (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada
kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan
gangguan sirkulasi darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah.
Rambut: sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.

2. DIAGNOSA

1) Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi
2) Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan
3) Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik
4) Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan
kehilangan fungsi tubuh

3. INTERVENSI

 Diagnosa 1
 Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan
berangsur-angsur sembuh.
 Kriteria :
1) Menunjukkan regenerasi jaringan
2) Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi
 Intervensi:

1. Kaji/ catat warna lesi,perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi sekitar luka

Rasional:Memberikan inflamasi dasar tentang terjadi proses inflamasi dan atau


mengenai sirkulasi daerah yang terdapat lesi.
2. Berikan perawatan khusus pada daerah yang terjadi inflamasi

Rasional:menurunkan terjadinya penyebaran inflamasi pada jaringan sekitar.

3. Evaluasi warna lesi dan jaringan yang terjadi inflamasi perhatikan adakah penyebaran
pada jaringan sekitar

Rasional :Mengevaluasi perkembangan lesi dan inflamasi dan mengidentifikasi


terjadinya komplikasi.

4. Bersihan lesi dengan sabun pada waktu direndam

Rasional:Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan khusus untuk mempertahankan


kebersihan lesi

5. Istirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan

Rasional:Tekanan pada lesi bisa maenghambat proses penyembuhan

 Diagnosa 2
 Tujuan:setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan berangsur-
angsur hilang
 Kriteria:setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi dapat berkurang dan
nyeri berkurang dan beraangsur-angsur hilang
 Intervensi:

1. Observasi lokasi, intensitas dan penjalaran nyeri

Rasional:Memberikan informasi untuk membantu dalam memberikan intervensi.

2. Observasi tanda-tanda vital

Rasional:Untuk mengetahui perkembangan atau keadaan pasien

3. Ajarkan dan anjurkan melakukan tehnik distraksi dan relaksasi

Rasional:Dapat mengurangi rasa nyeri

4. Atur posisi senyaman mungkin


Rasional:Posisi yang nyaman dapat menurunkan rasa nyeri

5. kolaborasi untuk pemberian analgesik sesuai indikasi

Rasional:menghilangkan rasa nyeri

 Diagnosa 3
 Tujuan:Setelah dilakukan tindakan keperawatan kelemahan fisik dapat teratasi dan
aktivitas dapat dilakukan
 Kriteria:

1) Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari

2) Kekuatan otot penuh

 Intervensi:

1. Pertahankan posisi tubuh yang nyaman

Rasional: meningkatkan posisi fungsional pada ekstremitas

2. Perhatikan sirkulasi, gerakan, kepekaan pada kulit

Rasional: oedema dapat mempengaruhi sirkulasi pada ekstremitas

3. Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, diawali dengan pasif kemudian aktif

Rasional: mencegah secara progresif mengencangkan jaringan, meningkatkan


pemeliharaan fungsi otot/ sendi

4. Jadwalkan pengobatan dan aktifitas perawatan untuk memberikan periode istirahat

Rasional: meningkatkan kekuatan dan toleransi pasien terhadap aktifitas

5. Dorong dukungan dan bantuan keluaraga/ orang yang terdekat pada latihan

Rasional: menampilkan keluarga / oarng terdekat untuk aktif dalam perawatan pasien
dan memberikan terapi lebih konstan

 Diagnosa 4
 Tujuan:setelah dilakukan tindakan keperawatan tubuh dapat berfungsi secara optimal
dan konsep diri meningkat
 Kriteria:

1) Pasien menyatakan penerimaan situasi diri

2) Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negative

 Intervensi

1. Kaji makna perubahan pada pasien

Rasional: episode traumatik mengakibatkan perubahan tiba-tiba. Ini memerlukan


dukungan dalam perbaikan optimal

2. Terima dan akui ekspresi frustasi, ketergantungan dan kemarahan. Perhatikan perilaku
menarik diri.

Rasional: penerimaan perasaan sebagai respon normal terhadap apa yang terjadi
membantu perbaikan

3. Berikan harapan dalam parameter situasi individu, jangan memberikan


kenyakinanyang salah

Rasional: meningkatkan perilaku positif dan memberikan kesempatan untuk menyusun


tujuan dan rencana untuk masa depan berdasarkan realitas

4. Berikan penguatan positif

Rasional: kata-kata penguatan dapat mendukung terjadinya perilaku koping positif

5. Berikan kelompok pendukung untuk orang terdekat

Rasional: meningkatkan ventilasi perasaan dan memungkinkan respon yang lebih


membantu pasien
4. Implementasi

Pada tahap ini pengolahan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada
tahap perawatan yang telah ditentukan dengan tujuan untuk memenuhi secara optimal.

5. Evaluasi

Adalah langkah terakhir dalam proses keperawatan yaitu kegiatan yang disengaja dan terus
menerus melibatkan Kx, perawat dan anggota kesehatan lain. Tujuan evaluasi yaitu untuk
menilai apakah tujuan dalam rencana tindakan keperawatan tercapai atau tidak atau bahkan
timbul masalah baru serta untuk melaksanakan pengkajian ulang.

DAFTAR PUSTAKA

Kosasih. I made Wisnu. Emmy S Sjamsoe – Daili dan Sri Linuwih Menaldi. 2010. Ilmu
Penyakit Kulit Dan Kelamin Ed. 6. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Mansjoer, Arif. Dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Ed. 3. Media Aesculapius. Jakarta.
Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan NANDA NIC NOC. Jil 2. Ed. Revisi. Media Action Publishing.
Yogyakarta.
Rahariyani, Loelfia Dwi. 2009. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Integumen. EGC. Jakarta.
Robbins dan Cotran. 2009. Dasar Patalogis Penyakit. Ed. 7. EGC. Jakarta.
Widoyono. 2011. Penyakit Tropis Epidemiologi , Penularan , pencegahan, dan
Pemberantasannya. Ed. 2. Erlangga. Semarang.

24

Anda mungkin juga menyukai