Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN

DERMATITIS KONTAK ALERGI

DISUSUN OLEH :
NAMA : DEVI YULIA PRAMAE SELLA
NPM : 19.0601.0030
PRODI : D3 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG
2021
A. DEFINISI GANGGUAN
Dermatitis kontak merupakan istilah umum pada reaksi inflamasi akut atau
kronis dari suatu zat yang bersentuhan dengan kulit. Ada dua jenis dermatitis kontak.
Pertama, dermatitis kontak iritan (DKI) disebabkan oleh iritasi kimia, dermatitis
kontak alergi (DKA) disebabkan oleh antigen (alergen) dimana memunculkan reaksi
hipersensitivitas tipe IV (cell-mediated atau tipe lambat). Karena DKI bersifat toksik,
maka reaksi inflamasi hanya terbatas pada daerah paparan, batasnya tegas dan tidak
pernah menyebar. Sedangkan DKA adalah reaksi imun yang cenderung melibatkan
kulit di sekitarnya (spreading phenomenon) dan bahkan dapat menyebar di luar area
yang terkena. Pada DKA dapat terjadi penyebaran yang menyeluruh. (Tersinanda &
Rusyati, 2013)
Dermatitis kontak alergi tidak berhubungan dengan atopi. DKA merupakan
reaksi hipersensitivitas tipe lambat, atau reaksi imunologi tipe IV, dimediasi terutama
oleh limfosit yang sebelumnya tersensitisasi, yang menyebabkan peradangan dan
edema pada kulit. (Tersinanda & Rusyati, 2013)

B. ANATOMI FISIOLOGI
Kulit
1. Anatomi Kulit
Kulit adalah bagian terluar dari tubuh manusia yang berfungsi membatasi tubuh
manusia dengan lingkungan luar dan mencegah masuknya substansi yang berbahaya
misalkan virus ataupun bakteri. (Purwanto, 2018)
Kulit dibagi menjadi tiga lapisan utama yaitu
a. Epidermis
Epidermis dibagi menjadi empat lapisan :
- Lapisan basal atau stratum germinativium
Lapisan basal merupakan lapisan paling bawah dari epidermis dan berbatas
dengan dermis. Dalam lapisan basal terdapat juga melanosit yaitu sel dendritik
yang membentuk melanin. Melanosit berasal dari bagian neural embrio,
berfungsi melindungi kulit terhadap sinar matahari.
- Lapisan malpighi atau stratum spinosum
Lapisan malighi merupakan lapisan epidermis yang paling tebal dan kuat.
Terdiri dari sel-sel poligonal yang dilapisan atas menjadi lebih gepeng. Sel-sel
mempunyai protoplasma yang menonjol yang terlihat seperti duri-duri.
- Lapisan granular atau stratum granulosum
Lapisan granular terdiri dari satu sampai empat baris selsel berbentuk iritan,
berisi butir-butir (granul) keratohialin yang basofilik.
- Lapisan tanduk atau stratum korneum Lapisan tanduk terdiri dari 20-25 lapis
sel-sel tanduk tanpa inti, gepeng, tipis dan mati.
b. dermis
Dermis atau korium merupakan lapisan di bawah epidermis dan diatas
jaringan subkutan. Dermis terdiri dari jaringan ikat yang dilapisan atas terjalin
rapat (pars papillaris), sedangkan di bagian bawah terjalin lebih longgar (pars
reticularis). Lapisan pars reticularis mengandung pembuluh darah, saraf, rambut,
kelenjar keringat dan kelenjar sebaseus
c. Jaringan subkutan
Jaringan Subkutan merupakan lapisan yang langsung di bawah dermis.
Batas antara jaringan subkutan dan dermis tidak tegas. Sel-sel yang terbanyak
adalah liposit yang menghasilkan banyak lemak
Bagian terluar dari kulit adalah epidermis, dimana epidermis tersusun atas keratinosit
aktif yang terlapisi oleh lapisan keratin, stratum corneum. Sedangkan dermis berada
dibawah lapisan epidermis yang tersusun atas liposit lobul dan protein kolagen
berstruktur fibrilar, dermis dibatasi oleh kolagen septae yang tersusun oleh kumpulan
neurovascular. Sedangkan subkutan merupakan kelanjutan dari dermis terdiri atas
jaringan ikat berisi sel-sel lemak.
Pada kulit juga terdapat adneksa kulit yang terdiri dari kelenjar kulit dimana kelenjar
kulit dapat dibagi menjadi dua yaitu glandula sebasea dan glandula sudorifera
(kelenjar keringat).
2. Fisiologi Kulit
Secara anatomi kulit terdapat pada bagian terluar tubuh manusia, hal ini sangat
berhubungan dengan fungsinya sebagai proteksi tubuh terhadap lingkungan luar. Hal
ini dapat terjadi karena terdapat bantalan lemak dan serabut-serabut jaringan
penunjang yang dapat melindungi dari gangguan fisis, contoh tarikan tekanan atau
gesekan. Dengan struktur stratum korneum yang impermeable terhadap bahan-bahan
kimia mampu memberikan perlindungan kepada tubuh dari gangguan kimia terutama
yang bersifat iritan seperti asam, karbol dan alkali kuat.
Fungsi lainnya dari kulit selain untuk proteksi tubuh tapi juga untuk absorpsi. Pada
kulit normal tidak mudah untuk menyerap air, larutan dan benda padat. Selain itu
kulit juga mampu berfungsi sebagai organ ekskresi yaitu mengeluarkan zat-zat yang
tidak berguna ataupun sisa-sisa metabolisme dalam tubuh berupa NaCl, urea, asam
urat dan amonia.

C. ETIOLOGI
Dermatitis kontak alergi disebabkan karena kulit terpapar oleh bahan-bahan
tertentu, misalnya alergen, yang diperlukan untuk timbulnya suatu reaksi alergi.
Hapten merupakan alergen yang tidak lengkap (antigen), contohnya formaldehid, ion
nikel dll. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat
pajanan dan luasnya penetrasi di kulit.
Penyebab dermatitis kontak alergik (DKA) adalah alergen, paling sering berupa
bahan kimia sederhana dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut
hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dan dapat menembus stratum korneum.
Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan
luasnya penetrasi di kulit, lama pajanan, suhu dan kelembaban lingkungan, vehikulum,
dan pH. Faktor individu juga ikut berperan, misalnya keadaan kulit pada lokasi kontak
(utuh, terluka, kering, tebal epidermis bergantung pada lokasinya) dan status imunologik
(sedang sakit, atau terpajan matahari). (Tersinanda & Rusyati, 2014)
Dermatitis kontak alergi, muncul saat kulit bersentuhan dengan zat yang
menyebabkan sistem kekebalan tubuh bereaksi tidak normal dan menyerang sel serta
jaringan tubuh sehat yang menyebabkan kulit meradang dan nyeri. beberapa zat yang
umumnya bisa menyebabkan dermatitis kontak alergi
adalah: (Tersinanda & Rusyati, 2014)
1. Bahan kosmetik seperti pengawet, parfum, pengeras cat kuku, pewarna rambut.
2. Logam, seperti nikel atau kobalt pada perhiasan. ? Beberapa obat-obatan oles. ? Karet,
termasuk lateks.
3. Tekstil, khususnya pewarna dan resin yang terkandung di dalamnya.
4. Lem kuat.
5. Beberapa jenis tumbuhan tertentu.
6. Hena hitam dan tato kulit.
7. Zat yang terbawa udara, seperti aromaterapi dan obat nyamuk semprot.
8. Produk-produk kulit yang bereaksi ketika terkena sinar matahari, misalnya beberapa
jenis tabir surya

D. PATOFISIOLOGI/PATHWAY
Pada dermatitis kontak alergi, ada dua fase terjadinya respon imun tipe IV yang
menyebabkan timbulnya lesi dermatitis ini yaitu : (Tersinanda & Rusyati, 2013)
1. Fase sensitisasi
Alergen atau hapten diaplikasikan pada kulit dan diambil oleh sel Langerhans.
Antigen akan terdegradasi atau diproses dan terikat pada Human Leucocyte Antigen-
DR (HLA- DR), dan kompleks yang diekspresikan pada permukaan sel Langerhans.
Sel Langerhans akan bergerak melalui jalur limfatik ke kelenjar regional, dimana
akan terdapat kompleks yang spesifik terhadap sel T dengan CD4-positif. Kompleks
antigen- HLA-DR ini berinteraksi dengan reseptor T-sel tertentu (TCR) dan kompleks
CD3. Sel Langerhans juga akan mengeluarkan Interleukin-1 (IL-1). Interaksi antigen
dan IL-1 mengaktifkan sel T. Sel T mensekresi IL-2 dan mengekspresikan reseptor
IL-2 pada permukaannya. Hal ini menyebabkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel
T spesifik yang beredar di seluruh tubuh dan kembali ke kulit.
2. Tahap elisitasi
Setelah seorang individu tersensitisasi oleh antigen, sel T primer atau memori dengan
antigen-TCR spesifik meningkat dalam jumlah dan beredar melalui pembuluh darah
kemudian masuk ke kulit. Ketika antigen kontak pada kulit, antigen akan diproses dan
dipresentasikan dengan HLA-DR pada permukaan sel Langerhans. Kompleks akan
dipresentasikan kepada sel T4 spesifik dalam kulit (atau kelenjar, atau keduanya), dan
elisitasi dimulai. Kompleks HLA-DR-antigen berinteraksi dengan kompleks CD3-
TCR spesifik untuk mengaktifkan baik sel Langerhans maupun sel T. Ini akan
menginduksi sekresi IL-1 oleh sel Langerhans dan menghasilkan IL-2 dan produksi
IL-2R oleh sel T. Hal ini menyebabkan proliferasi sel T. Sel T yang teraktivasi akan
mensekresi IL-3, IL- 4, interferon-gamma, dan granulocyte macrophage colony-
stimulating factor (GMCSF). Kemudian Kemudian sitokin akan mengaktifkan sel
Langerhans dan keratinosit. Keratinosit yang teraktivasi akan mensekresi IL-1,
kemudian IL-1 mengaktifkan phospolipase. Hal ini melepaskan asam arakidonik
untuk produksi prostaglandin (PG) dan leukotrin (LT). PG dan LT menginduksi
aktivasi sel mast dan pelebaran pembuluh darah secara langsung dan pelepasan
histamin yang melalui sel mast. Karena produk vasoaktif dan chemoattractant, sel-sel
dan protein dilepaskan dari pembuluh darah. Keratinosit yang teraktivasi juga
mengungkapkan intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) dan HLA-DR, yang
memungkinkan interaksi seluler langsung dengan sel-sel darah.

Pathway

- Fisik (sinar,suhu) Dermatitis Factor yang berhubungan


- Ikroorganisme (bakteri, jamur - Genetic
- Lingkungan
- Farmakologi
- imunologi
faktor dari luar (eksogen) Factor dari dalam (endogen )

Dermatitis kontak (sabun, Berhubungan dengan peningkatan


Dermatitis atopic
detergen, zat kimia kadar lgE dalam serum

Allergen sensitizen Iritan primer Asma brochial, rhinitis alergik

Sel Langerhans dan makrofag Mengiritasi kulit Ketidakefektifan pola napas

Sel T Peradangan kulit (les) Kerusakan integritas kulit

Sensitisasi sel T oleh saluran Nyeri akut Gangguan citra tubuh


limfe Resiko infeksi

Reaksi hipersensitivitas

E. MANIFESTASI KLINIK
Gejala adalah sesuatu yang dirasakan dan diceritakan oleh penderita. Pada dermatitis
kontak, gejala umum pada kulit penderita adalah: (Tersinanda & Rusyati, 2014)
1. Ruam kemerahan.
2. Peradangan.
3. Gatal yang kadang-kadang terasa parah.
4. Kering.
5. Pembengkakan.
6. Kulit kering.
7. Bersisik.
8. Lecet melepuh.
9. Menebal.
10. Pecah-pecah.
11. Terasa sakit saat disentuh atau muncul rasa nyeri.
12. Untuk tingkat yang parah, dermatitis kontak bisa menyebabkan pecahnya luka
melepuh melepuh dan terbentuknya lapisan keras kecoklatan yang menutup
lubang pecahnya lepuhan kulit.
Dermatitis kontak karena alergi dapat muncul dalam waktu beberapa hari setelah
kontak, gejala tidak muncul sebelum 24-48 jam. Selain gejala umum, gejala lain pada
dermatitis kontak alergi ditunjukkan dengan kulit terlihat lebih gelap, terasa terbakar,
sensitif terhadap sinar matahari, serta terjadi pembengkakan pada wajah, mata, atau
selangkangan. Dermatitis kontak juga dapat menimbulkan infeksi sekunder. Tanda –
tanda kulit terinfeksi antar lain :
1. Gejala gejala yang muncul semakin parah
2. Keluar cairan nanah dari kulit. Keluhan ini sering disebut dengan istilah eksim
basah
3. Rasa nyeri yang semakin meningkat
4. Merasa tidak sehat
5. Demam

F. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan awal dari semua jenis DKA diduga terdiri dari reduksi atau, jika
memungkinkan, eliminasi semua alergen yang dicurigai dan penggunaan steroid topikal
atau - terutama di wajah - inhibitor kalsineurin topikal untuk mengembalikan kulit
menjadi normal. (Tersinanda & Rusyati, 2013)
Penatalaksanaan dermatitis kontak alergi (Dermatitis KA) meliputi identifikasi allergen
edukasi penghindaran alergen pemicu serta terapi medikamentosa, Menghindari alergen
sangat penting untuk mencegah terjadinya kekambuhan. (Tersinanda & Rusyati, 2014)
1. Pencegahan
 Menghindari allergen
Setelah kemungkinan penyebab masalah dermatologi pasien telah ditentukan
oleh uji tempel, sangat penting untuk menyampaikan informasi ini kepada
pasien dengan cara yang mudah dimengerti. Ini melibatkan penjelasan cermat
terhadap bahan yang mengandung allergen Namun, untuk beberapa bahan
kimia (seperti nikel dan kromium logam), penghindaran langsung setelah
sekali sensitisasi tidak selalu menghasilkan perbaikan gejala. Secara
keseluruhan, prognosis untuk alergi akibat kerja ini buruk. Dengan demikian,
menghindari alergen yang sudah pernah terpapar sekali adalah pencegahan
yang tidak memadai. Selain itu, menasihati pekerja dengan DKA untuk
meninggalkan posisi mereka saat ini mungkin bukan saran terbaik, terutama
jika perubahan pekerjaan akan menghasilkan dampak ekonomi yang
signifikan buruk
 Induksi ambang batas
Pencegahan DKA yang benar terletak pada penentuan ambang batas untuk
induksi penyakit. Berdasarkan informasi ini, produk dapat dipasarkan dan
tempat kerja dirancang agar mengandung alergen pada tingkat bawah ambang
batas.
2. Pengobatan
 Terapi Gejala
Bahan pengering seperti aluminium sulfat topikal, kalsium asetat bermanfaat
untuk vesikel akut dan erupsi yang basah, sedangkan erupsi likenifikasi paling
baik ditangani dengan emolien. Pruritus dapat dikontrol dengan antipruritus
topikal atau antihistamin oral, antihistamin topikal atau anestesi sebaiknya
dihindari karena risiko merangsang alergi sekunder pada kulit yang sudah
mengalami dermatitis. Pengobatan dengan agen fisikokimia yang mengurangi
respon juga mungkin diperlukan. Glukokortikoid, macrolaktam, dan radiasi
ultraviolet yang paling banyak digunakan. Individu dengan DKA akibat kerja
yang secara ekonomi tidak mampu untuk berhenti bekerja dengan alergen dan
yang juga tidak dapat bekerja dengan sarung tangan atau krim pelindung,
dapat mengambil manfaat dari terapi UVB atau PUVA.
 Pelindung Fisikokimia
Pencegahan DKA yaitu menghindari alergen, namun karena berbagai alasan,
terutama ekonomi, hal ini tidak selalu dapat dilakukan. Banyak bahan kimia,
terutama molekul organik, cepat dapat menembus sarung tangan berbahan
vinyl atau karet lateks yang alami maupun sintetik, dan pekerja mungkin tidak
dapat menghindari kontak setiap hari dengan alergen. Orang-orang ini
mungkin dapat menggunakan sarung tangan plastik yang terbuat dari laminasi
proprietary. Di masa depan, krim pelindung mungkin tersedia untuk
membantu pasien tersebut. Namun, krim ini tersedia untuk alergen tertentu
saja (terutama poison ivy dan poison oak), dan hanya efektif jika area yang
dilindungi dicuci dalam beberapa jam setelah kontak dengan alergen, dan
pantas bagi banyak pasien oleh karena konsistensinya yang berminyak.

G. KONSEP DASAR KEPERAWATAN


a. Diagnose Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola jalan nafas terganggu akibat spasme otor – otot pernapasan,
kerusakan neurologis.
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan reaksi inflamasi
3. Gangguan citra tubuh berhubungan perasaan malu terhadap penampakan diri dan
persepsi diri tentang ketidakbersihan
4. Nyeri akut berhubungan dengan lesi kulit
5. Resiko infeksi berhubungan dengan lesi, bercak bercak merah pada kulit
b. Perencanaan keperawatan
1. Ketidakefektifan pola jalan nafas terganggu akibat spasme otor – otot pernapasan,
kerusakan neurologis.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, pernapasan kembali normal dengan
kriteria hasil :
- Mendemontrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada
sianosis dan dypsneu
- Menunjukan jalan nafas yang paten
- Tanda – tanda vital dalam rentang normal
Intervensi :
- Buka jalan nafas
Rasional : untuk mempatenkan jalan nafas
- Posisikan klien dengan posisi semi fowler
Rasional : untuk memaksimalkan ventilasi
- Auskultasi suara napas
Rasional : untuk mengetahui adanya suara napas tambahan
- Lakukan batuk efektif atau suction
Rasional : untuk mengeluarkan secret
- Lakukan fisioterapi dada
Untuk mengeluarkan secret
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan reaksi inflamasi
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, kulit kembali normal dengan kriteria
hasil :
- Tidak ada lesi kulit
- Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan
- Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembapan kulit alami
Intervensi
- Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar
Rasional : untuk menghindari gesekan pada luka
- Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
Rasional : untuk meminimalisir infeksi yang mungkin terjadi
- Monitor kulit
Rasional : untuk mengetahui ada tidaknya kolor, tumor, dolor, rubor, fungsio
laesa
- Ganti balutan pada waktu yang sesuai
Rasional : untuk meminimalisir infeksi yang mungkin terjadi
3. Gangguan citra tubuh berhubungan perasaan malu terhadap penampakan diri dan
persepsi diri tentang ketidakbersihan
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, citra tubuh kembali normal dnegan
kriteria hasil :
- Mampu mengidektifikasi kekuatan personal
- Mendeskripsikan secara factual perubahan fungsi tubuh
- Mempertahankan interaksi social
Intervensi :
- Kaji secara verbal dan nonverbal respon klien terhadap tubuhnya
Rasional : untuk mengetahui ada tidaknya kemajuan pada klien
- Monitor frekuensi mengkritik dirinya
Rasional : untuk membangun rasa percaya dirinya
- Dorong klien mengungkapkan perasaan
Rasional : untuk mengetahui ada tidak nya kemajuan pada klien
- Jelaskan tentang pengobatan, perawatan, kemajuan dan prognosis penyakit
Rasional : untuk memberikan pendidikan kesehatan pada klien
4. Nyeri akut berhubungan dengan lesi kulit
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, nyeri hilang dan kulit kembali normal
dengan kriteria hasil :
- Mampu mengontrol diri
- Mampu mengenali diri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
- Mengatakan rasa nyeri berkurang
Intervensi :
- Lakukan pengkajian nyeri secara kompresensif
Rasional : untuk mengetahui lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi kualitas
dan factor presipitasi
- Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
Rasional : untuk mengetahui penanganan yang tepat
- Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
Rasional : untuk mengurangi nyeri yang dirasakan
- Berikan analgesic
Rasional : untuk memfasilitasi pengobatan secara farmakologi
5. Resiko infeksi berhubungan dengan lesi, bercak bercak merah pada kulit
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, infeksi hilang dan tubuh kembali normal
dengan kriteria hasil :
- Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
- Jumlah leukosit dalam batas normal
- Menunjukan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
Intervensi :
- Monitor tanda dan gejala infeksi systemic dan local
Rasional : untuk mengetaui derajat infeksi
- Monitor kerentanan terhadap infeksi
Rasional : untuk mencegah penyebaran infeksi pada anggota tubuh yang lain
- Pertahankan teknik isolasi
Rasional : untuk terhindar dari infeksi
- Bersihkan lingkungan setelah di pakai pasien lain
Rasional : untuk terhindar dari penularan infeksi

H. DAFTAR PUSTAKA
Peate, Nair. 2015 Dasar-dasar Patofisiologi Terapan. Jakarta: Bumi MedikaNuralif, Amin Huda.
2015. Aplikasi Nanda Nic-Noc. Yogyakarta: MediactionGuyton.2014.Fisiologi
Purwanto, A. (2018). Dermatitis Kontak Alergi. Jurnal Pendidikan, 84(5), 487–492. Retrieved
from http://ir.obihiro.ac.jp/dspace/handle/10322/3933
Tersinanda, T. Y., & Rusyati, L. M. M. (2013). Dermatitis Kontak Alergi. E-Jurnal Medika
Udayana, 2(8), 1446–1461. Retrieved from
https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/download/6113/4604/
Tersinanda, T. Y., & Rusyati, L. M. M. (2014). Dermatitis Kontak Iritan & Dermatitis Kontak
Alergi. (July), 1–16.

Anda mungkin juga menyukai