Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

STAPHYLOCOCCAL SCALDED SKIN SYNDROME

Disusun oleh:
Alrein Putrananda Wajong, S.Ked (07120100103)
Nathania S. Sutisna, S.Ked (0712010071)

Dibimbing oleh:
dr. Hannah KM Damar, SpKK

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
Siloam Hospitals Lippo Village
Rumah Sakit Umum Siloam
Periode: 30 November 2015 2 Januari 2016
Tangerang, 2015
PENDAHULUAN
Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS) merupakan kelainan kulit ditandai
dengan eksantem generalisata, lepuh luas disertai erosi dan deskuamasi superfisial. Kelainan
ini disebabkan oleh toksin eksfoliatif (ETs) yaitu toksin eksfoliatif A (ETA) dan B (ETB)
yang dihasilkan strain Staphylococcus aureus (biasanya faga grup 2).1,2
Pada tahun 1878, Von Rittershan pertama kali menguraikan SSSS pada anak. Levine
and Nordon, tahun 1972, menemukan kasus pertama pada dewasa. Hingga tahun 2000,
diperkirakan 40 kasus SSSS pada dewasa telah dilaporkan dalam penelitian.1,2
Staphylococcal scalded skin syndrome umumnya terjadi pada bayi dan anak-anak usia
di bawah lima tahun tetapi jarang ditemukan pada dewasa. Diantara kasus yang pernah
dilaporkan, lelaki cenderung lebih banyak dari wanita dengan perbandingan 2:1, dimana 50%
kasus terjadi sebelum usia 50. 1,2
Pasien SSSS memiliki gejala klinis berupa demam dan malaise yang timbul beberapa
hari setelah infeksi staphylococcal.4 Perkembangan lesi dapat berupa erupsi kemerahan pada
kulit yang menyebar dengan bula berdinding kendur. Lapisan atas kulit akan mengelupas,
meninggalkan luka terbuka yang lembab, merah dan nyeri. Daerah predileksi penyakit ini
ditemukan pada wajah, axilla, selangkangan dan leher biasa terlibat. Dengan perawatan tepat,
erosi dapat mengering dengan cepat dan deskuamasi akan terjadi dalam beberapa hari.4
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis, kultur mikroorganisme, identifikasi
ET, dan hasil biopsi. Prognosis pada anak biasanya baik, tetapi pada dewasa diperlukan
pemantauan yang ketat.4
Tujuan referat ini adalah untuk memperdalam pengetahuan mengenai manifestasi
klinik, penegakkan diagnosis, hingga tatalaksana yang tepat dalam menangani kasus SSSS.
Informasi tersebut diharapkan nantinya dapat membantu dokter layanan primer untuk
bertindak secara cepat dan tepat dalam menghadapi kasus SSSS.
ANATOMI FISIOLOGI KULIT

1. Epidermis
Epidermis merupakan lapisan kulit yang paling luar. Ketebalan lapisan epidermis kurang
lebih 1 mm. Lapisan yang hanya setebal 1 mm ini mempunyai lima lapisan di dalamnya .
yaitu, stratum lusidum, stratum granulosum, stratum spinosum, stratum comeum, dan stratum
basele.3
Epidermis kulit memiliki sel utama yaitu keratinosit yang berubah menjadi keratin akibat
adanya proses diferensiasi. Pada epidermis terjadi proses migrasi sel yang membutuhkan
waktu kurang lebih 28 hari. Perubahan tersebut terjadi pada melanosit yang berubah menjadi
melanosoma kemudian berubah lagi menjadi melanin. 3
2. Dermis
Dermis merupakan lapisan kedua kulit manusia. Memiliki ketebalan yang sedikit lebih dari
tebal epidermis. Bagian dalamnya terdiri dari serabut kolagen elastin dan kolagen retikulun
yang lentur dan kuat.
Pada lapisan dermis kulit manusia terdapat pembuluh darah dan titik-titik saraf serta terdapat
juga limposit, sel mast, histiosit, dan leukosit. 3
3. Lemak subkutan
Fungsi lemak subkutan pada tubuh adalah sebagai penyimpah energi dan penyeimbang
keadaan antara suhu tubuh dengan lingkungan. Pada lemak subkutan ini terdapat juga
kelenjar keringat dan kelenjar sebasea. 3

Adnexa kulit:
Adneksa yang menjadi tempat asal mula tumbuhnya rambut, kuku, juga serta sebagai tempat
terdapatnya apokrin dan sebasea.

1. Kelenjar Kulit => terdapat pada lapisan dermis


Kelenjar Keringat (glandula sudorifera)
Keringat mengandung air, elektrolit, asam laktat, dan glukosa. pH nya sekitar 4-
6,8.
o Kelenjar Ekrin => kecil-kecil, terletak dangkal di dermis dengan secret encer.
Kelenjar Ekrin terbentuk sempurna pada minggu ke 28 kehamilan dan berfungsi
40 minggu setelah kelahiran. Salurannya berbentuk spiral dan bermuara langsung
pada kulit dan terbanyak pada telapak tangan, kaki, dahi, dan aksila. Sekresi
tergantung beberapa faktor dan saraf kolinergik, faktor panas, stress emosional.
o Kelenjar Apokrin => lebih besar, terletak lebih
dalam, secretnya lebih kental. Dipengaruhi oleh saraf adrenergik, terdapat di
aksila, aerola mammae, pubis, labia minora, saluran telinga. Fungsinya belum
diketahui, waktu lahir ukurannya kecil, saat dewasa menjadi lebih besar dan
mengeluarkan secret
Kelenjar Palit (glandula sebasea)
Terletak di seluruh permukaan kuli manusia kecuali telapak tangan dan kaki.
Disebut juga dengan kelenjar holokrin karena tidak berlumen dan sekret
kelenjar ini berasal dari dekomposisi sel-sel kelenjar. Kelenjar palit biasanya
terdapat di samping akar rambut dan muaranya terdapat pada lumen akar rambut
(folikel rambut). Sebum mengandung trigliserida, asam lemak bebas,
skualen, wax ester, dan kolesterol. Sekresi dipengaruhi oleh hormon androgen.
Pada anakanak, jumlahnya sedikit. Pada dewasa menjadi lebih banyak dan berfungsi
secara aktif.
2. Kuku => bagian terminal lapisan tanduk (stratum korneum) yang menebal.
Pertumbuhannya 1mm perminggu
Nail root (akar kuku) => bagian kuku yang tertanam dalam kulit jari
Nail Plate (badan kuku) => bagian kuku yang terbuka/ bebas.
Nail Groove (alur kuku) => sisi kuku yang mencekung membentuk alur kuku
Eponikium => kulit tipis yang menutup kuku di bagian proksimal
Hiponikium => kulit yang ditutupi bagian kuku yang bebas
3. Rambut
Akar rambut => bagian yang terbenam dalam kulit
Batang rambut => bagian yang berada di luar kulit

Jenis rambut
o Lanugo => rambut halus pada bayi, tidak mengandung pigmen.
o Rambut terminal => rambut yang lebih kasar dengan banyak pigmen,
mempunyai medula, terdapat pada orang dewasa.

Fungsi kulit
Selain dilihat dari segi kesehatan, fungsi kulit juga berkenan dengan penampilan seseorang.
Kulit bisa melambangkan ras seorang manusia.
Fungsi kulit tersebut diantaranya sebagai : 3
1. Proteksi atau perlindungan,
Kulit punya bantalan lemak, ketebalan, serabut jaringan penunjang yang dapat
melindungi tubuh dari gangguan :
o fisis/ mekanis : tekanan, gesekan, tarikan.
o kimiawi : iritan seperti lisol, karbil, asam, alkali kuat
o panas : radiasi, sengatan sinar UV
o infeksi luar : bakteri, jamur
Beberapa macam perlindungan :
o Melanosit => lindungi kulit dari pajanan sinar matahari dengan mengadakan
tanning (penggelapan kulit)
o Stratum korneum impermeable terhadap berbagai zat kimia dan air.
o Keasaman kulit kerna ekskresi keringat dan sebum
=> perlindungan kimiawo terhadap infeksi bakteri
maupun jamur
o Proses keratinisasi => sebagai sawar (barrier) mekanis karena sel mati
melepaskan diri secara teratur.
2. Absopsi(penyerapan),
permeabilitas kulit terhadap O2, CO2, dan uap air memungkinkan kulit ikut
mengambil fungsi respirasi. Kemampuan absorbsinya bergantung pada ketebalan
kulit, hidrasi, kelembaban, metabolisme, dan jenis vehikulum. PEnyerapan dapat
melalui celah antar sel, menembus sel epidermis, melalui muara saluran kelenjar.
3. Eksresi(pembuangan),
mengeluarkan zat yang tidak berguna bagi tubuh seperti NaCl, urea, asam urat,
dan amonia
4. Persepsi (sistem sensor),
kulit mengandung ujung saraf sensori di dermis dan subkutis. Saraf sensori
lebih banyak jumlahnya pada daerah yang erotik.
o Badan Ruffini di dermis dan subkutis => peka
rangsangan panas
o Badan Krause di dermis => peka rangsangan
dingin
o Badan Taktik Meissner di papila dermis =>
peka rangsangan rabaan
o Badan Merkel Ranvier di epidermis => peka
rangsangan rabaan
o Badan Paccini di epidemis => peka rangsangan
tekanan
5. Pengaturan suhu tubuh,
dengan cara mengeluarkan keringat dan mengerutkan (otot berkontraksi)
pembuluh darah kulit. Kulit kaya pembuluh darah sehingga mendapat nutrisi
yang baik. Tonus vaskuler dipengaruhi oleh saraf simpatis (asetilkolin). Pada bayi,
dinding pembuluh darah belum sempurna sehingga terjadi ekstravasasi cairan dan
membuat kulit bayi terlihat lebih edematosa (banyak mengandung air dan Na)
6. Pembentukan pigmen,
karena terdapat melanosit (sel pembentuk pigmen) yang terdiri dari butiran
pigmen (melanosomes)
7. Pembentukan vitamin D,
Kulit mengubah 7 dihidroksi kolesterol dengan pertolongan sinar matahari. Tapi
kebutuhan vit D tubuh tidak hanya cukup dari hal tersebut. Pemberian vit D
sistemik masih tetap diperlukan.
8. Proses keratinisasi.
Keratinosit dimulai dari sel basal yang mengadakan pembelahan, sel basal yang lain
akan berpindah ke atas dan berubah bentuknya menjadi sel spinosum, makin ke
atas sel makin menjadi gepeng dan bergranula menjadi sel granulosum. Makin
lama inti makin menghilang dan keratinosit menjadi sel tanduk yang amorf.
Proses ini berlangsung 14-21 hari dan memberi perlindungan kulit terhadap
infeksi secara mekanis fisiologik.

Struktur Kulit
Struktur kulit terdiri dari tiga lapisan yaitu : kulit ari (epidermis), sebagai lapisan yang paling
luar, kulit jangat (dermis, korium atau kutis) dan jaringan penyambung di bawah kulit (tela
subkutanea,hipodermis atau subkutis)
Sebagai gambaran, penampang lintang dan visualisasi struktur lapisan kulit tersebut dapat
dilihat pada gambar berikut : 3
Skema bagian-bagian kulit

ETIOLOGI

Diketahui karier S. aureus terletak pada nares anterior sebanyak 35%, perineum 20%,
aksilla 5-10%, jari kaki 5-10% pada populasi normal. Karier terbanyak pada beberapa
populasi tertentu seperti pasien yang menderita penyakit dermatitis atopi, dermatitis kontak,
psoriasis dan cutaneous T-cell lymphoma. (7,8) Karier tersebut berperan pada terjadinya
wabah SSSS. Pada neonatus, S. aureus banyak terdapat di kulit, mata, perineum, luka
sirkumsisi, dan umbilikus. Rumah sakit merupakan sumber penularan infeksi utama pada
bayi dan neonatus.
Staphylococcal scalded skin syndrome disebabkan oleh toksin eksfoliatif (ETs) yaitu
toksin eksfoliatif A (ETA) dan B (ETB) yang dihasilkan dari strain toksigenik bakteri
staphylococcus aureus (faga grup 2).5
Desmosom merupakan sebagian dari sel kulit yang bertanggungjawab sebagai
perekat kepada sel-sel kulit. Toksin yang mengikat pada molekul di antara desmosom
dikenali sebagai desmoglein dan kemudiannya memisah sehingga kulit menjadi tidak utuh.4,5
Toksin eksfoliatif memiliki target kerja pada desmoglein-1 merupakan desmosom
glikoprotein transmembran yang mempertahankan adhesi antar sel pada epidermis.6,7

PATOFISOLOGI
Toksin eksfoliatif (ETs) merupakan serin protease yang dapat menimbulkan celah
pada ikatan adhesi antar sel molekul desmoglein-1, yang tampak pada bagian atas epidermis
yaitu antara stratum spinosum dan granulosum. Toksin tersebut bekerja secara protease yang
memecah ikatan molekul desmoglein sehingga menimbulkan perlepasan epidermas dibawah
lapisan granulosum menimbulkan bula berdinding tipis yang mudah pecah. Hal ini tampak
sebagai Nikolsky sign positif.6,7 Pada SSSS toksin berdifusi dari fokus infeksi, dan tidak
adanya antibodi antitoksin spesifik dapat menyebabkan penyebaran toksin secara hematogen.
Meskipun strain toksigenik S. aureus yang terbanyak adalah faga grup II (subtype 3A, 3B,
3C, 55 dan 71), selain itu juga terdapat strain faga grup I dan III.2 Adanya keterlibatan
desmoglein 1 pada SSSS menyerupai penyakit autoimun pemfigus foliaseus.6,7

Salah satu fungsi fisiologi utama kulit adalah barier terhadap infeksi, yang terletak
pada stratum korneum. Adanya toksin eksfoliatif yang dimiliki S.aureus memungkinkan
proliferasi dan penyebarannya di bawah barier tersebut. Sekali kulit dapat mengenali toksin
eksfoliatif tersebut, S. aureus dapat menyebar sehingga menimbulkan celah di bawah stratum
korneum.8
Toksin staphylococcus terdiri atas toksin eksfoliatif A dan B (ETA dan ETB) yang
menyebabkan lepuhnya kulit pada SSSS. ETA terdiri atas 242 dengan berat molekul 26.950
kDa, bersifat stabil terhadap panas dan gennya terletak pada kromosom sementara ETB
terdiri atas 246 asam amino dengan berat molekul 27.274 kDa, bersifat labil terhadap
pemanasan dan gennya berlokasi pada plasmid.2,7 Toksin ini dihasilkan pada fase
pertumbuhan bakteri dan diekskresikan dari kolonisasi staphylococcus sebelum diabsorpsi
melalui sirkulasi sistemik. Toksin mencapai stratum granulosum epidermis melalui difusi
pada kapiler dermal.2 Studi histologis menunjukkan bahwa ikatan ETs pada keratinosit kultur
isolasi kulit menyebabkan terbentuknya vesikel yang mengisi ruang antarsel, diikuti cairan
interseluler yang mengisi ruang antara stratum granulosum dan spinosum.
Pemeriksaan laboratorium mendukung bahwa ETB lebih pirogenik dibandingkan
ETA, sementara studi klinis menunjukkan meskipun ETA dan ETB dapat menyebabkan
SSSS lokal, tetapi ETB lebih sering diisolasi dari anak yang menderita SSSS generalisata dan
juga dapat menyebabkan eksfoliasi generalisata pada orang dewasa yang sehat. Sementara
ETA lebih sering dijumpai pada impetigo bullosa 1,2, 32.
Desmosom merupakan target toksin eksfoliatif pada SSSS (Gambar.1). Desmosom
adalah intercelluler adhesive junction yang secara struktural berhubungan dengan filamen
intermediet intraseluler. Desmosom ini diekspresikan oleh sel epitel dan beberapa sel lainnya
yang banyak terdapat pada jaringan yang mengalami stress mekanik, seperti kulit, mukosa
gastrointestinal, jantung, dan kandung kemih.3,7 Desmoglein (Dsg) merupakan komponen
transmembran mayor pada desmosom yang berperan tidak hanya pada adhesi antar sel epitel
tetapi juga pada morfogenesis sel epitel.9 Terdapat 3 isoform desmoglein yaitu Dsg1, Dsg2,
dan Dsg3. Dsg 2 terdapat pada semua jaringan yang memiliki desmosom termasuk epitel dan
miokard, sedangkan Dsg1 dan Dsg3 terbatas pada epitel skuamos bertingkat.9,10
Gambar 1. Desmoglein merupakan target pada SSSS9

ETA dan ETB menyebabkan bula dan pengelupasan kulit dengan cara menghambat
desmosom pada lapisan sel granular epidermal sehingga terjadi pemisahan intradesmosomal.1
Lebih dari satu dekade diduga bahwa toksin tersebut terikat secara langsung pada cadherin
desmosomal, yaitu desmosglein1 (Dsg1).10 Meskipun pemisahan sel epidermal ditunjukkan
oleh toksin eksfoliatif (ETs), gejala klinis SSSS tidak dapat diterangkan oleh aksi toksin
tersebut. ETs juga bisa bertindak sebagai lipase sekaligus mengaktifkan protease lain yang
pada gilirannya menyebabkan pengaruh patogenik.9,10
Pada Impetigo bulosa dan SSSS, toksin eksfoliatif yang dihasilkan oleh S. aureus
bertindak seperti gunting molekular dsg1 spesifik dan hanya membelah dsg1 tetapi tidak pada
dsg3, sehingga hanya menimbulkan bulla pada epidermis superfisial, karena dsg3
berkompensasi pada area yang lain (panel B).

Toksin eksfoliatif membelah pada garis batas antara domain cadherin ekstraseluler
(ECs) 3 dan 4, terhadap terminal karboksi dari satu domain calcium-binding pada EC3.
Meskipun struktur tiga dimensi belum dapat dijelaskan, terdapat tanda homolog pada kedua
letak calcium-binding dan ECs antara E- dan N-cadherin serta Dsg1. Studi struktural E- dan
N-cadherin bahwa tepi batas antara ECs, melalui calcium-binding, menstabilkan rigiditas
molekul dan mempertahankan orientasinya. Hasil yang diperlihatkan bahwa batas antara ECs
pada Dsg1 berperan pada fungsinya, dimana pembelahan pada satu ikatan peptida
menyebabkan disfungsi cadherin desmosom. (13)
Gambar 6. Diagram skematik domain dan pembelahan ET pada Dsg1. Garis vertikal
mengindikasikan dugaan letak calcium binding. Tanda panah menunjukkan letak pembelahan
ET. S : Sinyal peptida, P: sekuense propeptida, TM: letak transmembran. Hanakawa molecular

Toksin epidermolitik difiltrasi di glomerulus dan direabsorbsi pada tubulus proksimal


dimana kemudian dikatabolisme oleh sel-sel tubulus proksimal. Kecepatan filtrasi glomerulus
(GFR) bayi kurang dari 50% GFR orang dewasa normal, dan hal ini terbanyak ditemukan
pada dua tahun pertama kehidupan. Hal ini menjelaskan mengapa bayi-bayi, pasien dengan
gagal ginjal kronik, dan pasien yang menjalani hemodialisa merupakan faktor predisposisi
terjadinya SSSS.6
Manifestasi Klinis
SSSS dapat ditemukan dengan lesi awal makula eksantema berwarna jingga-kemerahan atau
eritema uniforme. Eksantema dapat ditemukan pada periorifisium dan bagian fleksor.
Mukosa tidak terlibat tetapi dapat terjadi konjungtivitis purulen, otitis media, infeksi
nasofaring dan/atau infeksi kulit piogenik seperti impetigo bulosa dan/atau karbunkel. Krusta
juga dapat ditemukan pada daerah wajah terutama periorifisium.6

Nyeri pada penekanan di kulit dapat timbul sebelum muncul makula eksantema. Nyeri ini
dapat terasa sangat parah sehingga bayi akan menangis lebih hebat bila diposisikan tidur atau
bila disentuh. Lesi kemerahan dapat muncul secara tiba-tiba dan dalam hitungan jam lesi
tersebut berbatas jelas dan membentuk eritema skarlatiniforma.15 Kerutan pada kulit paling
superfisial yang merupakan epidermis akan muncul dan akan berkembang menjadi bullae
besar pada bagan fleksor dan periorifisium. Tanda nikolski akan menjadi positif, dimana
penggosokan pada kulit akan mengelupaskan epidermis. Jika lapisan paling atas sudah
terkelupas, akan terlihat dasar eritematosa yang lembab. Pada fase ini, SSSS terlihat seperti
luka bakar yang terkelupas.6 Dalam waktu 24 jam dari eksfoliasi, area yang terkena dapat
timbul krusta dan fisura di sekitar perioral dan periorbital. Deskuamasi kedua dapat terjadi 10
hari kemudian dan dalam waktu 14 hari kulit akan membaik tanpa terajadi pembentukan
jaringan fibrosis.15

Gambar 3. Lesi eritema merupakan salah satu fase awal dari SSSS.6
Gambar 4. Tanda Nikolski positif.6

Gambar 5. Krusta pada wajah penderita SSSS.6

Gambar 6. Fase lanjut pada SSSS adalah deskuamasi luas.6


Diagnosis
Diagnosis SSSS dapat ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik seperti yang telah
dijelaskan pada bagian manifestasi klinis. Pada lesi di kulit tidak terdapat bakteri karena lesi
tersebut adalah manifestasi dari toksin bakteri. Perlu diperhatikan jika ada infeksi di tempat
lain.16 Pemeriksaan suportif lain seperti darah lengkap dan elektrolit dapat dilakukan. Pada
pasien dewasa, evaluasi fungsi ginjal harus diperiksa.15

Pada pemeriksaan histopatologi SSSS, dapat ditemukan adanya belahan intraepidermal di


antara stratum granulosum. Pada celah ini mungkin didapati adanya sel-sel akantolitik.

Diagnosis banding dari SSSS yang pertama adalah TEN (toxic epidermal necrolysis). TEN
disebabkan karena obat-obatan dan sebagian kecil karena infeksi. Obat-obatan yang dapat
menimbulkan TEN adalah sulfonamid, kloramfenikol, makrolid, penisilin, kuinolon,
fenobarbital, fenitoin, karbamazepin, asam valproat, lamotigrin, piroksikam, ibuprofen,
indometasin dan alopurinol. Hal yang khas untuk membedakan keduanya adalah dari
keterlibatan mukosa. Pada TEN, mukosa dapat terjadi erosi yang tidak ditemukan pada SSSS.
Pada pemeriksaan potong beku dapat dilihat bahwa pada SSSS terdapat akantolisis superfisial
subgranular sedangkan pada TEN dapat dilihat adanya nekrosis epidermis seluruhnya serta
terpisahnya dermis-epidermis.

Gambar 7. TEN.
Epidermolisis bulosa dijadikan diagnosis banding SSSS karena penampakannya yang mirip
(adanya eksfoliasi yang diawali dengan bula dengan dasar eritematosa). Epidermolisis bulosa
memiliki karakteristik timbulnya bula dengan spontan atau trauma ringan. Tempat predileksi
penyakit ini adalah tempat-tempat yang sering timbul trauma. Penyakit ini merupakan
penyakit genetik autosom, sehingga anamnesis detil mengenai riwayat keluarga sangat
penting untuk membedakan epidermolisis bulosa dengan SSSS. Gejala lain yang dapat timbul
adalah gangguan pada kuku, retardasi mental, gangguan pertumbuhan, kontraktur serta
perlekatan jari-jari tangan.

Gambar 8. Epidermolisis bulosa pada anak-anak. Terlihat pada gambar bula yang sudah pecah dan
bula yang baru timbul.

Pada zaman dahulu, SSSS dikenal sebagai pemfigus neonatorum karena kesamaan
penampakan lesi dermatologisnya. Secara garis besar pemfigus terbagi 4 (empat) yaitu:
pemfigus vulgaris, pemfigus eritematosus, pemfigus vegetans dan pemfigus foliaseus. Pada
umumnya pemfigus menyerang pasien pada usia 40-50 tahun. Pemfigus vulgaris,
eritematosus dan vegetans memiliki bentuk yang mirip, yaitu lesi erosi dengan krusta,
sehingga lebih dekat didiagnosis banding dengan dermatitis herpetiformis atau dermatitis
dengan infeksi sekunder. Sedangkan pada pemfigus foliaseus, jika dibandingkan dengan
SSSS, pemfigus foliaseus muncul dengan perlahan (kronik). Lesi awalnya adalah timbulnya
vesikel sampai bula, skuama dan krusta dan dapat menimbulkan eritema yang menyeluruh
disertai banyak skuama kasar. Pada biopsi didapatkan adanya akantolisis pada epidermis
bagian atas stratum granulosum, lalu terdapat celah di antaranya.
Gambar 9. Pemfigus foliaseus

Toxic shock syndrome (TSS) merupakan penyakit yang mengancam nyawa akibat toksin-1
dari S. aureus atau S. pyogenes, berbeda strain dari penyebab SSSS. TSS dijadikan diagnosis
banding pada SSSS karena terdapat deskuamasi terutama pada telapak tangan dan kaki.
Selain itu, pada TSS dapat ditemukan demam tinggi, kemerahan pada kulit, hipotensi,
kegagalan multi-organ (minimal 3) dan terjadinya 1-2 minggu setelah infeksi patogen yang
akut. Oleh karena itu, pemeriksaan fisik dan penunjang secara keseluruhan dibutuhkan untuk
mengevaluasi TSS (seperti pemeriksaan darah perifer lengkap, fungsi hati, dan fungsi ginjal).

Gambar 10. Toxic shock syndrome, tampak eksfoliasi pada tangan.


Tatalaksana
Pasien SSSS biasa dilakukan terapi dengan rawat inap. Terapi untuk SSSS terutama ditujukan
untuk eradikasi S. aureus yaitu pemberian antibiotik intravena antistafilokokus. Terapi
suportif diberikan tergantung dari kondisi pasien, antara lain terapi perawatan kulit, terapi
cairan dan ketidakseimbangan elektrolit. Penggunaan inkubator pada neontus memiliki
keuntungan karena dapat diatur suhu dan kelembapannya.6

Pilihan antibiotik yang baik adalah penisilin resisten-penisilinase. Salah satu contohnya untuk
anak-anak adalah flukoksasilin IV 50-100 mg/kgBB/hari dan untuk dewasa 500 1000
mg/hari terbagi menjadi 4 dosis. Jika tidak ada perbaikan, perlu dipikirkan untuk mengganti
antibiotik menjadi vankomisin IV15. Studi George et al untuk impetigo menunjukkan bahwa
sefalosporin, kloksasilin atau amoksisilin-klvulanat lebih efektif daripada penisilin. Golongan
eritromisin saat ini ditemukan peningkatan resistensi17.

Perlu diperhatikan bahwa penggunaan antibiotik pada penderita gagal ginjal, dengan LFG <
60 mL/menit perlu kewaspadaan yang lebih. Profil singkat antibiotik yang sering digunakan
ada pada lampiran 1. Tidak semua antibiotik diperlukan penyesuaian dosis pada gagal ginjal.
Beberapa antibiotik berikut diperlukan penyesuaian dosis untuk gagal ginjal: sefalosporin
(terutama generasi 3), klindamisin, kloramfenikol, metronidazol dan nafsilin18. Pada
prinsipnya, pemberian dosis awal adalah sama atau lebih tinggi seperti dosis pasien tanpa
gangguan ginjal. Dosis pemeliharaan (maintenance dose), disesuaikan dengan kemampuan
ginjal. Kenaikan waktu paruh obat akan berbanding lurus dengan penurunan fungsi ginjal
(yang dapat diukur dengn laju eliminasi). Contohnya, jika sebuah obat memiliki waktu paruh
5x lebih lama karena penyakit gagal ginjalnya, maka dosis pemeliharaan yang diberikan
adalah 20% kurangnya dari dosis normal19.

Gambar 11. Tabel antibiotik yang memerlukan penyesuaian dosis pada gangguan ginjal dan hati18
91% dewasa di atas 40 tahun memiliki antibodi melawan toksin eksfoliativa, sehingga untuk
dewasa atau anak-anak dengan kondisi tertentu, fresh frozen plasma dapat diberikan
sebanyak 10 mL/kgBB. Pilihan imunoterapi lain untuk anak-anak adalah pemberian
imunoglobulin intravena (IVIG) sebanyak 0.4 gr/kgBB/hari15.

Terapi yang dapat diberikan antara lain terapi cairan, koreksi elektrolit dan anti-nyeri. Sama
seperti luka bakar luas, pasien S4 akan mengalami hipovolemia. Salah satu rekomendasi
untuk terapi cairan pada anak antara lain: (i) pemberian fresh frozen plasma sebanyak 10%
total air dalam tubuh atau 70 mL/kgBB, dilanjutkan dengan (ii) pemberian dextrose 4% pada
0.18% NaCl dengan aturan Holliday Segar (4-2-1). Terapi anti-nyeri dapat diberikan sesuai
dengan kebutuhan. Dapat dimulai dari parasetamol 10 20 mg/kgBB sampai fentanil 1-4
mcg/kgBB/jam bila sangat diperlukan. Obat OAINS sebaiknya dicegah pemberiannya karena
ekskresinya di ginjal dan meningkatkan risiko perdarahan15.

Terapi cairan selain menggunakan prinsip Holliday Segar, sama seperti luka bakar yang luas,
dapat diberikan terapi luka bakar derajat 2 (dimana epidermis terlepas dari dermis akibat
panas)15. Luka bakar di atas 20% luas permukaan tubuh memerlukan resusitasi cairan. Oleh
sebab itu, penggunaan kateter vena ukuran besar dan kateter urin untuk memantau produksi
urin (target 0.5 - 1 mL/kgBB/jam) diperlukan. Pada 24 jam pertama diberikan cairan Ringer
Laktat 2 4 mL/kgBB pada setiap persen luka bakar, dimana separuh dari cairan tersebut
diberikan dalam waktu 8 jam pertama dan separuh sisanya dalam 16 jam berikutnya. Proporsi
persen dari total permukaan tubuh yang terpengaruh dapat diukur melalui Wallaces rule of
nine (gambar 7) atau dengan menghitung perikraan luas luka bakar dari luas telapak tangan
pasien (satu telapak tangan pasien = 1% total permukaan tubuh)20

(A)
(B)
Gambar 12. The rule of 9 pada anak (A) dan dewasa (B)

24 jam
Ringer Laktat 2 4 mL x %lesi (dengan rule of nine)
8 jam pertama 16 jam berikutnya
50% 50%
Gambar 13. Skema pemberian terapi cairan menurut persen lesi.

Pemberian dressing dapat dilakukan dengan pemberian kasa lembab normal salin. Jika
memungkinkan, di bawahnya dapat diberikan wound dressing silikon halus. Betadin dan
silver sulfadiazine harus dihindari karena akan meningkatkan absorpsi toksin dari iodin dan
perak. Pada luka yang kecil, dapat diberikan krim silver sulfadiazin dan kasa paraffin-
impregnated. Pada area-area yang sudah membaik, penutup hidrokoloid dapat diberikan.15

Komplikasi dan Prognosis


SSSS dapat menimbulkan komplikasi seperti bakteremia, sepsis dan/atau pneumonia. SSSS
tanpa komplikasi bila diterapi dengan baik maka tingkat kesembuhannya sangat tinggi.
Angka kematian dari SSSS muncul akibat penyebab lain seperti contohnya gangguan
elektrolit. Jaringan parut tidak muncul pada lesi setelah deskuamasi (membaik dalam 10 14
hari).6,15
DAFTAR PUSTAKA
1. Donohue D, Robinson B, Goldberg NS. Staphylococcal scalded skin syndrome in a woman
with chronic renal failure exposed to human immunodeficiency virus. Cutis 1991;47:317-8.
2. Ladhani S, Robbie S, Garratt RC, Chapple DS, Joannou CL, Evans RW. Development and
Evaluation of Detection System for Staphylococcal Exfoliative Toxin a Responsible for
Scalded Skin Syndrome. J Clin Microbiol. 2001; 39: 2050-54
3. Luk N.M. Adult Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS). Hong Kong Dermatology &
Venereology Bulletin. 2002; 10 (1): 25.
4. Weston WL, Erythema Multiforme and Steven-Johnson syndrome. In: Bolognia J.L, Jorizzo
LJ, Rapihi RP (editors). Dermatology: volume one. London. Mosby: 2003.p 313-16
5. Clark RA dan Hopkins T , The other eczemas, In: Moschella S, Hurley H (editor).
Dermatology: 3rd ed. Edinburgh: Mosby: 2003. p. 489-93
6. Travers JB, Mousdicas N. Gram-positive Infections Associated with Toxin Production. In:
Freedberg IM, Eisen AZ, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, eds. Fitzpatricks Dermatology
in General Medicine, 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2008. p. 1710-19.
7. Morgan MB, Smoller BR, Somach SC, eds. Staphylococcal Toxin-Mediated Scalded Skin
and Toxic Shock Syndromes. In: Deadly Dermatologic Diseases Clinicopathologic Atlas and
Text. Cleveland: Springer; 2007. p. 133-6.
8. Hanakawa Y, Schechter NM, Lin C, Garza N, Yamaguchi T. Molecular Mechanism of Blister
Formation in Bullous Impetigo and Staphylococcal Scalded Skin Syndrome. J. Clin. Invest.
2002; 110: 5360.
9. Amagai M, Matsuyoshi N, Wang ZH, Andi C, Stanley JR. Toxin in Bullous Impetigo and
Staphylococcal Scalded-Skin Syndrome Targets Desmoglein-1. Nat Med. 2000; 6: 1275-7.
10. Runswick SK, O Hare MJ, Jones L, Streuli CH, Garrod DR. Desmosomal adhesion regulates
epithelial morphogenesis and cell positioning. Nat Cell Biol. 2001. 3: 823-30.
11. Rooks Grattan CEH, Black AK.. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, eds. Rooks
Textbook in Dermatology. Massachusetts: Blackwell Science; 2004. p.47.31-3
12. Kane KSM, Ryder JB, Johnson RA,Baden HP, Stratigos A. Cutaneous bacterial infektions. In
Color atlas & synopsis of pediatric dermatology. New York: 2002: 474-5.
13. Wolff K, Johnson RA, Suurmond D, Bacterial infections involving the skin. In Fitzpatricks
color atlas and synopsis of clinical dermatology. Edisi ke-5. USA: Mc. Graw Hill, 2005: 620-
3.
14. James WD, Berger TG, Elston DM. Hansens disease. In Andrews Diseases of THE Skin
Clinical Dermatology. 10th ed. New York: Saunders Elsevier; p. 344-52
15. Handler MZ, Schwartz RA. Staphylococcal scalded skin syndrome: diagnosis and
management in children and adults. JEADV, 2014. 28:1418-23.
16. Menaldi SLSW, Bramono K, Indriatmi W. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7 th ed. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
17. George A, Rubin G. A systematic review and metaanalysis of treatments for impetigo. Br J
Gen Pract 2003;53:480-7
18. Gernsheimer J, Hlibczuk V, Bartniczuk D, Hipp A. Antibiotics in the ED: how to avoid
common mistake of treating not wisely, but too well. Emergency medicine practice
2005,7(4):1-32.
19. Hartmann B, Czock D, Keller F. Drug therapy in patients with chronic renal failure. Dtsch
arztebl int., 2010, Sep; 107(37):647-656.
20. American college of surgeons committee on trauma. Advanced trauma life support (ATLS)
for doctors course manuals. 8th ed. 2008. Chicago: American college of surgeons
LAMPIRAN 1

Anda mungkin juga menyukai