Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN TUTORIAL BLOK XIX KULIT SKENARIO 1

GATAL KAMBUH-KAMBUHAN DENGAN BERCAK KEMERAHAN YANG DISERTAI ASMA

OLEH : Kelompok : A-6

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET 2010

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kulit merupakan organ tubuh yang terletak paling luar yang merupakan organ esensial dan vital serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat kompleks, elastis dan sesnsitif, bervariasi menurut keadaan iklim, umur, seks, ras, dan juga bergantung pada lokasi tubuh. Penyakit kulit beserta kelainannya sangat sering kita temukan di negara kita. Ada yang kelainan kulit disebabkan faktor higienis yang kurang tetapi yang paling banyak adalah idiopatik. Kelainan kulit ini bisa menyerang baik dewasa maupun anak-anak, sehingga kita membutuhkan pengetahuan tentang penganan yang pasti. Seperti pada skenario: Seorang anak laki-laki, usia 12 tahun datang diantar ibunya ke puskesmas dengan keluhan gatal sejak 2 minggu yang lalu. Gatal dirasakan di daerah lipat siku dan lipat lutut. Di daerah tersebut terdapat bercakbercak kemerahan, keluhan ini bersifat kambuh-kambuhan sejak usia 1 tahun. Setiap kali kambuh diperiksakan ke dokter dan sembuh setelah diberi obat. Selain gatal-gatal, penderita juga menderita asma yang mulai muncul pada usia 6 tahun. Ibunya mempunyai riwayat sering bersin pagi hari atau bila cuaca dingin. Pada pemeriksaan fisik didapatkan bercak eritematosa, papul, dan plakat yang disertai dengan erosi di daerah kedua lipat siku dan kedua lipat lutut. Oleh dokter diberikan kortikosteroid topikal dan antihistamin oral. Penderita dianjurkan berkonsultasi dengan dokter spesialis kulit untuk direncanakan skin prick test.

B.

Rumusan Masalah
1. Apakah hubungan jenis kelamin dan usia dengan keluhan yang dialami penderita? 2. Apa penyebab keluhan gatal-gatal yang dirasakan penderita dan mengapa bersifat kambuh-kambuhan? 3. Bagaimana interpretasi ujud kelainan kulit berupa bercak kemerahan?

4. Apakah hubungan ibu penderita yang memiliki riwayat sering bersin pagi hari atau bila cuaca dingin? 5. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik yang didapatkan dari penderita dan mengapa bisa terjadi erosi di daerah kedua lipat siku dan kedua lipat lutut? 6. Apa alasan dokter memberikan kortikosteroid topikal dan antihistamin oral? 7. Apa alasan dokter merencanakan dilakukan skin prick test?

C.

Tujuan Penulisan
1. Mengetahui hubungan jenis kelamin dan usia dengan keluhan yang dialami penderita. 2. Mampu menjelaskan penyebab keluhan gatal-gatal yang dirasakan penderita dan penyebab keluhan bersifat kambuh-kambuhan. 3. Mampu menganalisis interpretasi ujud kelainan kulit berupa bercak kemerahan. 4. Mengetahui hubungan ibu penderita yang memiliki riwayat sering bersin pagi hari atau bila cuaca dingin. 5. Mampu menjelaskan dan menganalisi interpretasi pemeriksaan fisik yang didapatkan dari penderita dan penyebab terjadi erosi di daerah kedua lipat siku dan kedua lipat lutut. 6. Mengetahui cara kerja, indikasi, dan kontraindikasi serta pemakaian

kortikosteroid topikal dan antihistamin oral. 7. Menjelaskan alasan dokter merencanakan dilakukan skin prick test.

D.

Manfaat Penulisan
1. Mampu menetapkan diagnosis atau differensial diagnosis penyakit di bidang penyakit kulit berdasarkan inspeksi, pemeriksaan fisik, investigasi tambahan sederhana yang diminta, seperti pemeriksaan laboratorium. 2. Mampu memberikan penatalaksanaan yang sesuai untuk meringankan gejala yang ditimbulkan dari kelainan kulit. 3. Sebagai sarana pelaporan kegiatan tutorial yang sudah berlangsung selama dua kali dalam seminggu.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


STRUKTUR DAN FUNGSI KULIT Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari lingkungan hidup manusia. Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama yaitu: 1. Lapisan epidermis atau kutikel 2. Lapisan dermis 3. Lapisan subkutis Tidak ada garis tegas yang memisahkan dermis dengan subkutis, subkutis ditandai dengan adanya jaringan ikat longgar dan adanya sel dari jaringan lemak. Lapisan epidermis terdiri atas: a. Stratum korneum (lapisan tanduk) Adalah lapisan kulit yang paling luar dan tersusun atas beberapa lapis sel-sel gepeng yang tidak berinti, dan protoplasmanya telah berubah menjadi keratin (zat tanduk) b. Stratum lusidum Merupakan lapisan sel-sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah menjadi protein yang disebut eleidin c. Stratum granulosum (lapisan keratohialin) Merupakan 2 atau 3 lapis sel sel gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti diantaranya. Butir-butir kasar ini terdiri atas keratohialain. d. Stratum spinosum (stratum malpighi) Disebut juga prickle cell layer, terdiri atas beberapa lapis sel yang berbentuk poligonal yang bentuknya berbeda-beda karena adanya proses mitosis. e. Stratum basale Terdiri atas sel-sel berbentuk kubus (kolumnar) yang tersusun vertikal pada perbatasan dermo-epidermal berbaris seperti pagar. Lapisan ini terdiri dari dua jenis sel, yaitu:

1. Sel-sel yang berbentuk kolumner dengan protoplasma basofilik inti lonjing dan besar, dihubungkan satu sama lain dengan jembatan antar sel 2. Sel pembentuk melanin (melanosit) atau clear cell merupakan sel-sel berwarna muda, dengan sitoplasma basifilik dan inti gelap, dan mengandung butir pigmen Lapisan dermis adalah lapisan di bawah epidermis yang jauh lebih tebal daripada epidermis. Lapisan ini terdiri atas lapisan elastik dan fibrosa padat dengan elemen-elemen selular dan folikel rambut. Secara garis besar dibagi menjadi dua bagian, yaitu: a. Pars papilare, yaitu bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah. b. Pars retikulare, yaitu bagian di bawahnya yang meninjl ke arah subkutan, bagian ini terdiri atas serabut-serabut penunjang misalnya serabut kollagen, elastin, dan retikulin. Lapisan subkutis adalah kelanjutan dermis, terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya. Sel-sel lemak merupakan sel bulat, besar, dengan inti terdesak ke pinggir sitoplasma lemak yang bertambah. Lapisan sel-sel lemak disebut panikulus adiposa, berfungsi sebagai cadangan makanan. Di lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah, dan getah bening. Kulit sendiri memiliki fungsi yang sangat penting bagi tubuh, diantaranya: 1. Fungsi proteksi Kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisis atau mekanis, misalnya tekanan, gesekan, tarikan, gangguan kimiawi serta gangguan infeksi. Hal ini dimungkinkan karena adanya bantalan lemak, tebalnya lapisan kulit dan serabut-serabut jaringan penunjang yang berperan terhadap gangguan fisis. 2. Fungsi absorpsi Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan, dan benda padat. Permeabilitas kulit terhadap O2, CO2, dan uap air memungkinkan kulit ikut mengambil bagian pada fungsi respirasi. Penyerapan pada kulit dapat belangsung melalui celah antar sel, menembus sel-sel epidermis atau melalui muara saluran kelenjar.

3. Fungsi ekskresi Kelenjar-kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna lagi atau sisa metabolisme dalam tubuh berupa NaCl, urea, asam urat, dan amonia. 4. Fungsi persepsi Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan sukutis. Terhadap rangsangan panas diperankan oleh badan-badan Ruffini di dermis dan subkutis. Terhadap dingin diperankan oleh badan-badan Krause yang terletak di dermis. Badan taktil Meissner terletak di papila dermis berperan terhadao rabaan, demikian pula badan Merkel Ranvier yang terletak di epidermis. Sedangkan terhadap tekanan diperankan oleh badan Pacini di epidermis. 5. Fungsi pengaturan suhu tubuh (termoregulasi) Kulit melakukan peranan ini dengan cara mengeluarkan keringat dan mengerutkan (kontraksi otot) pembuluh darah kulit. Kulit kaya akan pembuluh darah sehingga memungkinkan kulit mendapat nutrisi yang cukup baik. 6. Fungsi pembentukan pigmen Sel pembentuk pigmen (melanosit) terletak di lapisan basal dan sel ini berasal dari rigi saraf. Jumlah melanosit dan jumlah serta besarnya butiran pigmen (melanosomes) menentukan warna kulit ras maupun individu. 7. Fungsi keratinisasi Lapisan epidermis dewasa mempunyai 3 jenis sel utama yaitu keratinosit, sel langerhans, dan melanosit. Keratinosit dimulai dari sel basal mengadakan pembelahan, sel basal yang lain akan berpindah ke atas dan berubah bentuknya menjadi sel spinosum, makin ke atas makin gepeng dan bergranula menjadi sel granulosu. Makin lama inti menghilang dan keratinosit ini menjadi sel tanduk yang amorf. 8. Fungsi pembentukan vitamin D Dimungkinkan dengan mengubah 7 hidroksi kolestrol dengan pertolongan sinar matahari.

DERMATITIS Definisi Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respons terhadap pengaruh factor eksogen, atau factor endogen, menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, likenfikasi) dan keluhan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu timbul bersamaan, bahkan mungkin hanya beberapa (oligomorfik). Dermatitis cenderung residif dan menjadi kronis. Gejala klinis Pada umumnya penderita dermatitis mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada stadium penyakit, batasnya sirkumskrip dapat pula difus. Penyebarannya dapat setempat, generalisata dan universalis. Pada stadium akut kelainan kulit berupa eritema, edema, vesikel atau bula, erosi dan eksudasi, sehingga tampak basah (madidans). Stadium subakut eritema dan edema berkurang, eksudat mongering menjadi krusta. Sedang bapa stadium kronis lesi tampak kering, skuama, hiperpigmentasi, papul, dan likenfikasi, mungkin juga terdapat erosi atau ekskoriasi karena garukan. Stadium tersebut tidak selalu berurutan, bisa saja suatu dermaitits sejak awal member gambaran klinis berupa kelainan kulit stadium kronis. Demikian pula jenis efloresensi tidak selalu harus polimorfik, mungkin hanya oligomorfik. Pengobatan Sistemik. Pada kasus ringan dapat diberikan antihistamin. Pada kasus kaut dan berat dapat diberikan kortikosteroid. Topical. Prinsip umum terapi topical sebagai berikut. 1. Dermatitis akut/basah (madidans) diobati secara basah (kompres terbuka), bila subakut diberi losio (bedak kocok), krim, pasta, atau linimentum (pasta pendingin). Krim diberikan pada daerah yang berambut, sedang pasta pada daerah yang tidak berambut. Bila kronik diberi salep. 2. Makin berat atau akut penyakitnya, makin rendah presentasi obat spesifik.

Dermatitis kontak Ialah dermatitis yang disebabkan oleh bahan/ substansi yang menempel pada kulit. Ada 2 jenis, yaitu dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergik; keduanya dapt bersifat akut maupun kronis. Dermatitis iritan merupakan reaksi peradangan kulit nonimunologik, jadi kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses sensitisasi. Sebaliknya, dermatitis kontak alergik terjadi pada seseorang yang telah mengalami senssitisasi terhadap suatu allergen. 1. Dermatitis kontak iritan (DKI) penyebab munculnya dermatitis jenis ini ialah bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam, alkali dan serbuk kayu. Kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran molekul, daya larut, konsentrasi bahan tersebut, dan vehikulum, juga dipengaruhi oleh factor lain. factor yang dimaksud antara lain: lama kontak, kekerapan, adanya oklusi menyebabkan kulit lebih permeable, demikian pula gesekan dan trauma fisis. Suhu dan kelembaban juga ikut berperan. Pathogenesis Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk, dan mengubah daya ikat air kulit. Diagnosis Diagnosis DKI didasarkan anamnesis yang cermat dan pengamatan gambaran klinis. DKI akut lebih mudah diketahui karena munculnya lebih cepat sehingga penderita pada umumnya masih ingat apa yang menjadi penyebabnya. Sebaliknya, DKI kronis timbulnya lambat serta mempunyai variasi gambaran klinis yang luas, sehingga ada kalanya sulit dibedakan dengan dermatitis kontak alergik. Untuk ini diperlukan uji temple dengan bahan yang dicurigai. Pengobatan Upaya pengobatan DKI yang terpenting adalah menghindari pajanan bahan iritan, baik yang bersifat mekanik, fisis, maupun kimiawi, serta menyingkirkan factor yang memperberat. Bila hal ini dapat dilaksanakan dengan sempurna, dan tidak terjadi komplikasi, maka DKI tersebut akan sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan topical, mungkin cukup dengan pelembab untuk memperbaiki kulit

yang kering. Apabila diperlukan, untuk mengatasi peradangan dapat diberikan kortikosteroid topical, misal hidrocortison, atau untuk kelainan yang kronis dapat diawali dengan kortikosteroid yang lebih kuat.

2. Dermatitis kontak alergika (DKA) penyebabnya adalah bahan kimia sederhana dengan berat molekul umumnya rendah. Merupakan allergen yang belum diproses, disebut hapten, bersifat lipofilik, sangan reaktif, dapat menembus stratum korneum sehingga mencapai sel epidermis di bawahnya. Berbagai factor yang berpengaruh dalam timbulnya DKA: potensi sensitisasi allergen, dosis per unit area, luas daerah yang terkena, lama pajanan, oklusi, suhu dan kelembaban lingkungan, vehikulum, dan pH. Pathogenesis Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada DKA adalah mengikuti respon imun yang diperantarai oleh sel (cell-mediated immune respons) atau reaksi imunologik tipe IV, suatu hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi ini terjadi melalui dua fase, yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi. Hanya individu yang telah mengalami sensitisasi dapat menderita DKA. Gejala klinis Penderita umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada keparahan dermatitis dan lokalisasinya. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). DKA akut di tempat tertentu, misalnya kelopak mata, penis, skrotum, eritema dan edema lebih b=dominan daripada vesikel. Pada yang kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenfikasi dan mungkin juga fisur, batasnya tidak jelas. Kelainan ini sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan kronis; mungkin penyebabnya juga campuran. DKA dapat meluas ke tempat lain, misalnya dengan cara autosensitisasi. Scalp, telapak tangan dan kaki relative resisten terhadap DKA. Diagnosis Diagnosis didasarkan atas hasil anamnesis yang vermat dan pemeriksaan klinis yang teliti.

Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan kelainan kulit yang ditemukan. Misalnya, ada kelainan kulit berukuran nummular di sekitar umbilicus berupa hiperpigmentasi, likenfikasi, dengan papul dan erosi, maka perlu ditanyakan apakah penderita mekmakai kancing celana atau kepala ikat pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data yang berasal dari anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topical yang pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang diketahui menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah dialami, riwayat atopi, baik dari yang bersangkutan maupun keluarganya. Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokasi dan pola kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Misalnya, di ketiak oleh deodorant, di pergelangan tangan oleh jam tangan, di kedua kaki oleh sepatu/sandal. Pemeriksaan hendaknya dilakukan yang cukup terang, pada seluruh kulit untukk melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab-sebab endogen. Diagnosis banding. Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan gambaran morfologik yang khas, dapat menyerupai dermatitis atopic, dermatitis numularis, dermatitis seboroik, atau psoriasis. Diagnosis banding yang terutama ialah dengan DKI. Dalam keadaan ini pemeriksaan uji temple perlu dipertimbangkan untuk menentukan, apakah dermatitis tersebut karena kontak alergi. Pengobatan. Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah upaya pencegahan terulangnya kontak kembali dengan allergen penyebab, dan menekan kelainan kulit yang timbul. Kortikosteroid dapat diberikan dalam jangka pendek untuk mengatasi peradangan pada DKA akut yang ditandai dengan eritema, edema, vesikel atau bula, serta eksudatif (madidans) misalnya prednisone 30 mg/hari. Umumnya kelainan kulit akan mereda setelah beberapa hari. Sedangkan kelainan kulitnya cukup dikompres dengan larutan garam faal atau larutan air salisil 1:1000. Untuk DKA ringan atau DKA akut yang telah mereda ( setelah mendapat pengobatan kortikosteroid sistemik), cukup diberikan kortikosteroid atau makrolaktam (pimecrolimus atau tacrolimus) secara topical.

3. Dermatitis atopik Definisi. Dermatitis atopic (DA) ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal yang umunya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada keluarga atau penderita (DA, rhinitis alergik, dan atau asma bronchial). Kelainan kulit berupa papul gatal, yang kemudian mengalami ekskoriasi dan likenfikasi, distribusinya di lipatan (fleksural). Etiopatogenesis. Berbagai factor ikut berinteraksi dalam pathogenesis DA, misalnya factor genetic, lingkungan, sawar kulit, farmakologik, dan imunologik. Konsep dasar terjadinya DA adalah melalui reaksi imunologik, yang diperantarai oleh sel-sel yang berasal dari sumsum tulang. Kadar IgE dalam serum penderita DA dan jumlah eosinofil dalam darah perifer umumnya meningkat. Terbukti bahwa ada hubungan secara sistemik antara DA dan alergi saluran nafas karena 80% anak dengan DA mengalami asma bronchial atau rhinitis alergik. Dari percobaan pada tikus yang disensitisasi secara epikutan dengan antigen, akan terjadi dermatitis alergik, IgE dalam serum meningkat, eosinofilia saluran napas, dan respons berlebihan terhadap metakolin. Hal tersebut menguatkan dugaan bahwa pajanan allergen pada DA akan mempermudah timbulnya asma bronchial. Gambaran klinis. Kulit penderita DA pada umumnya kering, pucat, redup, kadar lipid di epidermis berkurang, dan kehilangan air lewat epidermis meningkat. Jari tangan terab dingin. Penderita DA cenderung tipe astenik, dengan inteligensia di atas rata-rata, sering merasa cemas, egois, frustasi, agresif, atau merasa tertekan. Gejala utama DA alaha pruritus, dapat hilang timbul sepanjang hari, tetrapi umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita akan menggaruk sehingga timbul bermacam-macam kelainan kulit berupa papul, likenfikasi, eritema, erosi, ekskoriasi, eksudasi, dan krusta. DA dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu DA infantile (terjadi pada usia 2bln 2thn), DA anak (2-10thn), dan DA pada remaja dan dewasa.

DA infantile. DA paling sering muncul pada tahun pertama kehidupan, biasanya setelah usia 2bulan. Lesi mulai di muka (dahi, pipi) berupa eritema, papulo

vesikel, yang halus, karena gatal digosok, pecah, eksudatif, dan akhirnya terbentuk krusta. Lesi kemudian meluas ke tempat lain yaitu scalp, leher, pergelangan tangan, lengan dan tungkia. Bila anak mulai merangkan, lesi ditemukan di lutut. Biasanya anak mulai menggaruk setelah umur 2bulan. Rasa gatal yang timbul sangat mengganggu sehingga anak gelisah, susah tidur, dan sering menangis. Pada umumnya lesi DA infantile eksudatif, banyak eksudat, eorsi, krusta dan dapt mengalami infeksi. Lesi dapat meluas generalisata bahkan, walaupun jarang, dapat terjadi eritoderma. Lambat laun lesi menjadi kronis dan residif. Sekitar usia 18bulan mulai tampak likenfikasi. Pada sebagian besar penderita sembuh setelah usai 2 tahun, mungkin juga sebelumnya, sebagian lagi berlanjut menjadi bentuk anak. Pada saat itu penderita tidak lagi mengalami eksaserbasi bial makan makanan yang sebelumnya menyebabkan kambuh penyakitnya. Larangan makan atau minuman yang mengandung susu sapi pada bayi masih ada silang pendapat. Ada yang melaporkan bahwa kelainan secara dramatis membaik setelah makanan tersebut dihentikan, sebaliknya ada pula yang mendapatkan tidak ada perbedaan.

DA pada anak. Dapat merupakan kelanjutan bentuk infantile atau timbul sendiri (de novo). Lesi lebih kering tidak begitu eksudatif, lebih banyak papul, likenfikasi, dan sedikit skuama. Letak kelainan kulit di lipat siku, lipat lutut, pergelangan tangan bagian fleksor, kelopak mata, leher, jarang di muk. Rasa gatal menyebabkan penerita sering menggaruk, dapat terjadi erosi, likenfikasi mungkin juga mengalami infeksi sekunder. Akibat garukan, kulit menebal dan perubahan lainnya yang menyebabkan gatal, sehingga terjadi lingkaran setan siklus gatalgaruk. Rangsangan menggaruk sering di luar kendali. Penderita sensitive terhadap wol, bulu kucing dan anjing juga bulu ayam, burung dan sejenisnya. DA pada remaja dan dewasa. Lesi kulit DA pada bentuk ini dapat berupa plak popular-eritematosa dan berskuama, atau plak likenfikasi yang gatal. Pada DA remaja lokalisasi lesi di lipat siku, lipat lutut, dan samping leher, dahi, dan sekitar mata. Pada DA dewasa, distribusi lesi kurang karakteristik, sering mengenai tangan dan pergelangan tangan, dpat pula ditemukan setempat, misalnya di bibir

(kering, pecah, bersisik), vulva, putting susu, atau scalp. Kadang erupsi meluas dan paling parah di lipatan, mengalami likenfikasi. Lesi kering, agak menimbul, papul datar dan cenferung bergabung menjadi plak likenfikasi dengan sedikit skuama dan sering terjadi ekskoriasi dan eksudasi karena garukan. Lambat laun terjadi hiperpigmentasi. Lesi yang gatal, teruatama pada malam hari waktu beristirahat. Pada orang dewas sering mengeluh bahwa penyakitnya kambuh bila mengalami stress. Mungkin karena stress dapat menurunkan ambang rangsang gatal. Penderita atopic memang sulit mengeluarkan keringat, sehingga rasa gatal timbul bila mengadakan latihan fisik. Diagnosis banding. Sebagai DD DA ialah dermatitis seboroik (terutama bayi), dermatitis kontak, dermatitis numularis, scabies, iktiosis, psoriasis (terutama di daerah palmoplantar), dermatitis herpetiformis, sindrom Sezary, dan penyakit Letterer-Siwe. Pada bayi juga sindrom imunodefisiensi, misalnya sindrom Wiskott-Aldrich, dan sindrom hiper IgE. Penatalaksanaan. Pengobatan topical hidrasi kulit, dan kortikosteroid topical. Imunomodulator topical: tacrolimus, pimekrolimus, preparat ter, antihistamin. Pengobatan sistemik: kortikosteroid, antihistamin, anti-infeksi, interferon, siklosporin.

TERAPI TOPIKAL Lima komponen untuk keberhasilan pemakaian terapi topikal adalah diagnosis yang tepat, jenis lesi yang diobati, obat (zat aktif), vehikulum yang dipakai, dan metode pemakaian obat. Vehikulum adalah bahan dasar tempat obat aktif dari terapi topikal terdapat. Secara klinis, preparat-preparat tersebut dikenal sebagai losio, krim, gel, salep, pasta, dan sebagainya. Bila obat yang dipakai benar, tetapi vehikulumnya salah, maka respon terapi dapat tertunda, tidak adekuat, atau pada beberapa kasus memperburuk keadaan (Goldstein, 2001).

KORTIKOSTEROID TOPIKAL Efektivitas kortikosteroid topikal baik untuk pengobatan inflamasi dermatitis. Efektivitas terapeutik kortikosteroid topikal terutama berdasarkan aktivitas antiinflamasinya.

ANTIHISTAMIN Antihistamin penghambat reseptor H1 (AH1) AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus, & bermacammacam otot polos. Selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai pelepasan histamin endogen berlebihan. Pada otot polos, menghambat keja histamin otot polos (usus, bronkus). Menghambat bronkokonstriksi akibat efek histamin pada bronkus. Permeabilitas kapiler, AH1 dapat menghambat secara efektif peninggian permeabilitas kapiler & udem akibat histamin. Reaksi anafilaksis & alergi, AH1 mampu melawan reaksi hipersensitivitas namun tergantung beratnya gejala akibat efek histamin. Kelenjar eksokrin, AH1 kurang efektif dalam menurunkan sekresi asam lambung. AH1 dapat menghambat sekresi saliva & sekresi kelenjar eksokrin lain akibat histamin. SSP, efeknya bisa menghambat atau merangsang. Efek merangsang SSP pada AH1 dosis terapi biasanya menyebabkan insomnia, gelisah, dan eksitasi. Efek menghambat SSP pada AH1 dosis terapi misalnya kurangnya kewaspadaan dan waktu reaksi lambat. Anestesi lokal. Antikolinergik. Setelah pemberian oral atau parenteral, AH1 diabsobsi secara baik. Efeknya timbul 15-30 menit setelah pemberian oral, & maksimal setelah 1-2 jam. Lama kerja AH1 kira-kira 4-6 jam. Efek samping berupa sedasi, vertigo, tinitus, lelah, penat, inkoordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euforia, gelisah, insomnia, tremor, nafsu makan

berkurang, mual, muntah, konstipasi/diare, mulut kering, disuria, palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat & lemah pada tangan.

Penggunaan Klinik AH1 untuk Reaksi Alergi Obat AH1 seringkali merupakan obat pertama untuk mencegah & mengobati gejala reaksi alergi. Pada alergi rhinitis & urtikaria, AH1 merupakan obat yang efektif, sedangkan kurang efektif pada asma bronkhial. Untuk dermatitis atopik, obat antihistamin seperti difenhidramin digunakan umumnya untuk efek sedasi & menghilangkan rasa gatal.

SKIN PRICK TEST Uji ini bekerja dengan mendeteksi IgE spesifik pada sel kulit. Uji ini biasa dilakukan jika alergen yang dicurigai berasal dari inhalan (alergen yang dihirup) atau alergi makanan. Sebelum melaksanakan uji ini, obat antihistamin harus dihentikan. Uji ini dilakukan di bagian dalam lengan bawah. Jika area tersebut terkena eksim, maka uji dapat pula dilakukan di punggung. Dalam uji ini, terdapat beberapa alergen yang diteteskan pada kulit. Kemudian, kulit ditusuk sedikit dengan ujung jarum yang sangat kecil dengan tujuan memasukkan sedikit alergen ke bagian bawah kulit. Jika uji ini positif, maka kulit menjadi gatal dan timbul bentol kemerahan. Diameter terbesar akan tercapai sekitar 15 menit dan akan menghilang dalam waktu 1 jam. Diameternya bervariasi antara 3-5 mm. Namun ukuran bentol tersebut tidak mencerminkan berat ringannya alergi yang ditimbulkan oleh alergen tersebut. Hasil uji positif menunjukkan bahwa terdapat antibodi terhadap alergen tersebut yang dapat menyebabkan gejala alergi. Uji ini relatif aman karena alergen yang digunakan sangat sedikit. Efek samping yang paling sering terjadi adalah gatal pada lokasi penusukan. Namun jika Anda pernah mengalami alergi berat, maka uji kulit ini tidak dianjurkan karena ditakutkan terjadi reaksi alergi berat berulang.

SKIN PATCH TEST Uji ini dilakukan untuk kasus dermatitis kontak (eksim). Alergen yang akan diujikan diletakkan dalam suatu patch dan ditempelkan di kulit, biasanya di punggung. Patch akan dibiarkan menempel selama 48 jam dan selama itu kulit harus dalam keadaan kering. Setelah 48 jam, kulit kemudian diperiksa apakah terdapat kemerahan, pembengkakan, dan rasa gatal. Sebelum melaksanakan uji ini, krim steroid harus dihentikan.

BAB III PEMBAHASAN


Kembali pada skenario sebelumnya, seorang anak laki-laki, usia 12 tahun

datang diantar ibunya ke puskesmas dengan keluhan gatal sejak 2 minggu yang lalu. Gatal dirasakan di daerah lipat siku dan lipat lutut. Di daerah tersebut terdapat bercak-bercak kemerahan, keluhan ini bersifat kambuh-kambuhan sejak usia satu tahun. Setiap kali kambuh diperiksakan ke dokter dan sembuh setelah diberi obat. Selain gatal-gatal penderita juga menderita asma yang mulai muncul pada usia 6 tahun. Ibunya mempunyai riwayat sering bersin pagi hari atau bila cuaca dingin. Pada pemeriksaan fisik didapatkan bercak eritematosa , papul, plakat yang disertai erosi di daerah kedua lipat siku dan lutut. Oleh dokter diberikan kortikosteroid topikal dan antihistamin oral. Penderita dianjurkan berkonsultasi dengan dokter spesialis kulit untuk direncanakan skin prick test. Pada kromosom 5q31-33 mengandung kumpulan family gen sitokin IL-3, IL-4. IL-13 dan GM-CSF yang diekspresikan oleh sel TH-2. Reaksi imunologi yang mendasari patofisiologi dermatitis atopi adalah reaksi hipersensitivitas tipe I. Bila tubuh penderita atopi terpajan dengan alergen tertentu, maka sel Th akan berdiferensiasi menjadi Th2. Sel APC akan mempresentasikan antigen kepada sel Th2. Selain itu sel Th2 akan memproduksi IL4 yang akan semakin meningkatkan diferensiasi sel Th. Selain IL4, diproduksi pula IL5 yang akan menarik eosinofil ke daerah peradangan; IL13 yang bersama IL4 akan merangsang sel B memproduksi IgE dan IgG4. IgE akan mengadakan ikatan dengan sel mast. Jika ada pajanan ulang, akan terjadi cross linking dari dua IgE yang menyebabkan degranulasi sel mast sehingga akan keluar mediator-mediator inflamasi seperti histamin, triptase, leukotrien, IL3, GM-CSF, TNF, IL4, IL5, RANTES. Adanya mediator inflamasi tersebut, khususnya histamin, akan merangsang vasodilatasi kapiler yang akan tampak sebagai eritema. Selain itu akan terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah sehingga terjadi kebocoran plasma dan infiltrasi sel-sel radang sehingga tampak sebagai papula dan plakat.

Gatal yang terjadi menunjukkan proses yang kronik residif. Rasa gatal atau pruritus ada dua jenis, yang pertama dapat timbul karena berbagai rangsangan imunologik dan non imunologik, kemudian dilepaskan mediator peradangan dan enzim proteolitik. Sedangkan rasa gatal yang kedua dapat disebabkan faktor intrinsik kulit, yaitu ambang gatal yang rendah. Eksaserbasi pruritus timbul karena berbagai alergen, kelembaban rendah, keringat berlebih dan bahan iritan sehingga memancing penderita untuk menggaruk. Garukan ini menyebabkan luka dan erosi. Erosi merupakan lecet kulit akibat kehilangan lapisan sebelum lapisan stratum basalis, yang ditandai dengan keluarnya serum di daerah tersebut. Berdasarkan kasus di atas, dapat dilihat adanya hubungan genetik orang tua dengan anak. Hal ini diperkuat dengan ibu yang memiliki rhinitis alergi. Apabila salah satu orang tua memiliki alergi maka akan diturunkan ke anak sebebsar 17%-20%. Jika dua-duanya mempunyai alergi, maka akan diturunkan ke anak sebesar 50%-70%. Dermatitis atopik pada umur kurang dari 2 tahun akan melanjut menjadi asma dan semakin meningkat jika ada keluarga yang mempunyai riwayat alergi. Pemberian kortikosteroid topikal sebagai anti inflamasi dan mengurangi sintesis kolagen. Krotikosteroid topikal menyebabkan vasokonstriksi sehingga dapat mengurangi eritema. Selain itu, juga berefek sebagai anti mitosis yang dapat mempengaruhi sintesis DNA. Efek samping penggunaan kortikosteroid topikal dapat menyebabkan atrofi pada kulit. Keberhasilan penggunaan kortikosteroid topikal dapat dilihat dari 5 hal, yaitu diagnosis yang tepat, letak, dan jenis lesi, bahan dasar obat yang dipakai, zat aksis dan metode pemakaian obat. Sedangkan pemberian antihistamin oral berfungsi untuk menghilangkan rasa gatal yang timbul dengan cara menutup reseptor dari histamin. Mengapa disarankan untuk melakukan skin prick test? Hal ini dilakukan untuk menemukan sebab dari alergi yang timbul. Apabila sudah diketahui faktor pemicunya, diharapkan untuk menghindari faktor pemicu tersebut supaya mengurangi kekambuhan dermatitis atopik.

BAB IV PENUTUP
A. Simpulan
Penderita ini menderita dermatitis atopik dimana reaksi imunologi yang mendasari patofisiologi dermatitis atopi adalah reaksi hipersensitivitas tipe I. Jika penderita terpajan alergen tertentu sesuai jalur reaksi hipersensitivitas, akan mengeluarkan mediator-mediator inflamasi khususnya histamin, akan merangsang
vasodilatasi kapiler yang akan tampak sebagai eritema. Selain itu akan terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah sehingga terjadi kebocoran plasma dan infiltrasi sel-sel radang sehingga tampak sebagai papula dan plakat.

Dermatitis atopik pada umur kurang dari 2 tahun akan melanjut menjadi asma dan semakin meningkat jika ada keluarga yang mempunyai riwayat alergi.

B.

Saran
1. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan tambahan berupa skin prick test pada penderita yang bertujuan untuk mengetahui alergen apa yang mendasari dermatitis atopik pada penderita tersebut. 2. Apabila sudah diketahui faktor pemicunya, diharapkan untuk menghindari faktor pemicu tersebut supaya mengurangi kekambuhan dermatitis atopik.

DAFTAR PUSTAKA
Barnes. 2008. Asthma and COPD basic mechanisms and clinical management, 2nd ed : Diagnosis of Asthma and COPD. Academic Press.
Dorland, W.A. Newman. 2006. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Djuanda, Prof. Dr. dr. Adhi. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Keempat. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Goldstein, Beth, G., Goldstein, Adam O. 2007. Dermatologi Praktis. Jakarta: Hipokrates.
Gunawan, Sulistia Gan. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Guyton, et al. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Katzung, Bertram G., 2009. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi VI. Jakarta: EGC. Wasitaatmadja, Syarif M. 2007. Anatomi Kulit. Dalam: Djuanda, Adhi, dkk. eds. lmu Penyakit Kulit dan Kelamin. ed V. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Wolff, K.,et al. 2007. Fitzpatricks colour atlas and synopsis of Clinical Dermatology. 5th ed. The McGraw-Hill Companies

Anda mungkin juga menyukai