Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sindrom Stevens-Johnson (SJS) pertama kali dijelaskan pada 1922,
sebagai sindrom mucocutaneous akut pada anak-anak muda. Kondisi
tersebut ditandai dengan konjungtivitis purulen parah, stomatitis berat
dengan nekrosis mukosa yang luas, dan makula purpura. Ini dikenal sebagai
SJS dan diakui sebagai mucocutaneous parah penyakit dengan kursus
berkepanjangan dan berpotensi hasil mematikan yang dalam banyak kasus
obat-induced, dan harus dibedakan dari eritema multiforme (EM) Majus.
Studi klinis terbaru menunjukkan bahwa istilah 'EM Majus' tidak boleh
digunakan untuk menggambarkan SJS karena mereka adalah gangguan
yang berbeda.
TEN pertama kali dikemukakan pada tahun 1956, merupakan varian
Eritema Multiforme Mayor (EMM) tetapi beberapa penulis telah
memisahkan TEN sebagai suatu penyakit tersendiri. Insidensi TEN
diperkirakan 1-6 kasus/1 juta orang/tahun di Eropa dan Amerika. Terdapat
3 penderita TEN yang tercatat di Bagian Rawat Inap Departemen Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Abdul Moeloek (RSAM)
Lampung sejak bulan Maret 2010 sampai Maret 2015.
Etiologi TEN belum diketahui, diduga penyebabnya adalah alergi
obat, infeksi, keganasan, atau idiopatik. Obat-obatan merupakan penyebab
yang paling sering ditemukan. Kelainan kulit dapat timbul beberapa hari
pertama sampai dengan delapan minggu setelah penggunaan obat.
Patogenesis TEN belum diketahui secara pasti, diduga merupakan reaksi
alergi tipe III dan IV. Diagnosis NET ditegakkan atas dasar anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Penatalaksanaan utama
TEN adalah menyelamatkan jiwa penderita, salah satunya dengan segera
mengidentifikasi dan menghentikan obat yang dicurigai sebagai penyebab
timbulnya kelainan.
Penatalaksanaan yang baik akan memberikan prognosis yang baik
dan dapat sembuh sempurna dalam waktu 2-3 minggu. Kasus berat dengan

1
komplikasi atau penatalaksanaan yang terlambat dan tidak adekuat, dapat
menyebabkan kematian.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana Anatomi dan Fisiologi Kulit?


2. Bagaimana pengertian dari Toksik Epidermal Nekrolisis ?
3. Bagaimana epidemiologi dari Toksik Epidermal Nekrolisis?
4. Apakah etiologi dari Toksik Epidermal Nekrolisis?
5. Bagaimana patofisiologi dari Toksik Epidermal Nekrolisis?
6. Apakah manifestasi klinis yang terjadi pada Toksik Epidermal
Nekrolisis?
7. Bagaimana penatalaksanaan dari Toksik Epidermal Nekrolisis?
8. Apakah komplikasi yang terjadi pada dari Toksik Epidermal
Nekrolisis?
9. Bagaimana asuhan keperawatan pada Toksik Epidermal Nekrolisis?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui Anatomi dan Fisiologi Kulit
2. Untuk mengetahui pengertian dari Toksik Epidermal Nekrolisis.
3. Untuk mengetahui epidemiologi dari Toksik Epidermal Nekrolisis.
4. Untuk mengetahui etiologi dari Toksik Epidermal Nekrolisis.
5. Untuk mengetahui patofisiologi dari Toksik Epidermal Nekrolisis.
6. Untuk mengetahui manifestasi klinis yang terjadi pada dari Toksik
Epidermal Nekrolisis.
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari Toksik Epidermal Nekrolisis.
8. Untuk mengetahui komplikasi pada dari Toksik Epidermal Nekrolisis.
9. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada Toksik Epidermal
Nekrolisis

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Anatomi dan Fisiologi Kulit


Kulit merupakan pembungkus yang elastisk yang melindungi tubuh
dari pengaruh lingkungan. Kulit juga merupakan alat tubuh yang terberat
dan terluas ukurannya, yaitu 15% dari berat tubuh dan luasnya 1,50 – 1,75
m2. Rata- rata tebal kulit 1-2 mm. Paling tebal (6 mm) terdapat di telapak
tangan dan kaki dan paling tipis (0,5 mm) terdapat di penis. Kulit terbagi
atas tiga lapisan pokok, yaitu epidermis, dermis atau korium, dan jaringan
subkutan atau subkutis. (Syaifuddin, 2014)

Gambar 1 : Lapisan-lapisan Kulit

3
Epidermis terbagi atas empat lapisan yaitu (Syaifuddin, 2014):
1. Lapisan Basal atau Stratum Germinativum

2. Lapisan Malpighi atau Stratum Spinosum

3. Lapisan Granular atau Sratum Granulosum

4. Lapisan Tanduk atau Stratum Korneum

Pada telapak tangan dan kaki terdapat lapisan tambahan di atas


lapisan granular yaitu Stratum Lusidium atau lapisan-lapisan jernih.
Stratum Lusidium, selnya pipih, bedanya dengan stratum granulosum ialah
sel-selnya sudah banyak yang kehilangan inti dan butir-butir sel telah
menjadi jernih sekali dan tembus sinar. Dalam lapisan terlihat seperti suatu
pita yang bening, batas- batas sel sudah tidak begitu terlihat, disebut stratum
lusidium. Lapisan basal atau germinativum, disebut stratum basal karena
sel-selnya terletak di bagian basal. Stratum germinativum menggantikan
sel-sel yang di atasnya dan merupakan sel-sel induk. Bentuknya silindris
(tabung) dengan inti yang lonjong. Di dalamnya terdapat butir-butir yang
halus disebut butir melanin warna. Sel tersebut disusun seperti pagar
(palisade) di bagian bawah sel tersebut terdapat suatu membran yang
disebut membran basalis. Sel-sel basalis dengan membran basalis
merupakan batas terbawah dari epidermis dengan dermis. Ternyata batas ini
tidak datar tetapi bergelombang. Pada waktu kerium menonjol pada
epidermis tonjolan ini disebut papila kori (papila kulit), dan epidermis
menonjol ke arah korium. Tonjolan ini disebut Rete Ridges atau Rete Pegg
(prosessus interpapilaris).
Lapisan Malpighi atau lapisan spinosum/akantosum, lapisan ini
merupakan lapisan yang paling tebal dan dapat mencapai 0,2 mm terdiri dari
5-8 lapisan. Sel–selnya disebut spinosum karena jika kita lihat di bawah
mikroskop sel–selnya terdiri dari sel yang bentuknya poligonal (banyak
sudut) dan mempunyai tanduk (spina). Disebut akantosum karena sel–
selnya berduri. Ternyata spina atau tanduk tersebut adalah hubungan antara
sel yang lain disebut Interceluler Bridges atau jembatan interseluler.

4
Lapisan granular atau stratum granulosum, stratum ini terdiri dari
sel–sel pipih seperti kumparan. Sel–sel tersebut terdapat hanya 2-3 lapis
yang sejajar dengan permukaan kulit. Dalam sitoplasma terdapat butir–butir
yang disebut keratohiolin yang merupakan fase dalam pembentukan keratin
oleh karena banyaknya butir–butir stratum granulosum. Stratum korneum,
selnya sudah mati, tidak mempunyai inti sel (inti selnya sudah mati) dan
mengandung zat keratin.
Epidermis juga mengandung kelenjar ekrin, kelenjar apokrin,
kelenjar sebaseus, rambut dan kuku. Kelenjar keringat ada dua jenis, ekrin
dan apokrin. Fungsinya mengatur suhu tubuh, menyebabkan panas
dilepaskan dengan cara penguapan. Kelenjar ekrin terdapat di semua daerah
di kulit, tetapi tidak terdapat pada selaput lendir. Seluruhnya berjumlah
antara 2 sampai 5 juta, yang terbanyak di telapak tangan. Sekretnya cairan
jernih, kira–kira 99% mengandung klorida, asam laktat, nitrogen, dan zat
lain. Kelenjar apokrin adalah kelenjar keringat besar yang bermuara ke
folikel rambut. Tardapat di ketiak, daerah anogenital, puting susu, dan
areola. Kelenjar sebaseus terdapat di seluruh tubuh, kecuali di tapak tangan,
tapak kaki, dan punggung kaki. Terdapat banyak kulit kepala, muka, kening,
dan dagu. Sekretnya berupa sebum dan mengandung asam lemak,
kolesterol, dan zat lain.
Rambut terdapat diseluruh tubuh, rambut tumbuh dari folikel
rambut di dalamnya epidermis. Folikel rambut dibatasi oleh epidermis
sebelah atas, dasrnya terdapat papil tempat rambut tumbuh. Akar berada di
dalam folikel pada ujung paling dalam dan bagian sebelah luar disebut
batang rambut. Pada folikel rambut terdapat otot polos kecil sebagai
penegak rambut. Rambut terdiri dari rambut panjang di kepala, pubis dan
jenggot, rambut pendek dilubang hidung, liang telinga dan alis, rambut bulu
lanugo diseluruh tubuh, dan rambut seksual di pubis dan aksila (ketiak).
Kuku merupakan lempeng yang terbuat dari sel tanduk yang menutuoi
permukan dorsal ujung jari tangan dan kaki. Lempeng kuku terdiri dari 3
bagian yaitu pinggir bebas, badan, dan akar yang melekat pada kulit dan
dikelilingi oleh lipatan kulit lateral dan proksimal. Fungsi kuku menjadi
penting waktu mengutip benda–benda kecil.

5
Dermis merupakan lapisan kedua dari kulit. Batas dengan epidermis
dilapisi oleh membran basalis dan di sebelah bawah berbatasan dengan
subkutis tetapi batas ini tidak jelas hanya kita ambil sebagai patokan ialah
mulainya terdapat sel lemak. Dermis terdiri dari dua lapisan yaitu bagian
atas, pars papilaris (stratum papilar) dan bagian bawah, retikularis (stratum
retikularis). Batas antara pars papilaris dan pars retikularis adalah bagian
bawahnya sampai ke subkutis . baik pars papilaris maupun pars retikularis
terdiri dari jaringan ikat longgar yang tersusun dari serabut–serabut yaitu
serabut kolagen, serabut elastis dan serabut retikulus. Serabut ini saling
beranyaman dan masing–masing mempunyai tugas yang berbeda. Serabut
kolagen, untuk memberikan kekuatan kepada kulit, dan retikulus, terdapat
terutama di sekitar kelenjar dan folikel rambut dan memberikan kekuatn
pada alai tersebut.
Subkutis terdiri dari kumpulan–kumpulan sel–sel lemak dan di
antara gerombolan ini berjalan serabut–serabut jaringan ikat dermis. Sel–sel
lemak ini bentuknya bulat dengan intinya terdesak ke pinggir, sehingga
membentuk seperti cincin. Lapisan lemak ini disebut penikulus adiposus
yang tebalnya tidak sama pada tiap–tiap tempat dan juga pembagian antar
laki–laki dan perempuan tidak sama (berlainan). Guna penikulus adiposus
adalah sebagai shock braker atau pegas bila tekanan trauma mekanis yang
menimpa pada kulit, isolator panas atau untuk mempertahankan suhu,
penimbunan kalori, dan tambahan untuk kecantikan tubuh. Di bawah
subkurtis terdapat selaput otot kemudian baru terdapat otot.

B. Fisiologi Kulit
Kulit merupakan organ paling luas permukaannya yang
membungkus seluruh bagian luar tubuh sehingga kulit sebagai pelindung
tubuh terhadap bahaya bahan kimia, cahaya matahari mengandung sinar
ultraviolet dan melindungi terhadap mikroorganisme serta menjaga
keseimbangan tubuh terhadap lingkungan. Kulit merupakan indikator bagi
seseorang untuk memperoleh kesan umum dengan melihat perubahan yang
terjadi pada kulit. Misalnya menjadi pucat, kekuning–kuningan, kemerah–

6
merahan atau suhu kulit meningkat, memperlihatkan adanya kelainan yang
terjadi pada tubuh gangguan kulit karena penyakit tertentu.
Gangguan psikis juga dapat menyebabkan kelainan atau perubahan
pada kulit. Misalnya karena stress, ketakutan atau dalam keadaaan marah,
akan terjadi perubahan pada kulit wajah. Perubahan struktur kulit dapat
menentukan apakah seseorang telah lanjut usia atau masih muda. Wanita
atau pria juga dapat membedakan penampilan kulit. Warna kulit juga dapat
menentukan ras atau suku bangsa misalnya kulit hitam suku bangsa negro,
kulit kuning bangsa mongol, kulit putih dari eropa dan lain-lain. Perasaan
pada kulit adalah perasaan reseptornya yang berada pada kulit. Pada organ
sensorik kulit terdapat 4 perasaan yaitu rasa raba/tekan, dingin, panas, dan
sakit. Kulit mengandung berbagai jenis ujung sensorik termasuk ujung saraf
telanjang atau tidak bermielin. Pelebaran ujung saraf sensorik terminal dan
ujung yang berselubung ditemukan pada jaringan ikat fibrosa dalam. Saraf
sensorik berakhir sekitar folikel rambut, tetapi tidak ada ujung yang
melebaratau berselubung untuk persarafan kulit.
Penyebaran kulit pada berbagai bagian tubuh berbeda-beda dan
dapat dilihat dari keempat jenis perasaan yang dapat ditimbulkan dari
daerah-daerah tersebut. Pada pemeriksaan histologi, kulit hanya
mengandung saraf telanjang yang berfungsi sebagai mekanoreseptor yang
memberikan respon terhadap rangsangan raba. Ujung saraf sekitar folikel
rambut menerima rasa raba dan gerakan rambut menimbulkan perasaan
(raba taktil). Walaupun reseptor sensorik kulit kurang menunjukkan ciri
khas, tetapi secara fisiologis fungsinya spesifik. Satu jenis rangsangan
dilayani oleh ujung saraf tertentu dan hanya satu jenis perasaan kulit yang
disadari.
1. Fungsi Kulit
Kulit pada manusia mempunyai fungsi yang sangat penting
selain menjalin kelangsungan hidup secara umum yaitu :
a. Proteksi
Kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisis atau
mekanis, misalnya terhadap gesekan, tarikan, gangguan
kimiawi yang dapat menimbulkan iritasi (lisol, karbol dan asam

7
kuat). Gangguan panas misalnya radiasi, sinar ultraviolet,
gangguan infeksi dari luar misalnya bakteri dan jamur. Karena
adanya bantalan lemak, tebalnya lapisan kulit dan serabut–
serabut jaringan penunjang berperan sebagai pelindung
terhadap gangguan fisis. Melanosit turut berperan dalam
melindungi kulit terhadap sinar matahari dengan mengadakan
tanning (pengobatan dengan asam asetil).
b. Proteksi rangsangan kimia
Dapat terjadi karena sifat stratum korneum yang impermeable
terhadap berbagai zat kimia dan air. Di samping itu terdapat
lapisan keasaman kulit yang melindungi kontak zat kimia
dengan kulit. Lapisan keasaman kulit terbentuk dari hasil
ekskresi keringat dan sebum yang menyebabkan keasaman kulit
antara pH 5-6,5. Ini merupakan perlindungan terhadap infeksi
jamur dan sel–sel kulit yang telah mati melepaskan diri secara
teratur.
c. Absorbsi
Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan dan benda
padat, tetapi cairan yang mudah menguap lebih mudah diserap,
begitu juga yang larut dalam lemak. Permeabilitas kulit
terhadap O2, CO2 dan uap air memungkinkan kulit ikut
mengambil bagian pada fungsi respirasi. Kemampuan absorbsi
kulit dipengaruhi tebal tipisnya kulit, hidrasi, kelembapan dan
metabolisme. Penyerapan dapat berlangsung melalui celah di
antara sel, menembus sel–sel epidermis, atau melalui saluran
kelenjar dan yang lebih banyak melalui sel–sel epidermis.
d. Pengatur panas
Suhu tubuh tetap stabil meskipun terjadi perubahan suhu
lingkungan. Hal ini karena adanya penyesuaian antara panas
yang dihasilkan oleh pusat pengatur panas, medulla oblongata.
Suhu normal dalam tubuh yaitu suhu visceral 36-37,5 derajat
untuk suhu kulit lebih rendah. Pengendalian persarafan dan
vasomotorik dari arterial kutan ada dua cara yaitu vasodilatasi

8
(kapiler melebar, kulit menjadi panas dan kelebihan panas
dipancarkan ke kelenjar keringat sehingga terjadi penguapan
cairan pada permukaan tubuh) dan vasokonstriksi (pembuluh
darah mengerut, kulit menjadi pucat dan dingin, hilangnya
keringat dibatasi, dan panas suhu tubuh tidak dikeluarkan).
e. Ekskresi
Kelenjar–kelenjar kulit mengeluarkan zat–zat yang tidak
berguna lagi atau zat sisa metabolisme dalam tubuh berupa
NaCl, urea, asam urat, dan amonia. Sebum yang diproduksi oleh
kulit berguna untuk melindungi kulit karena lapisan sebum
(bahan berminyak yang melindungi kulit) ini menahan air yang
berlebihan sehingga kulit tidak menjadi kering. Produksi
kelenjar lemak dan keringat menyebabkan keasaman pada kulit.
f. Persepsi
Kulit mengandung ujung–ujung saraf sensorik di dermis dan
subkutis. Respons terhadap rangsangan panas diperankan oleh
dermis dan subkutis, terhadap dingin diperankan oleh dermis,
peradaban diperankan oleh papila dermis dan markel renvier,
sedangkan tekanan diperankan oleh epidermis. Serabut saraf
sensorik lebih banyak jumlahnya di daerah yang erotik.
g. Pembentukan Pigmen
Sel pembentukan pigmen (melanosit) terletak pada lapisan
basal dan sel ini berasal dari rigi saraf. Melanosit membentuk
warna kulit. Enzim melanosum dibentuk oleh alat golgi dengan
bantuan tirosinase, ion Cu, dan O2 terhadap sinar matahari
memengaruhi melanosum. Pigmen disebar ke epidermis
melalui tangan–tangan dendrit sedangkan lapisan di bawahnya
dibawa oleh melanofag. Warna kulit tidak selamanya
dipengaruhi oleh pigmen kulit melainkan juga oleh tebal-
tipisnya kulit, reduksi Hb dan karoten.

h. Keratinisasi

9
Keratinosit dimulai dari sel basal yang mengadakan
pembelahan. Sel basal yang lain akan berpindah ke atas dan
berubah bentuk menjadi sel spinosum. Makin ke atas sel ini
semakin gepeng dan bergranula menjadi sel granulosum.
Semakin lama intinya menghilang dan keratinosit ini menjadi
sel tanduk yang amorf. Proses ini berlangsung terus menerus
seumur hidup. Keratinosit melalui proses sintasis dan
degenerasi menjadi lapisan tanduk yang berlangsung kira–kira
14-21 hari dan memberikan perlindungan kulit terhadap infeksi
secara mekanis fisiologik.
i. Pembentukan vitamin D
Dengan mengubah dehidroksi kolesterol dengan pertolongan
sinar matahari. Tetapi kebutuhan vitamin D tidak cukup dengan
hanya dari proses tersebut. Pemberian vitamin D sistemik masih
tetap diperlukan.

2. Modalitas Rasa Kulit


Rasa mekanik, rasa suhu dan rasa nyeri berbeda dengan alat
indra yang lain. Reseptornya tergabung dalam satu organ tertentu.
Masing–masing reseptor modalitas rasa ini berdiri sendiri secara
terpisah dan tersebar hampir diseluruh bagian tubuh. Serat aferennya
tidak membentuk berkas saraf khusus tetapi tersebar pada banyak saraf
perifer dan jaringan saraf di pusat. Dengan demikian modalitas rasa ini
tidak membentuk alat indra tertentu yang khas.
Rasa mekanik mempunyai beberapa modalitas (kualitas) yaitu
rasa tekan, rasa raba, dan rasa geli yang berbeda di setiap bagian tubuh
tetentu. Dengan menggunakan aestesiometer dapat diketahui bagian
kulit yang paling peka terhadap rangsangan. Pada permukaan kulit yang
peka, titik tekan lebih padat dibandingkan dengan kulit lain. Titik rasa
tekan tersebut merupakan manifestasi adanya reseptor tekan pada
bagian kulit di bawahnya.

10
Rasa suhu mempunyai dua submodalitas yaitu rasa dingin dan
rasa panas. Reseptor dingin/panas berfungsi mengindrai rasa
dingin/rasa panas dan refleks pengaturan suhu tubuh. Reseptor ini
dibantu oleh reseptor yang terdapat di dalam sistem saraf pusat. Dengan
pengukuran waktu reaksi, dapat dinyatakan bahwa kecepatan hantaran
rasa panas. Dengan anastesi blok rasa dingin/panas dapat diblok
sehingga objektif maupun subjektif rasa dingin dan panas dapat
dipisahkan. Rasa propriosepsi berasal dari dalam tubuh sendiri atau
disebut juga rasa dalam. Reseptor tidak terdapat pada kulit tetapi
dibagian lebih dalam yaitu di dalam otot, tendo, dan sendi. Informasi
propriosepsi dihantarkan ke medulla spinalis melalui kolom dorsal
masuk ke serebelum. Sebagian berjalan kelaminikus medial dan
thalamus ke korteks. Impuls berasal dari komparan otot, organ sensorik
di dalam, dan sekitar sendi. Neuron dalam korteks sensoris berespons
terhadap gerakan–gerakan tertentu. Rasa nyeri timbul oleh rangsangan
yang merusak. Rasa nyeri ini terutama berfungsi untuk pelindungi,
mencegah kerusakan lebih lanjut dari jaringan yang terkena. Modalitas
rasa nyeri dibagi atas submodalitas nyeri somatik dan nyeri visera.
Nyeri somatik dibagi menjadi submodalitas nyeri permukaan dan nyeri
dalam. Zat kimia pada kadar tertentu dapat menimbulkan nyeri
(misalnya : asetilkoin, serotonin, histamine yang juga menimbulkan
rasa gatal). Rasa nyeri terdiri dari nyeri proyeksi. nyeri alih,
hiperalgesia, hipalgesia dan nyeri kronis. Rasa gatal merupakan bentuk
khusus rasa nyeri yang timbul pada kondisi perangsangan tertentu.
Perangsangan yang berurutan dengan rangsangan makin kuat. Suatu
saat rasa gatal yang timbul diganti dengan rasa nyeri. Bila
rangsangannya mencapai intensitas yang tinggi, rasa gatal yang dialami
dapat hilang. Bila jaras spinotalamatik yang sedang dilewati rasa gatal.
Rasa nyeri dengan cara tertentu jika titik gatal sama dengan titik nyeri.
Reseptor gatal terletak pada bagian kulit permukaan sedangkan reseptor
nyeri terdapat lebih dalam dari kulit.

C. Pengertian Toksik Epidermal Nekrolisis

11
Stevens-Johnson Syndrome (SJS) dan Toksik epidermal nekrolisis
(TEN) adalah suatu penyakit kulit yang disebabkan oleh obat-obatan yang
menyebabkan Reaksi hipersensitivitas ditandai peradangan luas dari
epidermis, berakhir di nekrosis dan pengelupasan di jaringan kulit.
(Djuanda, 2010)
TEN merupakan suatu proses penyakit yang di sebabkan oleh
kematian sel keratinocyte yang luas yang mengakibatkan pemisahan area
kulit dermal dan epidermal dengan produksi bullae di kulit. Kematian sel
meluas samapai mengarah ke detasemen selaput lendir dan gejala khas yang
ditimbulkan meliputi demam tinggi, mucositis, dan moderat sampai
pengelupasan kulit yang parah, kecemasan, dan asthenia. (Hoetzenecker &
dkk, 2016). Toksik epidermal nekrolisis adalah penyakit langka dengan
insidens tahunan sekitar 0.4-1,2 kasus per juta individu.
Toksik pidermal nekrolisis (TEN) adalah progresif luas penyakit
kulit yang berpotensi fatal. TEN didefinisikan oleh formasi bula dan
pengelupasan kulit. Dengan bintik-bintik purpura meliputi ≥ 30% dari luas
permukaan tubuh. atau pengelupasan kulit dan bula saja, yang melibatkan
10% dari luas permukaan tubuh. (Anne, 2014)
TEN ialah penyakit berat, gejala kulit yang terpenting ialah
epidermolisis generalisata, dapat disertai kelainan pada selaput lender di
orifisium dan mata. (AL-SAFFAR, 2016)

D. Epidemiologi Toksik Epidermal Nekrolisis


Penyakit toksik epidermal nekrolisis, juga disebut sebagai Lyell's
sindrom, awalnya dianggap penyakit yang beracun, yang mirip luka bakar
parah dan panas di kulit. Kulit lesi yang terkait erythematous plak dan luas
area epidermal detasemen dirujuk oleh Dr. Lyell sebagai necrolysis. Dia
juga menggambarkan keterlibatan selaput lendir sebagai bagian Sindrom
dan mencatat bahwa ada sangat sedikit peradangan dalam dermis, sebuah
fitur yang kemudian disebut sebagai "dermal diam". Toksik epidermal
nekrolisis tepi dermal toksik hanyalah terkait dengan paparan obat tertentu
sebagai lebih banyak pasien yang menyajikan dengan toksik epidermal
nekrolisis dilaporkan subsequent Lyell's asli publikasi. Toksik epidermal

12
nekrolisis adalah penyakit langka dengan insidens tahunan sekitar 0.4-1,2
kasus per juta individu. Ada beberapa faktor yang tampaknya berdampak
kejadian SJS dan toksik epidermal nekrolisis tersebut kini daerah ferences
dalam pola-pola resep obat, penduduk di genetik latar belakang seperti
manusia leukosit antigen (HLA) status dan fenotipe metabolisme enzim,
Co-terjadinya kanker, fre-quency radioterapi, dan prevalensi penyakit
infeksi tertentu seperti HIV dikaitkan dengan peningkatan terjadinya toksik
epidermal nekrolisis (WATANABE, 2016).

E. Etiologi Toksik Epidermal Nekrolisis


Berbagai faktor etiologi telah terlibat sebagai penyebab TEN. Obat
adalah penyebab umum yang paling sering terjadi. 3 etiologi kategori adalah
sebagai berikut:
1. Penyebab terjangkit
penyakit virus yang telah dilaporkan menyebabkan toksik epidermal
nekrolisis (TEN) adalah sebagai berikut (AL-SAFFAR, 2016) :
a. Virus herpes simplex (mungkin; tetap menjadi masalah
diperdebatkan) tidak dapat dimusnahkan melalui sistem imun
walaupun tidak terdapat anti body spesifik, virus ini sebagai virus
laten dalam tubuh manusia, kekambuhan virus herpes simplek dapat
di picu oleh beberapa pencetus yaitu nutrisi yang tidak adekuat dan
pancaran matahari serta menstruasi.
b. infeksi virus Coxsackie

2. Obat-diinduksi
Antibiotik adalah penyebab paling umum dari Toksik Epidermal
Nekrolisis, diikuti oleh analgesik, batuk dan dingin, obat-obatan
NSAIDs dan psychoepileptics. Antibiotik, penisilin dan obat sulfa yang
menonjol; ciprofloxacin juga telah dilaporkan. Antikonvulsan berikut
memiliki telah terlibat (Anne, 2014):
a. Fenitoin
b. Carbamazepine
c. oxcarbazepine (Trileptal)

13
d. asam valproik
e. lamotrigin
f. barbiturat

Mockenhapupt menekankan bahwa yang paling antikonvulsan diinduksi


TEN terjadi dalam 60 hari pertama penggunaan. Obat antiretroviral
terlibat dalam toksik epidermal nekrosis termasuk nevirapine dan non
mungkin lainnya nucleoside reverse transcriptase inhibitor. juga telah
dilaporkan pada pasien yang memakai obat berikut (Anne, 2014):

a. Modafinil (Provigil)
b. allopurinol 20
c. mirtazapine 21
d. TNF-alpha antagonists (misalnya, infliximab, etanercept,
adalimumab)
e. Kokain
f. Sertraline
g. Pantoprazole
h. Tramado

3. Faktor genetik

Antigen leukosit manusia berikut telah dikaitkan dengan


peningkatan risiko (Klein, 2016):
a. HLA-B * 5801
b. HLA-B * 44
c. HLA-A29
d. HLA-B12
e. HLA-DR7
f. HLA-A2
g. HLA-A * 0206
h. HLA-DQB1 * 0601
Tertentu alel HLA ini berhubungan dengan peningkatan
probabilitas mengembangkan TEN setelah terpapar obat tertentu. HLA-
B* 5801 mengakibatkan risiko allopurinol reaksi terkait pretreatments

14
krining tidak tersedia. Putih dengan HLA-B*44 tampaknya lebih rentan
untuk mengembangkan Tokaik Epidermal Nekrolisis. HLA-A29, HLA-
B12, dan HLA-DR7 sering dikaitkan dengan sulfonamide Terimbas
TEN, sedangkan HLA-A2 dan HLA-B12 sering ditemui di TEN
disebabkan oleh nonsteroidanti inflammatory drugs (NSAID). HLA-
A*0206 dan HLA-DQB1*0601 alel telah terbukti adalah sangat terkait
dengan TEN dengan penyakit mata. Namun demikian, apakah
keberadaan gen-gen merupakan predisposita ion ke TEN atau apakah
gen-gen tersebut berada dalam linkage disequilibrium dengan lebih gen
yang berdekatan relevan tidak diketahui.

F. Patofisiologi Toksik Epidermal Nekrolisis


Toksik Epidermal Nekrolisis merupakan penyakit hipersensitivitas
yang diperantarai oleh kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh
beberapa jenis obat, infeksi virus, dan keganasan. Kokain saat ini
ditambahkan dalam daftar obat yang mampu menyebabkan sindroma
ini.Hingga sebagian kasus yang terdeteksi, tidak terdapat etiologi spesifik
yang dapat diidentifikasi.
Di Asia Timur, sindroma yang disebabkan carbamazepine dan
fenitoin dihubungkan erat dengan (alel B*1502 dari HLA-B). Sebuah studi
di Eropa menemukan bahwa petanda gen hanya relevan untuk Asia Timur.
Berdasarkan dari temuan di Asia, dilakukan penelitian serupa di Eropa, 61%
SJS/TEN yang diinduksi allopurinol membawa HLA-B58 (alel B*5801–
frekuensi fenotif di Eropa umumnya 3%), mengindikasikan bahwa resiko
alel berbeda antar suku/etnik, lokus HLA-B berhubungan erat dengan gen
yang berhubungan (Klein, 2016).
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi
hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya
komplek antigen antibodi yang membentuk mikro-presitipasi sehingga
terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil
yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan
pada organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi
akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang

15
sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Klein,
2016).
1. Reaksi Hipersensitif tipe III
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi
dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah
hilir. Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi
terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen
asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks
antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan
komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan
jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut. Neutrofil
tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak
sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel.
Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut.

2. Reaksi Hipersensitif Tipe IV


Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T
penghasil Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi
penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh
sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27
jam untuk terbentuknya.

Pathway TEN (Klein, 2016)

Obat-obatan, Kelainan Hipersensifitas


Infeksi Virus,
Keganasan.

16
Hipersensifitas tipe IV Hipersensifitas tipe III

Limfosit T tersintesisasi Antigen antibody terbentuk

Pengaktifan sel T Aktivasi S. Komplemen

Melepaskan limfokin Degranulasi sel mast

Penghancuran sel-sel
Akumulasi netrofil

Reaksi peradangan
Melepas sel yang rusak

Nyeri Kehilangan cairan Kerusakan jaringan


intersesiel akibat bula
Triase gangguan pd kulit.
Kekurangan volume cairan

Kerusakan Integritas Jaringan

Respon local : eritema Respon inflamasi Respon psikologis


sistemik

Port de entree Gg. Gastrointestinal, Kondisi kerusakan


demam, malaise. jaringan

Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh.

G. Manifestasi klinis yang terjadi pada Toksik Epidermal Nekrolisis


Tanda dan gejala Awal (Çekiç, 2016):
1. Demam, malaise, kelelahan dan mukosa lesi, sakit kepala, perdarahan.

17
2. Eritema Ditandai kulit yang menyebabkan papula, vesikel dan nekrosis.
Ini mulai dari leher wajah dan anterior batang dan dapat
memperpanjang atas seluruh yang permukaan kulit.
3. Keterlibatan mukosa, termasuk mata, GI, GU, genital dan atas dan
sel epitel pernapasan bagian bawah pohon. Daerah ini terkait dengan
berat perdarahan, jaringan parut dan jangka panjang komplikasi.
Gejala awal toksik epidermal nekrolisis biasanya dimulai 4-14 hari
setelah inisiasi obat, periode ini mungkin beberapa kali memperpanjang
hingga 3-6 minggu. Dalam sebuah penelitian di Departemen Pediatri
Alergi di Uludağ University School of Medicine, rata-rata waktu antara
inisiasi obat dan onset gejala pertama ditemukan 10 hari (2-44 hari) sesuai
dengan data literatur. Telah dilaporkan bahwa periode predromal selama
keluhan yang termasuk malaise, demam, gatal di mata dan disfagia yang
diamati umumnya perubahan antara 1 dan 14 hari dalam toksik epidermal
nekrolisis. Sementara faring keterlibatan diamati pada hampir semua
pasien, keterlibatan mata terlihat di sekitar 80% dari pasien stevens johnson
sindrom dan toksik epidermal nekrolisis. Dalam penelitian Departemen
Pediatri Alergi di Uludağ University School of Medicine, periode
prodromal rata-rata ditemukan untuk menjadi 2 hari (hari 1-4). Demam dan
mukosa keterlibatan dalam association dengan letusan maculopapular hadir
di semua pasien. Maculopapular letusan diperpanjang di wajah, batang,
lengan dan kaki pada semua pasien. Pembentukan vesikel dan atau bulla
hadir di 10 pasien. Mata keterlibatan ditemukan dalam 10 pasien termasuk
parah konjungtivitis dalam hubungannya dengan pseudomembrane pada
pasien tiga.
TEN biasanya didahului dengan gejala non-spesifik seperti demam,
mata menyengat, dan ketidaknyamanan pada menelan oleh beberapa jam
hingga beberapa hari. Khas, lesi kulit pertama kali muncul di wilayah
presternal serta wajah, telapak tangan, dan telapak kaki. Keterlibatan
mukosa terjadi pada lebih dari 90% dari pasien, terutama yang
mempengaruhi mulut, alat kelamin atau wilayah mata. Dalam beberapa
kasus, sistem pernapasan dan saluran pencernaan juga terpengaruh.
Morfologi lesi ditandai dengan eritema dan erosi. keterlibatan okuler adalah

18
sering. lesi kulit dini sering hadir sebagai marah, maculae eritematosa:
mereka mungkin atau mungkin tidak menunjukkan tanda-tanda sedikit
infiltrasi. Selama perjalanan penyakit, lesi cepat menyatu dan menjadi bula
tegang. Dengan progresi penyakit, mereka membentuk area konfluen besar
epidermal detasemen. Tingkat keterlibatan kulit merupakan faktor
prognostik yang sangat penting. Keterlibatan kulit harus ditentukan
termasuk nekrotik hanya sudah terpisah (misalnya lepuh atau erosi) atau
kulit dilepas (Nikolsky positif). Sebuah sistem klasifikasi untuk SJS dan
TEN sesuai dengan tingkat detasemen kulit telah disarankan oleh Bastuji
Gari (Anne, 2014):
1. 1-10% adalah SJS
2. 11-30% adalah penyakit SJS-TEN tumpang tindih
3. 30%: TEN
Selanjutnya, untuk memprediksi risiko kematian pada TEN pasien,
tingkat keparahan TEN-spesifik skor penyakit (SCORTEN) telah diusulkan.
SJS dan TEN sering meninggalkan gejala sisa kulit setelah penyembuhan.
Ini termasuk hiperpigmentasi kulit dan hipopigmentasi (62,5% kasus),
distrofi kuku (37,5% kasus), dan komplikasi okular (50% kasus). Dalam
kebanyakan kasus TEN, kuat, hubungan langsung dari penyakit dengan
konsumsi obat sebelumnya dapat dibentuk. Memang, sebelumnya paparan
obat dilaporkan di lebih dari 95% dari pasien dengan TEN, dan hubungan
yang kuat antara konsumsi obat dan manifestasi kulit diamati pada 80%
kasus. Sekitar 100 senyawa telah diidentifikasi sebagai pemicu
kemungkinan TEN sejauh , yang paling sering menjadi allopurinol,
antibiotik, obat anti-inflamasi nonsteroid, dan antikonvulsan 1.

H. Penatalaksanaan Toksik Epidermal Nekrolisis


1. Pengobatan (Saraswati, 2016)
a) Memberhentikan obat penyebabnya

19
penarikan Prompt obat penyebab harus menjadi prioritas ketika
lepuh atau erosi muncul dalam kursus obat letusan. Garcia–Doval
telah menunjukkan bahwa sebelumnya obat penyebab ditarik,
semakin baik prognosis, dan bahwa pasien terkena penyebab obat
dengan setengah panjang-hidup memiliki peningkatan risiko
kematian. Dalam rangka untuk mengidentifikasi cul yang prit obat
(s) adalah penting untuk mempertimbangkan kronologi pemberian
obat dan kemampuan melaporkan obat untuk menginduksi
SJS/TEN. Kronologi pemberian obat pelakunya, atau waktu antara
administrasi pertama dan pengembangan SJS/TEN, adalah antara
1 dan 4 minggu di sebagian besar kasus. Kemampuan melaporkan
atau kemungkinan obat menjadi penyebab SJS/TEN dapat
ditemukan di Pubmed/Medline atau sumber yang sesuai lainnya
seperti referensi erupsi obat Litt ini panduan.
b) Perawatan suportif
Sebuah elemen penting dari perawatan suportif adalah pengelolaan
kebutuhan cairan dan elektrolit. cairan intravena harus diberikan
untuk mempertahankan output urine dari 50–80 mL per jam dengan
0,5% NaCl dilengkapi dengan 20 mEq KCl. Tepat awal dan
aggressi Terapi penggantian pernah diperlukan dalam kasus
hiponatremia, hipokalemia atau hipofosfatemia yang cukup sering
terjadi. Luka harus diperlakukan secara konservatif, tanpa
debridement kulit yang sering dilakukan di unit luka bakar, kulit
melepuh bertindak sebagai saus biologis alami yang kemungkinan
nikmat reepitelisasi. Non-perekat luka dressing yang digunakan di
mana diperlukan, dan topikal sulfa yang mengandung obat harus
dihindari.

2. Penatalaksanaan keperawatan
Pada umumnya penderita datang dengan keadan umum berat
sehingga terapi yang diberikan biasanya adalah (Çekiç, 2016) :

20
a) Cairan dan elektrolit 0,9% NaCl dilengkapi dengan 20 mEq KCl.,
serta kalori dan protein secara parenteral.
b) Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan
uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah.
c) Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB
bolus, kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam.
Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi, ada yang
mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa
menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang
signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid
menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.
d) Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin
hidrogen maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-
3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan
3 kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk
usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10
mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian
antibiotik topikal.
e) Terapi dengan pemberian obat topikal dengan cara kompres.
f) Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit.
g) Lesi mulut diberi kenalog in orabase.
h) Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang
menimbulkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan
tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16
mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.

I. Komplikasi yang terjadi pada Toxics Epidermal Necrolytic


Komplikasi pada ginjal berupa nekrosis tubular akut akibat
terjadinya ketidakseimbangan cairan bersama-sama dengan
glomerulonefritis. Komplikasi yang lain seperti pada S.S.J. Komplikasi
yang tersering ialah bronkopneumonia yang didapati sekitar 16% di antara
seluruh kasus yang datang berobat di bagian kami. Komplikasi yang lain
ialah kehilangan cairan/darah, gangguan keseimbangan elektrolit, dan syok.

21
Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimasi.
(AL-SAFFAR, 2016)
J. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Indentitas klien : nama, usia (dapat terjadi pada semua usia) jenis
kelamin (dapat terjadi pada perempuan maupun laki-laki)
b. Keluhan Utama : biasanya orang datang kerumah sakit dengan
keluhan demam serta lesi kulit yang nyeri.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Biasanya 4-14 hari setelah inisiasi obat, periode ini mungkin
beberapa kali memperpanjang hingga 3-6 minggu. Biasanya klien
juga disertai nyeri kepala dan batuk.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Biasanya kulit terdapat eritema, papul, vesikula, bula yang mudah
pecah sehingga terjadi erosi yang luas, sering didapatkan purpura.
b. Biasanya terdapat krusta hitam dan tebal pada bibir atau selaput
lendir, stomatis dan pseudomembran di faring.
c. Biasanya turgor kulit menurun akibat kehilangan cairan intersesiil,
balance cairan tidak seimbang.
3. Diagnosa Keperawatan
a. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan reaksi
inflamasi local.
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan yang
berhubungan dengan intake tidak adekuat, respon sekunder
ditandai dengan kerusakan krusta pada mukosa mulut.
c. Nyeri yang berhubungan dengan kerusakan jaringan kulit.
d. Kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan reaksi
peradangan akibat bula turgor 2 detik dan balance cairan inadekuat.

4. Rencana Tindakan
a. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan
reaksi inflamasi local.

22
1) Tujuan : Integritas kulit membaik secara optimal dalam
waktu 5 x 24 jam.
KH : secara objektif pertumbuhan membaik dan lesi
psoarisis berkurang.
2) Intervensi:
a) Inspeksi luka adanya kemerahan, pembengkakan,
adanya granulasi.
b) Lakukan perawatan luka secara rutin dengan kompres
terbuka
c) Ajarkan pasien atau keluarga tentang prosedur
perawatan luka.
d) Kolaborasi dengan ahli gizi tentang diet tinggi protein,
mineral, kalori dan vitamin.

b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan yang


berhubungan dengan intake tidak adekuat, respon sekunder
ditandai dengan kerusakan krusta pada mukosa mulut.
1) Tujuan : Asupan nutrisi pasien terpenuhi dalam jangkan
waktu 3 x 24 jam.
KH : secara objektif pasien dapat mempertahankan status
asupan nutrisi adekuat.
2) Intervensi :
a) Kaji status nutrisi pasien, turgor kulit, berat badan dan
derajat penurunan berat badan, integritas mukosa oral,
kemampuan menelan, serta riawayat mual atau muntah.
b) Lakukan dan ajarkan perawatan mulut sebelum dan
sesudah makan, serta sebelum dan sesudah intervensi
atau pemeriksaan peroral.
c) Anjurkan pasien dan keluarga untuk berpartisipasi
dalam perubahan nutrisi.
d) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menetapkan komposis
dan jenis diet yang tepat.

23
c. Nyeri yang berhubungan dengan kerusakan jaringan kulit
1) Tujuan : Nyeri berkurang dalam waktu 1 x 24 jam.
KH : Secara subyektif melaporkan nyeri berkurang atau
beradaptasi. Skala nyeri 0-1 (0-4). Dapat mengidentifikasi
aktivitas yang meningkat atau menurunkan nyeri. Pasien
tidak gelisah.
2) Intervensi :
a) Kaji nyeri dengan pendekatan PQRST.
b) Lakukan manajemen nyeri.
c) Kolaborasi dengan dokter, pemberian analgesik.

d. Kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan reaksi


peradangan akibat bula turgor 2 detik dan balance cairan
inadekuat

1) Tujuan : volume cairan terpenuhi dalam waktu 1x24.


KH : secara objektif turgor dalam batas normal dan
balance cairan seimbang
2) Intervensi
a) Lakukan manajemen cairan
b) Berikan pendidikan kesehatan tentang kekurangan
volume cairan\
c) Kolaborasi dengan dokter, pemberian cairan
kortikosteroid

BAB III
PENUTUP

24
A. Kesimpulan
Sistem imunitas atau Pertahanan dalam tubuh manusia yang
berfungsi melindungi tubuh manusia dari masuknya infeksi baik itu
virus, bakteri, protozoa maupun penyakit. Apabila pertahanan tubuh
manusia tidak dapat mengenali antigen yang masuk kedalam tubuh maka
akan meyebabkan penyakit sistem imun dan hematologi seperti salah
satunya Syndrom Steven Johnson atau yang biasanya disebut dengan
penyakit kulit yang sangat parah atau akut berat. Penyakit ini disebabkan
oleh adanya reaksi hipersensitivitas terhadap obat, infeksi virus, bakteri,
radiasi, makanan dan sebagainya. Apabila mengalami penyakit ini maka
akan mengalami tanda dan gejala seperti adanya eritema, vesikel, bula,
selaput lendir orifisium, dan kelainan pada mata. Sedangkan
penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah dengan tiga (3) cara yaitu
dengan penatalaksanaan umum, khusus sistemik dan topikal.
TEN adalah penyakit kulit akut dan berat dengan gejala khas
berupa epidermolisis yang menyeluruh, disertai kelainan pada selaput
lendir diorifisium dan mata. TEN berhubungan erat dengan hilangnya
cairan akibat erosi kulit yang dapat menyebabkan hipovolemia dan
ketidakseimbangan elektrolit. Sehingga penatalaksanaannya diutamakan
untuk keseimbangan cairan dan pencegahan komplikasi yang dapat
mengancam jiwa. Untuk itu penggantian cairan yang hilang harus
dilakukan secepatnya.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka penyusun mengambil saran
dalam rangka meningkatkan pelayanan asuhan keperawatan. Adapun
saran-saran adalah sebagai berikut
1. Pasien
Apabila sudah mengetahui dan memahami gejala dari penyakit toksik
epidermal nekrolisis hendaknya segera membawa pasien kerumah
sakit agar dapat dilakukan tindakan keperawatan.
2. Perawat

25
Bagi seorang perawat sebaiknya harus memahami dan mengerti baik
secara teoritis maupun praktek tentang penyakit toksik epidermal
nekrolisis agar dapat melakukan tindakan keperawatan.
3. Rumah Sakit
Bagi rumah sakit hendaknya melengkapi fasilitas rumah sakit
sehingga pada penderita toksik epidermal nekrolisis mendapatkan
ruangan dan fasilitas medis yang seharusnya ada sehingga dapat
melakukan tindakan keperawatan untuk mengurangi dari gejala dan
komplikasi penyakit steven johnson.

DAFTAR PUSTAKA

Djuanda, a. d. (2010). SINDROM STEVENS-JOHNSON & TOKSIK EPIDERMAL

26
NEKROSIS (6 ed.). (P. D. Djuanda, Ed.) Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Hoetzenecker & dkk. (2016). Toxic epidermal necrolysis [version 1; referees: 3
approved]. F1000Research , 1-9.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4879934/pdf/f1000resar
ch-5-8156.pdf (Di akses pada tanggal 18 september 2016)
Klein, D. M. (2016, 1 8). Pathophysiology-Stevens-Johnson Syndrome/Toxic
Epidermal Necrolysis. Master of Science in Nursing (MSN) Student , 182.
http://digitalcommons.otterbein.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1193&co
ntext=stu_msn (Di akses pada tanggal 18 september 2016)

Syaifuddin, H. (2014). ANATOMI FISIOLOGI (4 ed.). (S. Monica Ester, Ed.)


Jakarta: Buku Kedokteran ECG.

WATANABE, H. (2016). Toxic epidermal necrolysis caused by acetaminophen


featuring almost 100% skin detachment: Acetaminophen is associated with
a risk of severe cutaneous adverse reactions. Journal of Dermatology , 43
(3), 321–324.
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/1346-8138.13073/pdf (Di akses
pada tanggal 18 september 2016)

Saraswati, I. (2016). Keberhasilan Pengobatan Deksametason pada Nekrolisis


Epidermal Toksik. J Medula Unila , 4, 90.
http://jukeunila.com/wp-
content/uploads/2016/02/RECHECK_Inez_saraswati_revisi_2016_02_09_
05_55_07_281.pdf (Di akses pada tanggal 18 september 2016)

Anne, S. (2014). Steven Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis: A


review. International Journal of Pharmacological Research , 4 (4), 158-
165.
Çekiç, Ş. (2016). Evaluation of the patients diagnosed with Stevens Johnson
syndrome and toxic epidermal necrolysis:. Turk Pediatric Arsivi .
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5047364/pdf/tpa-51-3-
152.pdf (Di akses pada tanggal 18 september 2016)

LAMPIRAN

STANDAR OPRASIONAL PROSEDUR

27
PEMBERIAN OBAT TOPIKAL (KOMPRES TERBUKA)

SOP PEMBERIAN OBAT TOPIKAL


(KOMPRES TERBUKA)

Pengertian Teknik perawaran lesi kulit dengan cara


memberikan kompres menggunakan
larutan anti septik atau fisiologis
Tujuan  mencegah infeksi
 Membersihkan lesi kulit
 Mengangkat jaringan nekrotik
 Menyerap eksudat
Indikasi  Pada pasien yang menderita
kelainan kulit
 Memenuhi kebutuhan kebersihan
dan kenyamanan
 Memenuhi kebutuhan pengibatan
dan membantu proses
penyembuhan
Persiapan Alat  kain kompres yang halus, putih
dan bersih.
 Ganti verban set
 Larutan antiseptik/cairan kompres
o Sol.acid.boric.2-3%
o Liq.burowi di encerkan 5 kali
o Air dingin untuk mengurangi
gatal
o Larutan garam untuk
membersihkan lesi atau
dengan Nacl 0,9%
 Handscone
 Bengkok

28
 Perlak

Prosedur Pelaksanaan  Memberitahukan dan menjelaskan


tindakan dan tujuan yang akan
dilakukan.
 Sampiran
 Dekatkan Alat-alat
 Atur posisi pasien senyaman
mungkin
 Cuci tangan 6 langkah
 Siapkan larutan antiseptik
 Pasang perlak pada area yang akan
di kompres
 Buka perban sebelumnya lalu
letakkan pada bengkok
 Pasang handsocne
 Rendam kain kedalam cairan
 Kain bsah di letakan diatas lesi
selama 1 menit dan diuangi 4-6
kali sehari.
 Yang perlu diperhatikan saat
mengompres:
o Jangan mengompres
terlalu lama karena cairan
akan menguap sehingga
konsentrasi zat aktif
meninggi dan dapat
merangsang lesi.
o Jangan pakai kain kompres
yang terlalu basah
sehingga mengotori

29
pakaian, srei, lantai, dan
sebagainya.
 Buang handscone pada bengkok
 Ganti perban
 Atur kembali posisi pasien yang
aman dan nyaman
 Rapikan Alat
 Cuci tangan kembali
 Terminasi
 Dokumentasi

30

Anda mungkin juga menyukai