Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PENDAHULUAN (LP)

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN


MUSKULOSKELETAL (FRAKTUR)

DISUSUN OLEH :

EPRINA UTAMI

20166523025

POLTEKKES KEMENKES PONTIANAK

JURUSAN KEPERAWATAN

PRODI D-IV KEPERAWATAN PONTIANAK

TA. 2019/2020
LEMBAR PENGESAHAN

Mata Kuliah : Praktek Klinik Keperawatan 11 (Promosi Kesehatan)

Semester : VII / Ganjil

Tanggal : 2 Desember – 7 Desember 2019

Tempat : RS Bhayangka Anton Soedjarwo Pontianak

Jurusan/Prodi : Prodi D-IV Keperawatan Pontianak

Mengetahui,

Pembimbing Klinik (CI) Mahasiswa

Eprina Utami

NIM. 20166523025

Pembimbing Akademik
LAPORAN PENDAHULUAN
FRAKTUR

I. Konsep Dasar Penyakit


A. Pengertian
Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh. Kebanyakan fraktur
disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang, baik berupa
trauma langsung dan trauma tidak langsung.
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2007). Fraktur adalah patah
tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik (Price dan Wilson, 2006).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa.Fraktur dapat dibagi menjadi :
1. Fraktur komplit adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya megalami
pergeseran (bergeser dari posisi normal).
2. Fraktur tidak komplit (inkomplit) adalah patah yang hanya terjadi pada sebagian dari
garis tengah tulang.
3. Fraktur tertutup (closed) adalah hilangnya atau terputusnya kontinuitas jaringan tulang
dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar atau bila
jaringan kulit yang berada diatasnya/ sekitar patah tulang masih utuh.
4. Fraktur terbuka (open/compound) adalah hilangnya atau terputusnya jaringan tulang
dimana fragmen-fragmen tulang pernah atau sedang berhubungan dengan dunia
luar.Fraktur terbuka dapat dibagi atas tiga derajat, yaitu :
a. Derajat I
1) Luka < 1 cm
2) Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk
3) Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau kontinuitif ringan
4) Kontaminasi minimal

b. Derajat II
1) Laserasi > 1 cm
2) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulse
3) Fraktur kontinuitif sedang
4) Kontaminasi sedang

c. Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot, dan
neurovascular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur derajat III terbagi atas :
a) IIIA : Fragmen tulang masih dibungkus jaringan lunak
b) IIIB : Fragmen tulang tak dibungkus jaringan lunak terdapat pelepasan
lapisan periosteum, fraktur kontinuitif
c) IIIC : Trauma pada arteri yang membutuhkan perbaikan agar bagian
distal dapat diperthankan, terjadi kerusakan jaringan lunak hebat.

B. Etiologi
Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang
yang biasanya di akibatkan secara langsung dan tidak langsung dan sering berhubungan
dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang di sebabkan oleh kendaraan bermotor.
Penyebab patah tulang paling sering di sebabkan oleh trauma terutama pada anak-
anak, apabila tulang melemah atau tekanan ringan.
Menurut Mansoer 2007 adapun penyebab fraktur antara lain :
1. Trauma Langsung, yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat
ruda paksa misalnya benturan atau pukulan pada anterbrachi yang mengakibatkan
fraktur.
2. Trauma Tak Langsung, yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang ditempat
yang jauh dari tempat kejadian kekerasan.
3. Fraktur Patologik
Stuktur yang terjadi pada tulang yang abnormal (kongenital,peradangan, neuplastik
dan metabolik)
Menurut Carpenito adapun penyebab fraktur antara lain :
1. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan.
Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah
melintang atau miring.
2. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat
terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam
jalur hantaran vektor kekerasan.
3. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan
penarikan.
Etiologi dari fraktur menurut Price dan Wilson (2006) ada 3 yaitu :
1. Cidera atau benturan
2. Fraktur patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah oleh
karena tumor, kanker dan osteoporosis.
3. Fraktur beban
Fraktur beban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang- orang yang baru saja
menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima dalam angkatan bersenjata
atau orang- orang yang baru mulai latihan lari.

C. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik dari faktur :
1. Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai tulang diimobilisasi. Spasme
otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai almiah yang di rancang utuk
meminimalkan gerakan antar fregmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat di gunakan dan cenderung bergerak
secara alamiah (gerak luar biasa) bukanya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran
fragmen tulang pada fraktur lengan dan tungkai menyebabkan deformitas (terlihat
maupun teraba) ekstermitas yang bisa diketahui membandingkan ekstermitas yang
normal dengan ekstermitas yang tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi
normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi
otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. Fragmen sering saling
melingkupi satu samalain sampai 2,5-5 cm (1-2 inchi).
4. Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan teraba adanya derik tulang dinamakan
krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya (uji krepitus
dapat mengaibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat).
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal terjadi sebagai akibat trauma dari
pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru bisa terjadi setelah beberapa jam
atau hari setelah cidera.

Menurut manifestasi klinik dari fraktur adalah :


1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya samapi fragmen tulang diimobilisasi,
hematoma, dan edema.
2. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
3. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas
dan dibawah tempat fraktur.
4. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit.
D. Patofiologi
Patah tulang biasanya terjadi karena benturan tubuh, jatuh atau trauma. Baik itu
karena trauma langsung misalnya: tulang kaki terbentur bemper mobil, atau tidak langsung
misalnya: seseorang yang jatuh dengan telapak tangan menyangga. Juga bisa karena
trauma akibat tarikan otot misalnya : patah tulang patela dan olekranon, karena otot trisep
dan bisep mendadak berkontraksi.
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah dan ke
dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami
kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih
dan sel mast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darahketempat tersebut.
Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Di tempat patah terbentuk fibrin
(hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-jala untuk melekatkan sel-sel baru.
Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus.
Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling untuk
membentuk tulang sejati.
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan dengan
pembengkakan yg tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstremitas dan
mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan dapat
mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dapat berakibat anoksia
jaringanyg mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini
dinamakan sindrom kompartemen.
Pathway

Trauma langsung Trauma tdk langsung Kondisi patologis

Fraktur

Diskontinuitas tulang Pergeseran fragmen tlg Nyeri Akut

Perubahan jaringan sekitar Kerusakan fragmen tlg

Pergeseran fragmen tulang Spasme otot Tekanan sumsum tulang


lbh tinggi dari kapiler
Deformitas Peningkatan tek kapiler
Melepaskan katekolamin

Ggn fungsi ekstermitas Pelepasan histamin Metabolisme asam lemak

Hambatan mobilitas fisik Protein plasma hilang Bergabung dg trombosit

Laserasi kulit Edema Emboli

Penekanan pembuluh Menyumbat pembuluh


darah darah

Mengenai jaringan kutis dan sub


Kerusakan integritas Ketidakefektifan perfusi
kutis
kulit jaringan perifer
Perdarahan
Resiko Infeksi
Kehilangan volume cairan

Resiko syok
E.(hipovolemik)
Patofisiologis
F. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut (PERMENKES RI, 2014) pemeriksaan diagnosik meliputi :
1. Foto polos
Umumnya dilakukan pemeriksaan dalam proyeksi AP dan lateral, untuk menentukan
lokasi, luas dan jenis fraktur.
2. Pemeriksaan radiologi lainnya
Sesuai indikasi dapat dilakukan pemeriksaan berikut, antara lain : radioisotope
scanning tulang, tomografi, artrografi, CT-scan, dan MRI, untuk memperlihatkan
fraktur dan mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Pemeriksaan darah rutin dan golongan darah
Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada
sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple). Peningkatan sel darah putih adalah
respon stress normal setelah trauma.
4. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
5. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah.

G. Managemen Preoperatif pada Pasien Fraktur


Tindakan keperawatan pre operetif merupakan tindakan yang dilakukan oleh perawat
dalam rangka mempersiapkan pasien untuk dilakukan tindakan pembedahan dengan tujuan
untuk menjamin keselamatan pasien intraoperatif. Persiapan fisik maupun pemeriksaan
penunjang serta pemeriksaan mental sangat diperlukan karena kesuksesan suatu tindakan
pembedahan klien berawal dari kesuksesan persiapan yang dilakukan selama tahap
persiapan.
1. Evaluasi Pra Anestesi
Evaluasi pra-anestesi adalah langkah awal dari rangkaian tindakan anestesi yang
bertujuan untuk mengetahui status fisik pasien prabedah dan
menganalisa jenis operasi sehingga dapat memilih jenis atau teknik anestesi yang
sesuai, juga dapat meramalkan penyulit yang akan terjadi selama operasi dan atau pasca
bedah dan kemudian mempersiapkan obat atau alat untuk menanggulangi penyulit
tersebut.
Tatalaksana evaluasi pra-anestesi meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang, konsultasi dan koreksi terhadap kelainan fungsi organ vital
dan penentuan status fisik pasien pra-anestesi. Hal ini dilakukan untuk menegakkan
diagnosis sehingga persiapan pasien dapat dilakukan sesegera mungkin. Yang harus
diperhatikan pada anamnesis adalah identifikasi pasien, riwayat penyakit yang pernah
atau sedang diderita misalnya gangguan faal hemostatis, penyakit saraf otot, infeksi di
daerah lumbal, syok, anemia, dan kelainan tulang belakang, riwayat obat-obatan yang
sedang atau telah digunakan, riwayat operasi dan anesthesia yang pernah dialami di
waktu yang lalu, serta kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi
jalannya anestesi seperti merokok.
Pemeriksaaan fisik rutin meliputi pemeriksaan tinggi, berat, suhu badan, keadaan
umum, kesadaran umum, tanda-tanda anemia, tekanan darah, nadi dan lain - lain.
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan pada pasien fraktur adalah pemeriksaan
darah (Hb, leukosit, golongan darah, faal hemostasis), foto polos AP/ lateral pada
bagian yang dicurigai fraktur, foto polos toraks, dan EKG. Gangguan elektrolit dan
abnormalitas dari faktor koagulasi harus dikoreksi terlebih dahulu.

2. Persiapan Pra Anestesi


Persiapan pra-anestesi adalah mempersiapkan pasien baik psikis maupun fisik agar
pasien siap dan optimal untuk menjalani prosedur anestesi dan diagnostik atau
pembedahan yang direncanakan sesuai hasil evaluasi pra-anestesi,
persiapan juga mencakup surat persetujuan tindakan medis.
Sebagai seorang ahli anestesi yang menjadi perhatian utama pada pasien dengan
peritonitis adalah memperbaiki keadaan umum pasien sebelum diambilnya tindakan
operasi. Tindakan mencakup airway, breathing dan circulation. Oksigenisasi, terapi
cairan, vasopresor/inotropik dan transfusi bila diperlukan.
Pemasangan infuse bertujuan untuk mengganti deficit cairan selama puasa dan
mengkoreksi deficit cairan prabedah, sebagai fasilitas vena terbuka untuk memasukan
obat-obatan selama operasi dan sebagai fasilitas transfuse darah, memberikan cairan
pemeliharaan, serta mengoreksi deficit atau kehilangan cairan selama operasi.Berikut
adalah tujuan dari terapi cairan, yaitu mengganti cairan dan kalori yang dialami pasien
prabedah akibat puasa, fasilitas vena terbuka bahkan untuk koreksi defisit akibat
hipovolemik atau dehidrasi.

H. Komplikasi
Komplikasi awal fraktur
1. Syok
Syok terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler
yang bias menyebabkan menurunnya oksigenasi. Hal ini biasanya terjadi pada fraktur,
pada kondisi tertentu terjadi syok neurogenic pada fraktur femur karena rasa sakit yang
hebat pada pasien
2. Kerusakan arteri
Pecahnya arteri karena trauma bias ditandai oleh; tidak adanya nadi; CRT (Capillary
Refill Time) menurun; sianosis distal; hematoma yang lebar; serta dingin pada
ekstremitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi pembidaian; perubahan posisi
pada yang sakit; tindakan reduksi dan pembedahan
3. Sindrom kompartemen
Adalah suatu kondisi dimana terjebaknya otot, tulang, saraf dan pembuluh darah dalam
jaringan parut akibat suatu pembengkakan dari edema atau hematoma yang menekan
otot, syaraf, dan pembuluh darah. Kondisi sindrom kompartemen akibat komplikasi
fraktur hanya terjadi pada fraktur yang dekat dengan persendian dan jarang terjadi pada
bagian tengah tulang. Tanda khas untuk sindrom kompartemen adalah 5 P (pain/ nyeri
local, pallor/ pucat, parestesi/tidak ada sensasi, pulslessness/ tidak ada denyut nadi ,
perubahan nadi , perfusi yang kurang baik pada bagian distal, CRT > 3 detik pada
bagian distal kaki, paralysis/kelumpuhan tungkai)
4. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma ortopedik
infeksi dimulai pada kulit (superfisial) dan masuk ke dalam. Hal ini biasanya terjadi
karena kasus fraktur terbuka, tapi bias juga karena penggunaan bahan lain dalam
pembedahan seperti pin (ORIF dan OREF) atau plat.
5. Avaskular Nekrosis
Terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bias menyebabkan
nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkmanns ischemia.
6. Sindrom emboli lemak
Adalah suatu komplikasi serius yang sering terjadi pada fraktur tulang panjang. FES
terjadi karena sel –sel lemak yang dihasilkan sumsum tulang kuning masuk pada aliran
darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan
gangguan pernapasan, takikardi, hipertensi, takipneu, dan demam.

Komplikasi lama
1. Delayed union
Kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk
menyatu kembali / tersambung dengan baik. Ini disebabkan karena penurunan suplai
darah ke tulang. Delayed union adalah fraktur yang tidak sembuh setelah selang waktu
3- 5 bulan (3 bulan untuk anggota gerak atas dan 5 bulan untuk anggota gerak bawah
2. Non union
Apabila fraktur tidak sembuh dalam waktu antara 6-8 bulan dan tidak terjadi
konsolidasi sehingga dapat pseudoartrosis . pseudoartrosis dapat terjadi dengan infeksi
maupun tidak dengan infeksi.
3. Mal union
Keadaan dimana fraktur sembuh pada saatnya tetapi terdapat deformitas yang
berbentuk angulasi, varus/valgus, pemendekan, atau menyilang misalnya fraktur
radius ulna.

I. Penatalaksanaan
Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan pengembalian fungsi dan
kekuatan.
1. Rekognisi (Pengenalan)
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan diagnosa dan
tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan terasa nyeri sekali dan
bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat menentukan diskontinuitas integritas
rangka.
2. Reduksi fraktur (setting tulang)
Mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi
tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisinya dengan
manipulasi dan traksi manual. Reduksi terbuka dilakukan dengan pendekatan bedah,
fragmen tulang direduksi alat fiksasi interna (ORIF) dalam bentuk pin, kawat, sekrup,
plat, paku, atau batangan logam untuk mempertahankan fragmen tulang dalam
posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi.
3. Retensi (Imobilisasi fraktur)
Setelah fraktur direduksi fragmen tulang harus diimobilisasi atau dipertahankan dalam
posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat
dilakukan dengan fiksasi eksterna (OREF) meliputi : pembalutan, gips, bidai, traksi
kontinu pin, dan tehnik gips atau fiksator ekterna. Implan logam dapat digunakan untuk
fiksasi interna (ORIF) yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi
fraktur yang dilakukan dengan pembedahan.
4. Rehabilitasi (Mempertahankan dan mengembalikan fungsi)
Segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Latihan
isometric dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan
meningkatkan aliran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan
untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri.

II. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


A. Pengkajian Keperawatan
1. Data Subjektif
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu
diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat
memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan
sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas :
a. Pengumpulan Data
1) Anamnesa
a) Identitas Klien
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan :
(1) Provoking Incident : apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi
faktor presipitasi nyeri.
(2) Quality of Pain : seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan
klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
(3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
(4) Severity (Scale) of Pain : seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien,
bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa
sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
(5) Time : berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk
pada malam hari atau siang hari.
c) Riwayat Penyakit Sekarang
d) Riwayat Penyakit Dahulu
e) Riwayat Penyakit Keluarga
f) Riwayat Psikososial
g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan
pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk
membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi
kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat
mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa
mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga
atau tidak.
(2) Pola Nutrisi
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vitamin C dan lainnya
untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola
nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak
adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang
kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat
degenerasi dan mobilitas klien.
(3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi,
tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna
serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi
uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua
pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
(4) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal
ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga,
pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,
kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
(5) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak
dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk
aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk
pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang
lain
(6) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap.
(7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya
yang salah (gangguan body image).
(8) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga
pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul
rasa nyeri akibat fraktur
(9) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta
rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status
perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya
(10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi
tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
(11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah
dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan
karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.

2. Data Objektif
a. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis).
1) Keadaan umum : baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti :
a) Kesadaran penderita : apatis, sopor, koma, gelisah, kompos mentis
tergantung pada keadaan klien.
b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada
kasus fraktur biasanya akut.
c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun
bentuk.
2) Pemeriksaan head-to-toe :
a) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan,
tidak ada nyeri kepala.
b) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi
perdarahan).
c) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
d) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri
tekan.
e) Mulut dan Gigi
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut
tidak pucat.
f) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
g) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
h) Paru
(1) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat
penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
(2) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(3) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
(4) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya
seperti stridor dan ronchi.
i) Jantung
(1) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(2) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(3) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
j) Abdomen
(1) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(2) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
k) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
l) Auskultasi
Peristaltik usus normal  20 kali/menit.
m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
n) Kulit
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema,
nyeri tekan.
o) Ekstermitas
Kekuatan otot, adanya oedema atau tidak, suhu akral, dan ROM.
b. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Radiologi
2) Pemeriksaan Laboratorium
a) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
b) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan
osteoblastik dalam membentuk tulang.
c) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5),
Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
3) Pemeriksaan lain-lain
a) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas : didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
b) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
c) Elektromyografi : terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan
fraktur.
d) Arthroscopy : didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma
yang berlebihan.
e) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada
tulang.
f) MRI : menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

B. Diagnosa Keperawatan
Nanda, 2016
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera.
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur tulang,
program pembatasan gerak.
3. Resiko infeksi.
4. Resiko syok hipovolemik.
5. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan nyeri ekstermitas.
6. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi fisik.
C. Intervensi
Nanda, 2016
No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan
1. Nyeri akut NOC : NIC:
berhubungan dengan Pain level Pain management
agen cidera Pain control a. Lakukan pengkajian nyeri
Comfort level secara komprehensif
Kriteria Hasil termasuk lokasi,
a. Mampu mengontrol karakteristik, durasi,
nyeri (tahu penyebab frekuensi, kualitas dan
nyeri, mampu faktor presipitasi
menggunakan tehnik b. Observasi reaksi
nonfarmakologi untuk nonverbal dari
mengurangi nyeri, ketidaknyamanan
mencari bantuan) c. Gunakan tehnik
b. Melaporkan bahwa komunikasi terapeutik
nyeri berkurang dengan untuk mengetahui
menggunakan pengalaman nyeri pasien
managemen nyeri d. Kaji kultur yang
c. Mampu mengenali nyeri mempengaruhi respon
(skala, intensitas, nyeri
frekuensi dan tanda e. Evaluasi pengalaman nyeri
nyeri) masa lampau
d. Menyatakan rasa f. Evaluasi bersama pasien
nyaman setelah nyeri dan tim kesehatan lain
berkurang tentang ketidakefektifan
kontrol nyeri masa lampau
g. Bantu pasien dan keluarga
untuk mencari dan
menemukan dukungan
h. Kontrol lingkungan yang
dapat mempengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan
kebisingan
i. Kurangi faktor presipitasi
nyeri
j. Pilih dan lakukan
penanganan nyeri
(farmakologi,
nonfarmakologi dan
interpersonal)
k. Kaji tipe dan sumber nyeri
untuk menentukan
intervensi
l. Ajarkan tentang teknik
nonfarmakologi
m. Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri
n. Evaluasi keefektifan
kontrol nyeri
o. Tingkatkan istrihat
p. Kolaborasikan dengan
dokter jika ada keluhan
dan tindakan nyeri tidak
berhasil
q. Monitor penerimaan
pasien tentang manajemen
nyeri
Analgesic administration
a. Tentukan lokasi, karakter,
kualitas, dan derajat nyeri
sebelum pemberian obat
b. Cek intruksi dokter tentang
jenis obat, dosi, dan
frekuensi
c. Cek riwayat alergi
d. Pilih analgesic yang
diperlukan atau kombinasi
dari analgesic ketika
pemberian lebih dari satu
e. Tentukan pilihan analgesic
tergantung tipe dan
beratnya nyeri
f. Tentukan analgesic
pilihan, rute pemberian,
dan dosis optimal
g. Pilih rute pemberian secara
IV, IM untuk pengobatan
nyeri secara teratur
h. Monitor vital sign sebelum
dan sesudah pemberian
anlgesik pertama kali
i. Berikan analgesic tepat
waktu terutama saat nyeri
hebat
j. Evalusi efektivitas
analgesic, tanda dan gejala
2. Hambatan mobilitas NOC: NIC
fisik berhubungan Joint movement : active Exercise therapy :
dengan kekuatan dan Mobility level ambulation
tahanan sekunder Self care : ADLs a. Monitoring vital sign
akibat fraktur Transfer perfoormance sebelum/sesudah latihan
Kriteria hasil: respon pasien saat latihan
a. Klien meningkat dalam b. Konsultasikan dengan
aktivitas fisik terapi fisik tentang rencana
b. Mengerti tujuan dari ambulansi sesuai dengan
peningkatan mobilitas kebutuhan
c. Memverbalisasikan c. Bantu klien untuk
perasaan menggunakan tongkat saat
dalammeningkatkan berjalan dan cegah
kekuatan dan terhadap cidera
kemampuan berpindah d. Ajarkan pasien atau tenaga
d. Memperagakan kesehatan lain tentang
penggunaan alat bantu teknik ambulansi
untuk mobilisasi e. Kaji kemampuan pasien
(walker) dalam mobilisasi
f. Latih pasien dalam
pemenuhan kebutuhan
ADLs secara mandiri
sesuai kemampuan
g. Damping dan bantu pasien
saat mobilisasi dan bantu
penuhi kebutuhan ADLs
pasien
h. Berikan alat bantu jika
pasien memerlukan
i. Ajarkan pasien bagaimana
merubah posisi dan
berikan bantuan jika
diperlukan
3. Resiko infeksi NOC NIC
Immune status Infection Control
Knowledge : infection a. Bersihkan lingkungan
control setelah dipakai pasien lain
Risk control b. Pertahankan teknik isolasi
Kriteria hasil c. Batasi pengunjung bila
a. Klien bebas dari tanda perlu
dan gejala infeksi d. Instruksikan pada
b. Mendeskripsikan proses pengunjung untuk
penularann penyakit, mencuci tangan saat
factor yang berkunjung meninggalkan
mempengaruhi pasien
penularan serta e. Gunakan sabun
penatalaksanaannya antimikroba untuk cuci
c. Menunjukkan tangan
kemampuan untuk f. Cuci tangan setiap
mencegah timbulnya sebelum dan sesudah
infeksi tindakan keperawatan
d. Jumlah leukosit dalam g. Gunakan baju, sarung
batas normal tangan sebagai alat
e. Menunjukkan perilaku penlindung
hidup sehat h. Pertahankan lingkunan
aseptic selama
pemasangan alat
i. Ganti letak IV perifer dan
line central dan dressing
sesuai dengan petunjuk
umum
j. Gunakan kateter
intermiten untuk
menurunkan infeksi
kandung kencing
k. Tingkatkan intake nutrisi
l. Berikan terapi antibiotic
bila perlu

Infection protection
a. Monitor tanda dan gejala
infeksi sistemik dan local
b. Monitor hitung granulosit,
WBC
c. Monitor kerentanan
terhadap infeksi
d. Batasi pengunjung
e. Pertahankan teknik aspesis
pada pasien yang beresiko
f. Pertahankan teknik isolasi
k/p
g. Berikan perawatan kulit
pada area epidema
h. Inspeksi kulit dan
membrane mukosa
i. Terhadap kemerahan,
panas, dan drainase
j. Inspeksi kondisi
luka/insisi bedah
k. Dorong masukkan nutrisi
yang cukup
l. Dorong masukan cairan
m. Dorong istirahat
n. Instruksikan pasien untuk
minum antibiotic sesuai
resep
o. Ajarkan pasien dan
keluarga tanda dan gejala
infeksi
p. Ajarkan cara menghindari
infeksi
q. Laporkan kecurigaan
infeksi
r. Laporkan kultur positif
4. Resiko syok NOC NIC
hipovolemik Syok prevention Syok prevention
Syok management a. Monitor status sirkulasi
Kriteria hasil BP, warna kulit, suhu
a. Nadi dalam batas yang kulit, denyut jantung, HR,
diharapkan dan ritme, nadi perifer, dan
b. Irama jantung dalam kapiler refill
batas yang diharapkan b. Monitor tanda inadekuat
c. Frekunsi napas dalam oksigenasi jaringan
batas yang diharapkan c. Monitor suhu dan
d. Irama pernapasan dalam pernafasan
batas yang diharapkan d. Monitor input dan output
e. Natrium serum dbn e. Pantau nilai labor:
f. Kalium serum dbn HB, HT, AGD, dan
g. Klorida serum dbn elektrolit
h. Kalsium serum dbn
i. Magnesium serum dbn f. Monitor hemodinamik
j. PH darah serum dbn invasi yang sesuai
Hidrasi g. Monitor tanda dan gejala
Indicator asites
a. Mata cekung tidak h. Monitor tanda awal syok
ditemukan i. Tempatkan pasien pada
b. Demam tidak ditemukan posisi supine, kaki elevasi
c. TD dbn untuk peningkatan preload
d. Hematokrit dbn dengan tepat
j. Lihat dan pelihara
kepatenan jalan napas
k. Berikan cairan IV dan atau
oral yang tepat
l. Berikan vasodilator yang
tepat
m. Ajarkan keluarga dan
pasien tentang tanda dan
gejala datangnya syok
n. Ajarkan keluarga dan
pasien tentang langkah
untuk mengatasi gejala
syok
Syok management
a. Monitor fungsi neurologis
b. Monitor fungsi renal (e.g
BUN dan Cr Lavel)
c. Monitor tekanan nadi
d. Monitor status cairan,
input, output
e. Catat gas darah arteri dan
oksigen di jaringan
f. Monitor EKG
g. Memanfaatkan
pemantauan jalur arteri
untuk meningkatkan
akurasi pembacaan
tekanan darah
h. Menggambarkan gas darah
arteri dan memonitor
jaringan oksigenasi
i. Memantau tren dalam
parameter hemodinamik
(misalnya CPV, MAP,
tekanan kapiler
pulmonal/arteri)
j. Memantau factor penentu
pengiriman jaringan
oksigen (misalnya PaO2
kadar haemoglobin SaO2,
CO) jika ada
k. Memantau tingkat
karbondioksida sublingual
dan/atau tonometry
5. Ketidakefektifan NOC NIC
perfusi jaringan Circulation status Peripheral sensation
perifer berhubungan Tissue perfusion : cerebral management
dengan nyeri Kriteria hasil a. Monitor adanya daerah
ekstermitas Mendemonstrasikan status tertentu yang hanya peka
sirkulasi yang ditandai terhadap
dengan: panas/dingin/tajam/tumpul
b. Monitor adanya paretese
a. Tekanan systole dan c. Instruksikan keluarga
diastole dalam rentang untuk mengobservasi kulit
yang diharapkan jika ada lesi atau laserasi
b. Tidak ada ortostatik d. Gunakan sarung tangan
hipertensi untuk proteksi
c. Tidak ada tanda-tanda e. Batasi gerakan pada
peningkatan tekanan kepala, leher, dan
intracranial (tidak lebih punggung
dari 15 mmHg) f. Monitor kemampuan BAB
Mendemonstrasikan g. Kolaborasi pemberian
kemampuan kognitif yang analgetik
ditandai dengan: h. Monitor adanya
a. Berkomuniakasi dengan tromboplebitis
jelas adn sesuai dengan i. Diskusikan mengenai
kemampuan penyebab perubahan
b. Menunjukkan perhatian, sensasi
konsentrasi dan orientasi
c. Memproses informasi
d. Membuat keputusan
dengan benar
Menunjukkan fungsi sensori
motori cranial yang utuh :
tingkat kesadaran membaik,
tidak ada gerakan-gerakan
involunter

6. Kerusakan integritas NOC NIC


kulit berhubungan Tissue integrity : skin and Pressure management
dengan imobilisasi mucous membranes a. Anjurkan pasien untuk
fisik Hemodyalisis akses menggunakan pakaian
Kriteria hasil yang longgar.
a. Integritas kulit yang baik b. Hindari kerutan pada
bisa dipertahankan tempat tidur
(sensai, elastisitas, c. Jaga kebersihan kulit agar
temperature, hidrasi, tetap bersih dan kering.
pigmentasi) d. Mobilisasi pasien (ubah
b. Tidak ada luka/lesi pada posisi pasien) setiap dua
kulit jam sekali
c. Perfusi jaringan baik e. Monitor kulit akan adanya
d. Menunjukkan kemerahan.
pemahaman dalam f. Oleskan lotion atau
proses perbaikan kulit minyak/baby oil pada
dan mencegah terjadinya daerah yang tertekan
cedera berulang g. Monitor aktivitas dan
e. Mampu melindungi kulit mobilisasi pasien
dan mempertahankan h. Monitor status nutrisi
kelembaban kulit pasien
perawatan alami i. Memandikan pasien
dengan sabun dan air
hangat
Insision site care
a. Membersihkan, memantau
dan meningkatkan proses
penyembuhan pada luka
yang ditutup dengan
jahitan, klip atau straples
b. Monitor proses
kesembuhan area insisi
c. Monitor tanda dan gejala
infeksi pada area insisi
d. Bersihkan area sekitar
jahitan atau straples,
menggunakan lidi kapas
steril
e. Gunakan preparat
antiseptic sesuai program
f. Ganti balutan pada interval
waktu yang sesuai atau
biarkan luka tetap terbuka
(tidak dibalut) sesuai
program
Dialysis acces maintenance
DAFTAR PUSTAKA

Anlie. 2013. Manajemen Perioperatif Pada Pasien Fraktur Multiple. (Online). Available :
https://www.scribd.com/doc/119623462/Manajemen-Perioperatif-pada-Pasien-Fraktur-
Multipel (diakses pada tanggal 01 Desember 2019)
Heather, Herdman. 2012. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta:
EGC.
Kusuma, Hardhi. 2016. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis NANDA
NIC-NOC. Yogyakarta : MediAction.

Anda mungkin juga menyukai