Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kulit merupakan bagian tubuh manusia yang cukup sensitif terhadap berbagai macam
penyakit. Penyakit kulit bisa disebabkan oleh banyak faktor. Di antaranya, faktor lingkungan
dan kebiasaan hidup sehari-hari. Lingkungan yang sehat dan bersih akan membawa efek yang
baik bagi kulit. Demikian pula sebaliknya, lingkungan yang kotor akan menjadi sumber
munculnya berbagai macam penyakit. Penyakit yang dapat berkembang pada keadaan
lingkungan yang padat penduduk dan personal hygiene yang buruk antara lain; diare, disentri,
penyakit cacingan, malaria, Demam Berdarah Dengue (DBD), scabies, dan bisa pula berupa
penyakit Necrotizing Fasciitis.1

Necrotizing Fasciitis adalah infeksi yang jarang yang melibatkan lapisan fasia dangkal
dan fasia dalam dari ekstremitas, perut, atau perineum. Necrotizing Fasciitis sering
mengakibatkan hilangnya anggota badan dan bahkan sampai bisa menyebabkan kematian,
yang mengakibatkan tingginya insiden morbiditas dan mortalitas.2

Necrotizing Fasciitis (NF) dapat dibagi ke 2 subkategori berdasarkan tingkat infeksi.


Tipe 1 adalah infeksi polymicrobial yang disebabkan oleh berbagai organisme termasuk
anaerob fakultatif dan streptococci selain grup A. Tipe 2 disebabkan oleh bakteri kelompok A
Betahemolitikum streptococci atau dalam kombinasi dengan Staphylococus aureus atau
Staphylococcus epidermidis.3 Di samping itu Necrotizing Fasciitis juga dapat diklasifikasikan
oleh jalur masuk, baik dengan luka yang diketahui, atau idiopatik dengan tanpa jalur masuk.2

Presentasi pada Necrotizing Fasciitis dapat bervariasi diklasifikasikan sesuai dengan


bagian anatomi yang terlibat, kedalaman infeksi, dan sumber infeksi. Umumnya pasien datang
dengan gejala nyeri dan nyeri tekan pada kulit juga otot yang menyertainya. Intensitas nyeri
sering menyebabkan kecurigaan adanya kelainan pada otot. Nyeri yang parah ini sering terjadi
sebelum pasien mengalami demam, malaise, dan myalgia. Nyeri yang dilaporkan pasien bisa
saja tidak sesuai dengan temuan fisik. Selama beberapa jam ke depan sampai beberapa hari.4
Gejala dan tanda khas lainnya termasuk bula, indurasi, fluktuasi, krepitasi, nekrosis, dan
defisiensi sensorik yang dengan prognosis buruk. Tambahan tanda klinis termasuk gas pada x-
ray, bula, nekrosis kulit, dan pada MRI ditemukan penebalan subkutan dengan peningkatan

1
jumlah air di intraseluler.5 Infeksi dengan cepat menyebar dan sering muncul kurang dari 1
minggu setelah kejadian awal.6

Beberapa faktor predisposisi juga dapat berkontribusi untuk atau membuat pasien lebih
rentan terhadap Necrotizing Fasciitis. Penyalahgunaan obat IV, diabetes mellitus, penyakit hati
kronis, jenis infeksi (MRSA, polymicrobial, Strep A), hipertensi, iskemia dan imunosupresi
semua dapat menyebabkan morbiditas yang lebih tinggi dan kematian.3,7,8 Diagnosis dini,
debridemen bedah, dan terapi antibiotik spektrum luas adalah strategi pengobatan yang paling
efektif untuk mengurangi bakteri dan tingkat kematian yang terkait dengan kondisi ini.9

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kulit


Kulit merupakan organ yang tersusun dari 4 jaringan dasar10 :
1. Kulit mempunyai berbagai jenis epitel, terutama epitel berlapis gepeng dengan
lapisan tanduk. Pembuluh darah pada dermisnya dilapisi oleh endotel. Kelenjar-
kelenjar kulit merupakan kelenjar epitelial.
2. Terdapat beberapa jenis jaringan ikat, seperti serat-serat kolagen dan elastin, dan sel-
sel lemak pada dermis.
3. Jaringan otot dapat ditemukan pada dermis. Contoh, jaringan otot polos, yaitu otot
penegak rambut (m. arrector pili) dan pada dinding pembuluh darah, sedangkan
jaringan otot bercorak terdapat pada otot-otot ekspresi wajah.
4. Jaringan saraf sebagai reseptor sensoris yang dapat ditemukan pada kulit berupa
ujung saraf bebas dan berbagai badan akhir saraf. Contoh, badan Meissner dan badan
Pacini.

Kulit terdiri atas 2 lapisan utama yaitu epidermis dan dermis. Epidermis merupakan
jaringan epitel yang berasal dari ektoderm, sedangkan dermis berupa jaringan ikat agak
padat yang berasal dari mesoderm. Di bawah dermis terdapat selapis jaringan ikat
longgar yaitu hipo-dermis, yang pada beberapa tempat terutama terdiri dari jaringan
lemak.9

1. Epidermis10

Epidermis merupakan lapisan paling luar kulit dan terdiri atas epitel berlapis gepeng
dengan lapisan tanduk. Epidermis hanya terdiri dari jaringan epitel, tidak mempunyai
pembuluh darah maupun limf; oleh karenaitu semua nutrien dan oksigen diperoleh dari
kapiler pada lapisan dermis. Epitel berlapis gepeng pada epidermis ini tersusun oleh
banyak lapis sel yang disebut keratinosit. Sel-sel ini secara tetap diperbarui melalui
mitosis sel-sel dalam lapis basal yang secara berangsur digeser ke permukaan epitel.
Selama perjalanan-nya, sel-sel ini berdiferensiasi, membesar, dan mengumpulkan
filamen keratin dalam sitoplasmanya. Mendekati permukaan, sel-sel ini mati dan secara
tetap dilepaskan (terkelupas). Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai permukaan adalah
20 sampai 30 hari. Modifikasi struktur selama perjalanan ini disebut sitomorfosis dari

3
sel-sel epider-mis. Bentuknya yang berubah pada tingkat berbeda dalam epitel
memungkinkan pembagian dalam potongan histologik tegak lurus terhadap permukaan
kulit. Epidermis terdiri atas 5 lapisan yaitu, dari dalam ke luar, stratum basal, stratum
spinosum, stratum granulosum, stratum lusidum, dan stratum korneum.

Gambar 2.1 Lapisan Kulit

Stratum basal

Lapisan ini terletak paling dalam dan terdiri atas satu lapis sel yang tersusun
berderet-deret di atas membran basal dan melekat pada dermis di bawahnya. Sel-selnya
kuboid atau silindris. Intinya besar, jika dibanding ukuran selnya, dan sitoplasmanya
basofilik. Pada lapisan ini biasanya terlihat gambaran mitotik sel, proliferasi selnya
berfungsi untuk regenerasi epitel. Sel-sel pada lapisan ini bermigrasi ke arah permukaan
untuk memasok sel-sel pada lapisan yang lebih superfisial. Pergerakan ini dipercepat oleh
adalah luka, dan regenerasinya dalam keadaan normal cepat.

Stratum spinosum

Lapisan ini terdiri atas beberapa lapis sel yang besar-besar berbentuk poligonal
dengan inti lonjong. Sitoplasmanya kebiruan. Bila dilakukan pengamatan dengan
pembesaran obyektif 45x, maka pada dinding sel yang berbatasan dengan sel di

4
sebelahnya akan terlihat taju-taju yang seolah-olah menghubungkan sel yang satu dengan
yang lainnya. Pada taju inilah terletak desmosom yang melekatkan sel-sel satu sama lain
pada lapisan ini. Semakin ke atas bentuk sel semakin gepeng.

Stratum granulosum

Lapisan ini terdiri atas 2-4 lapis sel gepeng yang mengandung banyak granula
basofilik yang disebut granula kerato-hialin, yang dengan mikroskop elektron ternyata
merupakan partikel amorf tanpa membran tetapi dikelilingi ribosom. Mikro-filamen
melekat pada permukaan granula.

Stratum lusidum

Lapisan ini dibentuk oleh 2-3 lapisan sel gepeng yang tembus cahaya, dan agak
eosinofilik. Tak ada inti maupun organel pada sel-sel lapisan ini. Walaupun ada sedikit
desmosom, tetapi pada lapisan ini adhesi kurang sehingga pada sajian seringkali tampak
garis celah yang memisahkan stratum korneum dari lapisan lain di bawahnya.

Stratum korneum

Lapisan ini terdiri atas banyak lapisan sel-sel mati, pipih dan tidak berinti serta
sitoplasmanya digantikan oleh keratin. Sel-sel yang paling permukaan merupa-kan sisik
zat tanduk yang terdehidrasi yang selalu terkelupas.

Gambar 2.2 Lapisan Epidermis

5
Sel-Sel Epidermis
Terdapat empat jenis sel epidermis, yaitu: keratinosit, melanosit, sel Langerhans, dan
sel Merkel.
Keratinosit
Keratinosit merupakan sel terbanyak (85-95%), berasal dari ektoderm permukaan.
Merupakan sel epitel yang mengalami keratinisasi, menghasilkan lapisan kedap air dan
perisai pelidung tubuh. Proses keratinisasi berlangsung 2-3 minggu mulai dari proliferasi
mitosis, diferensiasi, kematian sel, dan pengelupasan (deskuamasi). Pada tahap akhir
diferensiasi terjadi proses penuaan sel diikuti penebalan membran sel, kehilangan inti
organel lainnya. Keratinosit merupakan sel induk bagi sel epitel di atasnya dan derivat
kulit lain.
Melanosit
Melanosit meliputi 7-10% sel epidermis, merupakan sel kecil dengan cabang
dendritik panjang tipis dan berakhir pada keratinosit di stratum basal dan spinosum.
Terletak di antara sel pada stratum basal, folikel rambut dan sedikit dalam dermis.
Dengan pewarnaan rutin sulit dikenali. Dengan reagen DOPA (3,4-dihidroksi-
fenilalanin), melanosit akan terlihat hitam. Pembentukan melanin terjadi dalam
melanosom, salah satu organel sel melanosit yang mengandung asam amino tirosin dan
enzim tirosinase. Melalui serentetan reaksi, tirosin akan diubah menjadi melanin yang
berfungsi sebagai tirai penahan radiasi ultraviolet yang berbahaya.
Sel Langerhans
Sel Langerhans merupakan sel dendritik yang bentuknya ireguler, ditemukan
terutama di antara keratinosit dalam stratum spinosum. Tidak berwarna baik dengan HE.
Sel ini berperan dalam respon imun kulit, merupakan sel pembawa-antigen yang
merangsang reaksi hipersensitivitas tipe lambat pada kulit.
Sel Merkel
Jumlah sel jenis ini paling sedikit, berasal dari krista neuralis dan ditemukan pada
lapisan basal kulit tebal, folikel rambut, dan membran mukosa mulut. Merupakan sel
besar dengan cabang sitoplasma pendek. Serat saraf tak bermielin menembus membran
basal, melebar seperti cakram dan berakhir pada bagian bawah sel Merkel. Kemungkinan
badan Merkel ini merupakan mekano-reseptor atau reseptor rasa sentuh.
2. Dermis10
Dermis terdiri atas stratum papilaris dan stratum retikularis, batas antara kedua
lapisan tidak tegas, serat antaranya saling menjalin.

6
Stratum papilaris
Lapisan ini tersusun lebih longgar, ditandai oleh adanya papila dermis yang
2
jumlahnya bervariasi antara 50 250/mm . Jumlahnya terbanyak dan lebih dalam pada
daerah di mana tekanan paling besar, seperti pada telapak kaki. Sebagian besar papila
mengandung pembuluh-pembuluh kapiler yang memberi nutrisi pada epitel di atasnya.
Papila lainnya mengandung badan akhir saraf sensoris yaitu badan Meissner. Tepat di
bawah epidermis serat-serat kolagen tersusun rapat.
Stratum retikularis
Lapisan ini lebih tebal dan dalam. Berkas-berkas kolagen kasar dan sejumlah kecil
serat elastin membentuk jalinan yang padat ireguler. Pada bagian lebih dalam, jalinan
lebih terbuka, rongga-rongga di antaranya terisi jaringan lemak, kelenjar keringat dan
sebasea, serta folikel rambut. Serat otot polos juga ditemukan pada tempat-tempat
tertentu, seperti folikel rambut, skrotum, preputium, dan puting payudara. Pada kulit
wajah dan leher, serat otot skelet menyusupi jaringan ikat pada dermis. Otot-otot ini
berperan untuk ekspresi wajah. Lapisan retikular menyatu dengan hipodermis/fasia
superfisialis di bawahnya yaitu jaringan ikat longgar yang banyak mengandung sel
lemak.
Sel-sel dermis
Jumlah sel dalam dermis relatif sedikit. Sel-sel dermis merupakan sel-sel jaringan
ikat seperti fibroblas, sel lemak, sedikit makrofag dan sel mast.
3. Hipodermis10
Sebuah lapisan subkutan di bawah retikularis dermis disebut hipodermis. Ia berupa
jaringan ikat lebih longgar dengan serat kolagen halus terorientasi terutama sejajar
terhadap permukaan kulit, dengan beberapa di antaranya menyatu dengan yang dari
dermis. Pada daerah tertentu, seperti punggung tangan, lapis ini meungkinkan gerakan
kulit di atas struktur di bawahnya. Di daerah lain, serat-serat yang masuk ke dermis lebih
banyak dan kulit relatif sukar digerakkan. Sel-sel lemak lebih banyak daripada dalam
dermis. Jumlahnya tergantung jenis kelamin dan keadaan gizinya. Lemak subkutan
cenderung mengumpul di daerah tertentu. Tidak ada atau sedikit lemak ditemukan dalam
jaringan subkutan kelopak mata atau penis, namun di abdomen, paha, dan bokong, dapat
mencapai ketebalan 3 cm atau lebih. Lapisan lemak ini disebut pannikulus adiposus.

7
2.2 Fascia10

Fascia, adalah jaringan yang membungkus dan mengikat jaringan lunak. Fungsi fascia
yaitu mengelilingi otot, menyedikan tempat tambahan otot, memungkinkan struktur bergerak
satu sama lain dan menyediakan tempat peredaran darah dan saraf. Otot rangka merupakan
kumpulan fasciculus (berkas sel otot berbentuk silindris yang diikat oleh jaringan ikat).
Seluruh serat otot dihimpun menjadi satu oleh jaringan ikat yang disebut epimysium (fascia).
Setiap fasciculus dipisahkan oleh jaringan ikat perimysium. Di dalam fascicle, endomysium
mengelilingi 1 berkas sel otot.

2.3 Necrotizing Fasciitis

2.3.1 Definisi Necrotizing Fasciitis

Istilah Necrotizing Fasciitis (NF) menggambarkan infeksi kulit, jaringan lunak, dan otot
yang relatif jarang terjadi namun mengancam jiwa, yang cenderung berkembang secara
progresif dengan cepat melalui fasia, sehingga menyebabkan kerusakan fasia secara bertahap
yang mencapai 2 -3 cm.11

Necrotizing Fasciitis ditandai dengan nekrosis lapisan subkutan dan fasia yang terjadi
secara cepat. Dibagi menjadi 2 tipe, yaitu tipe 1 adalah infeksi polymicrobial yang disebabkan
oleh berbagai organisme termasuk anaerob fakultatif dan streptococci selain grup A. Tipe 2
disebabkan oleh bakteri kelompok A Betahemolitikum streptococci atau dalam kombinasi
dengan Staphylococus aureus atau Staphylococcus epidermidis. Nama lain Necrotizing
Fasciitis dikenal juga sebagai gangren streptokokus dan yang paling sering adalah Flesh Eating
Bacteria (bakteri pemakan daging).3,11

2.3.2 Epidemiologi

Kejadian Necrotizing Fasciitis tahunan diperkirakan mencapai 500-1.000 kasus per


tahun.12 Dengan rasio laki-laki terhadap perempuan 3: 1; Rasio ini terutama berkorelasi dengan
meningkatnya kejadian gangren Fournier pada pria. Penyakit ini menyerang semua kelompok
usia, walaupun pasien berusia paruh baya dan lanjut usia (di atas 50 tahun) lebih sering
terinfeksi11. Rasio kematian rata-rata Necrotizing Fasciitis merupakan hal yang kontroversial.
Sehubungan dengan Necrotizing Fasciitis ekstremitas, tingkat kematiannya sedikit lebih
rendah daripada yang tercatat untuk infeksi perut dan perineum.13,14 Pasien dengan gangren
Fournier yang belum menyebar ke bagian perut cenderung memiliki ketahanan hidup yang
lebih baik. Infeksi pada ekstremitas bawah adalah yang paling umum (57, 8%), diikuti oleh

8
perut dan perineum.15 Necrotizing Fasciitis ekstremitas atas jarang terjadi dibandingkan
dengan ekstremitas bawah.16

2.3.3 Etiologi17

Infeksi bakteri awal pada Necrotizing Fasciitis biasanya adalah bakteri aerobik,
anaerobik, atau campuran. Necrotizing Fasciitis disebabkan oleh bakteri Streptococcus Grup
A, jenis patogen yang sama yang menyebabkan sakit tenggorokan dan impetigo.

Ada 3 tipe dari penyebab penyakit Necrotizing Fasciitis antara lain :

1. Tipe I : Polymicrobal

Biasanya terjadi setelah trauma atau operasi. Gejala ini sering diduga sebagai Selulitis
tapi rasa sakit yang parah dan tosisitas sistemik mencerminkan luasnya jaringan nekrosis.

2. Tipe II : Streptococcus Grup A

Infeksi bakteri pemakan daging,

3. Tipe III : Gangren atau Clostridial Myonecrosis

Biasanya disebabkan oleh Clostridial Myonecrosis dan gangren. Infeksi otot rangka
mungkin terkait dengan operasi atau trauma. Terjadinya secara spontan. Infeksi yang
disebabkan oleh bakteri ini bersifat lunak. Tetapi dalam beberapa kasus yang langka,
mereka dapat menyebabkan infeksi yang lebih berbahaya.

Penularan Necrotizing Fasciitis dapat terjadi ketika bakteri masuk melalui luka, seperti
dari gigitan serangga, luka bakar, atau luka sayat. Penularan dapat juga melalui:

1. Luka yang terkena air laut, ikan air laut mentah, atau tiram mentah, termasuk luka akibat
menangani hewan laut seperti kepiting.

2. Bekas operasi usus, atau pada usus yang luka akibat tumor atau luka tembak.

3. Ketegangan otot atau memar, meskipun tidak ada luka di kulit.

Bakteri penyebab Necrotizing Fasciitis dapat ditularkan dari manusia ke manusia


melalui kontak langsung, seperti menyentuh luka orang yang terinfeksi. Tetapi hal ini jarang
terjadi kecuali orang yang terpapar bakteri ini memiliki luka terbuka, cacar air, atau kerusakan
sistem kekebalan tubuh.

9
2.3.4 Manifestasi Klinis18

Gejala-gejala Necrotizing Fasciitis berikut dikumpulkan dari Center for Disease Control
and Prevention and the National Necrotizing Fasciitis Foundation.

Gejala awal (biasanya dalam waktu 24 jam) :

1. Biasanya telah terjadi trauma ringan atau luka terbuka lainnya (luka tidak selalu
muncul terinfeksi)

2. Beberapa nyeri umumnya di area cedera. Belum tentu di tempat cedera, tetapi di
daerah atau ekstremitas tubuh yang sama.

3. Rasa sakit biasanya tidak proporsional terhadap cedera dan mungkin awalnya
dirasakan sebagai sesuatu yang mirip dengan tarikan otot, tetapi lebih dan lebih nyeri
lagi.

4. Seperti gejala flu mulai terjadi, seperti diare, demam, mual, bingung, pusing,
kelemahan, malaise.

5. Dehidrasi.

Lanjutan gejala (biasanya dalam 3-4 hari) :

1. Tungkai atau daerah yang nyeri mulai mengalami bengkak, dan mungkin
menunjukkan ruam keunguan.

2. Tungkai mungkin mulai memiliki tanda besar gelap, yang akan menjadi lepuh berisi
cairan kehitaman.

3. Lukanya mulai nekrotik dengan bintik-bintik seperti sisik berwarna kebiruan, putih,
atau gelap.

Gejala kritis (biasanya dalam 4-5 hari) :

1. Tekanan darah akan menurun.

2. Tubuh mulai mengalami syok septik dari racun bakteri.

3. Hilang kesadaran akan terjadi ketika tubuh menjadi terlalu lemah untuk melawan
infeksi ini.

10
Gambar 2.3 Gambaran Necrotizing Fasciitis

Gambar 2.4 Gambaran Necrotizing Fasciitis sebelum dan sesudah fasciotomy

11
2.3.5 Patofisiologi19

Necrotizing Fasciitis disebabkan oleh bakteri Streptococcus Grup A, patogen yang sama
yang menyebabkan sakit tenggorokan dan impetigo. Strain yang kurang parah biasanya hidup
pada kulit. Infeksi awal biasanya adalah permukaan kulit yang menjadi tempat titik masuk
infeksi yaitu luka yang terbuka. Organisme menyebar dari subkutan, sepanjang jaringan fasia
luar dan dalam, didukung oleh enzim dari bakteri dan racun. Daerah yang terinfeksi akan mulai
menampakkan gejala seperti kemerahan, nyeri, pembengkakan, gatal, suhu tinggi dan
penurunan mobilitas.

Infeksi ini dapat menyebabkan pembuluh darah iskemia hingga terjadinya nekrosis
jaringan. Dalam beberapa kasus ketika infeksi telah menembus aliran darah, infeksi yang
berdekatan mungkin muncul. Karena darah beredar ke seluruh tubuh, infeksi juga dapat
menyerang bagian lain dari kulit tubuh dan mulai menghasilkan gejala yang sama. Toksin serta
enzim kemudian dihasilkan oleh bakteri yang menghancurkan jaringan dan fasia tubuh
sehingga jaringan menjadi gangren. Jaringan gangren berbahaya bagi kesehatan, jika dibiarkan
berada dalam tubuh untuk jangka waktu lama dapat menyebabkan kematian dalam waktu 24
jam.

2.3.6 Faktor Risiko20

Risiko terkena infeksi ini meningkat jika:

1. Memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah.

2. Memiliki masalah kesehatan kronis seperti diabetes, kanker, atau gagal liver atau ginjal.

3. Memiliki luka di kulit, termasuk luka bekas operasi.

4. Baru/sedang terkena cacar air atau infeksi virus lainnya yang menyebabkan lecet-lecet.

5. Penggunaan obat steroid, yang dapat melemahkan daya tahan tubuh terhadap infeksi.

2.3.7 Pemeriksaan Penunjang18,21

Biopsi
Gold standard untuk mendeteksi infeksi necrotizing jaringan lunak adalah biopsi
jaringan yang diperoleh pada saat eksplorasi luka dan debridement. Adanya nekrosis
fasia dan myonecrosis adalah indikasi dari Necrotizing Fasciitis. Selain itu sebuah

12
prosedur diagnosis bed side yang dapat membantu adalah finger test, yaitu dengan
membuat sebuah sayatan 2 cm ke fasia profunda dibuat di bawah anestesi lokal, dan
tingkat fasia dangkal kemudian diperiksa. Kurangnya perdarahan, nanah berbau 'air
cucian' busuk, dan resistensi jaringan minimal untuk diseksi jari menunjukkan tes jari
positif, dan dianggap diagnostik Necrotizing Fasciitis. Pewarnaan gram jaringan yang
terkena dapat digunakan untuk diagnosis mikrobiologis pada Necrotizing Fasciitis.
Darah dan debridement jaringan juga harus dikirim untuk kultur.
Sinar X
Menampilkan adanya gelembung gas dibawah kulit.
CT Scan
Untuk mengetahui sumber infeksi, terutama abses yang mendalam.
MRI
Penebalan subkutan dengan peningkatan jumlah air di intraseluler pada MRI dapat
terlihat.

Gambar 2.4 Gambaran MRI

13
2.3.8 Penatalaksanaan Medis

Penatalaksanaan untuk Necrotizing Fasciitis adalah kombinasi dari debridement,


antibiotik yang tepat dan oksigenasi yang optimal dari jaringan yang terinfeksi. Setelah
didiagnosis Necrotizing Fasciitis semua pasien harus diobati dengan debridement bedah
segera, dan kombinasi antibiotik spektrum luas terhadap kuman anaerob, gram negatif dan
gram positif basil, yang diubah menjadi kombinasi antibiotik lainnya sebagaimana ditentukan
sesuai dengan sensitivitas kultur isolat mikroba dan klinis dari pasien.22,23

1. Terapi antibiotik untuk Necrotizing Fasciitis berdasarkan mikroba penyebabnya :

Mixed infection : (Ampicillin-sulbactam atau pipellacillin-tazobactam) +


clindamycin atau ciprofloxacin. Bisa juga (Imipenem/cilastatin atau Meropenem
atau Cefotaxime) + Metronidazole atau Clindamycin.

Infeksi streptococcus : Penicilin + clindamycin

Infeksi S. Aureus : Cefazolin atau vancomycin atau clindamycin

Infeksi Clostridium : Clindamycin atau penicilin

2.3.9 Penatalaksanaan Medis24

Menjaga kebersihan lingkungan sekitar.

Menjaga kebersihan tubuh.

Jika terkena luka pada kulit, gantilah pembalut luka sesering mungkin dan membiarkan
luka sedikit terbuka beberapa saat agar sirkulasi udara tetap ada sehingga tidak
mengakibatkan pembusukkan luka.

Memulai pola hidup sehat.

14
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Necrotizing Fasciitis adalah suatu infeksi pada fascia yang dapat disebabkan oleh bakteri
baik gram positif maupun kombinasi antara gram positif, gram negatif serta bakteri anaerob.
Gejalanya umumnya berupa rasa nyeri, eritema, bula dan nekrosis, diagnosis ditegakkan
dengan diagnosis operatif berupa biopsi debridement. Prinsip penatalaksanaan Necrotizing
Fasciitis adalah operatif, antibiotik spektrum luas dan oksigenasi jaringan yang terinfeksi.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Dwi. 2008. Penyakit Menular. Jakarta: Bina Pustaka.


2. Korhan T, Neslihan C, Athan C, Hakan Y, Cemaletting E, Irfan B, et al. Idiopathic
Necrotizing Fasciitis: risk factors and strategies for management. Am Surg.
2005;71(4):315-20.
3. Liu YM, Chi CY, Ho MW, Liao WC, Wang JH. Microbiology andfactors affectingn
mortality in Necrotizing Fasciitis. J Microbiol Immunol Infect. 2005;38(6):430-5.
4. Olaffson EJ, Zeni T, Wilkes DS. 2005. A 46 year old man excruciating shoulder pain.
Chest. 127(3):1039-44.
5. Smith. Necrotizing Fasciitis following saphenofemoral junction ligation with long
saphenous vein stripping: a case report [internet]. London: Biomed Central; 2010 [diakses
taggal 18 November 2017]. Tersedia dari: www.jmedicalcasereports.com.
6. Govindrao, Savita. 2014. Textbook of Oral Medicine with Free Book on Basic Oral
Radiology. Third Edition. Mahesh Verma.
7. Ozalay M, Ozkoc G, Akpinar S, Herseki MA, Tandongan RN. Necrotizing soft tissue
infection of a limb: clinical presentation and factors related to mortality. Foot Ankle Int.
2006;27(8):598-605.
8. Tang WM, Ho PL, Gung KK, Leong JCT. Necrotizing Fasciitis of a limb. J Bone Joint
Surg Br. 2001;83(5):709-14.
9. Bellapianta JM, Ljungquist K, Tobin E, Uhl R. Necrotizing fasciitis. J Am Acad Orthop
Surg. 2009;17:174-82.
10. Mescher AL. Junqueiras Basic Histology Text & Atlas. New York: McGraw Hill
Medical; 2010.
11. Levine EG, Manders SM. Life-threatening necrotizing fasciitis. Clin
Dermatol (2005) 23:1447.10.1016/j.clindermatol.2004.06.014.
12. Kaul R, McGeer A, Low DE, Green K, Schwartz B. Population based surveillance for
group A streptococcal necrotizing fasciitis: clinical features, prognostic indicators, and
microbiologic analysis of seventy-seven cases. Ontario Group A Streptococcal Study. Am
J Med (1997) 103:182410.1016/S0002-9343(97)00160-5
13. Schecter W, Meyer A, Schecter G. Necrotizing fasciitis of the upper extremity. J Hand
Surg (1982) 7:15910.1016/S0363-5023(82)80006-3
14. Eke N. Fourniers gangrene: a review of 1726 cases. Br J Surg (2000) 87:718
2810.1046/j.1365-2168.2000.01497
15. Anaya DA, McMahon K, Nathens AB. Predictors of mortality and limb loss in necrotizing
soft tissue infections. Arch Surg (2005) 140:1517.10.1001/archsurg.140.2.151
16. Espandar R, Sibdari SY, Rafiee E, Yazdanian S. Necrotizing fasciitis of the extremities a
prospective study. Strategies Trauma Limb Reconstr (2011) 6:121510.1007/s11751-011-
0116-1
17. Krieg A, Rhrborn A, Schulte am Esch J, et al. Necrotizing fasciitis: microbiological
characteristics and predictors of postoperative outcome. Eur J Med Res 2009; 14: 306.
DOI: 10.1186/2047-783X-14-1-30.
18. Taviloglu K, Yanar H. Necrotizing fasciitis: strategies for diagnosis and management.
World J Emerg Surg. 2007; 2:19.
19. Morgan MS. Diagnosis and management of necrotising fasciitis: a multiparametric
approach. J Hosp Infect (2010) 75:24957.10.1016/j.jhin.2010.01.028

16
20. Cheng N-C, Tai H-C, Chang S-C, Chang C-H, Lai H-S. Necrotizing fasciitis in patients
with diabetes mellitus: clinical characteristics and risk factors for mortality. BMC
Infectious Diseases 2015; 15: 417. DOI: 10.1186/s12879-015-1144-0
21. Cheung JP, Fung B, Tang WM, Ip WY. A review of necrotising fasciitis in the extremities.
Hong Kong Med J. 2009; 15(1):44-52.
22. Lille ST, Sato TT, Engrav LH, Foy H, Jurkovich GJ. Necrotizing soft tissue infections:
obstacles in diagnosis. J Am Coll Surg (1996) 182:711.
23. 60. Zimbelman J, Palmer A, Todd J. Improved outcome of clindamycin compared with
beta-lactam antibiotic treatment for invasive Streptococcus pyogenes infection. Pediatr
Infect Dis J (1999) 18:1096.10.1097/00006454-199912000-00014
24. Irwin Katy, William English. 2013. The Diagnosis and Management of Necrotizing
Fasciitis. World Federation of Societies of Anaesthesiologists : Anaesthesia Tutorial of
The Week 298.

17

Anda mungkin juga menyukai