Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

Fraktur adalah suatu patahan pada kontinuitas struktur tulang. Fraktur

terjadi akibat adanya trauma maupun tenaga fisik. Pada kondisi normal, tulang

mampu menahan tekanan, namun jika terjadi penekanan ataupun benturan yang

lebih besar dan melebihi kemampuan tulang untuk bertahan, maka akan terjadi

fraktur.1

Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan

berlebihan, dapat berupa pemukulan, penghancuran, penekukan atau penarikan.

Bila terkena trauma langsung tulang dapat patah pada lokasi yang terkena

benturan, jaringan lunak disekitarnya juga dapat rusak. Bila terkena trauma tidak

langsung, tulang dapat mengalami fraktur pada tempat yang jauh dari lokasi yang

terkena benturan tersebut dan kerusakan jaringan lunak disekitar tempat fraktur

bisa tidak ada.2

Berdasarkan jenis kelamin Fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki

daripada perempuan dengan umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungan

dengan olah raga, pekerjaan atau luka yang disebabkan oleh kendaraan bermotor.

Mobilisasi yang lebih banyak dilakukan oleh laki-laki menjadipenyebab tingginya

risiko fraktur.Sedangkanpada orang tua, perempuan lebih sering mengalami

fraktur daripada laki-laki yang berhubungan dengan meningkatnya insidens

osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon pada menopause.3


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Klasifikasi Fraktur

Fraktur adalah rusaknya kontinuitas dari struktur tulang, tulang rawan dan

lempeng pertumbuhan yang disebabkan oleh trauma dan non trauma. Tidak

hanya keretakan atau terpisahnya korteks, kejadian fraktur lebih sering

mengakibatkan kerusakan yang komplit dan fragmen tulang terpisah. Tulang

relatif rapuh, namun memiliki kekuatan dan kelenturan untuk menahan

tekanan. Fraktur dapat diakibatkan oleh cedera, stres yang berulang,

kelemahan tulang yang abnormal atau disebut juga fraktur patologis.2

2.2 Etiologi dan Patofisiologi Fraktur

Fraktur sangat bervariasi dari segi klinis, namun untuk alasan praktis,

fraktur dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:

a. Complete fractures

Tulang terbagi menjadi dua atau lebih fragmen. Patahan fraktur yang

dilihat secara radiologi dapat membantu untuk memprediksi tindakan

yang harus dilakukan setelah melakukan reduksi. Pada fraktur transversal

(gambar 1a), fragmen tetap pada tempatnya setelah reduksi, sedangkan

pada oblik atau spiral (gambar 1c) lebih cenderung memendek dan terjadi

pergeseran meskipun tulang telah dibidai. Fraktur segmental (gambar 1b)

membagi tulang menjadi 3 bagian. Pada fraktur impaksi fragmen

menumpuk saling tumpang tindih dan garis fraktur tidak jelas. Pada

fraktur kominutif terdapat lebih dari dua fragmen, karena kurang

menyatunya permukaan fraktur yang membuat tidak stabil.2


b. Incomplete fractures

Pada fraktur ini, tulang tidak terbagi seutuhnya dan terdapat kontinuitas

periosteum. Pada fraktur buckle, bagian yang mengalami fraktur hampir

tidak terlihat (gambar 1d). Pada fraktur greenstick (gambar 1e dan 1f),

tulang melengkung atau bengkok seperti ranting yang retak. Hal ini dapat

terlihat pada anak‒anak, yang tulangnya lebih elastis daripada orang

dewasa. Pada fraktur kompresi terlihat tulang spongiosa tertekan

kedalam.2

2.3 Klasifikasi fraktur

Secara umum, sistem secara anatomis memfasilitasi komunikasi dan

berbagi data dari berbagai negara dan populasi. Sebuah klasifikasi

alfanumerik dikembangkan oleh Muller dan kolega yang sekarang sudah

diadaptasi dan diperbaiki. Pada sistem ini, angka pertama merupakan tulang

spesifik (1=humerus, 2=radius/ulna, 3=femur, 4=tibia/fibula) dan angka

kedua merupakan segmen (1=proximal, 2=diafisis, 3=distal, 4=malleolar).

Sebuah huruf menentukan pola fraktur (pada diafisis : A=simpel, B=wedge,


C=kompleks; pada metafisis : A=ekstra-artikular, B=sebagian artikular,

C=komplit artikular).

Gambar 2. Klasifikasi Muller

2.4 Proses Penyembuhan Luka

Pada penyembuhan tulang, agar tulang tersebut dapat menyatu maka

pada fraktur harus dilakukan imobilisasi. Fraktur dapat menyatu baik dibidai

maupun tidak. Akan tetapi, bagaimanapun union tidak akan muncul bila

fraktur terus digerakkan. Tulang tersebut, beberapa saat harus diistirahatkan.

Namun ahli bedah tidak wajib untuk melakukan imobilisasi artifisial, secara

natural akan terbentuk kalus, dan kalus tersebut merupakan respon pada

pergerakan, bukan pembidaian. Sebagian besar fraktur dibidai bukan untuk

menjamin union, tetapi tujuannya adalah untuk : mengurangi nyeri,

memastikan terdapat tempat untuk union pada posisi yang benar, memberikan

sedikit pergerakan ekstremitas dan mengembalikan fungsinya. Proses

penyembuhan tulang bervariasi tergantung tipe tulang yang terlibat dan

jumlah pergerakan pada sisi fraktur.

Penyembuhan dengan kalus merupakan penyembuhan secara alami

pada tulang. Terdapat 5 tahap yaitu:


1. Destruksi jaringan dan pembentukan hematom. Pembuluh-pembuluh darah

robek dan hematom muncul di sekitar fraktur. Permukaan tulang yang

fraktur kehilangan pasokan darah sehingga akan mati sekitar satu atau dua

milimeter.

2. Inflamasi dan proliferasi sel. Sekitar 8 jam setelah fraktur, akan timbul

proses inflamasi dengan migrasi sel-sel inflamatorik dan inisiasi proliferasi

dan diferensiasi dari stem sel mesenkim periosteum.

3. Pembentukan kalus. Diferensiasi stem sel menyediakan sel kondrogenik

dan osteogenik, mereka akan mulai membentuk tulang dan pada beberapa

kasus juga kartilago. Saat ini, populasi sel termasuk osteoklas mulai

menghentikan tulang mati. Massa tebal sel dengan tempat tulang dan

kartilago yang imatur, membentuk kalus di atas permukaan periosteal dan

endosteal. Seiring bertambahnya densitas tulang imatur ini, pergerakan

fraktur akan menurun secara progresif dan setelah 4 minggu fraktur akan

menyatu.

4. Konsolidasi. Aktivitas osteoklas dan osteoblas terus berlangsung

membentuk tulang yang pipih. Sistem tersebut cukup padat untuk

oeteoklas mengubur debris pada garis fraktur. Osteoblas akan mengisi

ruang sisa antara fragmen dengan tulang yang baru. Proses ini

membutuhkan waktu beberapa bulan hingga tulang cukup kuat untuk

menopang berat normal.

5. Remodelling. Fraktur sudah tertutup dengan tulang padat.


Gambar 2.3 Proses penyembuhan tulang

2.5 Fraktur Intra-artikular

2.5.1 Definisi

Fraktur intra artikuler adalah fraktur yang mengenai permukaan sendi

sehingga menyebabkan keruakankartilage dan sendi. Gejala klinis yang

mungkin muncul pada kejadian fraktur intraartikularantaa lain adalah nyeri,

deformitas, pembatasan gerak karena nyeri, dan dapat disertai dengan

gangguan reflek fisiologis, serta atrofi otot

2.5.2 Macam – macam Fraktur Intra artikuler

Fraktur Intra artikulerekstremitas inferior

1. Fraktur Proximal Femur

Intracapsular fraktur termasuk femoralhead dan leher femur

 Capital : uncommon

 Subcapital : common

 Transcervical : uncommon

 Basicervical : uncommon
Gambar 2.4 Fraktur Femur Proximal

2. Fraktur Distal Femur

Supracondylar

a. Nondisplaced

b. Displaced

c. Impacted

d. Continuited

Condylar

Intercondylar

Penderita pada umumnya dewasa muda. Ditemukan pembengkakan dan

deformitas pada tungkai atas berupa rotasi eksterna dan pemendekan tungkai

dan mungkin datang dalam keadaan syok.

Gambar 2.5 Fraktur Femur Distal


3. Fraktur Tibia Plateau

Kebanyakan fraktur ini mengenai plato tibial lateral. Mekanisme

cederanya karena terpelintir. Kadang-kadang fraktur tidak terlihat jelas pada

proyeksi AP dan lateral yang standar. Oleh karena itu, kemungkinan

dibutuhkan pandangan oblik, atau tomografi untuk mengenali dan menilai

derajat beratnya fraktur. Sekitar 10% fraktur ini disebabkan oleh cedera

ligamentum sendi lutut.

4. Fraktur Condylus Tibia

Fraktur kondilus tibia lebih sering mengenai kondilus lateralis daripada

medialis serta fraktur pada kedua kondilus. Fraktur kondilus lateralis terjadi

karena adanya abduksi tibia terhadap femurdimana kaki terfiksasi pada dasar,

misalnya trauma sewaktu mengendarai mobil.

5. Fraktur Pergelangan Kaki

Fraktur ini disebabkan oleh cedera inversi atau eversi, atau kombinasi

kedua mekanisme tersebut. Macam-macam fraktur dapat diklasifikasikan

berdasarkan pada jenis cedera atau jenis fraktur yang terlibat.Jenis fraktur

dapat berupa fraktur unimaleolar (maleolus medial atau lateral), fraktur

bimaleolar, fraktur trimaleolar bila tuberkulum posterior tibia distal terkena,

atau fraktur kompleks bila terjadi fraktur komunitif pada bagian distal dan

fibula. Fraktur dislokasi dapat terjadi bila sendi pergelangan kaki

(anklemortse) terganggu akibat cendera tulang dan ligamentum.

6. Fraktur Calcaneus

Fraktur ini merupakan fraktur tulang tarsus yang paling sering

terjadi.Fraktur terjadi akibat jatuh dari ketinggian dan biasanya


bilateral.Kemungkinan disertai dengan fraktur tulang belakang, terutama pada

vertebra lumbal kedua.fraktur dapat diklasifikasikan sebagai eksrta-artikular

atau intraartikular bila fraktur mengenai sendi susbtarsal atau

kalkaneokuboid. Pada fraktur intra artikular, penting untuk menilai derajat

depresi pada permukaan posterior sendi subtalar. Mengukur sudut Bohler dari

foto lateral membantu untuk menilai depresi.

2.1 Fraktur Tibia Plateau

1.Anatomi

Tibia terdiri dari akhir proksimal yang disebut sebagai plateau

(terbagi menjadi medial yang berbentuk konkaf dan lateral yang

berbentuk konvex), tubercle, eminence (medial dan lateral), batang/shaft,

dan akhir distal disebut sebagai pilon (sendi dan medial maleolus)3.

Tibial plateau merupakan penopang massa tubuh bagian proksimal dari

tibia dan melakukan artikulasi dengan condylus femoralis untuk

membentuk sendi lutut4.

Sendi pada daerah lutut adalah articulasio patelo femoral joint

adalah persendian antara condylus femoralis dengan condylus Tibia.

Articulasio Tibiofemoral adalah persendian antara patella dengan facies

patellaris femur4. Ada beberapa ligamentum pada sendi lutut yaitu : 1)

Ligamentum extracapsuler : Ligamentum Patellae, Ligamentum

Collaterale Fibulare, Ligamentum Collaterale Tibiae, Ligamentum

Popliteum Obliquum, Ligamentum Transversum Genu. 2) Ligamentum

intracapsuler : Ligamentum Cruciata Anterior, Ligamentum Cruciatum

Posterior.
Gambar 2.6. Anatomi Tibia Fibula

Gambar 2.7. Foto Xray Genu

2. Epidemiologi

Fraktur tibial plateau terjadi pada 1% kasus dari semua fraktur dan

8% kasus terjadi pada pasien usia tua. Fraktur yang terjadi pada

pasienusiatua merupakan hasil dari trauma dengan energi rendah. Fraktur

pada medial plateau terjadi pada 23% kasus fraktur plateau sedangkan
fraktur lateral plateau terjadi pada 70% kasus, dan kombinasi antara

keduanya terjadi pada 31% kasus4.

3. Faktor Resiko

Faktor risiko untuk terjadinya fraktur tibial plateau adalah4 :

a) Pasien-pasien memiliki resiko untuk cedera ini adalah trauma

dengan kecepatan tinggi (usia muda, laki-laki, alcohol dan pecandu

obat)

b) Usia lebih tua dengan kualitas tulang yang jelek memikiresiko

fraktur.

4. Mekanisme Trauma

Fraktur tibial plateau biasanya terjadi sebagai akibat dari

kecelakaan pejalan kaki yang rendah energy mengenai bumper mobil.

Sebagian besar kejadian fraktur tibial plateau ini juga dilaporkan terjadi

akibat dari kecelakaan sepeda motor dengan kecepatan tinggi dan jatuh

dari ketinggian. Fraktur tibial plateau terjadi akibat kompresi langsung

secara axial, biasanya dengan posisi valgus (paling sering) atau varus

(jarang) atau trauma tidak langsung yang besar. Aspek anterior dari

kondilus femoralis berbentuk baji, dengan terjadinya hiperekstensi dari

lutut maka kekuatan ditimbulkan oleh gerakan kondilus ke tibial plateau.

Arah, besar, dan lokasi dari kekuatan yang ditimbulkan, serta posisi lutut

pada saat trauma akan menyebabkan perbedaan dari pola fraktur, lokasi,

dan tingkat pergeseran. Factor lain seperti usia dan kualitas tulang juga

berpengaruh pada konfigurasi fraktur. Pasien yang lebih tua dengan


tulang yang osteopeni akan lebih cenderung menjadi tipe fraktur depresi

karena tulang subkondralnya lebih kaku untuk mengikuti beban6.

Usia muda dengan tulang yang kaku memiliki angka kejadian lebih

tinggi untuk terjadinya robekan ligament sedangkan usia tua dengan

kekuatan tulang yang menurun memiliki angka kejadian lebih rendah

untuk robekan ligament7.

Gambar 2.8 Mekanisme trauma pada fraktur tibial plateau

5. Klasifikasi

Jika kerusakan yang terjadi tertutup, maka digunakan klasifikasi

Tscherne dan Gotzen. Jika fraktur terbuka maka digunakan klasifikasi

Gustilo-Anderson. Fraktur tibial plateau dapat diklasifikasikan dengan

Schatzker yaitu berdasarkan lokasi dan konfigurasi fraktur8.

Klasifikasi fraktur tertutup (TschemeandGotzen) yaitu8 :

Grade 0 : kerusakan jaringan lunak minimal

Grade 1 : Abrasi superficial/ kontusio

Grade 2 : Dalam, abrasi dengan kontusio kulit ataupun otot. Tanda-

tanda impending kompartemen sindrom


Grade 3 : kontusio kulit yang luar, avulsesubkutan, dan kerusakan

otot

Klasifikasi fraktur terbuka (Gustilo-Anderson) yaitu 8 :

Grade 1 :Luka kecil kurang dan 1 cm, terdapat sedikit kerusakan

jaringan, tidak terdapat tanda-tanda trauma yang hebat pada

jaringan lunak. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat simpel,

tranversal, oblik pendek atau komunitif.

Grade 2 :Laserasi kulit melebihi 1 cm tetapi tidak terdapat kerusakan

jaringan yang hebat atau avulsi kulit. Terdapat kerusakan yang

sedang dan jaringan

Grade 3 :Terdapat kerusakan yang hebat pada jaringan lunak termasuk

otot, kulit dan struktur neovaskuler dengan kontaminasi yang

hebat. Dibagi dalam 3 sub tipe:

a) grade IIIA : jaringan lunak cukup menutup tulang yang

patah

b) grade IIIB : disertai kerusakan dan kehilangan jaringan

lunak, soft tissue cover (-)

c) grade IIIC : disertai cedera arteri yang memerlukan

repair segera

Klasifikasi fraktur tibial plateau (Schatzerclassification)2 :

Tipe 1 :fraktur biasa pada kondilus tibia lateral. Pada pasien yang lebih

muda yang tidak menderita osteoporosis berat, mungkin terdapat

retakan vertikan dengan pemisahan fragmen tunggal. Fraktur ini

mungkin sebenarnya tidak bergeser, atau jelas sekali tertekan


dan miring, kalau retakannya lebar, fragmen yang lepas atau

meniscus lateral dapat terjebak dalam celah.

Tipe 2 : peremukan kominutif pada kondilus lateral dengan depresi pada

fragmen. Tipe fraktur ini paling sering ditemukan dan biasanya

terjadi pada orang tua dengan osteoporosis.

Tipe 3 : peremukan komunitif dengan fragmen luar yang utuh. Fraktur ini

mirip dengan tipe 2, tetapi segmen tulang sebelah luar

memberikan selembar permukaan sendi yang utuh.

Tipe 4 :fraktur pada kondilus tibia medial. Ini kadang-kadang akibat

cedera berat, dengan perobekan ligament kolateral lateral

Tipe 5 :fraktur pada kedua kondilus dengan batang tibia yang melesak

diantara keduanya

Tipe 6 : kombinasi fraktur kondilus dan subkondilus, biasanya akibat

daya aksial yang hebat

Gambar 2.9 Klasifikasi fraktur tibial plateau (schatzker

classification)
6. Diagnosis

Anamnesis

Anamnesis merupakan langkah pertama yang dilakukan untuk

mengevaluasi pasien dengan fraktur. Pada anamnesis didapatkan adanya

keluhan nyeri, bengkak, ataupun deformitas. Keluhan lain yang dipaparkan

oleh pasien adalah tidak mampu untuk menggerakkan lutut secara

seluruhan ataupun sebagian4. Anmnesis penting untuk mengetahui apakah

pasien mengalami trauma dengan energy besar atau tidak. Kecelakan

motor, jatuh dari ketinggian lebih dari 10 kaki, dan ditabrak dengan

kendaraan sementara berjalan merupakan contoh mekanisme trauma

dengan energi tinggi. Anamnesis lainnya yang pertu ditanyakan adalah

factor-faktor komorbid dari pasien yang akan berpengaruh pada terapi

ataupun prognosis. Pasien dengan penyakit penyerta seperti penyakit arteri

koroner, emfisema, perokok, ataupun diabetes tidak terkontrol memiliki

resiko besar untuk timbulnya komplikasi dari cedera yang terjadi9.

Pemeriksaan Fisik1

1. Look (Inspeksi)

 Deformitas : angulasi ( medial, lateral, posterior atau anterior),

diskrepensi (rotasi, perpendekan atau perpanjangan).

 Bengkak atau kebiruan.

 Fungsiolesa (hilangnya fungsi gerak)

2. Feel (Palpasi)

 Tenderness (nyeri tekan) pada derah fraktur.

 Krepitasi.
 Nyeri sumbu.

3. Move (Gerakan)

 Nyeri bila digerakan, baik gerakan aktif maupun pasif.

 Gerakan yang tidak normal yaitu gerakan yang terjadi tidak pada

sendinya.

4. Pemeriksan trauma di tempat lain seperti kepala, thorak, abdomen,

tractusurinarius dan pelvis.

5. Pemeriksaan komplikasi fraktur seperti neurovaskular bagian distal

fraktur yang berupa pulsus arteri, warna kulit, temperatur kulit,

pengembalian darah ke kapiler (Capillaryrefiltest), sensasi motorik dan

sensorik. Pada fraktur tibial plateau, perlu dilakukan pemeriksaan

terhadap arteri popliteal yaitu diantara proksimal dari adductor hiatus

dan distal dari soleus serta pemeriksaan nervusperoneus.

6. Pada fraktur tibial plateau, hemarthrosis sering terjadi yaitu berupa

edem, nyeri pada lutut dimana pasien tidak dapat memikul berat tubuh.

7. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan standar untuk trauma pada lutut adalah foto Xray

dengan posisi anteroposterior (AP), lateral, dan dua oblik. Foto X-ray

digunakan untuk mengidentifikasi garis fraktur dan pergeseran yang terjadi

tetapi tingkat kominusi atau depresi dataran mungkin tidak terlihat jelas.

Foto tekanan (dibawah anestesi) kadang-kadang bermanfaat untuk menilai

tingkat ketidakstabilan sendi. Bila kondilus lateral remuk, ligamen medial

sering utuh, tetapi bila kondilus medial remuk, ligament lateral biasanya

robek2.
Gambar 2.10 Foto X-Ray Genu Sinistra AP

CT-scan digunakan untuk mengidentifikasi adanya pergeseran dari

fraktur tibial plateau. CT-scan potongan sagital meningkatkan akurasi

diagnosis dari fraktur tibial plateau dan diindikasikan pada kasus dengan

depresi artikular. Magneticresonanceimaging (MRI) digunakan untuk

mengevaluasi trauma ataupun sebagai alternative dari CT-scan atau

arthroscopy. MRI dapat mengevaluasi tulang serta komponen jaringan

lunak dari lokasi trauma. Namun, tidak ada indikasi yang jelas untuk

penggunaan MRI pada fraktur tibial plateau6.


Gambar 2.11 CT-scan Posisi AP, sagital, serta arthtroscopy

menunjukkan fraktur kompres lateral.

8. Terapi

Terapi pada fraktur tibial plateau dibagi menjadi non-operative dan

operative :

 Non-operative

Fraktur yang non-displaced dan stabil baik untuk diterapi non-

operative. Pemakaian hingedcast-brace untuk melindungi pergerakan lutut

dan beban tubuh merupakan salah satu metode pilihan. Latihan

isometricuntuk quadriceps, pasif, aktif,dan pergerakan aktif dari lutut

sebagai stabilitas dapat dilakukan. Dibolehkan untuk memikul beban tubuh

secara partial selama 8-12 minggu, dan progressif hingga memikul beban

tubuh secara keseluruhan. Terapi dengan long legcast juga dapat

digunakan6,7.

Fraktur yang tidak bergeser atau sedikit bergeser biasanya

menimbulkan hemathrosis. Hemathrosis diaspirasi dan pembalut kompresi

dipasang. Tungkai diistirahatkan pada mesin gerakan pasif kontinyu dan

gerakan lutut dimulai. Segera setelah nyeri dan pembengkakan akut telah
mereda, gips penyangga berengsel dipasang dan pasien diperbolehkan

menahan beban sebagian dengan kruk penopang2.

Gambar 2.12 Terapi non-operative. (a) tampaknya tidak mungkin

bahwa fraktur bikondilus yang kompleks ini dapat direduksi

dengan sempurna dan difiksasi secara memuaskan dengan operasi,

maka (b,c) pen traksi bawah dimasukkan dan gerakan dilatih

dengan tekun (d) sepuluh hari kemudian sinar X memperlihatkan

reduksi yang sangat baik dan hasil akhir sangat bagus.

 Operative

Indikasi operasi pada fraktur tibial plateau adalah7 :

1. Depressi pada articular yang dapat ditoleransi adalah <2mm sampai 1

cm.

2. Instabilitasi>10 derajat dari lutut yang diperpanjang dibandingkan

dengan sisi sebaliknya. Fraktur yang retak lebih tidak stabil

dibandingkan fraktur yang hanya kompresi.

3. Fraktur terbuka

4. Sindrom kompartemen

5. Adanya kerusakan vascular.


Terapi pembedahan berdasarkan tipe fraktur nya (Schatzkerclassification)

yaitu :

Schatzker tipe 1. Fraktur yang bergeser. Fragmen kondilus yang besar

harus benar-benar direduksi dan difiksasi pada posisinya. Ini terbaik

dilakukan dengan operasi terbuka2.

Schatzker tipe 2. Fraktur komunitif. Pada dasarnya ini adalah fraktur

kompresi, mirip dengan fraktur kompresi vertebra. Kalau depresi ringan

(kurang dari 5 mm) dan lutut stabil atau jika pasien telah tua dan lemah

serta mengalami osteoporosis, fraktur diterapi secara tertutup dengan

tujuan memperoleh kembali mobilitas dan fungsi bukannya restitusi

anatomis. Setelah aspirasi dan pembalutan kompresi, traksi rangka

dipasang lewat pen berulir melalui tibia, 7 cm di bawah fraktur. Kondilus

mulai dibentuk, lutut kemudian difleksikan dan diekstensikan beberapa

kali untuk membentuk tibia bagian atas pada kondilus femur yang

berlawanan. Kaki diletakkan pada bantal dan dengan 5 kg traksi, latihan

aktif harus dilakuakn tiap hari. Selain itu, lutut dapat diterapi sejak

permulaan dengan mesin CPM, untuk semakin meningkatkan rentang

gerakan ; seminggu setelah terapi ini penggunaan mesin itu dihentikan dan

latihan aktif dimulai. Segera setelah fraktur menyatu (biasanya setelah 3-4

minggu), pen traksi dilepas, gips penyangga berengsel dipasang dan pasien

diperbolehkan bangun dengan kruk penopang. Pembebanan penuh ditunda

selama 6 minggu lagi. Pada pasien muda dengan fraktur tipe 2, terapi ini

mungkin dianggap terlalu konservatif dan reduksi terbuka dengan

peninggian plateau dan fiksasi internal sering menjadi pilihan. Pasca


operasi lutut diterapi dengan mesin CPM ; setelah beberapa hari, latihan

aktif dimulai dan setelah 2 minggu pasien dibiarkan dengan gips

penyangga yang dipertahankan hingga fraktur telah menyatu. Pasca

operasi lutut diterapi dengan mesin CPM setelah beberapa hari2.

Schatzker tipe 3. Kominusi dengan fragmen lateral yang utuh. Prinsip

terapinya mirip dengan prinsip yang berlaku untuk fraktur tipe 2. Tetapi,

fragmen lateral dengan kartilago artikular yang utuh merupakan

permukaan yang berpotensi mendapat pembebanan, maka reduksi yang

sempurna lebih penting. Cara ini kadang-kadang dapat dilakukan secara

tertutup dengan traksi yang kuat dan kompresi lateral, jika ini berhasil,

fraktur diterapi dengan traksi atau CPM. Kalau reduksi tertutup gagal,

reduksi terbuka dan fiksasi dapat dicoba. Pasca operasi, latihan dimulai

secepat mungkin dan 2 minggu kemudian pasien dibiarkan bangun dalam

gips-penyangga yang dipertahankan hingga fraktur telah menyatu2.

Schatzker tipe 4. Fraktur pada kondilus medial. Fraktur yang sedikit

bergeser dapat diterapi dalam gips penyangga. Kalau fragmen nyata sekali

bergeser atau miring, reduksi terbuka dan fiksasi diindikasikan. Kalau

ligament lateral juga robek, ini harus diperbaiki sekaligus2.

Schatzker tipe 5 dan 6. Merupakan cedera berat yang menambah resiko

sindrom kompartemen. Fraktur bikondilus sering dapat direduksi dengan

traksi dan pasien kemudian diterapi seperti pada cedera tipe 2. Fraktur

yang lebih kompleks dengan kominusi berat juga lebih baik ditangani

secara tertutup, meskipun traksi dan latihan mungkin harus dilanjutkan

selama 4-6 minggu hingga fraktur cukup menyatu untuk memungkinkan


penggunaan gips penyangga. Jika terdapat beberapa fragmen yang

bergeser, fiksasi internal dapat dilakukan2.

Gambar 2.13 Raft-screw. (a-c) ukuran kortikalscrew sebesar 3,5 mm

dimasukkan dibawahsubkondral dan dari raftdiatas fragmen plateau. Pada

kasus tipe 2,5, atau 6, diperlukan juga buttressplat2

Reduksi Terbuka dan Fiksasi

Fraktur plateau sulit direduksi dan difiksasi. Terapi operasi hanya

dilakukan kalau tersedia seluruh jenis implant. Melalui insisi parapatela

longitudinal, kapsul sendi dibuka. Tujuannya untuk mempertahankan

meniskusi sampil sepenuhnya membuka plateau yang mengalami fraktur.

Ini terbaik dilakuakn dengan memasuki sendi melalui insisi kapsul

melintang di bawah meniscus. Fragmen besar tunggal dapat direposisi dan

dipertahankan dengan sekrup kanselosa dan ring tanpa banyak kesulitan.

Fraktur tekanan yang komunitif harus ditinggikan dengan mendorong

massa yang terpotong-potong ke atas ; permukaan osteoartikular kemudian

disokong dengan membungkus daerah subkondral dengan cangkokan

kanselosa (diperoleh dari kondilus femur atau Krista iliaka) dan

dipertahankan di tempatnya dengan memasang plat penunjang yang sesuai

dengan kontur dan sekrup pada sisi tulang itu. Kecuali kalau terobek,
meniscus harus dipertahankan dan dijahit lagi di tempatnya ketika kapsul

diperbaiki2.

Fraktur kompleks pada tibia proksimal sulit difiksasi dan banyak ahli

bedah lebih suka member terapi dengan traksi dan mobilisasi. Kalau

dipilih terapi operasi, pemaparan luka secara memadai sangat diperlukan.

Schatzker menganjurkan membelah ligamentpatella dan membalik patella

ke atas. Pasca operasi, tungkai ditinggikan dan dibebat hingga

pembengkakan mereda, gerakan dimulai secepat mungkin dan dianjurkan

melakukan latihan aktif. Pada akhir minggu keempat pasien biasanya

diperbolehkan dalam gips penyangga, menahan beban sebagian dengan

penopang ; penahanan beban penuh dilanjutkan bila penyembuhan telah

lengkap2.

Gambar 2.14 Fraktur tibial plateau- fiksasi. (a) sekrup tunggal mungkin

sudah mencukupi untuk retakan sederhana, meskipun (b) plat penopang

dan sekrup lebih aman. (c) depresi yang lebih dari 1 cm dapat diterapi

dengan peninggian dari bawah dan (d) disokong dengan pencangkokan

tulang. (e) fraktur compleks dapat diterapi dengan operasi tetapi, kecuali

kalau reduksi dapat dijamin sempurna, terapi dengan traksi dan gerakan
saja mungkin lebih bijaksana ; mengikat fragmen yang menonjol ke atas

permukaan sendi akan mengundang osteoarthritis dini.

Gambar 2.15 Fraktur tibial plateau yang kompleks – fiksasi internal.

Trauma pada jaringan lunak oleh fraktur dengan senergy tinggi pada

tibial plateau bias anyatidak aman untuk dilakukan operasi segera.

Stabilisasi dengan eksternal fiksasi memungkinkan pembengkakan

berkurang dan pasien bisa berisitirahat dengan nyaman. (a) ketika

keadaan membaik dan biasanya dalam waktu 2 minggu, operasi terbuka

dapat dipertimbangkan. Contohnya, dua platbuttress digunakan untuk

menopang daerah lateral dan posteromedial dari tibial plateau2


Gambar 2.15. Fraktur tibial plateau yang kompleks – eksternal fiksasi.

Daripada membuka daerah sendi untuk mengurangi fraktur, hal ini juga

dapat digunakan secara perkutaneus, dengan control X-Ray, dan fragmen

sendi berpegang pada multiplescrew. (a,b) metafisistibial berpegang pada

batang dengan fiksasi eksternal circular.(dikutip dari kepustakaan 2)

9. Prognosis

Prognosis pada fraktur tibial plateau adalah 4 :

1. Fraktur tibial plateau dapat menyebabkan kerusakan yang parah

2. Insidensiarthritispost trauma dihubungkan dengan usia pasien, lokasi

dari pergeseran, dan reduksi.

3. Fraktur karena energy tinggi yang diterapi dengan fiksasi eksternal

hanya memiliki insidensi sebesar 5% mengenai masalah luka

10. Komplikasi

Komplikasi pada fraktur tibial plateau dapat dibagi menjadi dua

yaitu dini dan lanjut.

1. Komplikasi dini

 Sindroma kompartemen. Pada fraktur bikondilus tertutup terdapat

banyak perdarahan dan resiko munculnya sindrom kompartemen.

Kaki dan ujung kaki harus diperiksa secara terpisah untuk mencari

tanda-tanda iskemia2.

 Kerusakan dari nervus peroneal. Hal ini umum terjadi pada trauma di

aspek lateral dimananervus peroneal berjalan dari proksimal ke

bagian atas dari fibula dan lateral dari tibial plateau7

 Laserasi arteri popliteal7


2. Komplikasi lanjut

 Kekakuan sendi. Pada fraktur komunitif berat dan setelah operasi

yang kompleks, terdapat banyak resiko timbulnya kekakuan lutut.

Resiko ini dicegah dengan (1) menghindari imobilisasi gips yang

lama dan (2) mendorong dilakukannya gerakan secepat mungkin2.

 Deformitas. Deformitasvarus atau valgus yang tersisa amat sering

ditemukan baik karena reduksi fraktur tak sempurna ataupun karena

meskipun telah direduksi dengan memadai, fraktur mengalami

pergeseran ulang selama terapi. Untungnya, deformitas yang

moderat dapat member fungsi yang baik, meskipun pembebanan

berlebihan pada satu kompartemen secara terus menerus dapat

menyebabkan predisposisi untuk osteoarthritis di kemudian hari2.

Malunion atau non-union. Hal in sering terjadi pada Schatzker VI dimana

terjadi fraktur diantarametafisis-diafisis, kominusi, fiksasi tidak stabil,

kegagalan implant, atau infeksi7.


BAB III

TINJAUAN KASUS

3.1 Fraktur Ekstremitas Inferior

3.1.1 Identitas pasien

Nama :Tn. Narko

Umur : 52 tahun

Alamat : Jln. Darmawangsa Punden 4a

No. Telepon :-

Jenis kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia

Pekerjaan : Wiraswasta

Tanggal periksa : 23 Maret 2019

Jam periksa : 18.34 WIB

No. RM : 863355

3.1.2 Subjektif

 Keluhan Utama : Nyeri pada lutut kiri

 Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang ke IGD RSU Haji dengan keluhan nyeri pada lutut kiri

setelah jatuh dari tangga dengan ketinggian sekitar 0,5 meter. Pasien

merasa kaki sudah menapak di anak tangga setelahnya tetapi ternyata

belum, sehingga pasien jatuh dan salah menumpu dengan kaki kiri

saja. Pasien sadar dan mengingat kejadian sebelum dan sesudah


terjatuh. Setelah jatuh pasien masih bisa berjalan tapi terasa nyeri.

Pusing (-), mual (-), muntah (-).

 Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien tidak pernah mengalami riwayat trauma seperti ini, diabetes

mellitus disangkal, hipertensi di sangkal.

 Riwayat Penyakit Sosial : -

 Riwayat penggunaan obat :tidak ada

 Riwayat alergi :makanan (-), obat (-)

3.1.3 Primary Survey

- Keadaan Umum : Cukup

- Kesadaran/GCS : Compos mentis/456

- Tanda vital : TD : 120/80 ; N : 84 x/mnt ; RR : 20x/mnt ; t : 36.7ºC

3.1.4 Secondary Survey

- Kepala leher : A/I/C/D +/-/-/-

- Thorax :

o I : normochest,simetris, retraksi -/-

o P : ekspansi dinding dada simetris, gerak napas simetris

o P : sonor/sonor

o A : ves/ves, rhonki -/-, wheezing -/-

- Cor :

o I : Iktus cordis (-)

o P : Iktus cordis kuat angkat (-)

o P : batas jantung dalam batas normal

o A : S1 S2 tunggal, gallop (-), murmur (-)


- Abdomen :

o I : flat

o A : bising usus (+) normal

o P : soefl, nyeri tekan (-)

o P : timpani seluruh regio

- Ekstremitas :

−/−
o edema −/+

+/+
o akral hangat, kering, merah +/+

o CRT < 2 detik

3.1.5 Status Lokalis :

- Regio genusinistra:

o L : deformitas (+), odem (+),vulnus (-),hiperemi (+), bleeding (-),

shortening (-)

o F : Nyeri tekan (+), teraba hangat (+), edema (+), krepitasi (-), false

movement (-),

o M : ROM gerak aktif & pasif terbatas nyeri (+), false movement (-)

o AVN : Pulsasi A. Dorsalis pedis (+), pulsasi A. Tibialis Posterior

(+), dorsofleksi (+) (N. Peroneus), plantar flexi (+) (N.Tibialis

Comunis)

3.1.6 Pemeriksaan Penunjang

- Foto Xray Genu Sinistra


Gambar 3.1 hasil foto X-ray Genu Sinistra AP/Lateral

3.1.7 Assesment

Close fracture tibia plateau sinistra tipe intra artikuler Schatzker II

3.1.8 Planning

- Diagnosis : -

- Terapi :

o Infus 1500cc/24 Jam

o Inj Ceftriaxone 2 gram

o Inj Antrain 3x1 gram

o Darah Lengkap

o Foto Polos Thorax

o Pro operasi: ORIF (pasang screw)


3.2.6 Monitoring

- Keluhan pasien (nyeri)

- Vital Sign

- Ada atau tidak tanda-tanda kompartemen sindrom

3.2.7 Edukasi

- Menjelaskan kepada pasien tentang sakit yang diderita pasien bahwa ada

patah tulang pada tulang betis bagian atas

- Menjelaskan kepada pasien tentang pemeriksaan dan terapi yang akan

dilakukan serta risiko tindakannya, yaitu pemasangan sekrup pada tulang

agar posisi bisa baik dan mencegah risiko komplikasi apabila tidak

dipasang sekrup berupa peradangan sendi

- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga untuk melakukan rehabilitasi

fisik berkala sesuai dengan kondisi pasien

- Edukasi untuk menjaga kebersihan luka paska operasi dan rutin kontrol

untuk rawat luka serta melihat perkembangan hasil operasi


DAFTAR PUSTAKA

1. Price, S. A., & Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi: Konsep Klinik

ProsesProses Penyakit (6 ed.). (B. U. Pendit, Penerj.) Jakarta: EGC.

2. Solomon L, warwick DJ, Nayagam S. Apley’s system of orthopaedics and

fractures. Ninth edition. New York :Oxford university press, 2010.

3. Chairuddin, Rasjad Prof, MD, PhD.Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. 2003.

Makasar

4. Alan Graham Aplpley. Appley’s System of Orthopedics and Fracture 9th

edition. Butterworths Medical Publications. 2010.

5. Netter, Frank H. Netter’s Concise Orthopaedic Anatomy 2nd edition.

Saunders Elseiver.

6. Frassica, Frank dkk. The 5-Minute Orthopaedic Consult 2nd edition.

Lippuncolt William & Wilkins. 2007

7. Luhulima JW. Musculoskeletal. Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran

Universitas Hasanuddin. Makassar. Indonesia. 2002.

8. Chapman, Michael W. Chapman’s Orthopaedic Surgery 3rd edition.

Lippincolt William & Wilkins. 2001.

9. Koval, Kenneth J. Handbook of Fractures 3rd edition. Lippincolt William

& Wilkins. 2006

10. Kingsley Chin, dkk. Orthopaedic Key Review Concept, 1st edition.

Lippincolt William & Wilkins. 2008

11. Dirchsl Douglas, dkk. Staged Management of Tibial Plateau. American

Journal of Orthopaedic. 2007

12. Reznik, Alan M. Tibial Plateau Fractures. The Orthopaedic Group. 2011
13. Cluet Jonathan. Tibial Plateau Fracture. 2005. Available from :

http://orthopedics.about.com

Anda mungkin juga menyukai