Anda di halaman 1dari 19

TUGAS KMB III

”PROSES PENYEMBUHAN LUKA”

OLEH :

1. I MADE KRESNA DWIPAYANA ( C1117049 )


2. I WAYAN GELGEL WIRADIANA ( C1117052 )
3. I DEWA GEDE AGUNG MAHENDRA PUTRA ( C1117058 )
4. I KOMANG GEDE BANDESA MAHA PUTRA ( C1117061 )
5. I DEWA GEDE AGUNG WIDIANTARA ( C1117065 )
6. NI PUTU MAYA KARTINI PUTRI ( C1117067)
7. GEDE ANGGA ARTHA DINATA ( C1117069 )
8. NI RAI SUCI WIDARI ( C11170 71)
9. I DEWA AYU MAROKTA UTAMI DEWI ( C1117073)
10. I NYOMAN ARIE SUKADI NUGRAHA ( C1117074 )

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

BINA USADA BALI

2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosisal, yaitu makhluk yang tidak bisa mempertahankan
hidupnya sendirian. Setiap hari manusia yang satu selalu berinteraksi dengan manusia
lainnya. Situasi yang timbul dari proses interaksi ini pun beragam, mulai dari yang ringan,
sedang, sampai yang berat. Sehingga kadang-kadang tanpa kita sadari muncul luka, baik
secara fisik maupun rohani. Luka yang paling sering dialami adalah luka secara fisik. Luka
secara fisik sendiri adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomis normal akibat proses
patologis yang berasal dari internal maupun eksternal dan mengenai organ tertentu
          Bagian tubuh yang paling sering terkena luka adalah kulit. Kulit merupakan organ
tubuh yang paling luas dan memiliki berbagai macam fungsi yang penting dalam
mempertahankan kesehatan dan melindungi individu dari cedera. Fungsi keperawatan yang
penting adalah mempertahankan integritas kulit dan meningkatkan penyembuhan luka.
Perawat harus memahami faktor yang memengaruhi integritas kulit, fisiologi penyembuhan
luka, dan tindakan khusus untuk meningkatkan kondisi kulit sehingga dapat melindungi kulit
dan mengelola penyembuhan luka secara efektif.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Kulit?
2. Terdiri dari apa sajakah Struktur Kulit Manusia?
3. Apakah yang dimaksud dengan Luka?
4. Apa sajakah Klasifikasi Luka itu?
5. Apa sajakah Derajat Luka itu?
6. Apakah yang dimaksud dengan Penyembuhan Luka?
7. Faktor apa sajakah yang mempengaruhi proses penyembuhan luka?
8. Bagaimanakah Tahapan dalam Penyembuhan Luka?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kulit.
2. Untuk mengetahui terdiri dari apa sajakah struktur kulit manusia.
3. Untuk mengetahui apayang dimaksud dengan luka.
4. Untuk mengetahui apa saja klasifikasi luka.
5. Untuk mengetahui apa saja derajat luka.
6. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan penyembuhan luka.
7. Untuk mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi proses penyembuhan luka.
8. Untuk mengetahui bagaimana tahapan dalam penyembuhan luka.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KULIT
Kulit adalah lapisan jaringan yang terdapat pada bagian luar yang menutupi dan
melindungi permukaan tubuh. Pada permukaan kulit bermuara kelenjar keringat dan kelenjar
mukosa.
Kulit merupakan organ tubuh yang terletak paling luar dan merupakan proteksi terhadap
organ-organ yang terdapat dibawahnya dan membangun sebuah barrier yang memisahkan
organ-organ internal dengan lingkungan luar dan turut berpartisipasi dalam banyak fungsi
tubuh yang vital.
Kulit adalah lapisan atau jaringan yang menutup seluruh tubuh dan melindungi tubuh dari
bahaya yang datang dari luar. Bagi wanita, kulit merupakan bagian tubuh yang perlu
mendapat perhatian khusus untuk memperindah kecantikan. Bagi seorang dokter apa yang
terlihat pada kulit dapat membantu menemukan penyakit yang diderita pasiennya. Lapisan
kulit pada dasarnya sama di semua bagian tubuh, kecuali di telapak tangan, telapak kaki, dan
bibir. Tebalnya bervariasi dari 0,5 mm di kelopak mata sampai 4 mm di telapak kaki.

B. LAPISAN KULIT
Secara mikroskopis struktur kulit manusia terdiri dari, yaitu:
1. Epidermis
Epidermis tersusun atas epitelium berlapis dan terdiri atas sejumlah lapisan sel yang
disusun atas 2 lapis yang tampak jelas : selapis lapisan tanduk dan selapis zona germinalis.
Epidermis yang bersambung dengan membran mukosa dan dinding saluran telinga terdiri
atas sel-sel hidup yang selalu membelah dan pada permukaanya ditutupi oleh sel-sel mati
yang asalnya lebih dalam pada dermis tetapi kemudian terdorong keatas oleh sel-sel yang
baru tumbuh dan lebih berdifresiasi yang berada dibawahnya. Lapisan eskternal ini hampir
seluruhnya akan diganti setiap 3 - 4 minggu sekali. Sel-sel mati mengandung sejumlah
besar kreatinin yaitu protein fibrous insoulubel yang membentuk barrier paling luar kulit
dan memiliki kemampuan untuk mengusir mikroorganisme patogen serta mencegah
kehilangan cairan yang berlebihan dari tubuh. Kreatinin merupakan unsur utama yang
mengeraskan rambut dan kuku.
      Epidermis tidak berisi sesuatu pembuluh darah. Saluran kelenjar keringat
menembus epidermis  dan mendampingi rambut. Sel epidermidis membatasi folikel
rambut. Di atas permukaan epidermis terdapat garis lekukan yang berjalan sesuai dengan
papil dermis di bawahnya. Garis - garis  ini berbeda-beda ; pada ujung jari berbentuk
ukiran yang jelas, yang pada setiap orang berbeda. Maka atas hal ini studi sidik jari dalam
kriminologi dilandaskan.
Terdiri dari 5 lapisan (stratum) :
a. Stratum Korneum, selnya sudah mati, tidak mempunyai inti sel (inti selnya sudah mati)
dan mengandung zat keratin.
b. Stratum Lusidum, selnya pipih, bedanya dengan stratum granulosum ialah sel-sel sudah
banyak yang kehilangan inti dan butir-butir sel telah menjadi jernih sekali dan tembus
sinar. Lapisan ini hanya terdapat pada telapak tangan dan telapak kaki. Dalam lapisan
terlihat seperti suatu pita yang bening, batas-batas sel sudah tidak begitu terlihat,
disebut stratum lusidum.
c. Stratum Granulosum, stratum ini terdiri dari sel-sel pipih seperti kumparan. Sel-sel
tersebut terdapat hanya 2-3 lapis yang sejajar sengan permukaan kulit. Dalam
sitoplasma terdapat butir-butir yang disebut keratohialin yang merupakan fase dalam
pembentukan keratin oleh karena banyaknya butir-butir stratum granulosum.
d. Stratum Spinosum/Stratum Akantosum, lapisan ini merupakan lapisan yang paling tebal
dan dapat mencapai 0,2 mm terdiri dari 5-8 lapisan. Sel-selnya disebut spinosum
karena jika kita lihat di bawah mikroskop sel-selnya terdiri dari sel yang bentuknya
poligonal (banyak sudut) dan mempunyai tanduk (spina). Disebut akantosum karena
sel-selnya berduri. Ternyata spina atau tanduk tersebut adalah hubungan antara sel
yang lain yang disebut intercelular bridges atau jembatan interselular.
e. Stratum Basal/Germinativum, disebut stratum basal karena sel-selnya terletak di bagian
basal. Stratum germinativum menggantikan sel-sel yang di atasnya dan merupakan sel-
sel induk. Bentuknya silindris (tabung) dengan inti yang lonjong. Di dalamnya terdapat
butir-butir yang halus disebut butir melanin warna. Sel tersebut disusun seperti pagar
(palisade) di bagian bawah sel tersebut terdapat suatu membran yang disebut membran
basalis. Sel-sel basalis dengan membran basalis merupakan batas terbawah dari
epidermis dengan dermis. Ternyata batas ini tidak datar tetapi bergelombang. Pada
waktu kerium menonjol pada epidermis tonjolan ini disebut papila kori (papila kulit),
dan epidermis menonjol ke arah korium. Tonjolan ini disebut rete ridges atau rete pegg
(prosessus interpapilaris).
2. Dermis
Dermis merupakan lapisan kedua dari kulit. Batas dengan epidermis dilapisi oleh
membran basalis dan di sebelah bawah berbatasan dengan subkutis tetapi batas ini tidak
jelas hanya dapat di ambil sebagai patokan ialah mulainya terdapat sel lemak. Dermis
membentuk bagian terbesar kulit dengan memberikan kekuatan dan struktur pada kulit.
Dermis terdiri dari 2 lapisan :
a. Lapisan papilaris dermis berada langsung di bawah epidermis dan tersusun terutama
dari sel-sel fibroblast yang dapat menghasilkan salah satu bentuk kolagen, yaitu suatu
komponen dari jaringan ikat.
b. Lapisan retikularis terletak di bawah lapisan papilaris dan juga memproduksi kolagen
serta berkas-berkas serabut elastik.
Batas antara pars papilaris dan pars retikularis terdiri dari jaringan ikat longgar
yang tersusun dari serabut-serabut: serabut kolagen, serabut elastis dan serabut retikulus.
Serabut ini saling beranyaman dan masing-masing mempunyai tugas yang berbeda. Serabut
kolagen untuk memberikan kekuatan pada kulit, serabut elastis memberi kelenturan pada
kulit dan retikulus terdapat terutama di sekitar kelenjar dan folikel rambut dan memberikan
kekuatan.
Dermis juga tersusun dari pembuluh darah serta limfe, serabut saraf, kelenjar keringat
serta sebasea dan akar rambut. Dermis sering disebut sebagai “kulit sejati”. Ujung akhir saraf
sensoris, yaitu puting peraba, terletak di dalam dermis. Kelenjar keringat yang berbentuk
tabung berbelit-belit dan yang banyak jumlahnya dan salurannnya yang keluar melalui
dermis dan epidermis bermuara diatas permukaaan kulit di dalam lekukan halus yang
bernama pori
3. Subkutis
      Jaringan subkutan atau hipodermis merupakan lapisan kulit yang paling dalam.
Jaringan ini terdiri dari kumpulan sel-sel lemak dan di antara gerombolan ini berjalan
serabut-serabut jaringan ikat dermis. Sel-sel lemak ini bentuknya bulat dengan intinya
terdesak ke pinggir, sehingga membentuk seperti cincin. Lapisan ini terutama berupa
jaringan adiposa yang memberikan bantalan antara lapisan kulit dan struktur internal seperti
tulang dan otot. Lapisan lemak ini disebut penikulus adiposus yang tebalnya tidak sama pada
tiap tempat dan juga pembagian antara laki-laki dan perempuan tidak sama (berlainan).
Jarinagn ini memungkinkan mobilitas kulit, perubahan kontur tubuh dan penyekatan panas
tubuh. Lemak atau gajih akan bertumpuk dan tersebar menurut jenis kelamin seseorang, dan
secara parsial menyebabkan perbedaan bentuk tubuh laki-laki dengan perempuan. Makan
yang berlebihan akan meningkatkan penimbunan lemak di bawah kulit. Jaringan subkutan
dan jumlah lemak yang tertimbun merupakan faktor penting dalam pengaturan suhu tubuh.
      Guna penikulus adiposus adalah sebagai shock breaker atau pegas bila tekanan
trauma mekanis yang menimpa pada kulit, isolator panas atau untuk mempertahankan suhu,
penimbunan kalori dan tambahan untuk kecantikan tubuh. Di bawah lapisan ini terdapat
selaput otot kemudian baru terdapat otot

C. PENGERTIAN LUKA
Luka adalah sebuah injuri pada jaringan yang mengganggu proses selular normal,
luka dapat juga dijabarkan dengan adanya kerusakan pada kuntinuitas atau kesatuan jaringan
tubuh yang biasanya disertai dengan kehilangan substansi jaringan(Mansjoer, 2009).
          Luka adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomis kulit normal akibat proses
patologis yang berasal dari internal dan eksternal dan mengenai organ tertentu (Potter &
Perry, 2016).
          Jadi, luka adalah kerusakan kontinyuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau
organ tubuh yang lain. Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul seperti hilangnya
seluruh atau sebagian fungsi organ, respon stress simpatis, perdarahan dan pembekuan darah,
kontaminasi bakteri, dan kematian sel..

D. KLASIFIKASI LUKA
Luka dibedakan berdasarkan :
1. Berdasarkan penyebab :
a. Ekskoriasi atau luka lecet
b. Vulnus scisum atau luka sayat
c. Vulnus laseratum atau luka robek
d. Vulnus punctum atau luka tusuk
e. Vulnus morsum atau luka karena gigitan binatang
f. Vulnus combustio atau luka bakar
2. Berdasarkan ada/tidaknya kehilangan jaringan :
a. Ekskoriasi
b. Skin avulsion
c. Skin loss
3. Berdasarkan integritas kulit :
a. Luka tertutup, adalah luka dimana jaringan yang ada pada permukaan tidak rusak.
Contohnya : Kesleo, Terkilir, Patah Tulang dan sebagainya
b. Luka terbuka, adalah luka dimana kulit atau jaringan selaput lendir rusak. Contohnya :
Luka lecet, Luka sayatan, Luka robek, Luka tusuk, Luka potong, Luka memar dan
Luka tembak
4. Berdasarkan lama waktu penyembuhannya :
a. Luka Akut
          Luka akut adalah luka trauma yang biasanya segera mendapat penanganan dan
biasanya dapat sembuh dengan baik bila tidak terjadi komplikasi. Kriteria luka akut
adalah luka baru, mendadak dan penyembuhannya sesuai dengan waktu yang
diperkirakan. Contohnya adalah luka sayat, luka bakar, luka tusuk.
b. Luka Kronik
          Luka kronik adalah luka yang berlangsung lama atau sering timbul kembali
(rekuren) atau terjadi gangguan pada proses penyembuhan yang biasanya disebabkan
oleh masalah multi faktor dari penderita. Pada luka kronik luka gagal sembuh pada
waktu yang diperkirakan, tidak berespon baik terhadap terapi dan punya tendensi untuk
timbul kembali. Contohnya adalah ulkus tungkai, ulkus vena, ulkus arteri (iskemi),
penyakit vaskular perifer ulkus dekubitus, neuropati perifer ulkus dekubitus.
5. Berdasarkan tingkat kontaminasi :
a. Luka Bersih (Clean Wounds)
          Yaitu luka bedah takterinfeksi yang mana tidak terjadi proses peradangan
(inflamasi) dan infeksi pada sistem pernafasan, pencernaan, genital dan urinari tidak
terjadi. Luka bersih biasanya menghasilkan luka yang tertutup; jika diperlukan
dimasukkan drainase tertutup. Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% – 5%.
b. Luka Bersih Terkontaminasi (Clean Contaminated Wounds) :
          Merupakan luka pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital atau
perkemihan dalam kondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu terjadi, kemungkinan
timbulnya infeksi luka adalah 3% – 11%.
c. Luka Terkontaminasi (Contaminated Wounds) :
          Termasuk luka terbuka, fresh, luka akibat kecelakaan dan operasi dengan
kerusakan besar dengan teknik aseptik atau kontaminasi dari saluran cerna; pada
kategori ini juga termasuk insisi akut, inflamasi nonpurulen. Kemungkinan infeksi luka
10% – 17%.
d. Luka Kotor atau Infeksi (Dirty or Infection Wounds) :
          Yaitu terdapatnya mikroorganisme pada luka. 

E. DERAJAT LUKA
1. Stadium I
       Luka Superficial (“Non-Blanching Erithema”): Yaitu luka yang terjadi pada lapisan
epidermis kulit.
2. Stadium II: Luka “Partial Thickness”
       Yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis.
Merupakan luka superficial dan adanya tanda klinis seperti abrasi, blister atau lubang yang
dangkal.
3. Stadium III: Luka “Full Thickness”
       Yaitu hilangnya kulit keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan
yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya.
Lukanya sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka
timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan
sekitarnya.
4. Stadium IV: Luka “Full Thickness”
       Yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan adanya destruksi atau
kerusakan yang luas.
F.PENGERTIAN PENYEMBUHAN LUKA
Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks dan dinamis karena
merupakan suatu kegiatan bioseluler dan biokimia yang terjadi saling berkesinambungan.
Penyembuhan luka adalah respon organisme terhadap kerusakan jaringan atau organ serta
usaha pengembalian kondisi homeostasis sehingga dicapai kestabilan fisiologis jaringan atau
organ yang pada kulit terjadi penyusunan kembali jaringan kulit ditandai dengan
terbentuknya epitel fungsional yang menutupi luka

G. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROSES PENYEMBUHAN LUKA


          Penyembuhan luka dapat tegantung oleh penyebab dari dalam tubuh sendiri (endogen)
atau oleh penyebab dari dalam tubuh sendri (eksogen). Penyebab endogen terpenting adalah
ganguan koagulasi yang disebut koagulopati dan ganguan sistem imun. Proses penyembuhan
luka tidak hanya terbatas pada proses regenerasi yang bersifat lokal saja pada luka, namun
dipengaruhi pula oleh faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Berikut adalah faktor yang bisa
menghambat penyembuah luka :
1. Faktor Instrinsik adalah faktor dari penderita yang dapat berpengaruh dalam proses
penyembuhan meliputi : usia, status nutrisi dan hidrasi, oksigenasi dan perfusi jaringan,
status imunologi, dan penyakit penyerta (hipertensi, DM).
2. Faktor Ekstrinsik adalah faktor yang didapat dari luar penderita yang dapat berpengaruh
dalam proses penyembuhan luka, meliputi : pengobatan, radiasi, stres psikologis, infeksi,
iskemia dan trauma jaringan

H. TAHAPAN PENYEMBUHAN LUKA


          Tubuh yang sehat mempunyai kemampuan alami untuk melindungi dan memulihkan
dirinya. Peningkatan aliran darah ke daerah yang rusak, membersihkan sel dan benda asing
dan perkembangan awal seluler bagian dari proses penyembuhan. Proses penyembuhan
terjadi secara normal tanpa bantuan, walaupun beberapa bahan perawatan dapat membantu
untuk mendukung proses penyembuhan. Sebagai contoh, melindungi area yang luka bebas
dari kotoran dengan menjaga kebersihan membantu untuk meningkatkan penyembuhan
jaringan. (Sjamsuhidajat, R & Wim de Jong, 2010).
1. Tahap Inflamasi
        Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai kira-kira hari kelima.
pembuluh darah yang terputus pada luka akan menyebabkan perdarahan dan tubuh akan
berusaha menghentikannya dengan vasokonstriksi, pengerutan ujung pembuluh yang putus
(retraksi), dan reaksi hemostasis. Hemostasis terjadi karena trombosit yang keluar dari
pembuluh darah saling melengket, dan bersama dengan jala fibrin yang terbentuk
membekukan darah yang keluar dari pembuluh darah. Sementara itu terjadi reaksi inflamasi
(Sjamsuhidajat, R & Wim de Jong, 2010).
       Sel mast dalam jaringan ikat menghasilkan serotonin dan histamine yang meningkatkan
permeabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi cairan, penyebukan sel radang, disertai
vasodilatasi setempat yang menyebabkan udem dan pembengkakan. Tanda dan gejala klinik
reaksi radang menjadi jelas berupa warna kemerahan karena kapiler melebar (rubor), suhu
hangat (kalor), rasa nyeri (dolor), dan pembengkakan (tumor) (Sjamsuhidajat, R & Wim de
Jong, 2010).
       Aktifitas seluler yang terjadi adalah pergerakan leukosit menembus dinding pembuluh
darah (diapedesis) menuju luka karena daya kemotaksis. Leukosit mengeluarkan enzim
hidrolitik yang membantu mencerna bakteri dan kotoran luka. Limfosit dan monosit yang
kemudian muncul ikut menghancurkan dan memakan kotoran luka dan bakteri (fagositosis).
Fase ini disebut juga fase lamban karena reaksi pembentukan kolagen baru sedikit dan luka
hanya dipertautkan oleh fibrin yang amat lemah (Sjamsuhidajat, R & Wim de Jong, 2010).
2. Tahap Proliferasi dan Pembentukan Jaringan
       Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasia karena yang menonjol adalah proses
proliferasi fibroblast. Fase ini berlangsung dari akhir fase inflamasi sampai kira – kira akhir
minggu ketiga. Fibroblast berasal dari sel mesenkim yang belum berdiferensiasi,
menghasilkan mukopolisakarida, asama aminoglisin, dan prolin yang merupakan bahan
dasar kolagen serat yang akan mempertautkan tepi luka (Sjamsuhidajat, R & Wim de Jong,
2010).
       Pada fase ini serat dibentuk dan dihancurkan kembali untuk penyesuaian diri dengan
tegangan pada luka yang cenderung mengerut. Sifat ini, bersama dengan sifat kontraktil
miofibroblast, menyebabkan tarikan pada tepi luka. Pada akhir fase ini kekuatan regangan
luka mencapai 25% jaringan normal. Nantinya, dalam proses penyudahan kekuatan serat
kolagen bertambah karena ikatan intramolekul dan antar molekul (Sjamsuhidajat, R & Wim
de Jong, 2010).
       Pada fase fibroplasia ini, luka dipenuhi sel radang, fibroblast, dan kolagen, membentuk
jaringan berwarna kemerahan dengan permukaan yang berbenjol halus yang disebut jaringan
granulasi. Epitel tepi luka yang terdiri dari sel basal terlepas dari dasarnya dan berpindah
mengisi permukaan luka. Tempatnya kemudian diisi oleh sel baru yang terbentuk dari proses
mitosis. Proses migrasi hanya bisa terjadi ke arah yang lebih rendah atau datar, sebab epitel
tak dapat bermigrasi ke arah yang lebih tinggi. Proses ini baru berhenti setelah epitel saling
menyentuh dan menutup seluruh permukaan luka. Dengan tertutupnya permukaan luka,
proses fibroplasia dengan pembentukan jaringan granulasi juga akan berhenti dan mulailah
proses pematangan dalam fase penyudahan (Sjamsuhidajat, R & Wim de Jong, 2010).
3. Tahap Remodeling Jaringan
       Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri dari penyerapan kembali jaringan
yang berlebih, pengerutan sesuai dengan gaya gravitasi, dan akhirnya perupaan kembali
jaringan yang baru terbentuk. Fase ini dapat berlangsung berbulan-bulan dan dinyatakan
berkahir kalau semua tanda radang sudah lenyap. Tubuh berusaha menormalkan kembali
semua yang menjadi abnormal karena proses penyembuhan. Udem dan sel radang diserap,
sel muda menjadi matang, kapiler baru menutup dan diserap kembali, kolagen yang berlebih
diserap dan sisanya mengerut sesuai dengan regangan yang ada. Selama proses ini dihasilkan
jaringan parut yang pucat, tipis, dan lemas serta mudah digerakkan dari dasar. Terlihat
pengerutan maksimal pada luka. Pada akhir fase ini, perupaan luka kulit mampu menahan
regangan kira-kira 80% kemampuan kulit normal. Hal ini tercapai kira-kira 3-6 bulan setelah
penyembuhan (Sjamsuhidajat, R & Wim de Jong, 2010).

I. Patofisiologi Luka
Mekanisme luka terjadinya luka dimulai dari tubuh yang biasanya mengabsorbsi
kekuatan baik dari elastisitas jaringan atau kekuatan rangka. Pada luka tusuk,
semua energi kinetik terkonsentrasi pada ujung pisau sehingga terjadi perlukaaan, sementara
dengan energi yang sama pada pukulan oleh karena tongkat pemukul kriket mungkin bahkan
tidak menimbulkan memar. Efek dari kekuatan mekanis yang berlebih pada jaringan
tubuh dan menyebabkan penekanan, penarikan, perputaran, luka iris. Kerusakan yang
terjadi tergantung tidak hanya pada jenis penyebab mekanisnya tetapi juga target
jaringannya. L a p i s a n epidermis umumnya berkerut, permukaan bawahnya
terdiri dari papilla yang masuk ke dalam dermis. Demis (korium) terdiri dari jaringan
ikat dengan adneksa kulit sperti folikel rambut, kelenjar sebasea dan kelenjar keringat.
Terdapat banyak pembuluh darah, saraf pembuluh limfe sertaujung saraf taktil, tekan,
panas.. bagian bawah dari dermis terdapat jaringan adiposa dan (tergantung dari
bagian tubuh) fascia, jaringan lemak, dan otot yang berurutan di bawahnya
J. Aplikasi Pelayanan Luka

Perawatan luka dengan metode TIME Management :

T : TISSUE MANAGEMENT

Tissue manajement merupakan manajemen membuang jaringan mati, sebagai


kerangka pertama dalam mempersiapkan dasar luka. Dasar luka yang dimaksud adalah
menciptakan kondisi luka yang berwarna hitam maupun kuning (necrotic/sloug) menjadi
dasar luka yang berwarna merah. Kondisi luka yang berwarna merah menggambarkan
bahwa luka memiliki vaskularisasi yang sehat yang akan mempercepat proses proliferasi
jaringan dan pembentukan epitel.
Ada beberapa metode persiapan dasar luka yaitu:

1. Autolisis debridement: merupakan proses alami untuk melepaskan jaringan mati dengan
cara tubuh akan melepaskan enzim proteolitik dan akan melunakan jaringan yang
nekrosis sehingga memudahkan pada saat pembersihan jaringan menggunakan kassa
ataupun pinset. Proses autolisis membutuhkan lingkungan yang lembab sehingga
memaksimalkan kerja enzim pada jaringan yang nekrosis.
2. CSWD (Conservative Sharp Wound Debridement): yaitu tindakan membuang jaringan
mati dengan menggunakan gunting, bisturi atau benda tajam lainnya yang direkomendasi.
Tindakan ini dilakukan dengan hati-hati karena menimbulkan nyeri dan perdarahan.
3. Enzimatic debridement: penggunaan bahan enzim baik dari bahan kimia maupun alami
yang sifatnya dapat melisiskan jaringan nekrotik. Saat ini cukup banyak riset dari
tanaman yang efektif untuk melisiskan jaringan mati seperti buah papaya, lidah buaya,
nanas, serta penggunaan madu.
4. Mechanical debridement: yaitu pengangkatan jaringan mati dengan kassa kering + pinset,
dan irigasi dengan tekanan air (hidropressure).
5. Biological Debridement/larva therapy: yaitu penggunaan maggot atau belatung yang
steril pada luka yang mengalami nekrotik (slough), penggunaan maggot pada luka
biasanya membutuhkan waktu 3 hari kemudian dilakukan penggantian balutan.
6. Surgical wound debridement (Debridement bedah): tindakan yang membutuhkan kondisi
dan lingkungan steril, dikerjakan dikamar operasi oleh dokter spesialis bedah.

I : INFECTION/ INFLAMATION CONTROL (Kontrol inflamasi dan infeksi)

Infeksi pada luka menyebabkan nyeri dan ketidaknyamanan, kegagalan dalam


proses penyembuhan luka serta ancaman terhadap amputasi dan kematian. Masalah
infeksi juga menjadi masalah serius karena dapat menambah biaya perawatan di
pelayanan kesehatan. Tanda klasik terjadinya infeksi yang harus dikenali oleh para klinisi
adalah (1) luka akut (nyeri, edema, exudate purulent, peningkatan area inflamasi), (2)
luka kronik (perubahan warna dasar luka, pertambahan area jaringan nekrotik/sloug,
jaringan sangat mudah berdarah, adanya goa/undermining, kondisi luka bau, dan
kerusakan jaringan yang semakin meluas)
Manajemen infeksi diantaranya:

1. Pencucian yang adekuat, penggunaan sabun ringan (mild soap, sabun bayi), juga
penggunaan antiseptik yang sifatnya tidak toksik untuk melepaskan biofilm pada
permukaan luka.
2. Penggunaan topical/ balutan antimikrobial yang tepat
3. Sistem antibiotik diberikan jika disertai sistemik infeksi seperti demam, mual dan muntah
serta nyeri yang meningkat. Penggunaan antibiotik disesuaikan dengan standar kebijakan
pelayanan atau sesuai hasil kultur.
4. Obat antiinflamasi jika inflamasi tidak terkontrol
5. Adjunctive therapy (terapi tambahan) seperti penggunaan terapi ozone.

M : MOISTURE BALANCE (Kelembaban yang seimbang)

Adalah menciptakan suasana lembab pada permukaan luka dengan pemilihan


balutan yang tepat berdasarkan kondisi luka (warna luka dan karakteristik luka).

Manajemen moisture balance:

1. Pengkajian cairan eksudat sangat penting terutama karakteristik/tipe eksudat, jumlah dan
viskositas ataupun bau.
2. Pemilihan balutan yang tepat berdasarkan hasil pengkajian seperti :

a. Pada kondisi luka yang mengalami nekrotik (kering menggambarkan kondisi luka
mengalami iskemia biasanya berwarna hitam, hitam kecoklatan) maka sifat balutan
yang digunakan harus bisa merehidrasi permukaan luka atau menciptakan kelembapan
pada permukaan luka sehingga proses autolisis bisa berjalan baik. Seperti penggunaan
hydrogel plus transparent film.
b. Jika kondisi luka dengan eksudat kategori sedang sampai banyak (warna kuning,
kuning kehijauan, kuning pucat) maka pemilihan balutan harus mampu menyerap
eksudat namun tetap mampu menciptakan suasana lembab pada permukaan luka seperti
foam, alginate, hydrocoloid.
  E : EPITELIAL EDGE  (Tepi luka)

Adalah tindakan untuk mempercepat proses pembentukan epitel dari tepi luka.

Faktor yang harus diperhatikan untuk terjadinya proses epitelisasi adalah:

1. Proliferasi harus baik dengan dasar luka harus sejajar dengan tepi luka
2. Adekuat oksigen dan nutrisi
3. Bebas dari infeksi
4. Hindari dressing yang merekat kuat karena bisa menimbulkan trauma/robekan  epitel saat
mengganti balutan.

Manajemen epitel diantaranya :

1. Debridemen
2. Skin graft
3. Biological Agent
4. Adjunctive therapies : infra red

Pada kondisi tertentu epitel mengalami kegagalan dalam proses penutupan luka meskipun
proses proliferasi sudah sempurna, bahkan berdasarkan pengalaman bisa sampai berbulan-
bulan untuk mencapai penutupan luka. Beberapa penyebab adalah terjadinya callus/
penebalan pada tepi luka, serta kelainan metabolisme protein.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
          Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks dan dinamis karena
merupakan suatu kegiatan bioseluler dan biokimia yang terjadi saling berkesinambungan.
Faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan luka :
a. Faktor Intrinsik : usia, status nutrisi dan hidrasi, oksigenasi dan perfusi jaringan, status
imunologi, dan penyakit penyerta (hipertensi, DM).
b. Faktor Ekstrinsik : pengobatan, radiasi, stres psikologis, infeksi, iskemia dan trauma
jaringan
Tahapan Penyembuhan Luka :
1. Tahap Inflamasi
2. Tahap Proliferasi dan Pembentukan Jaringan
3. Tahap Remodeling Jaringan

B. Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan, pembaca dapat memahami penjelasan di
dalamnya sehingga dapat diterapkan, guna pemaksimalan pemahaman mengenai proses
penyembuhan luka.
DAFTAR PUSTAKA

Drs. H. Syaifuddin, AMK. (2009). Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan Ed


3. Penerbit Buku Kedokteran; EGC: Jakarta.
Mansjoer, Arif, dkk. Eds. (2009). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI.
Potter, P.A, Perry, A.G. (2016). Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jilid 1. Jakarta: EGC.
R. Sjamsuhidajat, & Wim de Jong. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 3. EGC: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai