Anda di halaman 1dari 54

BAB I

PENDAHULUAN
Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah
yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis
tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan
nasional. Penyakit kusta pada umumnya sering dijumpai di negara-negara yang
sedang berkembang sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara dalam
pemberian pelayanan kesehatan yang baik dan memadai kepada masyarakat.
Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk
sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan,
kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkannya 1.
Kuman kusta biasanya menyerang saraf tepi kulit dan jaringan tubuh lainnya.
Penyakit ini merupakan penyakit menular yang sifatnya kronis dan dapat
menimbulkan masalah yang komplek. Penyebab penyakit kusta ialah suatu kuman
yang disebut Mycobaterium leprae. Sumber penularan penyakit ini adalah
penderita kusta multi basilet (MB) atau kusta basah1.
Di Indonesia penderita kusta terdapat hampir diseluruh daerah dengan
penyebaran yang tidak merata. Suatu

kenyataan, di Indonesia bagian Timur

terdapat angka kesakitan kusta yang lebih tinggi. Penderita kusta 90% tinggal
diantara keluarga mereka dan hanya beberapa persen saja yang tinggal dirumah
sakit kusta, koloni penampungan atau perkampungan kusta1.
Kusta dahulu dikenal dengan penyakit yang tidak dapat sembuh dan diobati,
namun sejak tahun 1980 dimana program Multi Drug Treatment (MDT) mulai
diperkenalkan, kusta dapat didiagnosis dan diterapi. Dengan dapatnya diatasi
penyakit kusta ini seharusnya tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat.
Tetapi, sampai saat ini penyakit kusta masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat yang perlu di perhatikan oleh pihak yang terkait1.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

ANATOMI, HISTOLOGI, DAN FISIOLOGI KULIT


Kulit merupakan pembatas tubuh dengan lingkungan sekitar

karena posisinya yang terletak di bagian paling luar. Luas kulit dewasa
1,5 m2 dengan berat kira-kira 15% berat badan.

Gambar : anatomi kulit


Lapisan Epidermis (kutikel)
a. Stratum Korneum ( lapisan tanduk )
Lapisan kulit paling luar yang terdiri dari sel gepeng yang mati, tidak
berinti, protoplasmanya berubah menjadi keratin (zat tanduk)
b. Stratum Lusidum
Terletak di bawah lapisan korneum, lapisan sel gepeng tanpa inti,
protoplasmanya berubah menjadi protein yang disebut eleidin. Lapisan ini
lebih jelas tampak pada telapak tangan dan kaki.
c. Stratum Granulosum (lapisan keratohialin)
Merupakan 2 atau 3 lapis sel gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar dan
terdapat inti di antaranya. Butir kasar terdiri dari keratohialin. Mukosa
biasanya tidak mempunyai lapisan ini.
d. Stratum Spinosum (stratum Malphigi) atau prickle cell layer (lapisan
akanta)

Terdiri dari sel yang berbentuk poligonal, protoplasmanya jernih karena


banyak mengandung glikogen, selnya akan semakin gepeng bila semakin
dekat ke permukaan. Di antara stratum spinosum, terdapat jembatan antar
sel (intercellular bridges) yang terdiri dari protoplasma dan tonofibril atau
keratin. Perlekatan antar jembatan ini membentuk penebalan bulat kecil
yang disebut nodulus Bizzozero. Di antara sel spinosum juga terdapat pula
sel Langerhans.
e. Stratum Basalis
Terdiri dari sel kubus (kolumnar) yang tersusun vertikal pada perbatasan
dermo-epidermal berbaris seperti pagar (palisade). Sel basal bermitosis
dan berfungsi reproduktif.
- Sel kolumnar protoplasma basofilik inti lonjong besar, di
-

hubungkan oleh jembatan antar sel.


Sel pembentuk melanin (melanosit) atau clear cell sel berwarna
muda, sitoplasma basofilik dan inti gelap, mengandung pigmen
(melanosomes)

Gambar : lapisan epidermis


Lapisan Dermis (korium, kutis vera, true skin) terdiri dari lapisan elastik dan
fibrosa pada dengan elemen-elemen selular dan folikel rambut.
a. Pars Papilare : bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung serabut
saraf dan pembuluh darah.
b. Pars Retikulare : bagian bawah yang menonjol ke subkutan. Terdiri dari
serabut penunjang seperti kolagen, elastin, dan retikulin. Dasar (matriks)
3

lapisan ini terdiri dari cairan kental asam hialuronat dan kondroitin sulfat,
dibagian ini terdapat pula fibroblas. Serabut kolagen dibentuk oleh
fibroblas, selanjutnya membentuk ikatan (bundel) yang mengandung
hidroksiprolin dan hidroksisilin. Kolagen muda bersifat elastin, seiring
bertambahnya usia, menjadi kurang larut dan makin stabil. Retikulin mirip
kolagen muda. Serabut elastin biasanya bergelombang, berbentuk amorf,
dan mudah mengembang serta lebih elastis.
Lapisan Subkutis (hipodermis) adalah lapisan paling dalam, terdiri dari jaringan
ikat longgar berisi sel lemak yang bulat, besar, dengan inti mendesak ke pinggir
sitoplasma lemak yang bertambah. Sel ini berkelompok dan dipisahkan oleh
trabekula yang fibrosa. Lapisan sel lemak disebut dengan panikulus adiposa,
berfungsi sebagai cadangan makanan. Di lapisan ini terdapat saraf tepi, pembuluh
darah, dan getah bening. Lapisan lemak berfungsi juga sebagai bantalan,
ketebalannya berbeda pada beberapa kulit. Di kelopak mata dan penis lebih tipis,
di perut lebih tebal (sampai 3 cm).
FISIOLOGI KULIT
1. Fungsi Proteksi
Kulit punya bantalan lemak, ketebalan, serabut jaringan penunjang yang
dapat melindungi tubuh dari gangguan :
fisis/ mekanis : tekanan, gesekan, tarikan.
kimiawi : iritan seperti lisol, karbil, asam, alkali kuat
panas : radiasi, sengatan sinar UV
infeksi luar : bakteri, jamur
Beberapa macam perlindungan :
Melanosit : lindungi kulit dari pajanan sinar matahari dengan

mengadakan tanning (penggelapan kulit)


Stratum korneum impermeable terhadap berbagai zat kimia dan air.
Keasaman kulit kerna ekskresi keringat dan sebum perlindungan

kimiawo terhadap infeksi bakteri maupun jamur


Proses keratinisasi : sebagai sawar (barrier) mekanis karena sel mati
melepaskan diri secara teratur.

2. Fungsi Absorpsi
4

Permeabilitas kulit terhadap O2, CO2, dan uap air memungkinkan kulit
ikut mengambil fungsi respirasi. Kemampuan absorbsinya bergantung pada
ketebalan kulit, hidrasi, kelembaban, metabolisme, dan jenis vehikulum.
PEnyerapan dapat melalui celah antar sel, menembus sel epidermis, melalui
muara saluran kelenjar.
3. Fungsi Ekskresi
Mengeluarkan zat yang tidak berguna bagi tubuh seperti NaCl, urea, asam
urat, dan amonia. Pada fetus, kelenjar lemak dengan bantuan hormon androgen
dari ibunya memproduksi sebum untuk melindungi kulitnya dari cairan
amnion, pada waktu lahir ditemui sebagai Vernix Caseosa.
4. Fungsi Persepsi
Kulit mengandung ujung saraf sensori di dermis dan subkutis. Saraf
sensori lebih banyak jumlahnya pada daerah yang erotik.
Badan Ruffini di dermis dan subkutis : peka rangsangan panas
Badan Krause di dermis : peka rangsangan dingin
Badan Taktik Meissner di papila dermis : peka rangsangan rabaan
Badan Merkel Ranvier di epidermis : peka rangsangan rabaan
Badan Paccini di epidemis : peka rangsangan tekanan
5. Fungsi Pengaturan Suhu Tubuh (termoregulasi)
Dengan cara mengeluarkan keringat dan mengerutkan (otot berkontraksi)
pembuluh darah kulit. Kulit kaya pembuluh darah sehingga mendapat nutrisi
yang baik. Tonus vaskuler dipengaruhi oleh saraf simpatis (asetilkolin). Pada
bayi, dinding pembuluh darah belum sempurna sehingga terjadi ekstravasasi
cairan dan membuat kulit bayi terlihat lebih edematosa (banyak mengandung
air dan Na)
6. Fungsi Pembentukan Pigmen
Terdapat melanosit (sel pembentuk pigmen) yang terdiri dari butiran
pigmen (melanosomes)
7. Fungsi Keratinisasi
Keratinosit dimulai dari sel basal yang mengadakan pembelahan, sel basal
yang lain akan berpindah ke atas dan berubah bentuknya menjadi sel spinosum,
makin ke atas sel makin menjadi gepeng dan bergranula menjadi sel
granulosum. Makin lama inti makin menghilang dan keratinosit menjadi sel
tanduk yang amorf. Proses ini berlangsung 14-21 hari dan memberi
perlindungan kulit terhadap infeksi secara mekanis fisiologik.
5

8. Fungsi Pembentukan Vitamin D


Kulit mengubah 7 dihidroksi kolesterol dengan pertolongan sinar
matahari. Tapi kebutuhan vit D tubuh tidak hanya cukup dari hal tersebut.
Pemberian vit D sistemik masih tetap diperlukan.
Mikrobiologi
Mycobacterium leprae adalah bakteri yang menyebabkan penyakit
kusta. Kusta ditandai dengan lesi pada kulit dan kerusakan saraf, dengan
kecenderungan memburuk bila tanpa pengobatan. Beberapa gejala kusta termasuk
lesi pada kulit, mati rasa di kaki, dan kelemahan otot. Mikroorganisme yang
bertanggung jawab untuk penyakit ini, Mycobacterium leprae, adalah, bakteri
gram positif tahan asam yang berbentuk batang dengan lapisan lilin tebal. Oleh
karena itu lapisan ini tidak dapat diwarnai dengan metode gram biasa dan dapat
diwarnai dengan carbolfuschin. M. leprae memiliki panjang 1-8 mikron dan
diameter 0,2-0,5 mikron. M. leprae memiliki waktu multiplikasi sekitar 14 hari,
untuk itu pembiakan secara in vitro membutuhkan waktu yang lama. Diagnosis
dini sangat penting untuk mencegah komplikasi lebih lanjut. Diagnosis M.
leprae dapat didiagnosis dengan biopsy dan skin scrapping.

Gambar : Mycobacterium leprae

2.2

DEFINISI
Kusta atau morbus Hansen adalah penyakit granulomatosa kronis yang

disebabkan oleh Mycobacterium leprae, yang melibatkan kulit, sistem saraf


perifer, saluran pernapasan bagian atas, mata, dan testis. Secara prinsip dapat
diperoleh selama masa kanak-kanak / dewasa muda2.
2.3

EPIDEMIOLOGI
Sampai saat ini epidemiologi penyakit kusta belum sepenuhnya diketahui

secara pasti. Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia terutama di daerah tropis dan
subtropis. Dapat menyerang semua umur, frekuensi tertinggi pada kelompok umur
antara 15-35 tahun dan lebih sering mengenai laki-laki daripada wanita.

Gambar 2.1 Prevalensi Lepra di Dunia.

Berdasarkan data resmi dari Departemen Kesehatan di negara-negara endemik,


deteksi tahunan global kusta telah menunjukkan penurunan sejak tahun 2001.
Deteksi kasus baru pada tahun 2004 adalah 407.791 namun, telah jatuh ke
228.474 pada tahun 2010, dan 219.075 pada tahun 2011. Terjadi lebih dari 46%
penurunan kasus baru.
7

Tabel 2.1 Daftar Kasus Baru di Negara-negara Endemik.

Indonesia Eliminasi Kusta mengklaim telah berhasil mengurangi tingkat


kejadian kurang dari 1 per 10 000 orang pada pertengahan tahun 2000-an. Namun,
laporan terbaru menunjukkan bahwa kusta masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia. Prevalensi global kusta adalah 0,2 dari 10.000 orang,
sedangkan prevalensi kusta di Indonesia hampir lima kali lebih tinggi, yang
mempengaruhi 0,91 dari 10 000 orang pada tahun 2008, menurut Departemen
Kesehatan Indonesia. Hingga saat ini Indonesia menempatkan negara sebagai
insiden tertinggi ketiga kusta di dunia. Hal ini berhubungan dengan kemiskinan,
tinggal di pedesaan, dan penyakit HIV. Kebanyakan individu memiliki kekebalan
alami dan tidak terlindung dari penyakit tersebut.
2.4

ETIOLOGI

Kuman penyebab penyakit kusta adalah M. leprae yang ditemukan oleh GH


Armauer Hansen, seorang sarjana dari Norwegia pada tahun 1873. Kuman ini
bersifat tahan asam, berbentuk batang dengan ukuran 1-8 mikron dan lebar 0,2 0,5 mikron, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam
sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media
buatan. Kuman ini juga dapat menyebabkan infeksi sistemik pada binatang
armadillo.

Gambar 2.2 Mycobacterium Leprae pada Pewarnaan Ziehl-Neelsen

Secara skematik struktur M. leprae terdiri dari :


A. Kapsul
Di sekeliling organisme terdapat suatu zona transparan elektron dari bahan
berbusa atau vesikular, yang diproduksi dan secara struktur khas bentuk M.
leprae. Zona transparan ini terdiri dari dua lipid, phthioceroldimycoserosate, yang
dianggap memegang peranan protektif pasif, dan suatu phenolic glycolipid, yang
terdiri dari tiga molekul gula hasil metilasi yang dihubungkan melalui molekul
fenol pada lemak (phthiocerol). Trisakarida memberikan sifat kimia yang unik dan
sifat antigenik yang spesifik terhadap M. leprae.
B. Dinding sel
Dinding sel terdiri dari dua lapis, yaitu:
a. Lapisan luar bersifat transparan elektron dan mengandung lipopolisakarida
yang terdiri dari rantai cabang arabinogalactan yang diesterifikasi dengan rantai
panjang asam mikolat , mirip dengan yang ditemukan pada Mycobacteria lainnya.
9

b. Dinding dalam terdiri dari peptidoglycan: karbohidrat yang dihubungkan


melalui peptida-peptida yang memiliki rangkaian asam-amino yang mungkin
spesifik untuk M. leprae walaupun peptida ini terlalu sedikit untuk digunakan
sebagai antigen diagnostik.
C. Membran
Tepat di bawah dinding sel, dan melekat padanya, adalah suatu membran yang
khusus untuk transport molekul-molekul kedalam dan keluar organisme.
Membran terdiri dari lipid dan protein. Protein sebagian besar berupa enzim dan
secara teori merupakan target yang baik untuk kemoterapi. Protein ini juga dapat
membentuk antigen protein permukaan yang diekstraksi dari dinding sel M.
leprae yang sudah terganggu dan dianalisa secara luas.
D. Sitoplasma
Bagian dalam sel mengandung granul-granul penyimpanan, material genetik
asam deoksiribonukleat (DNA), dan ribosom yang merupakan protein yang
penting dalam translasi dan multiplikasi. Analisis DNA berguna dalam
mengkonfirmasi identitas sebagai M. leprae dari mycobacteria yang diisolasi dari
armadillo liar, dan menunjukkan bahwa M. leprae, walaupun berbeda secara
genetik, terkait erat dengan M. tuberculosis dan M. scrofulaceum.
Pertumbuhan optimal kuman ini yaitu, 30C lebih rendah dari suhu tubuh
menyebabkan kuman tersebut sering tumbuh pada kulit dan saraf perifer. Kuman
ini memunyai afinitas terhadap makrofag dan sel Schwann, replikasi yang lambat
di sel Schwann menstimulasi cell-mediated immune respon, yang menyebabkan
reaksi inflamasi kronik. Pertumbuhannya sangat lambat dengan waktu membelah
diri (doubling time) selama 14 hari sehingga membutuhkan jangka waktu lama
dalam pemberian terapi antibiotik, biasanya dalam beberapa tahun.

10

Perbedaan Klasifikasi
Madrid
1953
Ridley
Jopling
1966

Ti

Tuberculoid
(TT)

WHO

BT

BB

BL

Borderline

Mid-

Borderline

Tuberculoid

Borderline

Lepromatous

(BT)

(BB)

(BL)

PB

1982

Li

Lepromatous
(LL)

MB

Gambar 2.3 Struktur Molekular Mycobacterium Leprae.

Cara penularan belum diketahui secara pasti, transmisi mungkin termasuk


infeksi droplet hidung, kontak dengan tanah yang terinfeksi, vektor serangga.
Sekret bersin dari pasien LL yang tidak diobati mengandung 1010 organisme.
20% pasien asimptomatik yang tinggal di daerah, kemungkinan memiliki
Mycobacterium leprae pada hidungnya, telah diidentifikasi dengan PCR. Portal
masuknya M. leprae kurang dipahami tetapi hal ini berkaitan dengan inokulasi
melalui kulit (gigitan, goresan, luka kecil, tato) atau inhalasi ke dalam saluran
hidung atau paru-paru.
Penyebaran infeksi didapat apabila terdapat kontak dalam jangka waktu yang
lama dengan pasien Lepra Lepromatous, yang terdapat Micobacterium leprae di
sekret hidung dan lesi kulit. Masa inkubasi lepra tipe tuberkuloid adalah 5 tahun
sedangkan, tipe lepromatosa 20 tahun atau lebih.

2.5

KLASIFIKASI1,5,11,12

Tabel 2.2 Perbedaan Beberapa Klasifikasi

11

TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang stabil. Jadi
tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni
lepromatosa 100%. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau
campuran, berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe
campuran 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak
tuberkuloidnya, sedangkan BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe
campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT
maupun ke arah LL.

2.6

PATOGENESIS
Meskipun cara masuk Mycobacterium leprae ke dalam tubuh masih belum

diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang


tersering adalah melalui kulit atau rute penghidu. Respon kekebalan tubuh
manusia yang berkerja terhadap untuk M.leprae terdapat dua tingkat. Tingkat
pertama, secara keseluruhan kerentanan / ketahanan terhadap infeksi dimediasi
oleh imunitas non spesifik yang diperankan oleh monosit. Jika imunitas non
spesifik tidak mampu melawan infeksi, maka akan diekpresikan pada tingkat
kedua yaitu, tingkat imunitas seluler spesifik dan munculnya delayed
hipersensitivity yang dihasilkan oleh individu terinfeksi. Imunitas seluler spesifik
dimediasi terutama oleh sel limfosit T bekerja sama dengan APC (Antigen
Presenting Cells).

Gambar 2.4 Prinsip Mekanisme Imunitas Spesifik dan Non Spesifik

12

Gambar 2.5 Imunitas Selular dan Humoral pada Imunitas Spesifik

Bakteri yang ditangkap akan melalui beberapa proses yang bertujuan untuk
mengeliminasi bakteri, sehingga pada 95% individu yang terinfeksi oleh
Mycobacterium leprae tidak menimbulkan gejala klinis atau minimal hanya
subklinis saja. Setelah berbagai imunitas nonspesifik tersebut gagal, maka barulah
akan

bekerja

mekanisme

imunitas

spesifik,

melalui

aktivasi

sel-sel

imunokompeten oleh stimulasi antigen Mycobacterium leprae. Respon imun inate


yang efektif dengan virulensi basil kusta yang rendah mungkin mendasari
resistensi terhadap perkembangan penyakit.
Sel dendritik yang terinfeksi M.Leprae akan mempresentasikan PGL-1 pada
permukaan sel. Reaksi ini menurunkan fungsi dari sel dendritik tersebut untuk
mengekspresikan terhadap antibody spesifik (Limfosit T yang berfungsi dalam
proliferasi dan memproduksi IFN-gamma).
Ketika M. leprae menginvasi, sistem imun seluler tubuh akan meresponnya
sesuai derajat imunitas. Dikenal dua kutub dalam patogenesis lepra, yaitu kutub

13

tuberkuloid (TT) dan kutub lepromatosa (LL). Setiap kutub akan dikarakterisasi
oleh imunitas yang bersifat cell-mediated atau sistem imun humoral. Pada
individu yang sistem imun selulernya baik, respon imun dimediasi oleh sel Thelper 1. Sel ini akan mengeluarkan sitokin pro-inflamasi seperti IFN-, TNF, IL2, IL-6, IL-12 serta molekul kemotaktil yang berfungsi memanggil sel makrofag.
Sesampainya di kulit, makrofag berubah nama menjadi histiosit. Histiosit akan
memfagosit M. leprae sehingga kuman dapat dieliminasi. Pada kusta tipe TT
kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, sehingga makrofag sanggup
menghancurkan kuman. Sayangnya, setelah semua kuman difagositosis, makrofag
akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang
bersatu membentuk sel datia Langhans. Bila infeksi ini tidak segera diatasi akan
terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf
dan jaringan sekitarnya.
Sedangkan jika sistem imun selular tidak bekerja secara efektif, makrofag
gagal memfagosit M. leprae. Tipe ini dimediasi oleh sel T-helper 2 dengan cara
mengeluarkan IL-4 dan IL-10. M. leprae menduduki makrofag dan berkembang
biak di dalamnya. Sel ini disebut sebagai sel virchow atau sel busa atau sel lepra
yang dapat ditemukan di subepidermal clear zone. Akumulasi makrofag beserta
derivat-derivatnya membentuk granuloma yang penuh kuman. Granuloma dapat
ditemukan tertama pada area tubuh yang suhunya lebih dingin, seperti : cuping
telinga, hidung, penonjolan tulang pipi, alis mata, kaki, dll). Pada kusta tipe LL
terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan demikian makrofag tidak
mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat bermultiplikasi dengan
bebas yang kemudian dapat merusak jaringan.

14

Gambar 2.6 Patogenesis Kerusakan Saraf

Gambar 2.7 Interaksi 2LG dari G domain sel Schwann dengan PGL-1 dan MLLBP21 dinding sel M. leprae.

15

Gambar 2.8 Interaksi Sel Schwann dengan M. Leprae

GAMBARAN KLINIK4,7,9,11,12,16

2.7

2.7.1

Dasar diagnosis

Menurut WHO penyakit kusta dapat didiagnosa berdasarkan gejala klinik yang
timbul. Pada negara atau daerah yang endemik, seseorang dapat dinyatakan
terkena lepra apabila terdapat salah satu dari tiga gejala kardinal antara lain
(WHO, 2000) :
1. Bercak kulit yang mati rasa
Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi
(plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rangsang
panas, sentuhan maupun nyeri. Lesi tidak gatal ataupun nyeri yang dapat muncul
dimanapun pada anggota tubuh.
2. Penebalan saraf tepi
Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau tanpa gangguan fungsi
saraf yang terkena, yaitu:
a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa

16

b. Ganguan fungsi motoris: tidak mampu mencubit, menggenggam, tidak


mampu dorsi-fleksi pergelangan tangan dan tidak mampu menutup mata
sepenuhnya.
c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut
yang terganggu.
3. Ditemukan kuman tahan asam
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada
bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi kulit atau saraf.
Bila belum dapat ditemukan salah satu dari tiga gejala diatas, maka perlu
dilakukan pengamatan dan pemeriksaan ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis
dapat ditentukan.
Tabel 2.3 Klasifikasi WHO berdasarkan manifestasi klinis dan hasil pemeriksaan
bakteriologi.

17

Tabel 2.4 Perbedaan PB dan MB secara Klinis

18

Tabel 2.5 Klasifikasi Ridley dan Jopling

19

Gambar 2.9 Gambaran Klinik TT, LL, dan IL.


Tabel 2.6 Perbedaan Gambaran Klinik LL, BL, dan BB.

Sifat

Lepromatosa (LL)

Borderline

Mid Borderline
20

Lesi
Bentuk

Jumlah

Distribusi
Permukaan

Batas
Anestesia
BTA

Lesi kulit

Sekret
hidung
Tes Lepromin

Lepromatosa
(BL)

(BB)

Makula
Infiltrat difus
Papul
Nodus
Tidak terhitung,
praktis tidak ada
kulit sehat
Simetris
Halus berkilat

Makula
Plakat
Papul

Tidak jelas
Biasanya tidak jelas

Agak jelas
Tak jelas

Plakat
Dome-shape (kuba
h)
Punched-out
Dapat dihitung,
kulit sehat jelas
ada
Asimetris
Agak kasar, agak
berkilat
Agak jelas
Lebih jelas

Banyak (ada globus)


Banyak (ada globus)

Banyak
Biasanya negatif

Agak banyak
Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

Sukar dihitung,
masih ada kulit
sehat
Hampir simetris
Halus berkilat

Gambar 2.10 Lesi Kulit pada Lepromatous Leprosy.

21

Gambar 2.11 Lesi Kulit pada BB Leprosy.

Gambar 2.12 Borderline Leprosy: Wajah Sedikit Berminyak dan Kehilangan Alis
Mata.

Karakteristik

Tuberkuloid (TT)

Borderline
Tuberculoid (BT)

Indeterminate
(I)

Lesi
22

Tipe

Makula ; makula
dibatasi infiltrat

Jumlah

Distribusi

Permukaan

Satu atau dapat


beberapa
Terlokalisasi &
asimetris
Kering, skuama

Batas

Jelas

Jelas

Anestesia

Jelas

Jelas

Hampir selalu
negatif
Positif kuat (3+)

Negatif atau hanya 1+

Biasanya negatif

Positif lemah

Dapat positif
lemah atau
negatif

BTA
lesi kulit
Tes lepromin

Makula dibatasi
infiltrat saja; infiltrat
saja
Beberapa atau satu
dengan lesi satelit
Asimetris

Hanya Infiltrat

Kering, skuama

Dapat halus agak


berkilat
Dapat jelas atau
dapat tidak jelas
Tak ada sampai
tidak jelas

Satu atau
beberapa
Bervariasi

Tabel 2.7 Perbedaan Gambaran Klinik TT, BT, dan IL.

Gambar 2.13 Lesi Tuberculoid leprosy, soliter, anesthetic, annular

Gambar 2.14 Borderline Tuberculoid Leprosy,


gambaran anular inkomplit dengan papul satelit
Gambar 2.15 Lesi Kulit pada Tuberculoid Leprosy

2.7.2 Deformitas pada Kusta


Deformitas dapat dibagi dalam deformitas primer dan sekunder. Deformitas
primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi
23

terhadap M. Leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu


kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah.
Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat perubahan saraf, umumnya
deformitas terjadi diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf.
Gejala-gejala kerusakan saraf:
N. ulnaris
o Anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis
o Clawing kelingking dan jari manis
o Atrofi hipotenar dan otot introseus serta kedua otot lumbrikalis medial
N. medianus
o Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk dan jari tengah
o Tidak mampu aduksi ibu jari
o Clawing ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah
o Ibu jari kontraktur
o Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
N. radialis
o Anestesia ujung jari manus, serta ujung proksimal jari telunjuk
o Tangan gantung (wrist drop)
o Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan
N. poplitea lateralis
o Anesthesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis
o Kaki gantung (foot drop)
o Kelemahan otot peroneus
N. tibialis posterior
o Anestesi telapak kaki
o Claw toes
o Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis
N. facialis
o Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus
o Cabang bukal, mandibular dan servical menyebabkan kehilangan ekspresi
wajah dan kegagalan mengatupkan bibir
N. trigeminus
o Anestesi kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata
o Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral

24

Gambar 2.16 Salah Satu Gejala Kerusakan Saraf (Crawling Hand).

Kerusakan mata pada kusta juga dapat terjadi secara primer dan sekunder.
Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat
mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N. Fasialis
yang dapat membuat paralisis N.Orbicularis palpebrarum sebagian atau
seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya menyebabkan kerusakan
bagian-bagian mata lainnya. Secara sendiri-sendiri atau bergabung akhirnya dapat
menyebabkan kebutaan.
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat,
kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia.
Pada tipe lepromatosa dapat timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan
hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus semineferus testis.
2.7.3

Kusta histoid
Kusta histoid merupakan variasi lesi pada tipe lepromatous yang ditandai

dengan adanya nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk plak.
Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya timbul sebagai kasus relapse sensitive
atau relapse resistent.
Relapse sensitive terjadi bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan
pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Dapat terjadi karena kuman
25

yang dorman aktif kembali atau pengobatan yang diselesaikan tidak adekuat, baik
dosis maupun pemberiannya,disebut juga resisten sekunder.
Relaps resistents terjadi, bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan
pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan, tetapi tidak dapat diobati
dengan obat yang sama karena kuman telah resisten terhadap obat MDT, disebut
juga resisten primer.
2.7.4 Pemeriksaan Saraf Tepi
a. N. Auricularis Magnus
Pasien menoleh ke kanan/kiri semaksimal mungkin, maka saraf yang terlibat
akan terdorong oleh otot-otot di bawahnya sehingga dapat terlihat pembesaran
saraf. Dua jari pemeriksa diletakkan di atas persilangan jalannya saraf dengan
arah otot. Bila ada penebalan, maka akan teraba jaringan seperti kabel atau kawat.
Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau
tidaknya.

Gambar 2.17

Pembesaran

Saraf

b. N. Ulnaris
Tangan
sedikit

fleksi

yang

diperiksa rileks,

dan

diletakkan di atas

satu tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa meraba sulcus nervi ulnaris dan
merasakan adanya penebalan atau tidak Bandingkan kanan dan kiri dalam hal
besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya.

26

Gambar 2.18 Pemeriksaan Saraf Ulnaris

c. N. Peroneus Lateralis
Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di sebelah
lateral dari capitulum fibulae, dan merasakan ada penebalana atau tidak.
Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri
atau tidaknya.

Gambar 2.19 Pemeriksaan Saraf Peroneus Lateralis

d. N. Tibialis Posterior
Meraba maleolus medialis kaki kanan dan kiri dengan kedua tangan,
meraba bagian posterior dan mengurutkan ke bawah ke arah tumit.
Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri
atau tidaknya.
2.7.5 Pemeriksaan Fungsi Saraf
a. Tes sensorik
Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.
- Rasa raba
Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya, disinggungkan ke kulit pasien.
Kapas disinggungkan ke kulit yang lesi dan yang sehat, kemudian pasien

27

disuruh menunjuk kulit yang disinggung dengan mata terbuka. Jika hal ini
telah dimengerti, tes kembali dilakukan dengan mata pasien tertutup.
- Rasa tajam
Menggunakan jarum yang disentuhkan ke kulit pasien. Setelah disentuhkan
bagian tajamnya, lalu disentuhkan bagian tumpulnya, kemudia pasien diminta
menentukan tajam atau tumpul. Tes dilakukan seperti pemeriksaan rasa raba.
- Suhu
Menggunakan dua buah tabung reaksi yang berisi air panas dan air dingin.
Tabung reaksi disentuhkan ke kulit yang lesi dan sehat secara acak, dan pasien
diminta menentukan panas atau dingin.
b. Tes Otonom
Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada penyakit
kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis, yaitu :
1. Tes keringat dengan tinta ( tes Gunawan)
2. Tes Pilokarpin
3. Tes Motoris (voluntary muscle test) pada n. ulnaris, n.medianus, n.radialis,
dan n. peroneus.
2.8

PEMERIKSAAN PENUNJANG4,9,18,19,
1. Pemeriksaaan Bakterioskopik
Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan obat.

Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang
diwarnai dengan pewarnaan ZIEHL NEELSON. Bakterioskopik negative pada
seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung basil
M.Leprae. Pertama tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling
padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil.
Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 6
tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling
aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping
telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada
cuping telinga biasanya didapati banyak M. leprae.
Cara pengambilan bahan dengan menggunakan skalpel steril. Setelah lesi
tersebut di desinfeksi kemudian dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk agar
menjadi iskemik, sehingga kerokan jaringan mengandung sedikit mungkin darah
28

yang akan mengganggu sediaan. Kerokan dioleskan di kaca objek, difiksasi di atas
api kemudian diwarnai dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen :
1. Buatlah sediaan diatas kaca objek, keringkan pada suhu kamar
2. Tuangkan karbol fuchsin, panaskan di atas api kecil 3-4 menit hingga keluar
uap (semua bakteri akan berwarna merah).
3. Bilas dengan air mengalir.
4. Celupkan dalam larutan H2SO4 1% atau HCL pekat selama 2 detik (bakteri
tahan asam tetap berwarna merah).
5. Celupkan dalam alkohol 60% hingga tak ada lagi warna merah yang mengalir
pada sediaan.
6. Bilas dengan air
7. Tuangkan biru metilen,diamkan 1-2 menit (bakteri tahan asam tidak mengikat
warna biru).
8. Cuci dengan air keringkan, lalu amati dengan mikroskop.
Hasil positif jika didapatkan basil tahan asam tampak merah pada sediaan dan
dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), butiran
(granular). Secara teori penting dibedakan solid dan nonsolid, untuk membedakan
antara yang hidup dan yang mati, sebab bentuk hidup itulah yang berbahaya.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley.
0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
1 + Bila 1 10 BTA dalam 100 LP
2+ Bila 1 10 BTA dalam 10 LP
3+ Bila 1 10 BTA rata rata dalam 1 LP
4+ Bila 11 100 BTA rata rata dalam 1 LP
5+ Bila 101 1000BTA rata rata dalam 1 LP
6+ Bila> 1000 BTA rata rata dalam 1 LP

29

Gambar 2.20 Indeks Bakteri

Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah


solid dan non solid.
IM= Jumlah solidx 100 %/ Jumlah solid + Non solid
Syarat perhitungan :
Jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA
IB 1+ tidak perlu dibuat IM-nya, karena untuk mendapat 100 BTA harus
mencari dalam 1.000-10.000 lapangan
Mulai dari IB 3+ harus dihitung IM-nya, sebab dengan IB 3+ maksimum harus
dicari dalam 100 lapangan.
2. Tes Lepromin
Tes Lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi
tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita
terhadap M. leprae. 0,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme,
disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari (reaksi
Fernandez) atau 3 4 minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila
terdapat indurasi dan eritema yang menunjukkan kalau penderita bereaksi
terhadap M. Leprae, yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test (PPD)
pada tuberkolosis.

30

o Tes Mitsuda (reaksi lambat) : menggunakan basil kusta yang mati, hasilnya
diperiksa setelah 3-4 minggu.
Interpretasi:
o - tidak ada reaksi/ kelainan
o +/- papel + eritema < 3 mm
o +1 papel + eritema 3 5 mm
o +2 papel + eritema > 5 mm
o +3 ulserasi
o Tes Fernandez (reaksi awal) : menggunakan fraksi proteim M. leprae, hasil
diperiksa setelah 48 jam.
Interpretasi:
o - tidak ada kelainan
o +/- indurasi + eritema < 5 mm
o + 1 indurasi + eritema 5 10 mm
o + 2 indurasi + eritema 10 15 mm
o + 3 indurasi + eritema 15 20 mm
3. Pemeriksaan Histopatologi
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang
mempunyai nama khusus, dan yang dari kulit disebut histiosit. Apabila SIS
(Sistem Imun Selular) tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M.Leprae.
Datangnya histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses imunologik
dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi
yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang
tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat berubah menjadi sel datia
Langhans.
Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut
tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada
penderita dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan
M.Leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak
dan disebut sebagai sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat
pengangkut penyebarluasan.
Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf
yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe
31

lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu


suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa
dijumpai sel virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat
campuran unsur unsur tersebut.

Gambar 2.21 Contoh Gambaran Histopatologi.

4. Pemeriksaan Serologik
Kegunaan pemeriksaan serologik adalah untuk membantu diagnosis kusta yang
meragukan, apabila tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas.
A. Uji FLA-ABS (Fluorescent leprosy Antibodi-Absorption test)
32

Uji ini menggunakan antigen bakteri M. leprae secara utuh yang telah dilabel
dengan zat fluoresensi. Hasil uji ini memberikan sensitivitas yang tinggi namun
spesivisitasnya agak kurang karena adanya reaksi silang dengan antigen dari
mikrobakteri lain.
B. Radio Immunoassay (RIA)
Uji ini menggunakan antigen dari M. leprae yang dibiakkan dalam tubuh
Armadillo yang diberi label radio aktif.
C. Uji MLPA (Mycobacterium leprae particle agglutination)
Uji ini berdasarkan reaksi aglutinasi antara antigen sintetik PGL-1 dengan
antibodi dalam serum. Uji MLPA merupakan uji yang praktis untuk dilakukan di
lapangan, terutama untuk keperluan skrining kasus seropositif.
D. Antibodi monoklonal (Mab) epitop MLO4 dari protein 35-kDa M.leprae
menggunakan M. leprae sonicate (MLS) yang spesifik dan sensitif untuk
serodiagnosis kusta. Protein 35-kDa M. leprae adalah suatu target spesifik dan
yang utama dari respon imun seluler terhadap M. leprae, merangsang proliferasi
sel T dan sekresi interferon gamma pada pasien kusta dan kontak.
E. Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Assay)
Uji ELISA pertama kali digunakan dalam bidang imunologi untuk
menganalisis interaksi antara antigen dan antibodi di dalam suatu sampel, dimana
interaksi tersebut ditandai dengan menggunakan suatu enzim yang berfungsi
sebagai penanda.35
Dalam perkembangan selanjutnya, selain digunakan sebagai uji kualitatif untuk
mengetahui keberadaan suatu antibodi atau antigen dengan menggunakan antibodi
atau antigen spesifik, teknik ELISA juga dapat diaplikasikan dalam uji kuantitatif
untuk mengukur kadar antibodi atau antigen yang diuji dengan menggunakan alat
bantu berupa spektrofotometer.

33

Prinsip uji ELISA adalah mengukur banyaknya ikatan antigen antibodi yang
terbentuk dengan diberi label (biasanya berupa enzim) pada ikatan tersebut,
selanjutnya terjadi perubahan warna yang dapat diukur dengan spektrofotometer
dengan panjang gelombang tertentu. Pemeriksaan ini umumnya menggunakan
plat mikro untuk tempat terjadinya reaksi.
Terdapat tiga metode ELISA, antara lain:
A. Direct ELISA
Pada direct ELISA, antigen melekat pada fase solid dan bereaksi dengan
antibodi sekunder yang dilabel enzim, kemudian ditambahkan substrat sehingga
terjadi perubahan warna yang dapat diukur dengan spektrofotometer.
B. Indirect ELISA
Pada indirect ELISA, antigen melekat pada fase solid dan bereaksi dengan
antibodi primer, kemudian dilakukan penambahan antibodi sekunder yang dilabel
enzim dan terjadi reaksi antara antibodi primer dengan antibodi sekunder yang
dilabel enzim, kemudian ditambahkan substrat sehingga terjadi perubahan warna
yang dapat diukur dengan spektrofotometer.
C. Sandwich ELISA.
Pada sandwich ELISA, prinsip kerjanya hampir sama dengan direct ELISA,
hanya saja pada sandwich ELISA, larutan antigen yang diinginkan tidak perlu
dipurifikasi. Dalam bidang penyakit kusta, uji ELISA dapat dipakai untuk
mengukur kadar antibodi terhadap basil kusta, misalnya antibodi anti PGL-1,
antibodi anti protein 35kD, dan lain-lain. Kelas antibodi yang diperiksa juga
ditentukan, misalnya IgM anti PGL-1, IgG anti PGL-1 dan sebagainya. Untuk
antibodi anti PGL-1 biasanya IgM lebih dominan dibandingkan IgG. Pemeriksaan
ELISA dikembangkan menggunakan reagen poliklonal atau monoklonal yang
telah terbukti sangat spesifisik terhadap residu gula dari PGL-1 dan
memungkinkan deteksi titer anti PGL-1 pada pasien kusta atau kontak serumah.
Untuk menentukan nilai ambang (cut off) dari hasil uji ELISA ini, biasanya

34

ditentukan setelah mengetahui nilai setara individu yang sakit kusta dan yang
tidak sakit kusta.

2.9

REAKSI KUSTA
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit

yang sebenarnya sangat kronik. Penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi
kekebalan (cellular response) atau reaksi antigen antibody (humoral response).
Reaksi ini dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau
setelah pengobatan. Dari segi imunologis terdapat perbedaan prinsip antara reaksi
tipe 1 dan tipe 2, yaitu pada reaksi tipe 1 yang memegang peranan adalah imunitas
seluler (SIS), sedangkan pada reaksi tipe 2 yang memegang peranan adalah
imunitas humoral
a.

Reaksi tipe 1
Menurut Jopling, reaksi kusta tipe I merupakan delayed hypersensitivity

reaction yang disebabkan oleh hipersensitivitas selular (reaksi reversal


upgrading) seperti halnya reaksi hipersensitivitas tipe IV. Antigen yang berasal
dari kuman yang telah mati (breaking down leprosy bacilli) akan bereaksi dengan
limfosit T disertai perubahan sistem imun selular yang cepat. Jadi pada dasarnya
reaksi tipe I terjadi akibat perubahan keseimbangan antara imunitas dan basil.
Dengan demikian, sebagai hasil reaksi tersebut dapat terjadi upgrading/reversal.
Pada kenyataannya reaksi tipe I ini diartikan dengan reaksi reversal oleh karena
paling sering dijumpai terutama pada kasus-kasus yang mendapatkan pengobatan,
sedangkan down grading reaction lebih jarang dijumpai oleh karena berjalan lebih
lambat dan umumnya dijumpai pada kasus-kasus yang tidak mendapat
pengobatan.
Meskipun secara teoritis reaksi tipe I ini dapat terjadi pada semua bentuk kusta
yang subpolar, tetapi pada bentuk BB jauh lebih sering terjadi daripada bentuk
yang lain sehingga disebut reaksi borderline.
Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang
telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif
35

singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi lebih
eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltrat dan lesi
lama menjadi bertambah lesi luas. Tidak perlu seluruh gejala harus ada, satu saja
sudah cukup.
b.

Reaksi tipe II
Reaksi tipe II disebabkan oleh hipersensitivitas humoral, yaitu reaksi

hipersnsitivitas tipe III karena adanya reaksi kompleks antigen-antibodi yang


melibatkan komplemen. Terjadi lebih banyak pada tipe lepromatous juga tampak
pada BL. Reaksi tipe II sering disebut sebagai Erithema Nodosum Leprosum
(ENL) dengan gambaran lesi lebih eritematus, mengkilap, tampak nodul atau
plakat, ukuran bernacam-macam, pada umunnya kecil, terdistribusi bilateral dan
simetris, terutama di daerah tungkai bawah, wajah, lengan, dan paha, serta dapat
pula muncul di hampir seluruh bagian tubuh kecuali daerah kepala yang
berambut, aksila, lipatan paha, dan daerah perineum. Selain itu, didapatkan nyeri,
pustulasi dan ulserasi, juga disertai gejala sistematik seperti demam dan malaise.
Perlu juga memperhatikan keterlibatan organ lain seperti saraf, mata, ginjal, sendi,
testis, dan limfe.

Tabel 2.8 Perbedaan RR dan ENL secara Klinik.

No. Gejala/tanda
1
Kondisi umum

Tipe I (reversal)
Baik atau demam ringan

Tipe II (ENL)
Buruk, disertai malaise
36

Peradangan di

Bercak kulit lama

dan febris
Timbul nodul

kulit

menjadi lebih meradang

kemerahan, lunak, dan

(merah), dapat timbul

nyeri tekan. Biasanya

bercak baru

pada lengan dan


tungkai. Nodul dapat

Waktu terjadi

pecah (ulserasi)
Setelah pengobatan

Awal pengobatan MDT

yang lama, umumnya


4
5

Tipe kusta
Saraf

lebih dari 6 bulan


MB
Dapat terjadi

PB atau MB
Sering terjadi
Umumnya berupa nyeri
tekan saraf dan atau

Keterkaitan

gangguan fungsi saraf


Hampr tidak ada

Terjadi pada mata,

organ lain

KGB, sendi, ginjal,

Faktor pencetus

testis, dll
Emosi
Kelelahan dan stress

Melahirkan
Obat-obat yang

meningkatkan kekebalan

tubuh

fisik lainnya
kehamilan

Tabel 2.9 Perbedaan RR dan ENL Berdasarkan Derajat Keparahan

Gejala/
tanda
Kulit

Tipe I

Tipe II

Ringan
Bercak :

Berat
Bercak :

Ringan
Nodul :

Berat
Nodul : merah, panas,

merah,

merah, tebal,

merah,panas,

nyeri yang bertambah

tebal,

panas, nyeri

nyeri

parah sampai pecah

panas,

yang

nyeri

bertambah
37

parah sampai
Saraf

Nyeri pada

pecah
Nyeri pada

tepi
Keadaan

perbaan (-)
Demam (-)

perabaan (+)
Demam (+)

perabaan (-)
Demam (+)

(+)
Demam (+)

+
Terjadi peradangan

umum
Keterliba tan
organ
lain

Nyeri pada

Nyeri pada perabaan

pada :
mata : iridocyclitis
testis :

epididimoorchitis
ginjal : nefritis
kelenjar limpa :

limfadenitis
gangguan pada
tulang, hidung,
dan tenggorokan

*bila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf, dikategorikan sebagai reaksi
berat

2.9.1 Fenomena Lucio


Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada
kusta tipe lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis berupa plak atau
infiltrat difus, bewarna merah muda, bentuk tidak teratur dan terasa nyeri. Lesi
terutama di ekstremitas, kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat
tampak lebih eritematous disertai purpura dan bula kemudian dengan cepat terjadi
nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya
terbentuk jaringan parut.
Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan
nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi endhotelial pembuluh
darah lebih dalam. Didapatkan banyak basil M.Leprae di endotel kapiler.
Walaupun tidak ditemukan infiltrat PMN seperti pada ENL namun dengan
imunofluoresensi tampak deposit imunoglobulin dan komplemen di dalam
dinding pembuluh darah.
38

Gambar 2.22 Fenomena Lucio (Ulcerasi Rekuren Berat karena Vaskulitis Cutaneus
yang Dalam).

2.10

Diagnosis Banding

Beberapa hal penting dalam menentukan diagnosis banding lepra:

Ada Makula hipopigmentasi

Ada daerah anestesi

Pemeriksaan bakteriologi memperlihatkan basil tahan


asam

Ada pembengkakan/pengerasan saraf tepi atau cabang-

cabangnya.
1. Tipe I (makula hipopigmentasi) : tinea versikolor, vitiligo, pitiriasis rosea,
atau dermatitis seboroika atau dengan liken simpleks kronik.
2. Tipe TT (makula eritematosa dengan pinggir meninggi) : tinea korporis,
psoriasis,lupus eritematosus tipe diskoid atau pitiriasis rosea
3. Tipe BT,BB,BL (infiltrat merah tak berbatas tegas) : selulitis, erysipelas atau
psoriasis.
4. Tipe LL (bentuk nodula): lupus eritematous sistemik, dermatomiositis, atau
erupsi obat.
Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk
makula saja, infiltrat saja atau keduanya. Penyakit kusta hampir serupa dengan
penyakit kulit lainya leh karena itu mendapat julukan the greatest imitator dalam
ilmu penyakit kulit. Secara inpeksi mirip dengan penyakit lainnya.
Tabel 2.10 Diagnosis Banding

Morbus Hansen

Pitiriasis

Pitiriasis alba

39

vesikolor
Definisi

Penyakit infeksi yang Penyakit jamur Bentuk


disebabkan

superfisial

dermatitis yang

Mycobacterium leprae

yang kronik

tidak

spesifik

dan

belum

diketahui
penyebabnya
Etiologi

Gejala Klinis

Mycobacterium leprae

Lesi 1 atau multiple


Hipopigmentasi/eritema
Sensory loss
Penebalan saraf tepi

Malassezia

Didiuga

furfur

Streptococcus

Bercak

Lesi bulat, oval

berskuama

atau plakat tak

halus

yang teratur

berwarna
putih,
kekuning-

Warna

merah

muda

dengan

skuama halus

kuningan,
kemerahan

Setelah eritema

sampai coklat menghilang,


hanya dijumpai

hitam

depigmentasi

Gatal

dengan skuama
halus

Pemeriksaan

Ziehl Neelsen : basil KOH 20% : -

Mikroskopis

tahan asam

hifa

pendek

dan

spora-

spora

bulat

yang

dapat

berkelompok
(meatball and
spaghetti
40

appeareance)
Lampu wood

Kuning
keemasan

Gambar 2.23 Kiri = Lepra, Kanan = Tinea

Gambar 2.24 Kiri= Pitiriasis Versikolor, Kanan = Lepra

41

Gambar 2.25 Kiri = Sifilis Sekunder, Kanan=Lepra

2.11

PENATALAKSANAAN

Tujuan utama dari pengobatan yaitu untuk memutuskan mata rantai penularan
untuk menurunkan insiden terjadinya penyakit, mengobati dan menyembuhkan
penderita, mencegah timbulnya penyakit, dan untuk mencapai tujuan tersebut,
strategi pokok yang dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan
penderita.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin,
dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi
dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan
angka putus obat, dan untuk mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam
jaringan.
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS
(Diaminodifenil sulfon) kemudoan klofazimin dan rifampicin. Pada tahun 1998
WHO menambahkan 3 obat antibiotic lain untuk pengobatan alternative yaitu
ofloksasin, minosiklin, dan klaritomisin. Sejak tahun 1951 pengobatan
tuberculosis dengan obat kombinasi ditujukan untuk mencegah kemungkinan
resistensi obaat sedangkan MDT untuk kusta baru dimulai tahun 1971.
2.11.1 Terapi Obat
a. Obat Utama :
1. DDS
Merupakan obat pertama yang dipakai sebagai monoterapi. Seringkali dapat
menyebabkan resistensi (pertama kali dibuktikan tahun 1964). Resistensi terhadap
DDS ini yang memicu dilakukannya MDT. Dapson, diamino difenil sulfon
bersifat bakteriostatik yaitu mengahalangi atau menghambat pertumbuhan bakteri.
Dapson merupakan antagonis kompetitif dari para-aminobezoic acid (PABA) dan
mencegah penggunaan PABA untuk sintesis asam folat oleh bakteri. Efek
sampingnya antara lain nyeri kepala, erupsi obat, anemia hemolitik, leucopenia,

42

insomnia, neuropati perifer, sindrom DDS, nekrosis epidermal toksik, hepatitis,


hipoalbuminemia, dan methemoglobinemia.
2. Rifampisin
Dosis antikusta adalah 10 mg/kg BB. Rifampicin bersifat bakterisid.
Rifampicin bekerja dengancara menghambat DNA- dependent RNA polymerase
pada sel bakteri dengan berikatan pada subunit beta. Dipakai sebulan sekali dalam
MDT karena efek sampingnya. Efek samping yang perlu diperhatikan adalah
hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome, erupsi kulit,
dan warna kemerahan pada keringat, air mata, dan urin.
3. Klofazimin (lamprene)
Pada kasus kusta yang dimonoterapi dengan DDS dapat terjadi relaps/kambuh.
Clofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat menekan reaksi kusta. Clofazimin
bekerja dengan menghambat siklus sel dan transpor dari NA/K ATPase. Dosis yang

dapat digunakan adalah 1x50 mg setiap hari, atau 100 mg selang sehari, atau 3 x
100 mg selama seminggu. Efek sampingnya adalah warna kecokelatan pada kulit
dan warna kekuningan pada sclera sehingga mirip ikterus. Hal tersebut disebabkan
oleh klofazimin yang merupakan zat warna dan dideposit terutama pada sel
system retikuloendotelial, mukosa, dan kulit. Obat ini menyebabkan pigmentasi
kulit yang sering merupakan masalah dalam ketaatan berobat penderita. Efek
samping hanya terjadi dalam dosis tinggi, berupa gangguan gastrointestinal yakni
nyeri abdomen, nausea, diare, anoreksia, dan vomitus. Selain itu dapat terjadi
penurunan berat badan.Perubahan warna tersebut akan mulai menghilang setelah
3 bulan obat diberikan.
4. Protionamid.
Dosis diberikan 5-10 mg/kg BB. Obat ini jarang dipakai. Distribusi dalam
jaringan tidak merata, sehingga kadar hambat minimal sukar ditentukan.
b. Obat alternatif:
1. Ofloksasin
Berdasarkan in vitro merupakan kuinolon yang paling efektif terhadap M.
leprae. Dosis tunggal dalam 22 dosis akan membunuh hingga 99,99%. Efek
43

samping adalah mual, diare, gangguan saluran cerna, gangguan saraf pusat
(insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness dan halusinasi). Penggunaan pada
anak dan ibu hamil dapat menyebabkan artropati.
2. Minosiklin
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidal lebih tinggi daripada
klaritromisin tapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis 100 mg. Efek samping
antara lain hiperpigmentasi, simtom saluran cerna dan SSP.
3. Klaritromisin
Kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal M.
leprae. Dosis harian selama 28 hari dapat membunuh 99% dan selama 56 hari
sebesar 99,99%. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus, dan diare.
Tabel 2.11 PB dgn lesi tunggal diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin)
dosis tunggal.

Rifampicin

Ofloxacin

Minocyclin

Dewasa
(50-70 kg)

600 mg

400 mg

100 mg

Anak-anak
*(5-14 tahun)

300 mg

200 mg

50 50g

Tidak dianjurkan untuk wanita hamil atau anak-anak kurang dari 5 tahun

Tabel 2.12 Tipe PB dengan lesi 2-5.

Dewasa

Dapson
100 mg

Rifampisin
600 mg

50-70 kg

Setiap hari

Sebulan sekali di bawah

Anak

50 mg

pengawasan
450 mg

10-14 tahun *

Setiap hari

Sebulan sekali di bawah


pengawasan

Menyesuaikan dosis tepat untuk anak kurang dari 10 tahun. Misalnya, dapson 25 mg

setiap hari dan rifampisin 300 mg diberikan sebulan sekali di bawah pengawasan.

MDT untuk pausibasilar ( I, TT, BT ) adalah rifampicin 600 mg setiap bulan


dan DDS 100 mg setiap hari. Keduanya diberikan selama 6 bulan sampai 9 bulan.
setelah minum 6 dosis maka dinyatakan RFT (Released From Treatment). Selama
pengobatam, pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan bakterioskopis setelah 6

44

bulan pada akhir pengobatan. Pemeriksaan dilakukan minimal setiap tahun selama
2 tahun secara klinis dan bakterioskopis. Kalau tidak ada keaktivan baru secara
klinis dan bakterioskopis tetap negative, maka dinyatakan RFC (Release From
Control).

Gambar 2.26 Contoh Blister Pack MDT PB Dewasa.

Pengobatan MDT untuk pausibasilar adalah Rifampisin 600 mg setiap bulan,


dengan pengawasan dan Dapson/DDS 100 mg setiap hari. Pengonsumsian
Rifampisin diberikan setiap hari pertama penggunaan blister baru dan dilakukan
didepan petugas. Selama pengobatan diberikan pemeriksaan klinis setiap bulan
45

dan bakterioskopis setelah 6 bulan (pada akhir pengobatan). Pemeriksaan


dilakukan minimal setiap tahun selama 2 tahun secara klinis dan bakterioskopis.
Apabila46negatif, dinyatakan RFC. Anjuran terbaru dari WHO mengatakan RFC
tidak diperlukan, walau ada perdebatan untuk mengawasi adanya reaksi dan
relaps.
Tabel 2.13 Tipe MB yaitu dengan lesi kulit > 5.
Dewasa

Dapsone
100 mg

Rifampisin
600 mg

50 mg

Clofazimin
DAN 300 mg

50-70 kg

Setiap Hari

Sebulan sekali di

Setiap

Sebulan

bawah

hari

sekali di

pengawasan

bawah
pengawasan
150 mg

Anak

50 mg

450 mg

50 mg

10-14 tahun *

Setiap hari

Sebulan sekali di

Setiap

Sebulan

bawah

hari

sekali di

pengawasan

DAN

bawah

pengawasan
Menyesuaikan dosis tepat untuk anak kurang dari 10 tahun. Misalnya, dapson 25 mg
sehari, rifampisin 300 mg diberikan sebulan sekali di bawah pengawasan, klofazimin, 50
mg diberikan dua kali seminggu, dan klofazimin 100 mg diberikan sebulan sekali di
bawah pengawasan.
*

Pasien akan dibagikan 12 strip obat, dimana setiap strip dihabiskan dalam 28
hari. Walaupun begitu, 12 strip tersebut dapat dihabiskan minimal selama 18
bulan.
Pengobatan hari pertama dilakukan dengan pengawasan oleh petugas :
kombinasi Klofazimin, Rifampisin, dan Dapson/DDS. Pengobatan hari ke-2
sampai hari ke-28 dilakukan tanpa pengawasan. Obat yang dikonsumsi pada
periode ini adalah Klofazimin dan Dapson. Pengonsumsian Klofazimin dapat
dilakukan dengan 3 cara : (1) 50 mg/ hari, (2) 100 mg/2 hari, (3) 3x100 mg per 1
minggu.
Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan secara
bakterioskopis setiap 3 bulan. Setelah pengobatan selesai, maka disebut RFT
46

(Release from treatment). Setelah RFT dilakukan tindak lanjut secara klinis dan
bakterioskopis minimal setiap tahun selama 5 tahun. Apabila negatif, maka
dinyatakan bebas dari pengamatan atau RFC (Release from control).
Namun, yang dilakukan sekarang, apabila secara klinis sudah tidak ada
keluhan, maka dapat dihentikan pemberian obat, tanpa memperhatikan
bakterioskopis.

Gambar 2.27 Contoh Blister Pack MDT MB Dewasa

47

Gambar 2.28 Regimen MDT

2.10.2 Pengobatan Situasi Khusus


1. Pasien yang tidak dapat mengonsumsi rifampisin (karena efek-samping atau
resisten rifampisin).
Dilakukan pengobatan selama 24 bulan :
-

6 bulan pertama : Setiap hari mengonsumsi 50 mg Clofazimin ditambah


dengan dua dari antara (1) Ofloxacin 400 mg, (2) minosiklin 100 mg,

dan (3) claritromisin 500 mg


18 bulan berikutnya : setiap hari konsumsi 50 mg Clofazimin, ditambah
dengan 100 mg minosiklin ATAU ofloksasin 400 mg. apabil tersedia,

ofloxacin dapat diganti dengan moksifloksasin 400 mg.


2. Pasien yang tidak dapat mengonsumsi klofazimin (efek samping)
Dapat diganti dengan ofloksasin 400 mg, atau monisiklin 100 mg, atau
moksifloksasin 400 mg dalam regiemen MB 12 bulan. Dapat juga diganti
regimen MDT 12 bulan dengan konsumsi rifampisin 600 mg + ofloksasin
400 mg + minosiklin 100 mg setiap bulan selama 24 bulan.
3. Pasien yang tidak dapat konsumsi dapson/DDS
Pada regimen pengobatan MB, DDS distop segera. Pada regimen
pengobatan PB, klofazimin dapat digunakan untuk menggantikan DDS,
dengan dosis yang sama dengan dosis pada regimen pengobatan MB.
2.11.3 Relaps
48

Risiko relaps dapat terjadi pada pasien dengan IB sebelum pengobatan sebesar
>3. WHO menyarankan agar pasien dengan IB yang tinggi dapat diterapi lebih
dari

12

bulan,

dengan

mempertimbangkan

kontrol

gejala

klinis

dan

bakteriologisnya. Beberapa studi menyebutkan bahwa mengulang regimen secara


total dapat menyembuhkan kasus relaps tersebut. Relaps yang lebih sering terjadi
adalah relaps sensitif (persisten) dibandingkan dengan relaps resisten.
2.11.4 Pengobatan Reaksi Kusta
1.

Reaksi tipe 1 (reversal)


Gejala klinis reaksi reversal adalah sebagian atau seluruh lesi yang telah ada

bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat
Tabel 2.14 Dosis Prednisone Harian Menurut Minggu Pemberian.
Minggu pemberian

Dosis prednisone harian yang dianjurkan

1-2

40 mg

3-4

30 mg

5-6

20 mg

7-8

15 mg

9-10

10 mg

11-12

5 mg

Kalau tanpa neuritis, maka tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Anggota
gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan sedatif juga
dapat diberikan.
2.

Reaksi tipe 2 (ENL)


Prednison merupakan obat yang paling sering dipakai. Dosis dan lama

pengobatan bergantung kepada derajat keparahan reaksi, namun tidak melebihi 1


mg/kg BB dan 12 minggu. Dapat ditambahkan analgetik-antipiretik dan sedatif.
Apabila tidak membaik dengan kortikosteroid, dapat digunakan klofazimin
dengan dosis 3x100 mg per hari dengan lama maksimum 12 minggu, dengan
49

tappering menjadi 2 x 100 mg selama 12 minggu dan 1 x 100 mg selama 12-24


minggu. Perlu diperhatian bahwa untuk membaik diperlukan 4-6 minggu untuk
klofazimin mengontrol ENL.
2.11.5 Kecacatan
Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT
mempunyai risiko tinggi terjadinya kerusakan saraf. Penderita dengan reaksi kusta
terutama reversal juga mempunyai faktor risiko yang lebih tinggi. Kerusakan saraf
berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan berkurangnya kekuatan otot.
Terdapat keluhan sehari-hari seperti susah memasang kancing baju, memergang
pulpen, atau mengambil benda kecil, atau kesulitan berjalan.
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan adalah dengan diagnosis dini,
mengenali reaksi kusta, identifikasi pasien dengan risiko tinggi.

Tabel 2.15 Derajat Kecacatan

Cacat pada tangan dan kaki


Tingkat 0

Tidak ada gangguan sensibilitas, kerusakan dan deformitas

Tingkat 1

Ada gangguan sensibilitas TANPA kerusakan atau deformitas

Tingkat 2

Terdapat kerusakan atau deformitas

Cacat pada mata


Tingkat 0

Tidak ada kelainan/kerusakan

Tingkat 1

Ada kelainan/kerusakan pada mata yang tidak terlihat, visus


sedikit berkurang

Tingkat 2

Ada kelainan mata yang terlihat (lagotalmus, iritis, kornea


keruh) dan/atau visus sangat terganggu

Pada pasien tingkat 1 dapat dilakukan langkah pencegahan seperti penggunaan


sepatu, karena pada pasien dengan baal di kaki dapat menyebabkan luka-luka

50

yang dapat menyebabkan infeksi sekunder pada kaki. Alat pelindung diri lain
yang dapat digunakan juga adalah sarung tangan untuk tangan, dan kacamata
untuk melindungi mata. Selain itu, kebersihan dan kelembaban kulit telapak
tangan dan kaki juga harus dijaga untuk mencegah penyakit kulit yang dapat
terjadi.
2.11.6 Rehabilitasi Sosial, Psikologis, dan Vokasional
Latar belakang sosial dan budaya memainkan peranan penting dalam proses
penyakit serta pengobatan yang akan dilalui pasien. Pasien mungkin susah
menerima kenyataan dan beberapa kalangan masyarakat mungkin akan
menunjukkan penolakan terhadap pasien lepra. Untuk itu, ilmu pengetahuan,
kepercayaan dari keluarga, dukungan teman, dokter, serta peranan dokter bedah
plastik dalam mengobati lesi-lesi yang mungkin mengarah kepada stigma negatif
masyarakat akan berperan penting dalam proses penyembuhan pasien.
2.11.7 Pencegahan dan Kontrol
Strategi WHO dalam menurunkan angka morbiditas dan mortalitas lepra antara
lain

menekankan

kepentingan

pelayanan

kesehatan

yang

aksesibel,

mengutamakan pasien, pelayanan kesehatan lepra gratis dengan MDT,


menekankan pentingnya mencegah kecacatan, serta sistem rujukan untuk
penanganan komplikasi yang mungkin terjadi.
2.12

PROGNOSIS

Dengan adanya obat-obat kombinasi, pengobatan menjadi lebih sederhana dan


lebih singkat, serta prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah ada kontraktur dan
ulkus kronik, prognosis kurang baik

51

BAB III
KESIMPULAN
Kusta atau morbus Hansen adalah penyakit granulomatosa kronis yang
disebabkan oleh Micobacterium leprae, yang melibatkan kulit, sistem saraf
perifer, saluran pernapasan bagian atas, mata, dan testis.
Klasifikasi bentuk penyakit kusta yang banyak dipakai dalam bidang penelitian
adalah klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit
kusta menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis,
histopatologis, dan imunologis, yaitu tipe tuberculoid (TT), tipe borderline
tuberculoid (BT), tipe mid borderline (BB), tipe borderline lepromatosa (BL) , dan
tipe lepromatosa (LL).
Program MDT dimulai pada tahun 1981, yaitu ketika kelompok studi
kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta
dengan rejimen kombinasi yang selanjutnya dikenal sebagai rejimen MDT-WHO.
Rejimen ini terdiri atas kombinasi obat-obat DDS, Rifampisin, dan Klofazimin.
Komplikasi yang sering terjadi adalah reaksi lepra yang dapat berujung dengan
kecacatan yang menetap, dapat pula terjadi fenomena Lucio yang merupakan
52

reaksi kusta yang sangat berat dan terjadi pada kusta tipe lepromatosa non-nodular
difus. Oleh karena itu, pencegahan harus segera dilakukan untuk menghindari
terjadinya kecacatan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Hiswani. (2001). Kusta Salah Satu Penyakit Menular yang Masih di
Indonesia. Kesehatan, 1-5.
2. Ramos, J. M., Martin, M. M., Reyes, F., Lemma, D., Belinchon, I., &
Gutierrez, F. (2012). Gender Differential on Characteristics and Outcome of
Leprosy patients Admitted to a Long-term Care Rural Hospital in SouthEastern Ethiopia. International Journal For Equity in Health, 1-5.
3. Wolff, K., Johnson, R. A., & Suurmond, D. (2007). The Color Atlas and
Synopsis of Clinical Dermatology. USA: Mc Graw Hill.
4. WHO. (2012, Agustus 24). Global leprosy situation, 2012. Weekly
Epidemiological Record, 317-328.
5. Widodo, A. A., & Menaldi, S. L. (2012, November 11). Patients,
Characterictics of Leprosy. Indon Med Assoc, 62, 424.
6. Bryceson A, Pfaltzgraff RE. Leprosy. Edisi ke-3. Edinburg: Churchil
Livingstone; 1990.
7. Amirudin MD, Hakim Z, Darwis E. Diagnosis penyakit kusta. Dalam : Daili
ES, Menaldi SL, Ismiarto SP, Nilasari H, editor. Kusta. Kelompok Studi
Morbus Hansen Indonesia. Makasar, 2003. h. 12 32.

53

8. Rees RJW, Young DB. The microbiology of leprosy. Dalam : Hasting RC,
editor. Leprosy. Edisi ke-2. Edinburg: Churchil Livingstone; 1994. h.49-83
9. Scollard, D. M., Adams, L. B., Gillis, T. P., J. L. Krahenbuhl, R. T., &
Williams, D. L. (2006). The Continuing Challenges of Leprosy. Clinical
Microbiology Reviews, 339-372.
10. Levinson, W. (2010). Medical Microbiology & Immunology. USA: McGrawHill Companies.
11. Ridley DS, Jopling WH. Classification of leprosy according to immunity: a
five group system. Int J Lep 1996; 34: 255-77
12. Buku pedoman nasional pengendalian penyakit kusta. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Jakarta, 2007
13. Kumar, Abbas, Fausto, & Mitchell. (2007). Basic Pathology. USA: Elsevier.
14. Noon, L. A., & Lloyd, A. C. (2006). Treating leprosy. USA: Science Direct.
15. Groenen, G., & Saunderson, P. (2002). How to Diagnose and Treat Leprosy?
London: The International Federation of Anti-Leprosy Associations.
16. A.Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe Dili, Sri Linuwih Menaldi.
Kusta. Dalam : Djuanda,Adhi dkk.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Edisi Kelima Cetakan Kelima. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2010;73-88
17. Rea TH, Modlin RL. 1999. Leprosy : Fitzpatricks Dermatology in General
Medicine. 5th ed. New York : McGraw-Hill. p. 2306-18.
18. Pfaltzgraff RE, Ramu G. Clinical leprosy. Dalam : Hasting RC, editor.
Leprosy. Edisi ke-2. Edinburg: Churchil Livingstone; 1994. h. 237-87.
19. Kumar B, Dogra S. Leprosy : A disease with diagnostic and management
challenges. Indian J. Dermatol Venereol Leprol. 2009; 75(2): 111-5.
20. Agusni I, Menaldi SL.Beberapa prosedur diagnostik baru pada penyakit kusta.
Dalam : Daili ES, Menaldi SL, Ismiarto SP, Nilasari H, editor. Kusta.
Kelompok Studi Morbus Hansen Indonesia. Makasar, 2003. h.59-65.

54

Anda mungkin juga menyukai