PENDAHULUAN
Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah
yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis
tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan
nasional. Penyakit kusta pada umumnya sering dijumpai di negara-negara yang
sedang berkembang sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara dalam
pemberian pelayanan kesehatan yang baik dan memadai kepada masyarakat.
Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk
sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan,
kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkannya 1.
Kuman kusta biasanya menyerang saraf tepi kulit dan jaringan tubuh lainnya.
Penyakit ini merupakan penyakit menular yang sifatnya kronis dan dapat
menimbulkan masalah yang komplek. Penyebab penyakit kusta ialah suatu kuman
yang disebut Mycobaterium leprae. Sumber penularan penyakit ini adalah
penderita kusta multi basilet (MB) atau kusta basah1.
Di Indonesia penderita kusta terdapat hampir diseluruh daerah dengan
penyebaran yang tidak merata. Suatu
terdapat angka kesakitan kusta yang lebih tinggi. Penderita kusta 90% tinggal
diantara keluarga mereka dan hanya beberapa persen saja yang tinggal dirumah
sakit kusta, koloni penampungan atau perkampungan kusta1.
Kusta dahulu dikenal dengan penyakit yang tidak dapat sembuh dan diobati,
namun sejak tahun 1980 dimana program Multi Drug Treatment (MDT) mulai
diperkenalkan, kusta dapat didiagnosis dan diterapi. Dengan dapatnya diatasi
penyakit kusta ini seharusnya tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat.
Tetapi, sampai saat ini penyakit kusta masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat yang perlu di perhatikan oleh pihak yang terkait1.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
karena posisinya yang terletak di bagian paling luar. Luas kulit dewasa
1,5 m2 dengan berat kira-kira 15% berat badan.
lapisan ini terdiri dari cairan kental asam hialuronat dan kondroitin sulfat,
dibagian ini terdapat pula fibroblas. Serabut kolagen dibentuk oleh
fibroblas, selanjutnya membentuk ikatan (bundel) yang mengandung
hidroksiprolin dan hidroksisilin. Kolagen muda bersifat elastin, seiring
bertambahnya usia, menjadi kurang larut dan makin stabil. Retikulin mirip
kolagen muda. Serabut elastin biasanya bergelombang, berbentuk amorf,
dan mudah mengembang serta lebih elastis.
Lapisan Subkutis (hipodermis) adalah lapisan paling dalam, terdiri dari jaringan
ikat longgar berisi sel lemak yang bulat, besar, dengan inti mendesak ke pinggir
sitoplasma lemak yang bertambah. Sel ini berkelompok dan dipisahkan oleh
trabekula yang fibrosa. Lapisan sel lemak disebut dengan panikulus adiposa,
berfungsi sebagai cadangan makanan. Di lapisan ini terdapat saraf tepi, pembuluh
darah, dan getah bening. Lapisan lemak berfungsi juga sebagai bantalan,
ketebalannya berbeda pada beberapa kulit. Di kelopak mata dan penis lebih tipis,
di perut lebih tebal (sampai 3 cm).
FISIOLOGI KULIT
1. Fungsi Proteksi
Kulit punya bantalan lemak, ketebalan, serabut jaringan penunjang yang
dapat melindungi tubuh dari gangguan :
fisis/ mekanis : tekanan, gesekan, tarikan.
kimiawi : iritan seperti lisol, karbil, asam, alkali kuat
panas : radiasi, sengatan sinar UV
infeksi luar : bakteri, jamur
Beberapa macam perlindungan :
Melanosit : lindungi kulit dari pajanan sinar matahari dengan
2. Fungsi Absorpsi
4
Permeabilitas kulit terhadap O2, CO2, dan uap air memungkinkan kulit
ikut mengambil fungsi respirasi. Kemampuan absorbsinya bergantung pada
ketebalan kulit, hidrasi, kelembaban, metabolisme, dan jenis vehikulum.
PEnyerapan dapat melalui celah antar sel, menembus sel epidermis, melalui
muara saluran kelenjar.
3. Fungsi Ekskresi
Mengeluarkan zat yang tidak berguna bagi tubuh seperti NaCl, urea, asam
urat, dan amonia. Pada fetus, kelenjar lemak dengan bantuan hormon androgen
dari ibunya memproduksi sebum untuk melindungi kulitnya dari cairan
amnion, pada waktu lahir ditemui sebagai Vernix Caseosa.
4. Fungsi Persepsi
Kulit mengandung ujung saraf sensori di dermis dan subkutis. Saraf
sensori lebih banyak jumlahnya pada daerah yang erotik.
Badan Ruffini di dermis dan subkutis : peka rangsangan panas
Badan Krause di dermis : peka rangsangan dingin
Badan Taktik Meissner di papila dermis : peka rangsangan rabaan
Badan Merkel Ranvier di epidermis : peka rangsangan rabaan
Badan Paccini di epidemis : peka rangsangan tekanan
5. Fungsi Pengaturan Suhu Tubuh (termoregulasi)
Dengan cara mengeluarkan keringat dan mengerutkan (otot berkontraksi)
pembuluh darah kulit. Kulit kaya pembuluh darah sehingga mendapat nutrisi
yang baik. Tonus vaskuler dipengaruhi oleh saraf simpatis (asetilkolin). Pada
bayi, dinding pembuluh darah belum sempurna sehingga terjadi ekstravasasi
cairan dan membuat kulit bayi terlihat lebih edematosa (banyak mengandung
air dan Na)
6. Fungsi Pembentukan Pigmen
Terdapat melanosit (sel pembentuk pigmen) yang terdiri dari butiran
pigmen (melanosomes)
7. Fungsi Keratinisasi
Keratinosit dimulai dari sel basal yang mengadakan pembelahan, sel basal
yang lain akan berpindah ke atas dan berubah bentuknya menjadi sel spinosum,
makin ke atas sel makin menjadi gepeng dan bergranula menjadi sel
granulosum. Makin lama inti makin menghilang dan keratinosit menjadi sel
tanduk yang amorf. Proses ini berlangsung 14-21 hari dan memberi
perlindungan kulit terhadap infeksi secara mekanis fisiologik.
5
2.2
DEFINISI
Kusta atau morbus Hansen adalah penyakit granulomatosa kronis yang
EPIDEMIOLOGI
Sampai saat ini epidemiologi penyakit kusta belum sepenuhnya diketahui
secara pasti. Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia terutama di daerah tropis dan
subtropis. Dapat menyerang semua umur, frekuensi tertinggi pada kelompok umur
antara 15-35 tahun dan lebih sering mengenai laki-laki daripada wanita.
ETIOLOGI
10
Perbedaan Klasifikasi
Madrid
1953
Ridley
Jopling
1966
Ti
Tuberculoid
(TT)
WHO
BT
BB
BL
Borderline
Mid-
Borderline
Tuberculoid
Borderline
Lepromatous
(BT)
(BB)
(BL)
PB
1982
Li
Lepromatous
(LL)
MB
2.5
KLASIFIKASI1,5,11,12
11
TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang stabil. Jadi
tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni
lepromatosa 100%. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau
campuran, berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe
campuran 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak
tuberkuloidnya, sedangkan BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe
campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT
maupun ke arah LL.
2.6
PATOGENESIS
Meskipun cara masuk Mycobacterium leprae ke dalam tubuh masih belum
12
Bakteri yang ditangkap akan melalui beberapa proses yang bertujuan untuk
mengeliminasi bakteri, sehingga pada 95% individu yang terinfeksi oleh
Mycobacterium leprae tidak menimbulkan gejala klinis atau minimal hanya
subklinis saja. Setelah berbagai imunitas nonspesifik tersebut gagal, maka barulah
akan
bekerja
mekanisme
imunitas
spesifik,
melalui
aktivasi
sel-sel
13
tuberkuloid (TT) dan kutub lepromatosa (LL). Setiap kutub akan dikarakterisasi
oleh imunitas yang bersifat cell-mediated atau sistem imun humoral. Pada
individu yang sistem imun selulernya baik, respon imun dimediasi oleh sel Thelper 1. Sel ini akan mengeluarkan sitokin pro-inflamasi seperti IFN-, TNF, IL2, IL-6, IL-12 serta molekul kemotaktil yang berfungsi memanggil sel makrofag.
Sesampainya di kulit, makrofag berubah nama menjadi histiosit. Histiosit akan
memfagosit M. leprae sehingga kuman dapat dieliminasi. Pada kusta tipe TT
kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, sehingga makrofag sanggup
menghancurkan kuman. Sayangnya, setelah semua kuman difagositosis, makrofag
akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang
bersatu membentuk sel datia Langhans. Bila infeksi ini tidak segera diatasi akan
terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf
dan jaringan sekitarnya.
Sedangkan jika sistem imun selular tidak bekerja secara efektif, makrofag
gagal memfagosit M. leprae. Tipe ini dimediasi oleh sel T-helper 2 dengan cara
mengeluarkan IL-4 dan IL-10. M. leprae menduduki makrofag dan berkembang
biak di dalamnya. Sel ini disebut sebagai sel virchow atau sel busa atau sel lepra
yang dapat ditemukan di subepidermal clear zone. Akumulasi makrofag beserta
derivat-derivatnya membentuk granuloma yang penuh kuman. Granuloma dapat
ditemukan tertama pada area tubuh yang suhunya lebih dingin, seperti : cuping
telinga, hidung, penonjolan tulang pipi, alis mata, kaki, dll). Pada kusta tipe LL
terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan demikian makrofag tidak
mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat bermultiplikasi dengan
bebas yang kemudian dapat merusak jaringan.
14
Gambar 2.7 Interaksi 2LG dari G domain sel Schwann dengan PGL-1 dan MLLBP21 dinding sel M. leprae.
15
GAMBARAN KLINIK4,7,9,11,12,16
2.7
2.7.1
Dasar diagnosis
Menurut WHO penyakit kusta dapat didiagnosa berdasarkan gejala klinik yang
timbul. Pada negara atau daerah yang endemik, seseorang dapat dinyatakan
terkena lepra apabila terdapat salah satu dari tiga gejala kardinal antara lain
(WHO, 2000) :
1. Bercak kulit yang mati rasa
Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi
(plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rangsang
panas, sentuhan maupun nyeri. Lesi tidak gatal ataupun nyeri yang dapat muncul
dimanapun pada anggota tubuh.
2. Penebalan saraf tepi
Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau tanpa gangguan fungsi
saraf yang terkena, yaitu:
a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa
16
17
18
19
Sifat
Lepromatosa (LL)
Borderline
Mid Borderline
20
Lesi
Bentuk
Jumlah
Distribusi
Permukaan
Batas
Anestesia
BTA
Lesi kulit
Sekret
hidung
Tes Lepromin
Lepromatosa
(BL)
(BB)
Makula
Infiltrat difus
Papul
Nodus
Tidak terhitung,
praktis tidak ada
kulit sehat
Simetris
Halus berkilat
Makula
Plakat
Papul
Tidak jelas
Biasanya tidak jelas
Agak jelas
Tak jelas
Plakat
Dome-shape (kuba
h)
Punched-out
Dapat dihitung,
kulit sehat jelas
ada
Asimetris
Agak kasar, agak
berkilat
Agak jelas
Lebih jelas
Banyak
Biasanya negatif
Agak banyak
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Sukar dihitung,
masih ada kulit
sehat
Hampir simetris
Halus berkilat
21
Gambar 2.12 Borderline Leprosy: Wajah Sedikit Berminyak dan Kehilangan Alis
Mata.
Karakteristik
Tuberkuloid (TT)
Borderline
Tuberculoid (BT)
Indeterminate
(I)
Lesi
22
Tipe
Makula ; makula
dibatasi infiltrat
Jumlah
Distribusi
Permukaan
Batas
Jelas
Jelas
Anestesia
Jelas
Jelas
Hampir selalu
negatif
Positif kuat (3+)
Biasanya negatif
Positif lemah
Dapat positif
lemah atau
negatif
BTA
lesi kulit
Tes lepromin
Makula dibatasi
infiltrat saja; infiltrat
saja
Beberapa atau satu
dengan lesi satelit
Asimetris
Hanya Infiltrat
Kering, skuama
Satu atau
beberapa
Bervariasi
24
Kerusakan mata pada kusta juga dapat terjadi secara primer dan sekunder.
Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat
mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N. Fasialis
yang dapat membuat paralisis N.Orbicularis palpebrarum sebagian atau
seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya menyebabkan kerusakan
bagian-bagian mata lainnya. Secara sendiri-sendiri atau bergabung akhirnya dapat
menyebabkan kebutaan.
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat,
kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia.
Pada tipe lepromatosa dapat timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan
hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus semineferus testis.
2.7.3
Kusta histoid
Kusta histoid merupakan variasi lesi pada tipe lepromatous yang ditandai
dengan adanya nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk plak.
Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya timbul sebagai kasus relapse sensitive
atau relapse resistent.
Relapse sensitive terjadi bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan
pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Dapat terjadi karena kuman
25
yang dorman aktif kembali atau pengobatan yang diselesaikan tidak adekuat, baik
dosis maupun pemberiannya,disebut juga resisten sekunder.
Relaps resistents terjadi, bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan
pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan, tetapi tidak dapat diobati
dengan obat yang sama karena kuman telah resisten terhadap obat MDT, disebut
juga resisten primer.
2.7.4 Pemeriksaan Saraf Tepi
a. N. Auricularis Magnus
Pasien menoleh ke kanan/kiri semaksimal mungkin, maka saraf yang terlibat
akan terdorong oleh otot-otot di bawahnya sehingga dapat terlihat pembesaran
saraf. Dua jari pemeriksa diletakkan di atas persilangan jalannya saraf dengan
arah otot. Bila ada penebalan, maka akan teraba jaringan seperti kabel atau kawat.
Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau
tidaknya.
Gambar 2.17
Pembesaran
Saraf
b. N. Ulnaris
Tangan
sedikit
fleksi
yang
diperiksa rileks,
dan
diletakkan di atas
satu tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa meraba sulcus nervi ulnaris dan
merasakan adanya penebalan atau tidak Bandingkan kanan dan kiri dalam hal
besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya.
26
c. N. Peroneus Lateralis
Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di sebelah
lateral dari capitulum fibulae, dan merasakan ada penebalana atau tidak.
Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri
atau tidaknya.
d. N. Tibialis Posterior
Meraba maleolus medialis kaki kanan dan kiri dengan kedua tangan,
meraba bagian posterior dan mengurutkan ke bawah ke arah tumit.
Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri
atau tidaknya.
2.7.5 Pemeriksaan Fungsi Saraf
a. Tes sensorik
Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.
- Rasa raba
Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya, disinggungkan ke kulit pasien.
Kapas disinggungkan ke kulit yang lesi dan yang sehat, kemudian pasien
27
disuruh menunjuk kulit yang disinggung dengan mata terbuka. Jika hal ini
telah dimengerti, tes kembali dilakukan dengan mata pasien tertutup.
- Rasa tajam
Menggunakan jarum yang disentuhkan ke kulit pasien. Setelah disentuhkan
bagian tajamnya, lalu disentuhkan bagian tumpulnya, kemudia pasien diminta
menentukan tajam atau tumpul. Tes dilakukan seperti pemeriksaan rasa raba.
- Suhu
Menggunakan dua buah tabung reaksi yang berisi air panas dan air dingin.
Tabung reaksi disentuhkan ke kulit yang lesi dan sehat secara acak, dan pasien
diminta menentukan panas atau dingin.
b. Tes Otonom
Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada penyakit
kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis, yaitu :
1. Tes keringat dengan tinta ( tes Gunawan)
2. Tes Pilokarpin
3. Tes Motoris (voluntary muscle test) pada n. ulnaris, n.medianus, n.radialis,
dan n. peroneus.
2.8
PEMERIKSAAN PENUNJANG4,9,18,19,
1. Pemeriksaaan Bakterioskopik
Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan obat.
Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang
diwarnai dengan pewarnaan ZIEHL NEELSON. Bakterioskopik negative pada
seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung basil
M.Leprae. Pertama tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling
padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil.
Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 6
tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling
aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping
telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada
cuping telinga biasanya didapati banyak M. leprae.
Cara pengambilan bahan dengan menggunakan skalpel steril. Setelah lesi
tersebut di desinfeksi kemudian dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk agar
menjadi iskemik, sehingga kerokan jaringan mengandung sedikit mungkin darah
28
yang akan mengganggu sediaan. Kerokan dioleskan di kaca objek, difiksasi di atas
api kemudian diwarnai dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen :
1. Buatlah sediaan diatas kaca objek, keringkan pada suhu kamar
2. Tuangkan karbol fuchsin, panaskan di atas api kecil 3-4 menit hingga keluar
uap (semua bakteri akan berwarna merah).
3. Bilas dengan air mengalir.
4. Celupkan dalam larutan H2SO4 1% atau HCL pekat selama 2 detik (bakteri
tahan asam tetap berwarna merah).
5. Celupkan dalam alkohol 60% hingga tak ada lagi warna merah yang mengalir
pada sediaan.
6. Bilas dengan air
7. Tuangkan biru metilen,diamkan 1-2 menit (bakteri tahan asam tidak mengikat
warna biru).
8. Cuci dengan air keringkan, lalu amati dengan mikroskop.
Hasil positif jika didapatkan basil tahan asam tampak merah pada sediaan dan
dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), butiran
(granular). Secara teori penting dibedakan solid dan nonsolid, untuk membedakan
antara yang hidup dan yang mati, sebab bentuk hidup itulah yang berbahaya.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley.
0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
1 + Bila 1 10 BTA dalam 100 LP
2+ Bila 1 10 BTA dalam 10 LP
3+ Bila 1 10 BTA rata rata dalam 1 LP
4+ Bila 11 100 BTA rata rata dalam 1 LP
5+ Bila 101 1000BTA rata rata dalam 1 LP
6+ Bila> 1000 BTA rata rata dalam 1 LP
29
30
o Tes Mitsuda (reaksi lambat) : menggunakan basil kusta yang mati, hasilnya
diperiksa setelah 3-4 minggu.
Interpretasi:
o - tidak ada reaksi/ kelainan
o +/- papel + eritema < 3 mm
o +1 papel + eritema 3 5 mm
o +2 papel + eritema > 5 mm
o +3 ulserasi
o Tes Fernandez (reaksi awal) : menggunakan fraksi proteim M. leprae, hasil
diperiksa setelah 48 jam.
Interpretasi:
o - tidak ada kelainan
o +/- indurasi + eritema < 5 mm
o + 1 indurasi + eritema 5 10 mm
o + 2 indurasi + eritema 10 15 mm
o + 3 indurasi + eritema 15 20 mm
3. Pemeriksaan Histopatologi
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang
mempunyai nama khusus, dan yang dari kulit disebut histiosit. Apabila SIS
(Sistem Imun Selular) tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M.Leprae.
Datangnya histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses imunologik
dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi
yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang
tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat berubah menjadi sel datia
Langhans.
Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut
tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada
penderita dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan
M.Leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak
dan disebut sebagai sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat
pengangkut penyebarluasan.
Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf
yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe
31
4. Pemeriksaan Serologik
Kegunaan pemeriksaan serologik adalah untuk membantu diagnosis kusta yang
meragukan, apabila tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas.
A. Uji FLA-ABS (Fluorescent leprosy Antibodi-Absorption test)
32
Uji ini menggunakan antigen bakteri M. leprae secara utuh yang telah dilabel
dengan zat fluoresensi. Hasil uji ini memberikan sensitivitas yang tinggi namun
spesivisitasnya agak kurang karena adanya reaksi silang dengan antigen dari
mikrobakteri lain.
B. Radio Immunoassay (RIA)
Uji ini menggunakan antigen dari M. leprae yang dibiakkan dalam tubuh
Armadillo yang diberi label radio aktif.
C. Uji MLPA (Mycobacterium leprae particle agglutination)
Uji ini berdasarkan reaksi aglutinasi antara antigen sintetik PGL-1 dengan
antibodi dalam serum. Uji MLPA merupakan uji yang praktis untuk dilakukan di
lapangan, terutama untuk keperluan skrining kasus seropositif.
D. Antibodi monoklonal (Mab) epitop MLO4 dari protein 35-kDa M.leprae
menggunakan M. leprae sonicate (MLS) yang spesifik dan sensitif untuk
serodiagnosis kusta. Protein 35-kDa M. leprae adalah suatu target spesifik dan
yang utama dari respon imun seluler terhadap M. leprae, merangsang proliferasi
sel T dan sekresi interferon gamma pada pasien kusta dan kontak.
E. Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Assay)
Uji ELISA pertama kali digunakan dalam bidang imunologi untuk
menganalisis interaksi antara antigen dan antibodi di dalam suatu sampel, dimana
interaksi tersebut ditandai dengan menggunakan suatu enzim yang berfungsi
sebagai penanda.35
Dalam perkembangan selanjutnya, selain digunakan sebagai uji kualitatif untuk
mengetahui keberadaan suatu antibodi atau antigen dengan menggunakan antibodi
atau antigen spesifik, teknik ELISA juga dapat diaplikasikan dalam uji kuantitatif
untuk mengukur kadar antibodi atau antigen yang diuji dengan menggunakan alat
bantu berupa spektrofotometer.
33
Prinsip uji ELISA adalah mengukur banyaknya ikatan antigen antibodi yang
terbentuk dengan diberi label (biasanya berupa enzim) pada ikatan tersebut,
selanjutnya terjadi perubahan warna yang dapat diukur dengan spektrofotometer
dengan panjang gelombang tertentu. Pemeriksaan ini umumnya menggunakan
plat mikro untuk tempat terjadinya reaksi.
Terdapat tiga metode ELISA, antara lain:
A. Direct ELISA
Pada direct ELISA, antigen melekat pada fase solid dan bereaksi dengan
antibodi sekunder yang dilabel enzim, kemudian ditambahkan substrat sehingga
terjadi perubahan warna yang dapat diukur dengan spektrofotometer.
B. Indirect ELISA
Pada indirect ELISA, antigen melekat pada fase solid dan bereaksi dengan
antibodi primer, kemudian dilakukan penambahan antibodi sekunder yang dilabel
enzim dan terjadi reaksi antara antibodi primer dengan antibodi sekunder yang
dilabel enzim, kemudian ditambahkan substrat sehingga terjadi perubahan warna
yang dapat diukur dengan spektrofotometer.
C. Sandwich ELISA.
Pada sandwich ELISA, prinsip kerjanya hampir sama dengan direct ELISA,
hanya saja pada sandwich ELISA, larutan antigen yang diinginkan tidak perlu
dipurifikasi. Dalam bidang penyakit kusta, uji ELISA dapat dipakai untuk
mengukur kadar antibodi terhadap basil kusta, misalnya antibodi anti PGL-1,
antibodi anti protein 35kD, dan lain-lain. Kelas antibodi yang diperiksa juga
ditentukan, misalnya IgM anti PGL-1, IgG anti PGL-1 dan sebagainya. Untuk
antibodi anti PGL-1 biasanya IgM lebih dominan dibandingkan IgG. Pemeriksaan
ELISA dikembangkan menggunakan reagen poliklonal atau monoklonal yang
telah terbukti sangat spesifisik terhadap residu gula dari PGL-1 dan
memungkinkan deteksi titer anti PGL-1 pada pasien kusta atau kontak serumah.
Untuk menentukan nilai ambang (cut off) dari hasil uji ELISA ini, biasanya
34
ditentukan setelah mengetahui nilai setara individu yang sakit kusta dan yang
tidak sakit kusta.
2.9
REAKSI KUSTA
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit
yang sebenarnya sangat kronik. Penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi
kekebalan (cellular response) atau reaksi antigen antibody (humoral response).
Reaksi ini dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau
setelah pengobatan. Dari segi imunologis terdapat perbedaan prinsip antara reaksi
tipe 1 dan tipe 2, yaitu pada reaksi tipe 1 yang memegang peranan adalah imunitas
seluler (SIS), sedangkan pada reaksi tipe 2 yang memegang peranan adalah
imunitas humoral
a.
Reaksi tipe 1
Menurut Jopling, reaksi kusta tipe I merupakan delayed hypersensitivity
singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi lebih
eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltrat dan lesi
lama menjadi bertambah lesi luas. Tidak perlu seluruh gejala harus ada, satu saja
sudah cukup.
b.
Reaksi tipe II
Reaksi tipe II disebabkan oleh hipersensitivitas humoral, yaitu reaksi
No. Gejala/tanda
1
Kondisi umum
Tipe I (reversal)
Baik atau demam ringan
Tipe II (ENL)
Buruk, disertai malaise
36
Peradangan di
dan febris
Timbul nodul
kulit
bercak baru
Waktu terjadi
pecah (ulserasi)
Setelah pengobatan
Tipe kusta
Saraf
PB atau MB
Sering terjadi
Umumnya berupa nyeri
tekan saraf dan atau
Keterkaitan
organ lain
Faktor pencetus
testis, dll
Emosi
Kelelahan dan stress
Melahirkan
Obat-obat yang
meningkatkan kekebalan
tubuh
fisik lainnya
kehamilan
Gejala/
tanda
Kulit
Tipe I
Tipe II
Ringan
Bercak :
Berat
Bercak :
Ringan
Nodul :
Berat
Nodul : merah, panas,
merah,
merah, tebal,
merah,panas,
tebal,
panas, nyeri
nyeri
panas,
yang
nyeri
bertambah
37
parah sampai
Saraf
Nyeri pada
pecah
Nyeri pada
tepi
Keadaan
perbaan (-)
Demam (-)
perabaan (+)
Demam (+)
perabaan (-)
Demam (+)
(+)
Demam (+)
+
Terjadi peradangan
umum
Keterliba tan
organ
lain
Nyeri pada
pada :
mata : iridocyclitis
testis :
epididimoorchitis
ginjal : nefritis
kelenjar limpa :
limfadenitis
gangguan pada
tulang, hidung,
dan tenggorokan
*bila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf, dikategorikan sebagai reaksi
berat
Gambar 2.22 Fenomena Lucio (Ulcerasi Rekuren Berat karena Vaskulitis Cutaneus
yang Dalam).
2.10
Diagnosis Banding
cabangnya.
1. Tipe I (makula hipopigmentasi) : tinea versikolor, vitiligo, pitiriasis rosea,
atau dermatitis seboroika atau dengan liken simpleks kronik.
2. Tipe TT (makula eritematosa dengan pinggir meninggi) : tinea korporis,
psoriasis,lupus eritematosus tipe diskoid atau pitiriasis rosea
3. Tipe BT,BB,BL (infiltrat merah tak berbatas tegas) : selulitis, erysipelas atau
psoriasis.
4. Tipe LL (bentuk nodula): lupus eritematous sistemik, dermatomiositis, atau
erupsi obat.
Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk
makula saja, infiltrat saja atau keduanya. Penyakit kusta hampir serupa dengan
penyakit kulit lainya leh karena itu mendapat julukan the greatest imitator dalam
ilmu penyakit kulit. Secara inpeksi mirip dengan penyakit lainnya.
Tabel 2.10 Diagnosis Banding
Morbus Hansen
Pitiriasis
Pitiriasis alba
39
vesikolor
Definisi
superfisial
dermatitis yang
Mycobacterium leprae
yang kronik
tidak
spesifik
dan
belum
diketahui
penyebabnya
Etiologi
Gejala Klinis
Mycobacterium leprae
Malassezia
Didiuga
furfur
Streptococcus
Bercak
berskuama
halus
yang teratur
berwarna
putih,
kekuning-
Warna
merah
muda
dengan
skuama halus
kuningan,
kemerahan
Setelah eritema
hitam
depigmentasi
Gatal
dengan skuama
halus
Pemeriksaan
Mikroskopis
tahan asam
hifa
pendek
dan
spora-
spora
bulat
yang
dapat
berkelompok
(meatball and
spaghetti
40
appeareance)
Lampu wood
Kuning
keemasan
41
2.11
PENATALAKSANAAN
Tujuan utama dari pengobatan yaitu untuk memutuskan mata rantai penularan
untuk menurunkan insiden terjadinya penyakit, mengobati dan menyembuhkan
penderita, mencegah timbulnya penyakit, dan untuk mencapai tujuan tersebut,
strategi pokok yang dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan
penderita.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin,
dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi
dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan
angka putus obat, dan untuk mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam
jaringan.
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS
(Diaminodifenil sulfon) kemudoan klofazimin dan rifampicin. Pada tahun 1998
WHO menambahkan 3 obat antibiotic lain untuk pengobatan alternative yaitu
ofloksasin, minosiklin, dan klaritomisin. Sejak tahun 1951 pengobatan
tuberculosis dengan obat kombinasi ditujukan untuk mencegah kemungkinan
resistensi obaat sedangkan MDT untuk kusta baru dimulai tahun 1971.
2.11.1 Terapi Obat
a. Obat Utama :
1. DDS
Merupakan obat pertama yang dipakai sebagai monoterapi. Seringkali dapat
menyebabkan resistensi (pertama kali dibuktikan tahun 1964). Resistensi terhadap
DDS ini yang memicu dilakukannya MDT. Dapson, diamino difenil sulfon
bersifat bakteriostatik yaitu mengahalangi atau menghambat pertumbuhan bakteri.
Dapson merupakan antagonis kompetitif dari para-aminobezoic acid (PABA) dan
mencegah penggunaan PABA untuk sintesis asam folat oleh bakteri. Efek
sampingnya antara lain nyeri kepala, erupsi obat, anemia hemolitik, leucopenia,
42
dapat digunakan adalah 1x50 mg setiap hari, atau 100 mg selang sehari, atau 3 x
100 mg selama seminggu. Efek sampingnya adalah warna kecokelatan pada kulit
dan warna kekuningan pada sclera sehingga mirip ikterus. Hal tersebut disebabkan
oleh klofazimin yang merupakan zat warna dan dideposit terutama pada sel
system retikuloendotelial, mukosa, dan kulit. Obat ini menyebabkan pigmentasi
kulit yang sering merupakan masalah dalam ketaatan berobat penderita. Efek
samping hanya terjadi dalam dosis tinggi, berupa gangguan gastrointestinal yakni
nyeri abdomen, nausea, diare, anoreksia, dan vomitus. Selain itu dapat terjadi
penurunan berat badan.Perubahan warna tersebut akan mulai menghilang setelah
3 bulan obat diberikan.
4. Protionamid.
Dosis diberikan 5-10 mg/kg BB. Obat ini jarang dipakai. Distribusi dalam
jaringan tidak merata, sehingga kadar hambat minimal sukar ditentukan.
b. Obat alternatif:
1. Ofloksasin
Berdasarkan in vitro merupakan kuinolon yang paling efektif terhadap M.
leprae. Dosis tunggal dalam 22 dosis akan membunuh hingga 99,99%. Efek
43
samping adalah mual, diare, gangguan saluran cerna, gangguan saraf pusat
(insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness dan halusinasi). Penggunaan pada
anak dan ibu hamil dapat menyebabkan artropati.
2. Minosiklin
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidal lebih tinggi daripada
klaritromisin tapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis 100 mg. Efek samping
antara lain hiperpigmentasi, simtom saluran cerna dan SSP.
3. Klaritromisin
Kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal M.
leprae. Dosis harian selama 28 hari dapat membunuh 99% dan selama 56 hari
sebesar 99,99%. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus, dan diare.
Tabel 2.11 PB dgn lesi tunggal diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin)
dosis tunggal.
Rifampicin
Ofloxacin
Minocyclin
Dewasa
(50-70 kg)
600 mg
400 mg
100 mg
Anak-anak
*(5-14 tahun)
300 mg
200 mg
50 50g
Tidak dianjurkan untuk wanita hamil atau anak-anak kurang dari 5 tahun
Dewasa
Dapson
100 mg
Rifampisin
600 mg
50-70 kg
Setiap hari
Anak
50 mg
pengawasan
450 mg
10-14 tahun *
Setiap hari
Menyesuaikan dosis tepat untuk anak kurang dari 10 tahun. Misalnya, dapson 25 mg
setiap hari dan rifampisin 300 mg diberikan sebulan sekali di bawah pengawasan.
44
bulan pada akhir pengobatan. Pemeriksaan dilakukan minimal setiap tahun selama
2 tahun secara klinis dan bakterioskopis. Kalau tidak ada keaktivan baru secara
klinis dan bakterioskopis tetap negative, maka dinyatakan RFC (Release From
Control).
Dapsone
100 mg
Rifampisin
600 mg
50 mg
Clofazimin
DAN 300 mg
50-70 kg
Setiap Hari
Sebulan sekali di
Setiap
Sebulan
bawah
hari
sekali di
pengawasan
bawah
pengawasan
150 mg
Anak
50 mg
450 mg
50 mg
10-14 tahun *
Setiap hari
Sebulan sekali di
Setiap
Sebulan
bawah
hari
sekali di
pengawasan
DAN
bawah
pengawasan
Menyesuaikan dosis tepat untuk anak kurang dari 10 tahun. Misalnya, dapson 25 mg
sehari, rifampisin 300 mg diberikan sebulan sekali di bawah pengawasan, klofazimin, 50
mg diberikan dua kali seminggu, dan klofazimin 100 mg diberikan sebulan sekali di
bawah pengawasan.
*
Pasien akan dibagikan 12 strip obat, dimana setiap strip dihabiskan dalam 28
hari. Walaupun begitu, 12 strip tersebut dapat dihabiskan minimal selama 18
bulan.
Pengobatan hari pertama dilakukan dengan pengawasan oleh petugas :
kombinasi Klofazimin, Rifampisin, dan Dapson/DDS. Pengobatan hari ke-2
sampai hari ke-28 dilakukan tanpa pengawasan. Obat yang dikonsumsi pada
periode ini adalah Klofazimin dan Dapson. Pengonsumsian Klofazimin dapat
dilakukan dengan 3 cara : (1) 50 mg/ hari, (2) 100 mg/2 hari, (3) 3x100 mg per 1
minggu.
Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan secara
bakterioskopis setiap 3 bulan. Setelah pengobatan selesai, maka disebut RFT
46
(Release from treatment). Setelah RFT dilakukan tindak lanjut secara klinis dan
bakterioskopis minimal setiap tahun selama 5 tahun. Apabila negatif, maka
dinyatakan bebas dari pengamatan atau RFC (Release from control).
Namun, yang dilakukan sekarang, apabila secara klinis sudah tidak ada
keluhan, maka dapat dihentikan pemberian obat, tanpa memperhatikan
bakterioskopis.
47
Risiko relaps dapat terjadi pada pasien dengan IB sebelum pengobatan sebesar
>3. WHO menyarankan agar pasien dengan IB yang tinggi dapat diterapi lebih
dari
12
bulan,
dengan
mempertimbangkan
kontrol
gejala
klinis
dan
bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat
Tabel 2.14 Dosis Prednisone Harian Menurut Minggu Pemberian.
Minggu pemberian
1-2
40 mg
3-4
30 mg
5-6
20 mg
7-8
15 mg
9-10
10 mg
11-12
5 mg
Kalau tanpa neuritis, maka tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Anggota
gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan sedatif juga
dapat diberikan.
2.
Tingkat 1
Tingkat 2
Tingkat 1
Tingkat 2
50
yang dapat menyebabkan infeksi sekunder pada kaki. Alat pelindung diri lain
yang dapat digunakan juga adalah sarung tangan untuk tangan, dan kacamata
untuk melindungi mata. Selain itu, kebersihan dan kelembaban kulit telapak
tangan dan kaki juga harus dijaga untuk mencegah penyakit kulit yang dapat
terjadi.
2.11.6 Rehabilitasi Sosial, Psikologis, dan Vokasional
Latar belakang sosial dan budaya memainkan peranan penting dalam proses
penyakit serta pengobatan yang akan dilalui pasien. Pasien mungkin susah
menerima kenyataan dan beberapa kalangan masyarakat mungkin akan
menunjukkan penolakan terhadap pasien lepra. Untuk itu, ilmu pengetahuan,
kepercayaan dari keluarga, dukungan teman, dokter, serta peranan dokter bedah
plastik dalam mengobati lesi-lesi yang mungkin mengarah kepada stigma negatif
masyarakat akan berperan penting dalam proses penyembuhan pasien.
2.11.7 Pencegahan dan Kontrol
Strategi WHO dalam menurunkan angka morbiditas dan mortalitas lepra antara
lain
menekankan
kepentingan
pelayanan
kesehatan
yang
aksesibel,
PROGNOSIS
51
BAB III
KESIMPULAN
Kusta atau morbus Hansen adalah penyakit granulomatosa kronis yang
disebabkan oleh Micobacterium leprae, yang melibatkan kulit, sistem saraf
perifer, saluran pernapasan bagian atas, mata, dan testis.
Klasifikasi bentuk penyakit kusta yang banyak dipakai dalam bidang penelitian
adalah klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit
kusta menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis,
histopatologis, dan imunologis, yaitu tipe tuberculoid (TT), tipe borderline
tuberculoid (BT), tipe mid borderline (BB), tipe borderline lepromatosa (BL) , dan
tipe lepromatosa (LL).
Program MDT dimulai pada tahun 1981, yaitu ketika kelompok studi
kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta
dengan rejimen kombinasi yang selanjutnya dikenal sebagai rejimen MDT-WHO.
Rejimen ini terdiri atas kombinasi obat-obat DDS, Rifampisin, dan Klofazimin.
Komplikasi yang sering terjadi adalah reaksi lepra yang dapat berujung dengan
kecacatan yang menetap, dapat pula terjadi fenomena Lucio yang merupakan
52
reaksi kusta yang sangat berat dan terjadi pada kusta tipe lepromatosa non-nodular
difus. Oleh karena itu, pencegahan harus segera dilakukan untuk menghindari
terjadinya kecacatan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hiswani. (2001). Kusta Salah Satu Penyakit Menular yang Masih di
Indonesia. Kesehatan, 1-5.
2. Ramos, J. M., Martin, M. M., Reyes, F., Lemma, D., Belinchon, I., &
Gutierrez, F. (2012). Gender Differential on Characteristics and Outcome of
Leprosy patients Admitted to a Long-term Care Rural Hospital in SouthEastern Ethiopia. International Journal For Equity in Health, 1-5.
3. Wolff, K., Johnson, R. A., & Suurmond, D. (2007). The Color Atlas and
Synopsis of Clinical Dermatology. USA: Mc Graw Hill.
4. WHO. (2012, Agustus 24). Global leprosy situation, 2012. Weekly
Epidemiological Record, 317-328.
5. Widodo, A. A., & Menaldi, S. L. (2012, November 11). Patients,
Characterictics of Leprosy. Indon Med Assoc, 62, 424.
6. Bryceson A, Pfaltzgraff RE. Leprosy. Edisi ke-3. Edinburg: Churchil
Livingstone; 1990.
7. Amirudin MD, Hakim Z, Darwis E. Diagnosis penyakit kusta. Dalam : Daili
ES, Menaldi SL, Ismiarto SP, Nilasari H, editor. Kusta. Kelompok Studi
Morbus Hansen Indonesia. Makasar, 2003. h. 12 32.
53
8. Rees RJW, Young DB. The microbiology of leprosy. Dalam : Hasting RC,
editor. Leprosy. Edisi ke-2. Edinburg: Churchil Livingstone; 1994. h.49-83
9. Scollard, D. M., Adams, L. B., Gillis, T. P., J. L. Krahenbuhl, R. T., &
Williams, D. L. (2006). The Continuing Challenges of Leprosy. Clinical
Microbiology Reviews, 339-372.
10. Levinson, W. (2010). Medical Microbiology & Immunology. USA: McGrawHill Companies.
11. Ridley DS, Jopling WH. Classification of leprosy according to immunity: a
five group system. Int J Lep 1996; 34: 255-77
12. Buku pedoman nasional pengendalian penyakit kusta. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Jakarta, 2007
13. Kumar, Abbas, Fausto, & Mitchell. (2007). Basic Pathology. USA: Elsevier.
14. Noon, L. A., & Lloyd, A. C. (2006). Treating leprosy. USA: Science Direct.
15. Groenen, G., & Saunderson, P. (2002). How to Diagnose and Treat Leprosy?
London: The International Federation of Anti-Leprosy Associations.
16. A.Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe Dili, Sri Linuwih Menaldi.
Kusta. Dalam : Djuanda,Adhi dkk.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Edisi Kelima Cetakan Kelima. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2010;73-88
17. Rea TH, Modlin RL. 1999. Leprosy : Fitzpatricks Dermatology in General
Medicine. 5th ed. New York : McGraw-Hill. p. 2306-18.
18. Pfaltzgraff RE, Ramu G. Clinical leprosy. Dalam : Hasting RC, editor.
Leprosy. Edisi ke-2. Edinburg: Churchil Livingstone; 1994. h. 237-87.
19. Kumar B, Dogra S. Leprosy : A disease with diagnostic and management
challenges. Indian J. Dermatol Venereol Leprol. 2009; 75(2): 111-5.
20. Agusni I, Menaldi SL.Beberapa prosedur diagnostik baru pada penyakit kusta.
Dalam : Daili ES, Menaldi SL, Ismiarto SP, Nilasari H, editor. Kusta.
Kelompok Studi Morbus Hansen Indonesia. Makasar, 2003. h.59-65.
54