Anda di halaman 1dari 31

Case Report

SINDROM STEVENS-JOHNSON

Disusun oleh:

SindySekarlina (1510070100053)

Alma Julita (1610070100074)

HamimahRisfhahani (1610070100116)

Preseptor:

dr. Yola Fadillah, Sp.DV

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BAITURRAHMAH


BAGIAN KULIT DAN KELAMIN
RSUD DR. ACHMAD MOCHTAR
BUKITTINGGI
2020

KATA PENGANTAR

1
Assalamualaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah segalapujidansyukur kami panjatkan kehadirat Allah
SWT.Yangtelahmelimpahkanrahmatdanhidayah-Nya kepada kami sehingga kami
dapatmenyelesaikan laporan kasus kami yang berjudul “Sindrom Stevens
Johnson”.
Kami ucapkanterimakasih yang
sebesarbesarnyakepadapembimbingkepaniteraan kulit dan kelamin dr.
YolaFadillah, Sp.DVatasbimbinganselama kepaniteraan. Kami menyadaribahwa
dalam pembuatan makalah inibanyakterdapatkekuranganolehkarenaitukritikdan
saran yang membangundiharapkan demi perbaikanpenyusunan makalah ini.

Semogapenulisan laporan kasus inidapatbergunabagi kami


sebagaipenulisdanseluruhpihak yang membaca makalah ini.
Wassalamualikum Wr. Wb.

Bukittinggi,19Desember2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I. PENDAHULUAN 1
1.1Latarbelakang 1
1.2Tujuan 1
1.2.1 Tujuan Umum 1
1.2.2 Tujuan Khusus 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2
2.1Definisi 2
2.2Epidemiologi 2
2.3Etiologi 2
2.4Etiopatogenesis 4
2.5Patogenesis 4
2.6Gejala Klinis 5
2.7Pemeriksaan Penunjang 8
2.5Diagnosis 9
2.6Diagnosis Banding 9
2.7Penatalaksanaan 11
2.5Komplikasi 16
2.6Prognosis 16
BAB III. LAPORAN KASUS 18
BAB IV. PENUTUP 24
4.1Kesimpulan 24
DAFTAR PUSTAKA

3
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Diagnosis Penyakit dalam Kelompok Epidermal Necrolysis


berdasarkan luas permukaan tubuh yang terlibat 7

Gambar 2.2Gambaran generalized bullous fixed drug eruption (FDE) 10

Gambar 2.3Gambaran Toxic Epidermal Necrolisis/ TEN 10

Gambar 2.4Gambaran staphylococcal scalded skin syndrome 11

4
DAFTAR TABEL

Tabel 1Skor SCORTEN 17

5
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) merupakan kelainan pada kulit yang serius,
di mana kulit dan selaput lendir bereaksi keras terhadap obat atau infeksi.
Seringkali, Sindrom Stevens-Johnson diawali dengan gejala mirip flu, diikuti
dengan ruam merah atau keunguan yang menyakitkan yang menyebar dan lecet,
akhirnya menyebabkan lapisan atas kulit mati.1
Penyebab pasti dari SSJ saat ini belum diketahui namun ditemukan
beberapa hal yang memicu timbulnya SSJ seperti obat-obatan atau infeksi
virus.Mekanisme terjadinya sindrom pada SSJ adalah reaksi hipersensitif terhadap
zat yang memicunya.2
Sindrom Stevens-Johnson adalah suatu kondisi medis darurat yang
biasanya membutuhkan perawatan di rumah sakit. Perawatan berfokus pada
menghilangkan penyebab yang mendasari, mengontrol gejala dan mengurangi
komplikasi.1

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
a. Melengkapi syarat Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD) Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2020.
b. Untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di bagian kulit
dan kelamin di RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2020.
1.2.2 Tujuan Khusus
a. Bagi pembaca agar dapat menambah pengetahuan untuk dapat lebih
memahami tentang Sindrom Stevens-Johnson (SJJ).
b. Bagi penulis sebagai sarana untuk menerapkan ilmu yang telah dipelajari
dengan berbagai teori dan sumber yang ada.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan reaksi mukokutan akut yang
mengancam nyawa, ditandai dengan nekrosis epidermis yang luas sehingga
terlepas.1
Steven-Johnson’s Syndrome (SJS) merupakansuatupenyakitakut yang
dapat mengancam jiwa yang ditandai dengan nekrosis dan pelepasan epidermis
yang dikenaldengantriaskelainan pada kulitvesikobulosa, mukosaorifisium dan
mata disertai gejala umum berat.3
NamainiberasaldariDr. Albert Mason StevensdanDr. Frank Chambliss
Johnson, dokteranak di Amerikapadatahun 1922 bersama-
samamempublikasikankumpulangejalainidalamAmerican Journal Penyakit Anak.4
Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu, eritema poliform
bulosa, sindrom mukokutaneo-okular, dermatostomatitis, eritema eksudativum
multiform mayor, eritema multiformis tipe Herba, dan ektodermosis erosiva
pluriorifisialis.3,5,6

2.2 Epidemiologi
Secaraumum insiden SSJ adalah 1-6 kasus/juta penduduk/tahundan angka
kematian SSJ adalah 5%-12%. Penyakit ini dapatterjadipada semua usia, terjadi
peningkatan risiko pada usia diatas 40 tahun. Perempuan lebih sering terkena
dibandingkan laki laki dengan perbandingan 1,5:1. Data dari ruang rawat inap
RSCM menunjukkan bahwa selama tahun 2010-2013 terdapat 57 kasus dengan
rinciannya yaitu SSJ 47,7%, overlap SSJ-NET 19,3% dan NET 33,3%.1

2.3 Etiologi
Penyebab yang pasti belum diketahui, dikatakan multifaktorial. Ada yang
beranggapan bahwa sindrom ini merupakan eritema multiforme yang berat dan
disebut eritema multiforme mayor, sehinga dikatakan mempunyai penyebab yang

7
sama. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan timbulnya sindrom ini antara
lain:5
2.1 Infeksi
 Virus
Sindrom Stevens-Johnson dapat terjadi pada stadium permulaan dari
infeksi saluran nafas atas oleh virus Pneumonia. Hal ini dapat terjadi pada
Asian flu, Lympho Granuloma Venerium, Measles, Mumps dan vaksinasi
Smalpox virus. Virus-virus Coxsackie, Echovirus dan Poliomyelits juga
dapat menyebabkan Sindroma Stevens- Johnson.
 Bakteri
Beberapa bakteri yang mungkin dapat menyebabkan Sindroma Stevens-
Johnson ialah Brucelosis, Dyptheria, Erysipeloid, Glanders, Pneumonia,
Psitacosis, Tuberculosis, Tularemia,Lepromatous Leprosy atau Typhoid
Fever.
 Jamur
Cocidiodomycosis dan Histoplasmosis dapat menyebabkan Eritema
Multiforme Bulosa, yang pada keadan berat juga dikatakan sebagai
Sindroma Stevens-Johnson.
 Parasit
Malaria dan Trichomoniasis juga dikatakan sebagai agen penyebab.

2.2 Obat
Berbagai obat yang diduga dapat menyebabkan Sindrom Stevens-Johnson
antara lain adalah penisilin dan derivatnya, streptomysin, sulfonamide, tetrasiklin,
analgesik/antipiretik (misalnya derivat salisilat, pirazolon, metamizol, metampiron
dan paracetamol), digitalis, hidralazin, barbiturat (Fenobarbital), kinin antipirin,
chlorpromazin, karbamazepin dan jamu-jamuan.

2.3 Pasca vaksinasi


BCG, Smalpox dan Poliomyelits.

8
2.4 Etiopatogenesis
Pada lesi SSJ-NET terjadi reaksi sitotoksik terhadap keratinosit, sehingga
mengakibatkan apoptosis luas. Reaksi sitotoksik yang terjadi, melibatkan sel NK
dan sel limfosit T CD8+ yang spesifik terhadap obat penyebab. Berbagai sitokin
terlibat dalam patogenesis penyakit ini, yaitu: IL-6, TNF-y, IL-18, Fas-L,
granulisin, perforin, granzim-B.1
Sebagian besar SSJ-NET disebabkan karena alergi obat. Berbagai obat
dilaporkan merupakan penyebab SSJ-NET adalah sulfonamida, anti-konvulsan
aromatik, alopurinol, anti-inflamasi nonsterioid dan nevirapin. Pada beberapa obat
tertentu, misalnya karbamazepin dan alopurinol, faktor genetik yaitu sistem HLA
berperan pada proses terjadinya SSJ-NET. Infeksi juga dapat menjadi penyebab
SSJ-NET, namun tidak sebanyak pada kasus eritema multiforme; misalnya infeksi
virus, dan mycoplasma.1

2.5 Patogenesis5
Stevens Johnson Syndrome merupakan kelainan hipersensitivitas yang
dimediasi kompleks imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus dan
keganasan. Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi
hipersensitif tipe III dan IV.
Reaksi hipersensitif tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen
antibodi yang mikro presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen.
Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan enzim dan
menyebab kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Hal ini terjadi
sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap di
dalam pembuluh darah atau jaringan.
Antibiotik tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap
dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke
jaringan menyebabkan terbentuknya komplek antigen antibodi ditempat tersebut.
Reaksi tipe ini mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga
terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya reaksi tersebut.
Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak
sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel, serta penimbunan sisa sel. Hal ini
menyebabkan siklus peradangan berlanjut.

9
Reaksi hipersensitifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi
berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan
sebagai reaksi radang. Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan
sel T. Penghasil limfokin atau sitotoksik atau suatu antigen sehingga terjadi
penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini
bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk
terbentuknya.
Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan
IgM, IgA, C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi. Antigen
penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat merangsang
respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar. Hapten atau
karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel obat atau
metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut
(struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat infeksi, inflamasi,
atau proses metabolik).
Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa,
serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi
inflamasi yang terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T
serta mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai
kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat
aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya. Adanya reaksi imun sitotoksik
juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang akhirnya menyebabkan kerusakan
epidermis.
Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga
terjadi seperti kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan, stress
hormonal diikuti peningkatan resistensi terhadap insulin, hiperglikemia dan
glukosuria, kegagalan termoregulasi, kegagalan fungsi imun, dan infeksi.5

2.6 Gejala Klinis5


Gejala awal dari toxic epidermal necrolysis (TEN) dan Stevens-Johnson
Syndrome (SJS) mungkin tidak spesifik dan termasuk gejala seperti demam, mata
menyengat dan ketidaknyamanan setelah menelan.
Adapun 3 kelainan utama yang muncul pada SJS, antara lain:

10
a. Kelainan pada kulit
Kelainan yang dapat terjadi pada kulit penderita sindrom Stevens-Johnson,
antara lain timbulnya ruam yang berkembang menjadi eritema, papula, vesikel,
dan bula. Kemudian vesikel dan bula pecah sehingga akan terjadi erosi yang luas.
Selain itu, makula purpura yang banyak dan luas juga ditemukan pada
bagian tubuh penderita Sindrom Stevens-Johnson. Lesi yang muncul dapat pecah
dan meninggalkan kulit yang terbuka. Hal tersebut menyebabkan tubuh rentan
terhadap infeksi sekunder. Pengelupasan kulit umum terjadi pada sindrom ini,
ditandai dengan tanda Nikolsky positif. Pengelupasan paling banyak terjadi pada
area tubuh yang tertekan seperti pada bagian punggung dan bokong. Apabila
pengelupasan menyebar kurang dari 10% area tubuh, maka termasuk sindrom
Stevens-Johnson. Jika 10-30% disebut Stevens Johnson Syndrome – Toxic
Epidermal Necrolysis (SJS-TEN). Serta jika lebih dari 30% area tubuh, maka
disebut Toxic Epidermal Necrolysis (TEN).

a b c d

Gambar 2.1 : a. Awal: simetris pd wajah, tubuh atas, ekstremitas


proksimal. Lesi eritematosa, dusky red, makula purpura, bentuk
ireguler, yang menyatu secara progresif lesi target atipikal dengan
warna gelap ditengahnya. b. Meluas dalam bbrp jam s/d hari. lesi
vesikel / bula yg mudah pecah, warna kusam pada atap lepuhan karna
nekrosis epidermis. c. Erupsi lanjutan. Nikolsky (+) = epidermolisis,
lepuhan dan pengelupasan epidermis menyebabkan erosi konfluen yang
besar. d. Full-blown epidermal necrolysis daerah erosif luas yang
menyerupai lepuhan terbakar

b. Kelainan pada mukosa


Kelainan pada mukosa sebagian besar melibatkan mukosa mulut,
kemudian lubang alat genital, sedangkan di lubang hidung dan anus jarang

11
terjadi.. Adanya kelainan pada mukosa dapat menyebabkan eritema, edema,
pengelupasan, pelepuhan, ulserasi, dan nekrosis. Pada mukosa mulut, kelainan
dapat berupa stomatitis pada bibir, lidah, dan mukosa bukal mulut. Stomatitis
tersebut diperparah dengan timbulnya bula yang dapat pecah sewaktu-waktu. Bula
yang pecah dapat menimbulkan krusta atau kerak kehitaman terutama pada bibir
penderita. Selain itu lesi juga dapat timbul pada mukosa orofaring, percabangan
bronki trakeal, dan esofagus, sehingga menyebabkan penderita sulit untuk
bernapas dan mencerna makanan. Serta pada saluran genitalurinaria sehingga
menyulitkan proses mikturia atau buang air kecil.

c. Kelainan Pada Mata


Kelainan pada mata yang terjadi dapat berupa hiperemia konjungtiva.
Kelopak mata dapat melekat dan apabila dipaksakan untuk lepas, maka dapat
merobek epidermis. Erosi pseudomembran pada konjungtiva juga dapat
menyebabkan sinekia atau pelekatan antara konjungtiva dan kelopak mata.
Seringkali dapat pula terjadi peradangan atau keratitis pada kornea mata.

Gambar 2.2 Diagnosis Penyakit dalam Kelompok Epidermal Necrolysis


berdasarkan luas permukaan tubuh yang terlibat

2.7 Pemeriksaan Penunjang5,6

12
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik kecuali biopsi yang
dapat menegakkan diagnosis SSJ. Pada pemeriksaan darah lengkap dapat
menunjukkan anemia, limfopenia dan jumlah leukosit yang normal atau
leukositosis nonspesifik, eosinophilia jarang dan neutropenia dapat terjadi pada
1/3 pasien.
Peningkatan leukositosis yang berat mengindikasikan adanya infeksi
bakteri yang lainnya. Kultur darah dan kulit sangat dianjurkan karena adanya
insidensi infeksi bakteri yang serius dan sepsis yang berhubungan dengan
morbiditas dan mortalitas. Evaluasi terhadap frekuensi pernafasan dan oksigenasi
darah adalah langkah pertama untuk dilakukan di Instalasi Gawat Darurat (IGD).
Segala perubahan harus diperiksa secara menyeluruh melalui pengukuran level
gas darah arteri. Tingkat serum bikarbonat dibawah 20 μm mengindikasikan
prognosis yang buruk. Pada umumnya disebabkan oleh alkalosis pernafasan yang
terkait dengan keterlibatan spesifik bronkus serta sedikit pengaruh asidosis
metabolik.
Kelainan hasil pemeriksaan laboratorium yang ditemukan pada SSJ/NET
adalah gangguan keseimbangan elektrolit, hipoalbuminemia, hipoproteinemia,
insufisiensi ginjal, azotemia. prerenal, leukositosis ringan, anemia, neutropenia,
sedikit peningkatan enzim hepar dan amilase, hiperglikemia. Serum urea nitrogen
> 10mmol/L dan glukosa > 14mmol/L dianggap penanda keparahan penyakit.
Seluruh kasus yang disangkakan SSJ dan NET harus dikonfirmasi melalui
pemeriksaan biopsi kulit untuk histopatologi dan pemeriksaan
immunofluoresence.
Pada pemeriksaan histopatologi dapat ditemukan gambaran:

a. infiltrate sel monokuler di sekitar pembuluh-pembuluh darah dermis


superficial
b. Edem dan ekstravasasi sel merah didermis papilar
c. Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel
subepidermal
d. Nekrosis epidermal dan kadang-kadang di adneksa, spongiosis dan
edema intrasel di epidermis.6

2.8 Diagnosis6

13
Diagnosis didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan pemeriksaan
klinis yang teliti. Pertanyaan mengenai riwayat mengkonsumsi obat sebelum
timbul keluhan ataupun pernah menglami riwayat yang sama sebelumnya yang
dicurigai berdasarkan pada kelainan kulit yang ditemukan. Temuan pada
pemeriksaan fisik yang khas berupa eritema, purpura, vesikel dan bula yang
mudah pecah yang terjadi pada kulit, selaput lendir dan mata. Serta luas
penyebarannya yang <10% LPB tanpa disertai keadaan umum yang buruk dapat
kita curigai pasien mengalami SSJ.

Ada 3 penyakit yang sangat mirip dengan SSJ, yaitu Toxic Epidermolysis
Necrotikans (TEN), eritema multiform (EM) dan Staphylococcal Scalded Skin
Syndrome (SSSS). TEN dibedakan dengan SSJ berdasarkan luas lesi pada kulit.
TEN apabila luas lesi >30% permukaan tubuh, SSJ bila luas lesi <10% luas
permukaan tubuh dan bila luas lesi 10- 30% luas permukaan tubuh didefinisikan
sebagai SSJ/TEN. EM dan SSJ sering dianggap sama oleh karena pada kedua
penyakit tersebut didapatkan lesi dengan predileksi yang sama, yaitu pada kulit
dan mukosa oral. Perbedaan EM dengan SSJ dapat dilihat mulai dari faktor
penyebab. Infeksi herpes simpleks merupakan penyebab tersering EM, berbeda
dengan SSJ yang lebih sering disebabkan oleh obat.6

2.9 Diagnosis Banding7,8,9


a. TEN ( Toxic Epidermal Necrolisis)
Gejala SSJ hampir mirip sekali dengan TEN ( Toxic Epidermal Necrolisis)
namun pada TEN gejalanya lebih berat ditandai dengan kesadaran meurun
(soporous-comatosa), terjadi epidermolisis dan dijumpai tanda Niklosksy sign
positif.
Pada TEN jumlah lesi target yang berupa :
 Infiltrat sel mononuklear disekitar pembuluh darah dermis superfisial
 Udem dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papiler
 Degenerasi hidropik lamina basalis sampai terbentuk vesikel supepidermal
disertai bula, dan lepasnya epidermis >30% dari luas permukaan Badan
(LPB) sedangkan pada SSJ <10% dari LPB.

14
Gambar 2.3 Gambaran Toxic Epidermal Necrolisis/ TEN7
b. Generalized bullous fixed drug eruption
Generalized bullous fixed drug eruption (FDE) merupakan bentuk luas
FDE yang dicirikan sebagai makula hiperpigmentasi yang banyak, besar, sirkuler
dan nyeri dengan bula kendor. Distribusi lesi sering simetris dengan tempat
predileksinya di ekstremitas, genital dan daerah intertrigious. Lesi terjadi cukup
dini (10 jam setelah pemberian obat) dan muncul biasanya pada tempat yang sama
seperti lesi di episode sebelumnya. Kelinan dimukosa biasanya jarang terkena dan
gejala konstitusional biasanya ringan. Pemulihan cepat dan sempurna sering
terjadi tanpa gejala sisa. Pemberian obat yang bisa menimbulkan keadaan ini
adalah obat antibotik golongan sulfonamides, barbiturates, kuinin dan butazon.
Pada hasil pemeriksaan histologi, SSJ dan TEN memperlihatkan gambaran
limphohistiocytik cenderung berada sekitar pleksus superfisialis. Sedangkan FDE,
infiltrat peradangan (neutrofil dan eusinofil) berada di pleksus superfisialis dan
profunda.

15
Gambar 2.4 Gambaran generalized bullous fixed drug eruption (FDE)8

c. Staphylococcal scalded Skin Syndrome (SSSS)


Disebabkan oleh infeksi bakteri dan lebih sering menyerang anak-anak dan
bayi. Gambaran ruamnya berupa vesikel dan bula dengan ukuran bervariasi dari
numular sampai plakat. Epidermoisis (+) tetapi jarang mengenai selaput lendir.
Dalam penatalaksanaannya diberi terapi antibiotik dan kortikosteroid merupakan
kontraindikasi.

Gambar 2.5 Gambaran staphylococcal scalded skin syndrome9

16
2.8 Penatalaksanaan
Manajemen pasien harus dikerjakan dengan cepat dan tepat. Hal penting
yang harus dilakukan mendiagnosis dengan cepat, perawatan khusus dan
multidisiplin tim pada intensive care unit (ICU) atau unit luka bakar untuk
mencegaah infeksi sekunder. Perawatan suportif termasuk menjaga keseimbangan
hemodinamik dan mencegah komplikasi yang mengancam jiwa.11
2.8.1 Penatalaksanaan Umum
Adapun prinsip – prinsip utama perawatan suportif, selain menghentikan
pemberian obat penyebab, dilakukan perawatan luka, manajemen cairan dan
elektrolit, dukungan nutrisi, perawatan mata, manajemen suhu, kontrol nyeri dan
pemantauan pengobatan infeksi.12
a. Penghentian Obat Penyebab
Diagnosis dini dengan pengenalan dini dan penghentian segera dari segala
obat-obatan yang diduga menjadi penyebab sangat menentukan hasil akhir.
Morbiditas dan mortalitas meningkat jika obat-obatan yang menjadi penyebab
terlambat dihentikan. Ignacio Garcia dkk melakukan penelitian, menunujukkan
bahwa angka kematian lebih rendah apabila obat penyebab dengan waktu paruh
eliminasi yang pendek dihentikan tidak lebih dari 1 hari ketika bula atau erosi
muncul. Pasien yang mengkonsumsi obat penyebab dengan waktu paruh yang
panjang, memiliki resiko kematian yang lebih tinggi.11

b. Menjaga Keseimbangan Cairan, Termoregulasi, dan Nutrisi


SSJ/NET dihubungkan dengan hilangnya cairan yang signifikan
dikarenakan erosi, yang menyebabkan hipovolemia dan ketidakseimbangan
elektrolit. Penggantian ulang cairan harus dimulai secepat mungkin dan
disesuaikan setiap harinya. Jumlah infus biasanya kurang dari luka bakar pada
tingkat keparahan yang sama, karena interstisial edema tidak dijumpai. Aliran
vena perifer lebih disukai jika dimungkinkan, karena bagian tempat masuk aliran
sentral sering melibatkan pelepasan epidermis dan mudah terinfeksi. Hal lain yang
perlu dijaga adalah temperatur lingkungan, sebaiknya dinaikkan hingga 28˚C
hingga 30˚C - 32°C untuk mencegah pengeluaran kalori yang berlebihan karena
kehilangan epidermis. Penggunaan pelembab udara saat tidur meningkatan rasa
nyaman pasien.

17
Pasien SSJ dan NET mengalami status katabolik yang tinggi sehingga
memerlukan tambahan nutrisi. Kebutuhan energi dan protein berhubungan dengan
luas area tubuh yang terlibat. Terapi enteral lebih diutamakan daripada parenteral
karena dapat ditoleransi dengan lebih baik dan dapat memberikan pemasukan
kalori lebih banyak, dapat menggunakan nasogastric tube apabila terdapat lesi
mukosa mulut. Sedangkan terapi parenteral membutuhkan akses vena sentral dan
meningkatkan resiko sepsis.13

c. Perawatan Luka
Pengobatan topikal diberikan untuk mengurangi kehilangan cairan,
elektrolit, dan mencegah terjadinya infeksi. Debridement dilakukan dengan
pemberian analgetik dengan derivat morfin sebelumnya. Kulit dibersihkan dengan
antiseptic yang ringan untuk mengurangi pertumbuhan bakteri. Pemberian silver
sulfodiazine dapat juga mengenhentikan pertumbuhna bakteri dan mencegah
bakteri menyebar ke kulit sekitar pada erosi dan ekskoriasi kulit.13

d. Perawatan Mata dan Mulut


Komplikasi oftalmik adalah satu dari permasalahan tersering terhadap
SSJ/NET. Sekitar 80% pasien yang dihospitalisasi mengalami komplikasi ocular
akut yang sama pada SSJ maupun NET dengan keterlibatan berat sebesar 25%.
Gejala sisa kronis terjadi pada sekitar 35% pasien, biasanya disebabkan oleh skar
konjungtiva. Permasalahan residual pada mata yang paling sering dilaporkan
adalah fotosensitivitas kronis dan mata kering. Namun pada beberapa pasien
penyakit ocular kronis bermanifestasi sebagai kegagalan permukaan mata,
inflamasi episodik rekuren, skleritis, atau sikatriks konjungtiva progresif yang
menyerupai pemfigoid membran mukosa. Perawatan mata meliputi pembersihan
kelopak mata dan memberi pelumas setiap hari dengan obat tetes atau salep
mata.11
Mulut harus dibersihkan beberapa kali dalam sehari untuk menjaga
kebersihan rongga mulut, berulang-ulang kumur-kumur dengan antiseptik dan
mengoleskan topikal anestesi seperti xylocaine, lignocaine sebelum makan
sehingga dapat mengurangi sakit waktu menelan. Tindakan ini hanya
direkomendasikan bila penderita tidak mengalami pharyngealdysphagia. Hindari

18
makanan yang terlalu panas atau dingin, makanan yang asam dan kasar.
Sebaiknya makanan yang halus dan basah sehingga tidak mengiritasi lesi pada
mulut. Dapat diberikan kanalog in urabase untuk menghilangka sementara gejala
peradangan mukut yang menimbulkan luka, betadine kumur untuk antiseptic
rongga mulut, serta pmberian krim urea 10% jika terdapat krusta tebal pada
mulut.12

e. Perawatan Vulvovagina
Pencegahan pada vulvovaginal dengan memeriksakan ginekologi dini
harus dilakukan pada semua pasien wanita penderita SJS/NET. Tujuan dari
pengobatan ini untuk mencegah keterlibatan vagina yang membentuk adhesi dan
aglutinasi labial serta mencegah adenosis vagina ( bila dijumpai keterlibatan
metaplastik serviks / endometrium, epitel kelenjar divulva atau vagina ).
Pencegahan dengan memberikan kortikosteroid intravaginal diterapkan dua kali
sehari pada pasien dengan lesi ulseratif sampai resolusi fase akut penyakit.
Pemberian kortikosteroid topical ini disertai dengan krim antijamur topical untuk
mencegah kandidiasis vagina.12

2.8.2 Penatalaksanaan Khusus


a. Kortikosteroid Sistemik
Kortikosteroid berperan sebagai anti inflamasi, imunosupresif dan anti
apoptosis. Kortikosteroid juga mempunyai efek anti-apoptosis pada banyak
jaringan termasuk kulit dengan menghambat aktivitas Fas-FasL.12
Jika keadaan umum pasien baik dan lesi tidak menyeluruh maka cukup
diobati dengan prednison 30-40 mg sehari. Kalau keadaan umum buruk dan lesi
menyeluruh maka harus diobati dengan cepat dan tepat, serta pasien harus dirawat
inap. Penggunaan kortikosteroid merupakan tindakan life-saving, yaitu berupa
dexametason secara intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Sebagai
contoh seorang pasien SSJ yang berat harus dirawat inap dan diberikan
dexametason 6x5 mg IV. Biasanya setelah beberapa hari (2-3 hari) masa krisis
telah terlewati, keadaan membaik dan tidak timbul lesi baru. Dosisnya segera
diturunkan secara tepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg
sehari lalu dapat digantikan dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisolon

19
dengan dosis 20 mg sehari; sehari kemudian diturunkan menjadi 10 mg kemudian
obat tersebut dihentikan. Jadi lama pengobatan kira-kira 10 hari.
Selain dexametason dapat digunakan metilprednisolon dengan dosis setara
mengingat efek sampingnya yang lebih sedikit karna merupakan kortikosteroid
golongan kerja sedang, akan tetapi harganya lebih mahal. Dengan dosis
kortikosteroid setinggi itu, maka imunitas pasien akan berkurang karena itu perlu
diberikan antbiotik untuk mencegah infeksi.

b. Antibiotik
Pasien diberikan antibiotik apabila terdapat tanda-tanda klinis infeksi.
Tanda-tanda tersebut antara lain perubahan status mental, mengigil, hipoterimia,
menurunnya pengeluaran urin dan penurunan kondisi klinis. Selain itu juga
terdapat peningkatan bakteri pada kultur kulit. Kultur rutin dari kulit, darah, urin,
dan kanula intravascular sangat disarankan. Penyebab utama dari sepsis pada
pasien SSJ/NET adalah Staphylococus aureus dan Pseudomonas aeruginosa.
Spesies Staphylococus yang dikultur dari darah biasanya sama dengan yang
dikultur dari kulit.14
Antbiotik yang dipilih hendaknya yang jarang menyebabkan alergi,
bersprektrum luas, dan tidak atau sedikit nefrotoksik. Hendaknya antibiotik yang
diberikan tidak segolongan atau memiliki rumus yang mirip dengan antibiotik
yang dicurigai menyebabkan alergi untuk mencegah sensitisasi silang. Contoh
obat yang dapat diberikan ciprofloksasin 2x400 mg Intravena, klindamisin yang
efektif untuk kuman yang an-aerob dengan dosis 2x600 mg intravena sehari dan
ceftriaxon 2 gr intravena sehari 1x1.
Pada penggunaan kortikosteroid, tappering off hendaknya dilakukan cepat
karena umumnya penyebab SSJ adalah eksogen. Bila tappering off tidak lancar,
perlu dipikirkan mungkin antibiotik yang diberikan sekarang juga menyebabkan
alergi, sehingga masih timbul lesi baru atau kemungkinan penyebabnya adalah
infeksi sehingga kultur darah perlu dikerjakan.

Pada waktu penurunan dosis, mungkin dapat timbul miliaria kristalina. Hal
ini adalah wajar, dosis kortikosteroid tetap harus diturunkan. Hal lain yang perlu
diperhatikan adalah mengatur keseimbangan cairan, elektrolit dan nutrisi terlebih

20
pada pasien yang sukar menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan dan pada
kesadaran menurun. Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya dektrose 5%, Nacl
9%, dan Ringel Laktat berbanding 1:1:1 dalam satu labu yang diberikan 8 jam
sekali. Jika diberi dengan terapi tersebut masih belum terdapat perbaikan, maka
dapat dilakukam transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari. Efek trafusi ini
sebagai imunorestorasi karena mengandung sitokin dan leukosit yang
meninggikan daya tahan tubuh.

Pada kasus purpura luas dapat diberikan vitamin C 500 mg atau 1000 mg
sehari intravena. Terapi topikal yang dapat diberikan adalah krim sulfodiazin-
perak yang dapat diberikan pada daerah yang erosi dan ekskoriasi, kenalog in ora
base dan betadine gargle untuk lesi dimulut, emolien seperti krim urea 10% untuk
krusta tebal kehitaman pada bibir.
Sindrom Steven-Johnson adalah reaksi yang gawat. Bila tidak diobati
dengan baik, reaksi ini dapat menyebabkan kematian, umumnya sampai 35%
orang yang mengalami TEN dan 5-15% orang dengan SSJ. Walaupun angka ini
dapat dikurangi dengan pengobatan yang baik sebelum gejala menjadi terlalu
gawat. Reaksi ini juga dapat menyebabkan kebutaan total, kerusakan pada paru,
dan beberapa masalah lain yang tidak dapat disembuhkan.

2.9 Komplikasi9
- Mata : Ulserasi kornea, uveitis anterior, panopthalmitis, kebutaan.
- Gastroenterology : Striktur esophagus
- Genitourinary : Renal tubular nekrosis, gagal ginjal.
- Pulmonary : bronkopneumonia
- Kulit : Pembentukan skar, infeksi sekunder
- Infeksi sistemik : Sepsis
- Kehilangan cairan tubuh : Shock.

2.10 Prognosis
Sindrom Steven-Johnson adalah penyakit dengan morbiditas yang tinggi,
yang berpotensi mengancam nyawa. Tingkat mortalitas adalah 5%, jika ditangani
dengan cepat dan tepat, maka prognosis cukup memuaskan.4

21
Lesi biasanya akan sembuh dalam 1-2 minggu, kecuali bila terjadi infeksi
sekunder. Sebagian besar pasien sembuh tanpa gejala sisa.9
Bila terdapat purpura yang luas dan leukopenia prognosisnya lebih buruk.
Pada keadaan umum yang buruk dan terdapat bronkopneumonia, dapat
menyebabkan kematian.10 Pengembangan gejala sisa yang serius, seperti
kegagalan pernafasan, gagal ginjal, dan kebutaan, menentukan prognosis. Sampai
dengan 15% dari semua pasien dengan sindrom Stevens-Johnson (SSJ) meninggal
akibat kondisi ini. Bakteremia dan sepsis meningkatkan resiko kematian.9
Nilai SCORTEN merupakan sejumlah variable yang digunakan untuk
meramalkan faktor risiko terjadinya kematian pada SSJ dan dan juga pada TEN.9

Tabel 1. Skor SCORTEN.9


Faktor prognosis Skor mortalitas
 Umur > 40 tahun  SCORTEN 0-1 > 3.2%
 Keganasan  SCORTEN 2 > 12.1%
 Denyut jantung > 120 x/menit  SCORTEN 3 > 35,3%
 Persentase detasemen epidermis >10  SCORTEN 4 > 58.3%
%  SCORTEN 5 atau lebih >
 BUN level >10 mmol/L 90%
 Kadar glukosa serum > 14 mmol / L
 Kadar bikarbonat < 20 mmol / L

22
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IdentitasPasien
Nama :Ny. X
Umur : 25 Tahun
JenisKelamin : Perempuan
Alamat : Bukittinggi

3.2 Anamnesa
3.2.1 KeluhanUtama
Seorangpasien wanita berusia25tahundatang ke IGD RSUD
Dr.AchmadMochtarBukittinggi dengan keluhan utama berupa lepuh-lepuh
kemerahan yang terasa gatal dan perih pada hampir seluruh bagian tubuh.

3.2.2 RiwayatPenyakitSekarang
 Bercak-bercak merah gatal disertai lepuh sejak 3 hari yang lalu di wajah.
Keluhan menjadi semakin bertambah banyak.
 Keluhandisertailukalecet pada bibir dan mulut
 Keluhan juga disertai dengan mata merah berair.
 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien demam dan batuk, kemudian
pasien meminum obat kotrimoksazol dan parasetamol yang dibeli sendiri
oleh pasien.
 Sesaknafasdisangkal.
 BAK nyeridisangkal.
 BAB nyeri disangkal

3.2.3 RiwayatPenyakitDahulu
 Belumpernahsakitsepertiinisebelumnya

3.2.4 RiwayatPenyakitKeluarga
 Tidakadakeluargapasien yang menderitapenyakitsepertiini.

3.2.5 RiwayatPengobatan

23
 Pasien belum mengobati keluhannya
 Pasientidakadariwayatalergi obat sebelumnya

3.3 PemeriksaanFisik
 Status Generalisata:
- KeadaanUmum :Tampaksakitsedang
- Kesadaran :Composmentis cooperative
- Status Gizi :Baik
- Pemeriksaan Thorax :Diharapakandalambatas normal
- Pemeriksaan Abdomen :Diharapkandalambatasnormal

 Status Dermatologikus:
- Lokasi : Hampir di seluruh tubuh
- Distribusi : Generalisata
- Bentuk/susunan : Tidak Khas
- Batas : Tegas
- Ukuran : Lentikuler-Plakat
- Efloresensi :.Makula eritem, erosi dengan dasar makula eritema,
krusta merah kehitaman, ekskoriasi, urtika

24
PemeriksaanAnjuran
 Pemeriksaandarahrutin
 Fungsi ginjal
 Fungsi hepar
 Elektrolit
 Analisis gas darah
 Gula darahsewaktu
 Pemeriksaan rontgen paru
 Albumin dan protein darah
 Pemeriksaan imunofluoresen

Diagnosa
Sindrom Stevens Johnson (SSJ) ecparacetamol

25
Diagnosa Banding
Staphylococcal scalded skin syndrome, Generalized bullous fixed drug
eruption, Graft versus host disease, Eritematosus bullosa

Penatalaksanaan
Umum :
 Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
 Penanganan kulit yang mengalami epidermolisis, seperti kompres
dan mencegah infeksi sekunder
 Berikan nutrisi secara enteral pada fase akut, baik secara oral
maupun nasogastrik ( diet rendah garam tinggi protein )
 Menghentikan obat yang dicurigai sebagai pencetus
 Pasien dirawat (sebaiknya dirawat di ruangan intensif) dan
dimonitor ketat untuk mencegah hospital associated infections
(HAIs)
 Atasi keadaan yang mengancam jiwa

Khusus :
Sistemik
Infus D5 % : NaCl 0,9 % - > 1 : 1 = 21 tpm

Hari ke I :
 Dexametason 4 x 5 mg (IV)
 Gentamicin 2 x 80 mg (IV)
 Ranitidin 2 x 50 mg (IV)

Hari ke II :
Bila ada perbaikan terapi dilanjutkan sesuai terapi hari pertama

Hari ke III:
 Dexametason 3 x 5 mg (IV)
 Gentamicin 2 x 80 mg (IV)
 Ranitidin 2 x 50 mg (IV)

26
Hari ke IV :
Bila ada perbaikan terapi dilanjutkan sesuai terapi sebelumnya

Hari ke V :
 Dexametason 2 x 5 mg (IV)
 Gentamicin 2 x 80 mg (IV)
 Ranitidin 2 x 50 mg (IV)

Hari ke VI :
Bila perbaikan, gentamicin di stop, dexametason dan ranitidin dilanjutkan

Hari ke VII :
 Dexametason 1 x 5 mg (IV)
 Ranitidin 1 x 50 mg (IV)

Hari ke VIII :
 Dexametason 1 x 5 mg (IV)
 Ranitidin 1 x 150 mg (PO)
 Prednison 2 x 20 mg (PO)

Hari ke IX :
 Infus stop
 Ranitidin stop
 Prednison 2 x 20 mg (PO)

Hari ke X :
Boleh Pulang

Topikal :
 Silver sulfadiazin cream 10 mg
 Kenalog in orabase pasta 0,1 %

27
Prognosis
Quoadvitam : Dubia ad bonam
Quoadfungsionam : Bonam
Quoadsanactionam : Dubia ad bonam
Quo ad kosmetikum : Dubia ad bonam

RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi


Ruangan Poliklinik Kulit dan Kelamin
Dokter: dr. K
SIP: 111/SIP/2020

Bukittinggi, 19 Desember 2020

R/ Infus Set No I
Abocath no 20 G No I
D5 % Kolf No I
NaCl 0,9 % Kolf No I
Dexametason amp 5mg/cc No IV
Ranitidin amp 50mg/2cc No II
Spuit 3cc No II
Spuit 1 cc No IV
Simm
R/ Kenalog in orabase paste 0,1% tube No I
Sue
R/ Silver sulfadiazin cream 10 mg tube No I
Sue

Pro : Ny. X
Umur: 25 tahun
Alamat : Bukitinggi

BAB IV
KESIMPULAN

28
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis
erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit, mukosa
orifisium serta mata disertai gejala umum yang bervariasi dari ringan sampai
berat. Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti, pada umumnya sering berkaitan
dengan respon imun terhadap obat. Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas
walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III dan reaksi
hipersensitivitas tipe IV.
Sindrom Steven-Johnson menyebabkan pengelupasan kulit kurang dari 10%
permukaan tubuh, pada selaput lendir dapat menimbulkan krusta kehitaman, dan
pada mata menyebabkan konjungtivitis purulenta. Tidak ada pemeriksaan
laboratorium yang khas untuk mendiagnosis SSJ kecuali pemeriksaan
histopatologis.
Penanganan SSJ dilakukan dengan menghentikan obat penyebab, memberi
terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral pada
penderita dengan keadaan umum berat.
Sindrom Steven-Johnson adalah penyakit dengan morbiditas yang tinggi,
yang berpotensi mengancam nyawa. Jika ditangani dengan cepat dan tepat, maka
prognosis cukup memuaskan.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Halim,Efita. Sindromstevensjohnson.
In:IlmupenyakitKulitdanKelaminFakultasKedokteranUniversitas
Indonesia. 7thedition. Jakarta.2015. hal199-201.
2. Siregar, R.S.Sindromastevens Johnson. In:SaripatiPenyakitKulit.
3thedition. EGC. Jakarta. 2014. Hal 143-145.
3. Novita, Hanna, Hasudungan, Hendra dan Asep. Sindrom Steven Johnson
et causa Paracetamol, J Medula Unila. Volume 6, 1:102. Desember 2016.
4. Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2nd
ed. Pharmaceutical Press. 2006. Diunduh dari : http://drug
safety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf.
5. Julia,Fajri.Stevens Johnson Syndrome.SMF Ilmu Kesehatan Anak,
Fakultas Kedokteran, Universitas Malikussaleh, Aceh, Indonesia.Jurnal
Averrous Vol.5 No.1 Mei 2019
6. Ayukomang. Penatalaksanaan SSJ padaanakDepartemenKSM
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas UdayanaRSPTN
Universitas Udayana, Bali, Indonesia. Intisari Sains Medis 2019, Volume
10, 3: 592-596
7. Ariyanto Harsono, Anang Endaryanto: Sindrom stevens Johnson. Diunduh
dari http://ummusalma.wordpress.com/2007/02/17/sindrom-
stevenjohnson/#more- 34.
8. Djuanda, A. Hamzah, M. Sindrom Stevens Johnson. Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. Edisi 5. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta 2007 : 163-166.
9. Peter C. Schalock, MD : Stevens-Johnson Syndrome (SJS) and Necrolysis
Epidermal Toxic . The merck manual. 2006. Diunduh dari:
http://www.merck.com/mmhe/sec18/ch203/ch203e.html
10. Panduan Praktik Klinis. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin
Indonesia (PERDOSKI), 2017
11. Knowles S, Shear NH. Clinical risk management of stevens Johnson
syndrome, toxic epidermal necrolysis. Dalam: Spectrum; 2009;22:441-451

30
12. Whitney A High, MD et all. Steven Johnson Syndrome and Toxic
Epidermal Necrolysis : Management, Prognosis and Long term sequelae.
MD Employee of UpToDateInc, March 2015
13. ValeyrieAllanore L, Roujeau JC. Epidermal Necrolysis (Steven Johnsosns
Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis). Dalam: Wolff K, Goldsmith
LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, editors. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: Mc
Graw;2008;349-55
14. Mahadi IDR. Sindroma Stevens Johnson. Dalam: SimposiumdanPelatihan
“What’s new in Dermatology”. Banda Aceh, 10 Juli 2010; 1-5

31

Anda mungkin juga menyukai