Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN SINDROM STEVEN JOHNSON (SSJ)

OLEH :

KELOMPOK 4 (KELAS A)

1. Ema Marlia Putri


2. Hamza Dinata
3. Feni Suhada
4. Fina Patriana
5. Sonya Aprily Mulyanti
6. Susilawati

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MATARAM

JURUSAN KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN PROGRAM PROFESI

TAHUN 2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan
karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kelompok kami dengan
baik.Makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas mata kuliah KMB dengan judul "Asuhan
keperawatan sindrome Steven Jhonson". Tidak lupa kami memohon maaf apabila terdapat
kesalahan dalam pembuatan makalah ini, baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Kami
mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membimbing kami untuk
menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah kami masih jauh dari kata sempurna, untuk itu kami
sangat menerima kritik dan saran dari pembaca.

Mataram , 3 Februari 2021

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.......................................................................................................... 4

B. Rumusan Masalah..................................................................................................... 4

C. Tujuan....................................................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN

A. Konsep Teori

1. Pengertian sindrom Steven Johnson (SSJ) ……………………………................ 6

2. Penyebab atau etiologi SSJ ................................................................................... 7

3. Patofisiologi……………………………………………………………………………………………………………………………..8

4. Pathway …………………………………………………………………………..8

5. Tanda dan Gejala SSJ........................................................................................... 9

6. Penatalaksaan……………………………………………………………………..9

7. Pemeriksaan penunjang………………………………………………………….11

8. Komplikasi………………………………………………………………………12

B. Asuhan keperawatan SSJ....................................................................................... ….12

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.............................................................................................................. 22

B. Saran........................................................................................................................ 22

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 23

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sindrom steven jhonson merupakan kelainan kulit yang bersifat fatal dan merupakan
kondisi paling ekstrim dari eritema multiformis. Kondisi ini dipicu oleh penggunaan
medikasi. Antibiotik, agens anti kejang NSAID, dan sulfonamida adalah obat-obatan
yang paling sering menimbulkan kejadian ini. Seluruh permukaan tubuh dapat dipenuhi
oleh eritema dan lepuhan. (Brunner & Suddarth, 2013)

Pertama kali ditemukan pada tahun 1922 oleh dokter anak A.M. Stevens dan F.C.
Johnson setelah mendiagnosa seorang anak dengan keterlibatan okular dan oral akibat
reaksi obat. Hampir seluruh obat-obatan dapat menyebabkan SSJ, seperti ibuprofen. Pada
umumnya obat tersebut adalah obat anti konvulsan, antibiotik (seperti sulfa, penicillin dan
sefalosporin), dan antiinflamasi1,2,3.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian SSJ ?

2. Apa penyebab SSJ ?

3. Apa tanda dan gejala SSJ ?

4. Bagaimana penatalaksanaan SSJ ?

5. Bagaimana patofiologi SSJ ?

6. Bagaimana pemeriksaaan penunjang pasa SSJ ?

7. Apa saja komplikasi dari SSJ ?

8. Bagaimana asuhan keperawatan untuk pasien SSJ ?

C. Tujuan

1. Pengertian SSJ

2. Penyebab SSJ

4
3. Tanda dan gejala SSJ

4. Penatalaksanaan SSJ

5. Patofisiologi SSJ

6. Pemeriksaan penunjang SSJ

7. Komplikasi pada SSJ

8. Asuhan keperawatan untuk pasien SSJ

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Teori

1. Pengertian sindrom Steven Johnson (SSJ)

Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal toksis (NET) ialah


reaksi mukokutan akut yang ditandai dengan nekrosis dan pengelupasan epidermis
luas, disertai rasa sakit dan dapat menyebabkan kematian. Makula eritem,
terutama pada badan dan tungkai atas, berkembang progresif menjadi lepuh
flaksid dengan akibat pengelupasan epidermis. Karena kesamaan dalam temuan
klinis dan histopatologis, etiologi obat, dan mekanisme terjadinya.

Stevens Johnson Syndrome adalah sebuah kondisi mengancam jiwa yang


mempengaruhi kulit dimana kematian sel menyebabkan epidermis terpisah dari
dermis. Sindrom ini diperkirakan oleh karena reaksi hipersensitivitas yang
mempengaruhi kulit dan membrane mukosa. Walaupun pada kebanyakan kasus
bersifat idiopatik, penyebab utama yang diketahui adalah dari pengobatan, infeksi
dan terkadang keganasan. (Kusuma & Nurarif, 2015).

Sindrom Steven Johnson merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput


lendir diorifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai
berat. Kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura.
(Muttaqin, 2012).

Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa sindrom steven


johnson yaitu suatu sindrom yang terjadi pada kulit/integumen, dimana seluruh
permukaan tubuh dipenuhi oleh eritema dan lepuhan, yang kebanyakan diketehui
disebabkan oleh respon dari pengobatan, infeksi, dan terkadang keganasan.

 SJS menampilkan kondisi yang kurang parah, yang mana pelepasan kulit <
10% dari permukaan tubuh

 NET melibatkan perluasan > 30% dari luas permukaan tubuh

6
 SJS/NET menampilkan pasien dengan perluasan kulit 10-30% dari luas
permukaan tubuh.

2. Penyebab atau etiologi SSJ

Menurut (Porth & Maffin, 2009 dalam Brunner & Suddarth, 2010) sindrom
steven johnson dipicu oleh reaksi obat. Etiologinya tidak diketahui, tetapi
kemungkinan berhubungan dengan sistem imun dan bisa berupa suatu reaksi
terhadap obat atau kelainan sekunder akibat infeksi virus. Antibiotik,
antikonvulsan, butazon dan sulfonamid merupakan obat yang paling sering
terlibat.

Beberapa penyebab sindrom steven johnson menurut (Kusuma & Nurarif, 2015):

1. Infeksi (biasanya merupakan lanjutan dari infeksi seperti virus herpes


simpleks, influenza, gondongan/mumps, histoplasmosis, virus Epstein Barr,
atau sejenisnya).

2. Efek samping dari obat-obatan (allopurinol, diklofenak, fluconazole,


valdecoxib, sitagliptin, penicillin, barbiturat, sulfanomide, fenitoin,
azitromisin, modafinil, lamotrigin, nevirapin, ibuprofen, ethosuximide,
carbamazepin).

3. Keganasan (karsinoma dan limfoma).

4. Faktor idiopatik (hingga 50%).

5. Sindrom steven johnson juga dilaporkan secara konsisten sebagai efek


samping yang jarang dari suplemen herbal yang mengandung ginseng.
Sindrom steven johnson juga mungkin disebabkan oleh karena penggunaan
kokain.

6. Walaupun SSJ dapat disebabkan oleh infeksi viral, keganasan atau reaksi
alergi berat terhadap pengobatan, penyebab utama nampaknya karena
penggunaan antibiotik dan sulfametoksazole. Pengobatan yang secara turun
menurun diketahui menyebabkan SSJ, eritem multiformis, sindrom Lyell, dan

7
nekrolisis epidermal toksik diantaranya sulfanomide (antibiotik), penisilin
(antibiotic), berbiturate (sedative), lamotrigin(antikonvulsan), fenitoin-dilantin
(antikonvulsan). Kombinasi lamotrigin dengan asam valproat meningkatkan
resiko dari terjadinya SSJ.

3. Patofisiologi

Patogenesisnya belum jelas, diperkirakan karena reaksi alergi tipe III dan IV.
Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang
membentuk mikropresipitasi sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen.
Akibatnya terjadi akumulasi netrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan
menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran. Reaksi tipe IV terjadi akibat
limfosit T yang tersensitisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama,
kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Muttaqin, 2012).

4. Pathway

8
5. Tanda dan Gejala SSJ

Menurut (Brunner & Suddarth, 2013) tanda-tanda awal sindrom steven


johnson antara lain konjungtiva terasa panas atau gatal, nyeri tekan kutaneus,
demam, sakit kepala, batuk, sakit tenggorokan, malaise ekstrem, dan mialgia
(nyeri dan sakit). Dilanjutkan dengan awitan eritema yang cepat yang mengenai
sebagian besar permukaan tubuh dan membran mukosa, munculnya bula yang
kaku dan luas dibeberapa area. Di area lain, lapisan epidermis yang luas
mengelupas sehingga jaringan dermis dibawahnya terlihat kuku kaki, kuku
tangan, alis dan bulu mata dapat rontok, begitu juga dengan epidermis di
sekitarnya. Kulit yang sangat sensitif dan kulit yang mengelupas akan
9
menghasilkan permukaan kulit yang mengeluarkan cairan, mirip seperti luka
bakar partial thickness burn di seluruh tubuh, kondisi ini disebut juga sindrom
kulit melepuh. Pada kasus berat yang mengenai mukosa, mungkin terdapat bahaya
kerusakan pada laring, bronki, dan esofagus akibat ulserasi. Perjalanan penyakit
sangat akut dan mendadak dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi
(30º - 40ºC), mulai nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri tenggorokan yang dapat
berlangsung dua minggu. Gejala-gejala ini dengan segera akan menjadi berat yang
ditandai meningkatnya kecepatan nadi dan pernafasan, denyut nadi melemah,
kelemahan yang hebat serta menunrunnya kesadaran, soporeus sampai koma
(Kusuma & Nurarif, 2015).

Menurut (Kusuma & Nurarif, 2015), pada sindroma ini terlihat adanya
kelainan berupa :

a. Kelainan kulit

Kelainan kulit dapat berupa eritema, vesikal, dan bulla. Eritema


berbentuk seperti cincin (pinggir eritema tengahnya relatif hiperpigmentasi)
yang berkembang menjadi urtikari atau lesipapuler berbentuk target dengan
pusat ungu atau lesi sejenis dengan vesikel kecil. Vesikel kecil dan bulla
kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga
terjadi erupsi hemorrhagis berupa ptechiae atau purpura. Bila disertai purpura,
prognosisnya menjadi lebih buruk. Pada keadaan yang berat kelainannya
menjadi generalisate.

b. Kelainan selaput lendir di orifisium

Kelainan selaput lendir di orifisium yang tersering ialah pada mukosa


mulut/bibir (100%), kemudian disusul dengan kelainan di lubang alat genitalia
(50%), sedangkan di lubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% -
4%). Kelainan yang terjadi berupa stomatitis dengan vesikel pada bibir, lidah,
mukosa mulut bagian buccal. Stomatitis merupakan gejala yang dini dan
menyolok. Stomatiti kemudian menjadi lebih berat dengann pecahnya vesikel
dan bulla sehingga terjadi erosi, excoriasi, pendarahan, ulcerasi, dan dan

10
terbentuk krusta kehitaman. Juga dpaat terbentuk psudomembran. Di bibir
kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang tevbal. Adanya
stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar menenlan. Kelainan ini di
mukosa dapat juga terjadi di faring, traktus respiratorus bagian atas, dan
esophagus. Terbentuknya pseudommebran di faring dapat memberikan
keluhan sukar bernafas dan penderitanya tidak dapat makan dan minum.

c. Kelainan mata

Kelainan pada mata merupsksn 80% diantara semua kasus, yang sering
terjadi ialah conjunctivitis kataralis. Selain itu dapat terjadi conjunctivitis
purulen, pendarahan, simblefaron, ulcus cornea, iritis/iridosiklitis yang pada
akhirnya dapat terjadi kebutaan sehingga dikenal trias yaitu stomatitis,
conjunctivitis, balanitis, uretritis.

6. Penatalaksanaan

Menurut (Brunner & Suddarth, 2013) sasaran penanganan antara lain


mengontrol keseimbangan cairan dan elektrolit, mencegah sepsis, dan mencegah
komplikasi pada mata.

Fokus utama penanganan adalah pemberian asuhan yang suportif, diantaranya


yaitu :

a. Semua pengobatan yang tidak penting dihentikan dengan segera.

b. Jika memungkinkan, pasien dirawat di pusat pengobatan luka bakar.

c. Operasi debridemen atau hidroterapi yang dilakukan di awal untuk


mengangkat kulit yang rusak.

d. Sumple jaringan dari nasofaring, mata, telinga, darah, urine, kulit, dan lepuhan
yang tidak pecah digunakan untuk mengidentifikasi pathogen.

e. Cairan intravena diberikan untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan


elektrolit.

f. Penggantian cairan diberikan melalui NGT dan oral secepat mungkin.

11
g. Kortikosteroid sistemik diberikan di awal proses penyakit.

h. Pemberian imunoglobulin melalui intravena (IVIG) dapat mempercepat


perbaikan kondisi dan penyembuhan kulit.

i. Kulit dilindungi dengan agens topikal; antibakteri topikal dan agens anestesi
digunakan untuk mencegah sepsis pada luka.

j. Balutan biologis sementara (pigskin, membran amnion) atau balutan plastik


semipermeabel (vigilon) dapat digunakan.

k. Perawatan orofaring dan perawatan mata yang cermat sangat penting ketika
membran mukosa dan mata mengalami gangguan berat

7. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan untuk mendukung ditegakkannya diagnosis sindrom steven johnson


menurut (Kusuma & Nurarif, 2015), yaitu :

a. Laboratorium : Biasanya dijumpai leukositosis atau eosinofilia. Bila disangka


penyebabnya infeksi dapat dilakukan kultur darah.

b. Histopatologi : Kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, oedema, dan


esktravasasi sel darah merah. Degenerasi lapisan basalis. Nekrosis sel
epidermal dan spongiosis dan edema intrasel di epidermis.

c. Imunologi : Dijumpai deposis IgM dan C3 di pembuluh darah dermal


superficial serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.

8. Komplikasi Sindrom Stevens-Johsnson

Sindrom Stevens-Johnson tidak bisa dianggap remeh, ini merupakan kondisi


gawat darurat di bidang kulit. tidak ditangani dengan cepat, sindrom Stevens-
Johnson bisa menyebabkan komplikasi, antara lain:

a) Infeksi sekunder di kulit (selulitis): Selulitis dapat menyebabkan komplikasi


lain yang mengancam jiwa Anda, termasuk sepsis.

b) Infeksi darah (sepsis): Sepsis dapat terjadi, ketika bakteri dari infeksi
memasuki aliran darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Sepsis adalah kondisi

12
yang dapat berkembang dengan cepat, menyebabkan kegagalan organ, dan
bahkan mengancam jiwa.

c) Kerusakan di mata: Ruam yang disebabkan oleh sindrom Stevens-Johnson


dapat menyebabkan peradangan di mata. Dalam kasus yang ringan, ini dapat
menyebabkan iritasi dan mata kering, namun dalam kasus yang parah, ini
dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang luas yang kemudian
mengakibatkan gangguan penglihatan hingga kebutaan.

d) Kerusakan di paru-paru: Kondisi ini juga dapat menyebabkan kegagalan


pernapasan akut.

e) Kerusakan kulit permanen: Ketika kulit baru tumbuh kembali setelah sembuh
dari sindrom Stevens-Johnson, mungkin dapat meninggalkan bekas berupa
warna kulit yang tidak merata, dan juga jaringan parut. Penyakit kulit ini juga
bisa menyebabkan rambut rontok dan kuku yang tidak tumbuh dengan normal.

B. Asuhan keperawatan SSJ

1. Pengkajian

a. Anamnesa riwayat pengobatan pasien

b. Gambaran klinik

c. Histopatologi

d. Riwayat kesehatan : riwayat alergi, reaksi alergi terhadap makanan, obat serta
zat kimia, masalah kulit sebelumnya dan riwayat kanker kulit.

e. Pemeriksaan kulit infeksi

I : Warna, suhu, kelembapan, kekeringan, factor

P : Turgor kulit, edema

- Data Fokus

DS : Gatal-gatal pada kulit, sulit menelan, pandanganya kabur, aktivitas


menurun.

DO : Kemerah-merahan, memegangi tenggorokan, gelisah untuk melihat,


tampak lemas dalam aktivitas
13
f. Data penunjang

 Laboratorium : Biasanya dijumpai leukositosis atau eosinofilia. Bila


disangka penyebabnya infeksi dapat dilakukan kultur darah.

 Histopatologi : Kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, oedema, dan


esktravasasi sel darah merah. Degenerasi lapisan basalis. Nekrosis sel
epidermal dan spongiosis dan edema intrasel di epidermis.

 Imunologi : Dijumpai deposis IgM dan C3 di pembuluh darah dermal

superficial serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.

2. Diagnosa Keperawatan

Menurut (NANDA, 2015), diagnosa yang dapat ditegakkan pada klien dengan
sindrom steven johnson, adalah :

a. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan agens farmaseutikal ditandai


dengan adanya lesi pada kulit, mukosa, dan mata

b. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh primer tidak adekuat


(gangguan integritas kulit)

c. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera ditandai dengan kulit yang
terkelupas dan adanya lesi.

d. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


ketidakmampuan makan ditandai dengan demam, sakit tenggorokan, dan
adanya gangguan pada mukosa.

e. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan faktor yang


mempengaruhi kebutuhan cairan

3. Perencanaan Keperawatan

a. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan agens farmaseutikal ditandai


dengan adanya lesi pada kulit, mukosa, dan mata (00046)

14
 Tujuan yang diharapkan (NOC) : Integritas jaringan : kulit & membran
mukosa baik

 Kriteria Hasil :

1) Tidak ada lesi pada kulit dan mukosa membran

2) Tidak ada pengelupasan kulit

3) Tidak ada eritema

4) Tidak ada peningkatan suhu kulit

 Rencana Tindakan (NIC) :

Intervensi Rasional

1) Pantau kulit dan membran mukosa pada area yang mengalami


perubahan warna, memar, dan kerusakan.

Rasional : mengetahui perkembangan kondisi luka/lesi dan


menentukan intervensi tindakan selanjutnya dengan tepat untuk
memperbaiki integritas kulit.

2) Pantau adanya kekeringan dan kelembaban yang berlebihan pada kulit.

Rasional : kekeringan/kelembaban yang berlebihan pada kulit dapat


memperparah kerusakan integritas kulit dan menjadi indikator
keseimbangan cairan klien.

3) Oleskan salep yang sesuai dengan kulit/lesi.

Rasional : pemberian salep yang sesuai dapat menjadi pelindung area


luka dari agens infeksi dan mempercepat penyembuhan luka/lesi.

4) Berikan balutan yang sesuai dengan jenis luka.

Rasional : Balutan yang sesuai dengan jenis luka dapat menghindari


gesekan luka pada area lain.

5) Anjurkan klien untuk menggunakan pakaian yang longgar.


15
Rasional : Pakaian yang ketat dapat meningkatkan gesekan antara luka
dengan kain, sehingga dapat memperparah kerusakan integritas kulit.

6) Ajarkan kepada keluarga tentang tanda dan kerusakan kulit.

Rasional : Pakaian yang ketat dapat meningkatkan gesekan antara luka


dengan kain, sehingga dapat memperparah kerusakan integritas kulit.

7) Rujuk pada ahli diet, dengan tepat

Rasional : Pemberian diet tinggi protein diperlukan untuk


pembentukan jaringan baru pada luka/lesi

b. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh primer tidak adekuat


(gangguan integritas kulit)

 Tujuan yang diharapkan (NOC): Kontrol resiko: proses infeksi dapat


dilakukan dan status imunitas baik.

 Kriteria Hasil:

1) Mengidentifikasi faktor resiko infeksi

2) Mengidentifikasi tanda dan gejala infeksi

3) Memonitor perilaku diri yang berhubungan dengan resiko infeksi

4) Memonitor faktor di lingkungan yang berhubungan dengan resiko


infeksi

5) Jumlah leukosit dalam batas normal (5000 - 10.000/mm3)

 Rencana Tindakan (NIC):

1) Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan status pernafasan dengan tepat.

Rasional : Perubahan tanda vital, terutama suhu merupakan komplikasi


lanjut untuk terjadinya infeksi.

2) Monitor karakteristik luka, termasuk drainase, warna, ukuran, dan bau.

16
Rasional : Karakteristik luka dapat menjadi indikator adanya infeksi.

3) Batasi jumlah pengunjung

Rasional : Karakteristik luka dapat menjadi indikator adanya infeksi.

4) Tingkatkan intake nutrisi yang tepat.

Radional : Nutrisi yang adekuat dapat mempercepat regenerasi


jaringan dan penyembuhan luka.

5) Anjurkan pengunjung untuk mencuci tangan pada saat memasuki dan


meninggalkan ruangan pasien.

Rasional : Mencuci tangan dapat meminimalkan adanya kontaminasi


silang.

6) Ajarkan pasien dan keluarga mengenai tanda dan gejala infeksi dan
kapan harus melaporkannya kepada penyedia perawatan kesehatan.

Rasional : Pasien dan keluarga dapat kooperatif dan mengantisipasi


faktor resiko terjadinya infeksi.

7) Ajarkan pasien dan anggota keluarga mengenai bagaimana


menghindari infeksi.

Rasional : Pengetahuan yang cukup dapat meminimalkan faktor resiko


infeksi.

8) Berikan terapi antibiotik yang sesuai (kolaborasi dengan dokter).

Rasional : Antibiotik dapat mencegah mikroorganisme menyerang tubuh


klien.

c. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera ditandai dengan kulit yang
terkelupas dan adanya lesi (00132)

 Tujuan yang diharapkan (NOC) : Kontrol nyeri dapat dilakukan dan


tingkat nyeri dapat berkurang

 Kriteria Hasil :
17
1) Secara konsisten menunjukkan dalam menggunakan tindakan
pengurangan nyeri tanpa analgesic

2) Nyeri yang dilaporkan : tidak ada

3) Ekspresi nyeri wajah : tidak ada

4) Melaporkan nyeri yang terkontrol

5) Melaporkan perubahan terhadap gejala nyeri pada profesional


kesehatan

 Rencana Tindakan (NIC) :

Intervensi Rasional

1) Kaji tingkat nyeri yang komprehensif meliputi lokasi, karakteristik,


awitan dan durasi, frekwensi, kualitas, intensitas atau keparahan nyeri,
dan faktor presipitasinya

Rasional : Data-data tersebut digunakan sebagai data dasar dalam


menentukan intervensi tindakan yang tepat pada klien selanjutnya
untuk mencapai kesembuhan klien yang optimal.

2) Observasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan.

Rasional : Isyarat nonverbal klien (meringis, mengernyit) menjadi


tanda bahwa klien merasakan ketidaknyamanan/nyeri

3) Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama


kali

Rasiobal : Nyeri dan pemberian analgesik dapat memengaruhi vital


sign klien, seperti nadi dan RR.

4) Lakukan perubahan posisi dan relaksasi.

Rasional : Perubahan posisi dan relaksasi dapat membantu klien


mengurangi rasa nyeri dan klien merasa rileks.

18
5) Tingkatkan istirahat/tidur yang cukup untuk membantu mengurangi
rasa nyeri.

Rasional : Istirahat/tidur dapat mengalihkan fokus pada nyeri klien

6) Ajarkan penggunaan teknik relaksasi nonfarmakologi sebelum atau


sesudah rasa sakit meningkat.

Rasional : Teknik relaksasi nonfarmakologi dapat dilakukan klien


tanpa bantuan perawat atau tenaga kesehatan untuk mengurangi nyeri.

7) Berikan informasi yang lengkap dan akurat untuk mendukung


pengetahuan keluarga terhadap respon nyeri pasien

Rasional : Pengetahuan yang adekuat pada keluarga dapat membantu


perawat atau tenaga kesehatan untuk mengenali respon nyeri klien.

8) Berikan analgesik untuk mengurangi nyeri (berkolaborasi dengan


dokter).

Rasional : Analgesik dapat mengurangi nyeri pada klien.

d. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan


dengan ketidakmampuan makan ditandai dengan demam, sakit tenggorokan,
dan adanya gangguan pada mukosa

 Tujuan yang diharapkan (NOC): Status nutrisi klien baik

 Kriteria Hasil:

1) Asupan makanan secara oral adekuat

2) Tudak ada rasa tidak nyaman dengan menelan

3) Hasrat/keinginan untuk makan tidak terganggu

4) Tidak ada lesi mukosa mulut

 Rencana Tindakan (NIC):

1) Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan.


19
Rasional : Kemampuan pasien makan dapat mempengaruhi intake
nutrisi pasien

2) Monitor kalori dan intakenutrisi

Rasional : Kalori dan intake nutrisi pasien dapat digunakan sebagai


data dasar untuk menentukan intervensi selanjutnya.

3) Lakukan atau bantu pasien terkait dengan perawatan mulut sebelum


makan

Rasional : Mulut yang bersih dapat meningkatkan kenyamanan dan


nafsu makan klien

4) Pastikan makanan disajikan dengan cara yang menarik dan pada suhu
yang paling cocok untuk konsumsi secara optimal

Rasional : Menambah nafsu makan klien

5) Ajarkan dan dukung konsep nutrisi yang baik dengan klien dan orang
terdekat dengan klein.

Rasional : Dengan pengetahuan yang

6) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan


nutrisi yang dibutuhkan pasien.

Rasional : Nutrisi dan jumlah kalori yang tepat dapat memenuhi


kebutuhan nutrisi klien dan mempercepat kesembuhan.

e. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan faktor yang


mempengaruhi kebutuhan cairan.

 Tujuan yang diharapkan (NOC) : Keseimbangan cairan baik dengan


indikator status nutrisi : makanan & cairan dapat terpenuhi

 Kriteria Hasil :

1) Tidak ada kehausan

20
2) Asupan makanan secara oral adekuat

3) Asupan cairan secara oral adekuat

 Rencana Tindakan (NIC) :

1) Monitor status hidrasi (kelembaban membran mukosa, nadi adekuat,


tekanan darah ortostatik), jika diperlukan.

Rasional : Sebagai data dasar untuk menentukan kemungkinan adanya


resiko kekurangan volume cairan pada klien.

2) Monitor masukan makanan/cairan dan hitung intake kalori harian.

Rasional : Masukan makanan/cairan dan kalori harian menjadi


indikator untuk mengukur keseimbangan cairan pada klien

3) Dorong keluarga untuk membantu pasien makan

Rasional : Keluarga mempunyai peran penting dalam pendekatan


dengan klien.

4) Atur kemungkinan transfusi.

Rasional : Transfusi diperlukan jika klien terdapat purpura yang luas,


untuk memperbaiki keadaan umum dan menggantikan kehilangan
darah.

5) Kolaborasikan pemberian cairan IV.

Rasional : Pemberian cairan IV untuk mempertahankan keseimbangan


cairan pada klien dengan gangguan menelan (terdapat lesi pada
mukosa mulut/faring).

6) Kolaborasi dengan dokter tentang kebutuhan suplemen makanan


seperti NGT sehingga intake cairan adekuat dapat dipertahankan.

Rasional : Pemberian suplemen makanan dan cairan melalui NGT


dapat mempertahankan intake cairan yang adekuat.

21
4. Implementasi
Pelaksanaan merupakan langkah keempat dalam tahap proses keperawatan
dengan melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan)
yang telah direncakan dalam rencna tindakan keperawatan. Dalam tahap ini
perawat harus mengetahui beberapa hal diantaranya bahaya-bahaya fisik dan
perlindungan pada klien, tiknik komunikasi, kemampuan dalam prosedur
tindakan, pemahaman tentang hak-hak dari pasien serta dalam memahami
tingkat perkembangan psaien. Dalam pelaksanaan rencana tindakan terdapat dua
jenis tindakan, yaitu tindakan jenis mandiri dan tindakan kolaborasi. Sebagai
profesi, perawat mempunyai kewenangan dan tanggung jawab dalam
menentukan asuhan keperawatan
5. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan
yang menandakan keberhasilan dari diagnosis keperawatan, rencana intervensi,
dan implementasinya. Tujuan evaluasi adalah untuk melihat kemampuan klien
dalam mencapai tujuan. Hal ini dapat dilakukan dengan melihat respon klien
terhadap asuhan keperawatan yang diberikan sehingga perawat dapat
mengambil keputusan. Mengakhiri rencana asuhan keperawatan (jika klien telah
mencapai tujuan yang ditetapkan).Memodifikasi rencana asuhan keperawatan
(jika klien mengalami kesulitan untuk mencapai tujuan). Meneruskan rencana
asuhan keperawatan (jika klien memerlukan waktu yang lebih lama untuk
mencapai tujuan)

22
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Stevens Johnson Syndrome adalah sebuah kondisi mengancam jiwa yang


mempengaruhi kulit dimana kematian sel menyebabkan epidermis terpisah dari
dermis. Sindrom ini diperkirakan oleh karena reaksi hipersensitivitas yang
mempengaruhi kulit dan membrane mukosa. Walaupun pada kebanyakan kasus
bersifat idiopatik, penyebab utama yang diketahui adalah dari pengobatan, infeksi dan
terkadang keganasan. (Kusuma & Nurarif, 2015).

B. Saran

Jadilah perawat yang profesional dalam melakukan tindakan dan harus sesuai dengan
prosedur dan SOP yang berlaku di institusi dan gunakanlah cara safety and comfort
dalam melakukan tindakan apapun terhadap klien dan gunakanlah alat perlindungan
diri ( APD ) untuk keamanan dalam bekerja.

23
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2013. Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 12. Jakarta: EGC

NANDA. 2015. Diagnosis Keperawatan : Definisi & Klasifikasi 2015-2017. Edisi 10.
Jakarta: EGC

Julia fitriany, Fajri Alratisda. 2019. Stevens Jhonson Syndrome vol. 5 No. 1 Mei

Zuhrial Zubir, Reny Fahila. Sindroma Steven Jhonson dan Nekrolisis Epidermal Toksik.
Academia.edu

Puspitasari, Fanny, Steven Johnson Syndrom Word, Academia.edu

24

Anda mungkin juga menyukai