Tugas Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah II
Disusun Oleh :
OLEH : KELOMPOK 3 (KELAS III C)
JURUSAN KEPERAWATAN
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan
hidayahnya kami dapat menyelesaikan tugas tentang Asuhan Keperawatan Gangguan Rasa
Aman Nyaman Sistem Integumen Dan Imunitas “Syndrom Steven Johnson”. Tugas ini
disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah II.
Kelompok 3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang. .
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sindrom Stevens-Johnson Dijelaskan pertama kali pada tahun 1922, sindrom
Stevens-Johnson merupakan hipersensitivitas yang dimediasi kompleks imun yang
merupakan ekspresi berat dari eritema multiforme. Sindrom Stevens-Johnson (SSJ)
(ektodermosis erosiva pluriorifisialis, sindrom mukokutaneaokular, eritema multiformis tipe
Hebra, eritema multiforme mayor, eritema bulosa maligna) adalah sindrom kelainan kulit
berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir
orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk.
(Hamzah,2002)
Meskipun nama penyakit ini sudah lama dikenal di kalangan medis, namun karena
penderitanya jarang sehingga kurang diketahui masyarakat. SSJ bisa terjadi karena adanya
kompleks imun di dalam tubuh. Ketika terjadi ikatan antara antigen dan antibodi yang
disebut sebagai kompleks imun, kompleks imun tersebut menimbulkan reaksi pada tempat
dimana dia mengendap sehingga menimbulkan kerusakan jaringan. SJS ini secara khusus
melibatkan kulit dan membran mukosa atau selaput lendir organ tertentu. Di kalangan medis
nama penyakit ini dikenal juga dengan sebutan Ektodermosis erosiva pluriorifisialis, eritema
multiformis tipe Hebra, eritema bulosa maligna, sindrom mukokutaneaokular, serta minor
form of TEN (toxic epidermal necrolysis).
Nama Sindrom Stevens-Johnson ini berasal dari Dr. Albert Mason Stevens dan
Dr. Frank Chambliss Johnson, dokter anak di Amerika yang mempublikasikan kumpulan
gejala ini di tahun 1922. Sindrom Steven Johnson ialah penyakit kulit akut dan berat yang
terdiri dari erupsi di kulit, kelainan di mukosa dan konjungtivitis etiologi yang belum
diketahui dengan pasti.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Definisi dari Sindrom Stevens-Johnson ?
C. TUJUAN PENULISAN
Tujuan Umum :
Mampu memahami dan meyusun asuhan keperawatan pada klien dengan Sindrom
Stevens-Johnson.
Tujuan Khusus :
PEMBAHASAN
Syndrom steven johnson adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh alergi atau infeksi.
Sindrom tersebut mengancam kondisi kulit yang mengakibatkan kematian sel-sel kulit
sehingga epidermis mengelupas/memisahkan diri dari dermis. Sindrom ini dianggap sebagai
hipersensitivitas kompleks yang memengaruhi kulit dan selaput lender.
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula,
dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir yang orifisium dan mata dengan
keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk (Mansjoer, A. 2000: 136).
Sindroma Stevens-Johnson merupakan suatu sindroma(kumpulan gejala) yang
mengenai kulit,selaput lendir di orificium dan mata dengan keadaan umum yang bervariasi
dari ringan sampai berat. (Monica, Ebook SINDROM STEVENSS – JOHNSON. Dosen
Fakultas Kedokteran Universitas WijayaKusuma Surabaya)
B. Etiologi
Penyebab dari syndrome ini belum diketahui dengan pasti, namun ada beberapa faktor
yang dapat dianggap sebagai penyebab, yaitu :
1. Penyebab utama ialah alergi obat, lebih dari 50%. Sebagian kecil karena infeksi,
vaksinasi, penyakit graft versus host, neoplasma, dan radiasi. Pada penelitian Adhi
Djuanda selama 5 tahun (1998-2002) SSJ yang diduga alergi obat tersering ialah
analgetik/antipiretik (45%), disusul karbamazepin (20%) dan jamu (13,3%). Sebagian
besar jamu dibubuhi obat. Kausa yang lain amoksisilin, kotrimoksazol, dilantin,
klorokuin, seftriakson dan adiktif.
2. Akibat penyakit infeksi
Penyebab infeksi yang telah dilaporkan dapat menyebabkan sindrom ini meliputi:
a. Virus: herpes simplex virus (HSV)1 dan 2, HIV, Morbili, Coxsackie, cat-scratch
fever, influenza, hepatitis B, mumps, lymphogranuloma venereum(LGV), mononucleosis
infeksiosa, Vaccinia rickettsia dan variola. Epstein-Barr virus and enteroviruses
diidentifikasi sebagai penyebab timbulnya sindrom ini pada anak.
b. Bakteri: termasuk kelompok A beta haemolytic streptococcus, cholera, Fracisella
tularensis, Yersinia, diphtheria, proteus, pneumokokus, Vincent agina, Legionaire,
Vibrio parahemolitikus brucellosis, mycobacteriae, mycoplasma pneumonia tularemia
and salmonella typhoid.
c. Jamur: termasuk coccidioidomycosis, dermatophytosis dan histoplasmosis
d. Protozoa: malaria and trichomoniasis
C. Patofisiologi
Stevens-Johnson adalah bentuk penyakit mukokutan dengan tanda dan gejala sistemik
yang parah berupa lesi target dengan bentuk yang tidak teratur, disertai macula, vesikel,
bula, dan purpura yang tersebar luas terutama pada rangka tubuh, terjadi pengelupasan
epidermis kurang lebih sebesar 10% dari area permukaan tubuh, serta melibatkan membran
mukosa dari dua organ atau lebih.
Hampir semua kasus SJS disebabkan oleh reaksi toksik terhadap obat, terutama
antibiotik (mis. obat sulfa dan penisilin), antikejang (mis. fenitoin) dan obat antinyeri,
termasuk yang dijual tanpa resep (mis. ibuprofen). Berdasarkan etiologi reaksi simpang
obat (Sulfonamid, antikonvulsan aromatic, NSAID, alupurinol, sulfonamide, klormenazon),
sehingga mempengaruhi reaksi hipersensitifitas tipe III.
Hipersensitif tipe III ditandai oleh pembentukan kompleks antigen-antibodi (antibody
IgG atau IgM) dalam sirkulasi yang dideposit dalam jaringan. Komplemen teraktivasi
melepas macrophage chermotatic factor. Makrofag dikerahkan ke tempat tersebut melepas
enzim yang dapat merusak jaringan. Komplemen juga membentuk C3a dan C5a
(anafilatoksin) yang merangsang sel mast dan basofil melepas granul. Komplemen juga
dapat menimbulkan lisis sel bila kompleks diendapkan di jaringan sehingga terjadi
kerusakan jaringan. Akibatnya terjadi Akumulasi Neutrofil yang kemudian melepaskan
Lisosim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran ( Target Organ ).
(Bratawidjaya KG, 2000)
D. Manifestasi klinis
Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk produktif,
koriza, sakit kepala, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan artralgia yang sangat
bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut. Setelah itu akan timbul lesi
kulit, mukosa, dan mata yang dapat diikuiti kelainan viseral.
Gejala bervariasi ringan sampai berat. Pada yang berat penderita dapat mengalami
koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi 39-40 0C.
Dengan segera gejala tersebut dapat menjadi berat. Stomatitis (radang mulut) merupakan
gejala awal. Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun ke bawah. Pada sindrom ini
terlihat adanya trias kelainan berupa: kelainan kulit, kelainan solaput lendir di orifisium ,
kelainan mata.
1. Kelainan kulit.
Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula kemudian
memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu juga dapat terjadi purpura, pada
bentuk yang berat kelainannya. Kelainan kulit dapat timbul cepat berupa eritema, papel,
vesikel atau bula secara simetris berupa lesi kecil satu-satu atau kelainan luas pada hampir
seluruh tubuh. Lesi kulit biasanya pertama kali terlihat di muka, leher, dagu, dan badan.
Sering timbul pendarahan pada lesi yang menimbulkan gejala fokal berbentuk target, iris,
atau mata sapi. Kulit juga menjadi lebih muda terkena infeksi sekunder. Predileksi pada area
ekstensor tangan dan kaki serta muka yang meluas ke seluruh tubuh sampai kulit kepala.
Pada keadaan lanjut dapat terjadi erosi, ulserasi, kulit mengeluas (tanda nikolsky positif), dan
pada kasus berat pengelupasan kulit dapat terjadi pada seluruh tubuh disertai paronikia dan
pelepasan kuku. Jumlah dan luas lesi dapat meningkat dan mencapai puncaknya pada hari ke-
4 sampai 5, dapat disertai rasa sakit di kulit.
2. Kelainan selaput lendir
Kelaianan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100 %) kemudian
disusul oleh kelainan alat dilubang genetal (50 %), sedangkan dilubang hidung dan anus
jarang (masing-masing 8 % dan 4 %). Vesikel dan bula yang pecah menjadi erosi dan
ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dapat membentuk pseudo membran. Kelainan yang
tampak di bibir adalah krusta (cairan tubuh berupa darah dan nanah atau plasma yang
mengering lalu menebal pada luka) berwarna hitam yang tebal. Kelainan dapat juga
menyerang saluran pencernaan bagian atas (faring dan esofagus) dan saluran nafas atas.
3. Kelainan mata.
Kelainan mata merupakan 80 % diantara semua kasus yang tersering telah
konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis parulen, peradarahan,
alkus korena, iritis dan iridosiklitis. Disamping trias kelainan tersebut dapat pula dapat pula
terdapat kelainan lain, misalnya : notritis, dan onikolisi. Cedera mukosa okuler merupakan
faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan
inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan
mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa
bulan sampai 31 tahun. Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis purulen, perdarahan,
simblefaron, ulkus komea, iritis, dan iridosiklitis.
E. Pemeriksaan Penunjang
G. Komplikasi
7. Kutaneus – timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit
sekunder
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1.Identitas
Kaji nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/bangsa ,
Pendidikan, pekerjaan, alamat, dan nomor register.
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Kaji apa alasan klien membutuhkan pelayanan kesehatan
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Kaji bagaimana kondisi klien saat dilakukan pengkajian. Klien dengan Steven
Johnson biasanya mengeluhkan demam, malaise, kulit merah dan gatal, nyeri kepala,
batuk, pilek, dan sakit tenggorokan.
c. Riwayat Kesehatan Dahulu
Kaji riwayat alergi makanan klien, riwayat konsumsi obat-obatan dahulu, riwayat
penyakit yang sebelumnya dialami klien.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Kaji apakah di dalam keluarga klien, ada yang mengalami penyakit yang sama.
e. Riwayat Psikososial
Kaji bagaimana hubungan klien dengan keluarganya dan interaksi sosial.
3. Pola Fungsional Gordon
Pada pola ini kita mengkaji :
c. Pola eliminasi
b. B2 (Blood)
Inspeksi : adanya paruh pada dada, keluhan kelemahan fisik,edema ekstremitas
Palpasi : denyut nadi perifer melemah. Thrill biasanya ditemukan.
Auskultasi : tekanan darah biasanya menurun akibat penurunan volume sekuncup .
Bunyi jantung tambahan akibat kelainan katub biasanya ditemukan apabila penyebab
gagal jantung adalah kelainan katub
Perkusi : batas jantung mengalami pergeseran yang menunjukkan adanya hipertropi
jantung (kardiomegali) penurunan curah jantung, bunyi jantung dan crackles
,disritmia, distensi vena jugularis, kulit dingin,perubahan denyut jantung.
c. B3 (Brain)
Kesadaran klien biasanya compos mentis. Sering ditemukan sianosis perifer apabila
terjadi gangguan perfusi jaringan berat. pengkajian obyektif klien meliputi wajah
meringis, menangis, merintih, meregang dan menggeliat.
d. B4 ( bladder)
Pengukuran output urine selalu dihubugnkan dengan intake cairan. Perawat
perlu memonitor adanya oliguria karena merupakan tanda awal dari syok
kardiogenik. Adanya edema ekstremitas menunjukkan adanya retensi cairan yang
parah.
e. B5 (bowel)
Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen terjadi
akibat pembesaran vena di hepar. Bila proses ini berkembang, maka tekanan dalam
pembuluh darah portal meningkat sehingga cairan terdorong masuk ke rongga
abdomen, suatu kondisi yang dinamakan asiles.
Penggumpalan cairan dalam rongga abdomen ini dapat menyebabkan tekanan
pada diafragma sehingga klien dapat distress pernafasan. Anoreksia (hilangnya selera
makan) dan mual terjadi akibat pembesaran vena dan statis vena didalam rongga
abdomen.
f. B6 (bone)
Edema dan mudah lelah
- Palpasi : impuls ventrikel kiri jelas pada apeks kordis, biasanya teraba, getaran
bising pada SIC III dan IV kiri
- Auskultasi : bunyi jantung biasanya normal dan untuk defek sedang bunyi jantung II
agak keras. Intensitas bising derajat III s/d IV.
5. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi: Warna, suhu, kelembapan, kekeringan
b. Palpasi: Turgor kulit, edema
Data fokus:
DS: gatal-gatal pada kulit, sulit menelan, pandangan kabur, aktifitas menurun
DO: kemerah-merahan, memegang tenggorokan, tampak gelisah, tampak
lemas dalam beraktifitas.
6. Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang
a. Laboratorium : leukositosis atau esosinefilia
b. Histopatologi : infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah
merah, degenerasi lapisan basalis, nekrosis sel epidermal, spongiosis dan
edema intrasel di epidermis.
c. Imunologi : deposis IgM dan C3 serta terdapat komplek imun yang
mengandung IgG, IgM, IgA.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan Integritas Kulit, b.d Kurang terpapar informasi tentang upaya
mempertahankan/melindungi integritas jaringan.
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian cairan dan
elektrolit intravena, jika perlu
4. Gangguan Pola Tidur. Setelah dilakukan Dukungan Tidur
(D.0055) tindakan keperawatan
selama 3x24 jam, Observasi
Kategori : Fisiologis diharapkan Pola Tidur - Identifikasi pola aktifitas dan tidur
Subkategori : Aktivitas/Istirahat membaik dengan Kriteria - Identifikasi faktor pengganggu tidur
Definisi : Gangguan Kualitas Hasil : (fisik atau psikologi)
Dan Kuantitas Waktu Tidur - Keluhan sulit tidur - Identifikasi makanan dan minuman
Akibat Faktor Eksternal. menurun (1) yang mengganggu tidur (mis. Kopi,
Penyebab :Hambatan - Keluhan sering terjaga teh, alkohol, makan mendekati
Lingkungan menurun (1) waktu tidur, minum banyak air
- Keluhan tidak puas sebelum tidur)
Data Subjektif : tidur menurun (1) - Identifikasi obat tidur yang
1. Mengeluh sulit tidur - Keluhan pola tidur dikonsumsi
2. Mengeluh sering terjaga berubah menurun (1) Terapeutik
3. Mengeluh tidak puas - Keluhan istirahat tidak - Modifikasi lingkungan
tidur
cukup menurun (1) (mis.Pencahayaan,kebisingan,
4. Mengeluh pola tidur
- Kemampuan suhu,matras, tempat tidur)
berubah
beraktifitas meningkat - Batasi waktu tidur siang, jika perlu
5. Mengeluh istirahat tidak
(1) - Fasilitasi menghilangkan stres
cukup
sebelum tidur
6. Mengeluh kemampuan
- Tetapkan jadwal tidur rutin
beraktivitas menurun
- Lakukan prosedur untuk
Data Objektif :
1. Berbicara tidak meningkatkan kenyamanan (mis.
semangat Pijat, pengaturan posisi, terapi
2. Wajah pasien tampak akupresur)
layu - Sesuaikan jadwal pemberian obat
3. Terdapat lingkaran dan/atau tindakan untuk menunjang
hitam dibawah mata siklus tidur-terjaga.
4. Sering menguap Edukasi
- Jelaskan pentingnya tidur cukup
selama sakit
- Anjurkan menepati kebiasaan waktu
tidur
- Anjurkan menghindari
makanan/minuman yang
mengganggu tidur
- Anjurkan penggunaan obat tidur
yang tidak mengandung supresor
terhadap tidur REM
- Ajarkan faktor-faktor yang
berkontribusi terhadap gangguan
pola tidur (mis. Psikologis, gaya
hidup, sering berubah shift kerja)
- Ajarkan relaksasi otot autogenik
atau cara nonfarmakologi lainnya
5. Intoleransi Aktivitas. (D.0056) Setelah dilakukan Manajemen Energi
tindakan keperawatan
Kategori : Fisiologis selama 3x24 jam, Observasi
Subkategori: Aktivitas/ istirahat - Identifikasi gangguan fungsi tubuh
diharapkan Toleransi
Definisi : Ketidak cukupan yang mengakibatkan kelelahan
energi untuk melakukan Aktivitas Meningkat
- Monitor kelelahan fisik dan
aktivitas sehari-hari. dengan Kriteria Hasil : emosional
Penyebab : Kelemahan - Keluhan lelah menurun Terapeutik
(5) - Sediakan lingkungan yang nyaman
Data Subjektif : dan rendah stimulus (mis. Cahaya,
- Dyspnea saat aktivitas
1. Mengeluh lelah suara, kunjungan)
menurun (5)
2. Dispnea saat/setelah - Berikan aktivitas distraksi yang
aktivitas - Dyspnea setelah menenangkan
3. Merasa tidak nyaman aktivitas menurun (5) Edukasi
setelah beraktivitas - Perasaan lemah - Anjurkah tirah baring
4. Merasa lemah menurun - Anjurkan melakukan aktivitas
Data Objektif : - Tekanan darah secara bertahap
1. Frekuensi jantung membaik (5) - Anjurkan menghubungi perawat jika
meningkat >20% dari tanda dan gejala kelelahan tidak
kondiai istirahat berkurang
2. Tekanan darah berubah Kolaborasi
- Kolaborasi dengan ahli gizi tentang
cara meningkatkan asupan makanan
6. Risiko Infeksi (D.0142) Setelah dilakukan Pencegahan Infeksi
Kategori : Lingkungan tindakan keperawatan
Subkategori: Keamanan Dan selama 3x24 jam, Observasi
Proteksi diharapkan Tingkat - Monitor tanda dan gejala infeksi
Definisi : Beresiko mengalami Infekai Menurun, dengan local dan sistemik
peningkatan terserang Kriteria Hasil : Terapeutik
organisme patogenik - Batasi jumlah pengunjung
- Demam menurun - Berikan perawatan kulit pada area
Faktor resiko : Kerusakan
(5) edema
integritas kulit
- Kemerahan - Cuci tangan sebelum dan sesudah
menurun (5) kontak dengan pasien dan lingkungan
- Nyeri menurun pasien
(5) Edukasi
- Jelaskan tanda dan gejala infeksi
- Bengkak
- Ajarkan cara mencuci tangan dengan
menurun (5)
benar
- Latergi menurun - Ajarkan cara memeriksa kondisi luka
(5) - Anjurkan meningkatkan asupan
nutrisi
- Kultur area luka - Anjurkan meningkatkan asupan
membaik (5) cairan
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir
diorifisium, dan mata dengan keadaaan umum bervariasi dengan ringan sampai yanng berat.
Kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura. (Muttaqin arif,
2012)
B. SARAN
Diharapkan dapat menjadi acuan bagi pembaca terutama perawat dalam membuat
asuhan keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA
Bozena Seczynska dkk, 2013. “Supportive Therapy for a Patient With Toxic
Epidermal Necrolysis Undergoing Plasmapheresis”, Vol 33, No. 4. Amerika:
American Association of Critical-Care Nurses.