Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN STEVEN JOHNSON

KELOMPOK 7
DISUSUN OLEH:
1. DESMAWATI

2. FARIDA ARIYANTI

3. MURI MAHMUDIN

4. RACHMA WAHYUNI

5. SITI MAISAROH

6. SUMARTINI

7. YEMI WILIANTI

S1 KEPERAWATAN NON REGULER ANGKATAN XVI


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERTAMEDIKA
JAKARTA 2023
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................3
A. Latar Belakang.................................................................................................3
B. Rumusan Masalah............................................................................................4
C. Tujuan..............................................................................................................5
BAB II KONSEP TEORI...............................................................................................5
A. Definisi............................................................................................................5
B. Etiologi............................................................................................................5
C. Patofisiologi.....................................................................................................6
D. Manifestasi Klinis............................................................................................8
E. Pemeriksaan Diagnostik................................................................................12
F. Penatalaksanaan.............................................................................................13
G. Komplikasi.....................................................................................................16
BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN.......................................................17
A. Pengkajian Keperawatan...............................................................................17
B. Diagnosa Keperawatan..................................................................................18
C. Intervensi Keperawatan.................................................................................18
D. Implementasi Keperawatan...........................................................................27
E. Evaluasi Keperawatan...................................................................................27
BAB IV PENUTUP.....................................................................................................28
A. Kesimpulan....................................................................................................28
B. Saran..............................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................29

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sindrom steven jhonson merupakan kelainan kulit yang bersifat fatal dan
merupakan kondisi paling ekstrim dari eritema multiformis. Kondisi ini dipicu oleh
penggunaan medikasi. Antibiotik, agens anti kejang NSAID, dan sulfonamida adalah
obat-obatan yang paling sering menimbulkan kejadian ini. Seluruh permukaan tubuh
dapat dipenuhi oleh eritema dan lepuhan (Brunner & Suddarth, 2013)
Sindrom Steven Johnson ditemukan oleh dua dokter anak Amerika, yaitu A.M.
Steven dan S.C Johnson, 1992 Sindrom Steven Johnson yang bisa disingkat SSJ
merupakan reaksi alergi yang hebat terhadap obat-obatan. Penyakit ini umumnya
menyerang anak-anak dan dewasa maupun muda, jarang dijumpai pada anak usia 3
tahun kebawah. Sindrom ini merupakan suatu penyakit gawat darurat yang jarang
terjadi, insidensi SSJ adalah 1-6 kasus/juta penduduk/tahun sedangkan insidensi NET
0,4 – 1,2 kasus/juta penduduk/tahun. SSJ dan NET dapat terjadi pada usia muda
sampai usia tua dan semakin meningkat pada usia di atas 40 tahun. Perbandingan
kejadian pada perempuan dan laki-laki adalah 1,5:1. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan terhadap orang dewasa di Amerika Serikat, didapatkan insidensi SSJ 9,2
per juta penduduk per tahun sedangkan NET 1,9 per juta penduduk per tahun.
Berdasarkan penelitian di Cina periode tahun 2006-2016 didapatkan total
pasien 166 orang dengan pembagian SSJ 70 kasus, SSJ-NET 2 kasus, dan NET 94
kasus. Penyebab terbanyak kasus SSJ-NET di Cina adalah antibiotik dan
antikonvulsan. Pada sebagian pasien diberikan terapi kombinasi steroid sistemik dan
intravena immunoglobulin (IVIG) dan pasien lainnya diberikan steroid sistemik saja.
Berdasarkan data tahun 2010 – 2013 di rawat inap RSCM, didapatkan 57 kasus yang
terdiri dari SSJ 47,4%, overlap SSJ-NET 19,3% dan NET 33,3%. Data di RSUP Dr.
M. Djamil Padang periode Januari 2010 sampai Desember 2011 didapatkan 22 kasus
SSJ pada pasien rawat inap dengan perbandingan laki – laki dan perempuan yaitu 3:1
dengan pasien terbanyak di usia lebih 19 tahun sampai kurang dari 59 tahun. Hasil
penelitian di rawat inap RS Dr. Moewardi Surakarta periode Agustus 2011- Agustus

3
2013 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kasus SSJ-NET pada Agustus 2012 –
Agustus 2013 dibandingkan Agustus 2011 – Agustus 2012.
Mekanisme terjadinya SSJ belum diketahui secara pasti, tetapi teori mengatakan
bahwa SSJ disebabkan mekanisme immunologi dengan penyebab terbanyak
terjadinya SSJ adalah alergi obat. Obat – obatan yang sering menyebabkan SSJ yaitu
sulfonamid, antikonvulsan aromatik, allopurinol, antiinflamasi non-steroid dan
nevirapin. Selain obat, SSJ juga dapat disebabkan oleh infeksi, paska imunisasi,
keganasan, paparan bahan kimia dari lingkungan dan radiasi. Faktor yang
mempengaruhi tingkat keparahan telah dilakukan penelitian oleh Gravante, 2007.
Penelitian tersebut mendapatkan hasil bahwa usia, keterlambatan datang ke rumah
sakit, luas permukaan tubuh yang terkena, sel darah putih, kreatinin, natrium dalam
darah, terapi immunoglobulin dan terdapat 2 atau lebih spesies bakteri dalam darah
berkorelasi dengan kematian.

Dari data yang dijelaskan diatas, kelompok tertarik untuk membahas perihal
sindrom steven johnson karena sindrom steven johnson sangat berbahaya bahkan
dapat menyebabkan kematian.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi penyakit Steven Johnson?
2. Apa etiologi penyakit Steven Johnson?
3. Bagaimana patofisiologi penyakit Steven Johnson?
4. Apa saja pemeriksaan diagnostic penyakit Steven Johnson?
5. Bagaimana penatalaksanaan penyakit Steven Johnson?
6. Apa komplikasi dari penyakit Steven Johnson?
7. Bagaimana asuhan keperawatan penyakit Steven Johnson?

C. Tujuan
Tujuan dalam penyusunan makalah ini yaitu untuk mengetahui dan memahami
tentang konsep dasar penyakit sindrom steven johnson dan asuhan keperawatan yang
benar pada pasien dengan sindrom steven johnson.

4
BAB II
KONSEP TEORI

A. Definisi
Sindrom Stevens-Johnson merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput
lendir di orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai
berat. Kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura
(Muttaqin & Sari, 2013).
Sindrom Stevens-Johnson didefinisikan sebagai reaksi kumpulan gejala
sistemik dengan karakteristik yang mengenai kulit, mata dan selaput lendir orifisium.
Sindrom Stevens-Johnson merupakan bentuk berat dari eritema multiforme, sehingga
SSJ dikenal juga dengan sebutan eritema multiforme mayor (Darmawan, 2014).
Menurut Sharma and Sethuraman (1996) dalam (Karsenda, 2013), Sindrom
Stevens-Johnson adalah bentuk penyakit mukokutan dengan tanda dan gejala sistemik
yang dari ringan sampai berat berupa lesi target dengan bentuk yang tidak teratur,
disertai makula, vesikel, bula dan purpura yang tersebar luas terutama pada rangka
tubuh, terjadi pengelupasan epidermis kurang lebih 10 % dari area permukaan tubuh,
serta melibatkan lebih dari satu membran mukosa.

B. Etiologi
Etiologi sindrom Stevens-Johnson bersifat multifaktorial, sedangkan etiologi
pasti belum diketahui. Faktor yang diduga kuat sebagai etiologinya adalah reaksi
alergi obat secara sistemik, infeksi bakteri, virus, jamur, protozoa, neoplasma, reaksi
pascavaksinasi, terapi radiasi, alergi makanan, bahan-bahan kimia dan penyakit
kolagen (Ramayanti, 2011).
Menurut Darmawan (2014), penyakit ini disebabkan oleh reaksi hipersensitif
(alergi) terhadap obat; infeksi HIV, penyakit jaringan ikat dan kanker merupakan
faktor risiko penyakit ini. Beberapa kasus berhubungan dengan infeksi Mycoplasma
pneumonia, kasus lainnya idiopatik atau tidak diketahui penyebabnya. Berikut adalah
etiologi sindrom Stevens-Johnson menurut (Parillo, 2010).

5
1. Obat-obatan dan keganasan merupakan penyebab utama pada pasien dewasa
dan usia lanjut. Hampir semua kasus SSJ disebabkan oleh reaksi toksik
terhadap obat, terutama antibiotik (misal obat sulfa dan penisilin), antikejang
(mis. fenitoin) dan obat nyeri, termasuk yang dijual tanpa resep. Terkait HIV,
alasan SSJ yang paling umum adalah nevirapine (hingga 1,5 persen
penggunanya) dan kotrimoksazol (jarang).
2. Kasus pediatrik lebih banyak berhubungan dengan infeksi daripada keganasan
atau reaksi obat. Jarang pada anak usia 3 tahun atau dibawahnya, karena
imunitas belum berkembang sepenuhnya.
3. NSAID oksikam dan sulfonamid merupakan penyebab utama di negara-
negara Barat. Di Asia Timur allopurinol merupakan penyebab utama.
4. Empat kategori etiologi adalah infeksi, reaksi obat, keganasan dan idiopatik.

C. Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas, diperkirakan karena reaksi alergi tipe III dan IV.
Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang
membentuk mikropresitipasi sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen. Akibatnya
terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan
kerusakan jaringan pada organ sasaran. Reaksi tipe IV terjadi akibat limfosit T yang
tersentisasi berkontrak kembali dengan antigen yang sama, kemudian limfokin
dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Muttaqin & Sari, 2013).

6
Pathway

Obat-obatan, infeksi Kelainan hipersesitifitas


virus, keganasan

Hipersesitifitas tipe IV Hipersesitifitas tipe III

Limfosit T tersintesitasi Antigen antibody


terbentuk terperangkap
Pengakitfan sel T dalam jaringan kapiler

Melepaskan Aktivasi S.komplemen


limfokin/sitotoksik
Degranulasi sel mast
Penghancuran sel-sel
Akumulasi netrofil
Reaksi peradangan memfagositosis sel
rusak

Nyeri akut
Melepas sel yang rusak

Kerusakan jaringan

Kerusakan Triase gangguan pada


integritas kulit kulit, mukosa, dan mata

Respon lokal: eritema,


vesikel, dan bula Respon inflamasi
sistemik
Post de entree
Terjadi evaporasi Gangguan
pada kulit gastrointestinal,
Resiko infeksi
demam, malaise

Resiko
kekurangan Intake tidak adekuat
volume cairan
Ketidakseimbangan
nutrisi: kurang dari
kebutuhan tubuh

(Kusuma & Nurarif, 2015)

7
D. Manifestasi Klinis
Sindrom Stevens-Johnson mempunyai tiga gelaja yang khas yaitu kelainan
pada mata berupa konjungtivitis, kelainan pada genital berupa balanitis dan
vulvovaginitis, serta kelainan oral berupa stomatitis. Lesi oral didahului oleh makula
dan papula yang segera diikuti vesikel atau bula, kemudian pecah karena trauma
mekanik menjadi erosi dan terjadi ekskoriasi sehingga terbentuk ulkus yang ditutupi
oleh jaringan nekrotik berwarna abu-abu putih atau eksudat abu-abu kuning
menyerupai pseudomembran. Ulkus nekrosis ini mudah mengalami perdarahan dan
menjadi krusta kehitaman. Lesi oral cenderung lebih banyak terjadi pada bagian
anterior mulut termasuk bibir, bagian lain yang sering terlibat adalah lidah, mukosa
pipi, palatum durum, palatum mole, bahkan dapat mencapai faring, saluran pernafasan
atas dan esofagus, namun lesi jarang terjadi pada gusi. Lesi oral yang hebat dapat
menyebabkan pasien tidak dapat makan dan menelan, sedangkan lesi pada saluran
pernafasan bagian atas dapat menyebabkan keluhan sulit bernafas (Ramayanti, 2011).
Berikut adalah manifestasi klinis dari pasien dengan Steven Johnson Syndrome.
1. Sindroma prodromal yang non spesifik dan reaksi konstitusional berupa
meningkatnya suhu tubuh, sakit kepala, batuk, sakit tenggorokan, nyeri dada,
mialgi, sehingga penderita berobat. Dalam keadaan ini, sering penderita
mendapat pengobatan antibiotik, dan anti inflamasi sehingga menyebabkan
kesukaran dalam mengidentifikasi obat penyebab SJS (Djuanda, 2015). Gejala
prodromal ini dapat berlangsung selama dua minggu dan bervariasi dari ringan
sampai berat. Pada keadaan ringan kesadaran pasien baik, sedangkan keadaan
yang berat gejala-gejala menjadi lebih hebat, sehingga kesadaran pasien
menurun bahkan sampai koma (Ramayanti, 2011).
2. Gejala kulit dapat berupa macula eritematus yang menyerupai morbilliform
rash, timbul pada muka, leher, dagu, tubuh, dan ekstermitas. Lesi taget dan
bula dengan Nikolsky sign positif sering didapatkan. Lesi membesar dan
bertambah banyak (Djuanda, 2015). Lesi kulit pada sindrom Stevens-Johnson
dapat timbul sebagai gejala awal atau dapat juga terjadi setelah gejala klinis
dibagian tubuh lainnya. Lesi pada kulit umumnya bersifat asimetri dan ukuran
lesi bervariasi dari kecil sampai besar. Mula-mula lesi kulit berupa erupsi yang
bersifat multiformis yaitu eritema yang menyebar luas pada rangka tubuh.
Eritema ini menyebar luas secara cepat dan biasanya mencapai maksimal
dalam waktu empat hari, bahkan seringkali hanya dalam hitungan jam. Pada

8
kasus yang sedang, lesi timbul pada permukaan ekstensor badan, dorsal tangan
dan kaki, sedangkan pada kasus yang berat lesi menyebar luas pada wajah,
dada dan seluruh permukaan tubuh. Eritema akan menjadi vesikel dan bula
yang kemudian pecah menjadi erosi, ekskoriasi, menjadi ulkus yang ditutupi
pseudomembran atau eksudat bening. Pseudomembran akan terlepas
meninggalkan ulkus nekrosis, dan apabila terdapat perdarahan akan menjadi
krusta yang umumnya berwarna coklat gelap sampai kehitaman. Variasi lain
dari lesi kulit berupa purpura, urtikaria dan edema. Selain itu adanya erupsi
kulit dapat juga menimbulkan rasa gatal dan rasa terbakar. Terbentuknya
purpura pada lesi kulit memberikan prognosis yang buruk (Ramayanti, 2011).
3. Kelainan membrane mukosa. Bibir mukosa mulut dirasakan sakit, disertai
kelainan mukosa yang eritematus, sembab, dan disertai bula yang kemudian
akan pecah sehingga timbul erosi yag tertutup pseudomembrane. Bibir diliputi
massive hemorarrhagic crusts. Kelainan pada kelmin juga sering didapat
berupa bula yang hemorrhagic dan erosi (Djuanda, 2015). Lesi oral
mempunyai karakteristik yang lebih bervariasi daripada lesi kulit, seluruh
permukaan oral dapat terlibat, namun lesi oral lebih cenderung banyak terjadi
pada bibir, lidah, palatum mole, palatum durum, mukosa pipi sedangkan pada
gusi relative jarang terjadi lesi. Lesi oral didahului oleh macula, papula, segera
diikuti oleh vesikel dan bula. Ukuran vesikel maupun bula bervariasi dan
mudah pecah dibandingkan lesi pada kulit. Vesikel maupun bula terutama
pada mukosa bibir mudah pecah Karena gerakan lidah dan friksi pada waktu
mengunyah dan bicara sehingga bentuk yang utuh jarang ditemukan pada
waktu pemeriksaan klinis intra oral (Ramayanti, 2011).
Vesikel maupun bula yang mudah pecah selanjutnya menjadi erosi, kemudian
mengalami ekskoriasi dan terbentuk ulkus. Ulkus ditutupi oleh jaringan
nekrotik yang berwarna abuabu putih atau eksudat abu-abu kuning
menyerupai pseudomembran. Jaringan nekrotik mudah mengelupas sehingga
meninggalkan suatu ulkus yang berbentuk tidak teratur dengan tepi tidak jelas
dan dasar tidak rata yang berwarna kemerahan. Apabila terjadi trauma
mekanik dan mengalami perdarahan maka ulkus akan menjadi krusta
berwarna coklat sampai kehitaman. Krusta kehitaman yang tebal dapat terlihat
pada mukosa bibir dan seringkali lesi pada mukosa bibir meluas sampai tepi
sebelah luar bibir dan sudut mulut (Gambar 1.1) (Ramayanti, 2011).

9
Pada palatum mole maupun palatum durum dapat terjadi lesi oral. Lesi oral
diawali oleh vesikel maupun bula yang mudah pecah menjadi erosi ekskoriasi
dan ulkus. Erosi seringkali ditutupi pseudomembran dan dikelilingi daerah
berwarna kemerahan. Ulkus dapat meluas terutama terjadi pada palatum
durum (Gambar 2.2). Pada mukosa pipi terjadi juga pola perkembangan lesi
seperti lidah, vesikel atau bula di mukosa pipi jarang ditemukan utuh, hanya
berupa erosi atau ulkus yang ditutupi dengan pseudomembran (Ramayanti,
2011).

Gambar 1 Krusta kehitaman pada mukosa bibir

Gambar 2 Ulserasi yang luas pada palatum


Manifestasi oral sindrom Stevens-Johnson biasanya diikuti oleh pembesaran
nodus limfatikus servikalis disertai rasa nyeri yang hebat sekali dan terjadi
peningkatan aliran saliva. Penderita biasanya akan mengalami dehidrasi
karena kekurangan cairan yang masuk ke dalam tubuh. Lesi oral dapat meluas
ke faring, saluran pernafasan bagian atas dan esophagus sehingga penderita
mengalami kesulitan bernafas. Edema pada faring dapat menyebar ke trakea,
apabila keadaan bertambah berat dapat menyerang bronkus dan bronkioli,
sehingga dapat menimbulkan bronkopneumonia serta trakeobronkitis
(Ramayanti, 2011).
4. Manifestasi pada mata terjadi pada 70% pasien sindrom Stevens Johnson.
Kelainan ang sering terjadi adalah konjungtivitis. Selain konjungtivitis
kelopak mata seringkali menunjukkan erupsi yang merata dengan krusta

10
hemoragi pada garis tepi mata. Penderita sindrom Stevens-Johnson yang
parah, kelainan mata dapat berkembang menjadi konjungtivitis purulen,
photophobia, panophtalmitis, deformitas kelopak mata, uveitis anterior, iritis,
simblefaron, iridosiklitis serta sindrom mata kering, komplikasi lainnya dapat
juga mengenai kornea berupa sikatriks kornea, ulserasi kornea, dan kekeruhan
kornea. Bila kelainan mata ini tidak segera diatasi maka dapat menyebabkan
kebutaan (Ramayanti, 2011).
5. Manifestasi pada genital. Lesi pada genital dapat menyebabkan uretritis,
balanitis dan vulvovaginitis. Balanitis adalah inflamasi pada glans penis.
Uretritis merupakan peradangan pada uretra dengan gejala klasik berupa secret
uretra, peradangan meatus, rasa terbakar, gatal, dan sering buang air kecil.
Vulvovaginitis adalah peradangan pada vagina yang biasanya melibatkan
vulva dengan gejala-gejala berupa bertambahnya cairan vagina, iritasi vulva,
gatal, bau yang tidak sedap, rasa tidak nyaman, dan gangguan buang air kecil.
Sindrom Stevens-Johnson dapat pula menyerang anal berupa peradangan anal
atau inflammed anal (Ramayanti, 2011).

Menurut Parillo (2010), manifestasi klinis pada pasien sindrom Steven-


Johnson adalah sebagai berikut.
1. Ruam dapat mulai sebagai macula yang berkembang menjadi papul, vesikel,
bula, plak, urtikaria, atau eritma konfluen
2. Lesi khas memiliki penampilan target.target dianggap patogmonic. Berbeda
dengan lesi pada eritema multiforme, lesi pada eritema multiforme hanya
memiliki dua zona warna. Inti mungkin vesikuler, purpura, ataupun nekrotik.
Zona tersebut dikelilingi oleh eritema macular. Beberapa menyebutnya target
lesi
3. Lesi dapat pecah dan meninggalkan kulit yang terbuka. Kulit ini rentan
terhadap infeksi sekunder
4. Lesi urtikarial biasanya tidak gatal
5. Infeksi mungkin bertanggung jawab atas bekas luka yang berhubungan dengan
morbiditas
6. Meskipun lesi dapat terjadi di mana saja, akan tetapi bagian telapak tangan,
punggung tangan, dan permukaan ekstensor paling banyak dialporkan terjadi
7. Keterlibatan mukosa termasuk adanya eritema, edema, ulserasi, dan nekrosis

11
Gambar 3 Pelepasan epidermis pada pasien sindrom Stevens-Johnson (Parillo,
2010)

E. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan untuk mendukung ditegakkannya diagnosis sindrom steven
johnson menurut (Kusuma & Nurarif, 2015), yaitu :
1. Laboratorium: Biasanya dijumpai leukositosis atau eosinofilia. Bila disangka
penyebabnya infeksi dapat dilakukan kultur darah.
2. Histopatologi: Kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, oedema, dan
esktravasasi sel darah merah. Degenerasi lapisan basalis. Nekrosis sel epidermal
dan spongiosis dan edema intrasel di epidermis.
3. Imunologi: Dijumpai deposis IgM dan C3 di pembuluh darah dermal superficial
serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.

Sindrom Stevens-Johnson merupakan penyakit yang dapat menyebabkan


kematian sehingga perlu penanganan cepat dan tepat/optimal, mengenali dan
menghentikan segera obat yang bertanggung jawab (pada kasus yang meragukan,
menghentikan semua obat yang dikonsumsi dalam 8 minggu sebelum onset) dan
merawat pasien di rumah sakit. Pasien dengan SCORTEN 0–1 (lihat tabel 1.1)
dirawat dibangsal dan yang lebih berat (≥2) dirawat di unit rawat intensif (Thaha,
2009).
Tabel 1.1 Skala SCORTEN
Faktor Prognostik Nilai
Usia > 40 tahun 1
Heart rate > 120 x/menit 1
Kanker atau keganasan hematologis 1
BSA yang terkena > 10% 1

12
Kadar urea serum >10 mM (BUN > 27 mg/dL) 1
Kadar bikarbonat serum < 20 mEq/L 1
Kadar glukosa serum > 14 mM (250 mg/dL) 1
Sumber: Bastuji-Garin et al. SCORTEN: A severity-of-illness score for toxic
epidermal necrolysis. J Invest Dermatol. 2000;115:149 dalam Thaha, 2009.

F. Penatalaksanaan
Penegakan diagnosis sulit dilakukan karena seringkali terdapat berbagai
macam bentuk lesi yang timbul bersamaan atau bertahap. Diagnosis sindrom Stevens-
Johnson terutama berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan
penunjang. Perawatan pada penderita sindrom Stevens-Johnson lebih ditekankan pada
perawatan simtomatik dan suportif karena etiologinya belum diketahui secara pasti
(Ramayanti, 2011). Penanganan simptomatik suportif yaitu mempertahankan
keseimbangan hemodinamik, dan mencegah terjadi komplikasi yang mengancam jiwa
(Thaha, 2009).
Penatalaksanaan sindrom Stevens-Johnson didasarkan atas tingkat keparahan
penyakit yang secara umum meliputi (Ramayanti, 2011):
1. Rawat Inap
Rawat inap bertujuan agar dokter dapat memantau dan mengontrol setiap hari
keadaan penderita.
2. Preparat Kortikosteroid
Penggunaan preparat kortikosteroid
merupakan tindakan life saving.
Kortikosteroid yang biasa digunakan berupa deksametason secara intravena
dengan dosis permulaan 4-6 x 5mg sehari. Masa kritis biasanya dapat segera
diatasi dalam 2-3 hari, dan apabila keadaan umum membaik dan tidak timbul
lesi baru, sedangkan lesi lama mengalami involusi, maka dosis segera
diturunkan 5mg secara cepat setiap hari. Setelah dosis mencapai 5mg sehari
kemudian diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone, yang
diberikan dengan dosis 20 mg sehari, kemudian diturunkan menjadi 10mg
pada hari berikutnya selanjutnya pemberian obat dihentikan. Lama pengobatan
preparat kortikosteroid kira-kira berlangsung selama 10 hari.

13
3. Antibiotik
Penggunaan preparat kortikosteroid dengan dosis tinggi menyebabkan
imunitas penderita menurun, maka antibiotic harus diberikan untuk mencegah
terjadinya infeksi sekunder, misalnya broncopneneumonia yang dapat
menyebabkan kematian. Antibiotik yang diberikan hendaknya yang jarang
menyebabkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal, dan tidak
nefrotoksik. Antibiotik yang memenuhi syarat tersebut antara lain
siprofloksasin dengan dosis 2 x 400mg intravena, klindamisin dengan dosis 2
x 600mg intravena dan gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.
4. Infuse dan Transfusi Darah
Hal yang perlu diperhatikan kepada penderita adalah mengatur keseimbangan
cairan atau elektrolit tubuh, karena penderita sukar atau tidak dapat menelan
makanan atau minuman akibat adanya lesi oral dan tenggorokan serta
kesadaran penderita yang menurun. Infuse yang diberikan berupa glukosa 5%
dan larutan Darrow. Apabila terapi yang telah diberikan dan penderita belum
menampakkan perbaikan dalam waktu 2-3 hari, maka penderita dapat
diberikan transfuse darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut,
khususnya pada kasus yang disertai purpura yang luas dan leucopenia.
5. KCl
Penderita yang menggunakan kortikosteroid umumnya mengalami penurunan
kalium atau hipokalemia, maka diberikan KCl dengan dosis 3 x 500 mg sehari
peroral.
6. Adenocorticotropichormon (ACTH)
Penderita perlu diberikan ACTH untuk menghindari terjadinya supresi korteks
adrenal akibat pemberian kortikosteroid. ACTH yang diberikan berupa ACTH
sintetik dengan dosis 1 mg.
7. Agen Hemostatis
Agen hemostatik terutama diberikan pada penderita disertai purpura yang luas.
Agen hemostatik yang sering digunakan adalah vitamin K.
8. Diet
Diet rendah garam dan tinggi protein merupakan pola diet yang dianjurkan
kepada penderita. Akibat penggunaan preparat kortikosteroid dalam jangka
waktu lama, penderita mengalami retensi natrium dan kehilangan protein,
dengan diet rendah garam dan tinggi protein diharapkan konsentrasi garam

14
dan protein penderita dapat kembali normal. Penderita selain menjalani diet
rendah garam dan tinggi protein, dapat juga diberikan makanan yang lunak
atau cair, terutama pada penderita yang sukar menelan (Ramayanti, 2011).
9. Vitamin
Vitamin yang diberikan berupa vitamin B kompleks dan vitamin C. Vitamin B
kompleks diduga dapat memperpendek durasi penyakit. Vitamin C diberikan
dengan dosis 500 mg atau 1000 mg sehari dan ditujukan terutama pada
penderita dengan kasus purpura yang luas sehingga pemberian vitamin dapat
membantu mengurangi permeabilitas kapiler

Berikut adalah tatalaksana perawatan pada organ penderita Steven Johnson


Syndrome (Ramayanti, 2011).
1) Perawatan pada Kulit
Lesi kulit tidak memerlukan pengobatan spesifik, kebanyakan penderita
merasa lebih nyaman jika lesi kulit diolesi dengan ointment berupa vaselin,
polisporin, basitrasin. Rasa nyeri seringkali timbul pada lesi kulit dikarenakan
lesi seringkali melekat pada tempat tidur. Lesi kulit yang erosive dapat diatasi
dengan memberikan sofratulle atau krim sulfadiazine perak, larutan salin 0,9%
atau burow. Kompres dengan asam salisilat 0,1% dapat diberikan untuk
perawatan lesi pada kulit. Kerjasama antara dokter gigi dan dokter spesialis
ilmu penyakit kulit dan kelamin sangat diperlukan.
2) Perawatan pada Mata
Perawatan pada mata memerlukan kebersihan mata yang baik,kompres dengan
larutan salin serta lubrikasi mata dengan air mata artificial dan ointment. Pada
kasus yang kronis,suplemen air mata seringkali digunakan untuk mencegah
terjadinya corneal epithelial breakdown. Antibiotik topikal dapat digunakan
untuk menghindari terjadinya infeksi sekunder.
3) Perawatan pada Genital
Larutan salin dan petroleum berbentuk gel sering digunakan pada area genital
penderita. Penderita sindrom Stevens-Johnson yang seringkali mengalami
gangguan buang air kecil akibat uretritis, balanitis, atau vulvovaginitis, maka
kateterisasi sangat diperlukan untuk memperlancar buang air kecil.
4) Perawatan pada Oral

15
Rasa nyeri yang disebabkan lesi oral dapat dihilangkan dengan pemberian
anastetik topical dalam bentuk larutan atau salep yang mengandung lidokain
2%. Campuran 50% air dan hydrogen peroksida dapat digunakan untuk
menyembuhkan jaringan nekrosis pada mukosa pipi. Antijamur dan antibiotik
dapat digunakan untuk mencegah superinfeksi. Lesi pada mukosa bibir yang
parah dapat diberikan perawatan berupa kompres asam borat 3%. Lesi oral
pada bibir diobati dengan boraks-gliserin atau penggunaan triamsinolon
asetonid. Triamsinolon asetonid merupakan preparat kortikosteroid topical.
Kortikosteroid yang biasa digunakan pada lesi oral adalah bentuk pasta.
Pemakaian pasta dianjurkan saat sebelum tidur karena lebih efektif. Sebelum
dioleskan, daerah sekitar lesi harus dibersihkan terlebih dahulu kemudian
dikeringkan menggunakan spons steril untuk mencegah melarutnya pasta oleh
saliva. Apabila pasta larut oleh saliva, obat tidak dapat bekerja dengan
optimum sehingga tidak akan diperoleh efek terapi yang diharapkan.

G. Komplikasi
Saat “onset” terjadi, penderita Steven Johnson Syndrome mengalami demam,
nyeri otot, gejala traktus respirasi atas dan bawah. Pada membran mukosa mata, bibir,
dan genetalia akan terjadi lesi berupa “bulla” dengan pembentukan mambran atau
pseudomembran. Komplikasi lanjut pada membran mukosa mata karena pembentukan
jaringan sikatrik sehingga menyebabkan conjunctival shinkage, trikiasis, dan
defisiensi air mata. Pada kornea terutama pada fase lanjut dapat terjadi epitheliopathy
kronis, defek epitel yang tidak sembuh, pembentukan pannus fibrovaskular, sikatrik
subepitelial dan neovaskularisasi strome, sikatrik dan penipisan kornea (Lutfi, Zuhria,
& Doemilah, 2007).
Berikut adalah beberapa penyulit dari penyakit Steven Johnson Syndome
menurut Djuanda (2015) antara lain; Sepsis, Pneumoni dan Gagal ginjal.

16
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian Keperawatan
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun ke bawah. Keadaan umumnya
bervariasi dari ringan sampai berat. Pada kondisi yang berat, kesadarannya menurun,
penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala
prodomal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri
tenggorok. Dalam keadaan ini, sering penderita mendapat pengobatan antibiotik dan
antiinflamasi sehingga menyebabkan kesukaran dalam mengidentifikasi obat
penyebab sindrom Stevens Johnson (Muttaqin & Sari, 2013).
Trias kelainan yang terjadi terdapat pada kulit, mukosa, dan mata. Kelainan
kulit terdiri atas eritema, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah
sehingga terjadi erosi yang luas. Di samping itu, dapat juga terjadi purpura. Jika
disertai purpura, prognosisnya menjadi lebih buruk. Pada bentuk yang berat
kelainannya generalisata. Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa
mulut (100%), kemudian disusul oleh kelainan di lubang alat genital (50%),
sedangkan di lubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%).
Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi,
ekskoriasi, dan krusta kehitaman. Selain itu, juga dapat terbentuk pseudomembran.
Pada bibir, kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang tebal.
Kelainan di mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas,
dan esofagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar/tidak dapat menelan.
Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernapas.
Sementara itu pada mata, 80% di antara semua kasus yang tersering ialah
konjungtivitis kataralis. Selain itu, juga dapat berupa konjungtivitis purulen,
perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, dan iridosiklitis (Muttaqin & Sari,
2013).
Menurut Parillo (2010), pemeriksaan fisik pada pasien sindrom Steven
Johnson ditemukan:
a. Demam
b. Orthostasis
c. Tachycardia

17
d. Hipotensi
e. Perubahan tingkat kesadaran
f. Epistaksis
g. Konjungtivitis
h. Ulserasi kornea
i. Erosif vulvovaginitis atau balanitis
j. Kejang, koma

B. Diagnosa Keperawatan
Menurut (NANDA, 2015), diagnosa yang dapat ditegakkan pada klien
dengan sindrom steven johnson, adalah :

1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan agens farmaseutikal ditandai


dengan adanya lesi pada kulit, mukosa, dan mata (00046)
2. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh primer tidak adekuat
(gangguan integritas kulit) (00004)
3. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera ditandai dengan kulit yang
terkelupas dan adanya lesi (00132)
4. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan makan ditandai dengan demam, sakit tenggorokan, dan
adanya gangguan pada mukosa (00002)
5. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan faktor yang
mempengaruhi kebutuhan cairan (00028)

C. Intervensi Keperawatan
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan agens farmaseutikal ditandai
dengan adanya lesi pada kulit, mukosa, dan mata (00046)
Tujuan yang diharapkan (NOC): Integritas jaringan: kulit & membran
mukosa baik

Kriteria Hasil :
1) Tidak ada lesi pada kulit dan mukosa membran
2) Tidak ada pengelupasan kulit
3) Tidak ada eritema
4) Tidak ada peningkatan suhu kulit

18
Rencana Tindakan (NIC):

Intervensi Rasional
1. Pantau kulit dan membran 1. Mengetahui perkembangan
mukosa pada area yang kondisi luka/lesi dan
mengalami perubahan menentukan intervensi
warna, memar, dan tindakan selanjutnya dengan
kerusakan. tepat untuk memperbaiki
integritas kulit.

2. Pantau adanya kekeringan 2. Kekeringan/kelembaban


dan kelembaban yang yang berlebihan pada kulit
berlebihan pada kulit. dapat memperparah
kerusakan integritas kulit
dan menjadi indikator
keseimbangan cairan klien.

3. Oleskan salep yang sesuai 3. Pemberian salep yang sesuai


dengan kulit/lesi. dapat menjadi pelindung
area luka dari agens infeksi
dan mempercepat
penyembuhan luka/lesi.

1. Berikan balutan yang sesuai 4. Balutan yang sesuai


dengan jenis luka. dengan jenis luka dapat
menghindari gesekan luka
pada area lain.

5. Anjurkan klien untuk 5. Pakaian yang ketat dapat


menggunakan pakaian yang meningkatkan gesekan
longgar. antara luka dengan kain,
sehingga dapat memperparah
kerusakan integritas kulit.

19
6. Ajarkan kepada keluarga 6. Pengetahuan yang adekuat
tentang tanda dan kerusakan pada keluarga dapat
2.
kulit. membantu tenaga kesehatan
Resiko
dalam mengantisipasi tanda
kerusakan kulit pada klien.

7. Rujuk pada ahli diet, dengan 7. Pemberian diet tinggi protein


tepat diperlukan untuk
pembentukan jaringan baru
pada luka/lesi

infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh primer tidak adekuat (gangguan


integritas kulit) (00004)
Tujuan yang diharapkan (NOC): Kontrol resiko: proses infeksi dapat
dilakukan dan status imunitas baik.

Kriteria Hasil:
1) Mengidentifikasi faktor resiko infeksi
2) Mengidentifikasi tanda dan gejala infeksi
3) Memonitor perilaku diri yang berhubungan dengan resiko infeksi
4) Memonitor faktor di lingkungan yang berhubungan dengan resiko infeksi
5) Jumlah leukosit dalam batas normal (5000 - 10.000/mm3)

Rencana Tindakan (NIC):

Intervensi Rasional
1. Monitor tekanan darah, nadi, 1. Perubahan tanda vital,
suhu, dan status pernafasan terutama suhu merupakan
dengan tepat. komplikasi lanjut untuk
terjadinya infeksi.

2. Monitor karakteristik luka, 2. Karakteristik luka dapat


termasuk drainase, warna, menjadi indikator adanya
ukuran, dan bau. infeksi.

20
3. Batasi jumlah pengunjung 3. Pengunjung dapat
meningkatkan resiko
kontaminasi silang.

4. Tingkatkan intake nutrisi 4. Nutrisi yang adekuat dapat


yang tepat. mempercepat regenerasi
jaringan dan penyembuhan
luka.

5. Anjurkan pengunjung untuk 5. Mencuci tangan dapat


mencuci tangan pada saat meminimalkan adanya
memasuki dan meninggalkan kontaminasi silang.
ruangan pasien.

6. Ajarkan pasien dan keluarga 6. Pasien dan keluarga dapat


mengenai tanda dan gejala kooperatif dan
infeksi dan kapan harus mengantisipasi faktor resiko
melaporkannya kepada terjadinya infeksi.
penyedia perawatan
kesehatan.

7. Ajarkan pasien dan anggota 7. Pengetahuan yang cukup


keluarga mengenai dapat meminimalkan faktor
bagaimana menghindari resiko infeksi.
infeksi.

8. Berikan terapi antibiotik 8. Antibiotik dapat mencegah


yang sesuai (kolaborasi mikroorganisme menyerang
dengan dokter). tubuh klien.

21
3. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera ditandai dengan kulit yang
terkelupas dan adanya lesi (00132)
Tujuan yang diharapkan (NOC) : Kontrol nyeri dapat dilakukan dan tingkat nyeri
dapat berkurang

Kriteria Hasil :
1) Secara konsisten menunjukkan dalam menggunakan tindakan pengurangan
nyeri tanpa analgesik
2) Nyeri yang dilaporkan : tidak ada
3) Ekspresi nyeri wajah : tidak ada
4) Melaporkan nyeri yang terkontrol
5) Melaporkan perubahan terhadap gejala nyeri pada profesional kesehatan

Rencana Tindakan (NIC) :

Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat nyeri yang 1. Data-data tersebut digunakan
komprehensif meliputi sebagai data dasar dalam
lokasi, karakteristik, awitan menentukan intervensi
dan durasi, frekwensi, tindakan yang tepat pada
4. kualitas,
Lakukan perubahan
intensitas posisi
atau 4. klien
Perubahan posisi untuk
selanjutnya dan
dan relaksasi.
keparahan nyeri, dan faktor relaksasi kesembuhan
mencapai dapat membantu
klien
presipitasinya yang optimal
klien mengurangi rasa nyeri
dan klien merasa rileks.
2. Observasi isyarat nonverbal 2. Isyarat nonverbal klien
5. Tingkatkan istirahat/tidur
ketidaknyamanan. (meringis,
5. Istirahat/tidur mengernyit)
dapat
yang cukup untuk membantu
menjadi tanda bahwa
mengalihkan fokus klien
pada
mengurangi rasa nyeri.
merasakan
nyeri klien.
ketidaknyamanan/nyeri

6. Ajarkan penggunaan teknik 6. Teknik relaksasi


relaksasi vitalnonfarmakologi
3. Monitor sign sebelum 3. nonfarmakologi
Nyeri dan dapat
pemberian
sebelumsesudah
dan atau sesudah rasa
pemberian dilakukan
analgesik klien tanpa
dapat
sakit meningkat.
analgesik pertama kali bantuan perawat vital
memengaruhi atau tenaga
sign
kesehatan
klien, untuk
seperti nadimengurangi
dan RR.
nyeri.

7. Berikan informasi yang 7. Pengetahuan yang adekuat


lengkap dan akurat untuk pada keluarga dapat
mendukung pengetahuan membantu perawat atau
22
keluarga terhadap respon tenaga kesehatan untuk
nyeri pasien. mengenali respon nyeri
klien.

8. Berikan analgesik untuk 8. Analgesik dapat mengurangi


mengurangi nyeri nyeri pada klien.
(berkolaborasi dengan
dokter).

23
4. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan makan ditandai dengan demam, sakit tenggorokan, dan adanya
gangguan pada mukosa (00002)
Tujuan yang diharapkan (NOC): Status nutrisi klien baik

Kriteria Hasil:
1) Asupan makanan secara oral adekuat
2) Tudak ada rasa tidak nyaman dengan menelan
3) Hasrat/keinginan untuk makan tidak terganggu
4) Tidak ada lesi mukosa mulut

Rencana Tindakan (NIC):

Intervensi Rasional
1. Kaji kemampuan pasien 1. Kemampuan pasien makan
untuk mendapatkan nutrisi dapat mempengaruhi intake
yang dibutuhkan. nutrisi pasien.

2. Monitor kalori dan intake 2. Kalori dan intake nutrisi


nutrisi pasien dapat digunakan
sebagai data dasar untuk
menentukan intervensi
selanjutnya.

24
3. Lakukan atau bantu pasien 3. Mulut yang bersih dapat
terkait dengan perawatan meningkatkan kenyamanan
5. mulut sebelum makan dan nafsu makan klien
Resiko

4. Pastikan makanan disajikan 4. Menambah nafsu makan


dengan cara yang menarik klien
dan pada suhu yang paling
cocok untuk konsumsi secara
optimal

5. Ajarkan dan dukung konsep 5. Dengan pengetahuan yang


nutrisi yang baik dengan cukup akan nutrisi klien
klien dan orang terdekat dapat kooperatif dan
dengan klein. menerapkannya dalam
proses penyembuhannya.

6. Kolaborasi dengan ahli gizi 6. Nutrisi dan jumlah kalori


untuk menentukan jumlah yang tepat dapat memenuhi
kalori dan nutrisi yang kebutuhan nutrisi klien dan
dibutuhkan pasien. mempercepat kesembuhan.
kekurangan volume cairan berhubungan dengan faktor yang mempengaruhi
kebutuhan cairan (00028)
Tujuan yang diharapkan (NOC) : Keseimbangan cairan baik dengan indikator
status nutrisi : makanan & cairan dapat terpenuhi

Kriteria Hasil :
1) Tidak ada kehausan
2) Asupan makanan secara oral adekuat
3) Asupan cairan secara oral adekuat

25
Rencana Tindakan (NIC) :

Intervensi Rasional
1. Monitor status hidrasi 1. Sebagai data dasar untuk
(kelembaban membran menentukan kemungkinan
mukosa, nadi adekuat, adanya resiko kekurangan
tekanan darah ortostatik), volume cairan pada klien.
jika diperlukan.

2. Monitor masukan 2. Masukan makanan/cairan


makanan/cairan dan hitung dan kalori harian menjadi
intake kalori harian. indikator untuk mengukur
keseimbangan cairan pada
klien

3. Dorong keluarga untuk 3. Keluarga mempunyai peran


membantu pasien makan penting dalam pendekatan
dengan klien.
4. Atur kemungkinan transfusi. 4. Transfusi diperlukan jika
klien terdapat purpura yang
luas, untuk memperbaiki
keadaan umum dan
menggantikan kehilangan
darah.

5. Kolaborasikan pemberian 5. Pemberian cairan IV untuk


cairan IV. mempertahankan
keseimbangan cairan pada
klien dengan gangguan
menelan (terdapat lesi pada
mukosa mulut/faring).

26
6. Kolaborasi dengan dokter 6. Pemberian suplemen
tentang kebutuhan suplemen makanan dan cairan melalui
makanan seperti NGT NGT dapat mempertahankan
sehingga intake cairan intake cairan yang adekuat.
adekuat dapat dipertahankan.

D. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah tahap tindakan dalam proses keperawatan dimana harus
membutuhkan penerapan intelektual, interpersonal, dan teknis (Martin dan Griffin, 2014).
Implementasi keperawatan adalah suatu tindakan keperawatan yang sebelumnya telah di
rencanakan pada intervensi keperawatan. Setelah melakukan implementasi hendaklah perawat
melihat respon subjektif maupun objektif pasien.

E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tahap terakhir dari proses keperawatan yang bertujuan untuk menilai hasil
akhir dari seluruh tindakan keperawatan yang telah dilakukan (Bararah & Jauhar, 2013).
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Syndrome Steven Johnson atau biasa disingkat SSJ yaitu syndrom kelainan pada kulit,
selaput lendir orifisium dan mata atau dengan kata lain, reaksi yang melibatkan kulit mukosa
(selaput lendir) yang berat mengancam jiwa ditandai dengan pelepasan epidermis, bintil berisi
air dan erosi atau pengelupasan dari selaput lendir. Penyakit ini menyerang selaput lendir,
meliputi selaput bening mata, bibir bidang dalam, rongga mulut, genital dan anus. Gejala
awalnya berupa demam, kesukaran diwaktu menelan, pegal-pegal atau nyeri di tubuh, sakit
kepala, sesak napas, dan ada tanda kemerahan atau ruam merah kepada kulit, munculnya
bintil berisi air (seperti cacar) yang terasa sakit bahkan sampai menyebabkan kulit
mengelupas dan melepuh. Penyebabnya yaitu dikarenakan infeksivirus, bakteri dan jamur,
atau alergi obat-obat tertentu, umumnya yakni pemakaian obat antibiotik.

B. Saran
Sindrom Stevens Johnson bisa menyerang semua usia, namun lebih sering terjadi pada
usia dewasa. Begitu pula dengan gender, laki-laki dan perempuan memiliki risiko yang sama
untuk terkena SSJ. Pencegahan yang terbaik adalah tidak mengonsumsi obat sembarangan.
ada baiknya pasien memberitahukan kepada dokter jika memiliki alergi terhadap suatu obat-
obatan, makanan atau bahan-bahan kimia tertentu dan penyakit yang pernah klien derita.
Karena hal ini sangat penting bagi dokter agar bisa menentukan dengan tepat jenis obat apa
yang aman bagi pasien. Demikian makalah yang telah kelompok buat. Kelompok sadar akan
banyaknya kesalahan dan kekurangan sehingga makalah ini jauh dari sempurna. Oleh karena
itu kelompok mangharapkan kritik dan saran agar bisa menjadikan motivasi agar penulisan
makalah kedepan bisa menjadi lebih baik.

28
DAFTAR PUSTAKA

Darmawan, H. (2014). Sindrom Stevens-Johnson Diduga Akibat Siprofloksasin.


CDK-217/Vol. 41 No. 6, 432-435.
Djuanda, A. (2015). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 2. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Effendi, E. (2015). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Herdman, T. (2015). NANDA Internasional Inc. Diagnosis Keperawatan: Definisi &
Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10. Jakarta: EGC.
Karsenda. (2013). Pemberian Kortikosteroid pada Pasien Sindrom Steven-Johnson. Jurnal
Medula, Volume 1, Nomor 3, 92-100.
Lutfi, D., Zuhria, I., & Doemilah, E. (2007). Limbal Stem Cell Transplantation in Limbal
Stem Cell Deficiency After Steven Johnson Syndrome. Jurnal Oftamologi Indonesia
Vo. 5 No. 3, 235-238.
Muttaqin, A., & Sari, K. (2013). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Integumen. Jakarta:
Salemba Medika.
Parillo, S. J. (2010). Stevens-Johnson Syndrome. Contributor Information And Disclosures.
Ramayanti, S. (2011). Manifestasi Oral dan Penatalaksanaan pada Penderita Sindrom
Stevens-Johnson. Majalah Kedokteran Andalas No. 2 Vo. 35, 91-97.
Thaha, M. (2009). Sindrom Stevens-Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksis di RSUP MH
Palembang Periode 2006 - 2008. Media Media Indonesiana Volume 43 Nomor 5, 234-
239.

29

Anda mungkin juga menyukai