KELOMPOK 7
DISUSUN OLEH:
1. DESMAWATI
2. FARIDA ARIYANTI
3. MURI MAHMUDIN
4. RACHMA WAHYUNI
5. SITI MAISAROH
6. SUMARTINI
7. YEMI WILIANTI
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sindrom steven jhonson merupakan kelainan kulit yang bersifat fatal dan
merupakan kondisi paling ekstrim dari eritema multiformis. Kondisi ini dipicu oleh
penggunaan medikasi. Antibiotik, agens anti kejang NSAID, dan sulfonamida adalah
obat-obatan yang paling sering menimbulkan kejadian ini. Seluruh permukaan tubuh
dapat dipenuhi oleh eritema dan lepuhan (Brunner & Suddarth, 2013)
Sindrom Steven Johnson ditemukan oleh dua dokter anak Amerika, yaitu A.M.
Steven dan S.C Johnson, 1992 Sindrom Steven Johnson yang bisa disingkat SSJ
merupakan reaksi alergi yang hebat terhadap obat-obatan. Penyakit ini umumnya
menyerang anak-anak dan dewasa maupun muda, jarang dijumpai pada anak usia 3
tahun kebawah. Sindrom ini merupakan suatu penyakit gawat darurat yang jarang
terjadi, insidensi SSJ adalah 1-6 kasus/juta penduduk/tahun sedangkan insidensi NET
0,4 – 1,2 kasus/juta penduduk/tahun. SSJ dan NET dapat terjadi pada usia muda
sampai usia tua dan semakin meningkat pada usia di atas 40 tahun. Perbandingan
kejadian pada perempuan dan laki-laki adalah 1,5:1. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan terhadap orang dewasa di Amerika Serikat, didapatkan insidensi SSJ 9,2
per juta penduduk per tahun sedangkan NET 1,9 per juta penduduk per tahun.
Berdasarkan penelitian di Cina periode tahun 2006-2016 didapatkan total
pasien 166 orang dengan pembagian SSJ 70 kasus, SSJ-NET 2 kasus, dan NET 94
kasus. Penyebab terbanyak kasus SSJ-NET di Cina adalah antibiotik dan
antikonvulsan. Pada sebagian pasien diberikan terapi kombinasi steroid sistemik dan
intravena immunoglobulin (IVIG) dan pasien lainnya diberikan steroid sistemik saja.
Berdasarkan data tahun 2010 – 2013 di rawat inap RSCM, didapatkan 57 kasus yang
terdiri dari SSJ 47,4%, overlap SSJ-NET 19,3% dan NET 33,3%. Data di RSUP Dr.
M. Djamil Padang periode Januari 2010 sampai Desember 2011 didapatkan 22 kasus
SSJ pada pasien rawat inap dengan perbandingan laki – laki dan perempuan yaitu 3:1
dengan pasien terbanyak di usia lebih 19 tahun sampai kurang dari 59 tahun. Hasil
penelitian di rawat inap RS Dr. Moewardi Surakarta periode Agustus 2011- Agustus
3
2013 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kasus SSJ-NET pada Agustus 2012 –
Agustus 2013 dibandingkan Agustus 2011 – Agustus 2012.
Mekanisme terjadinya SSJ belum diketahui secara pasti, tetapi teori mengatakan
bahwa SSJ disebabkan mekanisme immunologi dengan penyebab terbanyak
terjadinya SSJ adalah alergi obat. Obat – obatan yang sering menyebabkan SSJ yaitu
sulfonamid, antikonvulsan aromatik, allopurinol, antiinflamasi non-steroid dan
nevirapin. Selain obat, SSJ juga dapat disebabkan oleh infeksi, paska imunisasi,
keganasan, paparan bahan kimia dari lingkungan dan radiasi. Faktor yang
mempengaruhi tingkat keparahan telah dilakukan penelitian oleh Gravante, 2007.
Penelitian tersebut mendapatkan hasil bahwa usia, keterlambatan datang ke rumah
sakit, luas permukaan tubuh yang terkena, sel darah putih, kreatinin, natrium dalam
darah, terapi immunoglobulin dan terdapat 2 atau lebih spesies bakteri dalam darah
berkorelasi dengan kematian.
Dari data yang dijelaskan diatas, kelompok tertarik untuk membahas perihal
sindrom steven johnson karena sindrom steven johnson sangat berbahaya bahkan
dapat menyebabkan kematian.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi penyakit Steven Johnson?
2. Apa etiologi penyakit Steven Johnson?
3. Bagaimana patofisiologi penyakit Steven Johnson?
4. Apa saja pemeriksaan diagnostic penyakit Steven Johnson?
5. Bagaimana penatalaksanaan penyakit Steven Johnson?
6. Apa komplikasi dari penyakit Steven Johnson?
7. Bagaimana asuhan keperawatan penyakit Steven Johnson?
C. Tujuan
Tujuan dalam penyusunan makalah ini yaitu untuk mengetahui dan memahami
tentang konsep dasar penyakit sindrom steven johnson dan asuhan keperawatan yang
benar pada pasien dengan sindrom steven johnson.
4
BAB II
KONSEP TEORI
A. Definisi
Sindrom Stevens-Johnson merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput
lendir di orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai
berat. Kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura
(Muttaqin & Sari, 2013).
Sindrom Stevens-Johnson didefinisikan sebagai reaksi kumpulan gejala
sistemik dengan karakteristik yang mengenai kulit, mata dan selaput lendir orifisium.
Sindrom Stevens-Johnson merupakan bentuk berat dari eritema multiforme, sehingga
SSJ dikenal juga dengan sebutan eritema multiforme mayor (Darmawan, 2014).
Menurut Sharma and Sethuraman (1996) dalam (Karsenda, 2013), Sindrom
Stevens-Johnson adalah bentuk penyakit mukokutan dengan tanda dan gejala sistemik
yang dari ringan sampai berat berupa lesi target dengan bentuk yang tidak teratur,
disertai makula, vesikel, bula dan purpura yang tersebar luas terutama pada rangka
tubuh, terjadi pengelupasan epidermis kurang lebih 10 % dari area permukaan tubuh,
serta melibatkan lebih dari satu membran mukosa.
B. Etiologi
Etiologi sindrom Stevens-Johnson bersifat multifaktorial, sedangkan etiologi
pasti belum diketahui. Faktor yang diduga kuat sebagai etiologinya adalah reaksi
alergi obat secara sistemik, infeksi bakteri, virus, jamur, protozoa, neoplasma, reaksi
pascavaksinasi, terapi radiasi, alergi makanan, bahan-bahan kimia dan penyakit
kolagen (Ramayanti, 2011).
Menurut Darmawan (2014), penyakit ini disebabkan oleh reaksi hipersensitif
(alergi) terhadap obat; infeksi HIV, penyakit jaringan ikat dan kanker merupakan
faktor risiko penyakit ini. Beberapa kasus berhubungan dengan infeksi Mycoplasma
pneumonia, kasus lainnya idiopatik atau tidak diketahui penyebabnya. Berikut adalah
etiologi sindrom Stevens-Johnson menurut (Parillo, 2010).
5
1. Obat-obatan dan keganasan merupakan penyebab utama pada pasien dewasa
dan usia lanjut. Hampir semua kasus SSJ disebabkan oleh reaksi toksik
terhadap obat, terutama antibiotik (misal obat sulfa dan penisilin), antikejang
(mis. fenitoin) dan obat nyeri, termasuk yang dijual tanpa resep. Terkait HIV,
alasan SSJ yang paling umum adalah nevirapine (hingga 1,5 persen
penggunanya) dan kotrimoksazol (jarang).
2. Kasus pediatrik lebih banyak berhubungan dengan infeksi daripada keganasan
atau reaksi obat. Jarang pada anak usia 3 tahun atau dibawahnya, karena
imunitas belum berkembang sepenuhnya.
3. NSAID oksikam dan sulfonamid merupakan penyebab utama di negara-
negara Barat. Di Asia Timur allopurinol merupakan penyebab utama.
4. Empat kategori etiologi adalah infeksi, reaksi obat, keganasan dan idiopatik.
C. Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas, diperkirakan karena reaksi alergi tipe III dan IV.
Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang
membentuk mikropresitipasi sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen. Akibatnya
terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan
kerusakan jaringan pada organ sasaran. Reaksi tipe IV terjadi akibat limfosit T yang
tersentisasi berkontrak kembali dengan antigen yang sama, kemudian limfokin
dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Muttaqin & Sari, 2013).
6
Pathway
Nyeri akut
Melepas sel yang rusak
Kerusakan jaringan
Resiko
kekurangan Intake tidak adekuat
volume cairan
Ketidakseimbangan
nutrisi: kurang dari
kebutuhan tubuh
7
D. Manifestasi Klinis
Sindrom Stevens-Johnson mempunyai tiga gelaja yang khas yaitu kelainan
pada mata berupa konjungtivitis, kelainan pada genital berupa balanitis dan
vulvovaginitis, serta kelainan oral berupa stomatitis. Lesi oral didahului oleh makula
dan papula yang segera diikuti vesikel atau bula, kemudian pecah karena trauma
mekanik menjadi erosi dan terjadi ekskoriasi sehingga terbentuk ulkus yang ditutupi
oleh jaringan nekrotik berwarna abu-abu putih atau eksudat abu-abu kuning
menyerupai pseudomembran. Ulkus nekrosis ini mudah mengalami perdarahan dan
menjadi krusta kehitaman. Lesi oral cenderung lebih banyak terjadi pada bagian
anterior mulut termasuk bibir, bagian lain yang sering terlibat adalah lidah, mukosa
pipi, palatum durum, palatum mole, bahkan dapat mencapai faring, saluran pernafasan
atas dan esofagus, namun lesi jarang terjadi pada gusi. Lesi oral yang hebat dapat
menyebabkan pasien tidak dapat makan dan menelan, sedangkan lesi pada saluran
pernafasan bagian atas dapat menyebabkan keluhan sulit bernafas (Ramayanti, 2011).
Berikut adalah manifestasi klinis dari pasien dengan Steven Johnson Syndrome.
1. Sindroma prodromal yang non spesifik dan reaksi konstitusional berupa
meningkatnya suhu tubuh, sakit kepala, batuk, sakit tenggorokan, nyeri dada,
mialgi, sehingga penderita berobat. Dalam keadaan ini, sering penderita
mendapat pengobatan antibiotik, dan anti inflamasi sehingga menyebabkan
kesukaran dalam mengidentifikasi obat penyebab SJS (Djuanda, 2015). Gejala
prodromal ini dapat berlangsung selama dua minggu dan bervariasi dari ringan
sampai berat. Pada keadaan ringan kesadaran pasien baik, sedangkan keadaan
yang berat gejala-gejala menjadi lebih hebat, sehingga kesadaran pasien
menurun bahkan sampai koma (Ramayanti, 2011).
2. Gejala kulit dapat berupa macula eritematus yang menyerupai morbilliform
rash, timbul pada muka, leher, dagu, tubuh, dan ekstermitas. Lesi taget dan
bula dengan Nikolsky sign positif sering didapatkan. Lesi membesar dan
bertambah banyak (Djuanda, 2015). Lesi kulit pada sindrom Stevens-Johnson
dapat timbul sebagai gejala awal atau dapat juga terjadi setelah gejala klinis
dibagian tubuh lainnya. Lesi pada kulit umumnya bersifat asimetri dan ukuran
lesi bervariasi dari kecil sampai besar. Mula-mula lesi kulit berupa erupsi yang
bersifat multiformis yaitu eritema yang menyebar luas pada rangka tubuh.
Eritema ini menyebar luas secara cepat dan biasanya mencapai maksimal
dalam waktu empat hari, bahkan seringkali hanya dalam hitungan jam. Pada
8
kasus yang sedang, lesi timbul pada permukaan ekstensor badan, dorsal tangan
dan kaki, sedangkan pada kasus yang berat lesi menyebar luas pada wajah,
dada dan seluruh permukaan tubuh. Eritema akan menjadi vesikel dan bula
yang kemudian pecah menjadi erosi, ekskoriasi, menjadi ulkus yang ditutupi
pseudomembran atau eksudat bening. Pseudomembran akan terlepas
meninggalkan ulkus nekrosis, dan apabila terdapat perdarahan akan menjadi
krusta yang umumnya berwarna coklat gelap sampai kehitaman. Variasi lain
dari lesi kulit berupa purpura, urtikaria dan edema. Selain itu adanya erupsi
kulit dapat juga menimbulkan rasa gatal dan rasa terbakar. Terbentuknya
purpura pada lesi kulit memberikan prognosis yang buruk (Ramayanti, 2011).
3. Kelainan membrane mukosa. Bibir mukosa mulut dirasakan sakit, disertai
kelainan mukosa yang eritematus, sembab, dan disertai bula yang kemudian
akan pecah sehingga timbul erosi yag tertutup pseudomembrane. Bibir diliputi
massive hemorarrhagic crusts. Kelainan pada kelmin juga sering didapat
berupa bula yang hemorrhagic dan erosi (Djuanda, 2015). Lesi oral
mempunyai karakteristik yang lebih bervariasi daripada lesi kulit, seluruh
permukaan oral dapat terlibat, namun lesi oral lebih cenderung banyak terjadi
pada bibir, lidah, palatum mole, palatum durum, mukosa pipi sedangkan pada
gusi relative jarang terjadi lesi. Lesi oral didahului oleh macula, papula, segera
diikuti oleh vesikel dan bula. Ukuran vesikel maupun bula bervariasi dan
mudah pecah dibandingkan lesi pada kulit. Vesikel maupun bula terutama
pada mukosa bibir mudah pecah Karena gerakan lidah dan friksi pada waktu
mengunyah dan bicara sehingga bentuk yang utuh jarang ditemukan pada
waktu pemeriksaan klinis intra oral (Ramayanti, 2011).
Vesikel maupun bula yang mudah pecah selanjutnya menjadi erosi, kemudian
mengalami ekskoriasi dan terbentuk ulkus. Ulkus ditutupi oleh jaringan
nekrotik yang berwarna abuabu putih atau eksudat abu-abu kuning
menyerupai pseudomembran. Jaringan nekrotik mudah mengelupas sehingga
meninggalkan suatu ulkus yang berbentuk tidak teratur dengan tepi tidak jelas
dan dasar tidak rata yang berwarna kemerahan. Apabila terjadi trauma
mekanik dan mengalami perdarahan maka ulkus akan menjadi krusta
berwarna coklat sampai kehitaman. Krusta kehitaman yang tebal dapat terlihat
pada mukosa bibir dan seringkali lesi pada mukosa bibir meluas sampai tepi
sebelah luar bibir dan sudut mulut (Gambar 1.1) (Ramayanti, 2011).
9
Pada palatum mole maupun palatum durum dapat terjadi lesi oral. Lesi oral
diawali oleh vesikel maupun bula yang mudah pecah menjadi erosi ekskoriasi
dan ulkus. Erosi seringkali ditutupi pseudomembran dan dikelilingi daerah
berwarna kemerahan. Ulkus dapat meluas terutama terjadi pada palatum
durum (Gambar 2.2). Pada mukosa pipi terjadi juga pola perkembangan lesi
seperti lidah, vesikel atau bula di mukosa pipi jarang ditemukan utuh, hanya
berupa erosi atau ulkus yang ditutupi dengan pseudomembran (Ramayanti,
2011).
10
hemoragi pada garis tepi mata. Penderita sindrom Stevens-Johnson yang
parah, kelainan mata dapat berkembang menjadi konjungtivitis purulen,
photophobia, panophtalmitis, deformitas kelopak mata, uveitis anterior, iritis,
simblefaron, iridosiklitis serta sindrom mata kering, komplikasi lainnya dapat
juga mengenai kornea berupa sikatriks kornea, ulserasi kornea, dan kekeruhan
kornea. Bila kelainan mata ini tidak segera diatasi maka dapat menyebabkan
kebutaan (Ramayanti, 2011).
5. Manifestasi pada genital. Lesi pada genital dapat menyebabkan uretritis,
balanitis dan vulvovaginitis. Balanitis adalah inflamasi pada glans penis.
Uretritis merupakan peradangan pada uretra dengan gejala klasik berupa secret
uretra, peradangan meatus, rasa terbakar, gatal, dan sering buang air kecil.
Vulvovaginitis adalah peradangan pada vagina yang biasanya melibatkan
vulva dengan gejala-gejala berupa bertambahnya cairan vagina, iritasi vulva,
gatal, bau yang tidak sedap, rasa tidak nyaman, dan gangguan buang air kecil.
Sindrom Stevens-Johnson dapat pula menyerang anal berupa peradangan anal
atau inflammed anal (Ramayanti, 2011).
11
Gambar 3 Pelepasan epidermis pada pasien sindrom Stevens-Johnson (Parillo,
2010)
E. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan untuk mendukung ditegakkannya diagnosis sindrom steven
johnson menurut (Kusuma & Nurarif, 2015), yaitu :
1. Laboratorium: Biasanya dijumpai leukositosis atau eosinofilia. Bila disangka
penyebabnya infeksi dapat dilakukan kultur darah.
2. Histopatologi: Kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, oedema, dan
esktravasasi sel darah merah. Degenerasi lapisan basalis. Nekrosis sel epidermal
dan spongiosis dan edema intrasel di epidermis.
3. Imunologi: Dijumpai deposis IgM dan C3 di pembuluh darah dermal superficial
serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.
12
Kadar urea serum >10 mM (BUN > 27 mg/dL) 1
Kadar bikarbonat serum < 20 mEq/L 1
Kadar glukosa serum > 14 mM (250 mg/dL) 1
Sumber: Bastuji-Garin et al. SCORTEN: A severity-of-illness score for toxic
epidermal necrolysis. J Invest Dermatol. 2000;115:149 dalam Thaha, 2009.
F. Penatalaksanaan
Penegakan diagnosis sulit dilakukan karena seringkali terdapat berbagai
macam bentuk lesi yang timbul bersamaan atau bertahap. Diagnosis sindrom Stevens-
Johnson terutama berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan
penunjang. Perawatan pada penderita sindrom Stevens-Johnson lebih ditekankan pada
perawatan simtomatik dan suportif karena etiologinya belum diketahui secara pasti
(Ramayanti, 2011). Penanganan simptomatik suportif yaitu mempertahankan
keseimbangan hemodinamik, dan mencegah terjadi komplikasi yang mengancam jiwa
(Thaha, 2009).
Penatalaksanaan sindrom Stevens-Johnson didasarkan atas tingkat keparahan
penyakit yang secara umum meliputi (Ramayanti, 2011):
1. Rawat Inap
Rawat inap bertujuan agar dokter dapat memantau dan mengontrol setiap hari
keadaan penderita.
2. Preparat Kortikosteroid
Penggunaan preparat kortikosteroid
merupakan tindakan life saving.
Kortikosteroid yang biasa digunakan berupa deksametason secara intravena
dengan dosis permulaan 4-6 x 5mg sehari. Masa kritis biasanya dapat segera
diatasi dalam 2-3 hari, dan apabila keadaan umum membaik dan tidak timbul
lesi baru, sedangkan lesi lama mengalami involusi, maka dosis segera
diturunkan 5mg secara cepat setiap hari. Setelah dosis mencapai 5mg sehari
kemudian diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone, yang
diberikan dengan dosis 20 mg sehari, kemudian diturunkan menjadi 10mg
pada hari berikutnya selanjutnya pemberian obat dihentikan. Lama pengobatan
preparat kortikosteroid kira-kira berlangsung selama 10 hari.
13
3. Antibiotik
Penggunaan preparat kortikosteroid dengan dosis tinggi menyebabkan
imunitas penderita menurun, maka antibiotic harus diberikan untuk mencegah
terjadinya infeksi sekunder, misalnya broncopneneumonia yang dapat
menyebabkan kematian. Antibiotik yang diberikan hendaknya yang jarang
menyebabkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal, dan tidak
nefrotoksik. Antibiotik yang memenuhi syarat tersebut antara lain
siprofloksasin dengan dosis 2 x 400mg intravena, klindamisin dengan dosis 2
x 600mg intravena dan gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.
4. Infuse dan Transfusi Darah
Hal yang perlu diperhatikan kepada penderita adalah mengatur keseimbangan
cairan atau elektrolit tubuh, karena penderita sukar atau tidak dapat menelan
makanan atau minuman akibat adanya lesi oral dan tenggorokan serta
kesadaran penderita yang menurun. Infuse yang diberikan berupa glukosa 5%
dan larutan Darrow. Apabila terapi yang telah diberikan dan penderita belum
menampakkan perbaikan dalam waktu 2-3 hari, maka penderita dapat
diberikan transfuse darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut,
khususnya pada kasus yang disertai purpura yang luas dan leucopenia.
5. KCl
Penderita yang menggunakan kortikosteroid umumnya mengalami penurunan
kalium atau hipokalemia, maka diberikan KCl dengan dosis 3 x 500 mg sehari
peroral.
6. Adenocorticotropichormon (ACTH)
Penderita perlu diberikan ACTH untuk menghindari terjadinya supresi korteks
adrenal akibat pemberian kortikosteroid. ACTH yang diberikan berupa ACTH
sintetik dengan dosis 1 mg.
7. Agen Hemostatis
Agen hemostatik terutama diberikan pada penderita disertai purpura yang luas.
Agen hemostatik yang sering digunakan adalah vitamin K.
8. Diet
Diet rendah garam dan tinggi protein merupakan pola diet yang dianjurkan
kepada penderita. Akibat penggunaan preparat kortikosteroid dalam jangka
waktu lama, penderita mengalami retensi natrium dan kehilangan protein,
dengan diet rendah garam dan tinggi protein diharapkan konsentrasi garam
14
dan protein penderita dapat kembali normal. Penderita selain menjalani diet
rendah garam dan tinggi protein, dapat juga diberikan makanan yang lunak
atau cair, terutama pada penderita yang sukar menelan (Ramayanti, 2011).
9. Vitamin
Vitamin yang diberikan berupa vitamin B kompleks dan vitamin C. Vitamin B
kompleks diduga dapat memperpendek durasi penyakit. Vitamin C diberikan
dengan dosis 500 mg atau 1000 mg sehari dan ditujukan terutama pada
penderita dengan kasus purpura yang luas sehingga pemberian vitamin dapat
membantu mengurangi permeabilitas kapiler
15
Rasa nyeri yang disebabkan lesi oral dapat dihilangkan dengan pemberian
anastetik topical dalam bentuk larutan atau salep yang mengandung lidokain
2%. Campuran 50% air dan hydrogen peroksida dapat digunakan untuk
menyembuhkan jaringan nekrosis pada mukosa pipi. Antijamur dan antibiotik
dapat digunakan untuk mencegah superinfeksi. Lesi pada mukosa bibir yang
parah dapat diberikan perawatan berupa kompres asam borat 3%. Lesi oral
pada bibir diobati dengan boraks-gliserin atau penggunaan triamsinolon
asetonid. Triamsinolon asetonid merupakan preparat kortikosteroid topical.
Kortikosteroid yang biasa digunakan pada lesi oral adalah bentuk pasta.
Pemakaian pasta dianjurkan saat sebelum tidur karena lebih efektif. Sebelum
dioleskan, daerah sekitar lesi harus dibersihkan terlebih dahulu kemudian
dikeringkan menggunakan spons steril untuk mencegah melarutnya pasta oleh
saliva. Apabila pasta larut oleh saliva, obat tidak dapat bekerja dengan
optimum sehingga tidak akan diperoleh efek terapi yang diharapkan.
G. Komplikasi
Saat “onset” terjadi, penderita Steven Johnson Syndrome mengalami demam,
nyeri otot, gejala traktus respirasi atas dan bawah. Pada membran mukosa mata, bibir,
dan genetalia akan terjadi lesi berupa “bulla” dengan pembentukan mambran atau
pseudomembran. Komplikasi lanjut pada membran mukosa mata karena pembentukan
jaringan sikatrik sehingga menyebabkan conjunctival shinkage, trikiasis, dan
defisiensi air mata. Pada kornea terutama pada fase lanjut dapat terjadi epitheliopathy
kronis, defek epitel yang tidak sembuh, pembentukan pannus fibrovaskular, sikatrik
subepitelial dan neovaskularisasi strome, sikatrik dan penipisan kornea (Lutfi, Zuhria,
& Doemilah, 2007).
Berikut adalah beberapa penyulit dari penyakit Steven Johnson Syndome
menurut Djuanda (2015) antara lain; Sepsis, Pneumoni dan Gagal ginjal.
16
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian Keperawatan
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun ke bawah. Keadaan umumnya
bervariasi dari ringan sampai berat. Pada kondisi yang berat, kesadarannya menurun,
penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala
prodomal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri
tenggorok. Dalam keadaan ini, sering penderita mendapat pengobatan antibiotik dan
antiinflamasi sehingga menyebabkan kesukaran dalam mengidentifikasi obat
penyebab sindrom Stevens Johnson (Muttaqin & Sari, 2013).
Trias kelainan yang terjadi terdapat pada kulit, mukosa, dan mata. Kelainan
kulit terdiri atas eritema, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah
sehingga terjadi erosi yang luas. Di samping itu, dapat juga terjadi purpura. Jika
disertai purpura, prognosisnya menjadi lebih buruk. Pada bentuk yang berat
kelainannya generalisata. Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa
mulut (100%), kemudian disusul oleh kelainan di lubang alat genital (50%),
sedangkan di lubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%).
Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi,
ekskoriasi, dan krusta kehitaman. Selain itu, juga dapat terbentuk pseudomembran.
Pada bibir, kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang tebal.
Kelainan di mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas,
dan esofagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar/tidak dapat menelan.
Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernapas.
Sementara itu pada mata, 80% di antara semua kasus yang tersering ialah
konjungtivitis kataralis. Selain itu, juga dapat berupa konjungtivitis purulen,
perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, dan iridosiklitis (Muttaqin & Sari,
2013).
Menurut Parillo (2010), pemeriksaan fisik pada pasien sindrom Steven
Johnson ditemukan:
a. Demam
b. Orthostasis
c. Tachycardia
17
d. Hipotensi
e. Perubahan tingkat kesadaran
f. Epistaksis
g. Konjungtivitis
h. Ulserasi kornea
i. Erosif vulvovaginitis atau balanitis
j. Kejang, koma
B. Diagnosa Keperawatan
Menurut (NANDA, 2015), diagnosa yang dapat ditegakkan pada klien
dengan sindrom steven johnson, adalah :
C. Intervensi Keperawatan
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan agens farmaseutikal ditandai
dengan adanya lesi pada kulit, mukosa, dan mata (00046)
Tujuan yang diharapkan (NOC): Integritas jaringan: kulit & membran
mukosa baik
Kriteria Hasil :
1) Tidak ada lesi pada kulit dan mukosa membran
2) Tidak ada pengelupasan kulit
3) Tidak ada eritema
4) Tidak ada peningkatan suhu kulit
18
Rencana Tindakan (NIC):
Intervensi Rasional
1. Pantau kulit dan membran 1. Mengetahui perkembangan
mukosa pada area yang kondisi luka/lesi dan
mengalami perubahan menentukan intervensi
warna, memar, dan tindakan selanjutnya dengan
kerusakan. tepat untuk memperbaiki
integritas kulit.
19
6. Ajarkan kepada keluarga 6. Pengetahuan yang adekuat
tentang tanda dan kerusakan pada keluarga dapat
2.
kulit. membantu tenaga kesehatan
Resiko
dalam mengantisipasi tanda
kerusakan kulit pada klien.
Kriteria Hasil:
1) Mengidentifikasi faktor resiko infeksi
2) Mengidentifikasi tanda dan gejala infeksi
3) Memonitor perilaku diri yang berhubungan dengan resiko infeksi
4) Memonitor faktor di lingkungan yang berhubungan dengan resiko infeksi
5) Jumlah leukosit dalam batas normal (5000 - 10.000/mm3)
Intervensi Rasional
1. Monitor tekanan darah, nadi, 1. Perubahan tanda vital,
suhu, dan status pernafasan terutama suhu merupakan
dengan tepat. komplikasi lanjut untuk
terjadinya infeksi.
20
3. Batasi jumlah pengunjung 3. Pengunjung dapat
meningkatkan resiko
kontaminasi silang.
21
3. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera ditandai dengan kulit yang
terkelupas dan adanya lesi (00132)
Tujuan yang diharapkan (NOC) : Kontrol nyeri dapat dilakukan dan tingkat nyeri
dapat berkurang
Kriteria Hasil :
1) Secara konsisten menunjukkan dalam menggunakan tindakan pengurangan
nyeri tanpa analgesik
2) Nyeri yang dilaporkan : tidak ada
3) Ekspresi nyeri wajah : tidak ada
4) Melaporkan nyeri yang terkontrol
5) Melaporkan perubahan terhadap gejala nyeri pada profesional kesehatan
Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat nyeri yang 1. Data-data tersebut digunakan
komprehensif meliputi sebagai data dasar dalam
lokasi, karakteristik, awitan menentukan intervensi
dan durasi, frekwensi, tindakan yang tepat pada
4. kualitas,
Lakukan perubahan
intensitas posisi
atau 4. klien
Perubahan posisi untuk
selanjutnya dan
dan relaksasi.
keparahan nyeri, dan faktor relaksasi kesembuhan
mencapai dapat membantu
klien
presipitasinya yang optimal
klien mengurangi rasa nyeri
dan klien merasa rileks.
2. Observasi isyarat nonverbal 2. Isyarat nonverbal klien
5. Tingkatkan istirahat/tidur
ketidaknyamanan. (meringis,
5. Istirahat/tidur mengernyit)
dapat
yang cukup untuk membantu
menjadi tanda bahwa
mengalihkan fokus klien
pada
mengurangi rasa nyeri.
merasakan
nyeri klien.
ketidaknyamanan/nyeri
23
4. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan makan ditandai dengan demam, sakit tenggorokan, dan adanya
gangguan pada mukosa (00002)
Tujuan yang diharapkan (NOC): Status nutrisi klien baik
Kriteria Hasil:
1) Asupan makanan secara oral adekuat
2) Tudak ada rasa tidak nyaman dengan menelan
3) Hasrat/keinginan untuk makan tidak terganggu
4) Tidak ada lesi mukosa mulut
Intervensi Rasional
1. Kaji kemampuan pasien 1. Kemampuan pasien makan
untuk mendapatkan nutrisi dapat mempengaruhi intake
yang dibutuhkan. nutrisi pasien.
24
3. Lakukan atau bantu pasien 3. Mulut yang bersih dapat
terkait dengan perawatan meningkatkan kenyamanan
5. mulut sebelum makan dan nafsu makan klien
Resiko
Kriteria Hasil :
1) Tidak ada kehausan
2) Asupan makanan secara oral adekuat
3) Asupan cairan secara oral adekuat
25
Rencana Tindakan (NIC) :
Intervensi Rasional
1. Monitor status hidrasi 1. Sebagai data dasar untuk
(kelembaban membran menentukan kemungkinan
mukosa, nadi adekuat, adanya resiko kekurangan
tekanan darah ortostatik), volume cairan pada klien.
jika diperlukan.
26
6. Kolaborasi dengan dokter 6. Pemberian suplemen
tentang kebutuhan suplemen makanan dan cairan melalui
makanan seperti NGT NGT dapat mempertahankan
sehingga intake cairan intake cairan yang adekuat.
adekuat dapat dipertahankan.
D. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah tahap tindakan dalam proses keperawatan dimana harus
membutuhkan penerapan intelektual, interpersonal, dan teknis (Martin dan Griffin, 2014).
Implementasi keperawatan adalah suatu tindakan keperawatan yang sebelumnya telah di
rencanakan pada intervensi keperawatan. Setelah melakukan implementasi hendaklah perawat
melihat respon subjektif maupun objektif pasien.
E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tahap terakhir dari proses keperawatan yang bertujuan untuk menilai hasil
akhir dari seluruh tindakan keperawatan yang telah dilakukan (Bararah & Jauhar, 2013).
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Syndrome Steven Johnson atau biasa disingkat SSJ yaitu syndrom kelainan pada kulit,
selaput lendir orifisium dan mata atau dengan kata lain, reaksi yang melibatkan kulit mukosa
(selaput lendir) yang berat mengancam jiwa ditandai dengan pelepasan epidermis, bintil berisi
air dan erosi atau pengelupasan dari selaput lendir. Penyakit ini menyerang selaput lendir,
meliputi selaput bening mata, bibir bidang dalam, rongga mulut, genital dan anus. Gejala
awalnya berupa demam, kesukaran diwaktu menelan, pegal-pegal atau nyeri di tubuh, sakit
kepala, sesak napas, dan ada tanda kemerahan atau ruam merah kepada kulit, munculnya
bintil berisi air (seperti cacar) yang terasa sakit bahkan sampai menyebabkan kulit
mengelupas dan melepuh. Penyebabnya yaitu dikarenakan infeksivirus, bakteri dan jamur,
atau alergi obat-obat tertentu, umumnya yakni pemakaian obat antibiotik.
B. Saran
Sindrom Stevens Johnson bisa menyerang semua usia, namun lebih sering terjadi pada
usia dewasa. Begitu pula dengan gender, laki-laki dan perempuan memiliki risiko yang sama
untuk terkena SSJ. Pencegahan yang terbaik adalah tidak mengonsumsi obat sembarangan.
ada baiknya pasien memberitahukan kepada dokter jika memiliki alergi terhadap suatu obat-
obatan, makanan atau bahan-bahan kimia tertentu dan penyakit yang pernah klien derita.
Karena hal ini sangat penting bagi dokter agar bisa menentukan dengan tepat jenis obat apa
yang aman bagi pasien. Demikian makalah yang telah kelompok buat. Kelompok sadar akan
banyaknya kesalahan dan kekurangan sehingga makalah ini jauh dari sempurna. Oleh karena
itu kelompok mangharapkan kritik dan saran agar bisa menjadikan motivasi agar penulisan
makalah kedepan bisa menjadi lebih baik.
28
DAFTAR PUSTAKA
29