Anda di halaman 1dari 4

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui konsep medis dan asuhan keperawatan pada klien dengan Steven
Jhonson Syndrome .
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian terhadap klien dengan Steven Jhonson
Syndrome
b. Mahasiwa mampu menegakkan diagnose keperawatan
c. Mahasiswa mampu membuat intervensi untuk klien dengan Steven Jhonson
Syndrome
d. Mahasiwa mampu mengimplementasikan rencana tindakan yang telah dibuat.
2

BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Definisi Steven Jhonson Syndrome

Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mnegenai kulit, selaput lendir, di orifisium
dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat kelainan pada kulit berupa
eritema vesikel atau bula, dapat disertai purpura. (Hadi, 2016)

Sindrom steven Johnson I adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari erupsi
kulit, kelainan di mukosa dan konjutifitis (Hadi, 2016)

Sindrom Steven Jhonson merupakan kelainan kulit yang bersifat fatal dan merupakan
kondisi paling ekstrim dari eritema multiformis. Kondisi ini dipicu oleh penggunaan medikasi.
Antibiotik, agens anti kejang NSAID, dan sulfonamida adalah obat-obatan yang paling sering
menimbulkan kejadian ini. Seluruh permukaan tubuh dapat dipenuhi oleh eritema dan lepuhan
(Brunner & Suddarth, 2013)

Stevens Johnson Syndrome adalah sebuah kondisi mengancam jiwa yang mempengaruhi
kulit dimana kematian sel menyebabkan epidermis terpisah dari dermis. Sindrom ini diperkirakan
oleh karena reaksi hipersensitivitas yang mempengaruhi kulit dan membrane mukosa. Walaupun
pada kebanyakan kasus bersifat idiopatik, penyebab utama yang diketahui adalah dari
pengobatan, infeksi dan terkadang keganasan. (Kusuma & Nurarif, 2015)

Terdapat tiga derajat klasifikasi yang diajukan menurut (Kusuma & Nurarif,
2015):
1. Derajat 1 : erosi mukosa SSJ dan pelepasan epidermis kurang dari 10%
2. Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%
3. Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%

B. Etiologi

Menurut (Porth & Maffin, 2009 dalam Brunner & Suddarth, 2010) sindrom steven
johnson dipicu oleh reaksi obat. Etiologinya tidak diketahui, tetapi kemungkinan
berhubungan dengan sistem imun dan bisa berupa suatu reaksi terhadap obat atau
kelainan sekunder akibat infeksi virus. Antibiotik, antikonvulsan, butazon dan
3

sulfonamid merupakan obat yang paling sering terlibat.

Beberapa penyebab sindrom steven johnson menurut (Kusuma & Nurarif, 2015):
1. Infeksi (biasanya merupakan lanjutan dari infeksi seperti virus herpes simpleks,
influenza, gondongan/mumps, histoplasmosis, virus Epstein- Barr, atau
sejenisnya).
2. Efek samping dari obat-obatan (allopurinol, diklofenak, fluconazole, valdecoxib,
sitagliptin, penicillin, barbiturat, sulfanomide, fenitoin, azitromisin, modafinil,
lamotrigin, nevirapin, ibuprofen, ethosuximide, carbamazepin).
3. Keganasan (karsinoma dan limfoma).
4. Faktor idiopatik (hingga 50%).
5. Sindrom steven johnson juga dilaporkan secara konsisten sebagai efek samping
yang jarang dari suplemen herbal yang mengandung ginseng. Sindrom steven
johnson juga mungkin disebabkan oleh karena penggunaan kokain.
Walaupun SSJ dapat disebabkan oleh infeksi viral, keganasan atau reaksi alergi berat
terhadap pengobatan, penyebab utama nampaknya karena penggunaan antibiotik dan
sulfametoksazole. Pengobatan yang secara turun menurun diketahui menyebabkan SSJ,
eritem multiformis, sindrom Lyell, dan nekrolisis epidermal toksik diantaranya
sulfanomide (antibiotik), penisilin (antibiotic), berbiturate (sedative), lamotrigin
(antikonvulsan), fenitoin-dilantin (antikonvulsan). Kombinasi lamotrigin dengan asam valproat
meningkatkan resiko dari terjadinya SSJ.

C. Manisfestasi Klinis
Menurut Hadi,, 2016
1. Keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat
2. Kesadaran dapat menurun dapat menurun pada keadaan yang berat
3. Pada penyakit akut disertai gejala-gejala prodromal berupa malaise, demam tinggi, nyeri
kepala, batuj & pilek, dan nyeri tenggorokan

4. Pada syndrome ini akan terlihat trias kelainan :


a. Kelainan kulit
b. Eritema
c. Vesikel dan bula yang kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas
purpura
4

Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata SJS dan TEN biasanya mulai dengan
gejala prodromal berkisar antara 1 – 14 hari berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit
menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot, dan antralgial yang sangat bervariasi dalam derajat berat
dan kombinasi gejala tersebut. Kemudian pasien mengalami ruam datar berwarna merah pada
muka dan batang tubuh , seringkali kemudian meluas ke seluruh tubuh dengan pola yang tidak
rata. Daerah ruam membesar dan meluas, sering membentuk lepuh pada tengahnya. Kulit lepuh
sangat longgar, dan mudah dilepas bila digosok. Pada TEN bagian kulit yang luas mengelupas,
sering hanya dengan sentuhan halus. Pada banyak orang, 30% atau lebih permukaan tubuh hilang.
Daerah kulit yang terpengaruh sangat nyeri dan pasien merasa sangat sakit dengan panas-dingin
dan demam. Pada beberapa orang, kuku dan rambut rontok. Pada SJS dan TEN, pasien mendapat
lepuh pada selaput mukosa yang melapisi mulut, tenggorokan, dubur, kelamin dan mata.
Kehilangan kulit dalam TEN serupa dengan luka bakar yang gawat dan sama – sama
berbahaya. Cairan dan elektrolit dalam jumlah yang sangat besar dapat merembes dari kulit yang
rusak. Daerah tersebut sangat rentan terhadap infeksi yang menjadi penyebab kematian utama
akibat TEN. Kelainan lendir di orifisium 100% terjadi pada mukosa mulut 50% lubang alat
genetalia jarang terjadi pada hidung dan anus masinfg masing hanya 8% dan 4% kelainan berpa
vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga menjadi erosi dan eksoriasi dan krusta kehitaman
juga dalam bentuk pseudomembran. Di bibir kelainan paling sering adalah krusta bewarna hitam
yang tebal. Kelainan mukosa dapat juga terjadi di faring, traktus respiratorius bagian atas dan
esophagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita tidak dapat menelan. Adanya
pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas.

Anda mungkin juga menyukai