Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sindrom Stevens-Johnson (SJS) adalah penyakit langka namun serius karena adanya reaksi
hipersensitivitas yang diperantarai kompleks imun, biasanya melibatkan kulit dan membran mukosa.
Pada perjalanan penyakit biasanya mengenai mulai dari mulut, hidung, mata, vagina, uretra,
pencernaan, dan mukosa pernapasan bawah. Sindrom Stevens-Johnson merupakan gangguan
sistemik serius dengan potensi morbiditas parah dan bahkan kematian. Sindrom Stevens-Johnson
hanya muncul dengan gejala seperti flu, diikuti dengan ruam merah atau keunguan yang menyebar
dan lecet, akhirnya menyebabkan lapisan atas kulit mati dan mengelupas. Penyebab pasti dari SSJ
saat ini belum diketahui namun ditemukan beberapa hal yang memicu timbulnya SSJ seperti obat-
obatan atau infeksi virus. mekanisme terjadinya sindroma pada SSJ adalah reaksi hipersensitif
terhadap zat yang memicunya.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :

1. Apa definisi dari Steven Johnson Sindrom ?


2. Apa saja klasifikasi pada Steven Johnson Sindrom ?
3. Bagaimana anatomi fisiologi kulit ?
4. Apa etiologi Steven Johnson Sindrom ?
5. Bagaimana manifestasi klinis pada orang yang menderita Steven Johnson Sindrom ?
6. Bagaimana patofisiologi Steven Johnson Sindrom ?
7. Apa saja komplikasi dari Steven Johnson Sindrom ?
8. Apa saja pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada Steven Johnson Sindrom ?
9. Bagaimana penatalaksanaan pada penyakit Steven Johnson Sindrom ?
10. Apa saja masalah yang lazim muncul pada pasien penderita Steven Johnson Sindrom ?
11. Apa discharge planning pada penderita Steven Johnson Sindrom ?
12. Bagaimana konsep dasar asuhan keperawatan pada pasien Steven Johnson Sindrom ?
C. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui :

1. Mengetahui definisi dari Steven Johnson Sindrom ?


2. Mengetahui apa saja klasifikasi pada Steven Johnson Sindrom ?
3. Memahami anatomi fisiologi kulit ?
4. Memahami etiologi Steven Johnson Sindrom ?
5. Memahami bagaimana manifestasi klinis pada orang yang menderita Steven Johnson Sindrom ?
6. Memahami bagaimana patofisiologi Steven Johnson Sindrom ?
7. Mengetahui apa saja komplikasi dari Steven Johnson Sindrom ?
8. Mengetahui apa saja pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada Steven Johnson
Sindrom ?
9. Memahami penatalaksanaan pada penyakit Steven Johnson Sindrom?
10. Mengetahui apa saja masalah yang lazim muncul pada pasien penderita Steven Johnson
Sindrom ?
11. Mengetahui apa discharge planning pada penderita Steven Johnson Sindrom ?
12. Memahami konsep dasar asuhan keperawatan pada pasien Steven Johnson Sindrom ?
BAB II

PEMBAHASAN

A. KONSEP DASAR MEDIS


1. Definisi

Sindrom Steven Jhonson (Stevens-Johnson sindrom (SJS)) adalah suatu kumpulan gejala klinis
erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium
serta mata disertai gejala umum berat. Stevens Johnson Syndrome adalah sebuah kondisi
mengancam jiwa yang mempengaruhi kulit dimana kematian sel menyebabkan epidermis terpisah
dari dermis. Sindrom Stevens- Johnsons merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir
diorifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat. Sindrom Steven
Johnson Adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan mata dengan keadaan
umum berfariasi dari ringan sampai berat kelainan pada kulit berupa eritema vesikel / bula, dapat
disertai purpura (Djuanda, 2000).

2. Klasifikasi

Terdapat 3 derajat klasifikasi Sindrom Stevens Johnsons :

1) Derajat 1 : erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis kurang dari 10%.
2) Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%.
3) Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%
3. Anatomi Fisiologi Kulit

Kulit merupakan organ yang sangat luas sebagai pelindung tubuh terhadap bahaya bahan kimia,
cahaya matahari, mikroorganisme dan menjaga keseimbangan tubuh dengan lingkungan.. Kulit
merupakan organ hidup yang mempunyai ketebalan yang sangat bervariasi. Bagian yang sangat tipis
terdapat di sekitar mata dan yang paling tebal pada telapak kaki dan telapak tangan yang
mempunyai ciri khas (dermatoglipic pattern) yang berbeda pada setiap orang yaitu berupa garis
lengkung dan berbelok-belok, hal ini berguna untuk mengidentifikasi seseorang. Dua sel yang
ditemukan dalam epitel kulit yaitu sel utama (terang) dan sel-sel musigen (gelap)
Lapisan kulit

1. Epidermis
Kulit ari atau epidermis adalah lapisan paling luar yang terdiri dari lapisan epitel gepeng unsur
utamanya adalah sel-sel tanduk (keratinosit) dan sel melanosit. Kulit ari (epidermis) terdiri dari
beberapa lapis sel. Sel-sel ini berbeda dalam beberapa tingkat pembelahan sel secara mitosis.
Lapisan permukaan dianggap sebagai akhir keaktifan sel lapisan tersebut, terdiri dari lima lapis
yaitu :
1). Stratum korneum
2). Stratum lusidum
3). Stratum granulosum
4). Stratum malfighi

2. Dermis
Batas dermis (kulit jangat) yang pasti sukar ditentukan karena menyatu dengan lapisan subkutis
(hipodermis). Ketebalannya antara 0,5 – 3 mm. Beberapa kali lebih tebal dari epidermis
dibentuk dari komponen jaringan pengikat. Lapisan dermis terdiri dari :
1). Lapisan papilla
2). Lapisan retikulosa
3. Hipodermis
Lapisan bawah kulit (fasia superfisialis) terdiri dari jaringan pengikat longgar. Komponennya
serat longgar, elastis, dan sel lemak. Pada lapisan adiposa terdapat susunan lapisan subkutan.
Pada kelopak mata, penis, dan skrotum lapisan subkutan tidak mengandung lemak. Bagian
superfisial hipodermis mengandung kelenjar keringat dan folikel rambut. Dalam lapisan
hipodermis terdapat anyaman pembuluh arteri, pembuluh vena, anyaman saraf yang berjalan
sejajar dengan permukaan kulit di bawah dermis
4. Etiologi

Hampir semua kasus SJS disebabkan oleh reaksi toksik terhadap obat, terutama antibiotik (mis.
obat sulfa dan penisilin), antikejang (mis. fenitoin) dan obat antinyeri, termasuk yang dijual tanpa
resep (mis. ibuprofen). Terkait HIV, penyebab SJS yang paling umum adalah nevirapine (hingga 1,5%
penggunanya) dan kotrimoksazol (jarang). Reaksi ini dialami segera setelah mulai obat, biasanya
dalam 2-3 minggu.

Beberapa penyebab Sindrom Stevens Johnson :

1) Infeksi (biasanya merupakan lanjutan dari infeksi seperti virus herpes simpleks, influenza,
gondongan/mumps, histoplasmosis, virus Epstein-Barr, atau sejenisnya).
2) Efek samping dari obat-obatan (allopurinol, diklofenak, fluconazole, valdecoxib, sitagliptin,
penicillin, barbiturat, sulfanomide, fenitoin, azitromisin, modafinil, lamotrigin, nevirapin,
ibuprofen, ethosuximide, carbamazepin).
3) Keganasan (karsinoma dan limfoma).
4) Faktor idiopatik (hingga 50%).
5) Sindrom Stevens Johnson juga dilaporkan secara konsisten sebagai efek samping yang
jarang dari suplemen herbal yang mengandung ginseng. Sindrom Steven Johnson juga
mungkin disebabkan oleh karena penggunaan kokain.
6) Pengobatan yang secara turun menurun diketahui menyebabkan SJS, eritem multiformis,
sindrom Lyell, dan nekrolisis epidermal toksik diantaranya sulfanomide (antibiotik), penisilin
(antibiotic), berbiturate (sedative), lamotrigin (antikonvulsan), fenitoin-dilantin
(antikonvulsan). Kombinasi lamotrigin dengan asam valproat meningkatkan resiko dari
terjadinya SJS.
5. Manifestasi Klinis

Perjalanan penyakit sangat akut dan mendadak dapat disertai gejala prodormal berupa demam
tinggi (30ºC - 40ºC), mulai nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan yang dapat berlangsung
2 minggu. Gejala-gejala ini dengan segera akan menjadi berat yang ditandai meningkatnya
kecepatan nadi dan pernafasan, denyut nadi melemah, kelemahan yang hebat serta menurunnya
kesadaran, soporous sampai koma. Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam,
malaise, batuk, koriza, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat
bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut. Kulit berupa eritema, papel, vesikel,
atau bula secara simetris pada hampir seluruh tubuh. Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi,
perdarahan dan kusta berwarna merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal,
muncul pada membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan
meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama.
Mata : konjungtivitas kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan
sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan

Pada sindroma ini terlihat adanya kelainan berupa :

1) Kelainan kulit
Kelainan pada kulit dapat berupa eritema, vesikal, dan bulla. Eritema berbentuk cincin
(pinggir eritema tengahnya relatif hiperpigmentasi) yang berkembang menjadi urtikari atau
lesipapuler berbentuk target dengan pusat ungu atau lesi sejenis dengan vesikel kecil
2) Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan selaput lendir di orifisium yang tersering ialah pada mukosa mulut/bibir (100%),
kemudian disusul dengan kelainan di lubang alat genetalia (50%), sedangkan dilubang
hidung dan anus jarang (masing-masing 8% - 4%). Kelainan yang terjadi berupa stomatitis
dengan vesikel pada bibir, lidah, mukosa mulut bagian buccal stomatitis merupakan gejala
yang dini dan menyolok.
3) Kelainan mata
Kelainan pada mata merupakan 80% diantara semua kasus, yang sering terjadi ialah
conjunctivitis kataralis. Selain itu dapat terjadi conjunctivities purulen, pendarahan,
simblefaron, ulcus kornea, iritis/iridosiklitis yang pada akhirnya dapat terjadi kebutaan .
6. Patofisilogi

Patogenesisnya belum jelas, diperkirakan karena reaksi alergi tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi
akibat terbentuknya kompleks antigen antibodi yang membentuk mikropresitipasi sehingga terjadi
aktivasi sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan
lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran. Reaksi tipe IV terjadi akibat
limfosit T yang tersensitisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama, kemudian limfokin
dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang. Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat
ditemukan endapan IgM, IgA, C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi. Antigen
penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat merangsang respons imun
spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar. Hapten atau karier tersebut dapat berupa
faktor penyebab (misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul akibat
aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat
infeksi, inflamasi, atau proses metabolik). Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit
dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi
yang terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator yang
dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa
dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya. Adanya
reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang akhirnya menyebabkan
kerusakan epidermis.
Pathway
Obat-obatan, infeksi virus, Kelainan hipersensitifitas
keganasan

Hipersensitifitas tipe IV Hipersensitifitas tipe III

Limfosit T tersintesisasi Antigen antibody terbentuk


terperangkap dalam
Pengaktifan sel T jaringan kapiler

Melepaskan limfokin/ Aktivasi S. komplemen


sitotoksik
Degranulasi sel mast
Penghancuran sel-sel
Akumulasi netrofil
memfagositosis sel rusak
Reaksi peradangan

Melepas sel yang rusak


Nyeri Hipertermi

Kerusakan jaringan

Triase gangguan pada kulit,


mukosa dan mata

Kerusakan integritas
jaringan

Respon lokal : eritema, Respon inflamasi sistemik Respon psikologis


vesikel dan bula
Respon inflamasi sistemik Kondisi kerusakan jaringan
Port de entree kulit
Gangguan gastrointestinal
Resiko infeksi demam, malaise Ansietas

- Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
- Deficit perawatan diri
7. Komplikasi Steven Johnson Sindrom

Sindrom Steven Johnsons sering sering menimbulkan komplikasi, antara lain :

 Kehilangan cairan dan darah.


 Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, shock.
 Oftalmologi – ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan.
 Gastroenterologi – Esophageal strictures.
 Genitourinaria – nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring, stenosis vagina.
 Pulmonari – pneumonia, bronchopneumonia.
 Kutaneus – timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit sekunder.
 Infeksi sitemik, sepsis

8. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium : biasanya dijumpai leukositosis atau eosinofilia. Bila disangka penyebabnya
infeksi dapat dilakukan kultur darah.
2) Histopatologi : kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah
merah, degenarasi lapisan basalis. Nekrosis sel epidermal dan spongiosis dan edema intrasel
di epidermis.
3) Imunologi : dijumpai deposis IgM dan C3 di pembuluh darah dermal superficial serta
terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.

9. Penatalaksanaan
1) Kortikosteroid
Penggunaan obat kortikosteroid merupakan tindakan life-saving. Pada sindrom stevens
johnson yang ringan cukup diobati dengan prednison dengan dosis 30 - 40 mg/hari. Pada
bentuk yang berat, ditandai dengan kesadaran yang menurun dan kelainan yang
menyeluruh, digunakan dexametason intravena dengan dosis awal 4 – 6 x 5mg/hari. Setelah
beberapa hari (2-3 hari) biasanya mulai tampak perbaikan (masa kritis telah teratasi),
ditandai dengan keadaan umum yang membaik, lesi kulit yang baru tidak timbul sedangkan
lesi yang lama mengalami involusi. Pada saat ini dosis dexametason diturunkan secara
cepat, setiap hari diturunkan sebanyak 5mg. Setelah dosis mencapai 5mg sehari lalu diganti
dengan tablet prednison yang diberikan pada keesokan harinya dengan dosis 20mg sehari.
Pada hari berikutnya dosis diturunkan menjadi 10mg, kemudian obat tersebut dihentikan.
Jadi lama pengobtan kira-kira 10 hari.
2) Antibiotika
Penggunaan antibiotika dimaksudkan untuk mencegah terjadinya infeksi akibat efek
imunosupresif kortikosteroid yang dipakai pada dosis tinnggi. Antibiotika yang dipilih
hendaknya yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas dan bersifat bakterisidal.
Dahulu biasa digunakan gentamisin dengan dosis 2 x 60-80 mg/hari. Sekarang dipakai
netilmisin sulfat dengan dosis 6 mg/kg BB/hari, dosis dibagi dua. Alasan menggunakan obat
ini karena pada beberapa kasus mulai resisten terhadap gentamisin, selain itu efek
sampingnya lebih kecil dibandingkan gentamisin.
3) Menjaga Keseimbangan Cairan, Elektrolit dan Nutrisi
Hal ini perlu diperhatikan karena penderita mengalami kesukaran atau bahkan tidak dapat
menelan akibat lesi di mulut dan ditenggorokan serta kesadaran yang menurun. Untuk ini
dapat diberikan infus yang berupa glukosa 5% atau larutan darrow. Pada pemberian
kortikosteroid terjadi retensi natrium , kehilangan kalium dan efek katabolik. Untuk
mengurangi efek samping ini perlu diberikan diet tinggi protein dan rendah garam, KCl
3x500mg/hari dan obat-obat anabolik. Untuk mencegah penekanan korteks kelenjar adrenal
diberikan ACTH (Synacthen depot) dengan dosis 1mg/hari setiap minggu dimulai setelah
pemberian kortikosteroid.
4) Transfusi Darah
Bila dengan terapi di atas belum tampak tanda-tanda perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat
diberikan transfusi darah sebanyak 300-500 cc setiap hari selama 2 hari berturut-turut.
Tujuan pemberian darah ini untuk memperbaiki keadaan umum dan menggantikan
kehilangan darah pada kasus dengan purpura yang luas. Pada kasus purpura yang luas dapat
ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg sehari intravena dan obat-obat hemostatik.
5) Perawatan Topikal
Untuk lesi kulit yang erosif dapat diberikan sofratulle yang bersifat sebagai protektif dan
antiseptic atau krem sulfadiazin perak. Sedangkan untuk lesi dimulut/bibir dapat diolesi
dengan kenalog in obrase. Selain pengobatan diatas, perlu dilakukan konsultasi pada
beberapa bagian yaitu ke bagian THT untuk mengetahui apakah ada kelainan difaring,
karena kadang-kadang terbentuk pseudomembran yang dapat menyulitkan penderita
bernafas.

10. Masalah yang Lazim Muncul


1) Hipertermia b.d proses penyakit (infeksi).
2) Nyeri akut b.d adanya bula.
3) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake nutrisi kurang, gangguan
gastrointestinal, disfagia.
4) Defisit perawatan diri b.d nyeri pada jaringan kulit, mukosa dan mata.
5) Kerusakan integritas jaringan b.d bula yang mudah pecah.
6) Defisiensi pengetahuan b.d kurang informasi.
7) Resiko infeksi b.d efek samping terpasangnya infus dan terapis steroid.
8) Ansietas b.d ancaman pada status kesehatan, pola interaksi (kondisi kerusakan jaringan kulit
/muncul kelainan pada kulit).

11. Discharge Planning


1) Terapkan kebersihan personal.
2) Mandilah setidaknya sekali sehari dan keringkan kulit hingga benar-benar kering.
3) Jangan menggosok atau menyentuh mata sehabis menyentuh lepuhan karena dapat
menyebabkan penyebaran virus ke kornea yang mengakibatkan kebutaan.
4) Observasi kulit setiap hari catat turgor sirkulasi dan sensori serta perubahan lainnya yang
terjadi. Rasional : menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat
dibandingkan dan melakukan intervensi yang tepat.
5) Gunakan pakaian tipis dan alat tenun yang lembut. Rasional : menurunkan iritasi garis
jahitan dan tekanan dari baju, membiarkan insisi terbuka terhadap udara meningkat proses
penyembuhan dan menurunkan resiko infeksi.
6) Perbanyak minum air putih.
7) Jaga kebersihan alat tenun. Rasional : untuk menghindari infeksi.
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN STEVENS JOHNSON SYNDROM
1. Pengkajian
a. Anamnesa riwayat pengobatan pasien.
b. Gambaran klinik.
c. Histopatologi.
d. Riwayat Kesehatan : riwayat alergi, reaksi alergi terhadap makanan, obat serta zat kimia,
masalah kulit sebelumnya dan riwayat kanker kulit.
e. Pemeriksaan kulit infeksi
I : warna, suhu, kelembapan, kekeringan, factor
P : turgor kulit, edema
Data Fokus :
 DS : Gatal-gatal pada kulit, sulit menelan, pandanganya kabur, aktivitas menurun.
 DO : Kemerah-merahan, memegangi tenggorokan, gelisah, tampak lemas dalam
aktivitas
Data Penunjang :
 Laboratorium : leukositosis atau esosinefilia
 Histopatologi : infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah merah,
degenerasi lapisan basalis, nekrosis sel epidermal, spongiosis danedema intrasel di
epidermis.
 Imunologi : deposis IgM dan C3 serta terdapat komplek imun yangmengandung IgG,
IgM, IgA.B.
2. Diagnosis Keperawatan
1) Kerusakan integritas kulit b.d lesi dan reaksi inflamasi lokal.
2) Ketidakseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan b.d intake tidak adekuat respons
sekunder dari kerusakan krusta pada mukosa mulut.
3) Nyeri b.d kerusakan jaringan lunak, erosi jaringan lunak.
3. Intervensi Keperawatan

Tujuan intervensi keperawatan adalah peningkatan integritas jaringan kulit, terpenuhinya intake
nutrisi harian, penurunan risiko infeksi, menurunkan stimulus nyeri, mekanisme koping yang efektif,
dan penurunan kecemasan.

Gangguan integritas kulit b.d lesi dan reaksi inflamasi.


Tujuan : Dalam 5 x 24 jam integritas kulit membaik secara optimal.
Kriteria evaluasi : Pertumbuhan jaringan membaik dan lesi psoarisis berkurang.
Intervensi Rasional
Kaji kerusakan jaringan kulit yang Menjadi data dasar untuk memberikan informasi intervensi
terjadi pada klien. perawatan yang akan digunakan.
Lakukan tindakan peningkatan Perawatan lokal kulit merupakan penatalaksanaan keperawatan
integritas jaringan. yang penting. Jika diperlukan berikan kompres hangat, tetapi harus
dilaksanakan dengan hati-hati sekali pada daerah yang erosif atau
terkelupas. Lesi oral yang nyeri akan membuat higiene oral
dipelihara.
Lakukan oral higiene. Tindakan oral higiene perlu dilakukan untuk menjaga agar mulut
selalu bersih. Obat kumur larutan anestesi atau agen gentian violet
dapat digunakan dengan sering untuk membersihkan mulut dari
debris, mengurangi rasa nyeri pada daerah ulserasi dan
mengendalikan bau mulut yang amis. Rongga mulut harus diinspeksi
beberapa kali sehari dan setiap perubahan harus dicatat, serta
dilaporkan. Vaselin (atau salep yang diresepkan dokter) dioleskan
pada bibir.
Tingkatkan asupan nutrisi. Diet TKTP diperlukan untuk meningkatkan asupan dari kebutuhan
pertumbuhan jaringan.
Evaluasi kerusakan jaringan dan Apabila masih belum mencapai dari kriteria evaluasi 5 x 24 jam,
perkembangan pertumbuhan maka perlu dikaji ulang faktor-faktor menghambat pertumbuhan
jaringan. dan perbaikan dari lesi.
Lakukan intervensi untuk mencegah Perawatan di tempat khusus untuk mencegah infeksi. Monitor dan
komplikasi. evaluasi adanya tanda dan gejala komplikasi. Pemantauan yang
ketat terhadap tanda-tanda vital dan pencatatan setiap perubahan
yang serius pada fungsi respiratorius, renal, atau gastrointestinal
dapat mendeteksi dengan cepat dimulainya suatu infeksi.
Tindakan asepsis yang mutlak harus selalu dipertahankan selama
pelaksanaan perawatan kulit yang rutin.
Mencuci tangan dan mengenakan sarung tangan steril ketika
melaksanakan prosedur tersebut diperlukan setiap saat.
Ketika keadaannya meliputi bagian tubuh yang luas, pasien harus di
rawat dalam sebuah kamar pribadi untuk mencegah kemungkinan
infeksi silang dari pasien-pasien lain.
Para pengunjung harus mengenakan pakaian pelindung dan mencuci
tangan mereka sebelum menyentuh pasien.
Orang-orang yang menderita penyakit menular tidak boleh
mengunjungi pasien sampai mereka sudah tidak lagi berbahaya bagi
kesehatan pasien tersebut.
Kolaborasi untuk pemberian Kolaborasi pemberian glukokortikoid misalnya metil prednisolon 80-
kortikosteroid. 120 mg peroral (1,5 – 2mg/KgBB/hari) atau pemberian
deksametason injeksi (0,15 – 0,2 mg/KgBB/hari).
Kolaborasi untuk pemberian Pemberian antibiotik untuk infeksi dengan catatan menghindari
antibiotik. pemberian sulfonamide dan antibiotik yang sering juga sebagai
penyebab SJS misalnya penisilin, cephalosporin. Sebaiknya antibiotik
yang diberikan berdasarkan hasil kultur kulit, mukosa, dan sputum.
Dapat dipakai injeksi gentamisin 2 – 3 x 80 mg iv (1 – 1,5
mg/KgBB/kali (setiap pemberian)).

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake tidak adekuat efek sekunder dari
kerusakan krusta pada mukosa mulut.
Tujuan : Dalam waktu 5 x 24 jam setelah diberikan asupan nutrisi pasien terpenuhi.
Kriteria evaluasi :
 Pasien dapat mempertahankan status asupan nutrisi yang adekuat.
 Pernyataan motivasi kuat untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya.
 Penurunan berat badan selama 5 x 24 jam tidak melebihi dari 0,5 kg.
Intervensi Rasional
Kaji status nutrisi pasien, turgor Memvalidasi dan menetapkan derajat masalah untuk menetapkan
kulit, berat badan dan derajat pilihan intervensi yang tepat.
penurunan berat badan, integritas Berat badan pasien ditimbang setiap hari (jika perlu gunakan
mukosa oral, kemampuan menelan, timbangan tempat tidur).
serta riwayat mual/muntah. Lesi oral dapat mengakibatkan disfagia sehingga memerlukan
pemberian makanan melalui sonde atau terapi nutrisi parenteral
total.
Formula enteral atau suplemen enteral yang di programkan
diberikan melalui sonde sampai pemberian peroral dapat
ditoleransi.
Penghitungan jumlah kalori per hari dan pencatatan semua intake,
serta output yang akurat sangat penting.

Evaluasi adanya alergi makanan dan Beberapa pasien mungkin mengalami alergi terhadap beberapa
kontraindikasi makanan. komponen makanan tertentu dan beberapa penyakit lain, seperti
diabetes mellitus, hipertensi, gout, dan lainnya yang memberikan
manifestasi terhadap persiapan komposisi makanan yang akan
diberikan.
Fasilitasi pasien memperoleh diet Memperhitungkan keinginan individu dapat memperbaiki asupan
biasa yang disukai pasien (sesuai nutrisi.
indikasi).
Lakukan dan ajarkan perawatan Menurunkan rasa tak enak karena sisa makanan atau bau obat yang
mulut sebelum dan sesudah makan, dapat merangsang pusat muntah.
serta sebelum dan sesudah
intervensi/ pemeriksaan peroral.
Fasilitasi pasien memperoleh diet Asupan minuman mengandung kafein dihindari karena kafein adalah
sesuai indikasi dan anjurkan stimulan sistem saraf pusat yang meningkatkan aktivitas lambung
menghindari asupan dari agen iritan. dan sekresi pepsin.
Berikan makan dengan perlahan Pasien dapat berkonsentrasi pada mekanisme makan tanpa adanya
pada lingkungan yang tenang. distraksi/ gangguan dari luar.
Anjurkan pasien dan keluarga untuk Meningkatkan kemandirian dalam pemenuhan asupan nutrisi sesuai
berpartisipasi dalam pemenuhan dengan tingkat toleransi individu.
nutrisi.
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk Merencanakan diet dengan kandungan nutrisi yang adekuat untuk
menetapkan komposisi dan jenis memenuhi peningkatan kebutuhan energi dan kalori sehubungan
diet yang tepat. dengan status hipermetabolik pasien.

Nyeri b.d kerusakan jaringan lunak, erosi jaringan lunak.


Tujuan : Dalam waktu 1 x 24 jam nyeri berkurang /hilang atau teradaptasi.
Kriteria evaluasi :
 Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi. Skala nyeri 0-1 (0-4). Dapat
mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri. Pasien tidak gelisah.
Intervensi Rasional
Kaji nyeri dengan pendekatan PQRST. Menjadi parameter dasar untuk mengetahui sejauh mana
intervensi yang diperlukan dan sebagai evaluasi keberhasilan
dari intervensi manajemen nyeri keperawatan.
Jelaskan dan bantu pasien dengan tindakan Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan
pereda nyeri nonfarmakologi dan nonfarmakologi lainnya telah menunjukkan keefektifan
noninvasif. dalam mengurangi nyeri.
Lakukan manajemen nyeri keperawatan Posisi fisiologis akan meningkatkan asupan O2 kejaringan
 Atur posisi fisiologis. yang mengalami peradangan. Pengaturan posisi idealnya
adalah pada arah yang berlawanan dengan letak dari lesi.
Bagian tubuh yang mengalami inflamasi lokal dilakukan
imobilisasi untuk menurunkan respons peradangan dan
meningkatkan kesembuhan.
Istirahat diperlukan selama fase akut. Kondisi ini akan
meningkatkan suplai darah pada jaringan yang mengalami
 Istirahatkan klien. peradangan.
Kompres yang basah dan sejuk atau terapi rendaman
merupakan tindakan protektif yang dapat mengurangi rasa
 Bila perlu premidikasi sebelum nyeri. Pasien dengan lesi yang luas dan nyeri harus
melakukan perawatan luka. mendapatkan premidikasi dahulu dengan preparat analgesik
sebelum perawatan kulitnya mulai dilakukan.
Lingkungan tenang akan menurunkan stimulus nyeri
eksternal dan pembatasan pengunjung akan membantu
meningkatkan kondisi O2 ruangan yang akan berkurang

 Manajemen lingkungan : lingkungan apabila banyak pengunjung yang berada di ruangan.


tenang dan batasi pengunjung. Meningkatkan asupan O2 sehingga akan menurunkan nyeri
sekunder dari peradangan.
Distraksi (pengalihan perhatian) dapat menurunkan stimulus
 Ajarkan tekhnik relaksasi internal dengan mekanisme peningkatan produksi endorfin
pernapasan dalam. dan enkefalin yang dapat memblok reseptor nyeri untuk
tidak dikirimkan ke korteks serebri sehingga menurunkan
 Ajarkan tekhnik distraksi pada saat persepsi nyeri.
nyeri. Manajemen sentuhan pada saat nyeri berupa sentuhan
dukungan psikologis dapat membantu menurunkan nyeri.
Masase ringan dapat meningkatkan aliran darah dan dengan
otomatis membantu suplai darah dan oksigen ke area nyeri
dan menurunkan sensasi nyeri.
 Lakukan manajemen sentuhan.
Kolaborasi dengan dokter, pemberian Analgetik memblok lintasan nyeri sehingga nyeri akan
analgetik. berkurang.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Syndrome Steven Johnson atau biasa disingkat SSJ yaitu syndrom kelainan pada kulit, selaput
lendir orifisium dan mata atau dengan kata lain, reaksi yang melibatkan kulit & mukosa (selaput
lendir) yang berat & mengancam jiwa ditandai dengan pelepasan epidermis, bintil berisi air &
erosi/pengelupasan dari selaput lendir.

Penyakit ini menyerang selaput lendir, meliputi selaput bening mata, bibir bidang dalam &
rongga mulut, genital & anus. Gejala awalnya berupa demam, kesukaran diwaktu menelan, pegal-
pegal atau nyeri di tubuh, sakit kepala, & sesak napas, dan ada tanda kemerahan atau ruam merah
kepada kulit, munculnya bintil berisi air (seperti cacar) yang terasa sakit bahkan sampai
menyebabkan kulit mengelupas & melepuh. Penyebabnya yaitu dikarenakan infeksi virus, bakteri
dan jamur, atau alergi obat-obat tertentu, umumnya yakni pemakaian obat antibiotik.

B. Saran

Sindrom Stevens Johnson bisa menyerang semua usia, namun lebih sering terjadi pada usia
dewasa. Begitu pula dengan gender, laki-laki dan perempuan memiliki risiko yang sama untuk
terkena SSJ. Pencegahan yang terbaik adalah tidak mengonsumsi obat sembarangan. Ada baiknya
pasien memberitahukan kepada dokter jika memiliki alergi terhadap suatu obat-obatan, makanan
atau bahan-bahan kimia tertentu dan penyakit yang pernah klien derita. Karena hal ini sangat
penting bagi dokter agar bisa menentukan dengan tepat jenis obat apa yang aman bagi pasien.

Demikian makalah yang telah penulis buat. Penulis sadar akan banyaknya kesalahan dan
kekurangan sehingga makalah ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mangharapkan kritik
dan saran agar bisa menjadikan motivasi agar penulisan makalah kedepan bisa menjadi lebih baik.
Akhir kata semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

http://academia.edu/25652075/Steven_Johnson_Syndrome

http://rizkadjayanti.blogspot.com/2017/07/asuhan-keperawatan-pada-pasien-steven.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai