Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KASUS

SYNDROME STEVEN JOHNSON (SSJ) DAN NECROLYTIC


EPIDERMAL TOXIC (NET)

Oleh :
Erick Kusuma Tandiono 2002612037
Ni Putu Gita Raditya Sanjiwani 2002612038
Putu Raka Widhiarta 2002612090

Pembimbing
dr. Ni Made Dwi Puspawati, Sp.KK, FINSDV

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DEPARTEMEN/KSM ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS
KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR
2021

i
KATA PENGATAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas
karunia-Nya, Jurnal Reading dengan judul “Syndrome Steven Johnson (SSJ) dan
Toxic Epidermal Necrolytic (TEN)” ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Jurnal Reading ini disusun sebagai salah satu prasyarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Madya (KKM) di SMF/Bagian Dermatologi dan Venereologi
FK Universitas Udayana, RSUP Sanglah, Denpasar.

Semua tahapan penyusunan Jurnal reading ini dapat diselesaikan dengan


sebaik-baiknya berkat dukungan berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr.dr.IGN Darmaputra, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV selaku Ketua


SMF/Bagian Dermatologi dan Venereologi FK Universitas Udayana, RSUP
Sanglah, Denpasar
2. dr. Ni Made Dwi Puspawati, Sp.KK(K), FINSDV selaku Koordinator
Pendidikan Dokter SMF Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah, Denpasar
3. dr. Ni Made Dwi Puspawati, Sp.KK, FINSDV selaku pembimbing kami
yang senantiasa membimbing dan memberikan masukan dalam penyusunan
laporan kasus ini, .
4. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu dalam penyusunan laporan ini.
Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan dalam
rangka penyempurnaan Jurnal Reading ini. Akhir kata, semoga Jurnal Reading ini
dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu
melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan
dan penyelesaian skripsi ini.

Denpasar, 26 September 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ........................................................................................... i


KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
Latar Belakang.............................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 3
Definisi......................................................................................................... 3
Epidemiologi ................................................................................................ 4
Etiopatogenesis............................................................................................. 4
Manifestasi Klinis ......................................................................................... 5
Diagnosis...................................................................................................... 6
Diagnosis Banding ........................................................................................ 8
Penatalaksanaan .......................................................................................... 10
Komplikasi ................................................................................................. 10
Pencegahan................................................................................................. 11
Prognosis ................................................................................................... 11
BAB III LAPORAN KASUS........................................................................... 13
BAB IV PEMBAHASAN................................................................................ 18
BAB V KESIMPULAN................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 22

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sindroma Steven-Johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal toksik (NET)
merupakan reaksi mukokutan akut yang mengancam nyawa, dimana ditandai
dengan nekrosis epidermis yang luas sehingga terlepas. Kedua penyakit ini mirip
dalam gejala klinis dan histopatologis, faktor resiko, penyebab dan patogenesisnya,
sehingga saat ini digolongkan pada proses yang identik, hanya dibedakan
berdasarkan keparahan saja. Pada SSJ, terdapat epidermolysis 30%. Bila
keterlibatan 10-30% LPB disebut sebagai overlap SSJ-NET. (Menaldi)
Penyebab pasti saat ini belum diketahui dengan pasti, namun etiologi
tersering yang dapat menimbulkan SSJ-NET yaitu hipersensitivitas obat-obatan.
Mekanisme terjadinya sindrom ini melalui reaksi mukokutan akut yang dapat
mengancam nyawa, ditandai dengan nekrosis epidermis yang luas sehingga terlepas
dengan epidermolysis <10% luas permukaan badan (LPB).
Ada beberapa faktor predisposisi yang dapat meningkatkan angka kejadian
kondisi ini seperti faktor komorbiditas, penggunaan obat-obatan dalam jumlah yang
banyak dan lama, faktor genetik, imunosupresi (pada kasusd HIV kejadian
meningkat 1000 kali dibandingkan dengan populasi umum, dengan kejadian 1 per
1000 kasus per tahun), keganasan, penggunaan bersamaan radioterapi dan
antikonvulsan.(Dewi,CC)
Sindrom Stevens-Johnson tiga kali lebih umum terjadi daripada nekrolisis
epidermal toksik.3 Secara umum insiden SSJ adalah 1-6 kasus/juta
penduduk/tahun, dan insiden NET 0,4-1,2 kasus/juta penduduk/tahun. Angka
kematian NET adalah 25-35%, sedangkan angka kematian SSJ adalah 5-12%.
Penyakit ini dapat terjadi pada setiap usia dan terjadi peningkatan resiko pada usia
diatas 40 tahun. Perempuan cenderung lebih tinggi daripada laki-laki dengan
perbandingan 1,5:1.
Gejala awal yang dapat timbul pada SSJ merupakan gejala prodormal flu
flike symptom yang diikuti timbulnya bula dan epidermolisis. komplikasi tersering
adalah hipo dan hiperpigmentasi pada kulit serta mata. Tatalaksana terbaik adalah
menghentikan obat yang diduga sebagai pencetus, terapi suportif berupa
penggantian cairan dan elektrolit, terapi sistemik dan topikal, serta terapi untuk
komplikasi pada mata.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan reaksi mukokutan akut yang dapat


mengancam nyawa, ditandai dengan adanya nekrosis epidermis yang luas hingga
terjadi pengelupasan. Kedua penyakit ini mirip secara gejala klinis dan
histopatologis, faktor resiko, penyebab serta dari patogenesisnya, sehingga saat ini
digolongkan pada proses yang identik, dan hanya dibedakan berdasarkan tingkat
keparahan. Pada SSJ, terdapat epidermolysis 30%. Bila keterlibatan 10-30% LPB
disebut sebagai overlap SSJ-NET (Menaldi)

Tabel 1.1 SSJ, NET, Overlap SSJ-NET

Temuan Klinis SSJ TEN SSJ-TEN overlap


Lesi Primer Lesi merah Lesi merah Plak eritematosa
kehitaman, target kehitaman, target yang berbatas
atipikal datar atipikal datar tegas, detasemen
epidermis, lesi
merah kehitaman,
target atipikal
datar
Distribusi Lesi terisolasi Lesi terisolasi Lesi terisolasi
confluence (+) pada confluence (++) (jarang)
wajah dan leher pada wajah dan confluence (+++)
leher pada wajah, leher,
dan tersebar luas
Keterlibatan Ada Ada Ada
mukosa
Gejala Sistemik Biasanya Selalu Selalu
Body Surface <10 10-30 >30
Area (%)

2.2 Epidemiologi
Secara umum insiden SSJ adalah 1-6 kasus/juta penduduk/tahun. Penyakit
ini dapat terjadi pada setiap usia dan terjadi peningkatan resiko pada usia diatas 40
tahun. Perempuan cenderung lebih tinggi daripada laki-laki dengan perbandingan
1,5:1.1 Penyakit infeksius juga dapat berdampak pada insidensi terjadinya TEN,
yaitu pada pasien HIV dapat meningkat 100 kali lipat dibandingkan populasi
umum, dengan jumlah hampir 1 kasus/seratus orang/tahun pada populasi HIV
positif.5 Dalam analisa kelangsungan hidup abgka mortalitas pada SJS bervariasi
dari 5-12% dan pada NET >30%. Bertambahnya usia, komorbiditas yang
signifikan, luasnya permukaan tubuh yang terlibat berkaitan dengan prognosis yang
buruk. Di Amerika Serikat, evaluasi dari kematian menunjukkan resiko tujuh kali
lebih tinggi pada orang kulit hitam dibandingkan dengan kulit putih . (Velasco-
Tirado)

2.3 Etiopatogenesis
Etiopatogenesis pasti terjadinya Sindrom Stevens-Johnson dan Nekrosis
Epidermal Toksik belum sepenuhnya diketahui.(Fitriany) Pada lesi akan terjadi
reaksi sitotoksik terhadap keratinosit sehingga mengakibatkan apoptosis luas.
Reaksi ini melibatkan sel NK dan sel limfosit T CD8+ yang spesifik terhadap
penyebab SSJ-NET seperti obat-obatan tertentu. Berbagai sitokin terlibat dalam
patogenesis penyakit ini, antara lain IL-6, TNF-α, IFN-γ, IL-18, Fas-L, granulisin,
perforin, dan granzim-B.(Menaldi; Frey; Sato)
Terdapat beberapa faktor yang mungkin dapat menjadi etiologi SSJ-NET,
seperti penggunaan obat-obatan tertentu dan infeksi. Sebagian besar kasus yang
terjadi disebabkan oleh alergi obat. Berbagai obat dilaporkan menjadi penyebab
SSJ-NET, termasuk obat golongan sulfonamida, anti-konvulsan, aromatik,
alopurinol, NSAID, nevirapin, dan lain-lain. Infeksi terutama yang disebabkan oleh
virus juga menjadi salah satu faktor yang berperan dalam patogenesis SSJ-
NET.(Fitriany; Menaldi)
Sindrom Stevens-Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik merupakan
kelainan hipersensitivitas tipe IV, sering disebut sebagai cell-mediated reaction.
Reaksi ini dimediasi oleh sel T yang yang memicu reaksi inflamasi terhadap satu
antigen tertentu, baik eksogen maupun endogen.(Oakley; Marwa) Pada SSJ-NET,
reaksi terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan
antigen yang sama, yang melepaskan senyawa pro-inflammatory dan berlanjut ke
penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Antigen penyebab dapat berupa faktor
penyebab (virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul akibat
aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan
terbebas akibat infeksi, inflamasi, atau proses metabolik). Antigen ini akan
berikatan dengan karier dan merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk
kompleks imun yang dapat beredar dan mengendap di daerah kulit dan mukosa
yang kemudian menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan
reaksi inflamasi yang terjadi. Aktivitas sel T serta mediator yang dihasilkannya juga
ikut memperburuk kerusakan jaringan, ditandai dengan kelainan klinis lokal di kulit
dan mukosa. Reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang
mengakibatkan kerusakan epidermis dan berujung pada kegagalan fungsi kulit
berupa kehilangan cairan, kegagalan termoregulasi dan fungsi imunitas, infeksi,
dan lain-lain.(Fitriany; Oakley; Dodiuk-Gad; Schwartz)

2.4 Manifestasi Klinis


Gejala SSJ-NET timbul dalam waktu 8 minggu setelah awal pajanan obat.
Sebelum terjadinya lesi kulit, gejala non-spesifik seperti demam, sakit kepala,
batuk/pilek, dan malaise dapat terjadi selama 1-3 hari.(Menaldi) Lesi kulit akan
muncul dan tersebar pada wajah, badan, serta bagian proksimal ekstremitas, berupa
makula eritematosa atau purpurik, dapat pula dijumpai lesi berbentuk target. Seiring
waktu, lesi meluas dan berkembang menjadi nekrotik dan meninggalkan kulit yang
terbuka sehingga rentan mengalami infeksi sekunder. Pengelupasan kulit umum
terjadi pada SSJ-NET, terutama pada daerah tubuh yang tertekan seperti punggung
dan bokong, dapat dilihat dari tanda Nikolsky yang positif .(Fitriany; Menaldi)
Lesi paada mukosa berupa eritema dan erosi biasany dijumpai minimal pada
dua lokasi, biasanya pada oral dan konjungtiva, tetapi tidak jarang lesi ditemukan
pada mukosa genital.(Fitriany) Kelainan pada mukosa sebagian besar melibatkan
mukosa mulut dan esofageal. Kelainan yang ditemukan seperti eritema, edema,
pengelupasan, pelepuhan, ulserasi, dan nekrosis. Pada mulut yang sering terlihat
adalah stomatitis pada bibir, lidah, dan mukosa bukal mulut. Stomatitis tersebut
diperparah dengan timbulnya bula yang dapat pecah dan menimbulkan krusta. Lesi
yang timbul pada mukosa saluran pernapasan dapat mengakibatkan pasien kesulitan
untuk melakukan respirasi normal, sedangkan lesi pada saluran pencernaan dapat
menimbulkan gangguan menelan dan pencernaan. Pasien juga mungkin mengalami
kesulitan berkemih akibat lesi pada saluran berkemih.(Oakley) Keterlibatan okular
dapat berkisar dari konjungtivitis akut, edema palpebra, hingga erosi ataupun
ulserasi kornea. Keterlibatan organ dalam seperti paru-paaru, saluran cerna, dan
ginjal kadang dapat terjadi meskipun jarang.(Fitriany, Saeed)

2.5 Diagnosis
Anamnesis dilakukan untuk mencari tahu keluhan utama pasien, riwayat
penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, dan riwayat
sosial serta personal yang semuanya berdasarkan basic four sacred seven. Perlu
ditambahkan untuk anamnesis untuk status dermatologis adalah Dasar diagnosis
SSJ-NET adalah anamnesis yang teliti tentang kronologis perjalanan penyakit,
disertai hubungan waktu yang jelas dengan kecurigaan konsumsi obat tersangka
dan pemeriksaan pada gambaran klinis lesi pada kulit maupun mukosa. Kemudian
juga ditanyakan apakah terdapat komplikasi ke sistem penglihatan, pernafasan,
pencernaan, ataupun perkemihan supaya tindakan selanjutnya dapat dilakukan
secara cepat dan tepat.(Menaldi)

Pemeriksaan fisik dilakukan secara sistematis dan komprehensif untuk


menghindari hilangnya temuan klinis. Pemeriksaan dilakukan mulai dari keadaan
umum, status kesadaran, dan pemeriksaan tanda-tanda vital, kemudian dilanjutkan
dengan pemeriksaan status generalis. Pemeriksaan status generalis perlu
difokuskan pada membran mukosa, seperti pada mulut, mata, dan genital. Setelah
itu, dilakukan pemeriksaan dermatologis di mana dilakukan efloresensi pada lesi-
lesi yang ditemukan. Evaluasi seberapa luas lesi telah menyebar pada seluruh tubuh
untuk nantinya diklasifikasikan menjadi SSJ (< 10% BSA), overlap SSJ-NET (10%
- 30% BSA), dan NET (> 30% BSA). Pemeriksaan dilanjutkan dengan memeriksa
tanda Nikolsky dengan melakukan tekanan perlahan ke arah lateral. Pada SSJ-NET
akan terjadi separasi dermis papiler dari lapisan basal yang menandakan tanda
Nikolsky positif. Tanda Asboe-Hansen juga ikut diperiksa di mana penekanan
vesikel ke arah lateral dapat menyebarkan vesikel ke kulit yang awalnya normal,
menjadikannya positif yang terjadi juga pada SSJ-NET.(Fitriany, Schwartz)
Pemeriksaan penunjang diawali dengan pemeriksaan histopatologi dari
biopsi kulit dan pemeriksaan imunofluoresensi dalam rangka mengonfirmasi SSJ-
NET. Lesi awal akan menunjukkan gambaran histopatologi berupa apoptosis
keratinosit pada lapisan suprabasal. Lesi akhirnya akan memperlihatkan nekrosis
epidermal yang tebal dan separasi epidermis dari dermis. Infiltrasi sel mononuklear
dengan kepadatan sedang pada papilar dermis dapat terlihat, sebagian besar
diwakili oleh limfosit dan makrofag. Pada SSJ-NET, studi imunofluoresensi akan
menunjukkan hasil yang negatif. Pemeriksaan penunjang dilanjutkan dengan
pemeriksaan laboratorium yang meliputi pemeriksaan darah lengkap, analisis gas
darah, kadar elektrolit, albumin, protein darah, fungsi hati dan ginjal, serta glukosa
sewaktu. Ini berfungsi untuk menilai status kegawat-daruratan pasien dan juga
apakah terdapat komplikasi pada sistem organ lainnya. Pemeriksaan darah lengkap
dapat menunjukkan anemia, limfopenia, leukosit normal atau leukositosis non-
spesifik. Peningkatan leukosit mungkin mengindikasikan infeksi bakteri sekunder
sehingga kultur darah dan kulit dipertimbangkan untuk kasus-kasus tertentu.
Pemeriksaan gangguan keseimbangan elektrolit, hipoalbuminemia,
hipoproteinemia, insufisiensi ginjal, azotemia, peningkatan enzim hepar dan
amilase, serta hiperglikemia perlu dilakukan untuk mengetahui keterlibatan
sistemik dari penyakit ini. Rontgen dada biasa diindikasikan untuk menilai infiltrat
interstitial pada rongga dada.(Fitriany, Oakley)
Keparahan dari SSJ-NET dinilai menggunakan SCORTEN. Risiko
kematian akibat penyakit ini bergantung pada jumlah skor. Cara menggunakannya
adalah satu poin akan diberikan pada masing-masing kriteria berikut ini(Oakley):
1. Umur > 40 tahun
2. Adanya keganasan
3. HR > 120 bpm
4. Pengelupasan epidermal inisial > 10%
5. Serum urea > 10 mmol/L
6. Serum glukosa > 14 mmol/L
7. Serum bikarbonat < 20 mmol/L

2.6 Diagnosis Banding


Beberapa diagnosis memiliki manifestasi klinis yang cukup mirip dengan
Sindrom Stevens-Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik. Pemeriksaan lebih
lanjut penting dilakukan untuk menentukan diagnosis kerja dan penatalaksanaan
yang tepat. Beberapa diagnosis yang dapat menjadi pertimbangan dalam
menentukan diagnosis kerja antara lain Eritema Multiformis, Staphylococcal
Scalded Skin Syndrom (SSSS), Acute Generalized Exanthematous Pustulosis
(AGEP), Generalized Bullous Fixed Drug Eruption (GBFDE), dan Graft Versus
Host Disease (GVHD).(Fitriany, Dodiuk-Gad, Schwartz)
• Eritema Multiformis (EM)
Presentasi tanda dan gejala awal dari SSJ-NET harus dibedakan dengan
Eritema Multiformis, terutama Eritema Multiformis Mayor. Pada keadaan ini,
anamnesis tentang obat-obatan yang dicurigai sebagai penyebab dan
pemeriksaan klinis untuk menentukan epidermolisis akan sangat membantu
sebelum dilakukannya pemeriksaan histopatologis. Dilihat dari manifestasi
klinisnya, lesi pada EM akan menunjukkan tanda-tanda pengelupasan
epidermis dan formasi bula yang jauh lebih sedikit dibandingkan SSJ-NET.
Penyebab paling sering dari EM pun adalah virus, terutama HSV, bukan obat-
obatan.(Menaldi, Schwartz)
• Staphylococcal Scalded Skin Syndrom (SSSS)
SSSS adalah penyakit yang ditandai dengan terlepasnya lapisan epidermis
akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh Staphylococcus aureus. Mesikpun
sebagian besar kasus terjadi pada anak-anak, tetapi pada orang dewasa,
terutama mereka yang mengalami penurunan imunitas atau gagal ginjal, juga
dapat menderita penyakit ini. Secara klinis, SSSS berbeda dari SSJ-NET
terlihat dari kurangnya keterlibatan membran mukosa dan pen gelupasan
epidermis hanya pada superfisial. Pemeriksaan spesimen biopsi pada SSSS
akan menunjukkan blistering yang superfisial.(Dodiuk-Gad, Schwartz)
• Acute Generalized Exanthematous Pustulosis (AGEP)
AGEP adalah reaksi akibat obat-obatan yang biasanya muncul disertai demam,
eritema yang edema, dan pustul steril. Keterlibatan membran mukosa non-
erosif dapat terjadi, seperti blister dan lesi berbentuk target. Secara histologi,
akan terlihat pustul intraepidermal, edema papilar dermal, dan nekrotik
keratinosit fokal.(Schwartz, Feldmeyer)

• Generalized Bullous Fixed Drug Eruption (GBFDE)


GBFDE akan menunjukkan ciri khas yang membedakannya dengan SSJ-NET
berupa blister biasanya hanya memengaruhi sebagian kecil dari permukaan
tubuh dan di antara blister berukuran besar akan terdapat area kulit yang masih
utuh berukuran cukup besar. Kemudian, keterlibatan mukosa erosif jarang
terjadi atau hanya terjadi dalam derajat ringan. Pasien juga tidak merasakan
nyeri atau mengalami demam, dan secara umum keadaannya lebih baik
dibandingkan SSJ-NET. Perlu digali mengenai riwayat reaksi karena pada
GBFDE sering dilaporkan riwayat reaksi yang serupa dan bersifat
lokal.(Dodiuk-Gad)
• Graft Versus Host Disease (GVHD)
Penyakit ini terjadi pada pasien yang melakukan transplantasi sumsum tulang
dan sel induk alogenik hematopoietik dan sulit dibedakan dengan SSJ-NET.
GVHD akut biasanya terjadi 2 minggu setelah dilakukannya transplantasi dan
muncul sebagai lesi morbiliform yang simetris pada bagian akral dan terkadang
terdapat erupsi likenoid. Erupsi bulosa juga dapat terjadi pada oral dan/atau
genital. Pada derajat yang lebih tinggi, akan terjadi nekrosis epidermal yang
identik dengan SSJ-NET secara histologis. Tanda dan gejala seperti
penyebaran akral ke proksimal, distribusi folikulosentris pada awal erupsi, dan
volume diare serta elevasi bilirubin dapat memberikan petunjuk dalam
membedakan GVHD akut dan SSJ-NET. (Schwartz, Kuba)
2.7 Penatalaksanaan
SSJ-NET adalah penyakit yang mengancam nyawa yang membutuhkan
tatalaksana yang optimal berupa: deteksi dini dan penghentian segera obat yang
menyebabkan alergi, serta perawatan suportif di rumah sakit. Sangat disarankan
untuk merawat pasien SSJ-NET di ruang perawatan khusus seperti di ICU karena
sifatnya yang life threatening, dan memerlukan kerjasama dokter multidisiplin yang
mencakup dermatologis, oftalmologis, ginekologis, urologis, nutrisionis, anestesi.
Perawatan suportif yang dapat dilakukan berupa: mempertahankan keseimbangan
cairan dan elektrolit dengan pemberian infus, suhu lingkungan yang hangat yaitu
sekitar 28-30°C, nutrisi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan asupan makanan,
pemberian obat antinyeri, perawatan kulit secara aseptik dengan membersihkan
jaringan nekrotik pada kulit dan mukosa, perawatan mata dan mukosa mulut, dan
kultur bakteri dari lesi kulit setiap dua hari sekali. Berbagai terapi spesifik telah
dipakai untuk mengatasi penyakit ini, namun belum diperoleh hasil yang jelas
karena sulitnya melakukan uji coba klinis untuk penyakit yang jarang ini.
Selain itu, penggunaan kortikosteroid sistemik sampai saat ini, hasilnya
masih sangat beragam, sehingga penggunaannya belum dianjurkan. Kebijakan yang
dipakai di ruang rawat Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSCM adalah
menggunakan kortikosteroid sistemik untuk setiap kasus SSJ-NET, dengan hasil
yang cukup baik dengan angka kematian pada periode 2010-2013 sebesar 10,5%.
Siklosporin A, siklofosfamid, plasmaferesis dan hemodialisis juga telah digunakan
di berbagai negara dengan hasil yang bervariasi. Penggunaan antibiotik sebagai
profilaksis dihindari. Antibiotik hanya diberikan jika terbukti terdapat infeksi
sekunder. (menaldi SL)

2.8 Komplikasi
Pada kondisi akut, sepsis adalah komplikasi serius yang paling sering pada
SJS/NET. Gagal organ juga bisa terjadi seperti kegagalan paru, hepar, dan ginjal.
Komplikasi jangka panjang yang paling sering pada SJS/TEN adalah kebutaan pada
mata, perubahan pigmen dan jaringan parut pada kulit, dan kerusakan pada ginjal.
Selain itu, blister dan erosi yang terjadi di mukosa dapat menyebabkan striktur dan
jaringan parut. (Lerch M)

2.9 Pencegahan

Para dokter yang meresepkan obat-obatan risiko tinggi berkaitan dengan


SSJ/NET harus memberikan KIE kepada pasien bahwa obat tersebut bisa
menyebabkan reaksi alergi yang hebat yang disebut dengan SSJ/NET, sehingga jika
pasien mengalami gejala berupa erupsi kulit kemerahan yang nyeri, sakit
tenggorokan, dan demam atau lemas harus stop obatnya dan segera ke rumah sakit.
Pasien yang menderita SSJ/NET dapat mengalami hal yang serupa dikemudian hari,
sehingga para dokter sebelum meresepkan obat harus menanyakan terlebih dahulu
riwayat alergi terhadap obat-obatan tertentu, khususnya obat-obatan risiko tinggi
SSJ/NET seperti alopurinol, antikejang, sulfonamid, NSAID, dan nevirapine
Menurut rekomendasi Food and Drug Administration (FDA), Pasien dengan etnik
cina perlu perhatian khusus dan monitoring yang ketat jika diresepkan alopurinol
dan karbamazepine, karena menurut penelitian, etnik cina dan ras asia timur
memiliki sistem HLA yang berperan dalam terjadinya SSJ/NET lebih tinggi
dibandingkan ras lain. (Miliszewski)

2.10 Prognosis
DaIam perjalanan penyakitnya, SSJ-NET mengalami penyulit yang
mengancam nyawa berupa sepsis dan multiple organ failure. Prognosis berdasarkan
SSJ-NETM dapat diperkirakan SCORTEN, seperti terlihat pada tabel 1

Nilai SCORTEN Angka Kematian (%)


0-1 3.2
2 12.1
3 35.8
4 58.3
5 90
Rata-rata kematian yang disesuaikan dilaporkan pada sampel rawat inap nasional
2009-2021 (AS) adalah 4.8% untuk SSJ, 19.4% untuk SSJ/NET tumpang tindih,
dan 14.8% untuk NET. (Hsu) Di daerah Créteil, Prancis, sekitar 18% atau 66 dari
361 pasien yang didiagnosis dengan SSJ/NET meninggal, yang mencakup 2% SSJ,
12% SSJ/NET tumpang tindih, dan 26% NET. (Bettuzzi) Terdapat Kecerendungan
penurunan mortalitas pada beberapa tahun terakhir, hal ini disebabkan karena
perawatan suportif pada fasilitas Kesehatan yang lebih baik daripada dekade
sebelumnya.
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : MS
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 27 Tahun
Tanggal Lahir : 5 Januari 1994
Alamat : Jln Komputer No.11A Denpasar
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Menikah
Suku/Bangsa : Bali
Agama : Hindu
Tanggal Pemeriksaan : 29 September 2021

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Kulit melepuh pada hampir seluruh tubuh.

Riwayat Penyakit Sekarang


Awalnya penderita mengeluh muncul bercak-bercak kemerahan pada tangan 1
minggu yang lalu disertai rasa tidak enak badan dan lemas. Kemudian sejak 3
hari yang lalu bercak merah tersebut semakin menggelap dan disertai
timbulnya gelembung-gelembung berair yang mudah pecah. Lesi kulit dengan
cepat meluas ke wajah, badan dan tungkai bawah sejak 2 hari yang lalu.
Terdapat luka pada bibir dan kemerahan pada mata sejak 6 hari yang lalu.
Pasien juga mengeluh nyeri saat menelan dan juga nyeri saat berkemih. Pasien
baru menyadari terdapat luka pada kemaluan sejak kemarin. Riwayat demam
disangkal oleh pasien. Pasien mengakui berat badannya turun dari 51 kg
menjadi 45 selama 1 bulan ini. Riwayat atopi tidak ada. Terdapat riwayat diare
lama 6 minggu yang lalu. Riwayat alergi maupun penyakit kulit lainnya pada
keluarga pasien disangkal. Riwayat asma, alergi obat dan makanan tidak ada.

Riwayat Penyakit Dahulu


Sejak 1 bulan yang lalu pasien terdiagnosis infeksi HIV dan mengkonsumsi
kotrimoksazol selama 2 minggu. Kemudian dilanjutkan dengan efavirenz,
zidovudin dan lamivudine. Sebelumnya pasien pernah melakukan pemeriksaan
CD4+ di RSU Singaraja dengan hasil 22 sel/mm3

Riwayat Pengobatan
Pasien belum pernah mendapat pengobatan terkait keluhannya. Riwayat
mengkonsumsi obat-obatan tradisional selama 8 minggu terakhir tidak ada.
Riwayat pengolesan minyak ataupun obat oles lainnya tidak ada.

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


Pada keluarga pasien tidak ditemukan keluhan serupa. Riwayat penyakit
sistemik dikeluarga juga disangkal oleh pasien.

Riwayat Sosial
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga, sudah menikah tetapi suami
meninggal pada tahun 2008. Pasien pernah memiliki beberapa pasangan.
Terdapat riwayat hubungan seksual dengan lebih dari 1 pasangan tanpa
menggunakan kondom. Pasien tidak mengetahui apakah pacarnya juga
berhubungan seksual dengan orang lain. Riwayat penggunaan obat-obatan
terlarang suntik dan transfusi darah disangkal oleh pasien. Terdapat riwayat
pembuatan tato 6 bulan yang lalu, dan pasien mengaku menggunakan jarum
yang sama dengan pasangan terakhirnya.

3.3 Pemeriksaan Fisik


Status Present
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis, GCS E4V5M6
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Nadi : 88x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Temperatur Aksila : 37 oC
VAS Score : 1/10
Status Gizi : Kesan gizi kurang

Status General
Kepala : Normocephali,
Mata : Anemis -/-, ikterus -/-, isokor 3mm/3mm
THT : Kesan tenang
Thorak : Cor : S1S2 normal, regular, murmur (-) Pul : ves
+/+, rh -/-, wh -/-

Abdomen : Distensi (-), BU (+) normal


Ekstremitas : Edema (-/-), hangat (+/+),
Pembesaran Kelenjar Getah Bening Leher (-/-)

Status Dermatologi
Lokasi : Facialis, thoracoabdominalis anterior et posterior, ekstremities
superior et inferior dextra et sinistra, genital
Status Dermatologis :
Pupura multipel, berbatas tegas, bentuk geografika, ukuran bervariasi antara
1x2 cm sampai 2x3 cm, Konfigurasi diskret, beberapa konfluen, distribusi
Generalisata
Erosi multipel, berbatas tegas, berbentuk geografika, ukuran bervariasi antara
0.2x0.2cm sampai 0.3x0.5cm, pada beberapa area tampak ditutupi krusta
coklat kehitaman
Bula multipel, berbatas tegas, berbentuk bulat, ukuran bervariasi antara
0.5x1cm sampai 1x2 cm, dindin kendor dan berisi cairan seorus.
Tanda Nikolsky (+) dan luas pengelupasan kulit 36%
3.4 Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan Histopatologis dari biopsi kulit
• Pemeriksaan Imunofluoresensi
• Pemeriksaan Laboratorium, termasuk DL, AGD, elektrolit, albumin, protein
darah, fungsi hati dan ginjal, serta glukosa sewaktu
• Foto Rontgen Thorax PA

3.5 Diagnosis Kerja


Nekrolisis Epidermal Toksik

3.6 Penatalaksanaan
1. Hentikan penggunaan obat kotrimoksazol
2. Rawat inap, bisa di ICU atau Burn Unit, suhu ruangan 28-30ºC
3. Terapi suportif
a. IVFD NaCl 0,9% dan Dextrose 5% (1:1) 20 tpm
b. Terapi elektrolit sesuai hasil laboratorium
c. Cendo Lyteers eyedrop diteteskan pada mata merah 4 kali sehari
satu tetes
d. Betadine gargle digunakan berkumur 2 kali sehari
4. Terapi sistemik
a. Deksametason IV injeksi 10 mg tiap 8 jam untuk 1 hari
b. Levofloksasin 1 x 500 mg per drip IV, bila ada tanda infeksi dari
pemeriksaan laboratorium
5. Terapi topikal
a. Perawatan kulit aseptik tanpa debridement
b. Triamnisolon asetonid pada lesi mukosa
c. Kompres NaCl 0,9% pada lesi basah
d. Hidrokortison 2,5% krim + Kloramfenikol 2% pada lesi kering
6. Observasi Vital Sign
7. Konsultasi TS Dermatologi, TS Penyakit Dalam, dan TS Mata

3.7 KIE
1. Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit TEN dan kemungkinan
penyebabnya
2. Menjelaskan rencana tindakan dan terapi yang akan dilakukan selanjutnya
3. Menjelaskan kepada pasien mengenai obat yang dicurigai menjadi
penyebab penyakit dan menganjurkan untuk mengganti pengobatan terkait
4. Menjelaskan kepada pasien untuk tetap mengonsumsi obat-obatan untuk
penyakit HIV yang tidak dicurigai menjadi penyebab penyakit
5. Menjelaskan kepada pasien untuk segera memberitahu apabila terdapat
komplikasi atau gejala tambahan yang pasien rasakan seperti menggigil
karena infeksi, gangguan pada mata ataupun gangguan buang air kecil

3.8 Prognosis
ad vitam : dubia ad bonam.
ad functionam : dubius ad bonam,
ad sanationam : dubia ad bonam
ad kosmetikam :ad malam
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada kasus ini, pasien merupakan seorang perempuan berusia 27 tahun yang
datang dengan keluhan kulit melepuh pada hampir seluruh tubuh. Awalnya
penderita mengeluh muncul bercak-bercak kemerahan pada tangan 1 minggu yang
lalu disertai rasa tidak enak badan dan lemas. Kemudian sejak 3 hari yang lalu
bercak merah tersebut semakin menggelap dan disertai timbulnya gelembung-
gelembung berair yang mudah pecah. Lesi kulit dengan cepat meluas ke wajah,
badan dan tungkai bawah sejak 2 hari yang lalu. Terdapat luka pa da bibir dan
kemerahan pada mata sejak 6 hari yang lalu. Hal ini sesuai dengan manifestasi klinis
pada NET, yaitu berupa makula eritematosa atau purpurik, lesi paada mukosa
berupa eritema dan erosi biasanya dijumpai minimal pada dua lokasi, biasanya pada
oral dan konjungtiva, tetapi tidak jarang lesi ditemukan pada mukosa genital.
Seiring waktu, lesi meluas dan berkembang menjadi nekrotik dan meninggalkan
kulit yang terbuka sehingga rentan mengalami infeksi sekunder. Berdasarkan
literatur juga disebutkan bahwa pengelupasan kulit umum terjadi pada SSJ-NET,
terutama pada daerah tubuh yang tertekan seperti punggung dan bokong, dapat
dilihat dari tanda Nikolsky yang positif. Lokasi lesi kulit yang terdapat pada pasien
juga sesuai dengan NET, yaitu tersebar pada wajah, badan, serta bagian proksimal
ekstremitas,
Penyebab terjadinya NET disebabkan oleh alergi obat. Berbagai obat
dilaporkan menjadi penyebab SSJ-NET, termasuk obat golongan sulfonamida, anti-
konvulsan, aromatik, alopurinol, NSAID, nevirapin, dan lain-lain. Infeksi terutama
yang disebabkan oleh virus juga menjadi salah satu faktor yang berperan dalam
patogenesis SSJ-NET. Pasien menderita HIV/AIDS sejak satu bulan yang lalu, dan
pasien mengonsumsi obat berupa kotrimoksazol selama 2 minggu, dan dilanjutkan
dengan mengonsumsi obat-obatan HIV seperti efavirenz, zidovudine, dan
lamivudine. Pasien dicurigai mengalami NET akibat komsumsi obat
klotrimoksazol, efavirenz, zidovudine, dan lamivudine, karena obat-obatan tersebut
dilaporkan termasuk dalam kategori risiko tinggi terjadinya SSJ-NET
Melalui pemeriksaan tanda vital, ditemukan bahwa keadaan umum pasien
tampak sakit ringan dan kezan gizi kurang. Sementara itu, dari efloresensi
didapatkan adanya lesi kulit berupa purpura multipel, batas tegas, bentuk
geografika, ukuran bervariasi antara 1x1 cm– 3x3 cm, konfigurasi diskret dan
beberapa konfluen, distribusi generalisata, dan beberapa area tampak ditutupi krusta
coklat kehitaman, lalu juga terdapat bula multipel, berbatas tegas, berbentuk bulat,
ukuran bervariasi antara 0,5x1cm sampai 1x2 cm, dinding kendor dan berisi cairan
serous pada facial, thoraks anterior, thoraks posterior, ekstremitas superior,
ekstremitas inferior, dan genital. Oleh karena itu, diagnosis NET dapat dipikirkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang sesuai
dengan korelasi klinisnya, diagnosis banding pada pasien ini meliputi SSJ dan SSJ-
NET tumpang tindih. Pengelupasan kulit mengenai sekitar 36% dari seluruh kulit,
sehingga diagnosis SSJ, dan SSJ-NET tumpang tindih dapat disingkirkan.

Pada pasien ini dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa histopatologi dari
biopsi kulit untuk mengetahui gambaran histopatologinya , pemeriksaan
laboratorium seperti darah lengkap, elektrolit, gula darah sewaktu, albumin, fungsi
hati, fungsi ginjal untuk menilai apakah pasien telah mengalami gangguan elektrolit
atau komplikasi serius seperti sepsis . Setelah hasil pemeriksaan penunjang
dilakukan, selanjutnya dilakukan tatalaksana NET yang sesuai bagi pasien ini.

Penatalaksanaan untuk NET adalah deteksi dini dan penghentian segera obat yang
menyebabkan alergi, serta perawatan suportif di rumah sakit. Pada pasien ini
dilakukan berbagai penatalaksanaan yaitu menghentikan penggunaan obat
kotrimoksazol, efavirenz, zidovudine, dan lamivudine yang dicurigai sebagai obat
risiko tinggi terjadinya NET, rawat inap di ICU dengan mengontrol suhu relative
hangat yaitu sekitar 28-30 derajat selsius, terapi suportif berupa pemberian infus
NaCl 0,9% dan dekstrosa 5% (1:1) 20 tpm, terapi elektrolit sesuai hasil
laboratorium, cendo lyteers eyedrop diteteskan pada mata merah 4 kali sehari satu
tetes, betadine kumur 2 kali sehari. Sedangkan, terapi sistemik yang diberikan pada
pasien berupa deksametason intravena 10 mg tiap 8 jam, diberikan lev ofloksasin 1
x 500 mg per drip intravena bila ada tanda infeksi yang dilihat dari hasil
laboratorium, observasi tanda-tanda vital, dan konsultasi dengan dokter
dermatologi, internist, dan mata

Sebagai KIE, pasien dijelaskan terlebih dahulu mengenai penyakit,


kemungkinan penyebab, dan terapi NET. Setelah itu, dokter dapat
memberitahu kepada pasien mengenai obat yang dicurigai menjadi penyebab
penyakit dan menganjurkan untuk mengganti pengobatan terkait, dan jangan
lupa untuk segera memberitahu apabila terdapat komplikasi atau gejala
tambahan yang pasien rasakan seperti menggigil karena infeksi, gangguan pada
mataataupun gangguan buang air kecil NET adalah penyakit yang mematikan,
sehingga prognosis pasien bergantung dengan SCORTEN, yang meliputi apakah
pasien berusia lebih dari 40 tahun, mengalami takikardi, neoplasia, pengelupasan
kulit lebih dari 10%, dan kadar serum urea, bikarbonat, gula darah. Pasien NET
biasanya ad vitam pada pasien ini adalah dubia ad bonam. Sedangkan ad
functionam pasien NET biasanya adalah dubius ad bonam, dan prognosis ad
sanationam adalah dubia ad bonam dan ad kosmetikam untuk pasien NET adalah
ad malam.
BAB V

KESIMPULAN

SSJ adalah penyakit mukokutan akut yang merupakan keadaan gawat darurat
dengan angka kematian yang cukup tinggi. Pada umumnya disebabkan oleh reaksi
terhadap obat, walaupun faktor penyebab infeksi harus juga dipikirkan. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan adanya trias kelainan pada kulit, mukosa dan mata.
Keberhasilan penanganan SSJ sangat ditentukan oleh kemampuan pengenalan
gejala secara dini, penghentian dan mengatasi faktor penyebab segera serta
pemberian terapi suportif yang adekuat. Pada kasus yang tidak berat prognosisnya
cukup baik, namun harus diwaspadai adanya komplikasi yang dapat memperburuk
prognosis.
DAFTAR PUSTAKA

Fitriany J, Alratisda F. Stevens Johnson syndrome. J Averrous. 2019;5(1).


Dewi CC. Tinjauan atas Stevens-Johnson Syndrome dan Toxic Epidermal Necrolysis.
Dalam: CDK Edisi Suplemen 2019,46(2):55-9.
Menaldi SL. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;
2021. 199–200 p.
Frey N, Bodmer M, Bircher A, Jick SS, Meier CR, Spoendlin J. Stevens–Johnson
Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis in Association with Commonly
Prescribed Drugs in Outpatient Care Other than Anti-Epileptic Drugs and
Antibiotics: A Population-Based Case–Control Study. Drug Saf [Internet].
2019;42(1):55–66. Available from: https://doi.org/10.1007/s40264-018-0711-x
Sato S, Kanbe T, Tamaki Z, Furuichi M, Uejima Y, Suganuma E, et al. Clinical features
of Stevens–Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis. Pediatr Int.
2018;60(8):697–702.
Oakley AM, Krishnamurthy K. Stevens Johnson Syndrome [Internet]. StatPearls. 2021
[cited 2021 Sep 26]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459323/
Marwa K, Kondamudi NP. Type IV Hypersensitivity Reaction [Internet]. StatPearls.
2021 [cited 2021 Sep 26]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK562228/
Dodiuk-Gad RP, Chung WH, Valeyrie-Allanore L, Shear NH. Stevens–Johnson
Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis: An Update. Am J Clin Dermatol.
2015;16(6):475–93.
Schwartz RA, McDonough PH, Lee BW. Toxic epidermal necrolysis. J Am Acad
Dermatol [Internet]. 2013;69(2). Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.jaad.2013.05.003
Saeed HN, Chodosh J. Ocular manifestations of Stevens-Johnson syndrome and their
management. Curr Opin Ophthalmol. 2016;27(6):522–9.
Feldmeyer L, Heidemeyer K, Yawalkar N. Acute generalized exanthematous pustulosis:
Pathogenesis, genetic background, clinical variants and therapy. Int J Mol Sci.
2016;17(8).
Kuba A, Raida L. Graft versus host disease: from basic pathogenic principles to DNA
damage response and cellular senescence. Mediators Inflamm. 2018;2018(1).
Lerch M, Mainetti C, Terziroli Beretta-Piccoli B, Harr T. Current Perspectives on
Stevens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis. Clin Rev Allergy
Immunol. 2018 Feb;54(1):147-176
Hsu DY, Brieva J, Silverberg NB, Silverberg JI. Morbidity and Mortality of Stevens-
Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis in United States Adults. J
Invest Dermatol. 2016 Jul;136(7):1387-1397.
Bettuzzi T, Penso L, de Prost N, Hemery F, Hua C, Colin A, Mekontso-Dessap A, Fardet
L, Chosidow O, Wolkenstein P, Sbidian E, Ingen-Housz-Oro S. Trends in
mortality rates for Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis:
experience of a single centre in France between 1997 and 2017. Br J
Dermatol. 2020 Jan;182(1):247-248
Miliszewski MA, Kirchhof MG, Sikora S, Papp A, Dutz JP. Stevens-Johnson syndrome
and toxic epidermal necrolysis: an analysis of triggers and implications for
improving prevention. The American journal of medicine. 2016 Nov
1;129(11):1221-5.
Velasco-Tirado V, Alonso-Sardón M, Cosano-Quero A, Romero-Alegría Á, Sánchez-
Los Arcos L, López-Bernus A, Pardo-Lledías J, Belhassen-García M. Life-
threatening dermatoses: Stevens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal
Necrolysis. Impact on the Spanish public health system (2010-2015). PLoS One.
2018;13(6):e0198582.

Anda mungkin juga menyukai