Oleh :
Erick Kusuma Tandiono 2002612037
Ni Putu Gita Raditya Sanjiwani 2002612038
Putu Raka Widhiarta 2002612090
Pembimbing
dr. Ni Made Dwi Puspawati, Sp.KK, FINSDV
i
KATA PENGATAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas
karunia-Nya, Jurnal Reading dengan judul “Syndrome Steven Johnson (SSJ) dan
Toxic Epidermal Necrolytic (TEN)” ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Jurnal Reading ini disusun sebagai salah satu prasyarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Madya (KKM) di SMF/Bagian Dermatologi dan Venereologi
FK Universitas Udayana, RSUP Sanglah, Denpasar.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
iii
BAB I
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
Secara umum insiden SSJ adalah 1-6 kasus/juta penduduk/tahun. Penyakit
ini dapat terjadi pada setiap usia dan terjadi peningkatan resiko pada usia diatas 40
tahun. Perempuan cenderung lebih tinggi daripada laki-laki dengan perbandingan
1,5:1.1 Penyakit infeksius juga dapat berdampak pada insidensi terjadinya TEN,
yaitu pada pasien HIV dapat meningkat 100 kali lipat dibandingkan populasi
umum, dengan jumlah hampir 1 kasus/seratus orang/tahun pada populasi HIV
positif.5 Dalam analisa kelangsungan hidup abgka mortalitas pada SJS bervariasi
dari 5-12% dan pada NET >30%. Bertambahnya usia, komorbiditas yang
signifikan, luasnya permukaan tubuh yang terlibat berkaitan dengan prognosis yang
buruk. Di Amerika Serikat, evaluasi dari kematian menunjukkan resiko tujuh kali
lebih tinggi pada orang kulit hitam dibandingkan dengan kulit putih . (Velasco-
Tirado)
2.3 Etiopatogenesis
Etiopatogenesis pasti terjadinya Sindrom Stevens-Johnson dan Nekrosis
Epidermal Toksik belum sepenuhnya diketahui.(Fitriany) Pada lesi akan terjadi
reaksi sitotoksik terhadap keratinosit sehingga mengakibatkan apoptosis luas.
Reaksi ini melibatkan sel NK dan sel limfosit T CD8+ yang spesifik terhadap
penyebab SSJ-NET seperti obat-obatan tertentu. Berbagai sitokin terlibat dalam
patogenesis penyakit ini, antara lain IL-6, TNF-α, IFN-γ, IL-18, Fas-L, granulisin,
perforin, dan granzim-B.(Menaldi; Frey; Sato)
Terdapat beberapa faktor yang mungkin dapat menjadi etiologi SSJ-NET,
seperti penggunaan obat-obatan tertentu dan infeksi. Sebagian besar kasus yang
terjadi disebabkan oleh alergi obat. Berbagai obat dilaporkan menjadi penyebab
SSJ-NET, termasuk obat golongan sulfonamida, anti-konvulsan, aromatik,
alopurinol, NSAID, nevirapin, dan lain-lain. Infeksi terutama yang disebabkan oleh
virus juga menjadi salah satu faktor yang berperan dalam patogenesis SSJ-
NET.(Fitriany; Menaldi)
Sindrom Stevens-Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik merupakan
kelainan hipersensitivitas tipe IV, sering disebut sebagai cell-mediated reaction.
Reaksi ini dimediasi oleh sel T yang yang memicu reaksi inflamasi terhadap satu
antigen tertentu, baik eksogen maupun endogen.(Oakley; Marwa) Pada SSJ-NET,
reaksi terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan
antigen yang sama, yang melepaskan senyawa pro-inflammatory dan berlanjut ke
penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Antigen penyebab dapat berupa faktor
penyebab (virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul akibat
aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan
terbebas akibat infeksi, inflamasi, atau proses metabolik). Antigen ini akan
berikatan dengan karier dan merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk
kompleks imun yang dapat beredar dan mengendap di daerah kulit dan mukosa
yang kemudian menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan
reaksi inflamasi yang terjadi. Aktivitas sel T serta mediator yang dihasilkannya juga
ikut memperburuk kerusakan jaringan, ditandai dengan kelainan klinis lokal di kulit
dan mukosa. Reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang
mengakibatkan kerusakan epidermis dan berujung pada kegagalan fungsi kulit
berupa kehilangan cairan, kegagalan termoregulasi dan fungsi imunitas, infeksi,
dan lain-lain.(Fitriany; Oakley; Dodiuk-Gad; Schwartz)
2.5 Diagnosis
Anamnesis dilakukan untuk mencari tahu keluhan utama pasien, riwayat
penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, dan riwayat
sosial serta personal yang semuanya berdasarkan basic four sacred seven. Perlu
ditambahkan untuk anamnesis untuk status dermatologis adalah Dasar diagnosis
SSJ-NET adalah anamnesis yang teliti tentang kronologis perjalanan penyakit,
disertai hubungan waktu yang jelas dengan kecurigaan konsumsi obat tersangka
dan pemeriksaan pada gambaran klinis lesi pada kulit maupun mukosa. Kemudian
juga ditanyakan apakah terdapat komplikasi ke sistem penglihatan, pernafasan,
pencernaan, ataupun perkemihan supaya tindakan selanjutnya dapat dilakukan
secara cepat dan tepat.(Menaldi)
2.8 Komplikasi
Pada kondisi akut, sepsis adalah komplikasi serius yang paling sering pada
SJS/NET. Gagal organ juga bisa terjadi seperti kegagalan paru, hepar, dan ginjal.
Komplikasi jangka panjang yang paling sering pada SJS/TEN adalah kebutaan pada
mata, perubahan pigmen dan jaringan parut pada kulit, dan kerusakan pada ginjal.
Selain itu, blister dan erosi yang terjadi di mukosa dapat menyebabkan striktur dan
jaringan parut. (Lerch M)
2.9 Pencegahan
2.10 Prognosis
DaIam perjalanan penyakitnya, SSJ-NET mengalami penyulit yang
mengancam nyawa berupa sepsis dan multiple organ failure. Prognosis berdasarkan
SSJ-NETM dapat diperkirakan SCORTEN, seperti terlihat pada tabel 1
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Kulit melepuh pada hampir seluruh tubuh.
Riwayat Pengobatan
Pasien belum pernah mendapat pengobatan terkait keluhannya. Riwayat
mengkonsumsi obat-obatan tradisional selama 8 minggu terakhir tidak ada.
Riwayat pengolesan minyak ataupun obat oles lainnya tidak ada.
Riwayat Sosial
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga, sudah menikah tetapi suami
meninggal pada tahun 2008. Pasien pernah memiliki beberapa pasangan.
Terdapat riwayat hubungan seksual dengan lebih dari 1 pasangan tanpa
menggunakan kondom. Pasien tidak mengetahui apakah pacarnya juga
berhubungan seksual dengan orang lain. Riwayat penggunaan obat-obatan
terlarang suntik dan transfusi darah disangkal oleh pasien. Terdapat riwayat
pembuatan tato 6 bulan yang lalu, dan pasien mengaku menggunakan jarum
yang sama dengan pasangan terakhirnya.
Status General
Kepala : Normocephali,
Mata : Anemis -/-, ikterus -/-, isokor 3mm/3mm
THT : Kesan tenang
Thorak : Cor : S1S2 normal, regular, murmur (-) Pul : ves
+/+, rh -/-, wh -/-
Status Dermatologi
Lokasi : Facialis, thoracoabdominalis anterior et posterior, ekstremities
superior et inferior dextra et sinistra, genital
Status Dermatologis :
Pupura multipel, berbatas tegas, bentuk geografika, ukuran bervariasi antara
1x2 cm sampai 2x3 cm, Konfigurasi diskret, beberapa konfluen, distribusi
Generalisata
Erosi multipel, berbatas tegas, berbentuk geografika, ukuran bervariasi antara
0.2x0.2cm sampai 0.3x0.5cm, pada beberapa area tampak ditutupi krusta
coklat kehitaman
Bula multipel, berbatas tegas, berbentuk bulat, ukuran bervariasi antara
0.5x1cm sampai 1x2 cm, dindin kendor dan berisi cairan seorus.
Tanda Nikolsky (+) dan luas pengelupasan kulit 36%
3.4 Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan Histopatologis dari biopsi kulit
• Pemeriksaan Imunofluoresensi
• Pemeriksaan Laboratorium, termasuk DL, AGD, elektrolit, albumin, protein
darah, fungsi hati dan ginjal, serta glukosa sewaktu
• Foto Rontgen Thorax PA
3.6 Penatalaksanaan
1. Hentikan penggunaan obat kotrimoksazol
2. Rawat inap, bisa di ICU atau Burn Unit, suhu ruangan 28-30ºC
3. Terapi suportif
a. IVFD NaCl 0,9% dan Dextrose 5% (1:1) 20 tpm
b. Terapi elektrolit sesuai hasil laboratorium
c. Cendo Lyteers eyedrop diteteskan pada mata merah 4 kali sehari
satu tetes
d. Betadine gargle digunakan berkumur 2 kali sehari
4. Terapi sistemik
a. Deksametason IV injeksi 10 mg tiap 8 jam untuk 1 hari
b. Levofloksasin 1 x 500 mg per drip IV, bila ada tanda infeksi dari
pemeriksaan laboratorium
5. Terapi topikal
a. Perawatan kulit aseptik tanpa debridement
b. Triamnisolon asetonid pada lesi mukosa
c. Kompres NaCl 0,9% pada lesi basah
d. Hidrokortison 2,5% krim + Kloramfenikol 2% pada lesi kering
6. Observasi Vital Sign
7. Konsultasi TS Dermatologi, TS Penyakit Dalam, dan TS Mata
3.7 KIE
1. Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit TEN dan kemungkinan
penyebabnya
2. Menjelaskan rencana tindakan dan terapi yang akan dilakukan selanjutnya
3. Menjelaskan kepada pasien mengenai obat yang dicurigai menjadi
penyebab penyakit dan menganjurkan untuk mengganti pengobatan terkait
4. Menjelaskan kepada pasien untuk tetap mengonsumsi obat-obatan untuk
penyakit HIV yang tidak dicurigai menjadi penyebab penyakit
5. Menjelaskan kepada pasien untuk segera memberitahu apabila terdapat
komplikasi atau gejala tambahan yang pasien rasakan seperti menggigil
karena infeksi, gangguan pada mata ataupun gangguan buang air kecil
3.8 Prognosis
ad vitam : dubia ad bonam.
ad functionam : dubius ad bonam,
ad sanationam : dubia ad bonam
ad kosmetikam :ad malam
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, pasien merupakan seorang perempuan berusia 27 tahun yang
datang dengan keluhan kulit melepuh pada hampir seluruh tubuh. Awalnya
penderita mengeluh muncul bercak-bercak kemerahan pada tangan 1 minggu yang
lalu disertai rasa tidak enak badan dan lemas. Kemudian sejak 3 hari yang lalu
bercak merah tersebut semakin menggelap dan disertai timbulnya gelembung-
gelembung berair yang mudah pecah. Lesi kulit dengan cepat meluas ke wajah,
badan dan tungkai bawah sejak 2 hari yang lalu. Terdapat luka pa da bibir dan
kemerahan pada mata sejak 6 hari yang lalu. Hal ini sesuai dengan manifestasi klinis
pada NET, yaitu berupa makula eritematosa atau purpurik, lesi paada mukosa
berupa eritema dan erosi biasanya dijumpai minimal pada dua lokasi, biasanya pada
oral dan konjungtiva, tetapi tidak jarang lesi ditemukan pada mukosa genital.
Seiring waktu, lesi meluas dan berkembang menjadi nekrotik dan meninggalkan
kulit yang terbuka sehingga rentan mengalami infeksi sekunder. Berdasarkan
literatur juga disebutkan bahwa pengelupasan kulit umum terjadi pada SSJ-NET,
terutama pada daerah tubuh yang tertekan seperti punggung dan bokong, dapat
dilihat dari tanda Nikolsky yang positif. Lokasi lesi kulit yang terdapat pada pasien
juga sesuai dengan NET, yaitu tersebar pada wajah, badan, serta bagian proksimal
ekstremitas,
Penyebab terjadinya NET disebabkan oleh alergi obat. Berbagai obat
dilaporkan menjadi penyebab SSJ-NET, termasuk obat golongan sulfonamida, anti-
konvulsan, aromatik, alopurinol, NSAID, nevirapin, dan lain-lain. Infeksi terutama
yang disebabkan oleh virus juga menjadi salah satu faktor yang berperan dalam
patogenesis SSJ-NET. Pasien menderita HIV/AIDS sejak satu bulan yang lalu, dan
pasien mengonsumsi obat berupa kotrimoksazol selama 2 minggu, dan dilanjutkan
dengan mengonsumsi obat-obatan HIV seperti efavirenz, zidovudine, dan
lamivudine. Pasien dicurigai mengalami NET akibat komsumsi obat
klotrimoksazol, efavirenz, zidovudine, dan lamivudine, karena obat-obatan tersebut
dilaporkan termasuk dalam kategori risiko tinggi terjadinya SSJ-NET
Melalui pemeriksaan tanda vital, ditemukan bahwa keadaan umum pasien
tampak sakit ringan dan kezan gizi kurang. Sementara itu, dari efloresensi
didapatkan adanya lesi kulit berupa purpura multipel, batas tegas, bentuk
geografika, ukuran bervariasi antara 1x1 cm– 3x3 cm, konfigurasi diskret dan
beberapa konfluen, distribusi generalisata, dan beberapa area tampak ditutupi krusta
coklat kehitaman, lalu juga terdapat bula multipel, berbatas tegas, berbentuk bulat,
ukuran bervariasi antara 0,5x1cm sampai 1x2 cm, dinding kendor dan berisi cairan
serous pada facial, thoraks anterior, thoraks posterior, ekstremitas superior,
ekstremitas inferior, dan genital. Oleh karena itu, diagnosis NET dapat dipikirkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang sesuai
dengan korelasi klinisnya, diagnosis banding pada pasien ini meliputi SSJ dan SSJ-
NET tumpang tindih. Pengelupasan kulit mengenai sekitar 36% dari seluruh kulit,
sehingga diagnosis SSJ, dan SSJ-NET tumpang tindih dapat disingkirkan.
Pada pasien ini dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa histopatologi dari
biopsi kulit untuk mengetahui gambaran histopatologinya , pemeriksaan
laboratorium seperti darah lengkap, elektrolit, gula darah sewaktu, albumin, fungsi
hati, fungsi ginjal untuk menilai apakah pasien telah mengalami gangguan elektrolit
atau komplikasi serius seperti sepsis . Setelah hasil pemeriksaan penunjang
dilakukan, selanjutnya dilakukan tatalaksana NET yang sesuai bagi pasien ini.
Penatalaksanaan untuk NET adalah deteksi dini dan penghentian segera obat yang
menyebabkan alergi, serta perawatan suportif di rumah sakit. Pada pasien ini
dilakukan berbagai penatalaksanaan yaitu menghentikan penggunaan obat
kotrimoksazol, efavirenz, zidovudine, dan lamivudine yang dicurigai sebagai obat
risiko tinggi terjadinya NET, rawat inap di ICU dengan mengontrol suhu relative
hangat yaitu sekitar 28-30 derajat selsius, terapi suportif berupa pemberian infus
NaCl 0,9% dan dekstrosa 5% (1:1) 20 tpm, terapi elektrolit sesuai hasil
laboratorium, cendo lyteers eyedrop diteteskan pada mata merah 4 kali sehari satu
tetes, betadine kumur 2 kali sehari. Sedangkan, terapi sistemik yang diberikan pada
pasien berupa deksametason intravena 10 mg tiap 8 jam, diberikan lev ofloksasin 1
x 500 mg per drip intravena bila ada tanda infeksi yang dilihat dari hasil
laboratorium, observasi tanda-tanda vital, dan konsultasi dengan dokter
dermatologi, internist, dan mata
KESIMPULAN
SSJ adalah penyakit mukokutan akut yang merupakan keadaan gawat darurat
dengan angka kematian yang cukup tinggi. Pada umumnya disebabkan oleh reaksi
terhadap obat, walaupun faktor penyebab infeksi harus juga dipikirkan. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan adanya trias kelainan pada kulit, mukosa dan mata.
Keberhasilan penanganan SSJ sangat ditentukan oleh kemampuan pengenalan
gejala secara dini, penghentian dan mengatasi faktor penyebab segera serta
pemberian terapi suportif yang adekuat. Pada kasus yang tidak berat prognosisnya
cukup baik, namun harus diwaspadai adanya komplikasi yang dapat memperburuk
prognosis.
DAFTAR PUSTAKA