Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS

SINDROM STEVENS JOHNSON

Oleh:
Aulia Dwi Juanita

Preseptor:
dr. Arif Effendi, Sp. KK

BAGIAN KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN


KELAMIN RS PERTAMINA BINTANG AMIN BANDAR LAMPUNG
2022
Identifikasi Pasien
1. Nama : Nn. B
2. Jenis Kelamin : Perempuan
3. Umur : 29 tahun
4. Alamat : Pramuka, Bandar Lampung
5. Agama : Islam
6. Pekerjaan :-
7. Status : Belum Menikah
8. No RM :-
9. Tanggal Masuk RS : 18 April 2022
Anamnesa

Keluhan Utama
Muncul gelembung berisi air, lepuh-lepuh di badan dan
anggota gerak, menjalar ke selaput lendir. Ruam, kemerahan
dan gatal sejak 5 hari yang lalu.

Keluhan Tambahan
Kadang merasa nyeri.
Riwayat Penyakit Sekarang

sejak 5 hari yang lalu pasien mengeluhkan muncul


gelembung berisi air, lepuh-lepuh di badan dan anggota
gerak menjalar ke selaput lendir bibir. Diawali
timbulnya ruam kemerahan. Kadang-kadang pasien
mengeluh nyeri dan gatal.
Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ada Riwayat penyakit

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga yang menderita penyakir yang sama seperti pasien

Pengobatan Yang Pernah Di Dapat


Pasien belum pernah berobat sebelumnya

Riwayat Penyakit Lain


Pasien mempunyai Riwayat penyakit epilepsi
Pemeriksaan Fisik
 Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
 Kesadaran : Composmentis
 Tanda-tanda vital
- Tekanan darah : 120/80 mmHg
- Denyut Nadi : 80x/menit
- Laju Pernapasan : 22x/menit
- Suhu Tubuh : 36,5

 Status Generalis
- Kepala : DBN
- Mata : DBN
- Hidung : DBN
- Telinga : DBN
- Mulut : DBN
- Thorax & Abdomen : DBN
- Ekstremitas : DBN
1.  
Status
Dermatologis
Lokasi : Pada lokasi fasialis,
thoraks anterior, thoraks
posterior, ekstremitas superior
dan inferior dekstra dan sinistra
Inspeksi: Terdapat adanya plak,
skuama, erosi, deskuamasi di
atas kulit yang eritematosa.
Resume

Nn. A umur 29 tahun datang ke poli kulit dengan keluhan, sejak 5 hari yang lalu,
muncul gelembung berisi air, lepuh-lepuh di badan dan anggota gerak menjalar
ke selaput lendir bibir. Diawali timbulnya ruam kemerahan. Kadang-kadang
pasien mengeluh nyeri dan gatal. Riwayat pasien minum obat anti kejang tidak
disangkal. Sejak 4 bulan terakhir, pasien setiap 1 bulan sekali berobat ke poli
syaraf karena sakit epilepsi.
Diagnosa Banding

Toxic Epidormolysis Necrotikans (TEN)


Eritema Multiform (EM)
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS)
Diagnosis Kerja
Sindrom Stevens Johnson
Penatalaksanaan
● Terapi Non Medikamentosa
1. Mencatat Riwayat alergi pasien
2. Mencatat nama-nama obat yang dapat menyebabkan alergi pada pasien
3. Menghindari pemberian obat yang diketahui memiliki risiko tinggi ataupun
sedang untuk SSJ
4. Tidak memberikan obat-obatan tanpa indikasi medis
● Terapi Medikamentosa
1. Kortikosteroid dapat diberikan dalam 72 jam pertama setelah onset untuk
mencegah penyebaran yang lebih luas, dapat diberikan selama 3-5 hari diikuti
penurunan secara bertahap (tapering off).
2. Siklosporin A (3 mg/kg/hari)
3. Immunoglobulin Intravena (IVIG)
Penatalaksanaan
Penggunaan kortikosteroid sistemik dosis tinggi untuk reaksi awal, prednisone 30-40 mg
sehari untuk kasus ringan dan deksametason iv 4-6 x 5 mg sehari atau metilprednisolon
dengan dosis yang sama.

Setelah masa krisis telah teratasi, keadaan membaik dan tidak timbul lesi baru, sedangkan
lesi lama tampak involusi. Dosisnya segerap diturunkan secara bertahap, setiap hari
diturunkan 5 mg, setelah dosis mencapai 5 mg sehari lalu diganti dengan tablet
kortikosteroid misalnya prednisone dengan dosis 20 mg sehari, kemudian diturunkan lagi
menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan.
Antibiotik diberikan sebagai profilaksis pada penderita SSJ dalam terapi kortikosteroid,
dipilih antibiotik spetrum luas, bakterisidal, nefrotoksik minimal, jarang menyebabkan
alergi, dan tidak segolongan dengan antibiotik yang diduga menyebabkan alergi.
Antibiotik yang biasa digunakan antara lain siprofloksasin 2x400mg iv, klindamisin
2x600mg iv, atau seftriakson 1x2000mg iv.

Hal lain adalah perawatan lesi dengan kompres salin atau larutan burrow pada lesi untuk
mengeringkan lesi. Krim sulfadiazine perak dapat diberikan untuk efek antiseptik dan
astrigen. Sementara emolien untuk lesi dengan krusta tebal.

Diet tinggi protein miskin garam dan infus dekstrose 5%, NaCl 9%, ringer laktat (1:1:1)
500ml/8jam untuk keseimbangan cairan dan nutrisi dan mengimbangi efek kortikosteroid.
Setelah seminggu diperiksa pula kadar elektrolit dalam darah. Bila terdapat penurunan K
dapat diberikan KCl 3 x 500 mg per os.
Prognosis

● Quo Ad Vitam : Dubia ad bonam


● Quo Ad Functionam : Dubia ad malam
● Quo Ad Sanationam : Dubia ad malam
● Quo Ad Cosmetica : Dubia ad malam
Tinjauan
Pustaka
Definisi
Steven Johnson Syndrome (SJS) atau sindrom Stevens Johnson dan toxic
epidermal necrolysis (TEN) adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh alergi
atau infeksi. Sindrom tersebut mengancam kondisi kulit yang mengakibatkan
kematian sel – sel kulit sehingga epidermis mengelupas dan memisahkan diri
dari dermis. Sindrom ini dianggap sebagai hipersensitivitas kompleks yang
mempengaruhi kulit dan selaput lender. Stevens Johnson Syndrome adalah
sindroma yang mengenai kulit, selaput lender orfisium dan mata dengan
keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat. Kelainan pada kulit berupa
eritema, vesikel, bula dapat disertai purpura.
Epidomiologi

Sindrom Stevens Johnson merupakan sindrom yang mengancam jiwa dengan


trias mengenai kulit, mata dan selaput orfisium akibat dari reaksi mukokutan
akut. Sindrom ini meruoakan suatu penyakit gawat darurat yang jarang terjadi,
insiden SSJ adalah 1-6 kasus/juta penduduk/tahun. Stevens Johnson Syndrome
dapat terjadi pada usia muda sampai usia tua dan semakin meningkat pada usia
diatas 40 tahun. Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap orang dewasa
di Amerika Serikat didapatkan insidensi SSJ 9,2/juta penduduk/tahun.
Etiologi
Penyebab yang pasti belum diketahui, dikatakan multifactorial. Ada yang
beranggapan bahwa sindrom ini merupakan eritema multiforme yang berat dan
disebut eritema multiforme mayor, sedangkan dikatakan mempunyai penyebab
yang sama. Beberapa factor yang dapat menyebabkan timbulnya sindrom ini
antara lain:
1. Virus
2. Bakteri
3. Jamur
4. Obat
5. Parasit
Pemeriksaan Penunjang
Diagnose SSJ 90% dibuat berdasarkan gambaran klinis, yaitu
didapatkannya trias kelainan pada kulit, mukosa dan mata. Anamnesis
ditujukan untuk mengetahui factor penyebab, dimana factor penyebab
tersering adalah obat.
Semua kasus dugaan SJS dan TEN harus dikonfirmasi oleh biopsy kulit
untuk histologis dan pemeriksaan immunofluoresensi. Awal menunjukkan
lesi lapisan suprabasal keratinosit apoptosis, kemudian lesi menunjukan
ketebalan penuh epidermal nekrosis dan pemisahan dari epidermis.
Manifestasi Klinis
Gejala awal dari toxic epidermal necrolysis (TEN) dan Stevens-Johnson
Syndrome (SJS) mungkin tidak spesifik dan termasuk gejala seperti demam,
mata menyengat dan ketidaknyamanan setelah menelan. Biasanya, gejala-gejala
ini mendahului manifestasi kulit oleh beberapa hari. Lokasi awal keterlibatan
kulit adalah wilayah presternal dari batang dan wajah, tetapi juga telapak tangan
dan kaki. Keterlibatan (eritema dan erosi) dari bukal, alat kelamin dan / atau
mukosa mata terjadi pada lebih dari 90% dari pasien, dan dalam beberapa kasus
sistem pernapasan dan pencernaan juga dipengaruhi.
Patofisiologi
Stevens Johnson Syndrome merupakan kelainan hipersensitivitas yang
dimediasi kompleks imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus dan
keganasan. Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi
hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi hipersensitif tipe III terjadi akibat
terbentuknya komplek antigen antibodi yang mikro presitipasi sehingga terjadi
aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang
kemudian melepaskan enzim dan menyebab kerusakan jaringan pada organ
sasaran (target organ). Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang
bersirkulasi dalam darah mengendap di dalam pembuluh darah atau jaringan.
Antibiotik tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam
jaringan kapilernya.
Penatalaksanaan

● Terapi Non Medikamentosa


1. Mencatat Riwayat alergi pasien
2. Mencatat nama-nama obat yang dapat menyebabkan alergi pada pasien
3. Menghindari pemberian obat yang diketahui memiliki risiko tinggi ataupun
sedang untuk SSJ
4. Tidak memberikan obat-obatan tanpa indikasi medis
● Terapi Medikamentosa
1. Kortikosteroid dapat diberikan dalam 72 jam pertama setelah onset untuk
mencegah penyebaran yang lebih luas, dapat diberikan selama 3-5 hari diikuti
penurunan secara bertahap (tapering off).
2. Siklosporin A (3 mg/kg/hari)
3. Immunoglobulin Intravena (IVIG)
Penggunaan kortikosteroid sistemik dosis tinggi untuk reaksi awal, prednisone 30-40 mg
sehari untuk kasus ringan dan deksametason iv 4-6 x 5 mg sehari atau metilprednisolon
dengan dosis yang sama.

Setelah masa krisis telah teratasi, keadaan membaik dan tidak timbul lesi baru, sedangkan
lesi lama tampak involusi. Dosisnya segerap diturunkan secara bertahap, setiap hari
diturunkan 5 mg, setelah dosis mencapai 5 mg sehari lalu diganti dengan tablet
kortikosteroid misalnya prednisone dengan dosis 20 mg sehari, kemudian diturunkan lagi
menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan.
Antibiotik diberikan sebagai profilaksis pada penderita SSJ dalam terapi kortikosteroid,
dipilih antibiotik spetrum luas, bakterisidal, nefrotoksik minimal, jarang menyebabkan
alergi, dan tidak segolongan dengan antibiotik yang diduga menyebabkan alergi.
Antibiotik yang biasa digunakan antara lain siprofloksasin 2x400mg iv, klindamisin
2x600mg iv, atau seftriakson 1x2000mg iv.

Hal lain adalah perawatan lesi dengan kompres salin atau larutan burrow pada lesi untuk
mengeringkan lesi. Krim sulfadiazine perak dapat diberikan untuk efek antiseptik dan
astrigen. Sementara emolien untuk lesi dengan krusta tebal.

Diet tinggi protein miskin garam dan infus dekstrose 5%, NaCl 9%, ringer laktat (1:1:1)
500ml/8jam untuk keseimbangan cairan dan nutrisi dan mengimbangi efek kortikosteroid.
Setelah seminggu diperiksa pula kadar elektrolit dalam darah. Bila terdapat penurunan K
dapat diberikan KCl 3 x 500 mg per os.
Prognosis
Pada umumnya, lesi pada SSJ membaik dalam 1 sampai 2 minggu, kecuali
terjadi infeksi sekunder. 6 Nilai Scorten menggunakan variabel yang terdiri dari:
usia (>40), keganasan, tekanan darah (>120), necrolisis epidermal (>10%), BUN
(>10), glukosa serum (>14), dan kadar bikarbonat (<20) untuk menentukan
prognosis.
• SCORTEN 0 sampai 1 mortalitas 3.2%
• SCORTEN 2 mortalitas 12.1%
• SCORTEN 3 mortalitas 35.3%
• SCORTEN 4 mortalitas 58.3%
• SCORTEN 5 atau lebih mortalitas 90%
Referensi
●Julia F., Fajri A.,. 2019. Stevens Johnson Syndrome. Journal Averrous Volume 5 Nomor 1
Mei 2019.
●Novita, D.P., Mutiara, H., Hasnugan. 2018. Stevens Johnson Syndrome et causa
Paracetamo. E- Journal Volume 6 Nomor 1
●Fitriana, A., Endaryanto, A., Hidayati, A.N. 2018. Gambaran Klinis Stevens Johnson
Syndrome dan Toxic Epidermal Necrolysis. E-journal Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Volume 30 Nomor 2 Agustus 2018
●Hermiaty., Syamsu, R.F., Diana, N.A. 2021. Penanganan dan Preventif Steven Johnson
Syndrom di Masyarakat. E-journal Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia Volume 1
Nomor 5:524-529
●Witarini, K.A. 2019. Diagnosis dan Tatalaksana Sindrom Stevens Johnson Pada Anak. E-
journal Volume 10 Nomor 3:593-596
● Menaldi SL., Bramono K., Indriatmi W., editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta. Badan
Penerbit FKUI:2018
●Djuanda A., Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta.: Badan Penerbitan FKUI: 2010
Terima
Kasih

Anda mungkin juga menyukai