Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

Kegawatdaruratan pada traktus biliaris yang utama diantaranya adalah


kolesistitis akut, kolangitis ascenden, dan pankreatitis akut. Kolesistitis adalah
inflamasi kandung empedu yang terjadi paling sering karena obstruksi duktus
sistikus oleh batu empedu.1
Umumnya kolesistitis akut disebabkan oleh adanya batu kandung empedu.1
Hingga kini patogenesis penyakit yang cukup sering di-jumpai ini masih belum jelas.
Kolesistitis akalkulus adalah inflamasi dari kandung empedu namun bukan akibat
dari adanya batu kandung empedu. Angka kejadiaan kolesistitis tipe ini adalah 10%
dari seluruh kejadian kolesistitis akut. Pada kepustakaan lain disebutkan bahwa pada
5%-10% pasien dengan kolesistitis akut yang menjalani terapi operasi, batu
penyebab penyumbatan kandung empedu tidak ditemukan.2
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh kolesistitis akut akalkulus dapat
menyerupai kolesistitis akut dengan penyebab batu, sehingga diperlukan
pemeriksaan penunjang untuk memastikannya. Kolesistitis akut akalkulus sering
dikaitkan dengan peningkatan risiko mortalitas dan morbiditas, oleh sebab itu,
diagnosis dan tata laksana harus dapat dilakukan dengan cermat. 2
Infeksi Virus Hepatitis B (VHB) adalah suatu masalah kesehatan utama di
dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya. Diperkirakan bahwa sepertiga
populasi dunia pernah terpajan virus ini dan 350-400 juta diantaranya merupakan
pengidap hepatitis B. Prevalensi yang lebih tinggi didapatkan di negara berkembang,
termasuk Indonesia. Di Indonesia, angka pengidap hepatitis B pada populasi sehat
diperkirakan mencapai 4.0-20.3%, dengan proporsi pengidap di luar Pulau Jawa
lebih tinggi daripada di Pulau Jawa.2,3 Secara genotip, virus hepatitis B di Indonesia
kebanyakan merupakan virus dengan genotip B (66%), diikuti oleh C (26%), D (7%)
dan A (0.8%).3
Laporan kasus ini menyajikan sebuah kasus kolesistitis dengan hepatitis B
yang dialami seorang laki-laki berusia 42 tahun mengeuh nyeri perut dan mata serta
badan berwarna kuning. Pada pemeriksaan penunjang, didapatkan hasil HbsAg postif
dan tidak didapatkan adanya gambaran batu pada kandung empedu.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identifikasi
- Nama : Tn. S
- Jenis Kelamin : Laki-laki
- Tanggal Lahir/Umur : 15-07-1977/ 42 tahun
- Alamat : Jl. Kalang Ds III RT 006 Kab. Ogan Komering Ilir
- Pekerjaan : Supir
- Agama : Islam
- No. RM : 57.87.75
- Tanggal Pemeriksaan : 14 Agustus 2019
- Ruang : Infeksi PDL Laki-laki Kelas III
- Dokter Pemeriksa : dr. Restu Iman MKR, Sp.PD-KKV. FINASIM
- Co. Asisten : Nabilah Ananda Heparrians, S.Ked
- Tanggal Masuk : 13 Agustus 2019
- No. Telp : 082280479355

Anamnesis
2.2 Keluhan Utama
Nyeri perut

2.3 Riwayat Perjalan Penyakit


Pasien mengalami nyeri perut sejak 1 minggu SMRS. Nyeri dirasakan di
perut bagian kanan atas. Nyeri dirasakan hilang timbul. Nyeri bertambah berat
bila pasien selesai makan, bila menarik nafas panjang. Nyeri dirasakan menjalar
hingga ke bahu kanan. Keluhan disertai mual dan muntah. Keluhan muntah tidak
menyemprot. Pasien juga mengalami demam yang terus-menerus, demam tidak
begitu tinggi.
Sejak 3 hari SMRS, mata pasien menjadi kuning, diikuti dada, perut
hingga kaki berwarna kuning. Pasien mengalami gatal-gatal disekujur tubuh.
Keluhan disertai BAB cair, air lebih banyak dari ampas, frekuensi tiga kali

2
sehari, darah (-), lendir (-), berwarna kuning pucat dan berbusa. BAK pasien
berwarna teh tua. Keluhan seperti ini baru pertama kali dialami pasien.

2.4 Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat penyakit gastritis tidak ada
- Riwayat penyakit diabetes melitus tidak ada.
- Riwayat penyakit hipertensi tidak ada.
- Riwayat penyakit asma tidak ada

2.5 Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat penyakit hipertensi tidak ada
- Riwayat penyakit kencing manis tidak ada
- Riwayat penyakit lambung tidak ada
- Riwayat penyakit alergi tidak ada
- Riwayat penyakit asma tidak ada

2.6 Riwayat Kebiasaan


Pasien memiliki kebiasaan sering mengkonsumsi gorengan dan makanan padang

2.7 Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien adalah seorang supir angkot. Ekonomi menengah ke bawah.

2.8 Status Gizi


Diet sebelum sakit: 3 kali 1 piring bubur, teratur.
Variasi diet
- Karbohidrat : Nasi
- Protein : Ikan, tahu dan tempe sering
- Lemak : Ayam cukup sering, jarang mengonsusi daging.
- Sayur : Kadang-kadang
- Buah : Kadang-kadang
- Susu : Jarang

3
2.9 Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum:
1. Keadaan sakit : Tampak sakit sedang
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Berat badan : 64 kg
4. Tinggi badan : 160 cm
5. Keadaan Gizi : 25 kg/m2 (Obesitas I)
6. Bentuk tubuh : Astenikus
7. Tekanan darah : 120/70 mmHg
8. Nadi
- Frekuensi : 92 kali per menit
- Irama : Reguler
- Isi : Cukup
- Tegangan : Kuat
- Kualitas : Baik
9. Pernafasan
- Frekuensi : 22 kali per menit
- Irama : Reguler
- Tipe : Abdomino torakal
10. Temperatur : 37,0°C

b. Keadaan Spesifik:
1. Pemeriksaan Kepala:
- Bentuk : Normocepali
- Rambut : Hitam, lebat, tidak mudah dicabut
- Simetris Muka : Simetris
- Ekspresi : Sesuai

2. Pemeriksaan Mata:
- Eksophtalmus : Tidak ada (-/-)
- Endophtalmus : Tidak ada (-/-)
- Palpebra : Tidak ada edema (-/-)

4
- Konjungtiva : Tidak anemis (-/-)
- Sklera : Tidak ikterik (-/-)
- Pupil : Isokor, refleks cahaya ada kiri dan kanan (+/+)
- Pergerakan mata : Kesegala arah baik

3. Pemeriksaan Telinga :
- Liang Telinga : Lapang
- Serumen : ada
- Sekret : Tidak ada
- Nyeri Tekan Tragus : Tidak ada
- Gangguan Pendengaran: Tidak ada

4. Pemeriksaan Hidung :
- Deforrmitas : Tidak ada
- Sekret : Tidak ada
- Epitaksis : Tidak ada
- Mukosa Hiperemis : Tidak ada
- Septum Deviasi : Tidak ada

5. Pemeriksaan Mulut dan Tengorokan:


- Bibir : Sianosis tidak ada, Lembab
- Gigi –geligi : Tidak ada, karies di beberapa bagian gigi.
- Gusi : Hiperemis (-/-), Normal.
- Lidah : Sariawan tidak ada, atrofi papil lidah tidak ada,
bercak putih tidak ada.
- Tonsil : T1/T1 tenang
- Faring : Tidak hiperemis.
6. Pemeriksaan Leher
- Inspeksi : Simetris, tidak terlihat benjolan
- Palpasi : Pembesaran Tiroid tidak ada, Pembesaran KGB tidak ada
- JVP : 5-2 cmH2O

5
7. Kulit
- Hiperpigmentasi : Tidak ada
- Ikterik : Tidak ada
- Ptekhie : Tidak ada
- Sianosis : Tidak ada
- Pucat pada telapak tangan : Tidak ada
- Pucat pada telapak kaki : Tidak ada
- Turgor : Kembali cepat

8. Pemeriksaan Thorax
Bentuk dada : Simetris, Sela iga normal.
Pembuluh darah : Spider nevi tidak ada, venektasi tidak ada
Nyeri ketok : Tidak ada
Krepitasi : Tidak ada

Paru Depan
- Inspeksi : Simetris, statis, dinamis: paru kanan = paru kiri tidak
ada yang tertinggal. Sela iga: Retraksi tidak ada, Sela
iga tidak tampak melebar. Jejas tidak ada. Ikterik (+)
- Palpasi : Stem fremitus kiri dan kanan simetris
- Perkusi : Sonor kedua lapang paru, batas paru hepar ICS VI
dan batas peranjakan paru hepar adalah 2 jari.
- Auskultasi : vesikuler (+/+) normal, rhonki (-/-) wheezing (-/-)

Paru Belakang
- Inspeksi : Statis: Simetris, dinamis: Simetris, paru kanan = paru
kiri tidak ada yang tertinggal. Sela iga: Retraksi tidak
ada. Jejas tidak ada.
- Palpasi : Stem fremitus kiri dan kanan simetris
- Perkusi : Sonor kedua lapang paru, nyeri ketok tidak ada
- Auskultasi : vesikuler (+/+) normal, rhonki (-/-) wheezing (-/-)

6
9. Jantung
- Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat.
- Palpasi : Iktus cordis teraba ICS IV.
- Perkusi : Batas jantung atas ICS II, Batas jantung kanan sulit dinilai,
Batas jantung kiri ICS V linea midclavicularis sinistra.
- Auskultasi : HR: 92x/ menit reguler, bunyi jantung S1- S2 normal,
murmur (-), gallop (-)

10. Pembuluh Darah


- Temporalis : Teraba, kuat, reguler.
- Carotis : Teraba, kuat, reguler.
- Brachialis : Teraba, kuat, reguler.
- Radialis : Teraba, kuat, reguler.
- Femoralis : Teraba, kuat, reguler.
- Poplitea : Teraba, kuat, reguler.
- Tibialis Posterior : Teraba, kuat, reguler.
- Dorsalis Pedis : Teraba, kuat, reguler.

11. Pemeriksaan Abdomen


Abdomen
- Inspeksi : Datar, caput medusa (-), venektasi (-), spider nervi (-
), bekas operasi (-), jaringan parut (-), ikterik (+),
meteorismus (+)
- Palpasi : Lemas, hepar teraba dua jari di bawah arcus costae,
Murphy sign (+), massa (-)
Lien tidak teraba
- Perkusi : Timpani (+), nyeri ketok regio hypogastrica dextra
(+)
- Auskultasi : Bising usus 6x/menit, metallic sound (-)

12. Pemeriksaan Ekstremitas


Superior : Eutoni, eutropi, gerakan bebas, kekuatan 5, nyeri sendi

7
tidak ada, palmar eritem (-), clubbing finger (-), hangat,
ikterik (+)

Inferior : Eutoni, eutropi, gerakan bebas, kekuatan 5, nyeri sendi


tidak ada, palmar eritem (-), edema (-), hangat, ikterik
(+)

2.10 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 13 Agustus 2019
Hematologi
Parameter Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 13,7 12-14 g/dl
Eritrosit 4.090.000 4,0-5,0 juta/ul
Leukosit 11.800 5.000-10.000/ul
Trombosit 270.000 150.000-450.000/ul
Hematokrit 39,9% 37-43%
Hitung Jenis 5.4/0.5/0.0/72.2/15.0/6.9 1-3/0-1/2-6/40-60/20-
50/2-8
MCV 97,2 80-97 fl
MCH 33,5 27-31 pg
MCHC 34,5 32-36%
Hitung Jenis 0/0/0/78,5/15,9/5,6 0-1/1-3/2-6/50-70/20-
40/2-8
HbsAg Positif Negatif

Widal Test
Tifoid Titer H: 1/80 Titer O : 1/320
Parathypus A Titer AH: 1/160 Titer AO: 1/80

8
Pemeriksaan USG
Tanggal 15 Agustus 2019

Hasil pemeriksaan USG Abdomen:


- Hepar: tak membesaer, parenkim homogen, tak tampak nodul, tak tampak
pelebaran saluran empedu
- Kandung empedu: dinding menebal, tak tampak batu
- Pankreas: ukuran normal, parenkim homogen
- Ginjal kanan: ukuran tidak membesar, batas sinus parenkim tega, pelvikaliseal
tidak melebar, tak tampak batu
- Spleen: tidak membesar, parenkim homogen
- Vesika urinarius: dinding rata, tidak menebal, tak tampak batu
- Prostat: parenkim homogen, tidak membesar

9
- Tak tampak asites

Kesimpulan:
Cholecystitis chronis acalculus

2.11 Resume
Pasien mengalami nyeri perut sejak 1 minggu SMRS. Nyeri dirasakan di
perut bagian kanan atas. Nyeri dirasakan hilang timbul. Nyeri bertambah berat
bila pasien selesai makan, bila menarik nafas panjang. Nyeri dirasakan menjalar
hingga ke bahu kanan. Keluhan disertai mual dan muntah. Keluhan muntah tidak
menyemprot. Pasien juga mengalami demam yang terus-menerus, demam tidak
begitu tinggi.
Sejak 3 hari SMRS, mata pasien menjadi kuning, diikuti dada, perut hingga
kaki berwarna kuning. Keluhan disertai BAB cair, air lebih banyak dari ampas,
frekuensi tiga kali sehari, darah (-), lendir (-), berwarna kuning pucat dan
berbusa. BAK pasien berwarna teh tua.
Pada pemeriksaan fisik tanggal 14 Agustus 2019 didapatkan keadaan
umum pasien tampak sakit sedang, dengan tanda vital: tekanan darah 120/70
mmHg, nadi 92x/menit reguler, frekuensi pernafasan 22x/ menit dan suhu
37,0oC. Pemeriksaan fisik didapatkan sklera ikterik (+). Pada pemeriksaan
abdomen, inpesksi didapatkan datar, dan ikterik. Palpasi abdomen : datar, hepar
teraba 2 jari di bawah arcus costae, Murphy sign (+). Perkusi abdomen: timpani
(+), nyeri ketok di region hypogastrica dextra. Auskultasi abdomen tidak ada
kelainan.
Kelainan pada pemeriksaan laboratorium berupa leukositosis (leukosit:
11.800/ul), pemeriksaan hitung jenis didapatkan shift to the left, dan HbsAg (+).
Pasien juga menjalani Widal Test, hasil: Titer tifoid didapatkan titer H 1/80, dan
titer O 1/320. Pemeriksaan titter Parathypus A didapatkan titer AH: 1/160, titer
AO: 1/80. Hasil USG abdomen berupa cholecystitis alkakulus kronis.

10
2.12 Diagnosa Banding
1. Cholesystitis Akalkulus Akut + Hepatitis B Akut
2. Cholangitis Akut + Hepatitis B Akut
3. Cholelithiasis + Hepatitis B Akut

2.13 Diagnosa Kerja


Cholesystitis Akalkulus Akut + Hepatitis B akut

2.14 Penatalaksanaan
Non-Medikamentosa
1. Tirah baring
2. Edukasi

Medikamentosa
- IVFD RL gtt 20x/menit
- Inj. Ceftriaxone 2x1 gram IV
- Inj. Ketorolac 3x1amp IV
- Inj. Omeprazole 1x1 vial IV
- Curcuma 3x1 tab

2.15 Pemeriksaan Anjuran


- Kultur bakteri
- Pemeriksaan HbeAg
- Pemeriksaan IgM tifoid

2.16 Prognosis
- Quo Ad Vitam : Dubia ad bonam
- Quo Ad Fungsionam : Dubia ad bonam

11
2.17 Follow Up
Tanggal S O A P
15/8/19 Nyeri perut (+) TD: 120/70 mmHg Hepatitis B - IVFD RL gtt
Mata dan badan HR: 92x/menit akut 20x/menit
kuning. Pasien RR: 21x/menit - Inj. Ceftriaxone 2x1
tidak demam T: 36,9C gram IV
lagi - Inj. Ketorolac
3x1amp IV
- Inj. Omeprazole 1x1
vial IV
- Curcuma 3x1 tab
- Antasida syr3x1 c
- Rencana USG

16/8/19 Nyeri perut (+) TD: 110/80 mmHg Cholesystitis - IVFD RL gtt
Mata dan HR: 78x/menit Akalkulus 20x/menit
badan kuning RR: 22x/menit Akut + - Inj. Ceftriaxone 2x1
T: 36,C Hepatitis B gram IV
akut - Inj. Ketorolac
Hasil USG: 3x1amp IV
Cholesystitis Akut - Inj. Omeprazole 1x1
vial IV
- Curcuma 3x1 tab
- Antasida syr3x1 c

12
17/8/19 Keluhan (-) TD: 110/70 mmHg Cholesystitis - IVFD RL gtt
HR: 76x/menit Akalkulus 20x/menit
RR: 21x/menit Akut + - Inj. Ceftriaxone 2x1
T: 36,6C Hepatitis B gram IV
Akut - Inj. Ketorolac
3x1amp IV
- Inj. Omeprazole 1x1
vial IV
- Curcuma 3x1 tab
- Antasida syr3x1 c
18/8/19 Nyeri perut (+) TD: 120/80 mmHg Cholesystitis - IVFD RL gtt
HR: 89x/menit Akalkulus 30x/menit
RR: 23x/menit Akut + - Inj. Ceftriaxone 2x1
T: 36,6C Hepatitis B gram IV
Akut - Inj. Ketorolac
3x1amp IV
- Inj. Omeprazole 1x1
vial IV
- Inj. Ranitide 2x1 amp
- Curcuma 3x1 tab
- Antasida syr3x1c
19/8/19 Mual dan nyeri TD: 100/70 mmHg Cholesystitis - IVFD RL gtt
perut kanan HR: 89x/menit Akalkulus 30x/menit
atas RR: 23x/menit Akut + - Inj. Ceftriaxone 2x1
T: 36,6C Hepatitis B gram IV
Akut - Inj. Ketorolac
3x1amp IV
- Inj. Omeprazole 1x1
vial IV
- Inj. Ranitide 2x1 amp
- Curcuma 3x1 tab
- Antasida syr 3x1c

13
20/8/19 Keluhan (-) TD: 120/70 mmHg Cholesystitis Pasien diperbolehkan
HR: 67x/menit Akalkulus pualng.
RR: 21x/menit Akut+
T: 36,8C Hepatitis B Obat pulang:
Akut - Cefixime 2x100 mg
- Curcuma 3x1 tab
- Antasida syr 3x1 c

14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Kolesistitis
Kolesistitis adalah radang dinding kandung empedu yang disertai keluhan
nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Berdasarkan etiologinya,
kolesistitis dapat dibagi menjadi1:
1. Kolesistitis kalkulus, yaitu kolesistitis yang disebabkan batu kandung
empedu yang berada di duktus sistikus.
2. Kolesistitis akalkulus, yaitu kolesistits tanpa adanya batu empedu
Berdasarkan onsetnya, kolesistitis dibagi menjadi kolesistitis akut dan
kolesistitis kronik. Pembagian ini juga berhubungan dengan gejala yang timbul
pada kolesistitis akut dan kronik. Pada kolesistitis akut, terjadi inflamasi akut
pada kandung empedu dengan gejala yang lebih nyata seperti nyeri perut kanan
atas, nyeri tekan dan demam. Sedangkan, kolesistitis kronik merupakan inflamasi
pada kandung empedu yang timbul secara perlahan-lahan dan sangat erat
hubugannya dengan litiasis dan gejala yang ditimbulkan sangat minimal dan
tidak menonjol.1

3.2 Patogenesis
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah
stasis cairan empedu, infeksi kuman, dan iskemia dinding kandung empedu.
Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) yang
terletak di duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan empedu, sedangkan
sebagian kecil kasus kolesititis (10%) timbul tanpa adanya batu empedu.
Kolesistitis kalkulus akut disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus oleh batu
empedu yang menyebabkan distensi kandung empedu. Akibatnya aliran darah
dan drainase limfatik menurun dan menyebabkan iskemia mukosa dan nekrosis.
Diperkirakan banyak faktor yang berpengaruh seperti kepekatan cairan empedu,
kolesterol, lisolesitin, dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding
kandung empedu diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi.1,4

15
Faktor predisposisi terbentuknya batu empedu adalah perubahan susunan
empedu, stasis empedu, dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan
empedu mungkin merupakan faktor terpenting pada pembentukan batu empedu.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa hati penderita batu kolesterol
mensekresi empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang
berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu dengan cara yang belum
dimengerti sepenuhnya. Stasis empedu dapat mengakibatkan supersaturasi
progresif, perubahan susunan kimia dan pengendapan unsur tersebut. Gangguan
kontraksi kandung empedu atau spasme sfingter Oddi atau keduanya dapat
menyebabkan stasis. Faktor hormonal terutama pada kehamilan dapat dikaitkan
dengan pengosongan kandung empedu yang lebih lambat. Infeksi bakteri dalam
saluran empedu dapat berperan sebagian dalam pembentukan batu, melalui
peningkatan deskuamasi sel dan pembentukan mukus. Akan tetapi, infeksi
mungkin lebih sering sebagai akibat adanya batu empedu daripada menjadi
penyebab terbentuknya batu empedu.4
Meskipun mekanisme terjadinya kolesistitis akalkulus belum jelas,
beberapa teori telah diajukan untuk menjelaskan mekanisme terjadinya penyakit
ini. Penyebab utama penyakit ini dipikirkan akibat stasis empedu dan
peningkatan litogenisitas empedu. Pasien-pasien dalam kondisi kritis lebih
mungkin terkena kolesistitis karena meningkatnya viskositas empedu akibat
demam dan dehidrasi dan akibat tidak adanya pemberian makan per oral dalam
jangka waktu lama sehingga menghasilkan penurunan atau tidak adanya
rangsangan kolesistokinin untuk kontraksi kandung empedu. Selain itu,
kerusakan pada kandung empedu mungkin merupakan hasil dari tertahannya
empedu pekat, suatu senyawa yang sangat berbahaya. Pada pasien dengan puasa
yang berkepanjangan, kandung empedu tidak pernah mendapatkan stimulus dari
kolesistokinin yang berfungsi merangsang pengosongan kandung empedu,
sehingga empedu pekat tersebut tertahan di lumen. Iskemia dinding kandung
empedu yang terjadi akibat lambatnya aliran empedu pada demam, dehidrasi,
atau gagal jantung juga berperan dalam patogenesis kolesistitis akalkulus.5
Penelitian yang dilakukan oleh Cullen et al memperlihatkan kemampuan
endotoksin dalam menyebabkan nekrosis, perdarahan, penimbunan fibrin yang

16
luas, dan hilangnya mukosa secara ekstensif, sesuai dengan iskemia akut yang
menyertai. Endotoksin juga menghilangkan respons kontraktilitas luas, dan
hilangnya mukosa secara ekstensif, sesuai dengan iskemia akut yang menyertai.
Endotoksin juga menghilangkan respons kontraktilitas terhadap kolesistokinin
(CCK) sehingga menyebabkan stasis kandung empedu.5

3.3 Manifestasi Klinis


Pasien kolesistitis akut memiliki riwayat nyeri hebat pada abdomen bagian
atas yang bertahan dalam beberapa jam hingga akhirnya mereka mencari
pertolongan ke unit gawat darurat lokal. Secara umum, pasien kolesistitis akut
juga sering merasa mual dan muntah serta pasien melaporkan adanya demam.
Tanda-tanda iritasi peritoneal juga dapat muncul, dan pada beberapa pasien
menjalar hingga ke bahu kanan atau skapula. Kadang-kadang nyeri bermula dari
regio epigastrium dan kemudian terlokalisisr di kuadran kanan atas (RUQ).
Meskipun nyeri awal dideskripsikan sebagai nyeri kolik, nyeri ini kemudian akan
menetap pada semua kasus kolesistitis. Pada kolesistitis akalkulus, riwayat
penyakit yang didapatkan sangat terbatas. Seringkali, banyak pasien sangat
kesakitan (kemungkinan akibat ventilasi mekanik) dan tidak bisa menceritakan
riwayat atau gejala yang muncul.6,7

Gambar 2.1 Algoritma diagnosis kolesistitis8

17
Pada pemeriksaan fisik, biasanya ditemukan nyeri tekan di kuadran kanan
atas abdomen, dan seringkali teraba massa atau teraba penuh. Palpasi kuadran
kanan atas saat inspirasi seringkali menyebabkan rasa tidak nyaman yang berat
yang menyebabkan pasien berhenti menghirup napas, hal ini disebut sebagai
tanda Murphy positif. Terdapat tanda-tanda peritonitis lokal dan demam.6,7

3.4 Pemeriksaan Penunjang


1. Laboratorium
Dari pemeriksaan laboratorium pada pasien akut kolesistitis, dapat
ditemukan leukositosis dan peningkatan kadar C-reactive protein (CRP). Pada
15% pasien, ditemukan peningkatan ringan dari kadar aspartate aminotransferase
(AST), alanine aminotransferase (ALT), alkali fosfatase (AP) dan bilirubin jika
batu tidak berada di duktus biliaris.2,6,7

2. Radiologi
Pemeriksaan pencitraan untuk kolesistitis diantaranya adalah ultrasonografi
(USG), computed tomography scanning (CT-scan) dan skintigrafi saluran
empedu. Pada USG, dapat ditemukan adanya batu, penebalan dinding kandung
empedu >5mm, adanya cairan di perikolesistik, dan tanda Murphy positif saat
kontak antara probe USG dengan abdomen kuadran kanan atas. Nilai kepekaan
dan ketepatan USG mencapai 90-95%.6

Gambar 2.2 Pemeriksaan USG pada kolesistitis9

18
Pemeriksaan CT scan abdomen kurang sensitif dan mahal, tapi mampu
memperlihatkan adanya abses perikolesisitik yang masih kecil yang mungkin
tidak terlihat dengan pemeriksaan USG. Skintigrafi saluran empedu
mempergunakan zat radioaktif HIDA atau 99m Tc6 Iminodiacetic acid
mempunyai kepekaan dan ketepatan yang lebih rendah daripada USG dan juga
lebih rumit untuk dikerjakan. Terlihatnya gambaran duktus koledokus tanpa
adanya gambaran kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi oral atau
skintigrafi sangat menyokong kolesistitis akut.1,3

Gambar 2.3 Koleskintigram normal9

19
Gambar 2.4 Gambaran 99mTc-HIDA scan yang memperlihatkan tidak adanya
pengisian kandung empedu akibat obstruksi duktus sitikus9

3.5 Diagnosis
Berdasarkan Tokyo Guidelines (2013), kriteria diagnosis untuk kolesistitis
adalah:6
A. Tanda inflamasi lokal
o Murphy sign (sensitivitas 50-65% dan spesifisitas 79-96% pada
kolesistitis akut)
o Nyeri atau nyeri tekan atau massa pada kuadran kanan atas
abdomen
B. Tanda inflamasi sistemik
o Demam
o Peningkatan kadar CRP
o Leukositosis
C. Pemeriksaan pencitraan
o Temuan yang sesuai pada pemeriksaan USG atau skintigrafi

20
Diagnosis suspek : terdapat satu tanda pada A + satu tanda pada B
Diagnosis pasti : terdapat satu tanda pada A + satu tanda pada B + C

3.6 Derajat Kolesistitis


Kolesistitis akut dibagi menjadi tiga derajat berdasarkan berat penyakit6:
1. Kolesistitis akut ringan (derajat 1)
Pasien dengan inflamasi ringan pada kandung empedu, tanpa disertai
disfungsi organ, dan kolesistektomi dapat dilakukan dengan aman dan
berisiko rendah. Pasien pada derajat ini tidak memenuhi kriteria untuk
kolesistitis sedang dan berat.

2. Kolesistitis akut sedang (derajat 2)


Salah satu kriteria yang harus dipenuhi adalah :
- Leukositosis
- Massa teraba di abdomen kuadran atas
- Keluhan berlangsung lebih dari 72 jam
- Inflamasi lokal yang jelas (peritonitis bilier, abses perikolesistikus,
abses hepar, kolesis-titis gangrenosa, kolesistitis emfisematosa) Derajat
inflamasi akut pada stadium ini me-ningkatkan taraf kesulitan untuk
dilakukan kolesistektomi. Operasi laparoskopi sebaiknya dilakukan
dalam waktu 96 jam setelah onset.

3. Kolesistitis akut berat (derajat 3)


- Disfungsi kardiovaskuler (hipotensi dilatasi dengan dopamin atau
dobutamin)
- Disfungsi neurologis (penurunan kesadaran)
- Disfungsi pernapasan (rasio PaO2/FiO2 < 300)
- Disfungsi renal (oliguria, kreatinin >2 mg/dL)
- Disfungsi hepar (PT-INR > 1,5)
- Disfungsi hematologi (trombosit < 100.0000/mm)

21
3.7 Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk kolesistitis diantaranya adalah:
 Aneurisma aorta abdominal
 Iskemia messenterium akut
 Apendisitis
 Kolik bilier
 Kolangiokarsinoma
 Kolangitis
 Koledokolitiasis
 Kolelitiasis
 Mukokel kandung empedu
 Ulkus gaster
 Gastritis akut
 Pielonefritis akut3

3.8 Tatalaksana
Penatalaksanaan kolesistitis secara umum:2
- Antibiotik harus diberikan untuk semua kasus, disesuaikan dengan derajat
beratnya penyakit. Pada insufisiensi ginjal, dosis anti-biotik harus
disesuaikan.
- Non-steroid anti-inflamatory drugs (NSAID) dapat diberikan untuk
mengatasi nyeri. Salah satu NSAID yang dapat dipilih adalah diclofenac atau
indomethacin.
Tatalaksana umum lainnya termasuk istirahat total, pemberian nutrisi
parenteral, diet ringan rendah lemak. Pemberian antibiotik pada fase awal
sangat penting untuk mencegah komplikasi peritonitis, kolangitis, dan
septikemia.2

22
Tabel 1. Rekomendasi antimikrobial untuk infeksi bilier akut6

Healthcare-
associated
Community-acquired biliary infections
biliary
infections

Severity Grade I Grade II Grade III

Antimicrobia
l Cholangitis Cholangitis & Cholangitis & Healthcare-
Agents cholecystitis Cholecystitis associated
cholangitis &
cholecystitis

Ampicilin/Sulabctam
Penicillin is Piperacillin Piperacillin Piperacillin
based therapy not recommended /tazobactam /tazobactam /tazobactam
without an
aminoglycoside

Cephalospori Cefazolin, or
n- cefotiam, Ceftriaxon, or Cefepime, or Cefepime, or
based therapy or cefuroxime,or cefotaxime, or ceftazidime, ceftazidime,
ceftriaxone,or cefepim, or Or or
cefotaxime ± cefozopran, or cefozopran ± cefozopran ±
metronidazol ceftazidime ± Metronidazole Metronidazole
metronidazold
Cefmetazole,
cefoxitin,
Cefoperazone/
Flomoxef,

23
Cefoperazone/sulbact Sulbactam
am

Imipenem/cilastati Imipenem/cilastati
Carbapenem- Ertapenem Ertapenem n, n,
based therapy meropenem, meropenem,
doripenem, doripenem,
Ertapenem ertapenem

Monbactam- - - Aztreonam ± Aztreonam ±


based therapy Metronidazole metronidazol

Fluoroqui Ciprofloxacin, or Ciprofloxacin, or - -


Nolone based levofloxacin, or levofloxacin, or
Therapy pazufloxacin ± pazufloxacin ±
metronidazol metronidazol

Moxifloxicam Moxifloxicam

Berikut panduan lama pemberian antimicrobial berdasarkan Tokyo


Guideline 2013:
Tabel 2. Rekomendasi lama pemberian antimicrobial

24
Terapi pembedahan yang diberikan jika dibutuhkan adalah kolesistektomi.
Kolesistektomi laparoskopik adalah standar untuk terapi pembedahan kolesistitis.
Penelitian menunjukkan semakin cepat dilakukan kolesistektomi laparoskopik,
waktu perawatan di rumah sakit semakin berkurang.
Kontraindikasi untuk tindakan kolesistektomi laparoskopik meliputi:
 Resiko tinggi untuk anestesi umum
 Obesitas
 Adanya tanda-tanda perforasi kandung empedu seperti abses, peritonitis, atau
fistula
 Batu empedu yang besar atau kemungkinan adanya keganasan.
 Penyakit hati stadium akhir dengan hipertensi portal dan koagulopati yang
berat.3
Pada pasien dengan resiko tinggi untuk dilakukan pembedahan, drainase
perkutaneus dengan menempatkan selang (tube) drainase kolesistostomi
transhepatik dengan bantuan ultrasonografi dan memasukkan antibiotik ke
kandung empedu melalui selang tersebut dapat menjadi suatu terapi yang
definitif. Hasil penelitian menunjukkan pasien kolesistitis akalkulus cukup
diterapi dengan drainase perkutaneus ini.3
Selain itu, dapat juga dilakukan terapi dengan metode endoskopi. Metode
endoskopi dapat berfungsi untuk diagnosis dan terapi. Pemeriksaan endoscopic
retrograde cholangiopancreatography dapat memperlihatkan anatomi kandung
empedu secara jelas dan sekaligus terapi dengan mengeluarkan batu dari duktus
biliaris. Endoscopic ultrasound-guided transmural cholecystostomy adalah
metode yang aman dan cukup baik dalam terapi pasien kolesistitis akut yang
memiliki resiko tinggi pembedahan. Pada penelitian tentang endoscopic
gallbladder drainage yang dilakukan oleh Mutignani et al, pada 35 pasien
kolesistitis akut, menunjukkan keberhasilan terapi ini secara teknis pada 29
pasien dan secara klinis setelah 3 hari pada 24 pasien.3

25
3.9 Komplikasi
Komplikasi yag dapat terjadi pada pasien kolesistitis:
 Empiema, terjadi akibat proliferasi bakteri pada kandung empedu yang
tersumbat. Pasien dengan empiema mungkin menunjukkan reaksi toksin
dan ditandai dengan lebih tingginya demam dan leukositosis. Adanya
empiema kadang harus mengubah metode pembedahan dari secara
laparoskopik menjadi kolesistektomi terbuka.
 Ileus batu kandung empedu, jarang terjadi, namun dapat terjadi pada batu
berukuran besar yang keluar dari kandung empedu dan menyumbat di ileum
terminal atau di duodenum dan atau di pilorus.
 Kolesistitis emfisematous, terjadi ± pada 1% kasus dan ditandai dengan
adanya udara di dinding kandung empedu akibat invasi organisme
penghasil gas seperti Escherichia coli, Clostridia perfringens, dan
Klebsiella sp. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada pasien dengan
diabetes, lebih sering pada laki-laki, dan pada kolesistitis akalkulus (28%).
Karena tingginya insidensi terbentuknya gangren dan perforasi, diperlukan
kolesitektomi darurat. Perforasi dapat terjadi pada lebih dari 15% pasien.
 Komplikasi lain diantaranya sepsis dan pankreatitis. 3

3.10 Prognosis
Penyembuhan spontan didapatkan pada 85% kasus, sekalipun kandung
empedu menjadi tebal, fibrotik, penuh dengan batu dan tidak berfungsi lagi.
Tidak jarang menjadi kolesistitis rekuren. Kadang-kadang kolesistitis akut
berkembang menjadi gangren, empiema dan perforasi kandung empedu, fistel,
abses hati atau peritonitis umum secara cepat. Hal ini dapat dicegah dengan
pemberian antibiotik yang adekuat pada awal serangan. Tindakan bedah akut
pada pasien usia tua (>75 tahun) mempunyai prognosis yang jelek di samping
kemungkinan banyak timbul komplikasi pasca bedah.1

26
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pasien mengalami nyeri perut sejak 1 minggu SMRS. Nyeri dirasakan di perut
bagian kanan atas. Nyeri dirasakan hilang timbul. Nyeri bertambah berat bila pasien
selesai makan, bila menarik nafas panjang. Nyeri dirasakan menjalar hingga ke bahu
kanan. Keluhan disertai mual dan muntah. Keluhan muntah tidak menyemprot.
Pasien juga mengalami demam yang terus-menerus, demam tidak begitu tinggi.
Keluhan sejak satu minggu menandakan keluhan akut. Pasien kolesistitis akut
memiliki riwayat nyeri hebat pada abdomen bagian atas yang bertahan dalam
beberapa jam hingga akhirnya mereka mencari pertolongan ke unit gawat darurat
lokal. Secara umum, pasien kolesistitis akut juga sering merasa mual dan muntah
serta pasien melaporkan adanya demam. Tanda-tanda iritasi peritoneal juga dapat
muncul, dan pada beberapa pasien menjalar hingga ke bahu kanan atau skapula.
Kadang-kadang nyeri bermula dari regio epigastrium dan kemudian terlokalisisr di
kuadran kanan atas (RUQ). Meskipun nyeri awal dideskripsikan sebagai nyeri kolik,
nyeri ini kemudian akan menetap pada semua kasus kolesistitis. 6,7
Sejak 3 hari SMRS, mata pasien menjadi kuning, diikuti dada, perut hingga
kaki berwarna kuning. Kulit menjagi gatal-gatal. BAK pasien berwarna teh tua. Hal
tersebut menandakan terdapat obstruksi pada kantong empedu. Infeksi mukosa epitel
kandung empedu mengaktivasi reaksi inflamasi yang menyebabkan penebalan
dinding kandung empedu. Hal tersebut menyebabkan obstruksi kandung empedu.
Getah empedu tidak dapat dialirkan dengan baik ke duodenum, sehingga terjadi
distensi organ kandung empedu. Impuls distensi organ akan ditransmisikan oleh saraf
aferen N. Vagus menuju medulla oblongata. Rangsangan perifer tersebut merangsang
pusat muntah di Chemoreseptor Trigger Zone (CTZ) di medulla oblongata.
Kemudian impuls balik melalui saraf eferen N. Vagus menuju traktus gastrointestinal
bagian bawah yang memunculkan rasa ingin muntah dilanjutkan aksi muntah.1,8
Distensi kandung empedu dengan akumulasi bilirubin terkonjugasi dalam hati
menagkibatkan penyerapan empedu ke aliran darah sistemik. Akibatnya terjadi
hiperbilirubinemia terkonjugasi di plasma, kemudian bilirubin menumpuk di jaringan
subkutan dan sclera. Hal tersebut menyebabkan kulit dan mata berwarna kuning.

27
Tumpukan bilirubin subkutan akan merangsang saraf aferen parietal sehingga kulit
terasa gatal.1
Kompensasi tubuh terhadap hiperbilirubinemia plasma dengan meningkatkan
upaya pembuangan bilirubin melalui ginjal. Hal tersebut menyebabkan
meningkatnya kadar bilirubin yang dibuang dalam urin, sehingga urin berwarna
kuning pekat seperti teh.1,8
Keluhan disertai BAB cair, air lebih banyak dari ampas, frekuensi tiga kali
sehari, darah (-), lendir (-), berwarna kuning pucat dan berbusa. Keluhan seperti ini
baru pertama kali dialami pasien. Obstruksi empedu membuat aliran empedu ke
duodenum terhambat, sehingga kadar bilirubin dibuang melalui feses sedikit. Hal
tersebut menyebabkan kurang pewarnaan pada feses, feses menjadi lebih pucat atau
berwarna dempul.
Gejala BAB cair pada pasien menandakan terdapat infeksi pada saluran
gastrointestinal. Infeksi oleh bakteri merupakan penyebab tersering diare. Karena
enterotoksis dari bakteri tersebut, menyebabkan inflamasi dinding usus, sehingga
terjadi produksi mukus yang berlebihan dan eksudasi air dan elektrolit ke dalam
lumen, gangguan absorpsi air dan elektrolit.1
Hasil pemeriksaan fisik didapatkan sklera, thoraks, abdomen, dan extremitas
tampak ikterik. hal tersebut disebabkan karena peningkatan kadar bilirubin di plasma
darah yang disebut hiperbilirubinemia. Pemeriksaan abdomen, inspeksi tampak
meteorismus. Hepar teraba dua jari di bawah arcus costae menandakan terjadi
pembesaran hepar atau hepatomegali.
Pada pemeriksaan darah rutin didapatkan leukositosis dan shift to the left
menandakan infeksi akut. Pemeriksaan HbsAg positif pada pasien. Ditemukannya
HBsAg dalam darah menunjukkan bahwa orang tersebut menderita infeksi Hepatitis
B Virus (HBV).9
Gejala akut hepatitis B adalah demam, nyeri perut kanan atas, mual, muntah,
malaise, nafsu makan menurun, kuning, urin berwarna gelap, diare, dan nyeri otot.
Apabila kuning bertambah, dapat terjadi gatal dan tinja berwarna pucat bila menjadi
kronik akan didapat gejala perut membesar, edema tungkai, rambut rontok, kolateral,
spider nervi, eritema palmar, splenomegaly, asistes dan jari tabuh.
.

28
Cara utama penularan HBV adalah melalui parenteral dan menembus membran
mukosa, terutama berhubungan seksual. Penanda HBsAg telah diidentifikasi pada
hampir setiap cairan tubuh dari orang yang terinfeksi yaitu saliva, air mata, cairan
seminal, cairan serebrospinal, asites, dan air susu ibu. Beberapa cairan tubuh ini
(terutama semen dan saliva) telah diketahui infeksius.9
Infeksi HBV merupakan proses yang melibatkan interaksi virus,hepatosit,dan
sistem imun pasien. Sel hati manusia merupakan target organ bagi HBV. HBV mula-
mula melekat pada reseptor spesifik di membran sel hepar kemudian mengalami
penetrasi ke dalam sitoplasma sel hepar. Virus melepaskan mantelnya di sitoplasma,
sehingga melepaskan nukleokapsid. Selanjutnya nukleokapsid akan menembus sel
dinding hati. Asam nukleat HBV akan keluar dari nukleokapsid dan akan menempel
pada DNA hospes dan berintegrasi pada DNA tersebut. Proses selanjutnya adalah
DNA HBV memerintahkan sel hati untuk membentuk protein bagi virus baru. Virus
Hepatitis B dilepaskan ke peredaran darah, terjadi mekanisme kerusakan hati yang
kronis disebabkan karena respon imunologik penderita terhadap infeksi.1,9
Respon imun host dimediasi oleh respon seluler terhadap epitop protein HBV,
terutama HBsAg yang ditransfer ke permukaan sel hati.1 Infeksi HBV pada dewasa
muda umumnya bersifat imunotoleran yang menyebabkan hepatitis B akut.Masa
inkubasi HBV umumnya 75 hari (30 – 180 hari). Pada kasus infeksi HBV penanda
serum HbsAG baru dapat terdeteksi 30 – 60 hari pasca terinfeksi.Setelah terjadi
kenaikan kadar HbsAG akan diikutsertakan kenaikan enzim aminotransferase
sehingga munculnya gejala ikterik pada 2 – 6 minggu setelahnya.9
Tes Widal merupakan tes serologi yang rutin digunakan untuk menegakkan
diagnosis demam tifoid mengingat tes widal merupakan salah satu uji diagnosis yang
relatif murah, mudah dikerjakan dan memberikan hasil yang cepat. Tes widal
dilakukan pemeriksaan reaksi antigen kuman Salmonella typhi dengan antibodi
aglutinin, dimana semakin tinggi titernya, maka semakin besar kemungkinan
terinfeksi kuman Salmonella typhi tersebut. Oleh karena itu, jika tes widal digunakan
sebagai satu-satunya pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis demam
tifoid pada negara endemik seperti Indonesia, maka akan memberikan hasil yang
kurang akurat dengan banyaknya hasil false-positive maupun false-negative.10

29
Hasil tes widal pasien didapatkan untuk Tifoid: Titer H: 1/80 dan Titer
O:1/320. Pada Parathypus A; Titer AH: 1/160 dan Titer AO: 1/80. Peningkatan 4x
hasil titer tifoid atau parathypus menunjukkan positif. Namun, pada kasus dapat
terjadi hasil false-positive diakibatkan adanya infeksi pada kandung empedu. Tes
widal berkemungkinan besar menghasilkan false-positive karena adanya antibody
dari penyakit infeksi lainnya, seperti dengue, malaria, dan non-thifoid salmonella
yang bereaksi silang dengan antigen S.thypi. Riwayat imunisasi dan sedang
mengalami suatu penyakit yang akut juga dapat menghasilkan false-positive.11
Tatalaksana pasien berupa tirah baring, IVFD RL gtt 20x/menit, Inj.
Ceftriaxone 2x1 gram IV, Inj. Ketorolac 3x1amp IV, Inj. Omeprazole 1x1 vial IV,
Curcuma 3x1 tablet.
Ceftriaxone adalah antibiotik golongan Cephalosporin generasi ketiga.
Cephalosporin mengganggu sintesis lapisan peptidoglikan dinding sel bakteri,
sehingga menyebabkan dinding sel rusak dan bakteri mati. Peptidoglikan merupakan
komponen heteropolimerik dinding sel yang menjaga stabilitas dinding sel.
Ceftriaxone merupakan antibiotik spektrum luas. Memiliki kelebihan waktu paruh
eliminasinya panjang, sehingga pemberiannya cukup satu kali sehari.12
Ketorolac adalah golongan non steroid antiinfalamation drug (NSAID),
berperan sebagai analgetik. NSAID memiliki mekanisme kerja dalam menghambat
kerja enzim siklooksigenase. Enzim siklooksigenase mengkatalisa pembentukan
prostaglandin yang berperan dalam reaksi inflamasi dan menimbulkan rasa sakit.
Omeprazole adalah golongan penghambat pompa proton merupakan obat
penghambat sekresi asam lambung yang paling efektif.13
Curcuma adalah suplemen makanan berasal dari ekstrak temulawak (Curcuma
xanthorrhiza). Senyawa yang ada dalam temulawak antara lain adalah kukuminoid,
minyak atsiri, dan pati. Minyak atsiri berguna sebagai agen penginduksi apoptosis,
antiinflamasi, antibakteri dan antioksidan. Kurkim mempunyai aktivitas
hepatoprotektif. Sehingga curcuma sebagai pengobatan penyakit hepatitis.14

30
BAB V
KESIMPULAN

Kolesistitis merupakan peradangan pada dinding kandung empedu yang


ditandai dengan trias gejalanya yakni nyeri perut kuadran kanan atas, demam dan
leukositosis. Terdapat dua jenis kolesistitis berdasarkan penyebab utamanya yakni
kolesistitis akut kalkulus dan kolesistitis akut akalkulus.
Penegakkan diagnosis untuk kolestitis adalah dengan anamnesa, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Pasien sering mengeluhkan nyeri perut kanan atas
sakit bila ditekan (tanda Murphy positif), takikardia, mual, muntah, anoreksia dan
demam. Dapat teraba pula massa di kuadran kanan atas perut.
Pemeriksaan penunjang sering menunjukkan leukositosis, peningkatan serum
aminotransferasi, alkali fosfatase, serum bilirubin dan serum amilase. Pemeriksaan
USG dapat merupakan pemeriksaan penunjang yang banyak dilakukan karena
kesensitifitasannya sampai 95%.
Terapi dibagi menjadi dua yakni terapi konvensional berupa perbaikan
kondisi umum pasien, antibiotik sesuai dengan pola kuman, analgesik dan anti-
emetik dan terapi pembedahan bila terdapat inidikasi, dimana saat ini lebih sering
dilakukan laparaskopik kolesistektomi dikarenakan dapat memberi keuntungan pada
pasien yakni rasa nyeri pasca operasi minimal, memperpendek masa perawatan dan
memperbaiki kualitas hidup pasien lebih cepat.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Pridady. Kolesistitis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,


Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Edisi Kelima Jakarta: Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2009.
2. Firmansyah, Adi. Diagnosis dan Tata Laksana Kolesistitis Alkalkulus Akut.
Medicinus. 2015; 28(2): 30-37
3. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. Konsensus Nasional Penatalaksanaan
Hepatitis B. Jakarta: Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. 2012.
4. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit vol 1.
Edisi keempat. Jakarta: EGC, 1994.
5. Shojamanesh H, Roy PK, Patti MG. Acalculous Cholecystitis. [Diakses pada: 17
Agustus 2019]. http://emedicine.medscape.com/article/187645-overview.
6. Takada T, Strasberg SM, Solomkin JS, Pitt HA, Gomi H, Yoshida M, Mayumi T.
TG13: Updated Tokyo Guidelines for the management of acute cholangitis and
cholecystitis. J Hepatobiliary Pancreat Sci. 2013;20:1–7
7. Vogt DP. Gallbladder disease:An update on diagnosis and treatment. Cleveland
Clinic Journal of Medicine vol. 69 (12); 2002.
8. Guyton dan Hall. 2014. Guyton dan Hall Fisiologi Kedokteran Edisi 12.
Singapura : Saunders Elsevier.
9. Wilkins T, Zimmerman D, Schade RR. Hepatitis B: Diagnosis and Treatment.
Medical College of Georgia, Augusta, Georgia.2010;81(8):965-972.
10. Amir, et.al. Uji Konfirmasi Widal Positif O Titer 1/160 dengan Rapid Test IgM
Anti Salmonella typhi pada Penderita Suspek Demam Tifoid. Prosiding Prosiding
Seminar Nasional Mahasiswa Unimus. 2018; 1(1): 238-242.
11. Mouton, Falan, et al. Clinical Overview Articles: Thyphoid Enteric Fever-Part 1.
Update in Anaesthesia. 2017; 32: 13-16.
12. Wiryalie, Linggawati. Ceftriaxone – Hospital Pack. Cermin Dunia Kedokteran
44(3); 2017: 231-234.
13. Syarif, Amir et al. Farmakologi dan Terapi. Edisi kelima. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2012.

32
14. Utami, A. et al. Variasi Metode DNA Daun Temulawak. Prosiding Seminar
Nasional Kimia Unesa. 2012.

33

Anda mungkin juga menyukai