Disusun Oleh :
NIM. 2022207209218
TAHUN 2022
1
STEVEN JOHNSON
2. Klasifikasi
Dalam dunia medis, sindrom Stevens-Johnson dapat dianggap dan
disepakati sebagai bentuk ringan dari nekrolisis epidermal toksik yang
kondisi ini baru pertama kali diakui pada tahun 1922. Sindrom Stevens-
Johnson dan nekrolisis epidermal toksik ini kadang dikelirukan dan tidak
sama dengan eritema multiforme/infeksi herpes. Walau eritema
2
multiforme kadang-kadang disebabkan oleh alergi dan reaksi terhadap
obat, tetapi kasusnya lebih sering diakibatkan oleh hipersensitivitas tipe III
reaksi terhadap infeksi virus, yang kebanyakan diakibatkan oleh
virus Herpes simpleks dan relatif lebih jinak. Meskipun sindrom Stevens-
Johnson dan nekrolisis epidermal toksik kadang pula disebabkan oleh
infeksi, tetapi penderitanya lebih sering diakibatkan oleh alergi dan efek
samping dari obat-obatan tertentu. Namun sindrom ini lebih berbahaya
dibandingkan dengan infeksi virus herpes (Kahar, 2016).
3. Etiologi
Etiologi sindrom Stevens-Johnson bersifat multifaktorial, sedangkan
etiologi pasti belum diketahui. Faktor yang diduga kuat sebagai
etiologinya adalah reaksi alergi obat secara sistemik, infeksi bakteri, virus,
jamur, protozoa, neoplasma, reaksi pascavaksinasi, terapi radiasi, alergi
makanan, bahan-bahan kimia dan penyakit kolagen (Ramayanti, 2011).
Menurut Darmawan (2014), penyakit ini disebabkan oleh reaksi
hipersensitif (alergi) terhadap obat; infeksi HIV, penyakit jaringan ikat dan
kanker merupakan faktor risiko penyakit ini. Beberapa kasus berhubungan
dengan infeksi Mycoplasma pneumonia, kasus lainnya idiopatik atau tidak
diketahui penyebabnya. Berikut adalah etiologi sindrom Stevens-Johnson
menurut (Parillo, 2010).
Obat-obatan dan keganasan merupakan penyebab utama pada pasien
dewasa dan usia lanjut. Hampir semua kasus SSJ disebabkan oleh reaksi
toksik terhadap obat, terutama antibiotik (misal obat sulfa dan penisilin),
antikejang (mis. fenitoin) dan obat nyeri, termasuk yang dijual tanpa resep.
Terkait HIV, alasan SSJ yang paling umum adalah nevirapine (hingga 1,5
persen penggunanya) dan kotrimoksazol (jarang). Kasus pediatrik lebih
banyak berhubungan dengan infeksi daripada keganasan atau reaksi obat.
Jarang pada anak usia 3 tahun atau dibawahnya, karena imunitas belum
berkembang sepenuhnya. NSAID oksikam dan sulfonamid merupakan
penyebab utama di negara-negara Barat. Di Asia Timur allopurinol
3
merupakan penyebab utama. Empat kategori etiologi adalah infeksi, reaksi
obat, keganasan dan idiopatik.
4. Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas, diperkirakan karena reaksi alergi tipe III
dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-
antibodi yang membentuk mikropresitipasi sehingga terjadi aktivasi sistem
komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian
melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ
sasaran. Reaksi tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersentisasi
berkontrak kembali dengan antigen yang sama, kemudian limfokin
dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Muttaqin & Sari, 2013).
4
5. Phatway
6. Manifistasi Klinis
Sindrom Stevens-Johnson mempunyai tiga gelaja yang khas yaitu kelainan
pada mata berupa konjungtivitis, kelainan pada genital berupa balanitis
dan vulvovaginitis, serta kelainan oral berupa stomatitis. Lesi oral
didahului oleh makula dan papula yang segera diikuti vesikel atau bula,
kemudian pecah karena trauma mekanik menjadi erosi dan terjadi
ekskoriasi sehingga terbentuk ulkus yang ditutupi oleh jaringan nekrotik
berwarna abu-abu putih atau eksudat abu-abu kuning menyerupai
pseudomembran. Ulkus nekrosis ini mudah mengalami perdarahan dan
5
menjadi krusta kehitaman. Lesi oral cenderung lebih banyak terjadi pada
bagian anterior mulut termasuk bibir, bagian lain yang sering terlibat
adalah lidah, mukosa pipi, palatum durum, palatum mole, bahkan dapat
mencapai faring, saluran pernafasan atas dan esofagus, namun lesi jarang
terjadi pada gusi. Lesi oral yang hebat dapat menyebabkan pasien tidak
dapat makan dan menelan, sedangkan lesi pada saluran pernafasan bagian
atas dapat menyebabkan keluhan sulit bernafas (Ramayanti, 2011).
Berikut adalah manifestasi klinis dari pasien denganSteven
Johnson Syndrome :
a. Sindroma prodromal yang non spesifik dan reaksi konstitusional
berupa meningkatnya suhu tubuh, sakit kepala, batuk, sakit
tenggorokan, nyeri dada, mialgi, sehingga penderita berobat. Dalam
keadaan ini, sering penderita mendapat pengobatan antibiotik, dan anti
inflamasi sehingga menyebabkan kesukaran dalam mengidentifikasi
obat penyebab SJS (Djuanda, 2015). Gejala prodromal ini dapat
berlangsung selama dua minggu dan bervariasi dari ringan sampai
berat. Pada keadaan ringan kesadaran pasien baik, sedangkan keadaan
yang berat gejala-gejala menjadi lebih hebat, sehingga kesadaran
pasien menurun bahkan sampai koma (Ramayanti, 2011).
b. Gejala kulit dapat berupa macula eritematus yang menyerupai
morbilliform rash, timbul pada muka, leher, dagu, tubuh, dan
ekstermitas. Lesi taget dan bula dengan Nikolsky sign positif sering
didapatkan. Lesi membesar dan bertambah banyak (Djuanda, 2015).
Lesi kulit pada sindrom Stevens-Johnson dapat timbul sebagai gejala
awal atau dapat juga terjadi setelah gejala klinis dibagian tubuh
lainnya. Lesi pada kulit umumnya bersifat asimetri dan ukuran lesi
bervariasi dari kecil sampai besar. Mula-mula lesi kulit berupa erupsi
yang bersifat multiformis yaitu eritema yang menyebar luas pada
rangka tubuh. Eritema ini menyebar luas secara cepat dan biasanya
mencapai maksimal dalam waktu empat hari, bahkan seringkali hanya
dalam hitungan jam. Pada kasus yang sedang, lesi timbul pada
6
permukaan ekstensor badan, dorsal tangan dan kaki, sedangkan pada
kasus yang berat lesi menyebar luas pada wajah, dada dan seluruh
permukaan tubuh. Eritema akan menjadi vesikel dan bula yang
kemudian pecah menjadi erosi, ekskoriasi, menjadi ulkus yang ditutupi
pseudomembran atau eksudat bening. Pseudomembran akan terlepas
meninggalkan ulkus nekrosis, dan apabila terdapat perdarahan akan
menjadi krusta yang umumnya berwarna coklat gelap sampai
kehitaman. Variasi lain dari lesi kulit berupa purpura, urtikaria dan
edema. Selain itu adanya erupsi kulit dapat juga menimbulkan rasa
gatal dan rasa terbakar. Terbentuknya purpura pada lesi kulit
memberikan prognosis yang buruk (Ramayanti, 2011).
c. Kelainan membrane mukosa. Bibir mukosa mulut dirasakan sakit,
disertai kelainan mukosa yang eritematus, sembab, dan disertai bula
yang kemudian akan pecah sehingga timbul erosi yag tertutup
pseudomembrane. Bibir diliputi massive hemorarrhagic crusts.
Kelainan pada kelmin juga sering didapat berupa bula yang
hemorrhagic dan erosi (Djuanda, 2015). Lesi oral mempunyai
karakteristik yang lebih bervariasi daripada lesi kulit, seluruh
permukaan oral dapat terlibat, namun lesi oral lebih cenderung banyak
terjadi pada bibir, lidah, palatum mole, palatum durum, mukosa pipi
sedangkan pada gusi relative jarang terjadi lesi. Lesi oral didahului
oleh macula, papula, segera diikuti oleh vesikel dan bula. Ukuran
vesikel maupun bula bervariasi dan mudah pecah dibandingkan lesi
pada kulit. Vesikel maupun bula terutama pada mukosa bibir mudah
pecah Karena gerakan lidah dan friksi pada waktu mengunyah dan
bicara sehingga bentuk yang utuh jarang ditemukan pada waktu
pemeriksaan klinis intra oral (Ramayanti, 2011). Vesikel maupun bula
yang mudah pecah selanjutnya menjadi erosi, kemudian mengalami
ekskoriasi dan terbentuk ulkus. Ulkus ditutupi oleh jaringan nekrotik
yang berwarna abuabu putih atau eksudat abu-abu kuning menyerupai
pseudomembran. Jaringan nekrotik mudah mengelupas sehingga
7
meninggalkan suatu ulkus yang berbentuk tidak teratur dengan tepi
tidak jelas dan dasar tidak rata yang berwarna kemerahan. Apabila
terjadi trauma mekanik dan mengalami perdarahan maka ulkus akan
menjadi krusta berwarna coklat sampai kehitaman. Krusta kehitaman
yang tebal dapat terlihat pada mukosa bibir dan seringkali lesi pada
mukosa bibir meluas sampai tepi sebelah luar bibir dan sudut mulut
(Gambar 1.1) (Ramayanti, 2011). Pada palatum mole maupun palatum
durum dapat terjadi lesi oral. Lesi oral diawali oleh vesikel maupun
bula yang mudah pecah menjadi erosi ekskoriasi dan ulkus. Erosi
seringkali ditutupi pseudomembran dan dikelilingi daerah berwarna
kemerahan. Ulkus dapat meluas terutama terjadi pada palatum durum
(Gambar 2.2). Pada mukosa pipi terjadi juga pola perkembangan lesi
seperti lidah, vesikel atau bula di mukosa pipi jarang ditemukan utuh,
hanya berupa erosi atau ulkus yang ditutupi dengan pseudomembran
(Ramayanti, 2011).
d. Manifestasi pada mata terjadi pada 70% pasien sindrom Stevens
Johnson. Kelainan ang sering terjadi adalah konjungtivitis. Selain
konjungtivitis kelopak mata seringkali menunjukkan erupsi yang
merata dengan krusta hemoragi pada garis tepi mata. Penderita
sindrom Stevens-Johnson yang parah, kelainan mata dapat
berkembang menjadi konjungtivitis purulen, photophobia,
panophtalmitis, deformitas kelopak mata, uveitis anterior, iritis,
simblefaron, iridosiklitis serta sindrom mata kering, komplikasi
lainnya dapat juga mengenai kornea berupa sikatriks kornea, ulserasi
kornea, dan kekeruhan kornea. Bila kelainan mata ini tidak segera
diatasi maka dapat menyebabkan kebutaan (Ramayanti, 2011).
e. Manifestasi pada genital. Lesi pada genital dapat menyebabkan
uretritis, balanitis dan vulvovaginitis. Balanitis adalah inflamasi pada
glans penis. Uretritis merupakan peradangan pada uretra dengan
gejala klasik berupa secret uretra, peradangan meatus, rasa terbakar,
gatal, dan sering buang air kecil. Vulvovaginitis adalah peradangan
8
pada vagina yang biasanya melibatkan vulva dengan gejala-gejala
berupa bertambahnya cairan vagina, iritasi vulva, gatal, bau yang tidak
sedap, rasa tidak nyaman, dan gangguan buang air kecil. Sindrom
Stevens-Johnson dapat pula menyerang anal berupa peradangan anal
atau inflammed anal (Ramayanti, 2011).
8. Penatalaksanaan Medis
Penegakan diagnosis sulit dilakukan karena seringkali terdapat
berbagai macam bentuk lesi yang timbul bersamaan atau bertahap.
Diagnosis sindrom Stevens-Johnson terutama berdasarkan atas anamnesis,
pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang. Perawatan pada penderita
sindrom Stevens-Johnson lebih ditekankan pada perawatan simtomatik
dan suportif karena etiologinya belum diketahui secara pasti (Ramayanti,
2011). Penanganan simptomatik suportif yaitu mempertahankan
9
keseimbangan hemodinamik, dan mencegah terjadi komplikasi yang
mengancam jiwa (Thaha, 2009).
Penatalaksanaan sindrom Stevens-Johnson didasarkan atas tingkat
keparahan penyakit yang secara umum meliputi (Ramayanti, 2011) :
a. Rawat Inap
Rawat inap bertujuan agar dokter dapat memantau dan mengontrol
setiap hari keadaan penderita.
b. Preparat Kortikosteroid
Penggunaan preparat kortikosteroid merupakan tindakan life saving.
Kortikosteroid yang biasa digunakan berupa deksametason secara
intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5mg sehari. Masa kritis
biasanya dapat segera diatasi dalam 2-3 hari, dan apabila keadaan
umum membaik dan tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama
mengalami involusi, maka dosis segera diturunkan 5mg secara cepat
setiap hari. Setelah dosis mencapai 5mg sehari kemudian diganti
dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone, yang diberikan
dengan dosis 20 mg sehari, kemudian diturunkan menjadi 10mg pada
hari berikutnya selanjutnya pemberian obat dihentikan. Lama
pengobatan preparat kortikosteroid kira-kira berlangsung selama 10
hari.
c. Antibiotik
Penggunaan preparat kortikosteroid dengan dosis tinggi menyebabkan
imunitas penderita menurun, maka antibiotic harus diberikan untuk
mencegah terjadinya infeksi sekunder, misalnya broncopneneumonia
yang dapat menyebabkan kematian. Antibiotik yang diberikan
hendaknya yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas, bersifat
bakterisidal, dan tidak nefrotoksik. Antibiotik yang memenuhi syarat
tersebut antara lain siprofloksasin dengan dosis 2 x 400mg intravena,
klindamisin dengan dosis 2 x 600mg intravena dan gentamisin dengan
dosis 2 x 80 mg.
d. Infuse dan Transfusi Darah
10
Hal yang perlu diperhatikan kepada penderita adalah mengatur
keseimbangan cairan atau elektrolit tubuh, karena penderita sukar atau
tidak dapat menelan makanan atau minuman akibat adanya lesi oral
dan tenggorokan serta kesadaran penderita yang menurun. Infuse yang
diberikan berupa glukosa 5% dan larutan Darrow. Apabila terapi yang
telah diberikan dan penderita belum menampakkan perbaikan dalam
waktu 2-3 hari, maka penderita dapat diberikan transfuse darah
sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut, khususnya pada kasus
yang disertai purpura yang luas dan leucopenia.
e. KCl
Penderita yang menggunakan kortikosteroid umumnya mengalami
penurunan kalium atau hipokalemia, maka diberikan KCl dengan dosis
3 x 500 mg sehari peroral.
f. Adenocorticotropichormon (ACTH)
Penderita perlu diberikan ACTH untuk menghindari terjadinya supresi
korteks adrenal akibat pemberian kortikosteroid. ACTH yang
diberikan berupa ACTH sintetik dengan dosis 1 mg.
g. Agen Hemostatis
Agen hemostatik terutama diberikan pada penderita disertai purpura
yang luas. Agen hemostatik yang sering digunakan adalah vitamin K.
9. Komplikasi
Saat “onset” terjadi, penderita Steven Johnson Syndrome mengalami
demam, nyeri otot, gejala traktus respirasi atas dan bawah. Pada membran
mukosa mata, bibir, dan genetalia akan terjadi lesi berupa “bulla” dengan
pembentukan mambran atau pseudomembran. Komplikasi lanjut pada
membran mukosa mata karena pembentukan jaringan sikatrik sehingga
menyebabkan conjunctival shinkage, trikiasis, dan defisiensi air mata.
Pada kornea terutama pada fase lanjut dapat terjadi epitheliopathy kronis,
11
defek epitel yang tidak sembuh, pembentukan pannus fibrovaskular,
sikatrik subepitelial dan neovaskularisasi strome, sikatrik dan penipisan
kornea (Lutfi, Zuhria, & Doemilah, 2007). Berikut adalah beberapa
penyulit dari penyakit Steven Johnson Syndome menurut Djuanda (2015).
a. Sepsis
b. Pneumoni
c. Gagal ginjal
12
esofagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar/tidak dapat
menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan
sukar bernapas. Sementara itu pada mata, 80% di antara semua kasus yang
tersering ialah konjungtivitis kataralis. Selain itu, juga dapat berupa
konjungtivitis purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, dan
iridosiklitis (Muttaqin & Sari, 2013). Menurut Parillo (2010), pemeriksaan
fisik pada pasien sindrom Steven Johnson ditemukan:
a. Demam
b. Orthostasis
c. Tachycardia
d. Hipotensi
e. Perubahan tingkat kesadaran
f. Epistaksis
g. Konjungtivitis
h. Ulserasi kornea
i. Erosif vulvovaginitis atau balanitis
j. Kejang, koma
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1) Nyeri Akut berhubungan dengan Agen cedera fisik
2) Infeksi b.d peningkatan Leukosit
3) Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan imobilitas
13
RENCANA KEPERAWATAN
NO DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI
1 Nyeri Akut b.d Agen cedera Setelah dilakukan tindakan Keperawatan 1 Manajemen nyeri
fisik x24 jam diharapkan nyeri menurun Observasi :
KH : - Identifikasi identifikasi lokasi,
Tingkat nyeri menurun karakteristik, durasi, frekuensi,
Penyembuhan luka membaik kualitas,intensitas nyeri
Tingkat cidera menurun - Identifikasi skala nyeri
Terapeutik :
- Berikan teknik non farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Edukasi:
- Jelaskan penyebab dan periode dan
pemicu nyeri
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian analgetik
16
ASUHAN KEPERAWATAN
Disusun Oleh :
NIM : 2022207209218
TAHUN 2022
17
No. Medical Record : 072200
Tgl Pengkajian : 08 November 2022
Pukul : 08.00 WIB
A. DATA DASAR
1. DATA DEMOGRAFI
a. Identitas Pasien
Nama : Tn. H
Umur : 50 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Petani
Agama : Islam
Alamat : Gunung agung
Tanggal Masuk : 08 November 2022
Diagnosa : Steven Johnson
b. Sumber Informasi
Nama : Ny. A
Umur : 30 Tahun
Jenis kelamin : perempuan
Hubungan dengan pasien : Anak
Pendidikan : SLTP
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Karang Anyar
2. RIWAYAT KESEHATAN
a. Riwayat Kesehatan Masuk Puskesmas:
Klien diantar keluarga ke Puskesmas pada tanggal 08 November
2022 dengan keluhan badan lemas, sakit kepala, terdapat ruam
pada tubuh, kemerahan dan gatal.. klien mengatakan post minum
18
obat karena batuk pilek, namun 2 jam setelah konsumsi obat badan
timbul ruam
2) Sosial
Anak klien menyatakan ikut cemas dengan keadaan klien namun
tetap memberikan nasihat agar klien dapat mengikuti prosedur
pelaksanaan medis
3) Spiritual
Klien dan keluarga berdo’a selama proses pelaksanaan tindakan
keperawatan
19
f. Pengetahuan Pasien & Keluarga
Klien dan keluarga tidka tahu apa yang terjadi pada keluarganya..
g. Lingkungan
Klien menyatakan kondisi rumah bersih, ada tidaknya polusi dan yang
membahayakan dari lingkungan rumah yang mengancam kondisi
kesehatannya namun keluarga dirumah merupakan perokok
20
3. Istirahat dan tidur
a. waktu tidur malam malam 6-
b. lama tidur 8 jam 8jam,
Tidak ada Tidak ada
c. hal yang
Tidak ada Ada, karna
mempermudah tidur
Nyeri
d. kesulitan tidur
4 Personal hygine
a. mandi 2x sehari 2x sehari
b. cuci rambut 1 x sehari Tidak ada
2 kali sehari 2x sehari
c. gosok gigi
1 x seminggu 1x seminggu
d. potong kuku
lesi
Palpasi : tidak ada nyeri tekan dan tidak ada benjolan, fungsi
21
3). Sistem Wicara
Inspeksi : warna pucet, kering mucosa juga kering
Palpasi : tidak ada lesi, tidak ada nyeri tekan dan tidak ada
pembengkaan, model bicara jelas
b. Sirkulasi Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat, CRT < 2 detik, tidak ada
perubahan warna kulit, nadi 77 x/i
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS ke V, tidak ada nyeri tekan.
Auskultasi : BJ 1, BJ 2 irama teratur dan tidak ada suara tambahan.
22
6). Sistem Neurologi
Tingkat kesadaran : Sadar (Compos Mentis)
Glaslow Coma Scale (GCS) :E4M 5V6
23
Kulit; terdapat ruam. Kemerahan dan gatal pada sleuruh tubuh,
warna sawo matang.
Palpasi pada struktur tulang (skelet) normal, tidak ada nyeri tekan,
bentuk lordosis, cara berjalan kurang efektif akibat nyeri pada dada
14) Ekstremitas
Bagian Atas : Tangan sebelah kiri terpasang infus Nacl 20 tts,
terdapat ruam, kemerahan dan terasa panas serta gatal.
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
PARAMETER NILAI RUJUKAN KETERANGA
N
HGB 12.5 [g/dL] P 12.0- 16.0 Normal
W 12.0-14.0
RBC 6,67 [10^6/ P 4.5- 5.5 W 4.0- Normal
ul] 5.0
HCT 40,1 [%] P 40.0- 48.0 Normal
W 37.0- 43.0
WBC 27.31 [10^3/ 5.0-10.0 Naik
ul]
EO% 0.2 [%] 1-3 Turun
BASO% 0.2 [%] 0-1 Baik
NEUT% 87.5 [%] 50-70 Naik
24
LYMPH% 38.7 [%] 20-40 Baik
MONO% 7.4 [%] 2-8 Baik
EO% 0.06 [10^3ul]
BASO% 0.06 [10^3ul]
NEUT% 23,89 [10^3ul]
LYMPH% 1.27 [10^3ul]
MONO% 2.30 [10^3ul]
Guldarah/ 184 [mg/dl] 74-106 Naik
Gds
Puasa
5. PENATALAKSANAAN
a. Penatalaksanaan Medis (Therapi obat, Operatif dan lain-lain)
Therapy:
IVFD Nacl 0,9 % 500 cc/24 jam, Kolaborasi dokter jaga
25
B. ANALISA DATA
No Data (D) Masalah (M) Etiologi (E)
Assasment (A)
- Masalah taratasi
Planning (P) :
intervensi dilanjutkan 1, 2, 3
1. Melakukan pengkajian nyeri secara
komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas dan faktor presipitasi =
skala 6
2. Intervensi Dihentikan
Senin, 08 November Resiko infeksi peningkatan 1. Pantau luka bakar Jam. 09.35
2022 leuksit 2. Awasi tanda-tanda vital, perhatikan
Jam. 09.00 wib peningkatan nadi dan pernapasan, penurunan Subjektif (S) :
tekanan darah, diaforesis dan pucat. - Klien mengatakan luka terasa panas
- Luka tampak ruam dan kemerahan
Objektif (O):
- Tampak lemas
- Luka tampak kemerahan
- Klien tidak panas bagian
luka ruam
Assasment (A):
Masalah teratasi.
Planning (P) :
1. Hentikan Intervensi
2. Lanjutkan perawatan
Senin, 08 November Intoleransi Aktivitas 1. Identifikasi defisit tingkat aktivitas Jam. 10.30
2022 2. Identifikasi kemapuan berpartisipasi
Jam. 10.00 wib dalam aktivitas tertentu Subjektif (S) :
3. Fasilitasi pasien dan keluarga dalam Klien tampak sudah belajar kekamar mandi
menyesuiakan lingkungan untuk sendiri
mengakomodasi aktivitas yang di pilih
4. Libatkan keluarga dalam aktivitas
5. Ajarkan cara melakukan aktivitas yang Objektif (O):
dipilih Klien tampak minum ambil sendiri
Klien tampak ke kamar mandi sendiri