Anda di halaman 1dari 45

SEMINAR KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS PADA PASIEN DENGAN


GANGGUAN SISTEM INTEGUMEN: STEVENS JHONSON SYNDROME

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Medikal bedah

Disusun Oleh:
Mahasiswa Profesi Ners (progsus)

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA

FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN

PROFESI NERS

2021
LAPORAN PENDAHULUAN
STEVENS JOHNSON SYNDROME (SJS)

A. Definisi
Sindrom Stevens-Johnson merupakan sindrom yang mengenai kulit,
selaput lendir di orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan
sampai berat. Kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai
purpura.
Sindrom Stevens-Johnson didefinisikan sebagai reaksi kumpulan gejala
sistemik dengan karakteristik yang mengenai kulit, mata dan selaput lendir
orifisium. Sindrom Stevens-Johnson merupakan bentuk berat dari eritema
multiforme, sehingga SSJ dikenal juga dengan sebutan eritema multiforme mayor.
Menurut Sharma and Sethuraman (1996), sindrom Stevens-Johnson adalah
bentuk penyakit mukokutan dengan tanda dan gejala sistemik yang dari ringan
sampai berat berupa lesi target dengan bentuk yang tidak teratur, disertai makula,
vesikel, bula dan purpura yang tersebar luas terutama pada rangka tubuh, terjadi
pengelupasan epidermis kurang lebih 10 % dari area permukaan tubuh, serta
melibatkan lebih dari satu membran mukosa.
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa sindrom steven
johnson yaitu suatu sindrom yang terjadi pada kulit/integumen, dimana seluruh
permukaan tubuh dipenuhi oleh eritema dan lepuhan, yang kebanyakan diketehui
disebabkan oleh respon dari pengobatan, infeksi, dan terkadang keganasan.
B. Manifestasi Klinis
Sindrom Stevens-Johnson mempunyai tiga gelaja yang khas yaitu kelainan
pada mata berupa konjungtivitis, kelainan pada genital berupa balanitis dan
vulvovaginitis, serta kelainan oral berupa stomatitis. Lesi oral didahului oleh
makula dan papula yang segera diikuti vesikel atau bula, kemudian pecah karena
trauma mekanik menjadi erosi dan terjadi ekskoriasi sehingga terbentuk ulkus
yang ditutupi oleh jaringan nekrotik berwarna abu- abu putih atau eksudat abu-
abu kuning menyerupai pseudomembran. Ulkus nekrosis ini mudah mengalami
perdarahan dan menjadi krusta kehitaman. Lesi oral cenderung lebih banyak
terjadi pada bagian anterior mulut termasuk bibir, bagian lain yang sering terlibat
adalah lidah, mukosa pipi, palatum durum, palatum mole, bahkan dapat mencapai
faring, saluran pernafasan atas dan esofagus, namun lesi jarang terjadi pada gusi.
Lesi oral yang hebat dapat menyebabkan pasien tidak dapat makan dan menelan,
sedangkan lesi pada saluran pernafasan bagian atas dapat menyebabkan
keluhan sulit bernafas.
Berikut adalah manifestasi klinis dari pasien dengan Steven Johnson
Syndrome.

1. Sindroma prodromal yang non spesifik dan reaksi konstitusional berupa


meningkatnya suhu tubuh, sakit kepala, batuk, sakit tenggorokan, nyeri dada,
mialgi, sehingga penderita berobat. Dalam keadaan ini, sering penderita
mendapat pengobatan antibiotik, dan anti inflamasi sehingga menyebabkan
kesukaran dalam mengidentifikasi obat penyebab SJS. Gejala prodromal ini
dapat berlangsung selama dua minggu dan bervariasi dari ringan sampai berat.
Pada keadaan ringan kesadaran pasien baik, sedangkan keadaan yang berat
gejala-gejala menjadi lebih hebat, sehingga kesadaran pasien menurun bahkan
sampai koma.
2. Gejala kulit dapat berupa macula eritematus yang menyerupai morbilliform
rash, timbul pada muka, leher, dagu, tubuh, dan ekstermitas. Lesi taget dan
bula dengan Nikolsky sign positif (tanda kulit mudah terkelupas apabila
ditekan dan isi bula akan melebar) sering didapatkan. Lesi membesar dan
bertambah banyak. Lesi kulit pada sindrom Stevens-Johnson dapat timbul
sebagai gejala awal atau dapat juga terjadi setelah gejala klinis dibagian tubuh
lainnya. Lesi pada kulit umumnya bersifat asimetri dan ukuran lesi bervariasi
dari kecil sampai besar. Mula-mula lesi kulit berupa erupsi yang bersifat
multiformis yaitu eritema yang menyebar luas pada rangka tubuh. Eritema ini
menyebar luas secara cepat dan biasanya mencapai maksimal dalam waktu
empat hari, bahkan seringkali hanya dalam hitungan jam. Pada kasus yang
sedang, lesi timbul pada permukaan ekstensor badan, dorsal tangan dan kaki,
sedangkan pada kasus yang berat lesi menyebar luas pada wajah, dada dan
seluruh permukaan tubuh. Eritema akan menjadi vesikel dan bula yang
kemudian pecah menjadi erosi, ekskoriasi, menjadi ulkus yang ditutupi
pseudomembran atau eksudat bening. Pseudomembran akan terlepas
meninggalkan ulkus nekrosis, dan apabila terdapat perdarahan akan menjadi
krusta yang umumnya berwarna coklat gelap sampai kehitaman. Variasi lain
dari lesi kulit berupa purpura, urtikaria dan edema. Selain itu adanya erupsi
kulit dapat juga menimbulkan rasa gatal dan rasa terbakar. Terbentuknya
purpura pada lesi kulit memberikan prognosis yang buruk.
3. Kelainan membrane mukosa. Bibir mukosa mulut dirasakan sakit, disertai
kelainan mukosa yang eritematus, sembab, dan disertai bula yang kemudian
akan pecah sehingga timbul erosi yang tertutup pseudomembrane. Bibir
diliputi massive hemorarrhagic crusts. Kelainan pada kelamin juga sering
didapat berupa bula yang hemorrhagic dan erosi. Lesi oral mempunyai
karakteristik yang lebih bervariasi daripada lesi kulit, seluruh permukaan oral
dapat terlibat, namun lesi oral lebih cenderung banyak terjadi pada bibir, lidah,
palatum mole, palatum durum, mukosa pipi sedangkan pada gusi relative
jarang terjadi lesi. Lesi oral didahului oleh macula, papula, segera diikuti oleh
vesikel dan bula. Ukuran vesikel maupun bula bervariasi dan mudah pecah
dibandingkan lesi pada kulit. Vesikel maupun bula terutama pada mukosa bibir
mudah pecah Karena gerakan lidah dan friksi pada waktu mengunyah dan
bicara sehingga bentuk yang utuh jarang ditemukan pada waktu pemeriksaan
klinis intra oral.
4. Vesikel maupun bula yang mudah pecah selanjutnya menjadi erosi,
kemudian mengalami ekskoriasi dan terbentuk ulkus. Ulkus ditutupi oleh
jaringan nekrotik yang berwarna abuabu putih atau eksudat abu- abu kuning
menyerupai pseudomembran. Jaringan nekrotik mudah mengelupas sehingga
meninggalkan suatu ulkus yang berbentuk tidak teratur dengan tepi tidak jelas
dan dasar tidak rata yang berwarna kemerahan. Apabila terjadi trauma mekanik
dan mengalami perdarahan maka ulkus akan menjadi krusta berwarna coklat
sampai kehitaman. Krusta kehitaman yang tebal dapat terlihat pada mukosa
bibir dan seringkali lesi pada mukosa bibir meluas sampai tepi sebelah luar
bibir dan sudut mulut (Gambar 1.1)
5. Pada palatum mole maupun palatum durum dapat terjadi lesi oral. Lesi oral
diawali oleh vesikel maupun bula yang mudah pecah menjadi erosi ekskoriasi
dan ulkus. Erosi seringkali ditutupi pseudomembran dan dikelilingi daerah
berwarna kemerahan. Ulkus dapat meluas terutama terjadi pada palatum
durum (Gambar 2.2). Pada mukosa pipi terjadi juga pola perkembangan lesi
seperti lidah, vesikel atau bula di mukosa pipi jarang ditemukan utuh, hanya
berupa erosi atau ulkus yang ditutupi dengan pseudomembran.

Gambar 1 Krusta kehitaman pada mukosabibir

Gambar 2 Ulserasi yang luas pada palatum


Manifestasi oral sindrom Stevens-Johnson biasanya diikuti oleh pembesaran
nodus limfatikus servikalis disertai rasa nyeri yang hebat sekali dan terjadi
peningkatan aliran saliva. Penderita biasanya akan mengalami dehidrasi karena
kekurangan cairan yang masuk ke dalam tubuh. Lesi oral dapat meluas ke
faring, saluran pernafasan bagian atas dan esophagus sehingga penderita
mengalami kesulitan bernafas. Edema pada faring dapat menyebar ke trakea,
apabila keadaan bertambah berat dapat menyerang bronkus dan bronkioli,
sehingga dapat menimbulkan bronkopneumonia serta trakeobronkitis.
6. Manifestasi pada mata terjadi pada 70% pasien sindrom Stevens Johnson.
Kelainan yang sering terjadi adalah konjungtivitis. Selain konjungtivitis
kelopak mata seringkali menunjukkan erupsi yang merata dengan krusta
hemoragi pada garis tepi mata. Penderita sindrom Stevens-Johnson yang parah,
kelainan mata dapat berkembang menjadi konjungtivitis purulen (keputihan
pada konjungtiva), photophobia (rasa tidak nyaman terhadap cahaya),
panophtalmitis (peradangan parah yang terjadi pada semua jaringan idalam
mata), deformitas kelopak mata (perubahan yang terjadi pada bentuk kelpoka
mata), uveitis anterior (peradangan pada lapisan depan iris mata dan
menyebabkan nyeri serta kemerahan pada mata), iritis (perdangan yang
menghancurkan jaringan mata, merupakan bentuk dari uveitis), simblefaron
(merupakan perlekatan abnormal antara permukaan konjungtiva palpebra,
konjungtiva bulbi, dan konjungtiva forniks yang terjadi akibat peradangan
ataupun trauma), iridosiklitis (inflamasi atau peradangan pada iris dan badan
siliaris mata) serta sindrom mata kering (ketidakstabilan produksi dan fungsi
dari lapisan air mata), komplikasi lainnya dapat juga mengenai kornea berupa
sikatriks kornea (kemunculan jaringan baru yang menggantikan jaringan
kornea yang rusak), ulserasi kornea (luka terbuka pada kornea), dan kekeruhan
kornea. Bila kelainan mata ini tidak segera diatasi maka dapat menyebabkan
kebutaan.
7. Manifestasi pada genital. Lesi pada genital dapat menyebabkan uretritis,
balanitis dan vulvovaginitis. Balanitis adalah inflamasi pada glans penis.
Uretritis merupakan peradangan pada uretra dengan gejala klasik berupa secret
uretra, peradangan meatus, rasa terbakar, gatal, dan sering buang air kecil.
Vulvovaginitis adalah peradangan pada vagina yang biasanya melibatkan vulva
dengan gejala-gejala berupa bertambahnya cairan vagina, iritasi vulva, gatal,
bau yang tidak sedap, rasa tidak nyaman, dan gangguan buang air kecil.
Sindrom Stevens-Johnson dapat pula menyerang anal berupa peradangan anal
atau inflammed anal.
Menurut Parillo (2010), manifestasi klinis pada pasien sindrom Steven-
Johnson adalah sebagai berikut.
1. Ruam dapat mulai sebagai macula yang berkembang menjadi papul, vesikel,
bula, plak, urtikaria, atau eritema konfluen
2. Lesi khas memiliki penampilan target. target dianggap patogmonic. Berbeda
dengan lesi pada eritema multiforme, lesi pada eritema multiforme hanya
memiliki dua zona warna. Inti mungkin vesikuler, purpura, ataupun nekrotik.
Zona tersebut dikelilingi oleh eritema macular. Beberapa menyebutnya target
lesi
3. Lesi dapat pecah dan meninggalkan kulit yang terbuka. Kulit ini rentan
terhadap infeksi sekunder
4. Lesi urtikarial biasanya tidak gatal
5. Infeksi mungkin bertanggung jawab atas bekas luka yang berhubungan
dengan morbiditas
6. Meskipun lesi dapat terjadi di mana saja, akan tetapi bagian telapak tangan,
punggung tangan, dan permukaan ekstensor paling banyak dialporkan terjadi
7. Keterlibatan mukosa termasuk adanya eritema, edema, ulserasi, dan nekrosis

Gambar 3 Pelepasan epidermis pada pasien sindrom Stevens-Johnson


B. Etiologi
Etiologi sindrom Stevens-Johnson bersifat multifaktorial, sedangkan
etiologi pasti belum diketahui. Faktor yang diduga kuat sebagai etiologinya adalah
reaksi alergi obat secara sistemik, infeksi bakteri, virus, jamur, protozoa,
neoplasma, reaksi pascavaksinasi, terapi radiasi, alergi makanan, bahan-bahan
kimia dan penyakit kolagen.
Menurut Darmawan (2014), penyakit ini disebabkan oleh reaksi
hipersensitif (alergi) terhadap obat; infeksi HIV, penyakit jaringan ikat dan kanker
merupakan faktor risiko penyakit ini. Beberapa kasus berhubungan dengan infeksi
Mycoplasma pneumonia, kasus lainnya idiopatik atau tidak diketahui
penyebabnya. Berikut adalah etiologi sindrom Stevens-Johnson
1. Obat-obatan dan keganasan merupakan penyebab utama pada pasien dewasa
dan usia lanjut. Hampir semua kasus SSJ disebabkan oleh reaksi toksik
terhadap obat, terutama antibiotik (misal obat sulfa dan penisilin), antikejang
(mis. fenitoin) dan obat nyeri, termasuk yang dijual tanpa resep. Terkait
HIV, alasan SSJ yang paling umum adalah nevirapine (hingga 1,5 persen
penggunanya) dan kotrimoksazol (jarang).
2. Kasus pediatrik lebih banyak berhubungan dengan infeksi daripada
keganasan atau reaksi obat. Jarang pada anak usia 3 tahun atau dibawahnya,
karena imunitas belum berkembang sepenuhnya.
3. NSAID oksikam dan sulfonamid merupakan penyebab utama di negara-
negara Barat. Di Asia Timur allopurinol merupakan penyebab utama.
4. Empat kategori etiologi adalah infeksi, reaksi obat, keganasan dan idiopatik.
C. Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas, diperkirakan karena reaksi alergi tipe III dan
IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang
membentuk mikropresitipasi sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen.
Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan
menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran. Reaksi tipe IV terjadi
akibat limfosit T yang tersentisasi berkontrak kembali dengan antigen yang sama,
kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang.
Pathway
D. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
Diagnosis Steven Johnson Syndrome ditegakkan berdasarkan hal berikut.

1. Anamnesis yang cermat untuk mengetahui penyebab SJS terutama


obat yang diduga sebagai penyebab .
2. Pemeriksaan klinis, berupa pemeriksaan gejala prodormal, kelainan
kulit dan kelainan mukosa serta mata.
3. Pemeriksaan adanya infeksi yang mungkin sebagai penyebab SJS.
Sindrom Stevens-Johnson merupakan penyakit yang dapat menyebabkan
kematian sehingga perlu penanganan cepat dan tepat/optimal, mengenali dan
menghentikan segera obat yang bertanggung jawab (pada kasus yang meragukan,
menghentikan semua obat yang dikonsumsi dalam 8 minggu sebelum onset) dan
merawat pasien di rumah sakit. Pasien dengan SCORTEN 0–1 (lihat tabel 1.1)
dirawat dibangsal dan yang lebih berat (≥2) dirawat di unit rawat intensif.
Tabel 1.1 Skala SCORTEN
Faktor Prognostik Nilai
Usia > 40 tahun 1
Heart rate > 120 x/menit 1
Kanker atau keganasan hematologis 1
BSA yang terkena > 10% 1
Kadar urea serum >10 mM (BUN > 27 mg/dL) 1
Kadar bikarbonat serum < 20 mEq/L 1
Kadar glukosa serum > 14 mM (250 mg/dL) 1
Sumber: Bastuji-Garin et al. SCORTEN: A severity-of-illness score for toxic
epidermal necrolysis. J Invest Dermatol. 2000;115:149 dalam Thaha, 2009.

E. Penatalaksanaan
Penegakan diagnosis sulit dilakukan karena seringkali terdapat berbagai
macam bentuk lesi yang timbul bersamaan atau bertahap. Diagnosis sindrom
Stevens-Johnson terutama berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan klinis dan
pemeriksaan penunjang. Perawatan pada penderita sindrom Stevens- Johnson
lebih ditekankan pada perawatan simtomatik dan suportif karena etiologinya
belum diketahui secara pasti. Penanganan simptomatik suportif yaitu
mempertahankan keseimbangan hemodinamik, dan mencegah terjadi
komplikasi yang mengancam jiwa.
Penatalaksanaan sindrom Stevens-Johnson didasarkan atas tingkat
keparahan penyakit yang secara umum meliputi:
1. Rawat Inap
Rawat inap bertujuan agar dokter dapat memantau dan mengontrol setiap
hari keadaan penderita.
2. Preparat Kortikosteroid
Penggunaan preparat kortikosteroid merupakan tindakan life saving.
Kortikosteroid yang biasa digunakan berupa deksametason secara intravena
dengan dosis permulaan 4-6 x 5mg sehari. Masa kritis biasanya dapat segera
diatasi dalam 2-3 hari, dan apabila keadaan umum membaik dan tidak timbul
lesi baru, sedangkan lesi lama mengalami involusi, maka dosis segera
diturunkan 5mg secara cepat setiap hari. Setelah dosis mencapai 5mg sehari
kemudian diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone, yang
diberikan dengan dosis 20 mg sehari, kemudian diturunkan menjadi 10 mg
pada hari berikutnya. Selanjutnya pemberian obat dihentikan. Lama
pengobatan preparat kortikosteroid kira-kira berlangsung selama 10 hari.
3. Antibiotik
Penggunaan preparat kortikosteroid dengan dosis tinggi menyebabkan
imunitas penderita menurun, maka antibiotic harus diberikan untuk mencegah
terjadinya infeksi sekunder, misalnya broncopneneumonia yang dapat
menyebabkan kematian. Antibiotik yang diberikan hendaknya yang jarang
menyebabkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal, dan tidak
nefrotoksik. Antibiotik yang memenuhi syarat tersebut antara lain
siprofloksasin dengan dosis 2 x 400mg.
4. KCl
Penderita yang menggunakan kortikosteroid umumnya mengalami penurunan
kalium atau hipokalemia, maka diberikan KCl dengan dosis 3 x 500 mg
sehari peroral.
5. Adenocorticotropichormon (ACTH)
Penderita perlu diberikan ACTH untuk menghindari terjadinya supresi
korteks adrenal akibat pemberian kortikosteroid. ACTH yang diberikan
berupa ACTH sintetik dengan dosis 1 mg.
6. Agen Hemostatis
Agen hemostatik terutama diberikan pada penderita disertai purpura yang
luas. Agen hemostatik yang sering digunakan adalah vitamin K.
7. Diet
Diet rendah garam dan tinggi protein merupakan pola diet yang dianjurkan
kepada penderita. Akibat penggunaan preparat kortikosteroid dalam jangka
waktu lama, penderita mengalami retensi natrium dan kehilangan protein,
dengan diet rendah garam dan tinggi protein diharapkan konsentrasi garam
dan protein penderita dapat kembali normal. Penderita selain menjalani diet
rendah garam dan tinggi protein, dapat juga diberikan makanan yang lunak
atau cair, terutama pada penderita yang sukar menelan.
8. Vitamin
Vitamin yang diberikan berupa vitamin B kompleks dan vitamin C. Vitamin
B kompleks diduga dapat memperpendek durasi penyakit. Vitamin C
diberikan dengan dosis 500 mg atau 1000 mg sehari dan ditujukan terutama
pada penderita dengan kasus purpura yang luas sehingga pemberian vitamin
dapat membantu mengurangi permeabilitas kapiler
Berikut adalah tatalaksana perawatan pada organ penderita Steven
Johnson Syndrome.

1. Perawatan pada Kulit


Lesi kulit tidak memerlukan pengobatan spesifik, kebanyakan penderita
merasa lebih nyaman jika lesi kulit diolesi dengan ointment berupa vaselin,
polisporin, basitrasin. Rasa nyeri seringkali timbul pada lesi kulit dikarenakan
lesi seringkali melekat pada tempat tidur. Lesi kulit yang erosive dapat diatasi
dengan memberikan sofratulle atau krim sulfadiazine perak, larutan salin
0,9% atau burow. Kompres dengan asam salisilat 0,1% dapat diberikan untuk
perawatan lesi pada kulit. Kerjasama antara dokter gigi dan dokter spesialis
ilmu penyakit kulit dan kelamin sangat diperlukan.
2. Perawatan pada Mata
Perawatan pada mata memerlukan kebersihan mata yang baik, kompres
dengan larutan salin serta lubrikasi mata dengan air mata artificial dan
ointment. Pada kasus yang kronis, suplemen air mata seringkali digunakan
untuk mencegah terjadinya corneal epithelial breakdown (kerusakan jaringan
epitel kornea). Antibiotik topikal dapat digunakan untuk menghindari
terjadinya infeksi sekunder.
3. Perawatan pada Genital
Larutan salin dan petroleum berbentuk gel sering digunakan pada area genital
penderita. Penderita sindrom Stevens-Johnson yang seringkali mengalami
gangguan buang air kecil akibat uretritis, balanitis, atau vulvovaginitis, maka
kateterisasi sangat diperlukan untuk memperlancar buang air kecil.

4. Perawatan pada Oral


Rasa nyeri yang disebabkan lesi oral dapat dihilangkan dengan pemberian
anastetik topical dalam bentuk larutan atau salep yang mengandung lidokain
2%. Campuran 50% air dan hydrogen peroksida dapat digunakan untuk
menyembuhkan jaringan nekrosis pada mukosa pipi. Antijamur dan
antibiotik dapat digunakan untuk mencegah superinfeksi. Lesi pada mukosa
bibir yang parah dapat diberikan perawatan berupa kompres asam borat 3%.
Lesi oral pada bibir diobati dengan boraks-gliserin atau penggunaan
triamsinolon asetonid. Triamsinolon asetonid merupakan preparat
kortikosteroid topical. Kortikosteroid yang biasa digunakan pada lesi oral
adalah bentuk pasta. Pemakaian pasta dianjurkan saat sebelum tidur karena
lebih efektif. Sebelum dioleskan, daerah sekitar lesi harus dibersihkan
terlebih dahulu kemudian dikeringkan menggunakan spons steril untuk
mencegah melarutnya pasta oleh saliva. Apabila pasta larut oleh saliva, obat
tidak dapat bekerja dengan optimum sehingga tidak akan diperoleh efek
terapi yang diharapkan.
F. Komplikasi
Saat “onset” terjadi, penderita Steven Johnson Syndrome mengalami
demam, nyeri otot, gejala traktus respirasi atas dan bawah. Pada membran mukosa
mata, bibir, dan genetalia akan terjadi lesi berupa “bulla” dengan pembentukan
mambran atau pseudomembran. Komplikasi lanjut pada membran mukosa mata
karena pembentukan jaringan sikatrik sehingga menyebabkan conjunctival
shinkage (penyempitan konjungtiva), trikiasis (pertumbuhan bulu mata yang tidak
normal yaitu tumbuh ke belakang ke arah mata, sehingga menyentuh kornea dan
menyebabkan iritasi), dan defisiensi air mata. Pada kornea terutama pada fase
lanjut dapat terjadi epitheliopathy kronis (peradangan kronis pada jaringan epitel),
defek epitel yang tidak sembuh, pembentukan pannus fibrovaskular (pembuluh
darah yang masuk kedalam kornea mata), sikatrik subepitelial (pertumbuhan
jaringan parut yang baru pada jaringan sub epitel) dan neovaskularisasi strome
(pmbentukan pembuluh darah baru akibat pembuluh darah yang lama
mengluarkan tunas baru pembuluh darah, dan penipisan kornea. Berikut adalah
beberapa penyulit dari penyakit Steven Johnson Syndome menurut Djuanda
(2015) : Sepsis, Pneumonia, Gagal ginjal.
G. Indikasi Perawatan Intensif pada Pasien dengan Steven Johnson
Syndome
Keberhasilan penanganan SSJ sangat ditentukan oleh pengenalan gejala
secara dini, menghentikan atau mengatasi faktor penyebab dan pemberian terapi
suportif yang adekuat. Deteksi faktor penyebab yang paling umum yaitu
penggunaan obat sebelumnya dan penghentiannya segera, telah terbukti dapat
menurunkan angka mortalitas dan memperbaiki prognosis. Terapi suportif
merupakan tata laksana yang penting pada pasien SSJ.
Pasien yang umumnya datang dengan keadaan umum berat membutuhkan
cairan dan elektrolit, serta kebutuhan kalori dan protein yang sesuai secara
parenteral. Pemberian cairan tergantung dari luasnya kelainan kulit dan mukosa
yang terlibat. Pemberian nutrisi melalui pipa nasogastrik dilakukan sampai
mukosa oral kembali normal. Perawatan yang baik terhadap lesi pada kulit akan
mengurangi kemungkinan infeksi dan rasa nyeri.
Pada kasus yang tidak berat prognosisnya baik dan penyembuhan terjadi
dalam waktu 2-3 minggu. Pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau
dengan pengobatan terlambat dan tidak adekuat, angka kematian berkisar antara
5-15%. Adanya sekuele seperti gangguan pernafasan, gagal ginjal, dan kebutaan
juga memperburuk prognosis. Kematian dapat disebabkan oleh gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta septikemia (Witarini,
2019).
H. Konsep Asuhan Keperawatam
1. Pengkajian Keperawatan
a. Pengkajian Keperawatan Umum
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun ke bawah. Keadaan
umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada kondisi yang berat,
kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya
penyakit akut dapat disertai gejala prodomal berupa demam tinggi, malaise, nyeri
kepala, batuk, pilek, dan nyeri tenggorok. Dalam keadaan ini, sering penderita
mendapat pengobatan antibiotik dan antiinflamasi sehingga menyebabkan
kesukaran dalam mengidentifikasi obat penyebab sindrom Stevens Johnson.
Trias kelainan yang terjadi terdapat pada kulit, mukosa, dan mata.
Kelainan kulit terdiri atas eritema, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula kemudian
memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Di samping itu, dapat juga terjadi
purpura. Jika disertai purpura, prognosisnya menjadi lebih buruk. Pada bentuk
yang berat kelainannya generalisata. Kelainan selaput lendir yang tersering ialah
pada mukosa mulut (100%), kemudian disusul oleh kelainan di lubang alat genital
(50%), sedangkan di lubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%).
Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi,
ekskoriasi, dan krusta kehitaman. Selain itu, juga dapat terbentuk
pseudomembran. Pada bibir, kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna
hitam yang tebal. Kelainan di mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus
respiratorius bagian atas, dan esofagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan
penderita sukar/tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat
menyebabkan keluhan sukar bernapas. Sementara itu pada mata, 80% di antara
semua kasus yang tersering ialah konjungtivitis kataralis. Selain itu, juga dapat
berupa konjungtivitis purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, dan
iridosiklitis.
Menurut Parillo (2010), pemeriksaan fisik pada pasien sindrom Steven
Johnson ditemukan:
1) Demam
2) Orthostasis
3) Tachycardia
4) Hipotensi
5) Perubahan tingkat kesadaran
6) Epistaksis
7) Konjungtivitis
8) Ulserasi kornea
9) Erosif vulvovaginitis atau balanitis
10) Kejang, koma
b. Pengkajian keperawatan kritis
1) Pengkajian primer
a) Airway
- Adakah sumbatan jalan nafas atau benda asing, bronkospasme,
darah, sputum atau lendir?
- Bunyi nafas?
b) Breathing
- Adakah sesak nafas, frekuensi dan irama nafas?
- Jenis pernafasan, pola nafas (retraksi IC, otot bantu pernafasan,
dan lain-lain?
- Adakah reflek batuk dan jenis batuknya serta karakteristik
sputum?
- Bagaimanakah hasil BGA?
- Adakah suara nafas abnormal?
c) Circulation
- Berapa frekuensi nadi dan tekanan darah serta karakteristiknya?
- Bagaimanakah akral, warna kulit, capillary refill dan edemanya?
- Adakah nyeri dada dan bagaimana karakteristiknya?
d) Disability
- Bagaimana kualitas dan kuantitas kesadarannya?
e) Exposure
- Adakah jenis luka dan bagaimana karakteristiknya?
- Adakah perdarahan dan bagaimana karakteristiknya?
2) Pengkajian sekunder
a) Keluhan utama
b) Alergi terhadap obat, makanan tertentu
c) Pengobatan terakhir
d) Riwayat pembedahan
e) Riwayat penyakit dahulu
f) Riwayat penyakit sekarang
2. Diagnosis Keperawatan yang Muncul
Berikut adalah diagnosis keperawatan yang muncul pada pasien dengan
Steven Johnson Syndrome (SDKI, 2016).

a. Kerusakan integritas jaringan b.d. efek samping obat


b. Defisit nutrisi b.d. ketidakmampuan mencerna makanan,disfagia
c. Nyeri akut b.d. agen pencedera fisiologis (inflamasi)
3. Intervensi Keperawatan
a. Kerusakan integritas jaringan b.d. efek samping obat. Tujuan yang
diharapkan (SLKI) : Integritas jaringan : kulit & membran mukosa baik.
Kriteria Hasil :
1) Perfusi jaringan normal
2) Tidak ada tanda-tanda infeksi
3) Ketebalan dan tekstur jaringan normal
4) Menunjukkan terjadinya proses penyembuhan luka
Rencana Tindakan (SIKI):

Intervensi Rasional
1. Pantau kulit dan membran mukosa 1. Mengetahui perkembangan kondisi
pada area yang mengalami luka/lesi dan menentukan
perubahan warna, memar, dan intervensi tindakan selanjutnya
kerusakan. dengan tepat untuk memperbaiki
2. Pantau adanya kekeringan dan integritas kulit
kelembaban yang berlebihan pada 2. Kekeringan/kelembaban yang
kulit. berlebihan pada kulit dapat
3. Oleskan salep yang sesuai memperparah kerusakan integritas
dengan kulit/lesi. kulit dan menjadi indikator
4. Berikan balutan yang sesuai keseimbangan cairan klien.
dengan jenis luka. 3. Pemberian salep yang sesuai dapat
5. Anjurkan klien untuk menjadi pelindung area luka dari
menggunakan pakaian yang agens infeksi dan mempercepat
longgar. penyembuhan luka/lesi.
6. Ajarkan kepada keluarga tentang 4. Balutan yang sesuai dengan jenis
tanda dan kerusakan kulit. luka dapat menghindari gesekan
7. Rujuk pada ahli diet, dengan tepat luka pada area lain.
5. Pakaian yang ketat dapat
meningkatkan gesekan antara
luka dengan kain, sehingga dapat
memperparah kerusakan integritas
kulit.
6. Pengetahuan yang adekuat pada
keluarga dapat membantu tenaga
kesehatan dalam mengantisipasi
tanda kerusakan kulit pada klien.
7. Pemberian diet tinggi protein
diperlukan untuk pembentukan
jaringan baru pada luka/lesi.
b. Defisit nutrisi b/d , ketidakmampuan mencerna makanan, disfagia.
Tujuan yang diharapkan (SLKI): Status nutrisi klien baik.
Kriteria Hasil:

1) Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi


2) Menunjukkan peningkatan fungsi pengecapan dari menelan
3) Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti
4) Tidak ada lesi mukosa mulut Rencana Tindakan (SIKI):
Intervensi Rasional
1. Kaji kemampuan pasien untuk 1. Kemampuan pasien makan dapat
mendapatkan nutrisi yang mempengaruhi intake nutrisi pasien.
dibutuhkan. 2. Kalori dan intake nutrisi pasien
2. Monitor kalori dan intake nutrisi dapat digunakan sebagai data dasar
3. Lakukan atau bantu pasien terkait untuk menentukan intervensi
dengan perawatan mulut sebelum selanjutnya.
makan 3. Mulut yang bersih dapat
4. Pastikan makanan disajikan meningkatkan kenyamanan dan
dengan cara yang menarik dan nafsu makan klien
pada suhu yang paling cocok untuk 4. Menambah nafsu makan klien
konsumsi secara optimal 5. Dengan pengetahuan yang cukup
5. Ajarkan dan dukung konsep nutrisi akan nutrisi klien dapat kooperatif
yang baik dengan klien dan orang dan menerapkannya dalam proses
terdekat dengan klein. penyembuhannya.
6. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk 6. Nutrisi dan jumlah kalori yang
menentukan jumlah kalori dan tepat dapat memenuhi kebutuhan
nutrisi yang dibutuhkan pasien nutrisi klien dan mempercepat
kesembuhan
c. Nyeri akut b.d. agen pencedera fisiologis (inflamasi).
Tujuan yang diharapkan (SLKI) : Kontrol nyeri dapat dilakukan dan tingkat nyeri
dapat berkurang
Kriteria Hasil :
1) Mampu mengontrol nyeri
2) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manejemen nyeri.
3) Mampu mengenali nyeri
4) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
Rencana Tindakan (SIKI) :

Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat nyeri yang 1. Data-data tersebut digunakan sebagai
komprehensif meliputi lokasi, data dasar dalam menentukan
karakteristik, awitan dan durasi, intervensi tindakan yang tepat pada
frekwensi, kualitas, intensitas atau klien selanjutnya untuk mencapai
keparahan nyeri, dan faktor kesembuhan klien yang optimal.
presipitasinya. 2. Isyarat nonverbal klien
2. Observasi isyarat nonverbal (meringis, mengernyit) menjadi tanda
ketidaknyamanan. bahwa klien merasakan
3. Monitor vital sign sebelum dan ketidaknyamanan/nyeri.
sesudah pemberian analgesik 3. Nyeri dan pemberian analgesik dapat
pertama kali memengaruhi vital sign klien, seperti
4. Lakukan perubahan posisi dan nadi dan RR.
relaksasi. 4. Perubahan posisi dan relaksasi dapat
5. Tingkatkan istirahat/tidur yang membantu klien mengurangi rasa
cukup untuk membantu nyeri dan klien merasa rileks.
mengurangi rasa nyeri. 5. Istirahat/tidur dapat mengalihkan
6. Ajarkan penggunaan teknik fokus pada nyeri klien.
relaksasi nonfarmakologi sebelum 6. Teknik relaksasi nonfarmakologi
atau sesudah rasa sakit meningkat. dapat dilakukan klien tanpa bantuan
7. Berikan informasi yang lengkap perawat atau tenaga kesehatan untuk
dan akurat untuk mengurangi nyeri.
mendukung pengetahuan keluarga 7. Pengetahuan yang adekuat pada
terhadap respon nyeri pasien. keluarga dapat membantu perawat
8. Berikan analgesik untuk atau tenaga kesehatan untuk
mengurangi nyeri mengenali respon nyeri klien.
(berkolaborasi dengan dokter). 8. Analgesik dapat mengurangi nyeri
pada klien.

DAFTAR PUSTAKA

Darmawan, H. (2014). Sindrom Stevens-Johnson Diduga Akibat


Siprofloksasin. CDK-217/Vol. 41 No. 6, 432-435.
Djuanda, A. (2015). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 2. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Effendi, E. (2015). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Badan


Penerbit FKUI.

Herdman, T. (2015). NANDA Internasional Inc. Diagnosis Keperawatan:


Definisi & Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10. Jakarta: EGC.

Karsenda. (2013). Pemberian Kortikosteroid pada Pasien Sindrom Steven-


Johnson. Jurnal Medula, Volume 1, Nomor 3, 92-100.

Lutfi, D., Zuhria, I., & Doemilah, E. (2007). Limbal Stem Cell
Transplantation in Limbal Stem Cell Deficiency After Steven Johnson Syndrome.
Jurnal Oftamologi Indonesia Vo. 5 No. 3, 235-238.

Muttaqin, A., & Sari, K. (2013). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem


Integumen. Jakarta: Salemba Medika.

Parillo, S. J. (2010). Stevens-Johnson Syndrome. Contributor Information


And Disclosures.

Ramayanti, S. (2011). Manifestasi Oral dan Penatalaksanaan pada Penderita


Sindrom Stevens-Johnson. Majalah Kedokteran Andalas No. 2 Vo. 35, 91- 97.

Thaha, M. (2009). Sindrom Stevens-Johnson dan Nekrolisis Epidermal


Toksis di RSUP MH Palembang Periode 2006 - 2008. Media Media Indonesiana
Volume 43 Nomor 5, 234-239.

Witarani, A, Komang. (2019). Diagnosis dan tatalaksana Sindroma


Stevens- Johnson (SJS) pada anak: tinjauan pustaka. Intisari Sains Medis :
http://isainsmedis.id/
ASUHAN KEPERAWATAN KMB

A. PENGKAJIAN
a. IDENTITAS KLIEN
Nama : Tn. Y No.Reg : 74xxxx
Umur : 60 th Tgl MRS : 16-10-2021
Jenis Kelamin : Laki-laki Diagnosa : Steven Johnson Syndrome
Suku : Jawa Pengkajian : 17-10-2021
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan : SLA
Alamat : Pelemahan
Penanggung : BPJS

b. RIWAYAT KESEHATAN (NURSING HISTORY)


a) Riwayat Sebelum Sakit
Pasien mengatakan punya riwayat hipertensi dan diabetes.
Obat yang diminum Glimepirid 1x2mg, amlodipin 1x 5mg.
Kebiasaan berobat: bila sakit pasien berobat ke klinik dokter terdekat.
Riwayat alergi : pasien mengatakan tidak memiliki riwayat alergi.
b) Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan utama: nyeri karena bibir bengkak dan pecah-pecah, luka
diseluruh tubuh
c) Riwayat Keluhan Utama
Pasien mengatakan 5 hari sebelum MRS mengeluh nyeri telan dan bibir
pecah-pecah lalu pasien berobat ke klinik dan mendapat resep obat
incidal dan cefixime. 3 hari setelah minum obat tersebut timbul keluhan
bibir bengkak dan pecah-pecah, timbul bercak luka kemerahan di seluruh
tubuh. Oleh keluarga dibawa ke IGD RSI Surabaya tgl 16-10-2021 jam
19.30 wib.
d) Riwayat Kesehatan Keluarga
Pasien mengatakan bahwa tidak ada riwayat penyakit seperti yang
dialaminya sekarang. Ada riwayat hipertensi dan diabetes dalam
keluarga.
e) Genogram

Keterangan :
: Laki-laki : Garis perkawinan

: Perempuan : Klien

: Meninggal : Garis keturunan

: Garis satu rumah

f) Riwayat Kesehatan Lingkungan


Lingkungan di rumah Tn. Y bersih karna setiap hari selalu dibersihkan.
g) Riwayat Kesehatan Lainnya
Tn. Y memiliki riwayat kesehatan: Hipertensi dan Diabetes.
Alat bantu yang digunakan :
Gigi palsu : [ ] Ya [√] Tidak
Kaca mata : [ ] Ya [√] Tidak
Pendengaran : [ ] Ya [√] Tidak

c. OBSERVASI DAN PEMERIKSAAN FISIK


1. Keadaan Umum
P : Klien mengatakan nyeri diakibatkan bercak luka kemerahan di
seluruh tubuh, bibir bengkak,pecah-pecah.
Q : Klien mengatakan nyeri seperti terbakar.
R : Nyeri dirasakan di seluruh tubuh dan di tenggorokannya.
S : Skala nyeri klien 6 (sedang).
T : Klien mengatakan nyeri dirasakan terus menerus.
2. Tanda-tanda Vital, TB dan BB
S : 36,5oC HR : 113x/menit TD : 124/74 mmHg RR : 20x/menit
[√] axilla [√] teratur [√] lengan kiri [√] normal
[ ] rectal [ ] tidak teratur [ ] lengan kanan [ ] cyanosis
[ ] oral [ ] kuat [ ] berbaring [ ] cheynestoke
[ ] lemah [ ] duduk [ ] kusmaul [ ] lainnya, tidak ada
TB : 170 cm BB : 70 kg IMT : 24.2 (lebih berat badan)

3. Body System
a) Pernapasan (B1 : Breathing)
Hidung : Simetris kanan dan kiri, tidak tampak adanya
cairan atau sekret, tidak adanya nyeri tekan dan
benjolan, fungsi penciuman baik.
Trachea : Deviasi (-).
[ ] nyeri [ ] dyspnea [ ] orthopnea
[ ] cyanosis [ ] batuk darah [ ] napas dangkal
[ ] retraksi dada [ ] sputum [ ] tracheosto
[ ] respirator
Suara nafas tambahan :
[ ] wheezing : lokasi, tidak ada tambahan suara
[ ] rochi : lokasi, tidak ada tambahan suara
[ ] rales : lokasi, tidak ada tambahan suara
[ ] crackles : lokasi, tidak ada tambahan suara
Bentuk dada :
[√] simetris [√] tidak simetris [ ] lainnya, tidak ada
b) Cardiovaskuler (B2 : Bleeding)
[ ] nyeri dada [ ] pusing [ ] sakit kepala [ ] kram kaki
[ ] papitasi [ ] clubbing finger
Suara jantung : S1 dan S2 normal, gangguan irama (-), suara
tambahan (-)
[√] normal [ ] ada kelainan, tidak ada
Edema :
[ ] palpebral [ ] anasarka [ ] extremitas atas
[ ] extremitas bawah [ ] ascites [√] tidak ada
[ ] lainnya, tidak ada
c) Persyarafan (B3 : Brain)
[√] composmentis [ ] apatis [ ] somnolent
[ ] spoor [ ] koma [ ] gelisah
Glasgow Coma Scale (GCS) :
E:4 V:5 M:6 Nilai total : 15
Kepala dan wajah :
Mata :
Sklera [√] putih [ ] icterus [ ] merah
[ ] perdarahan
Conjungtiva [ ] pucat [√] merah muda
Pupil [√] isokor [ ] anisokor [ ] miosis
[ ] midriasis
Leher Saat diraba tidak ada pembesaran vena jugularis,
tidak ada pembesaran kelenjar tiroid dan tidak ada
pembesaran limfe, serta tidak ada edema dan nyeri
tekan.
Reflex (spesifik) Tn. Y matanya terbuka spontan tanpa perlu
dipanggil telebih dahulu, Tn. Y jika diajak
berkomunikasi merespon baik tidak ada jawaban
yang tidak sesuai, kontak mata terlihat focus.
Lainnya, tidak ada
d) Persepsi Sensori
Pendengaran :
Kiri : Tampak simetris, ukuran sama besar, tidak ada
benjolan atau edema, tidak terdapat luka, tidak
terdapat nyeri tekan, tidak berbau, tidak
menggunakan alat bantu pendengaran, tidak tercapat
cairan kental, pus, darah.
Kanan : Tampak simetris, ukuran sama besar, tidak ada
benjolan atau edema, tidak terdapat luka, tidak
terdapat nyeri tekan, tidak berbau, tidak
menggunakan alat bantu pendengaran, tidak tercapat
cairan kental, pus, darah.
Penciuman :
Hidung tampak simetris kanan dan kiri , tidak ada cairan atau
sekret di hidung, tidak ada nyeri tekan dan edema, fungsi penciuman
baik.
Pengecapan : [√] manis [√] asin [√] pahit
Penglihatan :
Kiri : Tampak simetris, ukuran sama besar, tidak ada
benjolan atau edema, tidak terdapat luka, tidak
terdapat nyeri tekan, tidak berbau, tidak
menggunakan alat bantu pendengaran, tidak tercapat
cairan kental, pus, darah.
Kanan : Tampak simetris, ukuran sama besar, tidak ada
benjolan atau edema, tidak terdapat luka, tidak
terdapat nyeri tekan, tidak berbau, tidak
menggunakan alat bantu pendengaran, tidak tercapat
cairan kental, pus, darah.
Perabaan : [√] panas [√] dingin [√] tekan
[ ] lainnya, tidak ada
e) Perkemihan-Eliminasi Urin (B4 : Bladder)
Produksi urine : 2000ml/24 jam
Warna : kuning jernih Bau : tidak menyengat
[ ] oliguria [ ] poliuri [ ] dysuria [ ] hematuria
[ ] nocturi [ ] nyeri [ ] dipasang kateter [ ] menetes
[ ] panas [ ] sering [ ] inkotinen [ ] retensi
[ ] cystotomi [√] tidak ada masalah [ ] lainnya, tidak ada
Alat bantu : tidak ada
f) Pencernaan-Eliminasi Alvi (B5 : Bowel)
Mulut dan tenggorokan : krusta haemoragic
Abdomen (IAPP) :
I : Tidak terlihat simetris dan dan adanya benjolan.
A : Usus 20x/menit.
P : Suara terdengar timpani.
P : Tidak terdapat nyeri tekan pada abdomen.
Rectum : Hemoroid (-)
BAB : 1x/hari Konsistensi : lunak
[ ] diare [ ] konstipasi [ ] feses darah
[ ] tidak terasa [ ] kesulitass [ ] melena
[ ] wasir [ ] pencahar [ ] lavament
[√] tidak ada masalah [ ] alat bantu, tidak ada
[ ] lainnya, tidak ada
g) Tulang-Otot-Integumen (B6 : Bone)
Kemampuan pergerakan sendi [√] bebas [ ] terbatas
Parese : [ ] Ya [√] Tidak
Paralise : [ ] Ya [√] Tidak
Parese : [ ] Ya [√] Tidak
Kekuatan otot : 5 5
5 5
Lainnya, tidak ada
Extremitas :
Atas : [√] tidak ada kelainan [ ] peradangan [ ] patah
tulang
[ ] perlukaan [ ] lainnya, tidak ada
Bawah : [√] tidak ada kelainan [ ] peradangan [ ] patah
tulang
[ ] perlukaan [ ] lainnya, tidak ada
Tulang belakang : kifosis (-), lordosis (-), scoliosis (-)
Kulit : Ada makula eritema morbiliformis, erosi minimal seluruh
tubuh, tidak ada bula, tidak ada pus.
Warna kulit [ ] ikterik [ ] cyanotic [ ] pucat
[√] kemerahan [ ] pigmentasi
Akral [√] hangat [ ] panas [ ] dingin kering
[ ] dingin basah
Turgor [√] baik [ ] cukup [ ] jelek/menurun
h) System Endokrin
Karakter sex sekunder : tidak terkaji
Riwayat pertumbuhan dan perkembangan fisik :
[ ] Perubahan ukuran kepala, tangan atau kaki pada waktu dewasa.
[ ] Kekeringan kulit atau rambut.
[ ] Exopthalmus.
[ ] Goiter.
[ ] Hypokalemia.
[ ] Tidak toleran terhadap panas.
[ ] Tidak toleran terhadap dingin.
[ ] Poilidipsi.
[ ] Poliphagi.
[ ] Poliuria.
[ ] Posturnal hipotensi.
[ ] Kelemahan.
i) System Reproduksi
Laki-laki :
Kelamin :
Bentuk : [√] normal [ ] tidak normal
Kebersihan : [√] bersih [ ] kotor
Perempuan :
Payudara :
Bentuk : [ ] simetris [ ] asimetris
Benjolan : [ ] tidak [ ] ada
Kelamin :
Bentuk : [ ] normal [ ] tidak normal
Keputihan : [ ] tidak ada [ ] ada
Siklus haid : ….. Hari [ ] teratur [ ] tidak teratur
d. POLA AKTIVITAS
1. Makan
Rumah Rumah Sakit
Frekuensi 3 x sehari 3 x sehari
Jenis menu Nasi putih, sayur, Bubur, air putih
gorengan, buah, air
putih
Porsi 1 porsi habis 3 sendok
Yang disukai Menyukai semua Menyukai semua
makanan makanan, tetapi sulit
menelan dan untuk saat
ini nafsu makan
menurun karena sakit
tenggorokan dan bibir
bengkak dan pecah-
pecah.
Yang tidak disukai Tidak ada Tidak ada
Pantangan Manis, asin Masin, asin
Alergi Tidak ada alergi Tidak ada alergi
Lain-lain Tidak ada Tidak ada
2. Minum
Rumah Rumah Sakit
Frekuensi 6-7 x sehari 6-7 x sehari
Jenis minuman Air putih, the Air putih
Jumlah (lt/gelas) 250ml/gelas 250ml/gelas
Yang disukai Air putih Air putih
Yang tidak disukai Tidak ada Tidak ada
Pantangan Manis Masin
Alergi Tidak ada Tidak ada
Lain-lain Tidak ada Tidak ada

3. Kebersihan diri
Rumah Rumah Sakit
Mandi 2 x/hari -
Keramas 3 x/minggu -
Sikat gigi 2 x/hari 2 x/hari
Memotong kuku 1 x/minggu -
Ganti pakaian 2 x/hari 2 x/hari
Lain-lain Tidak ada Tidak ada

4. Istirahat dan asktivitas


a. Istirahat tidur
Rumah Rumah Sakit
Tidur malam Lama 6-8 jam Lama 3-4 jam
Tidur siang Lama 2 jam Lama ± 1 jam
Gangguan tidur Tidak ada Ada

b. Aktivitas
Rumah Rumah Sakit
Aktivitas sehari-hari Lama 8 jam Tidak ada
Jenis aktivitas Bekerja sebagai supir Tidka ada
Tinggat ketergantungan Tidak ada Tidak ada

e. PSIKOSOSIAL SPIRITUAL
1. Social/Interaksi
Hubungan dengan klien :
[ ] kenal [√] tidak kenal [ ] lainnya, tidak ada
Dukungan keluarga :
[√] aktif [ ] kurang [ ] tidak ada
Dukungan kelompok/teman/masyarakat :
[√] aktif [ ] kurang [ ] tidak ada
Reaksi saat interaksi :
[ ] tidak kooperatif [ ] bermusuhan [ ] mudah tersinggung
[ ] defensive [ ] curiga [ ] kontak mata
[ ] lainnya, pasien kooperatif
Konflik yang terjadi terhadap :
[ ] peran [ ] nilai [ ] lainnya, tidak ada
2. Spiritual
Konsep tentang penguasa kehidupan :
[ ] Tuhan [√] Allah [ ] Dewa [ ] Lainnya, tidak ada
Sumber kekuatan/harapan saat sakit :
[ ] Tuhan [√[ Allah [ ] Dewa [ ] Lainnya, tidak ada
Ritual agama yang bermakna/berarti/diharapkan saat ini :
[√] Sholat [ ] Baca kitab suci [ ] Lainnya, tidak ada
Sarana/peralatan/orang yang diperlukan untuk melaksanakan ritual
agama yang diharapkan saat ini :
[√] Lewat ibadah [ ] Rohaniawan [ ] Lainnya, tidak ada
Upaya kesehatan yang bertentangan dengan keyakinan agama :
[ ] Makanan [ ] Tindakan [ ] Lainnya, tidak ada
Keyakinan/kepercayaan bahwa Tuhan akan menolong dalam menghadapi
situasi sakit saat ini :
[√] Ya [ ] Tidak
Keyakinan/kepercayaan bahwa penyakit dapat disembuhkan :
[√] Ya [ ] Tidak
Persepsi terhadap penyebab penyakit :
[ ] Hukum [√] Cobaan/peringatan [ ] Lainnya, tidak ada
f. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a) Tabel Hasil Pemeriksaan Klien
No. Pemeriksaan Penunjang Klien
1. Laboratorium Tanggal 16-10-2021
Pemeriksaan Hematologi :
1. WBC : 7.79 10^3/μL (N : 5-10).
2. Hemoglobin : 16.7 g/dL (N : 14-17.4).
3. Hematocrit : 47% (N : 45-52).
4. Trombosit : 241 10^3/μL (N : 150-400).
5. Random Glucose : 224 (N : <200).
6. Ureum : 30 mg/dL (N : 7-18).
7. Creatinine : 1.15 mg/dL (N : 0.6-1.3).
8. SGOT : 27 (N : 15-37).
9. SGPT : 24 (N : 12-78).
10.Albumin : 3.2 (N : 3.4-5).
11.SE : Na : 140 (N : 135-148).
K : 3.85 (N : 3.5-5.1).
Cl : 105 (N : 98-107).

2. Foto Thorax Tanggal 16-10-2021


Mild Pneumonia.

3. ECG Tanggal 16-10-2021


Sinus takikardia.

b) Tabel Terapi Pasien dengan Post Op Urolitiasis


Hari/tgl Jenis Terapi Dosis Golongan dan Fungsi dan
Kandungan Farmakologi
Cairan IV :
Infus PZ 14 tpm Cairan kristaloid Keseimbangan cairan
dan elektrolit dalam
tubuh.

Dexametason 3 x 2.5 mg Kortikosteroid Obat anti inflamasi.

Dhypenhidramine 2 x 10 mg Antihistamin Mengobati alergi.

Novorapid 3 x 6 ui Insulin Mengurangi tingkat


gula darah tinggi.

Sansulin 10-0-0 Insulin Mengurangi tingkat


gula darah tinggi.

Salep Kenalog 4 x 1 (dioles Kartikosteroid Mengobati luka atau


untuk bibir) peradangan mulut.
Salep Gentamicyn 2 x 1 (dioles Antibiotic Menghambat
diseluruh pertumbuhan kuman-
tubuh) kuman penyebab
infeksi kulit.
B. ANALISA DATA
Nama Pasien : Tn. Y No. RM : 74xxxx
Umur : 60 th Ruang : Shofa
NO DATA (DS/DO) ETIOLOGI PROBLEM
1. DS : Agen Pencedera Nyeri Akut
1. P : Klien mengatakan nyeri Fisiologis (inflamasi) (D.0077)
diakibatkan bercak luka
kemerahan diseluruh tubuh,
bibir bengkak dan pecah-
pecah
Q : Klien mengatakan nyeri
seperti terbakar.
R : Nyeri dirasakan diseluruh
tubuh dan di
tenggorokannya.
S : Skala nyeri klien 6
(sedang) dari skala 10
(berat).
T : Klien mengatakan nyeri
dirasakan terus menerus.

DO :
1. Klien tampak meringis.
2. Vital sign :
TD : 124/74 mmHg.
HR : 113x/mnt.
RR : 20x/mnt.
SPO2 : 99%.
Suhu : 36.5oC.

2. DS : Efek Samping Gangguan


1. Pasien mengatakan ada Obat/Bahan Kimia Integritas Kulit
bercak luka kemerahan (D.0129)
diseluruh tubuh, bibir
bengkak dan pecah-pecah.

DO :
1. Ada macula eritemia
morbiliformis.
2. Ada erosi minimal seluruh
tubuh.
3. Tidak ada bula.
4. Tidak ada pus.

3. DS : Ketidakmampuan Defisit Nutrisi


1. Pasien mengatakan sulit Menelan Makanan (D.0019)
menelan.
2. Pasien mengatakan nafsu
makan menurun karena sakit
tenggirokan, bibir bengkak
dan pecah-pecah.

DO :
1. BB : 70 kg.
2. Dimulut terdapat krusta
haemoragic.
3. Albumin : 3.2.
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Nama Pasien : Tn. Y No. RM : 74xxxx
Umur : 60 th Ruang : Shofa
NO DIAGNOSA
1. Nyeri akur b/d agen pencedera fisiologis (inflamasi) d/d P : Klien
mengatakan nyeri diakibatkan bercak luka kemerahan diseluruh tubuh,
bibir bengkak dan pecah-pecah, Q : Klien mengatakan nyeri seperti
terbakar, R : Nyeri dirasakan diseluruh tubuh dan di tenggorokannya, S :
Skala nyeri klien 6 (sedang) dari skala 10 (berat), T : Klien mengatakan
nyeri dirasakan terus menerus, klien tampak meringis, vital sign : TD :
124/74 mmHg, HR : 113x/mnt, RR : 20x/mnt, SPO 2 : 99%, Suhu :
36.5oC.

2. Gangguan integritas kulit b/d efek samping obat/bahan kimia d/d pasien
mengatakan ada bercak luka kemerahan diseluruh tubuh, bibir bengkak
dan pecah-pecah, ada macula eritemia morbiliformis, ada erosi minimal
seluruh tubuh, tidak ada bula, tidak ada pus.

3. Defisit nutrisi b/d ketidakmampuan menelan makanan d/d pasien


mengatakan sulit menelan, pasien mengatakan nafsu makan menurun
karena sakit tenggirokan, bibir bengkak dan pecah-pecah, BB : 70 kg,
dimulut terdapat krusta haemoragic, albumin : 3.2.
D. INTERVENSI KEPERAWATAN
Nama Pasien : Tn. Y No. RM : 74xxxx
Umur : 60 th Ruang : Shofa
No. Tgl/Jam Diagnosa Keperawatan SLKI SIKI Paraf
Dx
1. 17-10-2021 Nyeri akut b/d agen Setelah dilakukan asuhan Manajemen Nyeri ( 1.08238) Lilik
09.00 pencedera fisiologis keperawatan selama 2 x 24
(inflamasi). jam. Diharapkan nyeri akut Observasi
teratasi, dengan kriterial hasil : 1. Identifikasi lokasi, karakteristik,
durasi, fruekensi, kualitas dan
Tingkat nyeri (L.08066) intensitas nyeri.
Outcome : 2. Identifikasi skala nyeri.
1. Keluhan nyeri dari skala 1 3. Identifikasi respon nyeri non verbal.
(meningkat) menjadi skala
4 (cukup menurun). Terapeutik
2. Meringis dari skala 1 1. Berikan teknik non farmakologis
(meningkat) menjadi skala untuk mengurangi rasa nyeri.
4 (cukup menurun).
3. Gelisah dari skala 1 Edukasi
(meningkat) menjadi skala 4 1. Pertimbangkan jenis dan sumber
(cukup menurun). nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri.

Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgetik, bila
perlu.

2. 17-10-2021 Gangguan integritas kulit Setelah dilakukan tindakan Perawatan Integritas Kulit (I.11353) Lilik
09.00 b/d efek samping keperawatan selama 2 x 24 jam
obat/bahan kimia. diharapkan integritas kulit dan Observasi
jaringan meningkat, dengan 1. Identifikasi penyebab gangguan
kriteria hasil : intregritas kulit.

Integritas Kulit Dan Jaringan Terapeutik


(L.14125) 1. Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah
1. Kerusakan jaringan dari skala baring.
1 (meningkat) menjadi skala 2. Hindari produk berbahan dasar
5 (menurun). alkohol pada kulit kering.
2. Kerusakan lapisan kulit dari 3. Gunakan produk berbahan ringan atau
skala 1 (meningkat) menjadi alami dan hipoalergik pada kulit
skala 5 (menurun). sensitif.
3. Nyeri dari skala 1
(meningkat) menjadi skala 5 Edukasi
(menurun). 1. Anjurkan minum air yang cukup.
4. Kemerahan dari skala 1 2. Anjurkan meningkatkan asupan
(meningkat) menjadi skala 5 nutrisi.
(menurun).
5. Perfusi jaringan dari skala 1 Kolaborasi
(menurun) menjadi skala 5 1. Pemberian salep / cream.
(meningkat).

3. 17-10-2021 Defisit nutrisi b/d Setelah dilakukan asuhan Manajemen Nutrisi (1.03119) Lilik
15.00 ketidakmampuan menelan keperawatan selama 2 x 24 jam
makanan. diharapkan status menelan Observasi
membaik, dengan kriteria hasil : 1. Identifikasi makanan yang disukai.
2. Monitor asupan makanan.
Status Menelan (L.06052) 3. Monitor hasil laboratorium.
1. Reflek menelan dari skala 1
(menurun) menjadi skala 5 Terapeutik
(meningkat). 1. Berikan makanan tinggi kalori tinggi
2. Usaha menelan dari skala 1 protein.
(menurun) menjadi skala 5 2. Sajikan makanan secara menarik dan
(meningkat). suhu yang sesuai.
3. Penerimaan makanan dari
skala 1 (memburuk) menjadi Edukasi
skala 5 (membaik). 1. Anjurkan posisi duduk jika mampu.

Kolaborasi
1. Kolaborasi dengan ahli gizi.
E. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Nama Pasien : Tn. Y No. RM : 74xxxx
Umur : 60 th Ruang : Shofa
No. Tgl/Jam Implementasi Paraf
Dx
1. 17-10-2021 1. Mengkaji nyeri pasien. Ayu
09.00 R/
P : pasien mengatakan nyeri diakibatkan bercak luka
kemerahan diseluruh tubuh, bibir bengkak, pecah-
pecah.
Q : pasien mengatakan nyeri seperti terbakar.
R : nyeri dirasakan diseluruh tubuh dan
tenggorokannya.
S : skala nyeri klien 6 (sedang) dari skala 10.
T : pasien mengatakan nyeri dirasakan terus-menerus.
2. Melakukan identifikasi nyeir skala verbal.
R/ Pasien tampak meringis menahan sakit.
12.00 3. Mengobservasi tanda-tanda vital.
R/ Vital sign
TD : 124/74 mmHg.
HR : 113x/mnt.
RR : 20x/mnt.
SPO2 : 99%.
Suhu : 36.5oC.
4. Memberikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi
nyeri.
R/ Pasien bisa melakukan relaksasi nafas dalam.
12.00 5. Memberikan pertimbangan jenis dan sumber nyeri
dalam pemilihan strategi meredakan nyeri.
R/ Pasien mengerti.

2. 17-10-2021 1. Mengidentifikasi penyebab gangguan integritas kulit. Fenny


15.00 R/ Pasien mengatakan kulitnya terasa gatal dan disertai
bercak kemerahan diseluruh tubuh setelah minum obat.
2. Mengubah posisi tiap 2 jam, jika tirah baring.
R/ Pasien dapat merubah posisi tidurnya tiap 2 jam
sekali.
16.00 3. Menghindari produk berbahan dasar alcohol.
R/ Pasien mengerti.
4. Menganjurkan minum air yang cukup.
R/ Pasien mengatakan minum sedikit-sedikit, tapi
sering.
5. Memberikan salep/cream : kenalog dan gentamicyn.
R/ Pasien mengoleskan sendiri salep/cream ke seluruh
bagian tubuh.
16.00 6. Mengobservasi tanda-tanda vital.
R/ Vital sign
TD : 120/84 mmHg.
HR : 110x/mnt.
RR : 20x/mnt.
SPO2 : 99%.
Suhu : 36.5oC.

3. 17-10-2021 1. Mengidentifikasi makanan yang disukai. Fenny


15.00 R/ Pasien mengatakan tidak boleh makan makanan yang
manis.
2. Memonitor asupan makanan.
R/ Pasien mengatakan belum bisa makan banyak karena
mulutnya sariawan.
3. Memonitor hasil laboratorium.
R/ Albumin : 3.2
17.00 4. Memberikan diit bubur DM PTAC.
R/ Pasien menghabiskan ¼ porsi.
5. Menyajikan makanan secara menarik.
R/ Pasien tertarik memakan makanan yang telah
disediakan.
6. Menganjurkan posisi duduk, jika mampu.
R/ Pasien bisa duduk.
18.00 7. Melakukan kolaborasi dengan ahli gizi.
R/ Pasien mau menerima.

1. 18-10-2021 1. Mengkaji nyeri pasien. Ayu


09.00 R/
P : pasien mengatakan nyeri diakibatkan bercak luka
kemerahan diseluruh tubuh, bibir bengkak, pecah-
pecah.
Q : pasien mengatakan nyeri seperti terbakar.
R : nyeri dirasakan diseluruh tubuh dan
tenggorokannya.
S : skala nyeri klien 6 (sedang) dari skala 10.
T : pasien mengatakan nyeri dirasakan terus-menerus.
2. Melakukan identifikasi nyeir skala verbal.
R/ Pasien tampak meringis menahan sakit.
12.00 3. Mengobservasi tanda-tanda vital.
R/ Vital sign
TD : 120/74 mmHg.
HR : 110x/mnt.
RR : 20x/mnt.
SPO2 : 99%.
Suhu : 36.5oC.
4. Memberikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi
nyeri.
R/ Pasien bisa melakukan relaksasi nafas dalam.
12.00 5. Memberikan pertimbangan jenis dan sumber nyeri
dalam pemilihan strategi meredakan nyeri.
R/ Pasien mengerti.

2. 18-10-2021 1. Mengidentifikasi penyebab gangguan integritas kulit. Fenny


15.00 R/ Pasien mengatakan kulitnya terasa gatal dan disertai
bercak kemerahan diseluruh tubuh setelah minum obat.
2. Mengubah posisi tiap 2 jam, jika tirah baring.
R/ Pasien dapat merubah posisi tidurnya tiap 2 jam
sekali.
3. Menghindari produk berbahan dasar alcohol.
R/ Pasien mengerti.
16.00 4. Menganjurkan minum air yang cukup.
R/ Pasien mengatakan minum sedikit-sedikit, tapi
sering.
5. Memberikan salep/cream : kenalog dan gentamicyn.
R/ Pasien mengoleskan sendiri salep/cream ke seluruh
bagian tubuh.
16.00 6. Mengobservasi tanda-tanda vital.
R/ Vital sign
TD : 118/74 mmHg.
HR : 112x/mnt.
RR : 20x/mnt.
SPO2 : 99%.
Suhu : 36.5oC.

3. 18-10-2021 1. Mengidentifikasi makanan yang disukai. Fenny


15.00 R/ Pasien mengatakan tidak boleh makan makanan yang
manis.
2. Memonitor asupan makanan.
R/ Pasien mengatakan belum bisa makan banyak karena
mulutnya sariawan.
3. Memonitor hasil laboratorium.
R/ Albumin : 3.2
17.00 4. Memberikan diit bubur DM PTAC.
R/ Pasien menghabiskan ¼ porsi.
5. Menyajikan makanan secara menarik.
R/ Pasien tertarik memakan makanan yang telah
disediakan.
18.00 6. Menganjurkan posisi duduk, jika mampu.
R/ Pasien bisa duduk.
7. Melakukan kolaborasi dengan ahli gizi.
R/ Pasien mau menerima.
F. EVALUASI KEPERAWATAN
Nama Pasien : Tn. Y No. RM : 74xxxx
Umur : 60 th Ruang : Shofa
No. Tgl/Jam Evaluasi Paraf
Dx
1. 17-10-2021 S: Nur J
20.30 1. P : pasien mengatakan nyeri diakibatkan
bercak luka kemerahan diseluruh tubuh.
Q : pasien mengatakan nyeri seperti terbakar.
R : nyeri dirasakan diseluruh tubuh dan
tenggorokannya.
S : skala nyeri pasien 6 (sedang) dari skala 10.
T : pasien mengatakan nyeri dirasakan terus
menerus.

O:
1. Keluhan nyeri dari skala 1 (meningkat)
menjadi skala 3 (sedang).
2. Meringis dari skala 1 (meningkat) menjadi
skala 3 (sedang).
3. Gelisah dari skala 1 (meningkat) menjadi skala
3 (sedang).
TD : 124/74
HR : 113
RR : 20
SPO2 : 99
Suhu : 36.5

A:
Masalah belum teratasi.

P:
Intervensi dilanjutkan.
1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
fruekensi, kualitas dan intensitas nyeri.
2. Identifikasi skala nyeri
3. Identifikasi respon nyeri non verbal.

2. 17-10-2021 S: Nur J
20.30 1. Pasien mengatakan bercak luka kemerahan
belum hilang diseluruh tubuhnya.

O:
1. Ada macula eritemia morbiliformis.
2. Ada erosi minimal seluruh tubuh,
3. Tidak ada bula.
4. Tidak ada pus.
5. Kerusakan jaringan dari skala 1 (meningkat).
6. Kerusakan lapisan kulit dari skala 1
(meningkat.)
7. Nyeri dari skala 1 (meningkat) menjadi skala 3
(sedang).
8. Kemerahan dari skala 1 (meningkat).
9. Perfusi jaringan skala 3 (sedang).

A:
Masalah belum teratasi.

P:
Intervensi dilanjutkan.
1. Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah baring.
2. Hindari produk berbahan dasar alkohol pada
kulit kering.
3. Anjurkan minum air yang cukup.
4. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi.
5. Pemberian salep / cream.

3. 17-10-2021 S: Nur J
20.30 1. Pasien mengatakan masih sulit menelan,
2. Pasien mengatakan nafsu makan menurun
karena sakit tenggorokan, bibir bengkak dan
pecah-pecah.

O:
1. BB: 70 kg.
2. Di mulut terdapat krusta haemoragic.
3. Albumin: 3.2
4. Reflek menelan skala 1 (menurun).
5. Usaha menelan skala 1 (menurun).
6. Penerimaan makanan dari skala 1 (memburuk).
menjadi skala 2 (cukup memburuk).

A:
Masalah belum teratasi.

P:
Intervensi dilanjutkan.
1. Identifikasi makanan yang disukai.
2. Monitor asupan makanan.
3. Berikan makanan tinggi kalori tinggi protein.
4. Sajikan makanan secara menarik dan suhu
yang sesuai.
5. Anjurkan posisi duduk jika mampu.
6. Kolaborasi dengan ahli gizi.

1. 18-10-2021 S: Nur J
20.30 1. P : pasien mengatakan nyeri diakibatkan
bercak luka kemerahan diseluruh tubuh.
Q : pasien mengatakan nyeri seperti terbakar.
R : nyeri dirasakan diseluruh tubuh dan
tenggorokannya.
S : skala nyeri pasien 6 (sedang) dari skala 10.
T : pasien mengatakan nyeri dirasakan terus
menerus.

O:
1. Keluhan nyeri dari skala 1 (meningkat)
menjadi skala 3 (sedang).
2. Meringis dari skala 1 (meningkat) menjadi
skala 3 (sedang).
3. Gelisah dari skala 1 (meningkat) menjadi skala
3 (sedang).
TD : 110/80
HR : 110
RR : 20
SPO2 : 99
Suhu : 36.5

A:
Masalah belum teratasi.

P:
Intervensi dihentikan, pasien pindah ruangan.

2. 18-10-2021 S: Nur J
20.30 1. Pasien mengatakan bercak luka kemerahan
belum hilang diseluruh tubuhnya.

O:
1. Ada macula eritemia morbiliformis.
2. Ada erosi minimal seluruh tubuh,
3. Tidak ada bula.
4. Tidak ada pus.
5. Kerusakan jaringan dari skala 1 (meningkat).
6. Kerusakan lapisan kulit dari skala 1
(meningkat).
7. Nyeri dari skala 1 (meningkat) menjadi skala 3
(sedang).
8. Kemerahan dari skala 1 (meningkat).
9. Perfusi jaringan skala 3 (sedang).

A:
Masalah belum teratasi.

P:
Intervensi dihentikan, pasien pindah ruangan.

3. 18-10-2021 S: Nur J
20.30 1. Pasien mengatakan masih sulit menelan,
2. Pasien mengatakan nafsu makan menurun
karena sakit tenggorokan, bibir bengkak dan
pecah-pecah.

O:
1. BB: 70 kg.
2. Di mulut terdapat krusta haemoragic.
3. Albumin: 3.2
4. Reflek menelan skala 1 (menurun).
5. Usaha menelan skala 1 (menurun).
6. Penerimaan makanan dari skala 1 (memburuk).
menjadi skala 2 (cukup memburuk).

A:
Masalah belum teratasi.

P:
Intervensi dihentikan, pasien pindah ruangan.

Anda mungkin juga menyukai