Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. ANALISIS SITUASI

Hipertensi masih merupakan tantangan besar di Indonesia. Betapa tidak,

hipertensi merupakan kondisi yang sering ditemukan pada pelayanan kesehatan

primer kesehatan. Hal itu merupakan masalah kesehatan dengan prevalensi yang

tinggi, yaitu sebesar 25,8%, sesuai dengan data Riskesdas 2013. Di samping itu,

pengontrolan hipertensi belum adekuat meskipun obat-obatan yang efektif banyak

tersedia.

Peningkatan tekanan darah yang berlangsung dalam jangka waktu lama

(persisten) dapat menimbulkan kerusakan pada ginjal (gagal ginjal), jantung

(penyakit jantung koroner) dan otak (menyebabkan stroke) bila tidak dideteksi

secara dini dan mendapat pengobatan yang memadai. Banyak pasien hipertensi

dengan tekanan darah tidak terkontrol dan jumlahnya terus meningkat. Oleh karena

itu, partisipasi semua pihak, baik dokter dari berbagai bidang peminatan hipertensi,

pemerintah, swasta maupun masyarakat diperlukan agar hipertensi dapat

dikendalikan. Kasus hipertensi terutama di negara berkembang diperkirakan

mengalami kenaikan sekitar 80% pada tahun 2025 dari sejumlah 639 juta kasus di

tahun 2000, diperkirakan menjadi 1,15 milyar kasus di tahun 2025. Indonesia

banyaknya penderita hipertensi diperkirakan 15 juta orang, tetapi hanya 4% yang

merupakan penderita hipertensi terkontrol.

1
2

Besarnya masalah hipertensi dan risiko komplikasi berat yang menyertainya

nampaknya belum disadari oleh sebagian besar masyarakat. Rendahnya kesadaran

masyarakat, perjalanan klinis yang tanpa gejalaserta pengetahuan yang kurang

berperan penting dalam rendahnya kepatuhan pengobatan hipertensi. Diperkirakan

ketidakpatuhan pada pengobatan hipertensi mencapai 30-50%, disebabkan oleh

beberapa faktor seperti pemilihan obat, biaya pengobatan, kurangnya dukungan

keluarga dan sosial, dan kondisi sosio-ekonomi.2

Salah satu cara untuk menanggulangi masalah kesehatan adalah dengan

pencegahan terjadinya hipertensi bagi masyarakat secara umum dan pencegahan

kekambuhan pada penderita hipertensi pada khususnya. Pencegahan hipertensi

perlu dilakukan oleh semua penderita hipertensi agar tidak terjadi peningkatan

tekanan darah yang lebih parah. Tetapi sayangnya tidak semua penderita hipertensi

dapat melakukan pencegahan terhadap penyakitnya. Hal ini disebabkan karena

tingkat pengetahuan penderita hipertensi tentang pencegahan kekambuhan

penyakitnya tidaklah sama.

Kurangnya pengetahuan tentang hipertensi kebanyakan menunjukan kontrol

atau pengendalian tekanan darah yang rendah sedangkan peningkatan pengetahuan

tentang hipertensi secara pararel dapat digunakan untuk pengetahuan dalam upaya

pencegahan kekambuhan hipertensi seperti dalam menjaga pola makan, pola

aktivitas yang baik serta konsumsi obat hipertensi yang teratur.

B. PERMASALAHAN

Data profil Puskesmas 9 Nopember tahun 2017 menunjukkan sebanyak 127

penderita hipertensi datang ke Puskesmas pada bulan Nopember dengan 20 orang


3

(15,75%) merupakan penderita hipertensi rutin berobat dan sisanya 107 orang

merupakan penderita hipertensi yang tidak rutin berobat (84,25%). Dari data

tersebut 30 kasus didapatkan 8 pasien dengan pengobatan lengkap dan dinyatakan

sembuh, 15 pasien dengan pengobatan lengkap dan dinyatakan belum sembuh, 3

pasien pindah pengobatan, 3 pasien meninggal, dan 1 pasien lost to follow up. 8

pasien yang sudah menjalani pengobatan lengkap dinyatakan sembuh melalui

pemeriksaan BTA (-) sedangkan 15 pasien lainnya yang sudah menjalani

pengobatan lengkap dirujuk untuk melakukan pemeriksaan rontgen thorax namun

tidak dilakukan oleh pasien sehingga tidak bisa dinyatakan sembuh.

Berdasarkan survei lapangan dengan melakukan wawancara dan kunjungan

ke rumah-rumah warga serta membagikan kuesioner pada penderita TB paru yang

sudah menyelesaikan pengobatan di wilayah kerja Puskesmas 9 Nopember, dari 23

pasien yang dikunjungi, didapatkan bahwa penderita yang memiliki pengetahuan

yang kurang mengenai kesembuhan TB paru (69,5%) menduduki peringkat 1 pada

skala prioritas masalah, peringkat 2 yaitu penderita memiliki perilaku yang kurang

baik dalam melakukan pemeriksaan rujukan (65,2%), dan peringkat 3 yaitu

penderita yang memiliki pengetahuan dasar mengenai TB paru yang kurang

(56,5%).

Tabel 1.1 Hasil Survei

No Survei Hasil
1. Pengetahuan Penderita Baik Kurang
Pengetehuan dasar mengenai TB paru 43,5% 56,5%
Pengetahuan mengenai kesembuhan TB paru 30,5% 69,5%
2. Perilaku Penderita Ya Tidak
Patuh dalam minum obat 100,0% 0%
Kontrol 86,9% 13,1%
4

Melakukan pemeriksaan rujukan 34,8% 65,2%


3. Sikap Penderita Ya Tidak
Menerima mengkonsumsi obat secara teratur 100,0% 0%
Menghargai bila ada penyuluhan mengenai TB paru 91,3% 8,7%
4. Petugas Ya Tidak
Melakukan pemeriksaan BTA dan rujukan foto rontgen 100% 0%
Melakukan pemeriksaan klinis 100% 0%
Kunjungan ke rumah penderita 100% 0%

Berdasarkan teori didapatkan diagram problem tree sebagai berikut:

Tekanan darah pasien Meningkatnya angka risiko


hipertensi tidak terkontrol komplikasi hipertensi Akibat

Tingginya angka pasien hipertensi


yang tidak rutin melakukan kontrol Permasalahan
nnnn

Faktor Internal: Faktor Eksternal:


1. Petugas yang kurang aktif 1. Kurangnya
2. Ketersediaan obat yang pengetahuan pasien Sebab
terbatas hipertensi
2. Sikap pasien hipertensi
yang kurang baik
3. Perilaku pasien
hipertensi yang kurang
baik
Gambar 1.1 Diagram Problem tree

Berdasarkan hasil survei dan teori, didapatkan 2 permasalahan utama yaitu

ketersediaan obat yang terbatas dan kurangnya pengetahuan penderita hipertensi


5

yang menjadi faktor predisposisi tidak rutinnya kontrol, baik pengetahuan dasar

maupun mengenai risiko komplikasi hipertensi.

C. ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH

Adapun alternatif pemecahan permasalahan yang dapat dilakukan untuk

meningkatkan pengetahuan mengenai penyakit hipertensi, yaitu:

1. Melaksanakan penyuluhan mengenai penyakit hipertensi pada penderita

hipertensi yang tidak rutin melakukan kontrol.

2. Pembagian kartu kontrol kepada pasien hipertensi yang tidak rutin melakukan

kontrol

3. Pendekatan dengan keluarga pasien hipertensi.

D. PRIORITAS PEMECAHAN MASALAH

Penentuan prioritas masalah merupakan hal yang sangat penting, setelah

masalah-masalah kesehatan teridentifikasi. Metode yang dapat dilakukan dalam

penentuan prioritas masalah dibedakan atas 2, yaitu: secara scoring dan non-

scoring. Kedua metode tersebut pelaksanaanya berbeda-beda dan pemilihannya

berdasarkan data yang tersedia.

Dalam kegiatan PBL ini, prioritas pemecahan masalah menggunakan teknik

scoring jenis metode Bryant. Cara ini menggunakan 4 macam kriteria, yaitu: (1)

Community Concern, yakni sejauh mana masyarakat menganggap masalah tersebut

penting. (2) Prevalensi, yakni berapa banyak penduduk yang terkena penyakit

tersebut. (3) Seriousness, yakni sejauh mana dampak yang ditimbulkan penyakit
6

tersebut. (4) Manageability, yakni sejauh mana kita memiliki kemampuan untuk

mengatasinya.

Penentuan prioritas pemecahan masalah dilakukan dalam dua tahap, yaitu

pemberian skoring (1=paling minimal, sampai 5=paling maksimal) oleh masing-

masing tim penilai berdasarkan beberapa kriteriadan dilanjutkan dengan

menjumlahkan skor.Nilai yang tertinggi merupakan masalah urutan pertama, urutan

selanjutnya sesuai besarnya nilai prioritas masalah kesehatan. Metode ini

merupakan metode terbaik dimana pemecahan masalah lebih berkonsentrasi

terhadap pemberdayaan sumber daya masyarakat.

Kriteria dalam penilaian metode Bryant ialah sebagai berikut:

1. P (prevalence) atau besar pemecahan masalah yang menggambarkan jumlah

atau kelompok masyarakat terlibat, makin besar jumlah semakin tinggi skor

yang diberikan

2. S (seriousness) atau keseriusan pemecahan masalah untuk segera

dilaksanakan, misalnya ditinjau dari kepentingannya. Semakin serius

masalah semakin tinggi skor yang diberikan

3. C (community concern)yaitu perhatian atau kepentingan masyarakat dan

pemerintah atau instansi terkait terhadap masalah tersebut. Makin tinggi

tingkat kepentingannya makin tinggi skor yang diberikan

4. M (manageability) yaitu ketersediaan sumber daya (tenaga, dana, sarana

dan metode/cara) yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah. Semakin

mampu sumberdaya yang dibutuhkan, makin tinggi nilai yang diberikan.

1. Perhitungan skor
7

a. P (Prevalence)

P =5- A/O

Keterangan : P = besarnya kelompok atau staf yang terkena masalah,

A = jumlah aset,

O = jumlah pengguna.

Skor: 1 = jumlah individu/masyarakat yang terlibat sangat sedikit

2 = jumlah individu/masyarakat yang terlibat sedikit

3 = jumlah individu/masyarakat yang terlibat cukup besar

4 = jumlah individu/masyarakat yang terlibat besar

5 = jumlah individu/masyarakat yang terlibat sangat besar

b. S (Seriousness)

Skor: 1 = pemecahan masalah tidak berpengaruh

2 = pemecahan masalah berpengaruh ringan

3 = pemecahan masalah cukup berpengaruh

4 = pemecahan masalah berpengaruh besar

5 = pemecahan masalah sangat berpengaruh

c. C (Community concern)

Skor: 1 = tidak mendapat perhatian masyarakat

2 = kurang mendapat perhatian masyarakat

3 = mulai mendapat perhatian masyarakat

4 = mendapat perhatian masyarakat

5 = sangat mendapat perhatian masyarakat

d. M (Manageability)
8

Skor: 1 = tidak dapat dikelola dan diatasi

2 = sulit dikelola dan diatasi

3 = cukup dapat dikelola dan diatasi

4 = dapat dikelola dan diatasi

5 = sangat dapat dikelola dan diatasi

Setelah nilai dari tiap kriteria didapatkan, kemudian nilai dari tiap kriteria

tersebut ditotal dengan cara dikalikan, nilai tertinggi yang akan menjadi prioritas

pemecahan masalah. Dibawah ini adalah hasil penentuan prioritas pemecahan

masalah dengan menggunakan metode scoring teknik Bryant.

Tabel 1.2 Prioritas Pemecahan Masalah

NO PEMECAHAN MASALAH P S C M NILAI PRIORITAS

Melaksanakan penyuluhan mengenai


1 penyakit Tuberkulosis pada 3 4 3 4 144 1
penderita Tuberkulosis.
Melaksanakan konseling mengenai

penyakit Tuberkulosis pada


2. 2 4 3 3 72 2
penderita Tuberkulosis.

Pendekatan dengan keluarga


3. 3 3 2 3 54 3
penderita penyakit Tuberkulosis.

Anda mungkin juga menyukai