Anda di halaman 1dari 26

Pada pagi itu, hari jumat di puskesmas galam rabah (sebuah puskesmas yg berada di

pinggiran kota kabupaten) dr. Boy sedang melayani pasien. Pada saat itu ada 30 pasien yg

antri untuk mendapatkan pelayanan dr. Boy. Tiba-tiba datang sekelompok orang yg datang

membawa tn. Nass dgn tergopoh-gopoh ke puskesmas yg menurut keterangan mereka tn.

Naas baru saja dipukul dgn sebatang besi pada dada kanannya oleh temannya sesama buruh

bangunan. Melihat keadaan tersebut, dr. Boy langsung mempersilahkan/mendahulukan

pelayanan untuk tn. Naas. Dr. Boy segera melakukan pemeriksaan dan mendapatkan

diagnosis telah terjadi ventil pneumothorax pada korban dan terdapat fraktur pada costa ke 5

dan ke 6. Dr. Boy segera memasang wsd dngan menggunakan surflo no. 16/ yg bisa

digunakan pada saat itu di intercosta ke 4 linea axillaris anterior dan tn. Naas merasa nyaman.

Dr. Boy segera meminta untuk tn. Naas dirawat di puskesmas. Karena besoknya/ hari sabtu

dr. Boy harus menghadiri pendidikan kedokteran berkelanjutan maka ia mendelegasikan

perawatan ke dua orang dokter. Yg pertama dr. Gagap (PNS di puskesmas), dr. Lalai

(internship). Pada sabtu malam sekitar jam 9 tn. Naas kembali sesak dan sesaknya semakin

bertambah. Petugas yg sedang bertugas pada hari itu mencoba menghubungi dr. Naas dan dr.

Lalai namun keduanya tdk dapat dihubungi, dan dicari kerumah dinasnya namun keduanya

tdk ada ditempat. Tn. Naas semakin sesak dan pihak keluarga mendesak pihak keluarga

untuk melakukan tindakan. Atas desakan keluarga, maka mantri tak baik melakukan/

memberikan injeksi 1 1/2 amp valium dgn harapan kegelisahan berkurang 5 menit setelah

suntikan nampak tn. Semakin sesak dan akhirnya meninggal dunia. Keluarga tidak menerima

keadaan tersebut dan melaporkannya ke polisi.

1. Apa ada pelanggaran etika, disiplin dan hukum?

2. Apa ini malpraktik? Siapa yg mlakukan malpraktik? Siapa yang harus brtanggung jawab?

3. Berikan penjelasan dan argumentasi kelompok


1. Apa ada pelanggaran etika, disiplin dan hukum?
 Dalam praktik kedokteran, setidaknya ada 3(tiga) norma yang berlaku yakni:
a. Disiplin, sebagai aturan penerapan keilmuan kedokteran;
b. Etika, sebagai aturan penerapan etika kedokteran (Kodeki); dan
c. Hukum, sebagai aturan hukum kedokteran.

 Pelanggaran Etika?
Seorang dokter dapat dibuktikan melanggar etik apabila tidak sesuai dengan
pasal-pasal yang tercantum dalam KODEKI. Dewan kehormatan kode etik dibentuk
oleh organisasi profesi untuk menegakkan etika, pelaksanaan kegiatan profesi serta
menilai pelanggaran profesi yang dapat merugikan masyarakat atau kehidupan
profesionalisme di lingkungannya. <Kode etik kedokteran indonesia.2012.>
Etika profesi adalah kode etik dokter dan kode etik dokter gigi yang disusun
oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI).
Dan dalam Pasal 24 UU Kesehatan < Lihat UU No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan>
a) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi
ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan,
standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.
b) Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur oleh organisasi profesi.
c) Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan,
dan standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri.
Penegakan etika profesi kedokteran ini dilakukan oleh Majelis Kehormatan
Etika Kedokteran (“MKEK”) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 3
Pedoman Organisasi dan Tatalaksana Kerja Majelis Kehormatan Etika Kedokteran
Indonesia, ”Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) ialah salah satu badan
otonom Ikatan Dokter Indonesa (IDI) yang dibentuk secara khusus di tingkat Pusat,
Wilayah dan Cabang untuk menjalankan tugas kemahkamahan profesi, pembinaan
etika profesi dan atau tugas kelembagaan dan ad hoc lainnya dalam tingkatannya
masing-masing.
Dengan demikian, MKEK adalah lembaga penegak etika profesi kedokteran
(kodeki), di samping MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia)
yakni lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang
dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan
kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi (lihat Pasal 1 angka 14 UU Praktik
Kedokteran). Sehingga, dapat disimpulkan bahwa kode etik kedokteran (kodeki)
merupakan amanat dari peraturan perundang-undangan yang penyusunannya
diserahkan kepada organisasi profesi (IDI) sehingga memiliki kekuatan hukum yang
mengikat terhadap setiap anggota pada organisasi profesi tersebut. < R.Y. Disastra
Partnership Law Firm (somelus.wordpress.com)>
 Pelanggaran Disiplin?
Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) Nomor 4 Tahun 2011 tentang
Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi menyatakan dengan tegas, bahwa dokter
dilarang keras melakukan pelanggaran disiplin profesional dokter. Sedianya ada 28
bentuk pelanggaran disiplin dokter yang dimuat dalam peraturan KKI No 4 Tahun
2011 yang harus dihindari seorang dokter.
Secara garis besar pelanggaran kedisplinan itu menyangkut pelaksanaan
praktik kedokteran yang tak kompeten, pengabaian pada tugas dan tanggung jawab
profesional terhadap pasien serta berperilaku tercela yang merusak martabak dan
kehormatan profesi kedokteran. <Bhekti Suryani, Panduan Yuridis Penyelenggaraan
Praktik Kedokteran, Dunia cerdas, 2013, hlm.130.>
Seorang dokter dapat dikatakan melanggar disiplin jika ditemukan salah satu
dari 28 hal yang termasuk pelanggaran disiplin kedokteran, sesuai konsil kedokteran
Indonesia nomor 17/KKI/KEP/VII/2006 tentang pedoman penegakan disiplin profesi
kedokteran bentuk pelanggaran disiplin kedokteran: <Peraturan Konsil Kedokteran
Indonesia.>
1. Melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten.
2. Tidak merujuk pasien kepada dokter atau dokter gigi lain yang memiliki
kompetensi sesuai.
3. Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang tidak memiliki
kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan tersebut.
4. Menyediakan dokter atau dokter gigi pengganti sementara yang tidak memiliki
kompetensi dan kewenangan yang sesuai atau tidak melakukan pemberitahuan
perihal penggantian tersebut.
5. Menjalankan praktik kedokteran dalam konsisi tingkat kesehatan fisik maupun
mental sedemikian rupa sehingga tidak kompeten dan dapat membahayakan
pasien.
6. Dalam penatalaksanaan pasien, melakukan yang seharusnya tidak dilakukan atau
tidak melakukan yang seharusnya dilakukan, sesuai dengan tanggung jawab
profesionalnya, tanpa alasan pembenar atau pemaaf yang sah, sehingga dapat
membahayakan pasien.
7. Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak sesuai dengan
kebutuhan pasien.
8. Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis dan memadai (adequate
information) kepada pasien atau keluarganya dalam melakukan praktik
kedokteran.
9. Melakukan tindakan medik tanpa memperoleh persetujuan dari pasien atau
keluarga dekat atau wali atau pengampunya.
10. Dengan sengaja, tidak membuat atau menyimpan rekam medik, sebagaimana
diatur dalam peraturan perundangundang atau etika profesi.
11. Melakukan perbuatan yang bertujuan untuk menghentikan kehamilan yang tidak
sesuai dengan ketentuan, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan dan etika profesi.
12. Melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien atas permintaan
sendiri dan atau keluarganya.
13. Menjalankan praktik kedokteran dengan menerapkan pengetahuan atau
keterampilan atau teknologi yang belum diterima atau diluar tata cara praktik
kedokteran yang layak.
14. Melakukan penelitian dalam praktik kedokteran dengan menggunakan manusia
sebagai subjek penelitian, tanpa memperoleh persetujuan etik (ethical clearance)
dari lembaga yang diakui pemerintah.
15. Tidak melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, padahal tidak
membahayakan dirinya, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan
mampu melakukannya.
16. Menolak atau menghentikan tindakan pengobatannya terhadap pasien tanpa alasan
yang layak dan sah sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan atau
etika profesi.
17. Membuka rahasia kedokteran, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan atau etika profesi.
18. Membuat keterangan medik yang tidak didasarkan kepada hasil pemeriksaan yang
diketahuinya secara benar atau patut.
19. Turut serta dalam perbuatan yang termasuk tindakan penyiksaan (torture) atau
eksekusi hukuman mati.
20. Meresepkan atau memberikan obat golongan narkotika, psikotropika dan zat
adiktif lainnya (NAPZA) yang tidak sesuai dengan peraturan perundangundangan
dan etika profesi.
21. Melakukan pelecehan seksual, tindakan intimidasi atau tindakan kekerasan
terhadap pasien, ditempat praktik
22. Menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi yang bukan haknya
23. Menerima imbalan sebagai hasil dari merujuk atau meminta pemeriksaan atau
memberikan resep obat/alat kesehatan
24. Mengiklankan kemampuan/ pelayanan atau kelebihan kemampuan/ pelayanan
yang dimiliki, baik lisan ataupun tulisan yang tidak benar atau menyesatkan
25. Ketergantungan pada narkotika, psikotropika, alcohol serta zat adiktif lainnya
26. Berpraktik dengan menggunakan Surat Tanda Registrasi (STR) atau Surat Ijin
Praktek (SIP) dan/atau sertifikat kompetensi tidak sah
27. Ketidakjujuran dalam menentukan jasa medic.
28. Tidak memberikan informasi, dokumen dan alat bukti lainnya yang diperlukan
MKDKI untuk pemeriksaan atas pengaduan dugaan pelanggaran disiplin.
Sehingga berdasarkan kasus, dr. Boy telah melakukan pelanggaran disiplin
dikarenakan dr. Boy tidak merujuk pasien kepada dokter atau dokter gigi lain yang
memiliki kompetensi sesuai dan menyediakan dokter atau dokter gigi pengganti
sementara yang tidak memiliki kompetensi dan kewenangan yang sesuai atau tidak
melakukan pemberitahuan perihal penggantian tersebut.
 Pelanggaran Hukum?
Kodeki Indonesia ditetapkan melalui keputusan Menteri Kesehatan Nomor
434/Men.Kes/SK/X/1983 tentang Kodeki. Suatu kode etik merupakan pedoman
perilaku yang berisi garis-garis besar panduan sikap dan perilaku yang sepatutnya
bagi profesi kedokteran. Kodeki mengatur hubungan hubungan antar manusia yang
mencakupi kewajiban umum seorang dokter, hubungan dokter kepada pasien,
kewajiban dokter terhadap teman sejawat dan kewajiban dokter terhadap dirinya
sendiri. Menurut Endang Kusuma (Endang Kusuma Astuti, 2004:16-24)
pelanggaran terhadap Kodeki ada yang merupakan pelanggaran etik semata,
tetapi ada juga yang sekaligus pelanggaran hukum. Selain tanggung jawab etika
dan profesi, dokter juga mempunyai tanggung jawab di bawah hukum perdata,
tanggung jawab di bawah hukum pidana dan hukum administrasi.
Prinsip yang diatur dalam hukum perdata adalah, barangsiapa yang
menyebabkan kerugian pada orang lain harus mengganti kerugian yang
ditimbulkannya. Dokter dianggap bertanggungjawab dalam bidang hukum perdata
manakala dokter tidak melaksanakan kewajibannya atau tidak menjalankan
prestasi.
Berdasarkan Pasal 39 UUPK, bahwa hubungan hukum dokter dan pasien
adalah hubungan yang berasaskan pada kesepakatan. Kesepakatan yang dimaksud
adalah kesepakatan terapeutik mengenai suatu usaha perawatan, atau biasa kenali
sebagai perjanjian inspaningverbintenis.
Pada hakikatnya, dua bentuk pertanggungjawaban seorang dokter di dalam
bidang hukum perdata, yaitu pertanggungjawaban atas kerugian yang disebabkan
karena wanprestasi (suatu perbuatan tidak memenuhi prestasi atau memenuhi
prestasi secara tidak baik). Selanjutnya, pertanggungjawaban yang disebabkan
karena satu perbuatan melanggar hukum atau yang bertentangan dengan
kewajiban profesi. Dalam hal gugatan berdasarkan wanprestasi pasien terhadap
dokter, disini pasien perlu membuktikan adanya kerugian akibat tidak dipenuhinya
prestasi atau kewajiban dalam hubungan terapeutik (dokter lalai menjalankan
kewajiban). Menurut ilmu hukum perdata, seseorang dapat bertanggungjawab karena
wanprestasi apabila, tidak melakukan apa yang sanggup untuk dilakukan, yaitu
melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat, melakukan dan melaksanakan satu
perjanjian tetapi hasil tidak sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan. Gugatan
membayar ganti rugi atas dasar kesepakatan atau perjanjian hanya dapat dilakukan
bila memang ada perjanjian antara dokter dengan pasien. Perjanjian antara dokter-
pesakit berawal ketika seorang pasien datang ke tempat praktik dokter, yang mana
dokter memenuhi permintaan pasien untuk mengobatinya. Dalam hal ini seorang
dokter berjanji dan mempunyai kewajiban untuk melakukan segala daya dan upaya
untuk melakukan rawatan terhadap pasien. Dalam gugatan wanprestasi hal yang
paling utama adalah, perlu dibuktikan bahwa dokter tersebut telah benar-benar
mengadakan perjanjian dengan pasien sehingga dokter itu melakukan wanprestasi.
Sebab tanpa itu, akan susah bagi pasien untuk melakukan gugatan wanprestasi.
Tanggung jawab pidana timbul jika pertama-tama dapat dibuktikan
telah adanya kesalahan profesional, misalnya kesalahan dalam diagnosa atau
kesalahan dalam cara pengobatan atau pun perawatan. Dari segi hukum,
kelalaian adalah merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
seseorang yang mampu bertanggungjawab. Kesalahan dalam tindak pidana medis
umumnya adalah kesalahan yang dilakukan karena kelalaiannya seorang dokter.
Dalam hukum pidana, penentuan atas kesalahan seseorang didasarkan atas hal-hal
sebagai berikut: Keadaan batin orang yang melakukan, dalam hal ini diisyaratkan
bahwa disadari atau tidak disadari perbuatan pelaku dilarang oleh undang-undang;
dan Adanya hubungan sikap batin antara pelaku dengan perbuatan yang dilakukan.
Kelalaian pada asasnya bukan merupakan satu pelanggaran hukum apabila itu
tidak menimbulkan kerugian. Namun apabila menimbulkan kerugian materi bahkan
juga kerugian fisik seperti kecederaan atau kematian, maka terhadap pembuat
kerugian dapat dikenai hukuman di bawah hukum pidana. Disini terdapat perbedaan
penting yaitu antara tindak pidana biasa dengan tindak pidana medis. Pada tindak
pidana biasa, yang terutama diperhatikan adalah akibatnya, sedangkan pada tindak
pidana medis adalah penyebabnya. Walaupun berakibat fatal, tetapi jika tidak terdapat
unsur kelalaian atau kesalahan maka dokternya tidak dapat dipersalahkan.
Sehingga berdasarkan kasus, terdapat pelanggaran hukum, yang mana telah
dilakukan oleh dr. Gagap dan dr. Lalai dikarenakan tidak melaksanakan kewajibannya
atau tidak menjalankan prestasi.

Pneumothorax Ventil merupakan Menurut SKDI merupakan Kompetensi 3A , yaitu Dokter Mampu
membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan-pemeriksaan tambahan
yang diminta oleh dokter misalnya pemeriksaan lab atau x-ray. Dokter dapat memutuskan dan
memberi terapi pendahuluan, serta merujuk ke spesialis yang relevan (bukan kasus gawat darurat).

Berdasarkan KODEKI, Kewajiban Dokter Terhadap Pasien Pasal 10. Setiap Dokter wajib bersikap tulus
ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini
ia tidak mampu melakukan sesuatu pemeriksaan atau pengobatan , maka atas persetujuan pasien, ia
wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.

Berdasarkan keterangan di atas tersebut maka sudah sesuai apa yang dilakukan oleh Dokter Boy
terhadap pasien tersebut sesuai dengan keterangan diatas untuk terapi pendahuluan, akan tetapi
seharusnya dokter Boy merujuk pasien tersebut ke spesialis untuk selanjutnya.

Paparan KODEKI tentang Pertolongan Kegawatdaruratan Medik Kode Etik Kedokteran Indonesia telah
mengatur khusus tentang kegawat daruratan medik pada pasal 17 dengan dinyatakan sebagai
berikut: “Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu wujud tugas
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.” Dan
salah satu cakupan pasal 17 butir 6 dinyatakan sebagai berikut: “(6) Setiap dokter yang melakukan
pertolongan darurat maka kewajiban etis ini mengalahkan pertimbangan-pertimbangan etika lainnya.
Dalam menjalankan kewajiban etis ini, dokter tersebut harus dilindungi dan dibela oleh teman
sejawat, mitra bestari dan/atau organisasi profesi, pemerintah dan/atau masyarakat.”
Dalam penjelasan pasal 17 juga dinyatakan sebagai berikut: “Pertolongan darurat yang dimaksud
pada pasal di atas adalah pertolongan yang secara ilmu kedokteran harus segera dilakukan untuk
mencegah kematian, kecacatan, atau penderitaan yang berat pada seseorang. Seorang dokter wajib
memberikan pertolongan keadaan gawat darurat atas dasar kemanusiaan ketika keadaan
memungkinkan. Walau tidak saat bertugas, seorang dokter wajib memberikan pertolongan darurat
kepada siapa pun yang sakit mendadak, kecelakaan atau keadaan bencana. Rasa yakin dokter akan
ada orang lain yang bersedia dan lebih mampu melakukan pertolongan darurat seyogyanya dilakukan
secara cermat sesuai dengan keutamaan profesi, yakni untuk menjunjung sikap dan rasa ingin
berkorban profesi untuk kepentingan pertolongan darurat termaksud.

”Lalu pada penjelasan cakupan pasal 17 butir 3 dinyatakan sebagai berikut: “Kewajiban pada pasal di
atas ini mengamanahkan kepada dokter untuk selalu bersedia melakukan pertolongan darurat
kapanpun dan di manapun. Baik di dalam masa dinas atau tidak.”

dokter harus menyadari ia memiliki kesadaran tanggungjawab moral yang besar untuk melakukan
pertolongan kegawatdaruratan. Bahkan pada situasi ia tidak berdinas saja, tanggung jawab moral itu
melekat,

Berdasarkan hal diatas, dokter gagap dan dokter lalai telah melanggar cakupan pasal 17 diman
dokter harus melakukan pertolongan darurat kapanpun dan di manapun.

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, pasal
51a menyebutkan bahwa dokter harus “memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi
dan standar prosedur operasional…”.

Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia nomor 4 tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan
Dokter Gigi, dalam pasal 3 ayat 2c disebutkan bahwa “mendelegasikan suatu pekerjaan kepada
tenaga kesehatan tertentu yang tidak memiliki kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan
tersebut” adalah pelanggaran displin profesional dokter.

pasal 1354 KUHPerdata : “jika seseorang dengan sukarela, dengan tidak mendapat perintah untuk itu
mewakili urusan orang lain dengan atau tanpa sepengetahuan orang itu, maka ia secara diam-diam
mengikatkan dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan tersebut sehingga orang yang
diwakili kepentingan dapat mengerjakan sendiri urusan itu…”.

Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter yang Diduga Melakukan Medikal
Malpraktek (Dr. H. Syahrul Machmud, S.H., M.H.) (hal. 23-24):

“Malpraktek adalah, setiap sikap tindak yang salah, kekurangan keterampilan dalam ukuran tingkat
yang tidak wajar. Istilah ini umumnya dipergunakan terhadap sikap tindak dari para dokter, pengacara
dan akuntan. Kegagalan untuk memberikan pelayanan profesional dan melakukan pada ukuran
tingkat keterampilan dan kepandaian yang wajar di dalam masyarakatnya oleh teman sejawat rata-
rata dari profesi itu, sehingga mengakibatkan luka, kehilangan atau kerugian pada penerima
pelayanan tersebut yang cenderung menaruh kepercayaan terhadap mereka itu. Termasuk di
dalamnya setiap sikap tindak profesional yang salah, kekurangan keterampilan yang tidak wajar atau
kurang kehati-hatian atau kewajiban hukum, praktek buruk atau ilegal atau sikap immoral.”
Pasal 11 ayat (1) huruf b UU Tenaga Kesehatan:

(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
dan Peraturan-peraturan perundang-undangan lain, maka terhadap tenaga kesehatan dapat
dilakukan tindakan-tindakan administratip dalam hal sebagai berikut:

a. melalaikan kewajiban;
b. melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat olh seorang tenaga kesehatan,
baik mengingat sumpah jabatannya maupun mengingat sumpah sebagai tenaga kesehatan;
c. mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh tenaga kesehatan;
d. melanggar sesuatu ketentuan menurut atau berdasarkan undang-undang ini.

Dugaan adanya malpraktik kedokteran harus ditelusuri dan dianalisis terlebih dahulu untuk dapat
dipastikan ada atau tidaknya malpraktik, kecuali apabila faktanya sudah membuktikan bahwa telah
terdapat kelalaian. Pembuktiannya dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: 1

1. Cara langsung

Pembuktian suatu tindakan tenaga medis dianggap lalai apabila telah memenuhi tolak ukur 4D ,
yaitu:

a) Duty of Care (kewajiban): kewajiban profesi, dan kewajiban akibat kontrak dengan pasien. Dalam
hubungan perjanjian tenaga kesehatan dengan pasien, tenaga kesehatan haruslah bertindak
berdasarkan :  Adanya indikasi medis  Bertindak secara hati-hati dan teliti  Bekerja sesuai standar
profesi  Sudah ada informed concent

b) Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban) Berarti pelanggaran kewajiban tersebut,


sehinga mengakibatkan timbulnya kerugian kepada pasien artinya tidak memenuhinya standard
profesi medik. Penentuan bahwa adanya penyimpangan dari standard profesi medik adalah sesuatu
yang harus didasarkan atas fakta-fakta secara kasuistis yang harus dipertimbangkan oleh para ahli
dan saksi ahli.

c) Damage (kerugian) Berarti kerugian yang diderita pasien itu harus berwujud dalam bentuk fisik,
financial, emosional atau berbagai kategori kerugian lainnya. Di dalam kepustakaan dibedakan antara
:  Kerugian umum (general damages), termasuk kehilangan pendapatan yang akan diterima,
kesakitan dan penderitaan (loss of future earnings and pain and suffering)

 Kerugian khusus (special damages), kerugian financial nyata yang harus dikeluarkan seperti biaya
pengobatan.

d) Direct Causation (penyebab langsung) Berarti bahwa harus ada kaitan kausal antara tindakan yang
dilakukan dan kerugian yang diderita. Penggugat harus membuktikan bahwa terdapat suatu “breach
of duty” dan bahwa penyimpangan itu merupakan sebab (proximite cause) dari kerugian/ luka yang
diderita pasein. Hal ini adalah sesuatu yang tidak mudah dilakukan oleh pasien
2. Apa ini malpraktik? Siapa yg mlakukan malpraktik? Siapa yg harus brtanggung
jawab?

 Kata kelalaian medis tidak terdapat dalam UU Praktik kedokteran. Namun demikian
istilah kelalaian dikenal dalam UU Kesehatan dalam Pasal 29 disebutkan “Dalam hal
tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya,
kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi”. Kemudian
pada Pasal 58 ayat 1 UU Kesehatan “Setiap orang berhak menuntut ganti rugi
terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan atau penyelenggara kesehatan yang
menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan
yang diterimanya”.
Kelalaian dari kacamata hukum pidana adalah bagian dari kesalahan termasuk
juga kesengajaan yang dapat membuat seseorang karena perbuatan sengaja maupun
lalai menyebabkan luka bahkan matinya orang lain akan dipidana sebagaimana
tersebut dalam Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP. Dari sisi hukum perdata, manakala
seseorang karena kelalaiannya menyebabkan kerugian kepada orang lain, baik itu
kerugian materil maupun kerugian fisik, sepanjang kerugian itu dapat dinilai dengan
uang, maka orang lain yang menyebabkan kerugian tersebut dapat digugat untuk
membayar ganti rugi.
 Hukum medis berkaitan erat dengan bidang hukum lain, yaitu hukum perdata, hukum
administrasi dan hukum pidana. Oleh karena itu, semua kelalaian dalam bidang medis
juga berkaitan dengan ketiga bidang hukum tersebut di atas. Di Indonesia, beberapa
sarjana membedakan kelalaian ke dalam dua bentuk, yaitu kelalaian medis etik,
kelalaian medis yuridis (hukum perdata, hukum pidana, dan hukum administrasi)
(Soedjatmiko, 2001:3). Kelalaian medis etis adalah dokter melakukan suatu tindakan
yang bertentangan dengan etika kedokteran. Sedangkan etika kedokteran adalah
sebagaimana tercantum di dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (yang selanjutnya
akan disebut Kodeki) yang memuat atau merupakan seperangkat standar etika,
prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk dokter (Soedjatmiko, 2001:4).
Kelalaian medis etik ini merupakan dampak negatif dari kemajuan teknologi
kedokteran. Yaitu Kemajuan yang mestinya akan memberikan kemudahan dan
kenyamanan bagi pasien, dan membantu dokter untuk mempermudah untuk
menentukan diagnosa dengan lebih cepat, lebih tepat dan akurat sehingga rehabilitasi
pasien bisa lebih cepat, tapi ternyata memberikan efek samping yang tidak diinginkan.
Efek samping maupun dampak yang negatif dari kemajuan tersebut adalah: Pertama,
Komunikasi antara dokter dengan pasien semakin berkurang, Kedua, Etika
kedokteran terkontaminasi dengan kepentingan bisnis, Ketiga, Harga pelayanan medis
semakin tinggi, dan sebagainya (Ngesti Lestari, 2001:53).
Selain itu, kelalaian medis yuridis dapat dibagi menjadi tiga, yaitu kelalaian
dari sisi hukum perdata, dari sisi hukum administrasi dan sisi hukum pidana. Definisi
kelalaian dari sisi hukum perdata, hukum administrasi dan hukum pidana adalah tidak
sama, dan masing-masing mempunyai konsekuensi yuridis yang berbeda. Secara
umum kelalaian adalah satu pengertian normatif, dimana Jonkers menyebutkan 4
unsur kesalahan (kelalaian) sebagai tolok ukur dalam hukum pidana, Pertama,
Bertentangan dengan hukum; Kedua, Akibatnya dapat dibayangkan; Ketiga,
Akibatnya dapat dihindarkan; Keempat, Sehingga perbuatannya dapat dipersalahkan
kepadanya.

3. Berikan pnjelasan dan argumentasi kelompok


Berbicara mengenai malpraktik atau malpractice berasal dari kata “mal” yang berarti buruk.

Sedang kata “practice” berarti suatu tindakan atau praktik. Dengan demikian secara harfiah

dapat diartikan sebagai suatu tindakan medik “buruk” yang dilakukan dokter dalam

hubungannya dengan pasien. Di Indonesia, istilah malpraktik yang sudah sangat dikenal oleh

para tenaga kesehatan sebenarnya hanyalah merupakan suatu bentuk medical malpractice,

yaitu medical negligence yang dalam bahasa Indonesia disebut kelalaian medik. Menurut

Gonzales dalam bukunya Legal Medical Pathology and Toxicology menyebutkan bahwa

malpractice is the term applied to the wrongful or improper practice of medicine, which

result in injury to the patient.

Malpraktik menurut Azrul Azwar memiliki beberapa arti. Pertama, malpraktik adalah setiap

kesalahan profesional yang diperbuat oleh dokter, oleh karena pada waktu melakukan pe-

kerjaan profesionalnya, tidak memeriksa, tidak menilai, tidak berbuat atau meninggalkan hal-

hal yang diperiksa, dinilai, diperbuat atau di lakukan oleh dokter pada umumnya, di dalam

situasi dan kondisi yang sama.

Kedua, malpraktik adalah setiap kesalahan yang diperbuat oleh dokter, oleh karena

melakukan pekerjaan kedokteran di bawah standar yang sebenarnya secara rata-rata dan

masuk akal, dapat di lakukan oleh setiap dokter dalam siatuasi atau tempat yang sama.

Ketiga, malpraktik adalah setiap kesalahan profesional diperbuat oleh seorang dokter,

yang di dalamnya termasuk kesalahan karena perbuatan-perbuatan yang tidak masuk akal

serta kesalahan karena keterampilan ataupun kesetiaan yang kurang dalam menyelenggarakan

kewajiban atau dan atau pun kepercayaan profesional yang dimilikinya.


Dalam hal ini dr Boy artinya telah melakukan tindakan malpraktik karena tidak segera

merujuk pasien untuk ditatalaksanai lebih lanjut oleh dokter yang lebih ahli. Dr lalai dan dr

gagap juga telah melakukan tindakan malpraktik karena telah meninggalkann tanggung jawab

yang dilimpahkan padanya oleh dr boy dengan tidak adanya respon saat pasien gawat. Mantri

juga telah melakukan malpraktik karena melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak

dilakukan dengan memberikan valium pada pasien sesak yang malah menyebabkan depresi

napas hingga pasien meninggal.

Menurut Munir Fuady, malpraktik memiliki pengertian yaitu setiap tindakan medis

yang dilakukan dokter atau orang-orang di bawah pengwasannya, atau penyedia jasa

kesehatan yang dilakukan terhadap pasiennya, baik dalam hal diagnosis, terapeutik dan

manajemen penyakit yang dilakukan secara melanggar hukum, kepatutan, kesusilaandan

prinsip-prinsip profesional baik dilakukan dengan sengaja atau karena kurang hati-hati yang

menyebabkan salah tindak rasa sakit, luka, cacat, kerusakan tubuh, kematian dan kerugian

lainnya yang menyebabkan dokter atau perawat harus bertanggungjawab baik secara adminis-

tratif, perdata maupun pidana.

Perbuatan melanggar hukum (onrecht- matige daad) dalam perkembangannya diper-

luas menjadi 4 (empat) kriteria. Pertama, bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;

atau kedua, melawan hukum hak subjektif orang lain; atau ketiga, melawan kaidah tata susila;

atau keempat bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan sikap hati-hati yang seharusnya

dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta

benda orang lain.

Selain itu, terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan seorang tenaga kesehatan

melakukan tindakan malpraktik medik, yaitu apabila tidak melakukan tindakan medis sesuai

dengan di bawah ini, yaitu:


a. Standar Profesi Kedokteran: Dalam profesi kedokteran, ada tiga hal yang harus ada

dalam standar profesinya, yaitu kewenangan, kemampuan rata-rata dan ketelitian

umum.

b. Standar Prosedur Operasional (SOP): SOP adalah suatu perangkat instruksi/ langkah-

langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu.

c. Informed Consent: Substansi informed consent adalah memberikan informasi tentang

metode dan jenis rawatan yang dilakukan terhadap pasien, termasuk peluang

kesembuhan dan resiko yang akan dialami oleh pasien.

Masalah tanggungjawab dokter dalam kasus malpraktik medik, ada relevansi dengan

perbuatan melanggar hukum Pasal 1366 dan 1364 K.U.H Perdata, yaitu

a. pasien harus mengalami suatu kerugian;

b. ada kesalahan atau kelalaian (disamping perseorangan, rumah sakit juga dapat

bertanggungjawab atas kesalahan atau kelalaian pegawainya);

c. ada hubungan kausal antara kerugian dan kesalahan; dan keempat, perbuatan itu

melanggar hukum.

Dikasus ini pasien telah mengalami kerugian karena telah terjadi kematian. Pada kasus ini

juga didapatkan kelalaian dan kesalahan yang dilakukan dokter dan mantri berupa..

Dalam sistem hukum Indonesia yang salah satu komponennya merupakan satu hukum

substantif, diantara hukum positif yang berlaku tidak dikenal adanya istilah malpraktik, baik

dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan maupun dalam Undang-

Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Memperhatikan Undang-Undang No

23 Tahun 1992 khususnya pada Pasal 54 dan 55 disebut sebagai kesalahan atau kelalaian

dokter. Sedangkan pada Undang-Undang No. 29 Tahun 2004, khususnya pada Pasal 84

dikatakan sebagai pelanggaran disiplin dokter.


Pegangan pokok yang dipakai untuk menetapkan adanya malpraktik cukup jelas

yakni adanya kesalahan profesional yang dilakukan oleh seorang dokter pada waktu

melakukan perawatan dan ada pihak lain yang dirugikan atas tindakan dokter

tersebut.

Menurut Azrul Azwar yang mengutip pendapat dari Benard Knight bahwa dalam

praktik sehari-hari ada tiga kriteria untuk menentukan adanya kesalahan profesional.

-Pertama, adanya kewajiban dokter menyelenggarakan pelayanan kedokteran

bagi pasiennya, titik tolak dari kemungkinan terjadinya kesalahan profesional yang

menimbulkan kerugian bagi orang lain tersebut adalah adanya kewajiban pada diri

dokter melakukan tindakan medik atau pelaya- nan kedokteran bagi pasiennya,

kewajiban yang dimaksud disini, yang tunduk pada hukum perjanjian, maupun

mempunyai beberapa ciri khusus danjika disederhanakan dapat dibeda- kan atas

professional ditues, doctor patient rela-tionship, informed consent, professional medi-

cal standard, lingkup profesional yang dimiliki tersebut hanya untuk upaya yang akan

di laksanakan saja, bukan untuk hasil akhir.

----Kedua, adanya pelanggaran kewajiban dokter terhadap pasiennya, sesuai dengan

pe- ngertian kewajiban sebagaimana dikemukakan di atasmaka pelanggaran yang

dimaksud disini hanyalah yang sesuai dengan kelima ciri ke- wajiban profesional

seorang dokter, misalnya, tidak melakukan kewajiban profesional seorang dokter

sebagaimana yang lazimnya dilakukan oleh setiap dokter; telah terjadi kontra tera-

petik, tetapi dokter tidak melakukan kewajiban profesionalnya, sebagaimana yang

lazim dilaku- kan oleh seorang dokter pada setiap pelayanan kesehatan; tidak meminta

persetujuan pasien sebelum melakukan suatu tindakan medik dan atau pelayanan

kedokteran; tidak melaksana- kan tindakan medik atau pelayanan kedokteran sesuai
dengan standar profesi; dan menjanjikan hasil tindakan medik pelayanan kedokteran

yang kenyataannya tidak sesuai dengan perjanjian.

--Ketiga, sebagai akibat pelanggaran kewajiban timbul kerugian terhadap pasien,

kerugian yang dimaksud disini semata-mata terjadi karena adanya kesalahan

profesional, bukan karena resiko suatu tindakan medik.

Kelalaian atau negligence menurut Keeton Medical Negligence – The Standard of

Care, 1980 adalah suatu sikap tindak yang oleh masyarakat dianggap menimbulkan bahaya

secara tidak wajar dan diklasifikasikan demikian karena orang itu bisa membayangkan atau

seharusnya membayangkan bahwa tindakan itu bisa mengakibatkan orang lain harus

menanggung risiko, dan bahwa sifat dari risiko itu sedemikian beratnya, sehingga seharusnya

ia bertindak dengan cara yang lebih hati-hati.

‘ya bahwa pada kasus ini telah terjadi tindakan malpraktik yang dilakukan oleh mantri, yang

memberikan valium 1 ½ ampul, dengan 10mg/2ml 1 ampulnya. Penggunaan Valium

memiliki efek yang kuat pada otak dan tubuh. Efek ini bisa permanen dan, dalam beberapa

kasus, mengancam jiwa. Efek Valium meliputi: Hilang ingatan, halusinasi, sulit bernafas,

koma, serangan jantung. Valium seharusnya diberikan dengan indikasi kecemasan,

ketegangan, antikonvulsan, cerebral palsy, tetanus, dan efek sedasi prosedural dalam

gastroskopi, cardioversi, esofagoskopi. Dan dikontraindikasikan pada seseorang yang

hipersensitif terhadap benzodiazepin, penyakit paru obstruktif kronik, gagal napas, inufisiensi

pernapasan berat, inufisiensi hati berat, sleep apnoea syndrome, miestenia gravis.

Pada kasus ini telah terjadi kelalaian dan malpraktik yang dilakukan oleh mantri karena

memberikan obat injeksi valium yang kontraindikasi pada seseorang dengan inufisiensi

pernapasan berat

Kelalaian medis adalah suatu keadaan dimana seseorang bertindak kurang hati-hati

menurut ukuran wajar. Karena tidak melakukan apa yang seharusnya seseorang itu. Kelalaian
mencakup 2 (dua) hal, yakni: Pertama, karena melakukan sesuatu yang seharusnya tidak

dilakukan; atau Kedua, karena tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukannya.

d. Tolok Ukur/Standar Kelalaian Medis

Seorang dokter dapat dikatakan mempunyai kesalahan apabila ia pada saat melakukan

perbuatan itu dilihat dari segi masyarakat dapat dicela karenanya. Artinya ialah, mengapa ia

melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat itu, padahal ia mampu untuk mengetahui

perbuatan tersebut, dan oleh karena itu seharusnya dapat menghindari untuk berbuat

demikian. Apabila seorang dokter melakukannya, ini berarti dirinya memang sengaja

melakukan perbuatan tersebut. Karena itu celaannya menjadi: mengapa dokter melakukan

perbuatan yang ia mengerti akan berakibat merugikan masyarakat. Dokter tersebut

mengetahui kalau perbuatannya itu dilarang.

Kealpaan/kelalaian terjadi apabila seseorang melakukan perbuatan itu karena ia alpa/lalai

terhadap kewajiban yang menurut tatanan kehidupan masyarakat yang berlaku

seharusnya/sepatutnya tidak dilaku-kan olehnya. Karena itu mengapa ia tidak melakukan

kewajiban-kewajiban yang seharusnya/sepatutnya dilakukan, sehingga masyarakat tidak

dirugikan.

Dokter juga dapat dituntut atas dasar kelalaian, sehingga menimbulkan kerugian.

Gugatan atas dasar kelalaian ini diatur dalam Pasal 1366 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, yang bunyinya sebagai berikut, “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk

kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan

karena kelalaian atau kurang hati-hatinya”.

d. Tanggung Jawab Pidana

Kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan dapat terjadi di bidang hukum pidana, diatur

antara lain dalam Pasal 263, 267, 294 ayat (2), 299, 304, 322, 344, 347, 348, 349, 351, 359,

360, 361, 531 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Mengenai criminal malpractice yang
berupa kecerobohan/kelalaian banyak kasus yang muncul di Rumah Sakit. Dalam literatur

hukum kedokteran negara Anglo-Saxon antara lain dari Taylor dikatakan bahwa seorang

dokter baru dapat dipersalahkan dan digugat menurut hukum apabila dia sudah memenuhi

syarat 4-D, yaitu:

a. duty (kewajiban),

b. derelictions of that duty (penyimpangan kewajiban),

c. damage (kerugian),

d. direct causal relationship (berkaitan langsung).

Duty atau kewajiban bisa berdasarkan perjanjian (ius contractu) atau menurut undang-

undang (ius delicto). Juga adalah kewajiban dokter untuk bekerja berdasarkan standar profesi.

Kini adalah kewajiban dokter pula untuk memperoleh informed consent, dalam arti wajib

memberikan informasi yang cukup dan mengerti sebelum mengambil tindakannya. Informasi

itu mencakup antara lain: risiko yang melekat pada tindakan, kemungkinan timbul efek

sampingan, alternatif lain jika ada, apa akibat jika tidak dilakukan dan sebagainya. Peraturan

tentang persetujuan tindakan medis sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No.

585 Tahun 1989.

Penentuan bahwa adanya penyimpangan dari standar profesi medis adalah sesuatu

yang didasarkan atas fakta-fakta secara kasuistis yang harus dipertimbangkan oleh para ahli

dan saksi ahli. Namun sering kali pasien mencampuradukkan antara akibat dan kelalaian.

Bahwa timbul akibat negatif atau keadaan pasien yang tidak bertambah baik belum

membuktikan adanya kelalaian. Kelalaian itu harus dibuktikan dengan jelas. Harus

dibuktikan dahulu bahwa dokter itu telah melakukan ‘breach of duty’.

Dalam terminologi bahasa, kealpaan mengandung arti kekeliruan, yaitu bahwa sikap batin

orang yang menimbulkan keadaan yang dilarang itu bukannya menentang larangan tersebut,
dia bukannya menghendaki atau menyetujui timbulnya hal yang terlarang itu, tetapi karena

kesalahannya, kekeliruannya dalam batin sewaktu berbuat, sehingga menimbulkan keadaan

yang dilarang itu, karena ia kurang mengindahkan larangan itu. Dari perbuatannya itu ia telah

alpa, lalai atau teledor. Ilmu pengetahuan hukum menyebutkan bahwa kealpaan mengandung

dua syarat: tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana yang diharuskan oleh hukum, dan

tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana yang diharuskan oleh hukum.

a. Yang dimaksud dengan tidak mengadakan penduga-duga dapat terjadi karena 2 (dua)

kemungkinan:

i. pelaku delik berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi karena perbuatannya

itu. Padahal ternyata bahwa pendapatnya itu kemudian ternyata tidak benar.

Dalam hal demikian telah terjadi kealpaan yang disadari – bewuste culpa.

Pelaku delik tidak mengadakan penduga-duga lebih dulu itu terletak dalam

kesalahan pikir atau pandang yang seharusnya dapat ia tepiskan.

Kemungkinan ini diinsaf, namun tetap dilakukan juga karena ia percaya

akan kebenaran pandangan atau pikirannya;

ii. pelaku delik sama sekali tidak mempunyai pikiran bahwa akibat yang

dilarang itu mungkin dapat terjadi karena perbuatannya. Dalam hal ini telah

terjadi kealpaan yang tidak disadari -onbewuste culpa-. Dalam hal ini tidak

mengadakan penduga-duga karena tidak adanya pikiran sama sekali bahwa

akan terjadi aki-bat yang fatal karena perbuatannya itu.

b. Adapun yang dimaksud dengan tidak mengadakan penghati-hati ialah bahwa pelaku

delik tidak mengadakan penelitian serta usaha-usaha pencegahan yang mungkin dapat

menjadi kenyataan apabila dalam kondisi tertentu, atau dalam caranya melakukan

perbuatan itu akibat tersebut dapat terjadi. Dari uraian tersebut di atas dapat

disimpulkan, bahwa kealpaan atau kelalaian hakikatnya mengandung tiga unsur, yaitu:
1. Pelaku berbuat (atau tidak berbuat), lain daripada apa yang seharusnya ia

perbuat (atau tidak berbuat), sehingga dengan berbuat demikian (atau tidak

berbuat) telah melakukan perbuatan melawan hukum.

2. Pelaku telah berbuat lalai, lengah, atau kurang berpikir panjang.

3. Peralat dalam tubuh pasien, sehingga pasien mengalami infeksi sehingga

mengakibatkan pasien tersebut menderita dan dapat pula karena

komplikasinya menyebabkan pasien tersebut meninggal dunia.

Berdasarkan hal diatas maka dapat disimpulkan bahwa telah terjadi kelalaian yang dilakukan

mantri.

Dokter tidak saja bertanggung jawab atas kelalaian yang dilakukannya tetapi juga atas

kelalaian yang dilakukan oleh orang-orang yang menjadi tanggungannya. Contoh, seorang

dokter ahli bedah bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh perawat yang

membantu dalam pelaksanaan operasi di kamar bedah. Tanggung jawab dapat bersifat

individual atau korporasi. Selain itu dapat pula dialihkan kepada pihak lain berdasarkan

principle of vicarious liability. Dengan prinsip ini maka rumah sakit dapat bertanggung gugat

atas kesalahan yang dilakukan dokter-dokternya, asalkan dapat dibuktikan bahwa tindakan

dokter itu dalam rangka melaksanakan kewajiban rumah sakit.

Damage berarti kerugian yang diderita pasien itu harus berwujud dalam bentuk fisik,

finansial, emosional atau berbagai kategori kerugian lain-nya, di dalam kepustakaan

dibedakan menjadi kerugian umum (general damages) termasuk kehilangan pendapatan yang

akan diterima, kesakitan dan penderitaan dan kerugian khusus (special damages) kerugian

finansial nyata yang harus dikeluarkan, seperti biaya pengobatan, gaji yang tidak diterima.

Dari segi pidana sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Pidana Indonesia

dan dari sekian banyak pasal-pasal pidana yang menjerat perbuatan malpraktek yang

dilakukan oleh dokter terhadap pasiennya dapat dipidana, sebab jika suatu perbuatan secara
formal dan material dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan tercela, maka perbuatan

tersebut dapat dipidana (merupakan suatu delik), 8 karena menurut kode etik kedokteran

malpraktek merupakan perbuatan tercela. Sedangkan menurut norma hukum pidana

sebagaimana diatur dalam KUHP malpraktek dapat dipidana berdasarkan Pasal 359 dan 360

KUHP. Pasal 359 terse-but menyatakan bahwa: “Barangsiapa karena salahnya menyebabkan

matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya

satu tahun”.

Dari bunyi pasal ini kita bisa mengambil satu pengertian bahwa matinya orang ini

sama sekali tidak dimaksud dan bukan merupakan tujuan dari pelaku tindak pidana, akan

tetapi kematian tersebut hanya merupakan akibat dari kurang hati-hatinya atau lalainya

pelaku (culpa delict). Hal ini bisa terjadi ketika seorang dokter melakukan pembedahan

terhadap seorang pasien, tapi ternyata selesai pasien dibedah ada benda yang tertinggal di

dalam tubuh pasien (bisa perban atau alat pemotong). Ini menimbulkan kematian pasien.

Akan tetapi tertinggalnya perban atau alat pemotong dalam tubuh pasien itu dilakukan tidak

dengan sengaja, akan tetapi karena kelalaiannya atau karena kekurang hati-hatiannya dari

dokter tersebut. Sebab apabila tertinggalnya perban atau alat potong itu dilakukan dengan

sengaja, maka dokter itu bisa dijerat dengan pasal 338 KUHP (pembunuhan biasa) atau pasal

340 KUHP (pembunuhan yang direncanakan). Pasal 360 ayat (1) mengatur bahwa:

“Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat dihukum dengan hukuman

penjara selamalamanya lima tahun atau hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun”.

Dalam Pasal 360 ayat (2) diatur pula bahwa: “Barangsiapa karena kesalahannya

menyebabkan orang luka sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau

tidak dapat menjalankan jabatannya atau pekerjaannya sementara, dihukum dengan hukuman
penjara selama-lamanya sembilan bulan atau hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan

atau hukuman denda setinggi-tingginya

Rumusan pasal 360 ayat (1) dan (2) ini, hampir sama dengan rumusan pasal 359. Bedanya

terletak pada akibat dari perbuatan pelaku. Kalau pada pasal 359 akibatnya adalah meninggal

dunia, tapi dalam pasal 360 ayat (1) akibatnya adalah orang (pasien) luka berat, sedangkan

dalam ayat (2) akibatnya adalah luka sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit

sementara atau tidak dapat menjalankan jabatannya atau pekerjaannya sementara. Delik Pasal

359 KUHP dan Pasal 360 ayat (1) dan ayat (2) KUHP yang berwenang melakukan

penyidikannya adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sebagaimana diatur dalam

KUHAP: “Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia”. Dari uraian tersebut di

atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pertanggungjawaban dokter terhadap pasien dalam

hal terjadi malpraktek oleh dokter bisa berupa tanggung jawab hukum perdata dan pidana.

Bahwa pertanggungjawaban dokter terhadap pasien dalam hal terjadi malpraktek yang

diakibatkan oleh kesalahan/kelalaian/kealpaan dokter bisa berupa tanggung jawab hukum

perdata dan pidana. Tindakan dokter yang dapat dikategorikan karena

kesalahan/kelalaian/kealpaan antara lain: yaitu kesalahan/kelalaian/kealpaan yang tidak

melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, melakukan apa yang menurut

kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat, melakukan apa yang menurut

kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna dan melakukan apa yang menurut

kesepakatan tidak seharusnya dilakukan. Kesalahan/kelalaian/kealpaan dokter dapat terjadi di

bidang hukum perdata dan pidana. Dalam hukum perdata kesalahan/kelalaian/kealpaan yang

menimbulkan malpraktik dilakukan oleh dokter bisa digugat perdata berdasarkan Pasal 1365

KUH Perdata yaitu karena melakukan perbuatan melawan hukum atau onrechtsmatige daad.

Sedangkan kesalahan/kelalaian/kealpaan yang menimbulkan malpraktek dilakukan oleh

dokter apabila menimbulkan luka dapat dituntut dengan Pasal 360 ayat (1) KUHP, yaitu
“Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain mendapat luka-luka,

diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu

tahun”. Apabila malpraktik itu menimbulkan kematian, maka dapat dituntut berdasarkan

Pasal 359 KUHP, yaitu: “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya

orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan

paling lama satu tahun”.

principle of vicarius liability.

Tanggungjawab Institusional/ Korporasi Pasal 46 UU 44/2009 ttg RS  Rumah Sakit

bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian

yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit.

Tanggung Jawab terhadap bawahan di RS (Respondeat Superior Liability)

2. Tanggung Jawab terhadap Tenaga Medis di RS (Captain On The Ship Liability)

3. Tanggung Jawab terhadap Tenaga Kesehatan di RS (Borrowed Servant Liabilty)

4. Tanggung Jawab terhadap Organisasi/Kelembagaan (Corporate / Hospital Liability)

Pasal 1365 BW

 Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain,

mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu untuk menggantinya.

 Pasal 1366 BW

 disebabkan karena kelalaian (culpa)

 Pasal 1367 BW

 disebabkan akibat respondeat superior

Pasal 58 UU No. 36/2009 ttg Kesehatan


Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau

penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam

pelayanan kesehatan yang diterimanya

Pelimpahan wewenang adalah proses pengalihan tugas kepada orang lain yang sah

atau terlegitimasi (menurut mekanisme tertentu dalam organisasi) dalam melakukan berbagai

aktivitas yang ditujukan untuk pencapaian tujuan organisasi yang jika tidak dilimpahkan akan

menghambat proses pencapaian tujuan tersebut.

Pelimpahan wewenang dari pihak yang berhak kepada pihak yang tidak berhak

dilakukan berdasarkan kesepakatan kedua pihak secara tertulis. Seleksi dan susun tugas yang

akan didelegasikan dengan cara menyusun tugas secara rasional, siapkan format laporan dan

presentasikan kepada penerima delegasi;

a. Seleksi orang yang tepat berdasarkan kompetensi dan persyaratan pendukung.

Ketepatan memilih penerima delegasi (delegat) bergantung pada kemampuan

pemberi delegasi menganalisis kinerja, kelebihan dan kelemahan, serta

perilaku penerima delegasi (delegat);

b. Berikan arahan dan motivasi kepada penerima delegasi;

c. Lakukan supervisi yang tepat baik frekuensi maupun prosedur (SOP).

Dokter dapat mendelegasikan tindakan kepada tenaga kesehatan lain, dengan persyaratan:

a. Kewenangan ada pada dokter

b. Penerima delegasi memiliki kompetensi melakukannya (hanya psikomotor yg

didelegasikan)

c. Pendelegasian harus jelas dan tercatat

d. Supervisi

e. Tanggungjawab tetap berada pada pendelegasi (BERARTI YG SALAH SI BOY)

Tehnik operasi Pemasangan WSD


1. Pasien dalam keadaan posisi ½ duduk (+ 45 °).

2. Dilakukan desinfeksi dan penutupan lapangan operasi dengan doek steril.

3. Dilakukan anestesi setempat dengan lidocain 2% secara infiltrasi pada daerah kulit sampai pleura.

4. Tempat yang akan dipasang drain adalah : - Linea axillaris depan, pada ICS IX-X (Buelau). Dapat
lebih proximal, bila perlu. Terutama pada anak- anak karena letak diafragma tinggi. - linea medio-
clavicularis (MCL) pada ICS II-III (Monaldi)

5. Dibuat sayatan kulit sepanjang 2 cm sampai jaringan bawah kulit.

6. Dipasang jahitan penahan secara matras vertikal miring dengan side 0.1.

7. Dengan gunting berujung lengkung atau klem tumpul lengkung, jaringan bawah kulit dibebaskan
sampai pleura, dengan secara pelan pleura ditembus hingga terdengar suara hisapan, berarti pleura
parietalis sudah terbuka. Catatan : pada hematothoraks akan segera menyemprot darah keluar, pada
pneumothoraks, udara yang keluar .

8. Drain dengan trocarnya dimasukkan melalui lobang kulit tersebut kearah cranial lateral. Bila
memakai drain tanpa trocar, maka ujung drain dijepit dengan klem tumpul, untuk memudahkan
mengarahkan drain.

9. Harus diperiksa terlebih dahulu, apakah pada drain sudah cukup dibuat atau terdapat lobang-
lobang samping yang panjangnya kira-kira dari jarak apex sampai lobang kulit, duapertinganya.

10. Drain kemudian didorong masuk sambil diputar sedikit kearah lateral sampai ujungnya kira-kira
ada dibawah apex paru (Bulleau).

11. Setelah drain pada posisi, maka diikat dengan benang pengikat berputar ganda, diakhiri dengan
simpul hidup

12. Bila dipakai drainage menurut Monaldi, maka drain didorong ke bawah dan lateral sampai
ujungnya kira-kira dipertengahan ronga toraks.

13. Sebelum pipa drainage dihubungkan dengan sistem botol penampung, maka harus diklem
dahulu.

14. Pipa drainage ini kemudian dihubungkan dengan sistem botol penampung, yang akan menjamin
terjadinya kembali tekanan negatif pada rongga intrapleural, di samping juga akan menampung sekrit
yang keluar dari rongga toraks.

Tatalaksana Pneumothorax
Tindakan pengobatan pneumothorak tergantung beratnya, jika pasien dengan pneumothorak
ukuran kecil dan stabil, biasanya hanya diobservasi dalam beberapa hari ( minggu ) dengan
foto dada serial tanpa harus dirawat inap di rumah sakit. Pada prinsipnya diupayakan
pengembangan paru sesegera mungkin antara lain dengan pemasangan water sealed drainage
( WSD ). Pasien pneumothorak dengan klinis tidak sesak dan luas pneumothorak < 15 %
cukup dilakukan observasi. Namun bila didapatkan penyakit paru yang mendasarinya perlu
dipasang WSD ( tindakan dekompresi ). Apabila ada batuk dan nyeri dada, diobati secara
simtomatis. Selanjutnya evaluasi foto dada setiap 12 – 24 jam selama 2 hari.

Tindakan dekompresi yaitu membuat hubungan rongga pleura dengan udara luar, ada
beberapa cara :

1. Menusukkan jarum melalui dinding dada sampai masuk rongga pleura, sehingga
tekanan udara positif akan keluar melalui jarum tersebut.

2. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil, yaitu dengan:

a. Jarum infus set ditusukkan ke dinding dada sampai masuk rongga pleura, kemudian
pipa plastik /slang dipangkal saringan tetesan dipotong dan dimasukkan ke dalam botol berisi
air dan klem dibuka, akan timbul gelembung-gelembung udara dalam botol.

b. Abbocath : jarum abbocath no. 14 ditusukkan ke rongga pleura dan setelah mandrin
dicabut, dihubungkan dengan pipa infus set, selanjutnya dikerjakan seperti sebelumnya.

c. WSD : pipa khusus ( catheter urine ) yang steril dimasukkan ke rongga pleura dengan
perantaraan troker atau klem penjepit bedah. Sebelum trokar yang dimasukkan ke rongga
pleura, terlebih dulu kulit dada tempat trokar akan dimasukkan didesinfektan, ditutup duk
penutup dan diberikan anastesi lokal dengan xilokain atau prokain, 2 % secukupnya. Lokasi
insisi kulit dapat di ruang antar iga VI mid axillar line/dorsal axillar line ataupun dapat juga
di ruang antar iga II di garis midclavicula. Setelah trokar masuk ke rongga pleura, busi
penusuk dicabut dan tinggal selontongan pipa. Drain dimasukkan melalui selontongan
tersebut. Pemasukan drain diarahkan ke atas apabila masuknya di ruang antar iga VI. Bila
masuknya di ruang antar iga II di arahkan ke bawah. Pipa khusus atau kateter tersebut
kemudian dihubungkan dengan pipa lebih panjang dan terakhir dengan pipa kaca yang
dimasukkan ke dalam air di dalam botol. Masuknya pipa kaca ke dalam air, sebaiknya 2 cm
dari permukaan air, supaya gelembung udara mudah keluar.

Penatalaksanaan Fraktur Costae


1. Fraktur 1-2 iga tanpa adanya penyulit/kelainan lain : konservatif (analgetika)
2. Fraktur >2 iga : waspadai kelainan lain (edema paru, hematotoraks, pneumotoraks)
3. Penatalaksanaan pada fraktur iga multipel tanpa penyulit pneumotoraks, hematotoraks,
atau kerusakan organ intratoraks lain, adalah:

• Analgetik yang adekuat (oral/ iv / intercostal block)


• Bronchial toilet
• Cek Lab berkala : Hb, Ht, Leko, Tromb, dan analisa gas darah
• Cek Foto Ro berkala

Dengan blok saraf interkostal, yaitu pemberian narkotik ataupun relaksan otot merupakan
pengobatan yang adekuat. Pada cedera yang lebih hebat, perawatan rumah sakit diperlukan
untuk menghilangkan nyeri, penanganan batuk, dan pengisapan endotrakeal.

Pada fase akut, pasien harus istirahat dan tidak melakukan aktivitas fisik sampai nyeri
dirasakan hilang oleh pasien. Pemberian Oksigen membantu proses bernapas. Namun tidak
dianjurkan dilakukan pembebatan karena dapat mengganggu mekanisme bernapas.

Pengobatan yang diberikan analgesia untuk mengurangi nyeri dan membantu


pengembangan dada: Morphine Sulfate. Hidrokodon atau kodein yang dikombinasi dengan
aspirin atau asetaminofen setiap 4 jam. Blok nervus interkostalis dapat digunakan untuk
mengatasi nyeri berat akibat fraktur costae - Bupivakain (Marcaine) 0,5% 2 sampai 5 ml,
diinfiltrasikan di sekitar nervus interkostalis pada costa yang fraktur serta costa-costa di atas
dan di bawah yang cedera. Tempat penyuntikan di bawah tepi bawah costa, antara tempat
fraktur dan prosesus spinosus. Jangan sampai mengenai pembuluh darah interkostalis dan
parenkim paru.

Tujuan pengobatan adalah untuk mengontrol nyeri dan untuk mendeteksi serta mengatasi
cedera. Sedasi digunakan untuk menghilangkan nyeri dan memungkinkan napas dalam dan
batuk. Harus hati-hati untuk menghindari oversedasi dan menekan dorongan bernapas.
Strategi alternatif untuk menghilangkan nyeri termasuk penyekat saraf interkosta dan es di
atas tempat fraktur, korset dada dapat menurunkan nyeri saat bergerak. Biasanya nyeri dapat
diatasi dalam 5 sampai 7 hari dan rasa tidak nyaman dapat dikontrol dengan analgesia
apidural, analgesia yang dikontrol pasien, atau analgesia non-opioid. Kebanyakan fraktur iga
menyembuh dalam 3 sampai 6 minggu. Pasien dipantau dengan ketat terhadap tanda-tanda
dan gejala yang berkaitan dengan cedera.

Setelah nyeri berkurang, lakukan latihan fisik dengan ahli fisioterapi pada keadaan
fraktur yang tidak terlalu berat. Lakukan peghisapan mukus. Pada keadaan fraktur yang
sangat buruk seperti pada Flail Chest, kasus ini membutuhkan pembedahan traksi pada
bagian dinding dada yang mengambang, bila keadaan penderita stabil dapat dilakukan
stabilisasi dinding dada secara operatif.

Anda mungkin juga menyukai