Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

STEVEN JOHNSON SYNDROME (SJS)

2.1 Definisi
Sindrom Stevens-Johnson merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di
orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat. Kelainan pada
kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura (Muttaqin & Sari, 2013).
Sindrom Stevens-Johnson didefinisikan sebagai reaksi kumpulan gejala sistemik
dengan karakteristik yang mengenai kulit, mata dan selaput lendir orifisium. Sindrom
Stevens-Johnson merupakan bentuk berat dari eritema multiforme, sehingga SSJ dikenal juga
dengan sebutan eritema multiforme mayor (Darmawan, 2014).
Menurut Sharma and Sethuraman (1996) dalam (Karsenda, 2013), Sindrom Stevens-
Johnson adalah bentuk penyakit mukokutan dengan tanda dan gejala sistemik yang dari
ringan sampai berat berupa lesi target dengan bentuk yang tidak teratur, disertai makula,
vesikel, bula dan purpura yang tersebar luas terutama pada rangka tubuh, terjadi pengelupasan
epidermis kurang lebih 10 % dari area permukaan tubuh, serta melibatkan lebih dari satu
membran mukosa.

2.2 Etiologi
Etiologi sindrom Stevens-Johnson bersifat multifaktorial, sedangkan etiologi pasti
belum diketahui. Faktor yang diduga kuat sebagai etiologinya adalah reaksi alergi obat secara
sistemik, infeksi bakteri, virus, jamur, protozoa, neoplasma, reaksi pascavaksinasi, terapi
radiasi, alergi makanan, bahan-bahan kimia dan penyakit kolagen (Ramayanti, 2011).
Menurut Darmawan (2014), penyakit ini disebabkan oleh reaksi hipersensitif (alergi)
terhadap obat; infeksi HIV, penyakit jaringan ikat dan kanker merupakan faktor risiko
penyakit ini. Beberapa kasus berhubungan dengan infeksi Mycoplasma pneumonia, kasus
lainnya idiopatik atau tidak diketahui penyebabnya.
Berikut adalah etiologi sindrom Stevens-Johnson menurut (Parillo, 2010).
2.2.1 Obat-obatan dan keganasan merupakan penyebab utama pada pasien dewasa dan usia
lanjut. Hampir semua kasus SSJ disebabkan oleh reaksi toksik terhadap obat, terutama
antibiotik (misal obat sulfa dan penisilin), antikejang (mis. fenitoin) dan obat nyeri,
termasuk yang dijual tanpa resep. Terkait HIV, alasan SSJ yang paling umum adalah
nevirapine (hingga 1,5 persen penggunanya) dan kotrimoksazol (jarang).

1
2.2.2 Kasus pediatrik lebih banyak berhubungan dengan infeksi daripada keganasan atau
reaksi obat. Jarang pada anak usia 3 tahun atau dibawahnya, karena imunitas belum
berkembang sepenuhnya.
2.2.3 NSAID oksikam dan sulfonamid merupakan penyebab utama di negara-negara Barat.
Di Asia Timur allopurinol merupakan penyebab utama.
2.2.4 Empat kategori etiologi adalah infeksi, reaksi obat, keganasan dan idiopatik.

2.3 Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas, diperkirakan karena reaksi alergi tipe III dan IV. Reaksi
tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang membentuk
mikropresitipasi sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi
neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada
organ sasaran. Reaksi tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersentisasi berkontrak kembali
dengan antigen yang sama, kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang
(Muttaqin & Sari, 2013).

2
Terbentuknya
Aktivasi sitem
Reaksi alergi tipe III kompleks antigen-
komplemen
dan IV antibodi

Sensitivitas limfosit T
Akumulasi neutrofil

Peningkatan respons Kerusakan jaringan


radang pada organ sasaran

Kerusakan integritas Trias gangguan pada kulit,


jaringan mukosa, dan mata

Respons lokal: eritema, Respons inflamasi Respons psikologis


vesikel, dan bula sistemik

Gangguan gastrointestinal Kondisi kerusakan


Kerusakan saraf Port de Demam Malaise jaringan kulit
perifer entree

Ketidakseimbangan Gangguan gambaran


Nyeri Risiko tinggi nutrisi kurang diri
infeksi Defisit perawatan diri Kecemasan

Bagan 1.1 Patofisiologi sindrom Stevens Johnson pada masalah keperawatan (Muttaqin &
Sari, 2013)
2.4 Manifestasi Klinis
Sindrom Stevens-Johnson mempunyai tiga gelaja yang khas yaitu kelainan pada mata
berupa konjungtivitis, kelainan pada genital berupa balanitis dan vulvovaginitis, serta
kelainan oral berupa stomatitis. Lesi oral didahului oleh makula dan papula yang segera
diikuti vesikel atau bula, kemudian pecah karena trauma mekanik menjadi erosi dan terjadi
ekskoriasi sehingga terbentuk ulkus yang ditutupi oleh jaringan nekrotik berwarna abu-abu
putih atau eksudat abu-abu kuning menyerupai pseudomembran. Ulkus nekrosis ini mudah
mengalami perdarahan dan menjadi krusta kehitaman. Lesi oral cenderung lebih banyak
terjadi pada bagian anterior mulut termasuk bibir, bagian lain yang sering terlibat adalah
lidah, mukosa pipi, palatum durum, palatum mole, bahkan dapat mencapai faring, saluran
pernafasan atas dan esofagus, namun lesi jarang terjadi pada gusi. Lesi oral yang hebat dapat
3
menyebabkan pasien tidak dapat makan dan menelan, sedangkan lesi pada saluran pernafasan
bagian atas dapat menyebabkan keluhan sulit bernafas (Ramayanti, 2011).
Berikut adalah manifestasi klinis dari pasien dengan Steven Johnson Syndrome.
2.4.1 Sindroma prodromal yang non spesifik dan reaksi konstitusional berupa meningkatnya
suhu tubuh, sakit kepala, batuk, sakit tenggorokan, nyeri dada, mialgi, sehingga
penderita berobat. Dalam keadaan ini, sering penderita mendapat pengobatan
antibiotik, dan anti inflamasi sehingga menyebabkan kesukaran dalam
mengidentifikasi obat penyebab SJS (Djuanda, 2015). Gejala prodromal ini dapat
berlangsung selama dua minggu dan bervariasi dari ringan sampai berat. Pada keadaan
ringan kesadaran pasien baik, sedangkan keadaan yang berat gejala-gejala menjadi
lebih hebat, sehingga kesadaran pasien menurun bahkan sampai koma (Ramayanti,
2011).
3.4.2 Gejala kulit dapat berupa macula eritematus yang menyerupai morbilliform rash,
timbul pada muka, leher, dagu, tubuh, dan ekstermitas. Lesi taget dan bula dengan
Nikolsky sign positif sering didapatkan. Lesi membesar dan bertambah banyak
(Djuanda, 2015). Lesi kulit pada sindrom Stevens-Johnson dapat timbul sebagai gejala
awal atau dapat juga terjadi setelah gejala klinis dibagian tubuh lainnya. Lesi pada
kulit umumnya bersifat asimetri dan ukuran lesi bervariasi dari kecil sampai besar.
Mula-mula lesi kulit berupa erupsi yang bersifat multiformis yaitu eritema yang
menyebar luas pada rangka tubuh. Eritema ini menyebar luas secara cepat dan
biasanya mencapai maksimal dalam waktu empat hari, bahkan seringkali hanya dalam
hitungan jam. Pada kasus yang sedang, lesi timbul pada permukaan ekstensor badan,
dorsal tangan dan kaki, sedangkan pada kasus yang berat lesi menyebar luas pada
wajah, dada dan seluruh permukaan tubuh. Eritema akan menjadi vesikel dan bula
yang kemudian pecah menjadi erosi, ekskoriasi, menjadi ulkus yang ditutupi
pseudomembran atau eksudat bening. Pseudomembran akan terlepas meninggalkan
ulkus nekrosis, dan apabila terdapat perdarahan akan menjadi krusta yang umumnya
berwarna coklat gelap sampai kehitaman. Variasi lain dari lesi kulit berupa purpura,
urtikaria dan edema. Selain itu adanya erupsi kulit dapat juga menimbulkan rasa gatal
dan rasa terbakar. Terbentuknya purpura pada lesi kulit memberikan prognosis yang
buruk (Ramayanti, 2011).
2.4.3 Kelainan membrane mukosa. Bibir mukosa mulut dirasakan sakit, disertai kelainan
mukosa yang eritematus, sembab, dan disertai bula yang kemudian akan pecah
sehingga timbul erosi yag tertutup pseudomembrane. Bibir diliputi massive
hemorarrhagic crusts. Kelainan pada kelmin juga sering didapat berupa bula yang
4
hemorrhagic dan erosi (Djuanda, 2015). Lesi oral mempunyai karakteristik yang lebih
bervariasi daripada lesi kulit, seluruh permukaan oral dapat terlibat, namun lesi oral
lebih cenderung banyak terjadi pada bibir, lidah, palatum mole, palatum durum,
mukosa pipi sedangkan pada gusi relative jarang terjadi lesi. Lesi oral didahului oleh
macula, papula, segera diikuti oleh vesikel dan bula. Ukuran vesikel maupun bula
bervariasi dan mudah pecah dibandingkan lesi pada kulit. Vesikel maupun bula
terutama pada mukosa bibir mudah pecah Karena gerakan lidah dan friksi pada waktu
mengunyah dan bicara sehingga bentuk yang utuh jarang ditemukan pada waktu
pemeriksaan klinis intra oral (Ramayanti, 2011).
Vesikel maupun bula yang mudah pecah selanjutnya menjadi erosi, kemudian
mengalami ekskoriasi dan terbentuk ulkus. Ulkus ditutupi oleh jaringan nekrotik yang
berwarna abuabu putih atau eksudat abu-abu kuning menyerupai pseudomembran.
Jaringan nekrotik mudah mengelupas sehingga meninggalkan suatu ulkus yang
berbentuk tidak teratur dengan tepi tidak jelas dan dasar tidak rata yang berwarna
kemerahan. Apabila terjadi trauma mekanik dan mengalami perdarahan maka ulkus
akan menjadi krusta berwarna coklat sampai kehitaman. Krusta kehitaman yang tebal
dapat terlihat pada mukosa bibir dan seringkali lesi pada mukosa bibir meluas sampai
tepi sebelah luar bibir dan sudut mulut (Gambar 1.1) (Ramayanti, 2011).
Pada palatum mole maupun palatum durum dapat terjadi lesi oral. Lesi oral diawali
oleh vesikel maupun bula yang mudah pecah menjadi erosi ekskoriasi dan ulkus. Erosi
seringkali ditutupi pseudomembran dan dikelilingi daerah berwarna kemerahan. Ulkus
dapat meluas terutama terjadi pada palatum durum (Gambar 2.2). Pada mukosa pipi
terjadi juga pola perkembangan lesi seperti lidah, vesikel atau bula di mukosa pipi
jarang ditemukan utuh, hanya berupa erosi atau ulkus yang ditutupi dengan
pseudomembran (Ramayanti, 2011).

Gambar 1 Krusta kehitaman pada mukosa bibir

5
Gambar 2 Ulserasi yang luas pada palatum
Manifestasi oral sindrom Stevens-Johnson biasanya diikuti oleh pembesaran nodus
limfatikus servikalis disertai rasa nyeri yang hebat sekali dan terjadi peningkatan
aliran saliva. Penderita biasanya akan mengalami dehidrasi karena kekurangan cairan
yang masuk ke dalam tubuh. Lesi oral dapat meluas ke faring, saluran pernafasan
bagian atas dan esophagus sehingga penderita mengalami kesulitan bernafas. Edema
pada faring dapat menyebar ke trakea, apabila keadaan bertambah berat dapat
menyerang bronkus dan bronkioli, sehingga dapat menimbulkan bronkopneumonia
serta trakeobronkitis (Ramayanti, 2011).
2.4.4 Manifestasi pada mata terjadi pada 70% pasien sindrom Stevens Johnson. Kelainan
ang sering terjadi adalah konjungtivitis. Selain konjungtivitis kelopak mata seringkali
menunjukkan erupsi yang merata dengan krusta hemoragi pada garis tepi mata.
Penderita sindrom Stevens-Johnson yang parah, kelainan mata dapat berkembang
menjadi konjungtivitis purulen, photophobia, panophtalmitis, deformitas kelopak
mata, uveitis anterior, iritis, simblefaron, iridosiklitis serta sindrom mata kering,
komplikasi lainnya dapat juga mengenai kornea berupa sikatriks kornea, ulserasi
kornea, dan kekeruhan kornea. Bila kelainan mata ini tidak segera diatasi maka dapat
menyebabkan kebutaan (Ramayanti, 2011).
2.4.5 Manifestasi pada genital. Lesi pada genital dapat menyebabkan uretritis, balanitis dan
vulvovaginitis. Balanitis adalah inflamasi pada glans penis. Uretritis merupakan
peradangan pada uretra dengan gejala klasik berupa secret uretra, peradangan meatus,
rasa terbakar, gatal, dan sering buang air kecil. Vulvovaginitis adalah peradangan pada
vagina yang biasanya melibatkan vulva dengan gejala-gejala berupa bertambahnya
cairan vagina, iritasi vulva, gatal, bau yang tidak sedap, rasa tidak nyaman, dan
gangguan buang air kecil. Sindrom Stevens-Johnson dapat pula menyerang anal
berupa peradangan anal atau inflammed anal (Ramayanti, 2011).

6
Menurut Parillo (2010), manifestasi klinis pada pasien sindrom Steven-Johnson adalah
sebagai berikut.
a. Ruam dapat mulai sebagai macula yang berkembang menjadi papul, vesikel, bula,
plak, urtikaria, atau eritma konfluen
b. Lesi khas memiliki penampilan target.target dianggap patogmonic. Berbeda dengan
lesi pada eritema multiforme, lesi pada eritema multiforme hanya memiliki dua zona
warna. Inti mungkin vesikuler, purpura, ataupun nekrotik. Zona tersebut dikelilingi
oleh eritema macular. Beberapa menyebutnya target lesi
c. Lesi dapat pecah dan meninggalkan kulit yang terbuka. Kulit ini rentan terhadap
infeksi sekunder
d. Lesi urtikarial biasanya tidak gatal
e. Infeksi mungkin bertanggung jawab atas bekas luka yang berhubungan dengan
morbiditas
f. Meskipun lesi dapat terjadi di mana saja, akan tetapi bagian telapak tangan, punggung
tangan, dan permukaan ekstensor paling banyak dialporkan terjadi
g. Keterlibatan mukosa termasuk adanya eritema, edema, ulserasi, dan nekrosis

Gambar 3 Pelepasan epidermis pada pasien sindrom Stevens-Johnson (Parillo, 2010)

2.5 Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang


Diagnosis Steven Johnson Syndrome ditegakkan berdasarkan hal berikut (Djuanda,
2015).
2.5.1 Anamnesis yang cermat untuk mengetahui penyebab SJS terutama obat yang diduga
sebagai penyebab .
2.5.2 Pemeriksaan klinis, berupa pemeriksaan gejala prodromal, kelainan kulit dan kelainan
mukosa serta mata.
2.5.3 Pemeriksaan adanya infeksi yang mungkin sebagai penyebab SJS.

7
Sindrom Stevens-Johnson merupakan penyakit yang dapat menyebabkan kematian
sehingga perlu penanganan cepat dan tepat/optimal, mengenali dan menghentikan segera obat
yang bertanggung jawab (pada kasus yang meragukan, menghentikan semua obat yang
dikonsumsi dalam 8 minggu sebelum onset) dan merawat pasien di rumah sakit. Pasien
dengan SCORTEN 0–1 (lihat tabel 1.1) dirawat dibangsal dan yang lebih berat (≥2) dirawat di
unit rawat intensif (Thaha, 2009).
Tabel 1.1 Skala SCORTEN
Faktor Prognostik Nilai
Usia > 40 tahun 1
Heart rate > 120 x/menit 1
Kanker atau keganasan hematologis 1
BSA yang terkena > 10% 1
Kadar urea serum >10 mM (BUN > 27 mg/dL) 1
Kadar bikarbonat serum < 20 mEq/L 1
Kadar glukosa serum > 14 mM (250 mg/dL) 1
Sumber: Bastuji-Garin et al. SCORTEN: A severity-of-illness score for toxic
epidermal necrolysis. J Invest Dermatol. 2000;115:149 dalam Thaha, 2009.

2.6 Penatalaksanaan
Penegakan diagnosis sulit dilakukan karena seringkali terdapat berbagai macam
bentuk lesi yang timbul bersamaan atau bertahap. Diagnosis sindrom Stevens-Johnson
terutama berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang.
Perawatan pada penderita sindrom Stevens-Johnson lebih ditekankan pada perawatan
simtomatik dan suportif karena etiologinya belum diketahui secara pasti (Ramayanti, 2011).
Penanganan simptomatik suportif yaitu mempertahankan keseimbangan hemodinamik, dan
mencegah terjadi komplikasi yang mengancam jiwa (Thaha, 2009).
Penatalaksanaan sindrom Stevens-Johnson didasarkan atas tingkat keparahan penyakit
yang secara umum meliputi (Ramayanti, 2011):
2.6.1 Rawat Inap
Rawat inap bertujuan agar dokter dapat memantau dan mengontrol setiap hari keadaan
penderita.
2.6.2 Preparat Kortikosteroid
Penggunaan preparat kortikosteroid
merupakan tindakan life saving.

8
Kortikosteroid yang biasa digunakan berupa deksametason secara intravena dengan
dosis permulaan 4-6 x 5mg sehari. Masa kritis biasanya dapat segera diatasi dalam 2-3
hari, dan apabila keadaan umum membaik dan tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi
lama mengalami involusi, maka dosis segera diturunkan 5mg secara cepat setiap hari.
Setelah dosis mencapai 5mg sehari kemudian diganti dengan tablet kortikosteroid,
misalnya prednisone, yang diberikan dengan dosis 20 mg sehari, kemudian diturunkan
menjadi 10mg pada hari berikutnya selanjutnya pemberian obat dihentikan. Lama
pengobatan preparat kortikosteroid kira-kira berlangsung selama 10 hari.
2.6.3 Antibiotik
Penggunaan preparat kortikosteroid dengan dosis tinggi menyebabkan imunitas
penderita menurun, maka antibiotic harus diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi
sekunder, misalnya broncopneneumonia yang dapat menyebabkan kematian.
Antibiotik yang diberikan hendaknya yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum
luas, bersifat bakterisidal, dan tidak nefrotoksik. Antibiotik yang memenuhi syarat
tersebut antara lain siprofloksasin dengan dosis 2 x 400mg intravena, klindamisin
dengan dosis 2 x 600mg intravena dan gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.
2.6.4 Infuse dan Transfusi Darah
Hal yang perlu diperhatikan kepada penderita adalah mengatur keseimbangan cairan
atau elektrolit tubuh, karena penderita sukar atau tidak dapat menelan makanan atau
minuman akibat adanya lesi oral dan tenggorokan serta kesadaran penderita yang
menurun. Infuse yang diberikan berupa glukosa 5% dan larutan Darrow. Apabila
terapi yang telah diberikan dan penderita belum menampakkan perbaikan dalam waktu
2-3 hari, maka penderita dapat diberikan transfuse darah sebanyak 300 cc selama 2
hari berturut-turut, khususnya pada kasus yang disertai purpura yang luas dan
leucopenia.
2.6.5 KCl
Penderita yang menggunakan kortikosteroid umumnya mengalami penurunan kalium
atau hipokalemia, maka diberikan KCl dengan dosis 3 x 500 mg sehari peroral.
2.6.6 Adenocorticotropichormon (ACTH)
Penderita perlu diberikan ACTH untuk menghindari terjadinya supresi korteks adrenal
akibat pemberian kortikosteroid. ACTH yang diberikan berupa ACTH sintetik dengan
dosis 1 mg.
2.6.7 Agen Hemostatis
Agen hemostatik terutama diberikan pada penderita disertai purpura yang luas. Agen
hemostatik yang sering digunakan adalah vitamin K.
9
2.6.8 Diet
Diet rendah garam dan tinggi protein merupakan pola diet yang dianjurkan kepada
penderita. Akibat penggunaan preparat kortikosteroid dalam jangka waktu lama,
penderita mengalami retensi natrium dan kehilangan protein, dengan diet rendah
garam dan tinggi protein diharapkan konsentrasi garam dan protein penderita dapat
kembali normal. Penderita selain menjalani diet rendah garam dan tinggi protein,
dapat juga diberikan makanan yang lunak atau cair, terutama pada penderita yang
sukar menelan (Ramayanti, 2011).
2.6.9 Vitamin
Vitamin yang diberikan berupa vitamin B kompleks dan vitamin C. Vitamin B
kompleks diduga dapat memperpendek durasi penyakit. Vitamin C diberikan dengan
dosis 500 mg atau 1000 mg sehari dan ditujukan terutama pada penderita dengan
kasus purpura yang luas sehingga pemberian vitamin dapat membantu mengurangi
permeabilitas kapiler

Berikut adalah tatalaksana perawatan pada organ penderita Steven Johnson Syndrome
(Ramayanti, 2011).
1) Perawatan pada Kulit
Lesi kulit tidak memerlukan pengobatan spesifik, kebanyakan penderita merasa lebih
nyaman jika lesi kulit diolesi dengan ointment berupa vaselin, polisporin, basitrasin.
Rasa nyeri seringkali timbul pada lesi kulit dikarenakan lesi seringkali melekat pada
tempat tidur. Lesi kulit yang erosive dapat diatasi dengan memberikan sofratulle atau
krim sulfadiazine perak, larutan salin 0,9% atau burow. Kompres dengan asam
salisilat 0,1% dapat diberikan untuk perawatan lesi pada kulit. Kerjasama antara
dokter gigi dan dokter spesialis ilmu penyakit kulit dan kelamin sangat diperlukan.
2) Perawatan pada Mata
Perawatan pada mata memerlukan kebersihan mata yang baik,kompres dengan larutan
salin serta lubrikasi mata dengan air mata artificial dan ointment. Pada kasus yang
kronis,suplemen air mata seringkali digunakan untuk mencegah terjadinya corneal
epithelial breakdown. Antibiotik topikal dapat digunakan untuk menghindari
terjadinya infeksi sekunder.
3) Perawatan pada Genital
Larutan salin dan petroleum berbentuk gel sering digunakan pada area genital
penderita. Penderita sindrom Stevens-Johnson yang seringkali mengalami gangguan

10
buang air kecil akibat uretritis, balanitis, atau vulvovaginitis, maka kateterisasi sangat
diperlukan untuk memperlancar buang air kecil.
4) Perawatan pada Oral
Rasa nyeri yang disebabkan lesi oral dapat dihilangkan dengan pemberian anastetik
topical dalam bentuk larutan atau salep yang mengandung lidokain 2%. Campuran
50% air dan hydrogen peroksida dapat digunakan untuk menyembuhkan jaringan
nekrosis pada mukosa pipi. Antijamur dan antibiotik dapat digunakan untuk mencegah
superinfeksi. Lesi pada mukosa bibir yang parah dapat diberikan perawatan berupa
kompres asam borat 3%. Lesi oral pada bibir diobati dengan boraks-gliserin atau
penggunaan triamsinolon asetonid. Triamsinolon asetonid merupakan preparat
kortikosteroid topical. Kortikosteroid yang biasa digunakan pada lesi oral adalah
bentuk pasta. Pemakaian pasta dianjurkan saat sebelum tidur karena lebih efektif.
Sebelum dioleskan, daerah sekitar lesi harus dibersihkan terlebih dahulu kemudian
dikeringkan menggunakan spons steril untuk mencegah melarutnya pasta oleh saliva.
Apabila pasta larut oleh saliva, obat tidak dapat bekerja dengan optimum sehingga
tidak akan diperoleh efek terapi yang diharapkan.

2.7 Komplikasi
Saat “onset” terjadi, penderita Steven Johnson Syndrome mengalami demam, nyeri
otot, gejala traktus respirasi atas dan bawah. Pada membran mukosa mata, bibir, dan genetalia
akan terjadi lesi berupa “bulla” dengan pembentukan mambran atau pseudomembran.
Komplikasi lanjut pada membran mukosa mata karena pembentukan jaringan sikatrik
sehingga menyebabkan conjunctival shinkage, trikiasis, dan defisiensi air mata. Pada kornea
terutama pada fase lanjut dapat terjadi epitheliopathy kronis, defek epitel yang tidak sembuh,
pembentukan pannus fibrovaskular, sikatrik subepitelial dan neovaskularisasi strome, sikatrik
dan penipisan kornea (Lutfi, Zuhria, & Doemilah, 2007).
Berikut adalah beberapa penyulit dari penyakit Steven Johnson Syndome menurut
Djuanda (2015).
2.7.1 Sepsis
2.7.2 Pneumoni
2.7.3 Gagal ginjal

2.8 Konsep Asuhan Keperawatan


2.8.1 Pengkajian Keperawatan

11
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun ke bawah. Keadaan umumnya
bervariasi dari ringan sampai berat. Pada kondisi yang berat, kesadarannya menurun,
penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala
prodomal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri tenggorok.
Dalam keadaan ini, sering penderita mendapat pengobatan antibiotik dan antiinflamasi
sehingga menyebabkan kesukaran dalam mengidentifikasi obat penyebab sindrom Stevens
Johnson (Muttaqin & Sari, 2013).
Trias kelainan yang terjadi terdapat pada kulit, mukosa, dan mata. Kelainan kulit
terdiri atas eritema, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi
erosi yang luas. Di samping itu, dapat juga terjadi purpura. Jika disertai purpura, prognosisnya
menjadi lebih buruk. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata. Kelainan selaput lendir
yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%), kemudian disusul oleh kelainan di lubang
alat genital (50%), sedangkan di lubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%).
Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi, ekskoriasi,
dan krusta kehitaman. Selain itu, juga dapat terbentuk pseudomembran. Pada bibir, kelainan
yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang tebal. Kelainan di mukosa dapat juga
terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas, dan esofagus. Stomatitis ini dapat
menyebabkan penderita sukar/tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat
menyebabkan keluhan sukar bernapas. Sementara itu pada mata, 80% di antara semua kasus
yang tersering ialah konjungtivitis kataralis. Selain itu, juga dapat berupa konjungtivitis
purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, dan iridosiklitis (Muttaqin & Sari,
2013).
Menurut Parillo (2010), pemeriksaan fisik pada pasien sindrom Steven Johnson
ditemukan:
a. Demam
b. Orthostasis
c. Tachycardia
d. Hipotensi
e. Perubahan tingkat kesadaran
f. Epistaksis
g. Konjungtivitis
h. Ulserasi kornea
i. Erosif vulvovaginitis atau balanitis
j. Kejang, koma

12
2.8.2 Diagnosis Keperawatan yang Muncul
Berikut adalah diagnosis keperawatan yang muncul pada pasien dengan Steven
Johnson Syndrome (Muttaqin & Sari, 2013).
2.8.2.1 Kerusakan integritas kulit b.d. lesi dan reaksi inflamasi lokal.
2.8.2.2 Ketidakseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan b.d. intake tidak adekuat respons
sekunder dari kerusakan krusta pada mukosa mulut.
2.8.2.3 Risiko tinggi infeksi b.d. penurunan imunitas, adanya port de entree pada lesi.
2.8.2.4 Nyeri b.d. kerusakan jaringan lunak, erosi jaringan lemak.
2.8.2.5 Defisit perawatan diri b.d kelemahan fisik secara umum.
2.8.2.6 Gangguan gambaran diri (citra diri) b.d perubahan struktur kulit, perubahan peran
keluarga.
2.8.2.7 Kecemasan b.d kondisi penyakit , penurunan kesembuhan (Muttaqin & Sari, 2013)

2.8.3 Intervensi Keperawatan


Tujuan intervensi keperawatan adalah peningkatan integritas jaringan kulit,
terpenuhinya intake nutrisi harian, penurunan risiko infeksi, menurunkan stimulus nyeri,
mekanisme koping yang efektif dan penurunan kecemasan. Untuk risiko infeksi dapat
disesuaikan dengan masalah yang sama pasien NET. Pada gangguan gambaran diri (citra
diri), intervensi dapat disesuaikan pada masalah yang sama pada pasien psoariaris. Sementara
itu, intervensi deficit perawatan diri dan kecemasan dapat disesaikan pada masalah yang sama
pada pasien pemfigus vulgaris (Muttaqin & Sari, 2013).
Kerusakan integritas kulit b.d lesi dan reaksi inflamasi
Definisi:
Kerusakan pada epidermis dan/atau dermis.
Batasan Karakteristik:
- Benda asing menusuk permukaan kulit
- Kerusakan integritas kulit
(Herdman, 2015)
Tujuan: Dalam 5 x 24 jam integritas kulit membaik secara optimal
Kriteria Hasil :
1. Pertumbuhan jaringan membaik dan lesi psoarisis berkurang
Intervensi Rasional
Kaji kerusakan jaringan kulit yang Menjadi data dasar untuk memberikan informasi
terjadi pada klien intervensi perawatan yang akan digunakan.

13
Lakukan tindakan peningkatan Perawatan local kulit merupakan penatalaksanaan
integritas jaringan keperawatan yang penting. Jika diperlukan berikan
kompres hangat, tetapi harus dilaksanakan dengan
hati-hati sekali pada daerah yang erosive atau
terkelupas. Lesi oral yang nyeri akan membuat
hygiene oral dipelihara.
Lakukan oral hygiene Tindakan oral hygiene perlu dilakukan untuk
menjaga agar mulut selalu bersih. Obat kumur
larutan anestesi atau agen gentian violet dapat
digunakan dengan sering untuk membersihkan
mulut dan debris, mengurangi rasa nyeri pada
daerah ulserasi dan mengendalikan bau mulut
yang amis. Rongga mulut harus diinspeksi
beberapa kali sehari dan setiap perubahan harus
dicatat, serta dilaporkan. Vaselin (atau salep yang
diresepkan dokter) dioleskan pada bibir.
Tingkatkan asupan nutrisi Diet TKP diperlukan untuk meningkatkan asupan
dari kebutuhan pertumbuhan jaringan.
Evaluasi kerusakan jaringan dan Apabila masih belum mencapai dari criteria
perkembangan pertumbuhan jaringan evaluasi 5 x 24 jam, maka perlu dikaji ulang
factor-faktor menghambat pertumbuhan dan dari
lesi
Lakukan intervensi untuk mencegah 1. Perawatan ditempat khusus untuk mencegah
komplikasi infeksi.
2. Monitor dan evaluasi adanya tanda dan gejala
komplikasi.
3. Pemantauan yang ketat terhadap tanda-tanda
vital dan pencatatan setiap perubahan yang
serius pada fungsi respiratorius, renal, atau
gastroinstestinal dapat mendeteksi dengan
cepat dimulainya suatu infeksi
4. Tindakan asepsis yang mutlak harus selalu
dipertahankan selama pelaksanaan perawatan
kulit yang rutin.

14
5. Mencuci tangan dan mengenakan sarung
tangan steril ketika melaksanakan prosedur
tersebut diperlukan setiap saat.
6. Ketika keadaannya meliputi bagian tubuh yang
luas, pasien harus dirawat dalam sebuah kamar
pribadi untuk mencegah kemungkinan infeksi
silang dari pasien-pasien lain.
7. Para pengunjungan harus mengenakan pakaian
pelindung dan mencuci tangan mereka sebelum
menyentuh pasien.
8. Orang-orang yang menderita penyakit menular
tidak boleh mengunjungi pasien sampai
mereka sudah tidak lagi berbahaya bagi
kesehatan pasien tersebut.
Kolaborasi untuk pemberian Kolaborasi pemberian glukokortikoid misalnya
kortikosteroid metal prednisolon 80-120 mg peroral (1,5-2
mg/KgBB/hari
Kolaborasi untuk pemberian antibiotic Pemberian antibiotic untuk infeksi dengan catatan
menghindari pemberian sulphonamide dan
antibiotic yang sering juga sebagai penyebab SJS
misalnya penisilin, cephalosporin. Sebaiknya
antibiotic yang diberikan berdasarkan hasil kultur,
mukosa, dan sputum. Dapat dipakai injeksi
gentamitasin 2-3 x 80 mg iv (1-5 mg/Kg/BB
{setiap pemberian})
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake tidak
adekuat efek sekunder dari kerusakan krusta pada mukosa mulut
Definisi:
Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik.
Batasan Karakteristik:
- Berat badan 20% atau lebih di bawah rentang berat badan ideal
- Bising usus hiperaktif
- Cepat kenyang setelah makan
- Diare

15
- Gangguan sensasi rasa
- Kehilangan rambut berlebihan
- Kelemahan otot pengunyah
- Kelemahan otot untuk menelan
- Kerapuhan kapiler
- Kesalahan informasi
- Kesalahan persepsi
- Ketidakmampuan memakan makanan
- Kram abomen
- Kurang informasi
- Kurang minat pada makanan
- Membran mukosa pucat
- Nyeri abdomen
- Penurunan berat badan dengan asupan makanan adekuat
- Sariawan rongga mulut
- Tonus otot menurun
(Herdman, 2015)
Tujuan : Dalam waktu 5 x 24 jam setelah diberikan asupan nutrisi pasien terpenuhi.
Kriteria evaluasi :
1. Pasien dapat mempertahankan status asupan nutrisi yang adekuat.
2. Pernyataan motivasi kuat untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya.
3. Penurunan berat badan selama 5 x 24 jam tidak melebihi dari 0,5 kg.
Intervensi Rasional
Kaji status nutrisi pasien, turgor kulit, Memvalidasi dan menetapkan derajat masalah
berat badan dan derajat penurunan berat untuk menetapkan pilihan intervensi yang tepat.
badan, integritas mukosa oral, Berat badan pasien ditimbang setiap hari (jika
kemampuan menelan, serta riwayat perlu gunakan timbangan tempat tidur). Lesi
mual/muntah. oral dapat mengakibatkan disfagia sehingga
memerlukan pemberian makanan melalui sonde
atau terapi nutrisi parenteral total. Formula
enteral atau suplemen enteral yang
diprogramkan diberikan melalui sonde sampai
pemberian peroral dapat ditoleransi.
Penghitungan jumlah kalori per hari dan

16
pencatatan semua intake, serta output yang
akurat sangat penting.
Evaluasi adanya alergi makanan dan Beberapa pasien mungkin mengalami alergi
kontraindikasi makanan terhadap beberapa komponen makanan tertentu
dan beberapa penyakit lain, seperti diabetes
mellitus, hipertensi, gout, dan lainnya yang
memberikan manifestasi terhadap persiapan
komposisi makanan yang akan diberikan.
Fasilitasi pasien memperoleh diet biasa Memperhitungkan keinginan individu dapat
yang disukai pasien (sesuai indikasi) memperbaiki asupan nutrisi
Lakukan dan ajarkan perawatan mulut Menurunkan rasa tak enak karena sisa makanan
sebelum dan sesudah makan, serta atau bau obat yang dapat merangsang pusat
sebelum dan sesudah muntah
intervensi/pemeriksaan peroral
Fasilitasi pasien memperoleh diet sesuai Asupan minuman mengandung kafein dihindari
indikasi dan anjurkan menghindari asupan karena kafein adalah stimulan sistem saraf pusat
dari agen iritan yang meningkatkan aktivitas lambung dan
sekresi pepsin.
Berikan makan dengan perlahan pada Pasien dapat berkonsentrasi pada mekanisme
lingkungan yang tenang makan tanpa adanya distraksi/gangguan dari
luar.
Anjurkan pasien dan keluarga untuk Meningkatkan kemandirian dalam pemenuhan
berpartisipasi dalam pemenuhan nutrisi asupan nutrisi sesuai dengan tingkat toleransi
individu
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk Merencanakan diet dengan kandungan nutrisi
menetapkan komposisi dan jenis diet yang adekuat untuk memenuhi peningkatan
yang tepat kebutuhan energy dan kalori sehubungan
dengan status hipermetabolik pasien.
Nyeri berhubungan dengan kerusakan jaringan lunak, erosi jaringan lunak
Definisi::
Pengalaman sensori dan emosional yang itdak menyenangkan yang muncul akibat kerusakan
jaringan aktual atau potensial atau yang digambarkan sebagai kerusakan.
Batasan Karakteristik:
- Bukti nyeri dengan menggunakan standar daftar periksa nyeri untuk pasien yang

17
tidak dapat mengungkapkannya
- Diaforesis
- Dialatasi pupil
- Ekspresi wajah nyeri (misal: mata kurang brcahaya, meringis, tampak kacau, gerakan
mata berpencar)
- Fokus menyempit (misal: persepsi waktu, proses berpikir, interaksi dengan orang dan
lingkungan)
- Fokus pada diri sendiri
- Keluhan tentang intensitas menggunakan standar skala nyeri
- Keluhan tentang karakteristik nyeri dengan menggunakan standar instrumen nyeri
- Laporan tentang perilaku nyeri atau perubahan aktivitas
- Mengekspresikan perilaku (misal: gelisah, merengek, menangis, waspada)
- Perilaku distraksi
- Perubahan pada parameter fisiologis (misal: tekanan darah, frekuensi jantung,
frekuensi pernapasan, saturasi oksigen)
- Perubahan posisi untuk menghindari nyeri
- Perubahan selera makan
- Sikap tubuh melindungi
(Herdman, 2015)
Tujuan : Dalam waktu 1 x 24 jam nyeri berkurang/hilang atau teradaptasi
Kriteria evaluasi :
1. Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi.
2. Skala nyeri 0-1 (0-4).
3. Dapat mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri
4. Pasien tidak gelisah.
Intervensi Rasional
Kaji nyeri dengan pendekatan PQRST Menjadi parameter dasar untuk mengetahui
sejauh mana intervensi yang diperlukan dan
sebagai evaluasi keberhasilan dari intervensi
manajemen nyeri keperawatan.
Jelaskan dan bantu pasien dengan Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan
tindakan pereda nyeri nonfarmakologi nonfarmakologi lainnya telah menunjukkan
dan noninvasif keefektifan dalam mengurangi nyeri
Lakukan manajemen nyeri keperawatan

18
1. Atur posisi fisiologis Posisi fisiologis akan meningkatkan asupan O2
ke jaringan yang mengalami peradangan.
Pengaturan posisi idealnya adalah pada arah
yang berlawanan dengan letak dari lesi. Bagian
tubuh yang mengalami inflamasi local
dilakukan imobilisasi untuk menurunkan respon
peradangan dan meningkatkan kesembuhan.

2. Istirahatkan klien Istirahat diperlukan selama fase akut. Kondisi


ini akan meningkatkan suplai darah pada
jaringan yang mengalami peradangan.

3. Bila perlu premedikasi sebelum Kompres yang basah dan sejuk atau terapi
melakukan perawatan luka rendaman merupakan tindakan protektif yang
dapat mengurangi rasa nyeri. Pasien dengan lesi
yang luas dan nyeri harus mendapatkan
premedikasi dahulu dengan preparat analgesic
sebelum perawatan kulitnya mulai dilakukan.

4. Manajemen lingkungan tenang dan Lingkungan tenang akan menurunkan stimulus


batasi pengunjung nyeri eksternal dan pembatasan pengunjung
akan membantu meningkatkan kondisi O2
ruangan yang akan berkurang apabila banyak
pengunjung yang berada di ruangan.

5. Ajarkan teknik relaksasi pernafasan Meningkatkan asupan O2 sehingga akan


dalam menurunkan nyeri sekunder dari peradangan.

6. Ajarkan teknik distraksi pada saat Distraksi (pengalihan perhatian) dapat


nyeri menurunkan stimulus internal dengan
mekanisme peningkatan produksi endorfin dan
enkefalin yang dapat memblok reseptor nyeri
untuk tidak dikirimkan ke korteks serebri
sehingga menurunkan persepsi nyeri.

19
7. Lakukan manajemen sentuhan Manajemen sentuhan pada saat nyeri berupa
sentuhan dukungan psikologis dapat membantu
menurunkan nyeri. Masase ringan dapat
meningkatkan aliran darah dan dengan otomatis
mambantu suplai darah dan oksigen ke area
nyeri dan menurunkan sensasi nyeri
Kolaborasi dengan dokter, pemberian Analgetik memblok lintasan nyeri sehingga
analgetik nyeri akan berkurang.

20
DAFTAR PUSTAKA

Darmawan, H. (2014). Sindrom Stevens-Johnson Diduga Akibat Siprofloksasin. CDK-


217/Vol. 41 No. 6, 432-435.
Djuanda, A. (2015). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 2. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Effendi, E. (2015). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Herdman, T. (2015). NANDA Internasional Inc. Diagnosis Keperawatan: Definisi &
Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10. Jakarta: EGC.
Karsenda. (2013). Pemberian Kortikosteroid pada Pasien Sindrom Steven-Johnson. Jurnal
Medula, Volume 1, Nomor 3, 92-100.
Lutfi, D., Zuhria, I., & Doemilah, E. (2007). Limbal Stem Cell Transplantation in Limbal
Stem Cell Deficiency After Steven Johnson Syndrome. Jurnal Oftamologi Indonesia
Vo. 5 No. 3, 235-238.
Muttaqin, A., & Sari, K. (2013). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Integumen. Jakarta:
Salemba Medika.
Parillo, S. J. (2010). Stevens-Johnson Syndrome. Contributor Information And Disclosures.
Ramayanti, S. (2011). Manifestasi Oral dan Penatalaksanaan pada Penderita Sindrom
Stevens-Johnson. Majalah Kedokteran Andalas No. 2 Vo. 35, 91-97.
Thaha, M. (2009). Sindrom Stevens-Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksis di RSUP MH
Palembang Periode 2006 - 2008. Media Media Indonesiana Volume 43 Nomor 5, 234-
239.

21

Anda mungkin juga menyukai