OLEH :
LUH GEDE MIRA SWANDEWI
NIM. 2002621024
2. Etiologi
Menurut Wijaya dan Putri (2014) etiologi asma dapat dibagi atas :
a. Asma ekstrinsik / alergi
Asma yang disebabkan oleh alergen yang diketahui masanya sudah terdapat
semenjak anak-anak seperti alergi terhadap protein, serbuk sari, bulu halus,
binatang dan debu.
b. Asma instrinsik / idopatik
Asma yang tidak ditemukan faktor pencetus yang jelas, tetapi adanya faktor-
faktor non spesifik seperti : flu, latihan fisik, kecemasan atau emosi sering
memicu serangan asma. Asma ini sering muncul sesudah usia 40 tahun
setelah menderita infeksi sinus.
c. Asma campuran atau gabungan
Asma yang timbul karena adanya komponen ekstrinsik dan intrinsik.
Beberapa sumber menyatakan penyebab serangan asma belum dapat diketahui
dengan pasti (Price & Lorraine, 2005; Somantri, 2007). Terdapat beberapa
factor predisposisi dan presipitasi yang dapat menyebabkan terjadinya asma,
sebagai berikut:
a. Genetik, bakat alergi yang diwariskan oleh keluarga dekat mempengaruhi
penderita mudah mengalami asma dan memiliki hipersensitivitas terhadap
rangsangan.
b. Alergen, suatu bahan atau objek yang dapat menyebabkan alergi seperti
debu, bulu binatang, bakteri, polusi, obat-obatan dan objek yang kontak
dengan kulit.
c. Infeksi saluran pernafasan, infeksi dapat disebabkan oleh virus dan bakteri
sehingga menimbulkan reaksi alergi.
d. Perubahan cuaca, cuaca lembab dan dingin dapat menyebabkan serangan
asma karena mempengaruhi penyempitan saluran pernafasan.
e. Aktivitas, penderita asma yang melakukan aktivitas berat dapat terjadi
serangan asma seperti lari cepat dapat menimbulkan asma pada penderita.
f. Stres, gangguan emosi dapat menjadi penyebab terjadinya asma dan
memperberat serangan yang sudah ada.
3. Patofisiologi
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain
alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut yang
terdiri atas reaksi asma dini (early asthma reaction = EAR) dan reaksi asma
lambat (late asthma reaction = LAR). Setelah reaksi asma awal dan reaksi
asma lambat, proses dapat terus berlanjut menjadi reaksi inflamasi subakut atau
kronik. Pada keadaan ini terjadi inflamasi di bronkus dan sekitarnya, berupa
infiltrasi sel-sel inflamasi terutama eosinofil dan monosit dalam jumlah besar
ke dinding dan lumen bronkus (Supriyatno dkk., 2008; Rahajoe dkk., 2015).
Penyempitan saluran napas yang terjadi pada asma merupakan suatu hal yang
kompleks. Hal ini terjadi karena lepasnya mediator dari sel mast yang banyak
ditemukan di permukaan mukosa bronkus, lumen jalan napas dan di bawah
membran basal. Berbagai faktor pencetus dapat mengaktivasi sal mast. Selain
sel mast, sel lain yang juga dapat melepaskan mediator adalah sel makrofag
alveolar, eosinofil, sel epitel jalan napas, netrofil, trombosit, limfosit dan
monosit. Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag
alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan
vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang
dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih
permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga
memperbesar reaksi yang terjadi. Mediator inflamasi secara langsung maupun
tidak langsung menyebabkan serangan asma, melalui sel efektor sekunder
seperti eosinofil, neutrofil, trombosit, dan limfosit. Sel-sel inflamasi ini juga
mengeluarkan mediator yang kuat seperti lekotriens. Tromboksan, platelet
activating factor (PAF), dan protein sitotoksis yang memperkuat reaksi asma.
Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang akhirnya menimbulkan
hiperreaktivitas bronkus (Depkes RI, 2009; Rahajoe dkk., 2015).
Pathway (terlampir)
4. Klasifikasi
Menurut Wijaya dan Putri (2014) kasifikasi asma berdasarkan berat penyakit,
antara lain :
a. Tahap I : Intermitten
Penampilan klinik sebelum mendapat pengobatan :
1) Gejala inermitten < 1 kali dalam seminggu
2) Gejala eksaserbasi singkat (mulai beberapa jam sampai beberapa hari)
3) Gejala serangan asma malam hari < 2 kali dalam sebulan
4) Asimptomatis dan nilai fungsi paru normal diantara periode eksaserbasi
5) PEF atau FEV1 : ≥ 80% dari prediksi, Variabilitas < 20%
6) Pemakaian obat untuk mempertahankan kontrol :
Obat untuk mengurangi gejala intermitten dipakai hanya kapan perlu
inhalasi jangka pendek β2 agonis
7) Intensitas pengobatan tergantung pada derajat eksaserbasi
kortikosteroid oral mungkin dibutuhkan.
b. Tahap II : Persisten ringan
Penampilan klinik sebelum mendapatkan pengobatan :
1) Gejala ≥ 1 kali seminggu tetapi < 1 kali sehari
2) Gejala eksaserbasi dapat mengganggu aktivitas dan tidur
3) Gejala serangan asma malam hari > 2 kali dalam sebulan
4) PEF atau FEV1 : > 80 % dari prediksi, Variabilitas 20-30%
5) Pemakaian obat harian untuk mempertahankan kontrol :
Obat-obatan pengontrol serangan harian mungkin perlu bronkodilator
jangka panjang ditambah dengan obat-obatan antiinflamasi (terutama
untuk serangan asma malam hari.
c. Tahap III : Persisten sedang
Penampilan klinik sebelum mendapat pengobatan :
1) Gejala harian
2) Gejala eksaserbasi mengganggu aktivitas dan tidur
3) Gejala serangan asma malam hari > 1 kali seminggu
4) Pemakaian inhalasi jangka pendek β2 agonis setiap hari
5) PEV atay FEV1 : > 60% - < 80% dari prediksi, Variabilitas > 30%
6) Pemakaian obat-obatan harian untuk mempertahankan kontrol :
Obat-obatan pengontrol serangan harian inhalasi kortikosteroid
bronkodilatorjangka panjang (terutama untuk serangan asma malam
hari)
d. Tahap IV : Persisten berat
Penampilan klinik sebelum mendapat pengobatan :
1) Gejala terus-menerus
2) Gejala eksaserbasi sering
3) Gejala serangan asma malam hari sering
4) Aktivitas fisik sangat terbatas oleh asma
5) PEF atau FEV1 : ≤ 60% dari prediksi
6) Variabilitas > 30%
5. Gejala Klinis
Menurut Soemantri (2008) Tanda dan gejala asma meliputi:
a. Dispnea mendadak, mengi dan berat pada dada
b. Batuk-batuk dengan sputum yang kental, jernih atau pun kuning
c. Takipnea, bersamaan dengan penggunaan otot-otot respirasi aksesorius
d. Denyut nadi yang cepat
e. Pengeluaran keringat (perspirasi) yang banyak
f. Lapangan paru yang hipersonor pada perkusi
g. Bunyi napas yang berkurang
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan faal paru dengan alat spirometri
Pada pasien asma kegunaan spirometri disamakan dengan tensimeter pada
penatalaksanaan hipertensi atau glukometer pada diabetes mellitus.
Pemeriksaan spirometri penting dalam menegakkan diagnosis karena
banyak pasien asma tanpa keluhan, tetapi pemeriksaan spirometri
menunjukkan obstruksi. Pemeriksaan spirometri dilakukan sebelum dan
sesudah pemberian bronkodilator hirup (inhaler atau nebulizer) golongan
adrenergik beta.
b. Foto thoraks
Tujuan dari foto thoraks adalah untuk menyingkirkan penyebab lain
obstruksi saluran nafas dan adanya kecurigaan terhadap proses patologis di
paru.
c. Pemeriksaan sputum
Sputum eosinofil sangat dominan pada asma, sedangkan pada bronchitis
kronis sputum yang dominan adalah neutrofil.
d. Pemeriksaan eosinofil total
Pada pasien asma jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat. Hal
tersebut dapat membantu untuk membedakan asma dengan bronchitis
kronis. Pemeriksaan eosinofil total juga dapat digunakan sebagai dasar
untuk menentukan dosis kortikosteroid yang dibutuhkan oleh pasien asma.
e. Analisa gas darah
Pemeriksaan AGD hanya dilakukan pada asma berat. Pada fase awal
serangan terjadi hipoksemia dan hipokapnea (PCO2 menurun), lalu pada
stadium yang lebih berat PCO2 mendekati hingga normo-kapnea. Kemudian
pada asma yang sangat berat terjadi hiperkapnea (PCO2 meningkat).
f. Uji provokasi bronkus
Uji provokasi bronkus untuk menunjukkan adanya hipereaktivitas bronkus.
Beberapa cara untuk melakukan uji provokasi bronkus meliputi uji
provokasi dengan histamine, metakolin, kegiatan jasmani, udara dingin,
larutan garam hipertonik dan dengan aqua destilata. Pemeriksaan uji
provokasi bronkus mempunyai sensitivitas tinggi tetapi spesifitas rendah,
yang berarti hasil negatif dapat menyingkirkan diagnosis asma persisten,
namun hasil positif tidak selalu berarti pasien menderita asma. Hasil positif
dapat terjadi pada penyakit lain seperti rhinitis alergi dan gangguan dengan
penyempitan saluran nafas seperti PPOK, bronkiektasis dan fibrosis kistik.
g. Uji alergi kulit
Tujuan dari uji alergi kulit adalah menunjukkan adanya antibodi IgE
spesifik dalam tubuh. Uji alergen positif tidak selalu merupakan penyebab
asma, jadi uji tersebut hanya sebagai penyokong anamnesis (GINA, 2012).
7. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan
kualitas hidup agar penderita dapat hidup dengan normal tanpa hambatan
dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Pada prinsipnya penatalaksanaan asma
di klasifikasikan menjadi 2, yaitu :
a. Penatalaksanaan asma akut (saat serangan)
Pada serangan asma obat-obatan yang digunakan adalah :
1) Bronkodilator (β2-agonis kerja cepat dan ipratropium brimoda)
2) Kortikosteroid sistemik
Pada serangan ringan obat yang digunakan hanya β2-agonis kerja cepat
yang sebaiknya diberikan dalam bentuk inhalasi. Bila tidak memungkinkan
dapat diberikan secara sistemik. Pada dewasa dapat diberikan kombinasi
dengan teofilin/aminofilin oral.
Paa keadaan tertentu (seperti ada riwayat serangan berat sebelumnya)
kortikosteroid oral (metilprednisolon) dapat diberikan dalam waktu singkat
3-5 hari. Pada serangan sedang diberikan β2-agonis kerja cepat dan
kortikosteroid oral. Pada serangan berat pasien dirawat dan diberikan
oksigen, cairan, β2-agonis kerja cepat ipratropium bromide inhalasi,
kortikosteroid IV dan aminofilin IV (bolus atau drip). Apabila β2-agonis
kerja cepat tidak tersedia dapat digantikan dengan adrenalin subkutan.
b. Penatalaksanaan asma jangka panjang
Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan untuk mengontrol asma dan
mencegah serangan. Pengobatan asma jangka panjang disesuaikan dengan
klasifikasi beratnya asma. Prinsip pengobatan jangka panjang meliputi :
1) Edukasi
Edukasi yang diberikan meliputi :
a) Kapan pasien berobat/mencari pertolongan
b) Mengenali gejala serangan asma secara dini
c) Mengetahui obat-obat pelega dan pengontrol serta cara dan waktu
penggunaannya
d) Mengenali dan menghindari faktor pencetus
e) Kontrol teratur
2) Obat asma (pengontrol dan pelega)
Obat asma terdiri dari obat pelega dan pengontrol. Obat pelega diberikan
pada saat serangan asma, sedangkan obat pengontrol ditujukan untuk
pencegahan serangan asma dan diberikan dalam jangka panjang dan terus
menerus. Obat pengontrol asma menggunakan anti inflamasi
(kortikosteroid inhalasi). Pada anak, kontrol lingkungan mutlak
dilakukan sebelum diberikan kortikosteroid dan dosis diturunkan apabila
dua sampai tiga bulan kondisi telah terkontrol. Obat asma yang
digunakan sebagai pengontrol antara lain :
a) Inhalasi kortikosteroid
b) β2-agonis kerja panjang
c) Antileukotrien
d) Teofilin lepas lambat
3) Menjaga kebugaran
Selain edukasi dan obat-obatan diperlukan juga menjaga kebugaran
antara lain dengan melakukan senam asma. Pada dewasa, dengan senam
asma Indonesia yang teratur, asma terkontrol akan tetap terjaga,
sedangkan pada anak dapat menggunakan olahraga lain yang menunjang
kebugaran (Kemenkes RI, 2008).
Resume Video :
Pada penjelasan di dalam video tersebut, dijelaskan mengenai pertolongan
pertama pada penderita asma. Pada awal video dijelaskan mengenai tanda
gejala asma yang palin umum, yaitu wheezing, sesak nafas dan batuk. Terdapat
4 step dalam melakukan pertolongan pertama, step 1 dudukan penderita tegak
lurus dengan nyaman. Step 2 goyangkan inhaler kemudian berikan penderita 4
hisapan obat pelega nafas. Step 3 tunggu selama 4 menit dan berikan 4 hisapan
lagi jika penderita belum dapat bernafas dengan normal. Step 4 panggil
ambulan jika penderita masih belum dapat bernafas dengan normal dan terus
berikan hisapan obat pelega nafas seperti sebelumnya setiap 4 menit sampai
ambulan tiba.
8. Komplikasi
Berbagai komplikasi menurut Setiawan (2018), yang mungkin timbul adalah :
a. Pneumothoraks
Pneumothoraks adalah keadaan adanya udara di dalam rongga pleura yang
dicurigai bila terdapat benturan atau tusukan dada. Keadaan ini dapat
menyebabkan kolaps paru yang lebih lanjut lagi dapat menyebabkan
kegagalan napas.
b. Pneumomediastinum
Pneumomediastinum dari bahasa Yunani pneuma “udara”, juga dikenal
sebagai emfisema mediastinum adalah suatu kondisi dimana 26 udara hadir
di mediastinum. Pertama dijelaskan pada 1819 oleh Rene Laennec, kondisi
ini dapat disebabkan oleh trauma fisik atau situasi lain yang mengarah ke
udara keluar dari paru-paru, saluran udara atau usus ke dalam rongga dada.
c. Atelektasis
Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat
penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat
pernafasan yang sangat dangkal.
d. Aspergilosis
Aspergilosis merupakan penyakit pernapasan yang disebabkan oleh jamur
dan tersifat oleh adanya gangguan pernapasan yang berat. Penyakit ini juga
dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lainnya, misalnya pada otak
dan mata. Istilah Aspergilosis dipakai untuk menunjukkan adanya infeksi
Aspergillus sp.
e. Gagal napas
Gagal napas dapat tejadi bila pertukaran oksigen terhadap karbodioksida
dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan
pembentukan karbondioksida dalam sel-sel tubuh.
f. Bronkhitis
Bronkhitis atau radang paru-paru adalah kondisi di mana lapisan bagian
dalam dari saluran pernapasan di paru-paru yang kecil (bronkhiolis)
mengalami bengkak. Selain bengkak juga terjadi peningkatan produksi
lendir (dahak). Akibatnya penderita merasa perlu 27 batuk berulang-ulang
dalam upaya mengeluarkan lendir yang berlebihan, atau merasa sulit
bernapas karena sebagian saluran udara menjadi sempit oleh adanya lendir.