BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sindrom Stevens-Johnson, biasanya disingkatkan sebagai SJS atau dikenal juga dengan sebutan eritema
multiforme mayor. Penyakit ini disebabkan oleh reaksi hipersensitif (alergi) terhadap obat, infeksi HIV,
penyakit jaringan ikat dan kanker merupakan faktor risiko penyakit ini. Efek samping obat ini mengenai
kulit, mata terutama selaput mukosa. (Smeltzer, Suzanne C. 2001)
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun, kebawah kemudian umurnya bervariasi dari ringan
sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma,
mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodiomal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala,
batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.
Sindrom Steven Johnson ditemukan oleh dua dokter anak Amerika. A. M. Steven dan S.C Johnson, 1992
Sindrom Steven Johnson yang bisa disingkat SSJ merupakan reaksi alergi yang hebat terhadap obat-
obatan.
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta di ruang rawat inap di bangsal Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin, yang didiagnosis SSJ, SSJ overlap NET, dan NET periode Agustus 2011-Agustus 2013. Hasil
menunjukkan, bahwa terdapat 27 kasus SSJ, SSJ overlap NET, dan NET dari 485 pasien yang dirawat. Dari
27 pasien, sebanyak 15 pasien (3,09%) didiagnosis SSJ, 7 pasien (1,44%) dengan SSJ overlap NET, dan 5
pasien (1,030%) didiagnosis sebagai NET. Pada penelitian ini didapatkan, bahwa angka kejadian SSJ lebih
tinggi dibandingkan dengan NET selama periode Agustus 2011-Agustus 2013. Penanganan NET yang
komprehensif, dapat membantu klinisi dalam menurunkan angka kematian pada pasien dengan NET di
rumah sakit.
Angka kejadian Sindrom Steven Johnson sebenarnya tidak tinggi hanya sekitar 1-14 per 1 juta penduduk.
Sindrom Steven Johnson dapat timbul sebagai gatal-gatal hebat pada mulanya, diikuti dengan bengkak
dan kemerahan pada kulit. Setelah beberapa waktu, bila obat yang menyebabkan tidak dihentikan, serta
dapat timbul demam, sariawan pada mulut, mata, anus, dan kemaluan serta dapat terjadi luka-luka
seperti keropeng pada kulit. Namun pada keadaan-keadaan kelainan sistem imun seperti HIV dan AIDS
angka kejadiannya dapat meningkat secara tajam.
Dari data diatas penulis tertarik mengangkat kasus Sindrom Steven Johnson karena Sindrom Steven
Johnson sangat berbahaya bahkan dapat menyebabkan kematian. Sindrom tidak menyerang anak
dibawah 3 tahun, dan penyebab Sindrom Steven Johnson sendiri sangat bervariasi ada yang dari obat-
obatan dan dari alergi yang hebat, dan ciri-ciri penyakit Steven Johnson sendiri gatal-gatal pada kulit dan
badan kemerah-merahan dan Sindrom ini bervariasi ada yang berat dan ada yang ringan.
1.2.Rumusan Masalah
1.3. Tujuan
a. Tujuan Umum
Menjelaskan asuhan keperawatan yang diberikan pada klien dengan Steven Johnson Syndrom.
b. Tujuan Khusus
2. Menjelasakan hasil asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien dengan Steven Johnson.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1. Definisi
Sindrom stevens-Johnson ( SSJ ) merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lender di orifisium,
dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat. Kelainan pada kulit berupa
eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura. (Smeltzer, Suzanne C. 2001)
Steven Johnson Adalah sindroma yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan mata dengan
keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula,
dapat disertai purpura( Mochtar Hamzah, 2005 : 147 ).
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai
purpura yang mengenai kulit, selaput lender di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi
dari baik sampai buruk.( Kapita Selekta Kedokteran, 2000 : 136 )
2.2. Etiologi
Etiologi pasti Sindrom Stevens – Johnson (SSJ) belum diketahui. Salah satu penyebabnya ialah alergi
obat sistemik, diantaranya penisilin dan semisintetiknya, streptomisin, sulfonamide, tetrasiklin,
antipiretik/analgetik (misalnya : derivate salisil/pirazolon, metamizol, metampiron, dan parasetamol),
klorpromazin, karbamazepin, kinin, antipirin, dan jamu. Selain itu dapat juga disebabkan oleh infeksi
(bakteri, virus, jamur, parasit), neoplasma, psca vaksinasi, radiasi, dan makanan.
Menurut buku Kapita Selekta Kedokteran 2 yaitu penyebab belum diketahui dengan pasti, namun
beberapa factor yang dapat dianggap sebagai penyebab adalah:
Ø Penisilline
Ø Sthreptomicine
Ø Sulfonamide
Ø Tetrasiklin
b) Anti piretik atau analgesic ( derifat, salisil/pirazolon, metamizol, metampiron dan paracetamol )
Ø Kloepromazin
Ø Karbamazepin
Ø Kirin Antipirin
Ø Tegretol
f) Makanan (coklat)
2.3. Klasifikasi
Kulit adalah suatu organ pembungkus seluruh permukaan luar tubuh, merupakan organ terberat dan
terbesar dari tubuh. Seluruh kulit beratnya sekitar 16 % berat tubuh, pada orang dewasa sekitar 2,7 –
3,6 kg dan luasnya sekitar 1,5 – 1,9 meter persegi. Tebalnya kulit bervariasi mulai 0,5 mm sampai 6 mm
tergantung dari letak, umur dan jenis kelamin. Kulit tipis terletak pada kelopak mata, penis, labium
minus dan kulit bagian medial lengan atas. Sedangkan kulit tebal terdapat pada telapak tangan, telapak
kaki, punggung, bahu dan bokong.
Menurut Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth,
edisi 8, volume 3 Secara embriologis kulit berasal dari dua lapis yang berbeda, lapisan luar adalah
epidermis yang merupakan lapisan epitel berasal dari ectoderm sedangkan lapisan dalam yang berasal
dari mesoderm adalah dermis atau korium yang merupakan suatu lapisan jaringan ikat.
1. Lapisan Kulit
a. Epidermis
Epidermis adalah lapisan luar kulit yang tipis dan avaskuler..Epidermis terdiri atas lima lapisan (dari
lapisan yang paling atas sampai yang terdalam) : Stratum Korneum,Stratum Lusidum,Stratum
Granulosum,Stratum Spinosum,Stratum Basale (Stratum Germinativum),
Fungsi Epidermis :Proteksi barier,Organisasi sel, Sintesis vitamin D dan sitokin, Pembelahan dan
mobilisasi sel, Pigmentasi (melanosit), Pengenalan alergen (sel Langerhans),
b.Dermis
Dermis Merupakan bagian yang paling penting di kulit yang sering dianggap sebagai “True Skin”. Terdiri
atas jaringan ikat yang menyokong epidermis dan menghubungkannya dengan jaringan subkutis.
c.Subcutis
Subkutan Merupakan lapisan di bawah dermis atau hipodermis yang terdiri dari lapisan lemak. Lapisan
ini terdapat jaringan ikat yang menghubungkan kulit secara longgar dengan jaringan di bawahnya.
Jumlah dan ukurannya berbeda-beda menurut daerah di tubuh dan keadaan nutrisi individu. Berfungsi
menunjang suplai darah ke dermis untuk regenerasi.
3.Fisiologi kulit
Kulit merupakan organ yang berfungsi sangat penting bagi tubuh diantaranya adalah memungkinkan
bertahan dalam berbagai kondisi lingkungan, sebagai barier infeksi, mengontrol suhu tubuh
(termoregulasi), sensasi, eskresi dan metabolisme.
4.Fungsi Imun
Imunitas alami akan memberikan respons nonspesipik terhadap setiap penterang asing tanpa
memperhatikan komposisi penyerang tersebut. Dasar dari mekanisme pertahanan alami berupa
kemampuan untuk membeda kan antara “diri sendiri” dan “bukan diri sendiri”. Sawar fisik mencakup
kulit serta membrane mukosa yang utuh sehingga mikroorganisme pathogen dapat dicegah agar tidak
masuk ke dalam tubuh, dan silia pada traktus respiratorius bersama respons batuk serta bersin yang
bekerja sebagai filter dan membersihkan saluran nafas atas dari mikroorganisme pathogen sebelum
mikroorganisme tersebut dapat menginvasi tubuh lebih lanjut.
Sawar kimia seperti getah lambung yang asam, enzim dalam air mata serta air liur (saliva) dan substansi
dalam secret kelenjar sebasea serta lakrimalis, bekerja dengan cara nonspesifik unuk menghancurkan
bakteri dan jamur yang menginvasi tubuh. Sel darah putih atau leukosit turut serta dalam respons imun
humoral maupun seluler. Leukosit granuler atau granulosit yang mencakup neutrofil, eusinofil, dan
basofil.
Imunitas yang didapat (acquired immunity) terdiri atas respons imunyang tidak dijumpai pada saat lahir
tetapi akan diperoleh kemudian dalam hidup seseorang. Imunitas ini didapat biasanya terjadi setelah
seseorang terjangkit penyakit atau mendapatkan imunisasi yang menghasilkan respons imunyang
bersifat protektif. Pada imunitas yang didapat aktif, pertahanan imunologo akan dibentuk tubuh orang
yang dilindungi oleh imunitas tersebut. Imunitas ini biasanya berlangsung selama bertahun – tahun atau
bahkan seumur hidup. Imunitas didapat yang pasif merupakan imunitas temporer yang ditransmisikan
dari sumber lain yang sudah memiliki kekebalan setelah penderita sakit atau menjalani imunisasi. Gama
– globulin dan antiserum yang didapat dari plasma darah rang yang memiliki imunitas didapatkan dalam
keadaan darurat untuk memberikan kekebalan terhadap penyakit ketika resiko terjangkit suatu penyakit
tertentu cukup besar.
Terdapat empat stadium yang batasnya jelas dalam suatu respons imun, keempat stadium tersebut
yaitu :Stadium pengenalan, Stadium proliferasi, Stadium respons, Stadium efektor,
faktor – faktor yang mempengaruhi system imun Usia, Jenis kelamin, Nutrisi, Penyakit, Faktor – faktor
psikoneuro-imunologi, Obat – obatan.
d. Antigen
Terdapat beberpa teori tentang mekanisme yang digunakan limfosit B untuk mengenali antigen
penyerang dan kemudian bereaksi dengan memproduksi antibody yang tepat. Sebagian antigen
memiliki kemampuan untuk memicu pembentukan antibody secara langsung oleh limfosit B, sementara
sebagian lainnya memerlukan bantuan sel – sel T. sel T merupakan bagian dari system surveilans yang
tersebar diseluruh tubuh, dengan bantuan makrofag maka limfosit T akan manganali antigen dari
penyerang asing. Limfosit T mengambil pesan antigenic atau cetak biru (blueprint) antigen dan
kemudian kembali ke nodus limfatikus yang terdekat dengan pesan tersebut.
e.Antibody
Limfosit B yang disimpan dalam nodus limfatikus, dibagi lagi menjadi ribuan klon yang masing – masing
bersifatrespnsif terhadap suatu kelompok tunggal antigen dengan karakteristik yang hamper identik.
Pesan antigenic yang dibawa kembali ke nodus limfatikus akan menstimulasi klon spesifik limfosit B
untuk membesar, membelah diri, dan memperbanyak diri dan berdiferensiasi menjadi sel – sel plasma
yang dapat memproduksi antibody spesifik terhadap antigen.
Antibody merupakan protein besar yang dinamakan immunoglobulin, setiap molekul antibody terdiri
atas dua subunit yang mengandung rantai peptide ringan dan berat. Beberapa karakteristik
immunoglobulin yaitu antara lain , Ig G (75 % dari total imunoglobulin), Ig A (15 % dari total
imunoglobulin), Ig M (10 % dari total imunoglobulin), Ig D (0,2 % dari total imunoglobulin),Ig E (0,004 %
dari total imunoglobulin)
Reaksi seluler dimulai sel pengikatan antigen dengan reseptor antigen pada permukaan sel T. sel T akan
membawa cetak biru atau pesan antigenic ke nodus limfatikus tempat produksi sel – sel T yang lain
distimulasi. Sebagian sel T tetap berada dalam nodus limfatikus dan mempertahankan memri untuk
antigen tersebut. Sedangkan sebagian sel T lainnya akan bermigrasi dari nodus limfatikus ke dalam
system sirkulasi umum dan akhirnya ke jaringan tempat sel tersebut berada.
Terdapat dua klasifikasi utama sel T efektor yang turut serta dalam menghancurkan mikroorgansme
asing. Sel T killer atau sitotoksik menyerang antigen sacara langsung dengan mengubah membrane sel
dan menyebabkan lisis sel. Sel – sel hipersensitifitas tipe lambat melindungi tubuh melalui produksi dan
pelepasan limfosit. Limfokin yang termasuk dalam kelompok glikoprotein yang lebih besar dan dikenal
dengan nama sitokin, dapat merekrut, mengaktifkan serta mengatur limfosit dan sel – sel darah putih
lainnya.
Limfosit lain yang membantu dalam memerangi mikroorganisme yaitu limfosit null dan sel natural killer
(NK). Limfosit null, merupakan subpolpulasi limfosit yang kurang mengandung cirri – cirri khas dari
limfosit B dan T. Sel NK yang mewakili suppulasi limfosit lainnya tanpa karakteristik sel B dan T yang akan
mempertahankan tubuh terhadap mikroorganisme dan beberapa tipe sel malignan. Sel NK dapat
membunuh langsung mikroorganisme penginvasi dan menghasilkan sitokin.
2.4. Patofisiologis
Patogenesisnya belum jelas, kemungkinan disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi tipe
III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk mikro-presitipasi sehingga
terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan
lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas
tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama
kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Djuanda, 2000: 147) .
karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi Kegagalan fungsi kulit yang
menyebabkan kehilangan cairan, Stres hormonal diikuti peningkatan resisitensi terhadap insulin,
hiperglikemia dan glukosuriat, Kegagalan termoregulasi, Kegagalan fungsi imun, Infeksi.
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap didalam
pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi
terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan
menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan
komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat
terjadinya rekasi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang
rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus
peradangan berlanjut (Corwin, 2000: 72).
Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil Limfokin atau sitotoksik oleh
suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh
sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.
PATHWAY
2.5. Manifestasi Klinis
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Pada usia tersebut anak jarang mengalami
alergi karna masih proses mengenali. Karna semua dianggap baik. Keadaan umumnya bervariasi dari
ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma.
Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala,
batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.
1. Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga
terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya
generalisata.
Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%) kemudian disusul oleh kelainan
dilubang alat genital (50%) sedangkan dilubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%).
Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta
kehitaman. Juga dalam terbentuk pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampak yaitu krusta
berwarna hitam yang tebal.
Kelainan dimukosa dapat juga terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas dan esopfagus.
Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran di
faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas.
3. Kelainan mata
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang tersering ialah konjungtivitis kataralis. Selain
itu juga dapat berupa kongjungtivitis purulen, perdarahan, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis. Disamping
trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya: nefritis dan onikolisis.
2.6. Penatalaksanaan
1. Kortikosteroid
Digunakan secara luas untuk mengobati beberapa kondisi medis. Umumnya, obat ini digunakan untuk
meredakan gejala pembengkakan, kemerahan, gatal-gatal, dan reaksi alergi.Bentuknya bisa tablet, cair,
suntik, inhaler atau hirup atau oles. Bisa dikonsumsi untuk anak-anak serta orang dewasa.
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-40 mg sehari.
Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat.
Kortikosteroid merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksametason intravena dengan dosis
permulaan 4-6 x 5 mg sehari.
Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari. Pasien steven-Johnson berat harus segera dirawat
dan diberikan deksametason 6×5 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan umum membaik,
tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat, setiap hari
diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena diganti dengan tablet
kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari
kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira
10 hari.
Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K, Na dan Cl). Bila ada
gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah
garam bila terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi efek katabolik dari kortikosteroid diberikan diet
tinggi protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan nanadrolon. Fenilpropionat dosis 25-50 mg
untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat badan).
2. Antibiotik
Antibiotic berfungsi Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat
menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas dan
bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.
Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat
menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan
infus misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari,
maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut, terutama pada
kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan
vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik.
4. Topikal
Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in oral base. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat
diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.
2.7. Komplikasi
Bronkopneumonia (16%), sepsis, kehilangan cairan/darah, gangguan keseimbangan elektrolit, syok, dan
kebutaan karena gangguan lakrimasi.
Sindrom steven johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai berikut:
Kutaneus – timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit sekunder
1. Laboratorium
2. Histopatologi
3. Imunologi
Deposit IgM dan C3 di pembuluh darah dermal superficial dan pada pembulih darah yang
mengalami kerusakan
Terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA secara tersendiri atau dalam kombinasi
2.9. Asuhan Keperawatan
2.9.1. Pengkajian
1. Identitas
Kaji nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat,
dan nomor register.
2. Riwayat Kesehatan
- Keluhan Utama
Kaji bagaimana kondisi klien saat dilakukan pengkajian. Klien dengan Steven Johnson biasanya
mengeluhkan dema, malaise, kulit merah dan gatal, nyeri kepala, batuk, pilek, dan sakit tenggorokan.
- Riwayat Kesehatan Dahulu
Kaji riwayat alergi makanan klien, riwayat konsumsi obat-obatan dahulu, riwayat penyakit yang
sebelumnya dialami klien.
Kaji apakah di dalam keluarga klien, ada yang mengalami penyakit yang sama.
- Riwayat Psikososial
b. Apakah klien klien memiliki riwayat merokok, alkohol, dan konsumsi obat-obatan tertentu?
Pada klien dengan Steven Johnson, biasanya penting dikaji riwayat konsumsi obat-obatan tertentu.
a. Bagaimanakah pola makan dan minum klien sebelum dan selama dirawat di rumah sakit?
Pada klien dengan Steven Johnson, biasanya mengalami penurunan nafsu makan, sariawan pada mulut,
dan kesulitan menelan.
- Pola eliminasi
Klien dengan Steven Johnson, biasanya akan mengalami retensi urin, konstipasi, membutuhkan bantuan
untuk eliminasi dari keluarga atau perawat.
0 = mandiri
2 = membutuhkan pengawasan
4 = ketergantungan
: Klien dengan Steven Johnson biasanya tampak gelisah dan merasa lemas, sehingga sulit untuk
beraktifitas.
: Klien dengan Steven Johnson, akan mengalami kesulitan untuk tidur dan istirahat karena nyeri yang
dirasakan, rasa panas dan gatal-gatal pada kulit.
: Klien dengan Steven Johnson akan mengalami kekaburan pada penglihatannya, serta rasa nyeri dan
panas di kulitnya
: Dengan keadaan kulitnya yang mengalami kemerahan, klien merasa malu dengan keadaan tersebut,
dan mengalami gangguan pada citra dirinya.
- Data fokus:
DS: gatal-gatal pada kulit, sulit menelan, pandangan kabur, aktifitas menurun
DO: kemerah-merahan, memegang tenggorokan, tampak gelisah, tampak lemas dalam beraktifitas.
Histopatologi : infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah merah, degenerasi lapisan
basalis,- nekrosis sel epidermal, spongiosis dan edema intrasel di epidermis.
Imunologi : deposis IgM dan C3 serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA
2.9.2 Diagnosa Keperawatan
2. Gangguan integritas kulit berhungan dengan kerusakan permukaan kulit karena destruksi lapisan
kulit
3. Kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan perpindahan cairan dari intravaskuler ke
dalam rongga interstisial, hilangnya cairan secara evaporasi, rusaknya jaringan kulit akibat luka.
4. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan menelan.
7. Gangguan citra tubuh : penampilan peran berhubungan dengan krisis situasi, kecacatan, kejadian
traumatic
2.9.3 Intervensi
- RR : 16 - 20 x/menit
- N : 60 – 90 x/menit
1 Kaji tingkat skala nyeri 1 – 10, lokasi dan Untuk mengetahui tingkat nyeri klien dan
intensitas nyeri merupakan data dasar untuk memberikan
intervensi
2 Kaji tanda-tanda vital (TD, RR, N) Untuk memonitor keadaan klien dan
mengetahui terjadinaya syok neurologik
3 Anjurkan dan ajarkan klien tehnik relaksasi Untuk mengurangi persepsi nyeri,
nafas dalam, distraksi, imajinasi meningkatkan relaksasi dan menurunkan
ketegangan otot
4 Tingkatkan periode tidur tanpa gangguan Kekurangan tidur dapat meningkatkan persepsi
nyeri
5 Kendalikan faktor lingkungan yang dapat Lingkungan yang tenang dapat menjadikan
mempengaruhi respon pasien terhadap pasien dapat istirahat.
ketidaknyamanan
2. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kerusakan permukaan kulit karena destruksi lapisan
kulit
No Intervensi Rasional
1 Kaji ukuran, warna luka, perhatikan jaringan Memberikan informasi dasar tentang kondisi
nekrotik dan kondisi sekitar luka luka
2 Berikan perawatan luka yang tepat dan Meningkatkan pemulihan dan menurunkan
tindakan kontrol infeksi risiko infeksi
3 Berikan lingkungan yang lembab dengan Lingkungan yang lembab memberikan kondisi
kompres optimum bagi penyembuhan luka
Kriteria hasil :
- Luka mencapai penyembuhan tepat pada waktunya dan bebas dari purulent
- Tidak ada tanda-tanda infeksi (nyeri, merah, bengkak, panas, fungsio lesi)
- N : 60 – 90 x/menit
3. Kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan perpindahan cairan dari intravaskuler ke
dalam rongga interstisial dan rusaknya jaringan kulit akibat luka.
Kriteria hasil :
1 Kaji dan catat turgor kulit Untuk mengetahui keseimbangan cairan tubuh
3 Monitor dan catat cairan yang masuk Agar keseimbangan cairan tubuh klien
dan keluar terpantau
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan menelan.
Kriteria hasil :
1 Monitor intake dan output nutrisi Untuk mengetahui pemasukan dan pengeluaran
makanan
3 Jaga kebersihan mulut untuk Mulut yang bersih memungkinkan peningkatan nafsu
menambah nafsu makan pasien makan
4 Berikan makan sedikit tapi sering Makanan dalam porsi kecil mudah dikonsumsi oleh
hingga jumlah asupan nutrisi klien dan mencegah terjadinya anoreksia.
tercukupi
6 Kolaborasi dengan ahli gizi untuk Agar kebutuhan nutrisi klien terpenuhi
menentukan kebutuhan nutsi
klien
7 Kolaborasi dengan tim medis Memberikan dukungan nutrisi bila klien tidak bisa
tentang makanan pengganti mengkonsumsi jumlah yang cukup banyak peroral.
(enteral /parenteral)
1 Kaji respon individu terhadap aktivitas Untuk mengetahui tingkat kemampuan individu
dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari.
2 Bantu klien dalam memenuhi aktivitas Energi yang dikeluarkan lebih optimal
sehari-hari dengan tingkat keterbatasan
yang dimiliki klien
4 Libatkan keluarga dalam pemenuhan Klien mendapat dukungan psikologi dari keluarga
aktivitas klien
Kriteria hasil :
- Tidak ada tanda-tanda infeksi (merah, bengkak, panas, nyeri, fungsio lesi)
- RR : 16 – 20 x/menit
- Luka mencapai penyembuhan tepat waktu, bebas dari purulen dan tidak demam
No Intervensi Rasional
3 Jaga agar luka tetap bersih atau Menurunkan resiko inspeksi dan untuk mencegah
steril terjadinya kontaminasi silang
7. Gangguan citra tubuh : penampilan peran berhubungan dengan krisis situasi, kecacatan, kejadian
traumatic
Kriteria hasil :
- Klien bicara dengan keluarga terdekat tentang situasi/ perubahan yang terjadi
N Intervensi Rasional
o
2 Terima dan akui ekspresi frustasi, Penerimaan perasaan sebagai respons normal
ketergatnungan, marah, kedukaan. terhadap apa yang terjadi membantu perbaikan
Perhatikan perilaku menarik diri dan
penggunaan penyangkalan
6 Dorong interaksi keluarga dan dengan Mempertahankan /membuka garis komunikasi dan
tim medis rehabilitasi memberikan dukungan terus-menerus pada pasien
dan keluarga
BAB III
TINJAUAN KASUS
Tn. A usia 20 tahun BB= 55 Kg TB= 170 cm, dirawat di ruang rawat dengan diagnose syndrome steven
jonson. Klien mengeluh nyeri dada, badan terasa pegal, nyeri ketika menelan, badan terasa lemah dan
lemas. Dari pemeriksaan fisik ditemukan data di hampir seluruh tubuhnya timbul eritema dan bula. Pada
mukosa bibir tampak stomatitis ulseratif spectrum luas, mata terdapat konjungtivis dan tampak edema
kemerahan sehingga klien sulit membuka mata. TTV = 120/80 mmHg. N= 100 x/menit, RR=24 x/menit S=
390 C. Dilakukan pemeriksaan laboratorium hematologi dengan hasil normal. Klien dilakukan
pemasangan NGT dan IVFD NaCl. Terapi obat yang diperoleh adalah salep gliserin, Deksametason
30mg/6 jam per IV dan gentamisin 400mg/12 jam perIV.
3.1 Pengkajian
Identitas
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
1. Keluhan Utama :
Klien mengeluh nyeri dada, badan terasa pegal, nyeri ketika menelan, badan terasa lemah dan lemas.
2. Riwayat Penyakit Saat ini :
Klien mengeluh nyeri dada, badan terasa pegal, nyeri ketika menelan, badan terasa lemah dan
lemas. Dari pemeriksaan fisik ditemukan data di hampir seluruh tubuhnya timbul eritema dan bula. Pada
mukosa bibir tampak stomatitis ulseratif spectrum luas, mata terdapat konjungtivis dan tampak edema
kemerahan sehingga klien sulit membuka mata. TTV = 120/80 mmHg. N= 100 x/menit, RR=24 x/menit S=
390 C. Dilakukan pemeriksaan laboratorium hematologi dengan hasil normal.
Klien mengatakan bahwa anggota keluarganya tidak ada yang pernah menderita penyakit Sindrom
Stevens-Johnson
A. Pemeriksaan Fisik :
Tanda-tanda Vital
- Suhu : 39o C
- Berat Badan : 55 Kg
I DS:
DO:
- PQRST:
P: Sesak
Q: ditusuk-tusuk
R: Di dada
S: Skala 3
II DS:
Hipertermi, Kehilangan Kekurangan
Plasma. Volume Cairan
DO:
- Pada pemeriksaan Suhu pasien 390C
- Pada pemeriksaan RR pasien 28
x/menit
- Terdapat bula
Do:
IV DS:
Do:
Eritema, Bula Kerusakan
- Pada tubuh Integritas Kulit
pasien terdapat Eritema di Seluruh tubuh
KH: - Kekurangan
tidur dapat
Diharapkan meningkatkan
- Tingkatkan
- Pasien periode tidur tanpa persepsi nyeri
mengatakanbadan gangguan
terasa pegal
berkurang - Untuk
memberikan
- Pasien kenyamanan pada
mengatakan nyeri - Berikan posisi pasien.
dada sudah yang nyaman
berkurang
- Pasien
mengatakan badan
lemas dan lemah
sudah berkurang
- Pada
pemeriksaan tanda-
tanda vital normal
(Tekanan darah
diastolic 110-130
mmHg, sistolik 70-
90 mmHg)
- Pasien - Untuk
mengatakan menentukan
nutrisiyang
dibutuhkan
- Identifikasi
alergi makanan - Untuk
hygiene pasien
- Atur diet
sesuai kebutuhan
- Bantu pasien
untuk membersihkan
mulut sebelum dan
sesudah makan
KH: - Mengurangi
nyeri serta gatal
Diharapkan pada kulit.
- Pasien
mengatakan gatal
berkurang
- kolaborasi
- Pada pemberian obat salep
pemeriksaan bula gliserin,
berkurang Deksametason
30mg/6 jam per IV
dan gentamisin
400mg/12 jam perIV.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Steven Johnson syndrome menyerang seorang laki-laki dengan usia 20 tahun, pada penelitian tidak
ditemukan pada usia anak dibawah 3 tahun.
4.2.Saran
Steven Johnson syndrome adalah Katarak merupakan penyakit yang paling sering didapatkan pada usia
menua, umunya setelah usia 50 tahun ke atas. Klien dengan katarak agar lebih memperhatikan
lingkungan, tempat tinggal atau geografis agar tidak mempengaruhi terjadinya dan kecepatan
perkembangan katarak senilis.
DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth, edisi
Aesculapius : Jakarta