Anda di halaman 1dari 56

ASUHAN KEPERAWATAN SISTEM INTEGUMEN

SYNDROM STEVEN JOHNSON (SSJ)

DISUSUN OLEH :

Nama : Christin Wlena

NIM : 1610054

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ARTHA BODHI ISWARA

SURABAYA

2016
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Sindrom Stevens-Johnson Dijelaskan pertama kali pada tahun 1922, sindrom
Stevens-Johnson merupakan hipersensitivitas yang dimediasi kompleks imun yang
merupakan ekspresi berat dari eritema multiforme. Sindrom Stevens-Johnson (SSJ)
(ektodermosis erosiva pluriorifisialis, sindrom mukokutaneaokular, eritema
multiformis tipe Hebra, eritema multiforme mayor, eritema bulosa maligna) adalah
sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang
mengenai kulit, selaput lendir orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi
dari baik sampai buruk.(Hamzah,2002)
Meskipun nama penyakit ini sudah lama dikenal di kalangan medis, namun
karena penderitanya jarang sehingga kurang diketahui masyarakat. SJS bisa terjadi
karena adanya kompleks imun di dalam tubuh. Ketika terjadi ikatan antara antigen
dan antibodi yang disebut sebagai kompleks imun, kompleks imun tersebut
menimbulkan reaksi pada tempat dimana dia mengendap sehingga menimbulkan
kerusakan jaringan. SJS ini secara khusus melibatkan kulit dan membran mukosa atau
selaput lendir organ tertentu. Di kalangan medis nama penyakit ini dikenal juga
dengan sebutan Ektodermosis erosiva pluriorifisialis, eritema multiformis tipe Hebra,
eritema bulosa maligna, sindrom mukokutaneaokular, serta minor form of TEN (toxic
epidermal necrolysis).
Nama Sindrom Stevens-Johnson ini berasal dari Dr. Albert Mason Stevens
dan Dr. Frank Chambliss Johnson, dokter anak di Amerika yang mempublikasikan
kumpulan gejala ini di tahun 1922. Sindrom Steven Johnson ialah penyakit kulit akut
dan berat yang terdiri dari erupsi di kulit, kelainan di mukosa dan konjungtivitis
etiologi yang belum diketahui dengan pasti.
Beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai penyebab ialah : infeksi oleh
microorganisme seperti virus dan bakteri, obat-obatan, alergi yang hebat, faktor
endokrin dan faktor fisik seperti sinar matahari, hawa dingin, dan sinar-X. Ciri-ciri
penyakit SSJ meliputi gatal-gatal pada kulit dan badan kemerah-merahan dan
syndrom ini bervariasi ada yang berat dan ada yang ringan.
Angka kejadian SSJ sebenarnya tidak tinggi hanya sekitar 1-14 per 1 juta
penduduk. Syndrom ini tidak menyerang anak dibawah 3 tahun, karena pada usia
anak dibawah 3 tahun masih mendapatkan imunisasi oleh karena itu daya tahan
tubuhnya masih kuat.
Gejala SSJ dapat timbul sebagai gatal-gatal hebat pada mulanya, diikuti
dengan bengkak dan kemerahan pada kulit. Setelah beberapa waktu, bila obat yang
menyebabkan tidak dihentikan, dapat timbul demam, sariawan pada mulut, mata,
anus, dan kemaluan serta dapat terjadi luka-luka seperti koreng pada kulit. Namun
pada keadaan-keadaan kelainan sistem imun seperti HIV dan AIDS serta lupus angka
kejadiannya dapat meningkat secara tajam.
Mengingat morbiditas dan mortalitas SSJ maka, perawat sangat berperan
dalam membantu proses kesembuhan diri pasien, baik fisik maupun psikis,
mengayomi, memberi motivasi dan menjaga pasien.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa definisi Sindrom Stevens-Johnson ?
2 Bagaimana anatomi fisiologi dari kulit ?
3 Apa saja Sindrom Stevens-Johnson ?
4 Apa saja manifestasi Sindrom Stevens-Johnson ?
5 Bagaimana patofisiologi Sindrom Stevens-Johnson ?
6 Apa saja pemeriksaan penunjang Sindrom Stevens-Johnson ?
7 Apa saja komplikasi dari Sindrom Stevens-Johnson ?
8 Bagaimana penatalaksanaan Sindrom Stevens-Johnson ?
9 bagaimana asuhan keperawatan Sindrom Stevens-Johnson ?

1.3 TUJUAN PENULISAN


1.3.1 Tujuan umum
Mampu memahami dan meyusun asuhan keperawatan pada klien dengan
Sindrom Stevens-Johnson
1.3.2 Tujuan khusus
2. Untuk memahami definisi Sindrom Stevens-Johnson
3. Untuk memahami anatomi fisiologi dari kulit
4. Untuk memahami etiologi Sindrom Stevens-Johnson
5. Untuk memahami manifestasi Sindrom Stevens-Johnson
6. Untuk memahami patofisiologi Sindrom Stevens-Johnson
7. Untuk memahami pemeriksaan penunjang Sindrom Stevens-Johnson
8. Untuk memahamin komplikasi dari Sindrom Stevens-Johnson
9. Untuk memahami penatalaksanaan Sindrom Stevens-Johnson
10. Untuk memahami asuhan keperawatan Sindrom Stevens-Johnson

9.1 MANFAAT
Manfaat pejelasan ini adalah memberikan informasi ilmiah bagi mahasiswa Stikes
Abi Surabaya sehingga bisa bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi para
mahasiswa dibidang kesehatan.
BAB 2

TINJAUAN TEORI

2.1 DEFINISI

Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir
diorifisium, dan mata dengan keadaaan umum bervariasi dengan ringan sampai yanng
berat. Kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura.
(Muttaqin arif, 2012)

Stevens-Johnson Syndrome adalah sebuah kondisi mengancam jiwa yang


mempengaruhi kulit di mana kematian sel menyebabkan epidermis terpisah dari
dermis. Sindrom ini di perkirakan oleh karena reaksi hipersensitivitas yang
mempengaruhi kulit dan membrane mukosa. (NANDA, NIC-NOC)

Sindrom Steven Johnson (SSJ) adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput
lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai
berat, kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura
(Djuanda,2007).

Sindroma Stevens-Johnson merupakan suatu sindroma (kumpulan gejala) akut


yang mengenai kulit, selaput lendir di orificium dan mata dengan keadaan umum
yang bervariasi dari ringan sampai berat. Penyakit ini sering dianggap sebagai bentuk
dari Eritema Multiforme yang berat. (A Djuanda, Hamzah M, 2005)

Sindrom Stevens Johnson (SSJ) merupakan reaksi mukokutaneus akut yang


mengancam jiwa berupa nekrosis yang ekstensif dan lepasnya epidermis. SSJ ditandai
dengan adanya makula eritem yang luas atau lesi target atipikal dan erosi membran
mukosa yang berat. (JC Roujeau, Allanore LV, 2008)

2.2 ANATOMI DAN FISIOLOGI

2.2.1 Anatomi kulit

Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasi tubuh dari
lingkungan luar, kulit tidak bisa terpisah dari kehidupan manusia yang merupakan
organ assensial dan vital, kulit juga merupakan cermin kesehatan dari kehidupan
seseorang. Luas kulit orang dewasa 1.5 m2 dengan berat kira-kira 15% berat badan.
Kulit juga sangat komplek, elastis dan sensitif, bervariasi pada keadaaan iklim, umur,
seks, ras, dan juga bergantung pada lokasi tubuh.
Warna kulit berbeda-beda, dari kulit yang bewarna terang (fair skin), pirang
dan hitam, warna merah muda pada telapak kaki dan tangan bayi,sserta warna hitam
kecoklatan pada genetalia orang dewasa.
Kulit secara garis besar tersususn atas 3 lapisan utama yaitu :
1. Lapisan epidermis (kutikel)
Lapisan epidermis terdiri dari :
a. Stratum korneum (lapisan tanduk) adalah lapisan kulit yang paling luar
dan terdiri atas sel gepeng yang mati, tidak berinti, dan protoplasmanya
berubah menjadi keratin (zat tanduk).
b. Stratum lusidum terdapat langsung dibawah lapisan korneum, yang
merupakan lapisan sel-sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang
berubah menjadi protein yang disebut eleidin. Lapisan ini tampak/nyata
pada telapak tangan dan kaki.
c. Stratum granulosum (lapisan keratohialin) merupakan 2 atau 3 lapisan
sel-sel gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar serta terdapat inti
diantaranya dan terdapat jelas pada telapak tangan dan kaki.
d. Stratum spinosum (stratum malphigi) disebut juga picle cell layer
(lapisan akanta). Sel stratum spinosum mengandung banyak glikogen.
Stratum balase terdiri dari sel yang berbentuk kubus (kolumnar) yang
tersusun vertical pada pebatasan dermo epidermal seperti pagar
(palisade) dan merupakan lapisan epidermis yang paling bawah, sel
basal ini mengadakan mitosis yang berfungsi refroduktif.
Lapisan ini terdiri dari dua jenis sel yaitu?
1) Sel-sel ini berbentuk kolumnar denagn protoplasma terbentuk inti
lonjong dan besar berhubungan satu dengan yang lain oleh
jembatan antar sel.
2) Sel pembentuk melamin (melanosit) atau clear sell merupakan sel
bewarna muda, dengan sitiplasma basofilik dan inti gelap yang
mengandung butir pigmen (melanosomes).
2. Lapisan dermis (korium, kutis vera, true skin)
Lapisan dermis : Lapisan ini tepatnya dibawah epidermis yang jauh lebih
tebal dari pada epidermis dan terdiri atas lapisan elastic dan fibrosa padat.
Secara garis besar elemen seluler dan folikel rambut dibagi dua yaitu :
a. Pars papilare adalah bagian yang menonjol ke epidermis yang berisi
ujung serabut saraf dan pembuluh darah.
b. Pars retikulare adalah bagian yang dibawahnya menonjol kearah
subkutan terdiri dari serabut-serabut penunjang, misalnya serabut
(kolagen, elastin, dan retikulin). Dasar (matriks) lapisan ini terdiri atas
cairan kental, asam hialuronat dan kondroitin sulfat yang terdapat pula
fibroblast. Serabut kolagen dibentuk oleh fibroblast, membentuk ikatan
(bundel) yang mengandung hidroksiprolin dan hidroksisilin. Kolagen
muda bersifat lentur (dengan bertambah umur menjadi kurang larut
sehingga stabil). Serabut elastin biasanya bergelombang, berbentuk
amorf, mudah mengembang dan lebih elastis.
3. Lapisan subkutis (hypodermis)
Lapisan subkutis : Lapisan ini adalah kelanjutan dari dermis dan terdiri dari
jariangan ikat longgar berisi sel-sel lemak didalam nya lapisan sel sel lemak
disebut panikulus adipose yang berfungsi sebagai cadangan makanan.
Bagian lain yang terdapat pada lapisan subkutis adalah :
a. Ujung-ujung saraf tepi
b. Pembuluh darah
c. Getah bening
Vaskularisasi dikulit diatur oleh 2 pleksus yaitu :
a. Pleksus yang terletak dibagian atas dermis (pleksus superficial) dan
mengadakan anastomosis di papil dermis
b. Pleksus yang terletak disubkutis (pleksus profunda) mengadakan
anastomosis.
2.2.2 Adneksa kulit
Adneksa kult terdiri dari :
1. Kelenjar kelenjar
Kelenjar kulit terdapat di lapisan Dermis yang terdiri dari :
a. Kelenjar Keringat (Glandula Sudorifera)
ada dua macam kelenjar keringat yaitu :
1) Kelenjar Ekrin yang kecil-kecil dan terletak dangkal pada dermis
dengan secret yang encer, dan telah terbentuk sempurna pada 28
minggu kehamilan, berfungsi 40minggu setelah kelahiran berbentuk
spiral dan bermuara langsung di permukaan kulit, terbanyak di telapak
dan kaki.
2) Kelenjar Apokrin yang lebih besar, terletak lebih dalam dan sekretnya
lebih kental, dipengaruhi oleh saraf adrenergic, labio minora dan
saluran telinga luar. Fungsi apokrin pada manusia belum jelas, pada
waktu lahir kecil, dan pada pubertas mulai besar dan mengeluarkan
secret keringat yang mengandung air, elektrolit, asam laktat dan
glukosa, pH sekitar 4-6,8.
b. Kelenjar palit (grandula sebasea)
Terletak diseluruh permukaan kulit kecuali di telapak kaki dan kaki.
Kelenjar palit disebut juga kelenjar holokrin karena tidak berlumen dan
secret kelenjar ini berasal dari dekomposisi sel-sel kelenjar.
Kelenjar palit terdapat disampaing akar rambut (folikel rambut).
Sebelum mengandung trigleserida, asam lemak bebas, skualen, wax ester,
dan kolestrol. Sekresi dipengaruhi oleh hormon hedrogen, dan berfungsi
aktif pada usia pubertas.

2. Kuku
Kuku adalah lapisan terminal lapisan tanduk (stratum korneum) yang menebal.
Bagian-bagian dari kuku adalah :
a. Nail vood (akar kuku) terbenam dalam kulit.
b. Badan kuku bagian yang terbuka di atas jaringan lunak kulit
c. Ujung kuku bagian yang bebas (pertumbuhannya lebih kurang 1
mm/minggu)
d. Nail grove (sisi kuku) bagian yang agak cekung membentuk alur kuku.
e. Epinilium (kulit tipis) bagian proksimal yang menutupi kuku
f. Hiponiklum kulit yang ditutupi bagian kulit.
3. Rambu
Rambut adalah suatu pertumbuhan yang keluar dari kulit dan terdapat
diseluruh tubuh, kecuali pada telapak tangan dan kaki. Bagian yang terbenam
dalam kulit disebut akar rambut, bagian yang berada diluar kulit disebut
batang rambut. Dua (2) macam tife rambut yaitu :
a. Rambut lanugo yang merupakan rambut halus tidak mengandung pigmen
dan terdapat pada bayi
b. Rambut terminal yaitu rambut yang lebih kasar dengan banyak pigmen,
mempunyai medulla dan terdapat pada orang dewasa.
2.2.3 Fungsi kulit
Fungsi kulit utama yaitu :
1. Proteksi
Fungsi proteksi adalah menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan
fisi atau meknis.
a. Gangguan fisis missal nya tekanan, gesekan, tarikan
b. Gangguan kimiawi missal nya zat-zat kimia terutama yang bersifat
iritan.
Contohnya : lisol, karbol, asam, dan alkali kuat lainnya.
c. Gangguan bersifat panas misalnya : radiasi, sengatan sinar ultra violet
d. Gangguan infeksi luar terutama kuman/bakteri maupun jamur
2. Fungsi absobsi
Fungsi absobsi adalah kulit yang sehat dan tidak budah menyerab air,
larutan dan benda padat, tetapi cairan yang mudah menguap mudah
diserap, begitu pula yang larut dalam lemak. Stratum korneum mampu
untuk menyerap air dan mencegah kehilangan air dan mencegah
kehilangan air dan elektrolit yang berlebihan dari bagian internal tubuh.
3. Fungsi eksresi
Fungsi eksresi adalah mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna atau
sisa metabolisme dalam tubuh berupa NaCL, Urea, asam urat dan
ammonia.
4. Fungsi persepsi
Fungsi persepsi adalah fungsi terhadap ransangan panas yang
diperankan oleh badan-ruffini di dermis dan subkutis.
5. Fungsi pengaturan suhu tubuh (termoregulasi)
Pengaturan suhu tubuh adalah peran kulit untuk mengeluarkan keringat
dan mengerutkan otot (kontraksi oto) pembuluh darah kulit.
6. Fungsi pembentukan pigmen
Fungsi pembentukan pigmen yang terletak dilapisan basal ini bersal
dari rigi saraf (melanosif) dan peran untuk menentukan warna kulit, ras
maupun individu
7. Fungsi penbentukan vitamin D
Fungsi penbentukan vitamin D yang dapat mengubah 7 dihidrogsi
kolestrol dengan bantuan sinar matahari, kebutuhan vitamin tidak cukup
dengan sinar matahari sehingga vitamin D dapat diperlukan dengan
pemberian system vitamin D sistemik.
8. Fungsi keratinisasi
Fungsi keratinisasi yang terdapat pada epidermis dewasa yang
mempunyai tiga (3) jenis sel utama yaitu :
a. Keratinosis dimulai dari sel basah yang mengadakan pembelahan
sehingga terjadi perubahan bentuk menjadi sel spinosum makin ke
atas sel granulosum
b. Sel langerhans
c. Sel melanosit

2.3 KLASIFIKASI
Adapun klasifikasi dari Sindrom Stevens-Johnson, yaitu tertera dalam tabel
berikut ini.

Faktor yang Erythema Stevens- Stevens-Johnson Toxic


Membedakan Johnson epidermal
Multiforme syndrome/toxic
syndrome necrolysis
epidermal
necrolysis
Penampakan Targetlike, Merah Merah Digambarkan
Lesi kehitaman, kehitaman, kurang baik,
erythemateous
Datar atipikal Datar atipikal erythemateous
Datar atipikal
Distribusi Ekstremitas Wajah Wajah Wajah
Kerongkongan Kerongkongan Kerongkongan
Ekstremitas
Confluence Lesi terisolasi Lesi terisolasi Moderate Heavy
confluence confluence
Epidermal 0 <10 10-30 >30
detachment,
% dari daerah
kulit
Agen Nevirapine, lamotrigin, dan sertraline, sulfamethoxazole /
penyebab trimetoprim, sulfonamid, allopurinol, carbamazepine, phenytoin,
fenobarbital, dan obat anti-inflamasi, obat dari jenis oxicam

(Bozena Seczynska dkk, 2013)

2.4 ETIOLOGI

1. Penyebab utama timbulnya SJS adalah alergi obat, sedangkan penyebab


lainnya adalah infeksi, vaksinasi, penyakit graft-versus-host, neoplasma dan
radiasi. Obat yang paling sering terlibat adalah obat golongan antikonvulsan
(35,7%) terutama karbamazepin diikuti oleh antibiotika (28,5%), obat
antiinflamasi nonsteroid (OAINS) (14,3%), dan allopurinol (7,1%) menurut
hasil penelitian yang dilakukan di Changi General Hospital Singapore.
Penelitian yang dilakukan pada 82 pasien SJS di Korea Selatan menunjukkan
14,6% kasus disebabkan oleh obat antikonvulsan dan 11% disebabkan oleh
antibiotika.
2. Infeksi
a. Virus
Stevens Johnson Syndrom dapat terjadi pada stadium permulaan dari
infeksi saluran nafas atas oleh virus pneumonia. Hal ini dapat terjadi pada
Asian flu, Lympho Granuloma Venerium, Meales, Mumps dan vaksinasi
Smallpox virus.
Virus virus Coxsackie, Echovirus dan Poliomylitis juga dapat
menyebabkan Steven Jonhnson Syndrom.
b. Bakteri
Beberapa bakteri yang mungkin dapat menyebabkan Steven Jonhson
Syndrom ialah Brucellosis, Dyptheria, Erysipeloid, Glanders, Pneumonia,
Psittatcosis, Tularemia, Lepromatus Leprosy atau Typoid Fever.
c. Jamur
Coccidiodomycosis dan Histoplasmosis dapat menyebabkan Eritema
Multiforme Bulosa, yang pada keadaan berat juga dikatakan sebagai
Steven Johnson Syndrome.
d. Parasit
Malaria dan Trichomoniasis juga dikatakan sebagai agen penyebab.

3. Alergi Sistemik terhadap :


a. Zat tambahan pada makanan (Food Additive) dan zat warna
b. Kontaktan :
Bromofluerene, Fire sponge (Tedania Ignis) dan Rhus (3-
Pentadecylcatechol).
c. Faktor fisik
Sinar X, sinar matahari, cuaca dan lain lain.

2.5 PATOFISIOLOGI

Stevens-Johnson adalah bentuk penyakit mukokutan dengan tanda dan


gejala sistemik yang parah berupa lesi target dengan bentuk yang tidak teratur,
disertai macula, vesikel, bula, dan purpura yang tersebar luas terutama pada
rangka tubuh, terjadi pengelupasan epidermis kurang lebih sebesar 10% dari area
permukaan tubuh, serta melibatkan membran mukosa dari dua organ atau lebih.
Penyebab pasti dari Sindrom Stevens-Johnson saat ini belum diketahui
namun ditemukan beberapa hal yang memicu timbulnya seperti obat-obatan atau
infeksi virus. Meka-nisme terjadinya sindroma adalah reaksi hipersensitif terhadap
zat yang memi-cunya. Sindrom Stevens-Johnson mun-cul biasanya tidak lama
setelah obat disuntik atau diminum, dan besarnya kerusakan yang ditimbulkan
kadang tidak berhubungan langsung dengan dosis, namun sangat ditentukan oleh
reaksi tubuh pasien.
Faktor yang diduga kuat sebagai etiologinya adalah reaksi alergi obat
secara sistemik, infeksi bakteri, virus, jamur, protozoa, neoplasma, reaksi
pascavaksinasi, terapi radiasi, alergi makanan, bahan-bahan kimia dan penyakit
kolagen.
Hampir semua kasus SJS dan TEN disebabkan oleh reaksi toksik terhadap
obat, terutama antibiotik (mis. obat sulfa dan penisilin), antikejang (mis. fenitoin)
dan obat antinyeri, termasuk yang dijual tanpa resep (mis. ibuprofen).
Berdasarkan etiologi reaksi simpang obat (Sulfonamid, antikonvulsan aromatic,
NSAID, alupurinol, sulfonamide, klormenazon), sehingga mempengaruhi reaksi
hipersensitifitas tipe III.
Hipersensitif tipe III ditandai oleh pembentukan kompleks antigen-
antibodi (antibody IgG atau IgM) dalam sirkulasi yang dideposit dalam jaringan.
Komplemen teraktivasi melepas macrophage chermotatic factor. Makrofag
dikerahkan ke tempat tersebut melepas enzim yang dapat merusak jaringan.
Komplemen juga membentuk C3a dan C5a (anafilatoksin) yang merangsang sel
mast dan basofil melepas granul. Komplemen juga dapat menimbulkan lisis sel
bila kompleks diendapkan di jaringan sehingga terjadi kerusakan jaringan.
Akibatnya terjadi Akumulasi Neutrofil yang kemudian melepaskan Lisosim dan
menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran ( Target Organ ).
(Bratawidjaya KG, 2000)

2.6 MANIFESTASI KLINIS

Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya
bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita
dapat soporous sampai koma.

Penyakit SSJ sangat akut dan mendadak dapat di sertai gejala prodromal
berupa demam tinggi ( 38 C 40 C ), mulai nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri
tenggorokan yang dapat berlangsung 2 minggu. Gejala-gejala ini dengan segera akan
menjadi berat yang ditandai meningkatnya kecepatan nadi dan pernafasan, denyut
nadi melemah, kelemahan yang hebat serta menurunnya kesadaran, soporous sampai
koma. Pada sindroma ini terlihat adanya trias kelainan berupa :

1. Kelainan kulit
Kelainan pada kulit dapat berupa eritema, vesikal, dan bulla. Eritema
berbentuk cincin (pinggir eritema tengahnya relative hiperpigmentasi) yang
berkembang menjadi urtikari atau lesipapuler berbentuk target dengan pusat ungu
atau lesi sejenis dengan vesikel kecil. Vesikel kecil dan bulla kemudian memecah
sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi erupsi
hemorrhagis berupa ptechiae atau purpura. Bila disertai purpura - prognosisnya
menjadi lebih buruk. Pada keadaan yang berat kelainannya menjadi generalisata.

2. Kelainan selaput lendir di orifisium

Kelainan selaput lendir di orifisium yang tersering adalah pada mukosa mulut /
bibir (100%), kemudian disusul dengan kelainan dilubang alat genetalia (50%),
sedangkan di lubang hidung dan anus jarang (masingmasing 8%-4%). Kelainan yang
terjadi berupa stomatitis dengan vesikel pada bibir, lidah, mukosa mulut bagian
buccal. Stomatitis merupakan gejala yang dini dan menyolok. Stomatitis ini kemudian
menjadi lebih berat dengan pecahnya vesikel dan bulla sehingga terjadi erosi,
excoriasi, pendarahan, ulcerasi dan terbentuk krusta kehitaman. Juga dapat terbentuk
pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam
yang tebal. Adanya stomatitis ini dapat menyebabkan penderitaan sukar menelan.
Kelainan Dimukosa dapat juga terjadi di Faring, Traktus Respiratorius bagian atas dan
Esophagus. Terbentuknya Pseudo membrane di Faring dapat memberikan keluhan
sukar bernafas dan penderita tidak dapat makan dan minum.
3. Kelainan mata.

Kelainan pada mata merupakan 80% diantar semua kasus, yang sering terjadi
adalah Conjunctivitis Kataralis. Selain itu dapat terjadi Conjunctivitis Purulen,
pendarahan, Simblefaron , Ulcus Cornea, Iritis/Iridosiklitis yang pada akhirnya dapat
terjadi kebutaan sehingga dikenal trias yaitu Stomatitis, Conjuntivitis, Balanitis,
Uretritis.

2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Laboratorium : Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas. Jika terdapat
leukositosi, penyebabnya kemungkinan karena infeksi bakterial. Kalau
terdapat eosinofilia kemungkinan karena alergi. Jika disangka penyebabnya
karena infeksi dapat dilakukan kultur darah.
2. Histopatologi : Gambaran histopatologinya sesuai dengan eritema multiforme,
bervariasi dari perubahan dermal ringan sampai nekrolisis epidermal yang
menyelurh. Kelainan berupa:
a. Infiltrat sel mononuklear di sekitar pembuluh-pembuluh darah dermis
superfisial
b. Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar.
c. Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk epitel subepidermal.
d. Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang di adneksa.
e. Spongiosis dan edema intrasel di epidermis.Imunologi : Dijumpai deposis
IgM dan C3 di pembuluh darah dermal superficial serta terdapat komplek
imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.
3. Pemeriksaan darah lengkap (CBC) dapat menunjukkan kadar sel darah putih
yang normal atau leukositosis nonspesifik. Penurunan tajam kadar sel darah
putih dapat mengindikasikan kemungkinan infeksi bakterial berat.
4. Determine renal function and evaluate urine for blood.
5. Pemeriksaan elektrolit
6. Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi dicurigai terjadi.
7. Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan
kolonoskopi dapat dilakukan
8. Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonit

2.8 PENATALAKSANAAN

Penatalaksaan terhadap penderita Sindrom Stevens-Johnson memerlukan tindakan


yang tepatdan cepat. Penderita biasanya memerlukan perawatan di rumah sakit.
Penanganan yang perlu dilakukan meliputi:
1. Preparat Kortikosteroid
Penggunaan preparat kortikosteroid merupakan tindakan life saving.
Kortikosteroid yang biasa digunakan berupa deksametason secara intravena
dengan dosis permulaan 4-6 x 5mg sehari. Masa kritis biasanya dapat segera
diatasi dalam 2-3 hari, dan apabila keadaan umum membaik dan tidak timbul
lesi baru, sedangkan bila lesi lama mengalami involusi, maka dosis segera
diturunkan 5mg secara cepat setiap hari. Setelah dosis mencapai 5mg sehari
kemudian diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone, yang
diberikan dengan dosis 20 mg sehari, kemudian diturunkan menjadi 10mg
pada hari berikutnya selanjutnya pemberian obat dihentikan. Lama pengobatan
pre-parat kortikosteroid kira-kira berlangsung selama 10 hari. (M. Hamzah,
2007)
2. Antibiotik
Penggunaan preparat kortikosteroid dengan dosis tinggi menyebabkan
imunitas penderita menurun, maka antibiotic harus diberikan untuk mencegah
terjadinya infeksi sekunder, misalnya bronco-pneneumonia yang dapat
menyebabkan kematian. Antibiotik yang diberikan hendaknya yang jarang
menyebabkan alergi, ber-spektrum luas, bersifat bakterisidal, dan tidak
nefrotoksik. Antibiotik yang memenuhi syarat tersebut antara lain
siprofloksasin dengan dosis 2 x 400mg intravena, klindamisin dengan dosis 2
x 600mg intravena dan gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg. (Mansjoer S A,
Wardhani WI, Setiowulan W, 2000)
3. Infuse dan Transfusi Darah
Hal yang perlu diperhatikan kepada penderita adalah mengatur keseimbangan
cairan atau elektrolit tubuh, karena penderita sukar atau tidak dapat menelan
makanan atau minuman akibat adanya lesi oral dan tenggorokan serta
kesadaran penderita yang menurun. Infuse yang diberikan berupa glukosa 5%
dan larutan Darrow. Apabila terapi yang telah diberikan dan penderita belum
menampakkan perbaikan dalam waktu 2-3 hari, maka penderita dapat
diberikan transfuse darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut,
khususnya pada kasus yang disertai purpura yang luas dan leucopenia.
(Mansjoer S A, Wardhani WI, Setiowulan W, 2000)
4. KCl
Penderita yang menggunakan kortikosteroid umumnya mengalami penurunan
kalium atau hipokalemia, maka diberikan KCl dengan dosis 3 x 500 mg sehari
peroral. (M. Hamzah, 2007)
5. Adenocorticotropichormon (ACTH)
Penderita perlu diberikan ACTH untuk menghindari terjadinya supresi korteks
adrenal akibat pemberian kortikosteroid. ACTH yang diberikan berupa ACTH
sin-tetik dengan dosis 1 mg. (RS Siregar, 2004)
6. Agen Hemostatik
Agen hemostatik terutama diberi-kan pada penderita disertai purpura yang
luas. Agen hemostatik yang sering digunakan adalah vitamin K. (RS Siregar,
2004)
7. Diet
Diet rendah garam dan tinggi protein merupakan pola diet yang dianjurkan
kepada penderita. Akibat penggunaan preparat kortikosteroid dalam jangka
waktu lama, penderita mengalami retensi natrium dan kehilangan protein,
dengan diet rendah garam dan tinggi protein diharapkan konsentrasi garam
dan protein penderita dapat kembali normal. Penderita selain menjalani diet
rendah garam dan tinggi protein, dapat juga diberikan makanan yang lunak
atau cair, terutama pada penderita yang sukar menelan. (G Laskaris, 1994).
8. Vitamin
Vitamin yang diberikan berupa vitamin B kompleks dan vitamin C. Vitamin B
kompleks diduga dapat memperpendek durasi penyakit. Vitamin C diberikan
dengan dosis 500 mg atau 1000 mg sehari dan ditujukan terutama pada
penderita dengan kasus purpura yang luas sehingga pemberian vitamin dapat
membantu mengurangi permeabilitas kapiler. (M. Hamzah, 2007)

Perawatan pada kulit, mata, genital, dan oral:


1. Perawatan pada Kulit
Lesi kulit tidak memerlukan pengobatan spesifik, kebanyakan penderita
merasa lebih nyaman jika lesi kulit diolesi dengan ointment berupa vaselin,
polisporin, basitrasin. Rasa nyeri seringkali timbul pada lesi kulit dikarenakan
lesi seringkali melekat pada tempat tidur. Lesi kulit yang erosive dapat diatasi
dengan memberikan sofratulle atau krim sulfadiazine perak, larutan salin 0,9%
atau burow. Kompres dengan asam salisilat 0,1% dapat diberikan untuk
perawatan lesi pada kulit. Kerjasama antara dokter gigi dan dokter spesialis
ilmu penyakit kulit dan kelamin sangat diperlukan. (Mansjoer S A, Wardhani
WI, Setiowulan W, 2000)
2. Perawatan pada Mata
Perawatan pada mata memerlukan kebersihan mata yang baik, memberikan
kompres dengan larutan salin serta lubrikasi mata dengan air mata artificial
dan ointment. Pada kasus yang kronis,suplemen air mata seringkali digunakan
untuk mencegah terjadinya corneal epithelial breakdown. Antibiotik topikal
dapat digunakan untuk menghindari terjadinya infeksi sekunder.
3. Perawatan pada genital
Larutan salin dan petroleum berbentuk gel sering digunakan pada area genital
penderita. Penderita sindrom Stevens-Johnson yang seringkali mengalami
gangguan buang air kecil akibat uretritis, balanitis, atau vulvovaginitis, maka
kateterisasi sangat diperlukan untuk memperlancar buang air kecil. (RK
Landow, 1983)
4. Perawatan pada Oral
Rasa nyeri yang disebabkan lesi oral dapat dihilangkan dengan pemberian
anastetik topical dalam bentuk larutan atau salep yang mengandung lidokain
2%. Campuran 50% air dan hydrogen peroksida dapat digunakan untuk
menyembuhkan jaringan nekrosis pada mukosa pipi. Antijamur dan antibiotik
dapat digunakan untuk mencegah superin-feksi. Lesi pada mukosa bibir yang
parah dapat diberikan perawatan berupa kompres asam borat 3%. Lesi oral
pada bibir diobati dengan boraks-gliserin atau penggunaan triamsinolon
asetonid. Triamsinolon asetonid merupakan preparat kortikosteroid topical.
Kortikosteroid yang biasa digunakan pada lesi oral adalah bentuk pasta.
Pemakaian pasta dianjurkan saat sebelum tidur karena lebih efektif. Sebelum
dioleskan, daerah sekitar lesi harus dibersihkan terlebih dahulu kemudian
dikeringkan menggunakan spons steril untuk mencegah melarutnya pasta oleh
saliva. Apabila pasta larut oleh saliva, obat tidak dapat bekerja dengan
optimum sehingga tidak akan diperoleh efek terapi yang diharapkan.

Penatalaksanaan Keperawatan:
1. Epidermal Detachment
a. Secara teratur memonitor perubahan kulit
b. Membersihakan/mengangkat lapisan epidermis yang terkelupas
c. Terapkan dressing nonadherent diresapi dengan 0,5% perak nitrat, kapas
wol sintetik dressing dengan perak ionik atau silver19 nanocrystallic
d. Menstabilkan dressing dengan kapas jaring
e. Gunakan dressing biosintesis (Biobrane)
f. Mandikan pasien dengan ethacridine laktat (Rivanol)
2. Ulserasi rongga mulut
a. Menganjurkan pasien untuk berkumur pasien dengan 1% klorheksidin
b. Memantau gigi untuk mencegah adanya indikasi infeksi
3. Ulserasi pada Konjungtiva
a. Siram konjungtiva dengan garam fisiologis steril
b. Berikan obat tetes mata kortikosteroid
c. Terapkan penggunaa salep antibiotik
4. Menangani Nyeri
a. Menilai nyeri sesuai dengan lisan atau skala numerik, setelah pemberian
obat analgesik
b. Pantau tingkat kesadaran dan pola pernapasan pasien.
5. Cairan dan elektrolit
a. Ganti cairan sesuai dengan jumlah total permukaan tubuh yang terkena
b. Terus memantau parameter hemodinamik (denyut jantung, tekanan darah
invasif, pusat tekanan vena)
c. Secara teratur mengukur kadar elektrolit dan mengisi kembali sesuai yang
dianjurkan
d. Memonitor asupan cairan dan output secara teratur (Bozena Seczynska dkk,
2013)
2.9 KOMPLIKASI

Komplikasi yang tersering ialah bronko-pneumoni, yang didapati sekitar 16%


diantara seluruh kasus yang datang berobat. Dapat juga kehilangan cairan/darah,
gangguan keseimbangan elektrolit dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena
gangguan lakrimasi.

Komplikasi yang lain ialah :

1. Kehilangan cairan dan darah


2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, Shock
3. Oftalmologi ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan
4. Gastroenterologi Esophageal strictures
5. Genitourinaria nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring, stenosis
vagina
6. Pulmonari pneumonia, bronchopneumonia
7. Kutaneus timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit
sekunder.
8. Infeksi sitemik, sepsis

2.9 HEALTH EDUCATION


Pendidikan yang perlu diberikan kepada pasien dan keluarga dapat berupa:
1. Penjelasan mengenai perlunya pengobatan yang teratur, cara minum obat, dan
lama pengobatan.
2. Penjelasan mengenai perawatan yang dapat dilakukan oleh pasien dan
keluarga, seperti:
a. Perawatan luka pada daerah yang terkena (mata, kulit dan selaput lender
diorifisium)
b. Cara menangani nyeri.
c. Pakaian dan alas tidur hendaknya terbuat dari bahan yang lembut dan
ringan dengan tujuan untuk mencegah iritasi akibat gesekan
d. Memastikan agar kuku jari tetap pendek, dipotong dengan baik guna
mencegah infeksi sekunder
3. Penjelasan mengenai personal hygiene.
4. Penjelasan mengenai pentingnya gizi/ nutrisi yang diberikan pada pasien.
5. Perubahan gaya hidup/ aktivitas pasien
Proses imunologi
Reaksi Simpang Obat
(Antikonvulsan aromatic, Infeksi bakteri, virus, jamur, protozoa,
NSAID, alupurinol, neoplasma, reaksi pascavaksinasi, alergi
sulfonamide, penisilin) makanan, bahan-bahan kimia dan penyakit
kolagen

Reaksi hipersensitif tipe III

Pembentukan kompleks antigen-antibodi (antibody IgG atau


IgM) dalam sirkulasi yang dideposit dalam jaringan

Komplemen teraktivasi melepas


makrofag kemotaktik faktor

Makrofag Membentuk C3a dan C5a (anafilatoksin)


melepas enzim
yang merusak
jaringan Merangsang sel mast dan basofil melepas granul

Menimbulkan lisis sel bila kompleks diendapkan


dijaringan

Kerusakan jaringan kapiler

Lisozim terlepas
Kerusakan organ target Akumulasi neutrofil

Sindrome steven johnson

B2 B3 B4 B5 B6

Kelainan selaput lender di Kelainan kulit


Reaksi inflamasi Lesi mukosa
Lesi kulit orifisium
Eritema, vesikel,
Adanya vesikel, bula, erosi bula
Kerusakan integritas Lesi mukosa rectal Timbul rasa
dan purpura Vesikel, bula di mukosa
kulit malu akibat lesi
Pecah
Oliguri, retensi cairan Pecah disekitar tubuh
Merangsang serabut saraf
Penguapan cairan tipe C nosiseptor Erosi luas
yang berlebih polimodal Erosi, ekskoriasi,
Gangguan pola Gangguan
stomatitis Kerusakan
eliminasi urine citra
di kulit
Kehilangan Nyeri akut tubuh
Kerusakan membrane
cairan , syok mukosa oral
Intensitas nyeri Kerusakan
sering dan menetap Kesulitan mastikasi integritas
kulit
Gangguan rasa nyaman : Intake makanan (waktu,
nyeri porsi, dan frekuensi)
menurun setiap harinya
Ketidakseimbangan nutrisi
BB 20% atau lebih dari BB
kurang dari kebutuhan
ideal
BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 PENGKJIAN
1. Identitas
Kaji nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/bangsa,
pendidikan, pekerjaan, alamat, dan nomor register.
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Kaji apa alasan klien membutuhkan pelayanan kesehatan
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Kaji bagaimana kondisi klien saat dilakukan pengkajian. Klien dengan Steven
Johnson biasanya mengeluhkan dema, malaise, kulit merah dan gatal, nyeri
kepala, batuk, pilek, dan sakit tenggorokan.
c. Riwayat Kesehatan Dahulu
Kaji riwayat alergi makanan klien, riwayat konsumsi obat-obatan dahulu,
riwayat penyakit yang sebelumnya dialami klien.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Kaji apakah di dalam keluarga klien, ada yang mengalami penyakit yang sama.
e. Riwayat Psikososial
Kaji bagaimana hubungan klien dengan keluarganya dan interaksi sosial.
3. Pola Fungsional Gordon
a. Pola persepsi kesehatan - manajemen kesehatan
pada pola ini kita mengkaji:
1) Bagaimanakah pandangan klien terhadap penyakitnya?
2) Apakah klien klien memiliki riwayat merokok, alkohol, dan konsumsi obat-
obatan tertentu?
3) Bagaimakah pandangan klien terhadap pentingnya kesehatan?
4) pada klien dengan Steven Johnson, biasanya penting dikaji riwayat
konsumsi obat-obatan tertentu.
b. Pola nutrisi - metabolik
pada pola ini kita mengkaji:
1) Bagaimanakah pola makan dan minum klien sebelum dan selama dirawat
di rumah sakit?
2) Kaji apakah klien alergi terhadap makanan tertentu?
3) Apakah klien menghabiskan makanan yang diberikan oleh rumah sakit?
4) Kaji makanan dan minuman kesukaan klien?
5) Apakah klien mengalami mual dan muntah?
6) Bagaimana dengan BB klien, apakah mengalami penurunan atau
sebaliknya?
7) pada klien dengan Steven Johnson, biasanya mengalami penurunan nafsu
makan, sariawan pada mulut, dan kesulitan menelan.
c. Pola eliminasi
pada pola ini kita mengkaji:
1) Bagaimanakah pola BAB dan BAK klien ?
2) Apakah klien menggunakan alat bantu untuk eliminasi?
3) Kaji konsistensi BAB dan BAK klien
4) Apakah klien merasakan nyeri saat BAB dan BAK?
5) Klien dengan Steven Johnson, biasanya akan mengalami retensi urin,
konstipasi, membutuhkan bantuan untuk eliminasi dari keluarga atau
perawat.
d. Pola aktivitas - latihan
pada pola ini kita mengkaji:
1) Bagaimanakah perubahan pola aktivitas klien ketika dirawat di rumah
sakit?
2) Kaji aktivitas yang dapat dilakukan klien secara mandiri
3) Kaji tingkat ketergantungan klien
0 = mandiri
1 = membutuhkan alat bantu
2 = membutuhkan pengawasan
3 = membutuhkan bantuan dari orang lain
4 = ketergantungan
4) Apakah klien mengeluh mudah lelah?
5) Klien dengan Steven Johnson biasanya tampak gelisah dan merasa lemas,
sehingga sulit untuk beraktifitas.
e. Pola istirahat - tidur
pada pola ini kita mengkaji:
1) Apakah klien mengalami gangguang tidur?
2) Apakah klien mengkonsumsi obat tidur/penenang?
3) Apakah klien memiliki kebiasaan tertentu sebelum tidur?
4) Klien dengan Steven Johnson, akan mengalami kesulitan untuk tidur dan
istirahat karena nyeri yang dirasakan, rasa panas dan gatal-gatal pada kulit.
f. Pola kognitif - persepsi
pada pola ini kita mengkaji:
1) Kaji tingkat kesadaran klien
2) Bagaimanakah fungsi penglihatan dan pendengaran klien, apakah
mengalami perubahan?
3) Bagaimanakah kondisi kenyamanan klien?
4) Bagaimanakah fungsi kognitif dan komunikasi klien?
5) Klien dengan Steven Johnson akan mengalami kekaburan pada
penglihatannya, serta rasa nyeri dan panas di kulitnya
g. Pola persepsi diri - konsep diri
Pada pola ini kita mengkaji:
1) Bagaimanakah klien memandang dirinya terhadap penyakit yang
dialaminya?
2) Apakah klien mengalami perubahan citra pada diri klien?
3) Apakah klien merasa rendah diri?
4) Dengan keadaan kulitnya yang mengalami kemerahan, klien merasa malu
dengan keadaan tersebut, dan mengalami gangguan pada citra dirinya.
h. Pola peran - hubungan
Pada pola ini kita mengkaji:
1) Bagaimanakah peran klien di dalam keluarganya?
2) Apakah terjadi perubahan peran dalam keluarga klien?
3) Bagaimanakah hubungan sosial klien terhadap masyarakat sekitarnya?
i. Pola reproduksi dan seksualitas
Pada pola ini kita mengkaji:
1) Bagaimanakah status reproduksi klien?
2) Apakah klien masih mengalami siklus menstrusi (jika wanita)?
j. Pola koping dan toleransi stress
Pada pola ini kita mengkaji:
1) Apakah klien mengalami stress terhadap kondisinya saat ini?
2) Bagaimanakah cara klien menghilangkan stress yang dialaminya?
3) Apakah klien mengkonsumsi obat penenang?
k. Pola nilai dan kepercayaan
Pada pola ini kita mengakaji:
1) Kaji agama dan kepercayaan yang dianut klien
2) Apakah terjadi perubahan pola dalam beribadah klien?
4. pola pengkajian persistem B1-B6
a. B1 (Breathing)
Kongesti vascular pulmonal : dipsneu, noktural paroksimal, batuk dan edema
pilmonal akut.
b. B2 (Blood)
Inspeksi : adanya paruh pada dada, keluhan kelemahan fisik,edema ekstremitas
Palpasi : denyut nadi perifer melemah. Thrill biasanya ditemukan.
Auskultasi : tekanan darah biasanya menurun akibat penurunan volume
sekuncup . Bunyi jantung tambahan akibat kelainan katub biasanya ditemukan
apabila penyebab gagal jantung adalah kelainan katub
Perkusi : batas jantung mengalami pergeseran yang menunjukkan adanya
hipertropi jantung (kardiomegali) penurunan curah jantung, bunyi jantung dan
crackles ,disritmia, distensi vena jugularis, kulit dingin,perubahan denyut
jantung.
c. B3 (Brain)
Kesadaran klien biasanya compos mentis. Sering ditemukan sianosis perifer
apabila terjadi gangguan perfusi jaringan berat. pengkajian obyektif klien
meliputi wajah meringis, menangis, merintih, meregang dan menggeliat.
d. B4 ( bladder)
Pengukuran output urine selalu dihubugnkan dengan intake cairan. Perawat
perlu memonitor adanya oliguria karena merupakan tanda awal dari syok
kardiogenik. Adanya edema ekstremitas menunjukkan adanya retensi cairan
yang parah.
e. B5 (bowel)
Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen terjadi akibat
pembesaran vena di hepar. Bila proses ini berkembang, maka tekanan dalam
pembuluh darah portal meningkat sehingga cairan terdorong masuk ke rongga
abdomen, suatu kondisi yang dinamakan asiles.
Pengumpalan cairan dalam rongga abdomen ini dapat menyebabkan tekanan
pada diafragma sehingga klien dapat distress pernafasan. Anoreksia (hilangnya
selera makan) dan mual terjadi akibat pembesaran vena dan statis vena didalam
rongga abdomen
f. B6 (bone)
Edema dan mudah lelah
VSD kecil
- Palpasi : impuls ventrikel kiri jelas pada apeks kordis, biasanya teraba,
getaran bising pada SIC III dan IV kiri
- Auskultasi : bunyi jantung biasanya normal dan untuk defek sedang bunyi
jantung II agak keras. Intensitas bising derajat III s/d IV.

5. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi: Warna, suhu, kelembapan, kekeringan
b. Palpasi: Turgor kulit, edema
1) Data fokus:
DS: gatal-gatal pada kulit, sulit menelan, pandangan kabur, aktifitas
menurun
DO: kemerah-merahan, memegang tenggorokan, tampak gelisah, tampak
lemas dalam beraktifitas.
6. Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang
a. Laboratorium : leukositosis atau esosinefilia
b. Histopatologi : infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah
merah, degenerasi lapisan basalis, nekrosis sel epidermal, spongiosis dan
edema intrasel di epidermis.
c. Imunologi : deposis IgM dan C3 serta terdapat komplek imun yang
mengandung IgG, IgM, IgA.
3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Kekurangan volume cairan b.d kehilangan volume cairan secara aktif, kegagalan
mekanisme pengaturan

2. Nyeri akut b.d agen cedera biologis (inveksi virus, misalnya: Herpes Simplex, HIV,
Coxsackie; zat kimia, misalnya alergi obat: antikonvulsan, antibiotic, antipiretik)
ditandai dengan melaporkan nyeri secara verbal dan mengekspresikan perilaku
gelisah.

3. Gangguan eliminasi urin ditandai dengan gangguan permukaan kulit dan kerusakan
lapisan kulit rectal (reaksi inflamasi: vesikel, eritema, bula, erosi, purpura).

4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan


menelan makanan (karena adanya pseudomembran pada saluran pencernaan atas)
ditandai dengan ketidakmampuan memakan makanan dan kurang minat pada
makanan.

5. Kerusakan integritas kulit b.d penurunan imunologis ditandai dengan gangguan


permukaan kulit dan kerusakan lapisan kulit (reaksi inflamasi: vesikel, eritema,
bula, erosi, purpura).

6. Gangguan citra tubuh b.d timbul rasa malu akibat lesi disekitar tubuh
3.2 INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa Tujuan dan Kriteria hasil Intervensi
1. Kekurangan volume Setelah dilakukan tindakan NIC :
cairan b.d kehilangan keperawatan selama x24 Fluid management
volume cairan secara jam diharapkan deficit 1. pertahankan
aktif , kegagalan volume cairan dapat diatasi catatan intake dan
mekanisme pengaturan dengan kriteria hasil : output yang akurat
NOC 2. monitor status
- Fluid balance hidrasi
- Hydration (kelembaban
- Nutritional status : membrane
food and fluid intake mukosa, nadi
Kriteria hasil : adekuat tekanan
1) Mempertahankan darah ortostatik),
urine output sesuai jila diperlukan
dengan usia dan BB , 3. monitor hasil lab
BJ urine normal yang sesuai dengan
2) Tekanan darah, nadi, retensi cairan
suhu tubuh dalam (BUN, Hmt ,
batas normal osmolalitas, urin,
3) Tidak ada tanda albumin total
gejala dehidrasi , protein)
elastisitas turgor kulit 4. monitor vital sign
baik, membrane setiap 15 menit 1
mukosa lembab, jam
tidak ada rasa haus 5. kolaborasi
yang berlebihan pemberian cairan
4) Elektrolit, Hb, Hmt iv
dalam batas normal 6. monitor status
5) pH urin dalam batas nutrisi
normal 7. berikan
6) intake oral dan penggantian
intravena adekuat nasogastrik sesuai
output (50-
100cc/jam)
8. dorong keluarga
untuk membantu
pasien makan
9. kolaborasi dokter
jika tanda cairan
berlebih muncul
keburukan
10. monitor intake dan
output setiap 8 jam

2. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan NIC :


berhubungan dengan keperawatan selama x24 Pain Management
agen cedera biologis ( jam diharapkan nyeri pada 1. Lakukan pengkajian
infeksi virus ), zat pasien dengan kriteria hasil: nyer secara
kimia : alergi obat ( NOC : konprehensif
missal antikonvulsan, Pain Level termasuk lokasi,
antibotik, antipiretik ), Pain Control karakteristik, lokasi,
ditandai dengan 1) Mampu mengontrol durasi, frekuensi,
melaporkan nyeri nyeri ( tahu penyebab kualitas dan faktor
secara verbal, nyeri, mampu presipitasi.
perubahan selera menggunakan teknik 2. Observasi reaksi non
makan, nonfarmakologi untuk verbaldari
mengekspresikan mengurangi nyeri ) ketidaknyamanan
perilaku ( gelisah ) 2) Melaporkan bahwa nyeri 3. Pilih dan lakukan
berkurang dengan penanganan nyeri (
menggunakan farmakologi dan non
manajemen nyeri farmakologi )
3) Mampu mengenali nyeri Analgetic Administration
( skala, intensitas, 4. Tentukan lokasi,
frekuensi dan tanda nyeri karakteristik,
) kualitas, dan
derajat nyeri
sebelum
pemberian obat.
5. Cek riwayat alergi
6. Tentukan pilihan
analgetik
tergantung tipe dan
berat nyeri.
3. Gangguan eliminasi Setelah dilakukan tindakan NIC
urin ditandai dengan keperawatan 2x 24 jam Urinary retention care
gangguan permukaan diharapkan pola eliminasi 1. Lakukan penilaian
kulit dan kerusakan urin dapat kembali normal kemih yang
lapisan kulit rectal dengan kriteria hasil : komprehemsif
(reaksi inflamasi: NOC berfokus pada
vesikel, eritema, - Urinary elimination inkontinensia
bula, erosi, purpura). - Urinary continuence (misalnya output urin,
1) Kandung kemih pola berkemih, fungsi
kosong secara penuh kognitif,dan masalah
2) Tidak ada residu kencing praeksisten)
urine > 100-200 cc 2. Memantau
3) Intake cairan dalam penggunaan obat
rentang normal dengan sifat
4) Bebas dari ISK antikolinergik atau
5) Tidak ada spasme property alpha agonis
bladder 3. Memonitor efek obat-
6) Balance cairan obatan yang
seimbang diresepkan, seperti
calcium channel
blockers dan
atikolinergik
4. Menyediakan
penghapusan privasi
5. Merangsang reflex
kandung kemih
dengan menerapkan
dingi untuk perut,
membelai tinggi batin,
atau air
6. Masukkan kateter
kemih
7. Menerapkan
kateterisasi intermiten
8. Memantau asupan dan
keluaran
4. Ketidakseimbangan Setelah dilakukan tindakan NIC Label:
nutrisi kurang dari keperawatan selama 5x24 Managemen nutrisi
kebutuhan tubuh jam diharapkan kerusakan 1. Kaji adanya alergi
berhubungan dengan integritas pasien berkurang makanan
ketidakmampuan dengan kriteria hasil: 2. Kolaborasi dengan
menelan makanan NOC Label: ahli gizi untuk
ditandai dengan Nutritional status: menentukan jumlah
ketidakmampuan Adequacy of nutrient kalori dan nutrisi
memakan makanan, Nutritional status : food yang dibutuhkan
kurang minat pada and fluid intake pasien
makanan. Nutrional intake 3. Monitor jumlah
1. Intake makanan dan nutrisi dan
minuman terpenuhi kandungan kalori
2. Asupan nutrisi terpenuhi 4. Sediakan makanan
dan minuman protein
dan kalori tinggi
yang bisa dikonsumsi
dengan cepat, jika
perlu
5. Berikan informasi
tentang kebutuhan
nutrisi
Monitoring nutrisi
1. Monitor adanya
penurunan berat badan
2. Monitor makanan
kesukaan
Therapy nutrisi
1. Monitor asupan
makanan/cairan
(asupan nutrisi)
2. Tentukan kebutuhan
pemberian makanan
melalui selang
nasogastrik

5. Kerusakan integritas Setelah dilakukan tindakan NIC Label:


kulit berhubungan keperawatan selama 5 x24 Skin surveillance
dengan lesi, penurunan jam diharapkan kerusakan 1. Inspeksi kulit, lihat
imunologis (reaksi integritas pasien berkurang adanya kemerahan,
hipersensitifitas) dengan kriteria hasil: lesi, erosi
ditandai dengan NOC Label: 2. Pantau kemungkinan
gangguan permukaan Tissue Integrity skin: skin terjadinya inspeksi,
kulit ( timbulnya bula, and mucous membranes terutama pada area
vesikel, eritema, erosi Wound healing : primer yang terjadi
yang luas dan purpura) and sekunder kerusakan lapisan
1) Lesi teratasi kulit(lesi).
2) Menunjukkan adanya
proses penyembuhan Skin care: Topical
luka treatment
3) Menunjukkan 1. Lakukan tindakan
pemahaman dalam delegatif dengan
proses perbaikan kulit memberikan obat
dan mencegah terjadinya oral kortikosteroid
infeksi dan obat topical
antiinflamasi pada
area kulit yang
terjangkit (bila
dianjurkan).
2. Lakukan pemantauan
pada kulit secara
berkala

Pressure Management
1. Hindari kerutan pada
tempat tidur
(terurama pada linen)
2. Monitor status nutrisi
pasien

Wound care
1. Memonitor
karakteristik luka
meliputi cairan,
warna, ukuran dan
odor.
2. Bersihkan lesi
dengan normal salin
(NaCl 0,9%) atau
pembersih non-toksik
(jika diperlukan)
3. Lakukan teknik
perawatan luka
dengan steril.
4. Ubah posisi pasien
setiap 2 jam sekali
5. Ajarkan pada
keluarga tentang luka
dan perawatan luka
untuk mencegah
infeksi
6. Dokumentasikan
lokasi luka, ukuran
6. Gangguan citra tubuh Setelah dilakukan tindakan NIC
b.d timbul rasa malu keperawatan selama 2x24 Body image
akibat lesi disekitar jam diharap gangguan citra enhancement
tubuh tubuh dapat berkurang 1. Kaji secara verbal dan
dengan kriteria hasil : non verbal respon
NOC : klien terhadap
- Body Image tubuhnya
- Self esteem 2. Monitor frekuensi
Kriteria hasil : mengkritik dirinya
1) Body image positif 3. Jelaskan tentang
2) Mampu pengobatan,
mengidentifikasi perawatan, kemajuan
kekuatan personal dan prognosis
3) Mendiskripsikan penyakit
secara factual 4. Dorong klien
perubahan fungsi mengungkapkan
tubuh perasaannya
4) Mempertahankan 5. Identifikasi arti
interaksi sosial pengurangan melalui
pemakaian alat bantu
6. Fasilitas kontak
dengan individu lain
dalam kelompok kecil
BAB 4

TINJAUAN KASUS

1.1 PENGKAJIAN
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. A
Umur : 45 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Petani
Status perkawinan : Menikah
Agama : Hindu
Suku : Bali
Alamat : Jl. Gunung Agung, No. 03, Denpasar -Bali
Tanggal masuk : 19 Februari 2015
Tanggal pengkajian : 19 Februari 2015
Sumber Informasi : Keluarga
Diagnosa masuk : Steven Johnson Syndrome

2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama : Lesi pada mata, kulit dan selaput lender diorifisium
b. Riwayat kesehatan sekarang :
Pasien datang ke RS pada tanggal 19 februari 2015 dengan keluhan terdapat lesi
pada seluruh tubuh sejak 1 bulan yang lalu. Awalnya timbul bintik-bintik merah
berisi cairan pada mulut dan hampir seluruh wajah. Kemudian menyebar ke
seluruh tubuh. Ukuran bintik-bintik awalnya seperti titik kemudian membesar
dengan cepat. Tidak disertai rasa gatal namun terasa nyeri. Selain timbul
gelembung di kulit, pada bibir pasien terdapat sariawan yang diderita bertambah
parah dan tidak sembuh, terasa nyeri dan terasa sakit apabila mulut
diregangkan. Pasien mengalami kesulitan untuk makan dan terasa sakit pada
tenggorokan saat menelan namun pasien dapat minum sedikit dengan bantuan
menggunakan sedotan.
SMRS pasien mengalami demam selama 7 hari dan dirasakan terus menerus
hingga menggigil sebelum muncul bintik-bintik merah pada kulit. Pasien juga
mengalami nyeri kepala, namun pasien menyangkal pernah mengalami batuk
dan pilek saat demam. BAB pasien normal dengan frekuensi 1x/hari konsistensi
lunak, berwarna kecoklatan, tidak terdapat darah dan bau khas. BAK pasien
normal berwarna kuning jernih dengan frekuensi 3x/hari dan tidak disertai
adanya lendir.
c. Riwayat kesehatan dahulu :
Pasien tidak pernah mengalami penyakit seperti ini sebelumnya. Riwayat
penyakit asma (-), penyakit jantung (-), darah tinggi (-)
d. Riwayat kesehatan keluarga :
Keluarga pasien mengatakan tidak pernah mengalami penyakit serupa seperti
pasien sebelumnya.
3. Data Subjektif :
Pasien mengeluh demam tinggi, lemah letih, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri
tenggorokan atau sulit menelan.
Data Obyektif :
a. Kulit eritema, papul, vesikel, bula yang mudah pecah sehingga terjadi erupsi
yang luas, sering didapatkan purpura
b. Krusta hitam dan tebal pada bibir atau selaput lender, stomatitis dan
pseudomembran di faring
c. Konjungtivitis purulen, perdarahan, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis

4. Pemeriksaan Fisik
a. Tanda-tanda vital :
Keadaan umum : compos mentis
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 60x/menit
Suhu : 380C
Respirasi : 25x/menit
b. Head to toe
1. Kulit dan rambut
Inspeksi :
Warna kulit : sawo matang dan terdapat eritema, lesi
Warna rambut : hitam
2. Kepala
Inspeksi : bentuk simetris antara kanan dan kiri, terdapat lesi
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
3. Mata
Inspeksi : sklera ikhterik, terdapat lesi pada konjungtiva
4. Telinga
Inspeksi : simetris kanan dan kiri
Palpasi : tidak terdapat benjolan
5. Hidung
Inspeksi : simetris, tidak terdapat sekret
Palpasi : tidak terdapat benjolan
6. Mulut
Inspeksi : bentuk mulut simetris, terdapat lesi pada lidah, mukosa
mulut dan terdapat stomatitis
7. Leher
Inspeksi : bentuk leher simetris, terdapat lesi
Palpasi : tidak terdapat benjolan, terdapat nyeri tekan
8. Paru
Inspeksi : simetris antara kanan dan kiri
Palpasi : getaran lokal fremitus sama antara kanan dan kiri
Auskultasi : normal (sonor)
Perkusi : resonan
9. Abdomen
Inspeksi : perut datar simetris, terdapat lesi
Palpasi : tidak terdapat nyeri
Perkusi : resonan

5. Pengkajian Pola Fungsional


a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Pasien mengatakan tidak pernah minum obat sebagai bentuk penanganan
terhadap penyakitnya. Pasien mengatakan tidak mengetahui penyebab
penyakitnya secara spesifik, pasien dan keluarga pasien jarang berobat ke
pelayanan kesehatan. Pasien tidak mengerti cara mengatasi penyakitnya
agar lesi pada kulitnya hilang.
b. Pola nutrisi dan metabolism, cairan dan elektrolit
1) Sebelum sakit :
Pasien mengatakan makan 3x sehari dengan porsi nasi dan lauk pauk
seadanya, minum air putih 6-7 gelas perhari.
2) Saat dikaji :
Pasien hanya menghabiskan setengah porsi makanan yang disediakan
dari rumah sakit.
c. Pola eliminasi
1) Sebelum sakit :
Pasien mengatakan biasa BAB 1 kali sehari dengan konsistensi lunak,
warna kecoklatan. BAK 3x/hari dengan warna kuning jernih.
2) Saat dikaji :
Pasien mengatakan BAB 1 kali sehari dengan konsistensi lunak, warna
kuning kecoklatan, berbau khas feses. BAK 3x sehari dengan warna
kuning jernih.
d. Pola aktivitas dan latihan
1) Sebelum sakit :
Pasien dapat melakukan kegiatan dan aktivitas tanpa bantuan orang
lain.
2) Saat dikaji :
Pasien tidak dapat bergerak bebas karena badannya terasa nyeri.
Aktivitas sehari hari seperti mandi, makan, BAB, BAK dibantu
perawat dan keluarga.
e. Pola tidur dan istirahat
1) Sebelum sakit :
Pasien bisa tidur 7-8 jam/hari tanpa ada gangguan, jarang tidur siang.
2) Saat dikaji :
Pasien mengatakan tidak bisa tidur semalaman dan juga siang tidak bisa
tidur.
f. Pola persepsi dan kognitif
Pasien mengatakan percaya bahwa penyakit yang dialaminya murni
penyakit medis
g. Pola persepsi diri dan konsep diri
Citra diri : pasien mengatakan menyukai semua bagian tubuhnya SMRS
Identitas : pasien mengatakan dirinya Tn.A
Peran : pasien mengatakan sebagai kepala rumah tangga
Ideal diri : pasien mengatakan ingin cepat sembuh
Harga diri: pasien mengatakan khawatir dengan penyakitnya
h. Pola peran dan hubungan
1) Sebelum sakit :
Pasien mengatakan dapat berkomunikasi dengan orang lain dengan
lancar
2) Saat dikaji :
Pasien mengatakan khawatir apabila penyakitnya tak sembuh dan
kurang dapat berkomunikasi dengan orang lain akibat terdapat lesi pada
mulut dan terasa nyeri
i. Pola seksualitas dan reproduksi
Pasien mengatakan sudah menikah dan berjenis kelamin laki-laki.
j. Pola toleransi coping-stres
Pasien mengatakan ia d apat mengalihkan masalah yang di hadapinya
dan saat pasien tidak nyaman pasien mampu untuk mengatasi
ketidaknyamanan tersebut.
k. Pola tata nilai dan kepercayaan
1) Sebelun sakit :
Pasien mnengatakan beragama hindu dan biasa sembahyang
2) Saat dikaji :
Pasien hanya beerdoa di tempat tidur.

6. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium : leukositosis atau esosinefilia
b. Histopatologi : infiltrat sel monoklear, edema, ekstravasasi sel darah merah,
degenerasi lapisan basalis, nekrosis sel epidermal, spongiosis dan edema
intrasel diepidermis
c. Imunologi : deposis IgM dan C3 serta terdapat komplek imun yang
mengandung IgG, IgM, IgA.
d. Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis
7. Pengkajian 7 ciri lesi kulit
a. Pasien mengeluh nyeri pada seluruh tubuh dan terdapat lesi. Awalnya terdapat
bintik-bintik merah berisi cairan di mulut dan hampir seluruh wajah, kemudian
menyebar ke seluruh tubuh.
b. Pasien sebelumnya mengalami demam dan nyeri kepala tanpa disertai batuk
dan pilek.
c. Pasien mengatakan lesi muncul sejak 1 bulan yang lalu di seluruh tubuh.
Awalnya terdapat bintik-bintik merah berisi cairan di mulut dan hampir seluruh
wajah, kemudian menyebar ke seluruh tubuh.
d. Ukuran bintik-bintik awalnya seperti titik kemudian membesar dengan cepat.
Tidak disertai rasa galat namun terasa nyeri.
e. Bintik-bintik pasien tersebut muncul setelah demam. Kemudian bintik-bintik
tersebut membesar dan menjadi lesi.
f. Pasien mengatakan sebelumnya meminum obat demam.
g. Pasien mengatakan bintik-bintik bertambah parah saat di bawah sinar matahari.
4.2 ANALISA DATA
MASALAH
NO. DATA ETIOLOGI
KEPERAWATAN

1. DS:
Reaksi Simpang Obat
(Antikonvulsan aromatic, Kerusakan
- Pasien mengatakan NSAID, alupurinol,
Integritas Kulit
nyeri di kulit seperti sulfonamide, penisilin)

terbakar, dengan Reaksi hipersensitif tipe III


terhadap molekul obat
nyeri di daerah yang
mengalami lesi Pembentukan kompleks
(mata, mukosa, antigen-antibodi (antibody IgG
atau IgM) dalam sirkulasi
hampir seluruh
yang dideposit dalam jaringan
permukaan kulit)
Komplemen teraktivasi
DO:
melepas makrofag kemotaktik
faktor
- Hampir 80%
permukaan kulit
Makrofag Membentuk C3a
tertutupi
melepas enzim dan C5a
makulopapular, yang merusak (anafilatoksin)
jaringan
eritema, bula dan
Merangsang sel mast dan
ulserasi pada daerah basofil melepas granul
oral dan nasofaring.
Menimbulkan lisis sel bila
- Tampak edema kompleks diendapkan
dijaringan
periorbital,
perdarahan Eritema, vesikel,
bula pada kulit
subkonjungtival, dan
adanya eksudat
Pecah
purulen dari saluran
konjungtiva. Erosi luas dan purpura

Kerusakan Integritas
Kulit
2. DS:

- Pasien mengatakan Ketidakseimbangan


merasa nyeri ketika Nutrisi: Kurang
mengunyah makanan dari Kebutuhan
Tubuh
- Pasien mengatakan
menjadi kurang
minat pada makanan.

- Pasien merasa lemas.

DO:

- Tampak vesikel,
bula, dan stomatitis
pada membrane
mukosa oral pasien.

- Tampak
pesudomembran
pada faring dan
esophagus.
Vesikel dan bula di
- Berat badan 20% di mukosa oral
bawah berat badan
ideal. Kesulitan mastikasi

Intake makanan (waktu, porsi,


dan frekuensi) menurun setiap
harinya

BB 20% atau lebih dari BB


ideal

Ketidakseimbangan
Nutrisi: Kurang dari
Kebutuhan Tubuh
3. DS:
Nyeri Akut
- Pasien mengatakan
nyeri di kulit seperti
terbakar (Q), dengan
nyeri di daerah yang
mengalami lesi (R)
(mata, mukosa,
hampir seluruh
permukaan kulit),
skala nyeri pada tiap
bagian lesi berbeda
yakni pada bagian
purpura berskala 7
dan bagian vesikel
dan bula berskala 5
(S), nyeri bertambah
apabila lesi disentuh
atau bergesekan (P),
dan nyeri sudah
terjadi selama satu
minggu sejak gejala
prodromal berakhir
Reaksi inflamasi
dan mulai munculnya
eritema dan vesikel
(T). Adanya vesikel, bula,
erosi dan purpura
DO:

- Pasien tampak Merangsang serabut


saraf tipe C
gelisah karena nosiseptor polimodal
hampir 80%
permukaan kulit
Nyeri Akut
tertutupi
makulopapular,
eritema, bula dan
ulserasi pada daerah
oral dan nasofaring.

- Tampak edema
periorbital,
perdarahan
subkonjungtival, dan
adanya eksudat
purulen dari saluran
konjungtiva.

- Tampak vesikel,
bula, dan stomatitis
pada membrane
mukosa oral pasien.

4.3 DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Kerusakan integritas kulit b.d penurunan imunologis ditandai dengan gangguan


permukaan kulit dan kerusakan lapisan kulit (reaksi inflamasi: vesikel, eritema,
bula, erosi, purpura).

2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan


menelan makanan (karena adanya pseudomembran pada saluran pencernaan atas)
ditandai dengan ketidakmampuan memakan makanan dan kurang minat pada
makanan.

3. Nyeri akut b.d agen cedera biologis (inveksi virus, misalnya: Herpes Simplex, HIV,
Coxsackie; zat kimia, misalnya alergi obat: antikonvulsan, antibiotic, antipiretik)
ditandai dengan melaporkan nyeri secara verbal dan mengekspresikan perilaku
gelisah.
4.4 RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

Diagnosa Tujuan dan Kriteria hasil Intervensi

NIC Label:
1. Kerusakan integritas Skin surveillance
kulit berhubungan 1. Inspeksi kulit, lihat adanya
dengan lesi, kemerahan, lesi, erosi
penurunan 2. Pantau kemungkinan terjadinya
Setelah dilakukan tindakan
imunologis (reaksi inspeksi, terutama pada area yang
keperawatan selama 5 x24 jam
hipersensitifitas) terjadi kerusakan lapisan
diharapkan kerusakan integritas
ditandai dengan kulit(lesi).
pasien berkurang dengan kriteria
gangguan permukaan
hasil:
kulit ( timbulnya Skin care: Topical treatment
NOC Label:
bula, vesikel, eritema,
Tissue Integrity skin: skin and 1. Lakukan tindakan delegatif
erosi yang luas dan
mucous membranes dengan memberikan obat oral
purpura)
Wound healing : primer and kortikosteroid dan obat topical
sekunder antiinflamasi pada area kulit
1. Lesi teratasi yang terjangkit (bila
2. Menunjukkan adanya dianjurkan).
proses penyembuhan 2. Lakukan pemantauan pada
luka kulit secara berkala
3. Menunjukkan
pemahaman dalam
proses perbaikan kulit Pressure Management
dan mencegah terjadinya 1. Hindari kerutan pada tempat
infeksi tidur (terurama pada linen)
2. Monitor status nutrisi pasien

Wound care
1. Memonitor karakteristik luka
meliputi cairan, warna, ukuran
dan odor.
2. Bersihkan lesi dengan normal
salin (NaCl 0,9%) atau
pembersih non-toksik (jika
diperlukan)
3. Lakukan teknik perawatan luka
dengan steril.
4. Ubah posisi pasien setiap 2 jam
sekali
5. Ajarkan pada keluarga tentang
luka dan perawatan luka untuk
mencegah infeksi
6. Dokumentasikan lokasi luka,
ukuran

2. Ketidakseimbangan Setelah dilakukan tindakan NIC Label:


nutrisi kurang dari keperawatan selama 5x24 jam Managemen nutrisi
kebutuhan tubuh diharapkan kerusakan integritas 1. Kaji adanya alergi makanan
berhubungan dengan pasien berkurang dengan kriteria 2. Kolaborasi dengan ahli gizi
ketidakmampuan hasil: untuk menentukan jumlah
menelan makanan NOC Label: kalori dan nutrisi yang
ditandai dengan Nutritional status: Adequacy of dibutuhkan pasien
ketidakmampuan nutrient 3. Monitor jumlah nutrisi dan
memakan makanan, Nutritional status : food and kandungan kalori
kurang minat pada fluid intake 4. Sediakan makanan dan
makanan. Nutrional intake minuman protein dan kalori
1. Intake makanan dan tinggi yang bisa dikonsumsi
minuman terpenuhi dengan cepat, jika perlu
2. Asupan nutrisi terpenuhi 5. Berikan informasi tentang
kebutuhan nutrisi
Monitoring nutrisi
1. Monitor adanya penurunan berat
badan
2. Monitor makanan kesukaan
Therapy nutrisi
1. Monitor asupan makanan/cairan
(asupan nutrisi)
2. Tentukan kebutuhan pemberian
makanan melalui selang
nasogastrik

1. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan NIC :


berhubungan dengan keperawatan selama x24 jam
Pain Management
agen cedera biologis diharapkan nyeri pada pasien
( infeksi virus ), zat dengan kriteria hasil: 1. Lakukan pengkajian nyer secara
kimia : alergi obat ( NOC : konprehensif termasuk lokasi,
missal Pain Level karakteristik, lokasi, durasi,
antikonvulsan, Pain Control frekuensi, kualitas dan faktor
antibotik, antipiretik 1. Mampu mengontrol nyeri ( presipitasi.
), ditandai dengan tahu penyebab nyeri, 2. Observasi reaksi non verbaldari
melaporkan nyeri mampu menggunakan ketidaknyamanan
secara verbal, teknik nonfarmakologi 3. Pilih dan lakukan penanganan
perubahan selera untuk mengurangi nyeri ) nyeri ( farmakologi dan non
makan, 2. Melaporkan bahwa nyeri farmakologi )
mengekspresikan berkurang dengan
Analgetic Administration
perilaku ( gelisah ) menggunakan manajemen
nyeri 1. Tentukan lokasi, karakteristik,
3. Mampu mengenali nyeri ( kualitas, dan derajat nyeri
skala, intensitas, frekuensi sebelum pemberian obat.
dan tanda nyeri ) 2. Cek riwayat alergi
3. Tentukan pilihan analgetik
tergantung tipe dan berat nyeri
D. IMLPLEMENTASI

Implementasi dilakukan berdasarkan pada hasil anamnesa, diagnose


keperawatan yang ditegakkan, dan tujuan yang ingin dicapai. Namun, apabila
di dalam pelaksanaannya terjadi perubahan kondisi pasien, maka akan
dilakukan analisis data subjektif dan objektif kembali serta disusun rencana
asuhan keperawatan selanjutnya sehingga implementasi yang dilakukan dapat
bersifat komprehensif dan mencapai tujuan.

E. EVALUASI

1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi, penurunan


imunologis (reaksi hipersensitifitas) ditandai dengan gangguan permukaan
kulit ( timbulnya bula, vesikel, eritema, erosi yang luas dan purpura)
S: Pasien dan keluarga pasien mengatakan paham mengenai proses
perbaikan kulit dan mencegah terjadinya infeksi
O: Masih terdapat lesi (pada mata; mulut dan kulit.
A: Tujuan tercapai sebagian
P:Pertahankan kondisi pasien dan lanjutkan intervensi mengenai cara
perawatan luka
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan menelan makanan ditandai dengan
ketidakmampuan memakan makanan, kurang minat pada makanan.
S:-
O :-Makanan masuk ke dalam tubuh pasien melalui selang nasogatrik
-Jumlah kalori yang masuk ke tubuh pasien sesuai dengan kebutuhan
pasien.
A : Tujuan tercapai sebagian
P : Lanjutkan intervensi mengenai terapi nutrisi

3. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis ( infeksi virus ), zat
kimia : alergi obat ( missal antikonvulsan, antibotik, antipiretik ), ditandai
dengan melaporkan nyeri secara verbal, perubahan selera makan,
mengekspresikan perilaku ( gelisah )
S : Pasien mengatakan nyeri berkurang
O : Pasien tampak tidak merasa gelisah
A : Tujuan tercapai
P : Pertahanan kondis pasien
BAB 4

PENUTUP

2.1 Kesimpulan
1. Definisi
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput
lendir diorifisium, dan mata dengan keadaaan umum bervariasi dengan ringan
sampai yanng berat. Kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat
disertai purpura. (Muttaqin arif, 2012)
Stevens-Johnson Syndrome adalah sebuah kondisi mengancam jiwa
yang mempengaruhi kulit di mana kematian sel menyebabkan epidermis
terpisah dari dermis. Sindrom ini di perkirakan oleh karena reaksi
hipersensitivitas yang mempengaruhi kulit dan membrane mukosa. (NANDA,
NIC-NOC)
2. Anatomi kulit

Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasi
tubuh dari lingkungan luar, kulit tidak bisa terpisah dari kehidupan manusia
yang merupakan organ assensial dan vital, kulit juga merupakan cermin
kesehatan dari kehidupan seseorang. Luas kulit orang dewasa 1.5 m2 dengan
berat kira-kira 15% berat badan. Kulit juga sangat komplek, elastis dan
sensitif, bervariasi pada keadaaan iklim, umur, seks, ras, dan juga bergantung
pada lokasi tubuh. Kulit secara garis besar tersususun atas 3 lapisan utama
yaitu :
a. Lapisan epidermis (kutikel) terdiri dari :
1) Stratum korneum (lapisan tanduk)
2) Stratum.
3) Stratum granulosum (lapisan keratohialin)
4) Stratum spinosum (stratum malphigi)
b. Lapisan dermis (korium, kutis vera, true skin).
c. Lapisan subkutis (hypodermis)
3. Etiologi
a) Penyebab utama timbulnya SJS adalah alergi obat, sedangkan
penyebab lainnya adalah infeksi, vaksinasi, penyakit graft-versus-
host, neoplasma dan radiasi.
b) Infeksi : Virus, bakteri , jamur, parasit
c) Alergi Sistemik terhadap : Zat tambahan pada makanan (Food
Additive) dan zat warna, Kontaktan (Bromofluerene, Fire sponge
(Tedania Ignis) dan Rhus (3- Pentadecylcatechol). Dan Faktor fisik
(Sinar X, sinar matahari, cuaca dan lain lain. )
4. Patofisologi
Faktor yang diduga kuat sebagai etiologinya adalah reaksi alergi
obat secara sistemik, infeksi bakteri, virus, jamur, protozoa, neoplasma,
reaksi pascavaksinasi, terapi radiasi, alergi makanan, bahan-bahan kimia
dan penyakit kolagen.
Hampir semua kasus SJS dan TEN disebabkan oleh reaksi toksik
terhadap obat, terutama antibiotik (mis. obat sulfa dan penisilin),
antikejang (mis. fenitoin) dan obat antinyeri, termasuk yang dijual tanpa
resep (mis. ibuprofen). Berdasarkan etiologi reaksi simpang obat
(Sulfonamid, antikonvulsan aromatic, NSAID, alupurinol, sulfonamide,
klormenazon), sehingga mempengaruhi reaksi hipersensitifitas tipe III.
5. Manifestasi
a) Kelainan kulit : Kelainan pada kulit dapat berupa eritema, vesikal, dan
bulla. Eritema berbentuk cincin (pinggir eritema tengahnya relative
hiperpigmentasi) yang berkembang menjadi urtikari atau lesipapuler
berbentuk target dengan pusat ungu atau lesi sejenis dengan vesikel
kecil.
b) Kelainan selaput lendir di orifisium : Kelainan yang terjadi berupa
stomatitis dengan vesikel pada bibir, lidah, mukosa mulut bagian
buccal. Stomatitis ini kemudian menjadi lebih berat dengan pecahnya
vesikel dan bulla sehingga terjadi erosi, excoriasi, pendarahan, ulcerasi
dan terbentuk krusta kehitaman.
c) Kelainan mata : Conjunctivitis Kataralis, Conjunctivitis Purulen,
pendarahan, Simblefaron , Ulcus Cornea, Iritis/Iridosiklitis yang pada
akhirnya dapat terjadi kebutaan sehingga dikenal trias yaitu Stomatitis,
Conjuntivitis, Balanitis, Uretritis.
6. Penatalaksaan
Terhadap penderita Sindrom Stevens-Johnson memerlukan tindakan
yang tepatdan cepat. Penderita biasanya memerlukan perawatan di rumah
sakit. Penanganan yang perlu dilakukan meliputi:
1. Preparat Kortikosteroid
2. Antibiotik
3. Infuse dan Transfusi Darah
4. KCl
5. Adenocorticotropichormon (ACTH)
6. Agen Hemostatik
7. Diet
Diet rendah garam dan tinggi protein
8. Vitamin
7. Komplikasi

Komplikasi yang tersering ialah bronko-pneumoni, yang didapati


sekitar 16% diantara seluruh kasus yang datang berobat. Dapat juga
kehilangan cairan/darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan syok. Pada
mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimasi. Komplikasi yang
lain ialah :

1. Kehilangan cairan dan darah


2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, Shock
3. Oftalmologi ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis,
kebutaan
4. Gastroenterologi Esophageal strictures
5. Genitourinaria nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring,
stenosis vagina
6. Pulmonari pneumonia, bronchopneumonia
7. Kutaneus timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen,
infeksi kulit sekunder.
8. Infeksi sitemik, sepsis

2.2 Saran
Diharapkan dapat menjadi acuan bagi pembaca terutama perawat dalam
membuat asuhan keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA

A Mansjoer S, Wardhani WI, Setiowulan W. 2000. Erupsi Alergi Obat.. Kapita


Selekta Kedokteran Edisi ketiga Jilid 2. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Media Aesculapius.

Bozena Seczynska dkk, 2013. Supportive Therapy for a Patient With Toxic
Epidermal Necrolysis Undergoing Plasmapheresis, Vol 33, No. 4.
Amerika: American Association of Critical-Care Nurses.

Bratawidjaya KG. Reaksi Hipersensitivitas. Dalam: Bratawidjaya KG. Imunologi


Dasar, 4th. Balai Penerbit FKUI: Jakarta; 2000 : 106-129.

Djuanda A, Hamzah M. 2005. Sindrom Stevens-Johnson. In: Djuanda A, editor.


Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 4th ed. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai