Anda di halaman 1dari 54

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III

STEVEN JHONSON SYNDROME

Dosen pengampul mata kuliah : Ns, Sri. Yulianti. S,Kep, M.Kep.


KELAS 3A KEPERAWATAN
KELOMPOK 4

Andi asrizal : 201901003


Diana agnes monika : 201901006
Nurul Humaira : 201901028
Izul huda : 201901013
Sakina W. : 201901030
Sela norisa : 201901032
widya sapitri : 201901038
windy indriyani pawane : 201901040

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
WIDYA NUSANTARA PALU
2021

\
A. Anatomi fisiologi dan fungsi Kulit
Kulit adalah organ tubuh paling luar yang berfungsi melindungi bagian
tubuh dari berbagai macam gangguan dan rangsangan luar. Luas permukaan
kulit orang dewasa 1,5-2 m2 dengan berat kira-kira 15-20% berat badan.
Ketebalan kulit berbeda-beda tergantung pada tempat/lokasi, yaitu berkisar
antara 0,5-4 mm.21,22,23
Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama
yaitu:
1. Lapisan Epidermis atau Kutikel
Lapisan luar kulit yang berasal dari ektoderm, tersusun atas epitel
berlapis gepeng berkeratin dan lebih tipis dibanding lapisan dermis.
Lapisan Epidermis, terdiri atas :

a. Stratum Korneum (Lapisan Tanduk)

Lapisan kulit paling luar dimana eleidin berubah menjadi


keratin yang tersusun tidak teratur sedangkan serabut elastis dan
retikulernya lebih sedikit. Terdiri atas 15-20 lapis sel gepeng
berkeratin tanpa inti dengan sitoplasma yang dipenuhi keratin
filamentosa birefringen.
b. Stratum Lusidum
Terletak langsung di bawah stratum korneum, merupakan lapisan
tipis translusen sel eosinofilik yang sangat pipih. Organel dan inti
menghilang serta sitoplasma hampir sepenuhnya berisi filamen keratin
padat yang berhimpitan dalam matriks padat elektron. Lapisan ini hanya
dijumpai pada kulit tebal.
c. Stratum Granulosum (Lapisan Keratohialin)

Terdiri 3-5 lapis sel-sel poligonal gepeng dengan sitoplasma berbutir

kasar dan terdapat inti di antaranya. Butir-butir kasar ini terdiri atas

keratohialin. Mukosa biasanya tidak mempunyai lapisan ini. Tampak

jelas pada telapak tangan dan kaki.21,22,25,27

d. Stratum Spinosum (Stratum Malpighi)


Lapisan epidermis paling tebal terdiri dari sel kuboid dengan inti di
tengah, nukleolus dan sitoplasma aktif menyintesis filamen keratin.
Intinya besar dan oval
e.Stratum Basale (Stratum Germinativum)

Stratum basale terdiri atas selapis sel kuboid atau kolumnar


basofilik. Ditandai dengan tingginya aktivitas mitosis. Terdapat pula sel
pembentuk melanin (melanosit) dengan sel berwarna muda, sitoplasma
basofilik, inti gelap dan mengandung butir pigmen

2. Lapisan Dermis (korium, kutis vera, true skin)


Lapisan kulit yang tersusun dari jaringan ikat padat dan berasal dari
mesoderm.

Lapisan yang lebih tebal daripada epidermis. Terdiri atas lapisan elastik

dan fibrosa padat dengan elemen selular dan folikel rambut.26 Terbagi

menjadi dua bagian yaitu :

a. Pars Papilare (Stratum Spongiosum)

Lapisan tipis terdiri dari jaringan ikat longgar dengan fibroblas, sel

mast dan makrofag serta terdapat bagian yang menonjol ke epidermis

yang disebut papila dermis. Lapisan ini berisi ujung serabut saraf dan

pembuluh darah.

b. Pars Retikulare (Stratum Kompaktum)

Lapisan yang lebih tebal terdiri atas jaringan ikat padat iregular
(terutama kolagen tipe I) tersusun atas serabut penunjang seperti
serabut kolagen, elastin, dan retikulin. Dasar lapisan ini terdiri atas
cairan kental asam hialuronat dan kondroitin sulfat serta fibroblas
3. Lapisan Subkutis (hipodermis)
Tidak ada garis tegas yang memisahkan antara dermis dan subkutis.
Lapisan ini ditandai dengan adanya jaringan ikat longgar dan adanya sel
serta jaringan lemak.
Terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya.
Lapisan sel lemak (panikulus adiposa) yang berfungsi sebagai cadangan
makanan merupakan sel bulat, besar, dengan inti terdesak ke pinggir. Pada
lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah dan getah
bening. Vaskularisasi diatur oleh pleksus superfisialis yang terletak di
bagian atas dermis dan pleksus profunda yang terletak di subkutis
Fungsi kulit
1. Fungsi Proteksi
Kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisis atau mekanis
seperti gaya gesekan, tekanan, tarikan, gangguan infeksi luar terutama
bakteri maupun jamur, zat-zat kimia yang bersifatiritan seperti lisol,
karbol, asam, dan alkali kuat lainnya, serta adanya pigmen melanin
gelap yang dapat melindungi sel dari radiasi ultraviolet.21,23,25
2. Fungsi Absorpsi
Kulit sehat tidak mudah menyerap air, larutan dan benda padat, tetapi lebih
mudah menyerap pada cairan yang mudah menguap. Permeabilitas kulit
terhadap O2, CO2, dan uap air memungkinkan kulit ikut mengambil bagian
pada fungsi respirasi. Kemampuan ini dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit,
hidrasi, kelembaban, metabolisme, dan jenis vehikulum. Penyerapan
lebih banyak melalui sel-sel epidermis daripada melalui muara kelenjar.21
3. Fungsi Ekskresi
Kulit berfungsi untuk pengeluaran keringat
4. Fungsi Persepsi
Kulit sangat peka terhadap berbagai rangsang sensorik karena
mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis.
Rangsang panas diperankan oleh badan ruffini di dermis dan subkutis.
Badan krause di dermis berperan terhadap rangsang dingin.
Rangsang raba diperankan oleh badan meissner di papila dermis

5. Fungsi Pengaturan Suhu Tubuh


Temperatur kulit dikontrol dengan dilatasi atau kontriksi pembuluh

darah kulit. Temperatur yang meningkat menyebabkan

vasodilatasipembuluh darah, kemudian tubuh melepas panas dari

kulit dengan cara mengirim sinyal kimia yang dapat

meningkatkan aliran darah di kulit. Sedangkan temperatur yang

menurun, pembuluh darah kulit akan vasokontriksi untuk

mempertahankan panas.

6. Fungsi Pembentukan Pigmen

Sel pembentuk pigmen (melanosit) ini terletak dilapisan basal.

Jumlah melanosit dan besarnya butiran pigmen (melanosomes)

menentukan warna kulit ras maupun individu. Pajanan sinar

matahari mempengaruhi produksi melanosom.

7. Fungsi Pembentukan Vitamin D


Kulit dapat membuat vitamin D dari bahan 7-dihidroksi kolesterol
dengan pertolongan sinar matahari
A. KONSEP TEORI
1. Definisi

Syndrome Stevens Johnson (SSJ) merupakan sindrom yang mengenai kulit,


selaput lendir di orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan
sampai berat. Kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai
purpura, Syndrome Stevens Johnson akan menimbulkan beberapa masalah
keperawatan diantaranya: kerusakan integritas kulit, ketidak seimbangan nutrisi,
nyeri akut, resiko tinggi infeksi, defisit keperawatan diri dan ansietas (Muttaqin
dan sari, 2011).
Syndrome Stevens Johnson reaksi berat alergi obat yang merupakan bentuk
erythema multiforme yang berat, menimbulkan kerusakan didaerah kulit yang
membatasi mulut, keronggkongan, anus, genital dan mata. Obat yang
dapatmenimbulkan Syndrome Stevens Johnson adalah penisilin, sulfat, barbiburat,
beberapa obata anti hipertensi dan obat anti diabetes (Sudarto, 2014).
Syndrome Stevens Johnson adalah sebuah kondisi mengancam jiwa yang
mempengaruhi kulit dimana kematian sel menyebabkan epidermis terpisah dari
dermis. Sindrom ini diperkirakan oleh karena reaksi hipersensitivitas yang
mempengaruhi kulit dan mukosa. Walaupun pada kebanyakan kasus bersifat idiopatik,
penyebab utama yang diketahui adalah dari pengobatan, infeksi dan terkadang dari
keganasan.

2. EPIDIMIOLOGI

Sindrom ini merupakan suatu penyakit gawat darurat yang jarang terjadi,
insidensi SSJ adalah 1-6 kasus/juta penduduk/tahun sedangkan insidensi NET 0,4 —
1,2 kasus/juta penduduk/tahun. SSJ dan NET dapat terjadi pada usia muda sampai
usia tua dan semakin meningkat pada usia di atas 40 tahun. Perbandingan kejadian
pada perempuan dan laki-laki adalah 1,5:1. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
terhadap orang dewasa di Amerika Serikat, didapatkan insidensi SSJ 9,2 per juta
penduduk per tahun sedangkan NET 1,9 per juta penduduk per tahun.
Berdasarkan penelitian di Cina periode tahun 2006-2016 didapatkan total pasien
166 orang dengan pembagian SSJ 70 kasus, SSJ-NET 2 kasus, dan NET 94 kasus.
Penyebab terbanyak kasus SSJ-NET di Cina adalah antibiotik dan antikonvulsan.
Pada sebagian pasien diberikan terapi kombinasi steroid sistemik Sindrom ini
merupakan suatu penyakit gawat darurat yang jarang terjadi, insidensi SSJ adalah 1-6
kasus/juta penduduk/tahun sedangkan insidensi NET 0,4 — 1,2 kasus/juta
penduduk/tahun. SSJ dan NET dapat terjadi pada usia muda sampai usia tua dan
semakin meningkat pada usia di atas 40 tahun.
Perbandingan kejadian pada perempuan dan laki-laki adalah 1,5:1.1,2
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap orang dewasa di Amerika Serikat,
didapatkan insidensi SSJ 9,2 per juta penduduk per tahun sedangkan NET 1,9 per juta
penduduk per tahun.4 Berdasarkan penelitian di Cina periode tahun 2006-2016
didapatkan total pasien 166 orang dengan pembagian SSJ 70 kasus, SSJ-NET 2 kasus,
dan NET 94 kasus. Penyebab terbanyak kasus SSJ-NET di Cina adalah antibiotik dan
antikonvulsan. Pada sebagian pasien diberikan terapi kombinasi steroid sistemik dan
intravena immunoglobulin (IVIG) dan pasien lainnya diberikan steroid sistemik saja.
Berdasarkan data tahun 2010 — 2013 di rawat inap RSCM, didapat kasus yang
terdiri dari SSJ 47,4%, overlap SSJ-NET 19,3% dan NET 33,3%.1 Data di RSUP Dr.
M. Djamil Padang periode Januari 2010 sampai Desember 2011 didapatkan 22 kasus
SSJ pada pasien rawat inap dengan perbandingan laki — laki dan perempuan yaitu
3:1 dengan pasien terb
banyak di usia lebih 19 tahun sampai kurang dari 59 tahun. Hasil penelitian di
rawat inap RS Dr. Moewardi Surakarta periode Agustus 2011- Agustus 2013
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kasus SSJ-NET pada Agustus 2012 —
Agustus 2013 dibandingkan Agustus 2011 — Agustus 2012

3. Etiologi

Penyebab Syndrome Stevens Johnson biasanya merupakan lanjutan dari infeksi


virus seperti virus herpes simpleks, influenza, gondongan/ mumps, histoplasmosis,
virus Epstein-Barr, atau sejenisnya, Efek samping dari obat- obatan (allopurinol,
diklofenak, fluconazole, valdecoxib, sitagliptin, penicillin, barbiturat, sulfonamide,
fenitoin, azitromisin, modafinil, lamotrigin, nevirapin, ibuprofen, ethosuximide,
carbamazepin), Keganasaan (karsinoma dan limfoma), Faktor idiopatik (hingga
50%), Syndrome Stevens Johnson juga dilaporkan secara konsisten sebagai efek
samping yang jarang dari suplemen herbal yang mengandung gingseng,Syndrom
Stevens Johnson juga mungkin disebabkan oleh karena penggunaan kokain.
Walaupun Syndrome Stevens Johnson dapat disebabkan oleh infeksi viral,
keganasan atau reaksi alergi berat terhadap pengobatan, penyebab utama
nampaknya karena penggunaan antibiotic sulfametoksazole.Pengobatan yang secara
turun temurun diketahui menyebabkan Syndrome Stevens Johnson, eritem
multiformis, sindrom Lyell, dan nekrolisis epidermal toksik diantaranya
sulfonamide (antibiotik), penisillin (antibiotik), barbiturate (sedative), lamotrigine
(antikonvulsan), fenitoin-dilantin (antikonvulsan). Kombinasi lamotrigin dengan
asam valproat meningkatkan resiko dari terjadinya Syndrome Stevens Johnso

4. Manifestasi Klinis

Gejala prodromal terjadi dalam 1-14 hari dan sangat bervariasi dalam derajat
berat serta kombinasi gejala. Gejala prodromal dapat berupa demam, malaise,
batuk, koriza, sakit menelan, sakit kepala, nyeri dada, muntah, myalgia, dan
atralgia. Setelah itu akan timbul lesi kulit, mukosa, dan mata.
Lesi pada kulit bersifat simetris, dapat berupa eritema, papel, vesikel, atau
bula. Lesi spesifik berupa lesi target timbul akibat adanya perdarahan pada lesi yang
menimbulkan gejala fokal berbentuk target, iris, atau mata sapi Pada keadaan lanjut
dapat terjadi erosi, ulserasi, kulit mengelupas (tanda Nikolsky positif) dan pada
kasus berat pengelupasan. kulit dapat terjadi pada seluruh tubuh disertai paronikia
dan pengelupasan kuku. Predileksi lesi adalah pada area muka, ekstensor tangan dan
kaki, serta dapat meluas ke seluruh tubuh. Jumlah dan luas lesi meningkat dan
mencapai puncaknya pada hari keempat sampai kelima.
Lesi pada mukosa dapat terjadi bersamaan atau bahkan mendahului timbulnya
lesi di kulit. Pada mukosa mulut, tenggorokan, dan genital dapat ditemukan vesikel,
bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan, dan krusta berwarna merah. Pada faring dapat
terbentuk pseudomembran berwarna putih atau keabuan yang menimbulkan
kesukaran menelan. Pada bibir dapat dijumpai krusta kehitaman yang disertai
stomatitis berat pada mukosa mulut. Lesi jarang terjadi pada mukosa hidung dan
anus, tetapi pada kasus berat dapat terjadi lesi yang luas sampai ke daerah
trakeobronkial.
Kelainan mata berupa konjungtifitis kataralis, blefarokonjungvitis, iritis,
iridosiklitis, pembentukan pseudomembran, kelopak mata edema dan sulit dibuka,
sekret mata purulen disertai dengan fotofobia. Pada kasus berat dapat terjadi erosi
dan perforasi kornea. Gejala klinis SSJ biasanya timbul cepat dengan keadaan umum
yang berat, disertai demam, dehidrasi, gangguan pernafasan, muntah, diare, melena,
pembesaran kelenjar getah bening, hepatosplenomegali, sampai pada penurunan
kesadaran dan kejang. Perjalanan penyakit dapat berlangsung beberapa hari sampai 6
minggu, tergantung dari derajat berat penyakitnya.
Perjalanan penyakit sangat akut dan mendadak dapat disertai gejalaprodromal
berupa demam tinggi (30º - 40ºC), mulai nyeri kepala, batuk, pilek,dan nyeri
tenggorokan yang dapat berlangsung dua minggu. Gejala-gejala inidengan segera
akan menjadi berat yang ditandai meningkatnya kecepatan nadidan pernafasan,
denyut nadi melemah, kelemahan yang hebat sertamenunrunnya kesadaran, soporeus
sampai koma (Kusuma & Nurarif, 2015).
5. Klasifikasi

Terdapat tiga derajat klasifikasi yang diajukan menurut (Kusuma & Nurarif,
2015):
1. Derajat 1 : erosi mukosa SSJ dan pelepasan epidermis kurang dari 10%
2. Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%
3. Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%

6. Patofisiologi

Stevens Johnson Syndrome merupakan kelainan hipersensitivitas yang


dimediasi kompleks imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus dan
keganasan. Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi
hipersensitif tipe III dan IV.
Reaksi hipersensitif tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen
antibodi yang mikro presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen.
Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan enzim dan
menyebab kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Hal ini terjadi
sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap di
dalam pembuluh darah atau jaringan.
Antibiotik tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam
jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan
menyebabkan terbentuknya komplek antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe
ini mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan
jaringan atau kapiler ditempat terjadinya reaksi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah
tersebut dan mulai memtagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan
enzim-enzim sel, serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan
berlanjut.
Reaksi hipersensitifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi
berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limtokin dilepaskan sebagai
reaksi radang. Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T.
Penghasil limfokin atau sitotoksik atau suatu antigen sehingga terjadi penghancuran
sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat
(delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.
Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan IgM,
IgA, C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi. Antigen penyebab
berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat merangsang respons imun
spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar. Hapten atau karier tersebut
dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya) atau
produk yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur sel atau
jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat infeksi, inflamasi, atau proses
metabolik).
Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta
menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi
yang terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta
mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan
klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas
mediator serta produk inflamasi lainnya. Adanya reaksi imun sitotoksik juga
mengakibatkan apoptosis keratinosit yang akhirnya menyebabkan kerusakan
epidermis.
Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga
terjadi seperti kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan, stress
hormonal diikuti peningkatan resistensi terhadap insulin, hiperglikemia dan
glukosuria, kegagalan termoregulasi, kegagalan fungsi imun, dan infeksi.
7. Pahtway
Obat-obatan, infeksi
Virus, keganasan Kelainan hipersensitifitas

Hipersensifitas tipe IV hipersensitifitas III

Limfosit T tersintesis Antigen antibody terbentuk


terperangkap dalam
jaringan kapiler
Pengaktifan sel T

Melepaskan Aktivitas S. Komplemen


Limfisit/sitotolsis

Degranulasi sel mast


Menghancurkan sel-sel

Akumulasi netrofil
Reaksi peradangan mamfogasitosis sel rusak

Nyeri akut
Melepas sel yang rusak

Kerusakan jaringan

Kerusakan Triase gangguan pada


Integritas kulit kulit, mukosa dan mata

Respon lokal : eritema


Vesikal dan bula Respon inflamasi
sistemik
Post de antree Terjadi efaporasi Gangguan gastrointestinal
Pada kulit Demam, malaise
Resiko infeksi
Intake tidak
Resiko kekurangan
adekuat
Volume cairan
8. Penatalaksanaan
Ketidak seimbangan
a. Kortikosteroid Nutrisi : kurang dari
Menggunaan obat Kortikosteroid merupakanKebutuhan
tindakan life-saving.Pada
tubuh
Sindrom Stevens -Johnson yang ringan cukup diobati dengan Prednison dengan dosis
30-40 mg/hari.Pada bentuk yang berat,ditandai dengan kesadaran yang menurun dan
kelainan yang menyeluruh, digunakan Dexametason intravena dengan dosis awal 4-
6x5 mg/hari.Setelah beberapa hari (2-3 hari) biasanya mulai tampak perbaikan (masa
kritis telah teratasi),ditandai dengan keadaan umum yang membaik,lesi kulit yang
baru tidak timbul sedangkan lesi yang lama mengalami Involusi. Pada saat ini dosis
Dexametason diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan sebanyak 5 mg.Setelah
dosis mencapai 5 mg sehari lalu diganti dengan tablet Prednison yang diberikan pada
keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari. Pada hari berikutnya dosis diturunkan
menjadi 10 mg, kemudian obat tersebut dihentikan.Jadi lama pengobatan kira-kira 10
hari.
b. Antibiotika
Penggunaan Antibiotika dimaksudkan untuk mencegah terjadinya infeksi
akibat efek Imunosupresif Kortikosteroid yang dipakai pada dosis tinggi. Antibiotika
yang dipilih hendaknya yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas dan
bersifat bakterisidal. Dahulu biasa digunakan Gentamisin dengan dosis 2 x 60-80
mg/hari.Sekarang dipakai Netilmisin Sulfat dengan dosis 6 mg/kg BB/hari,dosis
dibagi dua.Alasan menggunakan obat ini karena pada beberapa kasus mulai resisten
terhadap Gentamisin, selain itu efek sampingnya lebih kecil dibandingkan
Gentamisin.
c. Menjaga Keseimbangan Cairan,Elektrolit dan Nutrisi
Hal ini perlu diperhatikan karena penderita mengalami kesukaran atau bahkan
tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan di tenggorokan serta kesadaran yang
menurun.Untukini dapat diberikan infus berupa Glukosa 5% atau larutan
Darrow.Pada pemberian Kortikosteroid terjadi retensi Natrium, kehilangan Kalium
dan efek Katabolik. Untuk mengurangi efek samping ini perlu diberikan diet tinggi
protein dan rendah garam,KC13x500mg/hari dan obat-obat Anabolik.Untuk
mencegah penekanan korteks kelenjar Adrenal diberikan ACTH(Synacthen depot)
dengan dosis 1 mg/hari setiap minggu dimulai setelah pemberian Kortikosteroid
d. Transfusi Darah
Bila dengan terapi diatas belum tampak tanda-tanda perbaikan dalam 2-3
hari,maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300-500 cc setiap hari selama 2
hari berturut-turut.Tujuan pemberian darah ini untuk memperbaiki keadaan umum
danmenggantikan kehilangan darah pada kasus dengan purpura yang luas. Pada kasus
Purpura yang luas dapat ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg sehari
intravena dan obat- obat Hemostatik

9. Pencegahan

a. Ketahui penyebab reaksi. Apabila kondisi disebabkan oleh pengobatan, pelajari nama


obat tersebut dan obat-obatan yang terkait. Catatlah dan perhatikan setiap kali Anda
harus mengonsumsi obat.
b. Beri tahu dokter. Beri tahu semua tim medis yang menangani Anda bahwa Anda
memiliki riwayat sindrom Steven-Johnson syndrome. Apabila reaksi disebabkan oleh
suatu obat, beri tahu mereka sebelum Anda mendapatkan resep obat-obatan.

10. Komplikasi

SJS sering menimbulkan komplikasi pada mata, diantaranya ulkus kornea dan
simblefaron. Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, nefritis, miositis, mielitis, poliartritis serta
yang terberat adalah septikemia.
Komplikasi yang tersering ialah Bronchopneumonia (16%) yang dapat
menyebabkan kematian. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau darah
,gangguan keseimbangan elektrolit sehingga dapat menyebabkan shock .Pada mata
dapat terjadi kebutaan karena gangguan Lakrimasi.
11. Farmokologi
a. Kortikosteroid
1) Prednison dengan dosis 30-40 mg/hari
2) Dexametason intravena dengan dosis awal 4-6x5 mg/hari.
b. Antibiotika
1) Gentamisin dengan dosis 2 x 60-80 mg/hari.
2) Netilmisin Sulfat dengan dosis 6 mg/kg

B. Asuhan keperawatan
1. Pengkajian
Menurut (Smeltzer, Suzanne C, 2010) inspeksi kulit yang cermat harus
dilakukan, dan penampilan kulit serta luas lesi dicatat. Kulit yang normal diobservasi
secara ketat untuk menentukan apakah timbul daerah daerah bula yang baru.
Perembasan cairan dari bula dipantau untuk memantau jumlah, warna dan baunya.
Inspeksi rongga mulut untuk mendeteksi pembentukan bula dan lesi yang terkelupas
harus dilakukan setiap hari. Kondisi pasien dinilai setiap hari untuk menemukan
keluhan gatal, terbakar dan kekeringan pada mata. Kemampuan pasien menelan dan
meminum cairan, di samping kemampuan berbicara secara normal, ditentukan.
Tanda-tanda vital pasien dimonitor dan diberikan perhatian khusus terhadap
keberadaan serta karakter demam di samping terhadap frekuensi, dalam serta irama
pernapasan dan gejala batuk. Karakteristik dan jumlah sekresi respiratorius dicatat.
Pemeriksaan untuk menilai panas yang tinggi, takikardia dan kelemahan serta rasa
lelah yang ekstrim sangat penting, karena semua ini menunjukkan proses nekrosis
epidermis, peningkatan kebutuhan metabolik dan kemungkinan pelepasan jaringan
mukosa gastrointestinal serta respiratorius. Volume urin, berat jenis dan warnanya 14
harus dipantau. Tempat pemasangan jarum infus diinspeksi untuk menemukan tanda-
tanda infeksi setempat. Berat badan pasien dicatat setiap hari (Smeltzer, Suzanne C,
2010).
Kepada pasien diminta untuk menjelaskan keluhan rasa lelah dan tingkat nyeri
yang dirasakannya. Upaya untuk mengevaluasi tingkat kecemasan pasien harus
dilakukan. Mekanisme koping dasar yang dimiliki pasien dinilai dan strategi koping
yang efektif diidentifikasi (Smeltzer, Suzanne C, 2010)

2. Diagnosa Keperawatan
Menurut (NANDA, 2015), diagnosa yang dapat ditegakkan pada klien dengan
sindrom steven johnson, adalah :
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan agens farmaseutikal ditandai
dengan adanya lesi pada kulit, mukosa, dan mata
2. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh primer tidak adekuat
(gangguan integritas kulit)
3. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera ditandai dengan kulit yang
terkelupas dan adanya lesi
4. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan makan ditandai dengan demam, sakit tenggorokan, dan adanya
gangguan pada mukosa
5. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan faktor yang
mempengaruhi kebutuhan cairan
3. Intervensi

a. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan agens farmaseutikal ditandai dengan


adanya lesi pada kulit, mukosa, dan mata.
Tujuan yang diharapkan (NOC) : Integritas jaringan : kulit & membran mukosa baik.
Kriteria Hasil :
1) Tidak ada lesi pada kulit dan mukosa membran
2) Tidak ada pengelupasan kulit
3) Tidak ada eritema
4) Tidak ada peningkatan suhu kulit
Rencana Tindakan (NIC) :
Intervensi Rasional
1. Pantau kulit dan membran 1. Mengetahui perkembangan
mukosa pada area yang mengalami kondisi luka/lesi dan menentukan
perubahan warna, memar, dan intervensi tindakan selanjutnya
kerusakan. dengan tepat untuk memperbaiki
integritas kulit.

2. Pantau adanya kekeringan dan 2. Kekeringan/kelembaban yang


kelembaban yang berlebihan pada berlebihan pada kulit dapat
kulit. memperparah kerusakan integritas
kulit dan menjadi indikator
keseimbangan cairan klien.

3. Oleskan salep yang sesuai 3. Pemberian salep yang sesuai dapat


dengan kulit/lesi. menjadi pelindung area luka dari
agens infeksi dan mempercepat
penyembuhan luka/lesi.

4. Berikan balutan yang sesuai 4. Balutan yang sesuai dengan jenis


dengan jenis luka. luka dapat menghindari gesekan luka
pada area lain.

5. Anjurkan klien untuk 5. Pakaian yang ketat dapat


menggunakan pakaian yang meningkatkan gesekan antara luka
longgar. dengan kain, sehingga dapat
memperparah kerusakan integritas
kulit.

6. Ajarkan kepada keluarga tentang 6. Pengetahuan yang adekuat pada


tanda dan kerusakan kulit. keluarga dapat membantu tenaga
kesehatan dalam mengantisipasi
tanda kerusakan kulit pada klien.

7. Rujuk pada ahli diet, dengan 7. Pemberian diet tinggi protein


tepat diperlukan untuk pembentukan
jaringan baru pada luka/lesi
b. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh primer tidak adekuat (gangguan
integritas kulit)
Tujuan yang diharapkan (NOC): Kontrol resiko: proses infeksi dapat dilakukan dan
status imunitas baik
Kriteria Hasil:
1) Mengidentifikasi faktor resiko infeksi
2) Mengidentifikasi tanda dan gejala infeksi
3) Memonitor perilaku diri yang berhubungan dengan resiko infeksi
4) Memonitor faktor di lingkungan yang berhubungan dengan resiko infeksi
5) Jumlah leukosit dalam batas normal (5000 - 10.000/mm3 )
Rencana Tindakan (NIC):

Intervensi Rasional
1. Monitor tekanan darah, nadi, suhu, 1. Perubahan tanda vital, terutama suhu
dan status pernafasan dengan tepat. merupakan komplikasi lanjut untuk
terjadinya infeksi.

2. Monitor karakteristik luka, termasuk 2. Karakteristik luka dapat menjadi


drainase, warna, ukuran, dan bau. indikator adanya infeksi.

3. Batasi jumlah pengunjung


3. Pengunjung dapat meningkatkan
resiko kontaminasi silang.
4. Tingkatkan intake nutrisi yang tepat.
4. Nutrisi yang adekuat dapat
mempercepat regenerasi jaringan dan
penyembuhan luka.
5. Anjurkan pengunjung untuk mencuci
tangan pada saat memasuki dan
meninggalkan ruangan pasien. 5. Mencuci tangan dapat meminimalkan
adanya kontaminasi silang.
6. Ajarkan pasien dan keluarga
mengenai tanda dan gejala infeksi dan 6. Pasien dan keluarga dapat kooperatif
kapan harus melaporkannya kepada dan mengantisipasi faktor resiko
penyedia perawatan kesehatan. terjadinya infeksi.

7. Ajarkan pasien dan anggota keluarga


mengenai bagaimana menghindari 7. Ajarkan pasien dan anggota keluarga
infeksi. mengenai bagaimana menghindari
infeksi.

8. Berikan terapi antibiotik yang sesuai


(kolaborasi dengan dokter). 8. Antibiotik dapat mencegah
mikroorganisme menyerang tubuh
klien.

c. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera ditandai dengan kulit yang terkelupas dan
adanya lesi
Tujuan yang diharapkan (NOC) : Kontrol nyeri dapat dilakukan dan tingkat nyeri
dapat berkurang
Kriteria Hasil :
1) Secara konsisten menunjukkan dalam menggunakan tindakan pengurangan nyeri
tanpa analgesik
2) Nyeri yang dilaporkan : tidak ada
3) Ekspresi nyeri wajah : tidak ada
4) Melaporkan nyeri yang terkontrol
5) Melaporkan perubahan terhadap gejala nyeri pada profesional kesehatan Rencana
Tindakan (NIC) :
Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat nyeri yang komprehensif 1. Data-data tersebut digunakan sebagai
meliputi lokasi, karakteristik, awitan data dasar dalam menentukan intervensi
dan durasi, frekwensi, kualitas, tindakan yang tepat pada klien
intensitas atau keparahan nyeri, dan selanjutnya untuk mencapai
faktor presipitasinya kesembuhan klien

2. Observasi isyarat nonverbal


ketidaknyamanan. 2. Isyarat nonverbal klien (meringis,
mengernyit) menjadi tanda bahwa klien
merasakan ketidaknyamanan/nyeri

3. Monitor vital sign sebelum dan 3. Nyeri dan pemberian analgesik dapat
sesudah pemberian analgesik pertama memengaruhi vital sign klien, seperti
kali nadi dan RR.

4. Lakukan perubahan posisi dan 4. Perubahan posisi dan relaksasi dapat


relaksasi. membantu klien mengurangi rasa nyeri
dan klien merasa rileks.

5. Tingkatkan istirahat/tidur yang 5. Istirahat/tidur dapat mengalihkan


cukup untuk membantu mengurangi fokus pada nyeri klien.
rasa nyeri.

6. Ajarkan penggunaan teknik relaksasi 6. Teknik relaksasi nonfarmakologi


nonfarmakologi sebelum atau sesudah dapat dilakukan klien tanpa bantuan
rasa sakit meningkat. perawat atau tenaga kesehatan untuk
mengurangi nyeri.

7. Berikan informasi yang lengkap dan 7. Pengetahuan yang adekuat pada


akurat untuk mendukung pengetahuan keluarga dapat membantu perawat atau
yang optimal. tenaga kesehatan untuk mengenali
respon nyeri klien.
8. Berikan analgesik untuk mengurangi 8. Analgesik dapat mengurangi nyeri
nyeri (berkolaborasi dengan dokter). pada klien.

d. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


ketidakmampuan makan ditandai dengan demam, sakit tenggorokan, dan adanya
gangguan pada mukosa
Tujuan yang diharapkan (NOC): Status nutrisi klien baik
Kriteria Hasil:
1) Asupan makanan secara oral adekuat
2) Tudak ada rasa tidak nyaman dengan menelan
3) Hasrat/keinginan untuk makan tidak terganggu
4) Tidak ada lesi mukosa mulut
Rencana Tindakan (NIC):
Intervensi Rasional
1. Kaji kemampuan pasien untuk 1. Kemampuan pasien makan dapat
mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan. mempengaruhi intake nutrisi pasien.

2. Monitor kalori dan intake nutrisi 2. Kalori dan intake nutrisi pasien dapat
digunakan sebagai data dasar untuk
menentukan intervensi selanjutnya.

3. Mulut yang bersih dapat


3. Lakukan atau bantu pasien terkait meningkatkan kenyamanan dan nafsu
dengan perawatan mulut sebelum makan klien
makan

4. Menambah nafsu makan klien


4. Pastikan makanan disajikan dengan
cara yang menarik dan pada suhu yang
paling cocok untuk konsumsi secara
optimal

5. Dengan pengetahuan yang cukup


5. Ajarkan dan dukung konsep nutrisi akan nutrisi klien dapat kooperatif dan
yang baik dengan klien dan orang menerapkannya dalam proses
terdekat dengan klein. penyembuhannya.

6. Nutrisi dan jumlah kalori yang tepat


6. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk dapat memenuhi kebutuhan nutrisi
menentukan jumlah kalori dan nutrisi klien dan mempercepat kesembuhan.
yang dibutuhkan pasien.

e. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan faktor yang mempengaruhi


kebutuhan cairan
Tujuan yang diharapkan (NOC) : Keseimbangan cairan baik dengan indikator status
nutrisi : makanan & cairan dapat terpenuhi
Kriteria Hasil :
1) Tidak ada kehausan
2) Asupan makanan secara oral adekuat
3) Asupan cairan secara oral adekuat

Rencana Tindakan (NIC) :


Intervensi Rasional
1. Monitor status hidrasi (kelembaban 1. Sebagai data dasar untuk
membran mukosa, nadi adekuat, menentukan kemungkinan adanya
tekanan darah ortostatik), jika resiko kekurangan volume cairan pada
diperlukan. klien.
2. Monitor masukan makanan/cairan 2. Masukan makanan/cairan dan kalori
dan hitung intake kalori harian. harian menjadi indikator untuk
mengukur keseimbangan cairan pada
klien

3. Dorong keluarga untuk membantu 3. Keluarga mempunyai peran penting


pasien makan dalam pendekatan dengan klien.

4. Atur kemungkinan transfusi. 4. Transfusi diperlukan jika klien


terdapat purpura yang luas, untuk
memperbaiki keadaan umum dan
menggantikan kehilangan darah.

5. Kolaborasikan pemberian cairan IV. 5. Pemberian cairan IV untuk


mempertahankan keseimbangan cairan
pada klien dengan gangguan menelan
(terdapat lesi pada mukosa
mulut/faring).

6. Kolaborasi dengan dokter tentang


kebutuhan suplemen makanan seperti 6. Pemberian suplemen makanan dan
NGT sehingga intake cairan adekuat cairan melalui NGT dapat
dapat dipertahankan. mempertahankan intake cairan yang
adekuat.

4. Discharge Planning
1. Terapkan kebersihan personal
2. Mandilah setidaknya sekali sehari dan keringkan kulit hingga benar-benar kering.
3. Jangan menggosok atau myentuh mata sehabis meyentuh lepuhan karena dapat
menyebabkan penyebaran virus kekornea yang mengakibatkan kebutaan.
4. Obsevasi kulit setiap hari catat turgor sikulasi dan sensori serta perubahan lainnya
yang terjadi. Rasional : menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat
dibandingkan dan melakukan intervensi yang tepat.
5. Gunakan pakaian tipis dan alat tenun ysng lembut. Rasional : menurunkan iritasi
garis jahitan dan tekan dari baju, membiarkan insisi terbuka terhadap udara
meningkat proses penyembuhan dan menurunkan resiko infeksi.
6. Perbanyak minum air putih.

DAFTAR PUSTAKA

NANDA. 2015. Diagnosis Keperawatan : Definisi & Klasifikasi 2015-2017. Edisi 10.
Jakarta: EGC
Nurarif, A.H. & Kusuma, H. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis dan Nanda NIC-NOC, Edisi Revisi Jilid 2. Jogjakarta: MediAction Publishing
Aji, P. T., & Ns, M. K. (2019). Modul Praktikum Klinik Keperawatan Medikal Bedah II.
Anang, S.,Lailu, M., & Yusri, A., 2018. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Sindrom Steven
Johnson. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Kendal.
Fitriany, J., & Alratisda, F. (2019). Stevens Johnson Syndrome. AVERROUS: Jurnal
Kedokteran dan Kesehatan Malikussaleh, 5(1), 94-115.
Amin & Hardi.(2015).ASUHAN KEPERAWATAN BERDASARKAN DIAGNOSA
MEDIS & NANDA NIC-NOC JILID 3.MediAction Publishing : Yogyakarta
E. Evidence Base

STEVENS JOHNSON SYNDROME

Julia Fitriany 1, Fajri Alratisda2

1
SMF Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran, Universitas Malikussaleh, Aceh,
Indonesia
2
Program Studi Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Malikussaleh, Aceh,
Indonesia

Corresponding author : fajrialratisda67@gmail.com

Abstrak
Stevens Johnson Syndrome (SJS) merupakan suatu sindroma atau kumpulan gejala yang
mengenai kulit, selaput lendir, dan mata dengan keadaan umum yang bervariasi dari ringan
sampai berat. Penyakit ini bersifat akut dan pada bentuk yang berat dapat menyebabkan
kematian, oleh karena itu penyakit ini merupakan salah satu kegawatdaruratan penyakit
kulit. Sindroma ini merupakan salah satu contoh immune-complex-mediated
hypersensitivity, atau yang juga disebut reaksi hipersensitivitas tipe III, di mana
kejadiaannya dapat diinduksi oleh paparan obat, infeksi, imunisasi, maupun akibat paparan
fisik lain kepada pasien. Stevens Johnson Syndrome berisiko menimbulkan kematian,
perawatan dan pengobatan pasien SJS sangat membutuhkan penanganan yang tepat dan
cepat. Adapun terapi yang bisa diberikan antara lain perawatan terhadap kulit dan
penggantian cairan tubuh, perawatan terhadap luka, serta perawatan terhadap mata.
Kelangsungan hidup pasien Stevens Johnson Syndrome bergantung pada tingkat
pengelupasan kulit, di mana apabila pengelupasan kulit semakin meluas, maka
prognosisnya dapat menjadi semakin buruk. Selain itu, variabel lain seperti dengan usia
penderita, keganasan penyakit tersebut, denyut jantung, kadar glukosa, kadar BUN dan
tingkat bikarbonat juga dapat mempengaruhi kelangsungan hidup pasien.

Kata Kunci : hipersensitivitas; kulit; mata; selaput-lendir;


syndrome
STEVENS JOHNSON SYNDROME
Abstract
Stevens Johnson Syndrome (SJS) is syndrome or collection of symptoms that affect the
skin, mucous membranes, and eyes with general conditions that vary from mild to severe.
This disease is acute and in severe forms can cause death, therefore this disease is one of
the emergency skin diseases. This syndrome is one example of immune-complex-mediated
hypersensitivity, or what is also called type III hypersensitivity reaction, where the
incidence can be induced by drug exposure, infection, immunization, or due to other
physical exposure to the patient. Stevens Johnson Syndrome is at risk of causing death,
treatment and treatment of SJS patients desperately need proper and fast treatment. The
therapies that can be given include skin care and body fluid replacement, wound care, and
eye care. The survival of Stevens Johnson Syndrome patients depends on the level of
exfoliation, where when skin exfoliation expands, the prognosis can get worse. In addition,
other variables such as the age of the patient, the severity of the disease, heart rate, glucose
levels, BUN levels and bicarbonate levels can also affect the survival of patients.

Keywords : hypersensitivity; skin; eye; mucous membrane; syndrome


PENDAHULUAN
Stevens Johnson Syndrome (SJS) pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, dr.
Stevens dan dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun dokter tersebut tidak dapat
menentukan penyebabnya Stevens Johnson Syndrome dijelaskan pertama kali pada tahun
1922, Stevens Johnson Syndrome merupakan hipersensitivitas yang dimediasi kompleks
imun yang merupakan ekspresi berat dari eritema multiforme. Stevens Johnson Syndrome
(SJS) (ektodermosis erosiva pluriorifisialis, sindrom mukokutaneaokular, eritema
multiformis tipe Hebra, eritema multiforme mayor, eritema bulosa maligna) adalah
sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel, bula, dapat disertai purpura yang mengenai
kulit, selaput lendir orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik
sampai
buruk.1
Sindrom Stevens-Johnson merupakan kumpulan gejala (sindrom) berupa kelainan
dengan ciri eritema, vesikel, bula, purpura pada kulit pada muara rongga tubuh yang
mempunyai selaput lendir serta mukosa kelopak mata. Penyebab pasti dari Sindrom
Stevens Johnson saat ini belum diketahui namun ditemukan beberapa hal yang memicu
timbulnya Sindrom Stevens Johnson seperti obat-obatan atau infeksi virus. Mekanisme
terjadinya sindroma pada Sindrom Stevens Johnson adalah reaksi hipersensitif terhadap
zat yang
memicunya.2
Stevens Johnson Syndrome muncul biasanya tidak lama setelah obat disuntik atau
diminum, dan besarnya kerusakan yang ditimbulkan kadang tidak berhubungan langsung
dengan dosis, namun sangat ditentukan oleh reaksi tubuh pasien. Reaksi hipersensitif
sangat sukar diramal, paling diketahui jika ada riwayat penyakit sebelumnya dan itu kadang
tidak disadari pasien, jika tipe alergi tipe cepat yang seperti syok anafilaktik jika cepat
ditangani pasien akan selamat dan tak bergejala sisa, namun jika Stevens Johnson
Syndrome akan membutuhkan waktu pemulihan yang lama dan tidak segera menyebabkan
kematian seperti syok anafilaktik. 3
Oleh karena itu, beberapa kalangan disebut sebagai eritema multiforme mayor
tetapi terjadi ketika setujuan dalam literatur. Sebagian besar penulis dan ahli berpendapat
bahwa Stevens Johnson Syndrome dan nekrolisis epidermal toksik (NET) merupakan
penyakit yang sama dengan manifestasi yang berbeda. Dengan alasan tersebut,
banyak yang
menyebutkan Stevens Johnson Syndrome /Nekrolisis Epidermal Toksik. Stevens Johnson
Syndrome secara khas mengenai kulit dan membran mukosa. 2
Di Indonesia sendiri tidak terdapat data pasti mengenai morbiditas terjadinya
Stevens Johnson Syndrome. Namun, berdasarkan data oleh Djuanda beberapa obat yang
sering menyebabkan SJS di Indonesia adalah obat golongan analgetik/antipiretik (45%),
karbamazepin (20%), jamu (13.3%) dan sisanya merupakan golongan obat lain seperti
amoksisilin, kotrimoksasol, dilantin, klorokuin, dan seftriakson. 4

DEFINISI
Stevens-Johnson syndrome (SJS) atau sindrom Stevens-Johnson dan toxic epidermal
necrolysis (TEN) atau nekrolisis epidermal toksik adalah penyakit kulit yang disebabkan
oleh alergi atau infeksi. Sindrom tersebut mengancam kondisi kulit yang mengakibatkan
kematian sel-sel kulit sehingga epidermis mengelupas dan memisahkan dari dermis.
Sindrom ini dianggap sebagai hipersensitivitas kompleks yang mempengaruhi kulit dan
selaput lendir. Stevens Johnson Syndrome adalah sindroma yang mengenai kulit, selaput
lendir orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat.
Kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel, bula dapat disertai
purpura. 3
Stevens Johnson Syndrome adalah bentuk penyakit mukokutan dengan tanda dan
gejala sistemik yang parah berupa lesi target dengan bentuk yang tidak teratur, disertai
macula, vesikel, bula, dan purpura yang tersebar luas terutama pada rangka tubuh, terjadi
pengelupasan epidermis kurang lebih sebesar 10% dari area permukaan tubuh, serta
melibatkan membran mukosa dari dua organ atau lebih. 4
Sindrom Stevens Johnson umumnya terjadi pada anak-anak dan dewasa muda
terutama pria. Tanda-tanda oral sindrom Stevens Johnson sama dengan eritema multiforme,
perbedaannnya yaitu melibatkan kulit dan membran mukosa yang lebih luas, disertai
gejala-gejala umum yang lebih parah, termasuk demam, malaise, sakit kepala, batuk, nyeri
dada, diare, muntah dan artralgia. 5
EPIDEMIOLOGI
Insiden SSJ dan NET jarang dijumpai. Keseluruhan insidensi SSJ dan NET
diperkirakan 2 sampai 7 kasus per 1 juta orang per tahun. SSJ dan NET dapat terjadi pada
semua usia tapi insidensinya bertambah di atas dekade ke-4 dan sering terjadi pada wanita,
menunjukkan rasio jenis kelamin 0,6. 25,26 Penyakit infeksius juga dapat berdampak pada
insidensi terjadinya TEN, yaitu pada pasien HIV dapat meningkat 100 kali lipat
dibandingkan populasi umum, dengan jumlah hampir 1 kasus/seratus orang/tahun pada
populasi HIV positif. Perbedaan regional pada peresepan obat, latar belakang genetik dari
pasien (HLA, enzim metabolism), koeksistensi kanker, atau bersama dengan radioterapi
dapat berdampak pada insidensi SSJ dan NET. Mortalitas penyakit tersebut 10% untuk
SJS,
30% untuk SJS / NET, dan lebih dari 30% untuk NET. Dalam analisa kelangsungan hidup
SJS / NET dengan angka mortalitas secara keseluruhan adalah 23% pada enam minggu,
28% pada tiga bulan dan 34% pada satu tahun. Bertambahnya usia, komorbiditas yang
signifikan, yang luasnya permukaan tubuh yang terlibat berkaitan dengan prognosis yang
buruk. Di Amerika Serikat, evaluasi dari kematian menunjukkan resiko tujuh kali lebih
tinggi pada orang kulit hitam dibandingkan dengan kulit putih. 25,26,27,28,29

ETIOLOGI
Penyebab yang pasti belum diketahui, dikatakan multifaktorial. Ada yang
beranggapan bahwa sindrom ini merupakan eritema multiforme yang berat dan disebut
eritema multiforme mayor, sehinga dikatakan mempunyai penyebab yang sama. Beberapa
faktor yang dapat menyebabkan timbulnya sindrom ini antara lain: 4
1. Infeksi
a)
Virus
Sindrom Stevens-Johnson dapat terjadi pada stadium permulaan dari infeksi saluran
nafas atas oleh virus Pneumonia. Hal ini dapat terjadi pada Asian flu, Lympho
Granuloma Venerium, Measles, Mumps dan vaksinasi Smalpox virus. Virus-virus
Coxsackie, Echovirus dan Poliomyelits juga dapat menyebabkan Sindroma Stevens-
Johnson.
b) Bakteri
Beberapa bakteri yang mungkin dapat menyebabkan Sindroma Stevens- Johnson
ialah Brucelosis, Dyptheria, Erysipeloid, Glanders, Pneumonia, Psitacosis,
Tuberculosis, Tularemia,Lepromatous Leprosy atau Typhoid Fever.
c) Jamur
Cocidiodomycosis dan Histoplasmosis dapat menyebabkan Eritema Multiforme
Bulosa, yang pada keadan berat juga dikatakan sebagai Sindroma Stevens-
Johnson.
d) Parasit
Malaria dan Trichomoniasis juga dikatakan sebagai agen
penyebab.
2. Alergi Sistemik terhadap:
2. Obat
Berbagai obat yang diduga dapat menyebabkan Sindrom Stevens-Johnson antara lain
adalah penisilin dan derivatnya, streptomysin, sulfonamide, tetrasiklin, analgesik/antipiretik
(misalnya deriva salisilat, pirazolon, metamizol, metampiron dan paracetamol), digitalis,
hidralazin, barbiturat (Fenobarbital), kinin antipirin, chlorpromazin, karbamazepin dan
jamu-jamuan.

Gambar 2.1 Obat yang dapat menyebabkan SJS dan TEN 30


3. Penyakit penyakit Kolagen Vaskuler.
4. Pasca vaksinasi :
- BCG, Smalpox dan Poliomyelits.
5. Penyakit-penyakit keganasan :
- Karsinoma penyakit Hodgkins, limfoma, myeloma, dan polisitemia.
6. Kehamilan dan Menstruasi.
7. Neoplasma.
8. Radioterapi.
KLASIFIKASI
1. Sindrom Steven Johnson
- Surface area of epidermal detachment dibandingkan dengan detached dermis iaitu
sebanyak <10 %.3
2. Sindron Steven Johnson dan TEN
- Surface area of epidermal detachment dibandingkan dengan detached dermis iaitu
sebanyak <10-30%.3
3. TEN
- Surface area of epidermal detachment dibandingkan dengan detached dermis iaitu
sebanyak >30%.3

PATOFISIOLOGI
Stevens Johnson Syndrome merupakan kelainan hipersensitivitas yang dimediasi
kompleks imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus dan keganasan.
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV. 1
Reaksi hipersensitif tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi
yang mikro presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi
akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan enzim dan menyebab kerusakan jaringan
pada organ sasaran (target organ). Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang
bersirkulasi dalam darah mengendap di dalam pembuluh darah atau jaringan. 2
Antibiotik tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam
jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan
menyebabkan terbentuknya komplek antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe ini
mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan
atau kapiler ditempat terjadinya reaksi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan
mulai memtagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel, serta
penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut. 1
Reaksi hipersensitifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi
berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limtokin dilepaskan sebagai reaksi
radang. Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T. Penghasil limfokin
atau sitotoksik atau suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan.
Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam
sampai 27 jam untuk terbentuknya. 5
Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan IgM,
IgA, C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi. Antigen penyebab
berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat merangsang respons imun
spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar. Hapten atau karier tersebut dapat
berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang
timbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak
dan terbebas akibat infeksi, inflamasi, atau proses metabolik).
Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta
menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi yang
terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator yang
dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan
mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi
lainnya. Adanya reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang
akhirnya menyebabkan kerusakan epidermis.15
Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi
seperti kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan, stress hormonal diikuti
peningkatan resistensi terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuria, kegagalan
termoregulasi, kegagalan fungsi imun, dan infeksi. 16
MANIFESTASI KLINIS
Gejala awal dari toxic epidermal necrolysis (TEN) dan Stevens-Johnson Syndrome
(SJS) mungkin tidak spesifik dan termasuk gejala seperti demam, mata menyengat dan
ketidaknyamanan setelah menelan. Biasanya, gejala-gejala ini mendahului manifestasi kulit
oleh beberapa hari. Lokasi awal keterlibatan kulit adalah wilayah presternal dari batang dan
wajah, tetapi juga telapak tangan dan kaki. Keterlibatan (eritema dan erosi) dari bukal, alat
kelamin dan / atau mukosa mata terjadi pada lebih dari 90% dari pasien, dan dalam
beberapa kasus sistem pernapasan dan pencernaan juga dipengaruhi. 6
Keterlibatan okular akibat timbulnya penyakit sering terjadi, dan dapat berkisar dari
akut konjungtivitis, edema kelopak mata, eritema, krusta, dan okular debit, ke membran
konjungtiva atau pseduomembrane pembentukan atau erosi kornea, dan, pada kasus yang
berat, untuk cicatrizing lesi, symblepharon, forniks foreshortening, dan ulserasi kornea .7
Pada fase kedua, sebagian besar kawasan pelepasan epidermal berkembang. Dengan
tidak adanya pelepasan epidermal, pemeriksaan kulit yang lebih rinci harus dilakukan oleh
mengerahkan tekanan mekanik tangensial pada beberapa zona eritematosa (Nikolsky sign).
Tabel 2.1 klinis yang membedakan SJS, SJS-TEN , dan TEN.6
Entitas SJS SJS-TEN TEN
klinis
Lesi lesi merah lesi merah lesi merah
primer Dusky Target Dusky Target Dusky buruk
atipikal datar atipikal datar digambarkan plak
eritematosa lesi
merah Dusky
Target atipikal
datar
Distribusi Terisolasi lesi lesi
lesi terisolasi terisolasi (jarang)
Pertemuan (+) Pertemuan Pertemuan
pada wajah dan (++) pada wajah (+++) pada wajah,
bagasi dan batang, dan
bagasi di tempat lain
Keterlibata Ya Ya Ya
n mukosa
Gejala Biasanya Selalu Selalu
sistemik
Detasemen <10 10-30 >30
(permukaan
tubuh%
luas area)

Adapun 3 kelainan utama yang muncul pada SJS, antara lain:


a. Kelainan pada kulit
Kelainan yang dapat terjadi pada kulit penderita sindrom Stevens-Johnson, antara
lain timbulnya ruam yang berkembang menjadi eritema, papula, vesikel, dan bula.
Sedangkan tanda patognomonik yang muncul adalah adanya lesi target atau targetoid
lesions. 17
Berbeda dengan lesi target pada eritema multiforme, lesi target pada sindrom
Stevens-Johnson merupakan lesi atipikal datar yang hanya memiliki 2 zona warna dengan
batasan yang buruk. Selain itu, makula purpura yang banyak dan luas juga ditemukan pada
bagian tubuh penderita sindrom Stevens-Johnson.18 Lesi yang muncul dapat pecah dan
meninggalkan kulit yang terbuka. Hal tersebut menyebabkan tubuh rentan terhadap infeksi
sekunder.19
Pengelupasan kulit umum terjadi pada sindrom ini, ditandai dengan tanda Nikolsky
positif. Pengelupasan paling banyak terjadi pada area tubuh yang tertekan seperti p ada
bagian punggung dan bokong. Apabila pengelupasan menyebar kurang dari 10% area
tubuh, maka termasuk sindrom Stevens-Johnson. Jika 10-30% disebut Stevens Johnson
Syndrome — Toxic Epidermal Necrolysis (SJS-TEN). Serta jika lebih dari 30% area tubuh,
maka disebut Toxic Epidermal Necrolysis (TEN).20,21
b. Kelainan pada mukosa
Kelainan pada mukosa sebagian besar melibatkan mukosa mulut dan esofageal,
namun dapat pula melibatkan mukosa pada paru-paru dan bagian genital. 27 Adanya
kelainan pada mukosa dapat menyebabkan eritema, edema, pengelupasan, pelepuhan,
ulserasi, dan nekrosis.19
Pada mukosa mulut, kelainan dapat berupa stomatitis pada bibir, lidah, dan mukosa
bukal mulut. Stomatitis tersebut diperparah dengan timbulnya bula yang dapat pecah
sewaktu-waktu. Bula yang pecah dapat menimbulkan krusta atau kerak kehitaman terutama
pada bibir penderita.1 Selain itu, lesi juga dapat timbul pada mukosa orofaring,
percabangan bronkitrakeal, dan esofagus, sehingga menyebabkan penderita sulit untuk
bernapas dan mencerna makanan. Serta pada saluran genitalurinaria sehingga
menyulitkan proses mikturia atau buang air kecil. 21
c. Kelainan pada mata
Kelainan pada mata yang terjadi dapat berupa hiperemia konjungtiva. Kelopak mata
dapat melekat dan apabila dipaksakan untuk lepas, maka dapat merobek epidermis. Erosi
pseudomembran pada konjungtiva juga dapat menyebabkan sinekia atau pelekatan antara
konjungtiva dan kelopak mata. Seringkali dapat pula terjadi peradangan atau keratitis pada
kornea mata.19,27

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis diferensial utama dari SJS / TEN adalah penyakit autoimun blistering,
termasuk linear IgA dermatosis dan pemfigus paraneoplastic tetapi juga vulgaris pemfigus
dan pemfigoid bulosa, exanthematous umum akut pustulosis (AGEP), disebarluaskan obat
bulosa tetap erupsi dan scalded skin syndrome staphyloccocal (SSSS). SSSS adalah salah
diferensial yang paling penting diagnosa di masa lalu, tapi kejadian yang saat ini sangat
rendah dengan 0,09 dan 0,13 kasus per satu juta penduduk per tahun.8
1. Eritema multiformis (EM)
Bagian tubuh yang terkena EM ialah kulit dan kadang-kadang selaput lendir.
Penyebabnya belum diketahui secara pasti. Yang dapat membedakan EM dengan SJS ialah
luas permukaan tubuh yang terkena. Pada EM ialah <10% sedangkan pada SJS ialag >30%.
2. Nekrolisis Epidermal Toksik (NET)
Penyakit ini sangat mirip dengan Sindrom Stevens- Johnson.
Epidemolisis (Epidermis terlepas dari dasarnya) yang menyeluruh dan keadaan umum
penderita biasanya lebih buruk/berat.
3. Eritroderma dan erupsi obat eritematosa
Eritema makulopapular yang umum dan simetris dari erupsi obat dapat meniru awal
SJS/NET. Namun, pada erupsi obat eritematosa keterlibatan mukosa kurang tapi nyeri kulit
pada TEN menonjol.

Jurnal Averrous Vol.5 No.1 Mei


2019
4. Erupsi Pustural Obat
Reaksi obat pustular, termasuk acute generalized exanthematous pustulosis (AGEP),
juga bisa menjadi berat dan mirip dengan gejala awal SJS/NET. AGEP merupakan erupsi
yang terdiri dari non-follicularly centered pustules yang sering dimulai di leher dan daerah
intertriginosa.
5. Erupsi Fototoksik
Erupsi fototoksik disebabkan oleh interaksi langsung bahan kimia dengan sinar
matahari yang dapat menjadi racun untuk kulit. Reaksi fototoksik paling umum yang
dibingungkan dengan SJS/NET adalah reaksi fototoksik yang terjadi akibat pemakaian oral.
Sebagai contoh, fluoroquinolones dapat menghasilkan reaksi fototoksik, yang dapat
menyebabkan pengelupasan epidermis luas.
6. Toxic shock syndrome
Toxic shock syndrome (TSS) yang klasik disebabkan oleh Staphylococcus aureus,
meskipun gangguan yang sama dapat disebabkan oleh racun rantai elaborasi dari Grup A
streptokokus. Dibandingkan dengan SJS/NET, TSS hadiah dengan keterlibatan lebih
menonjol dari beberapa sistem organ.
7. Staphylococcal scalded skin syndrome
SSSS dibedakan secara klinis dari SJS/NET terutama oleh epidemiologi dan dari selaput
lendir. Diagnosis didukung oleh pemeriksaan histologis, yang mengungkapkan peluruhan
hanya lapisan atas epidermis. 23

DIAGNOSIS
Semua kasus dugaan SJS dan TEN harus dikonfirmasi oleh biopsi kulit untuk
histologis dan pemeriksaan imunofluoresensi. Awal menunjukkan lesi lapisan suprabasal
keratinosit apoptosis. kemudian lesi menunjukkan ketebalan penuh epidermal nekrosis dan
pemisahan dari epidermis dari dermis. Sejak 90% SJS keterlibatan membran mukus tidak
adanya tersebut harus meminta seseorang untuk mempertimbangkan alternatif diagnosis.8
Sejumlah kondisi penting duga SJS karenanya bukti histologis penting:
1. Erythema multiforme major

Jurnal Averrous Vol.5 No.1 Mei


2019
2. Staphylococcal scalded skin syndrome
3. Purpura fulminant
4. Disseminated intravascular coagulation with skin necrosis
5. Acute generalised exanthematous pustulosis
6. Generalised bullous fixed drug eruption
7. Chemical toxicity (methotrexate, colchicines etc)
8. Burns
9. Graft-versus-host disease
10. Pemphigus
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik kecuali biopsi yang dapat
menegakkan diagnose SSJ. Pada pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan anemia,
limfopenia dan jumlah leukosit yang normal atau leukositosis nonspesifik, eosinophilia
jarang dan neutropenia dapat terjadi pada 1/3 pasien. Peningkatan leuko sitosis yang berat
mengindikasikan adanya infeksi bakteri yang lainnya. Kultur darah dan kulit sangat
dianjurkan karena adanya insidensi infeksi bakteri yang serius dan sepsis yang
berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas. 26,31
Evaluasi terhadap frekuensi pernafasan dan oksigenasi darah adalah langkah
pertama untuk dilakukan di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Segala perubahan harus
diperiksa secara menyeluruh melalui pengukuran level gas darah arteri. Tingkat serum
bikarbonat dibawah 20 µm mengindikasikan prognosis yang buruk. Pada umumnya
disebabkan oleh alkalosis pernafasan yang terkait dengan keterlibatan spesifik bronkus
serta sedikit pengaruh asidosis metabolik.25
Kelainan hasil pemeriksaan laboratorium yang ditemukan pada SSJ/NET adalah gangguan
keseimbangan elektrolit, hipoalbuminemia, hipoproteinemia, insufisiensi ginjal, azotemia.
prerenal, leukositosis ringan, anemia, neutropenia, sedikit peningkatan enzim hepar dan
amilase, hiperglikemia. Serum urea nitrogen > 10mmol/L dan glukosa > 14mmol/L
dianggap penanda keparahan penyakit. 25,26
Seluruh kasus yang disangkakan SSJ dan NET harus dikonfirmasi melalui
pemeriksaan biopsi kulit untuk histopatologi dan pemeriksaan immunofluoresence. Lesi
awal menunjukkan apoptosis keratinosit pada lapisan suprabasal. Lesi akhirnya akan

Jurnal Averrous Vol.5 No.1 Mei


2019
memperlihatkan nekrosis epidermal yang tebal dan pelepasan epidermis dari dermis.
Infiltrasi sel mononuclear dengan kepadatan sedang pada papilla dermis dapat terlihat,
sebagian besar diwakili oleh limfosit dan makrofag. 26,32,33

PENATALAKSANAAN
Manajemen pasien harus dikerjakan dengan cepat dan tepat. Hal penting yang harus
dilakukan mendiagnosis dengan cepat, perawatan khusus dan multidisiplin tim pada
intensive care unit (ICU) atau unit luka bakar. Perawatan suportif termasuk menja
ga keseimbangan hemodinamik dan mencegah komplikasi yang mengancam jiwa.
Tujuan
pada dasarnya sama dengan tujuan luka bakar yang luas. 22,27
1. Penatalaksanaan Umum
Adapun prinsip — prinsip utama perawatan suportif adalah sama seperti pada
luka bakar . Selain menghentikan pemberian obat penyebab, dilakukan perawatan luka,
manajemen cairan dan elektrolit, dukungan nutrisi, perawatan mata, manajemen suhu,
kontrol nyeri dan pemantauan pengobatan infeksi. 34

A. Penghentian Obat Penyebab


Diagnosis dini dengan pengenalan dini dan penghentian segera dari segala obat-obatan
yang diduga menjadi penyebab sangat menentukan hasil akhir. Morbiditas dan mortalitas
meningkat jika obat-obatan yang menjadi penyebab terlambat dihentikan. Ignacio Garcia
dkk melakukan penelitian untuk menentukan apakah waktu penghentian obat berhubungan
dengan prognosis pasien NET atau SSJ. Hasil penelitian menunujukkan bahwa angka
kematian lebih rendah apabila obat penyebab dengan waktu paruh eliminasi yang pendek
dihentikan tidak lebih dari 1 hari ketika bula atau erosi muncul. Pasien yang mengkonsumsi
obat penyebab dengan waktu paruh yang panjang, memiliki resiko kematian yang lebih
tinggi.22
B. Menjaga Keseimbangan Cairan, Termoregulasi dan Nutrisi

Jurnal Averrous Vol.5 No.1 Mei


2019
SSJ/NET dihubungkan dengan hilangnya cairan yang signifikan dikarenakan erosi,
yang menyebabkan hipovolemia dan ketidakseimbangan elektrolit. Penggantian ulang
cairan harus dimulai secepat mungkin dan disesuaikan setiap harinya. Jumlah infus

Jurnal Averrous Vol.5 No.1 Mei


2019
biasanya kurang dari luka bakar pada tingkat keparahan yang sama, karena interstisial
edema tidak dijumpai. Aliran vena perifer lebih disukai jika dimungkinkan, karena bagian
tempat masuk aliran sentral sering melibatkan pelepasan epidermis dan mudah terinfeksi.
Hal lain yang perlu dijaga adalah temperatur lingkungan, sebaiknya dinaikkan hingga 28˚C
hingga 30˚C - 32°C untuk mencegah pengeluaran kalori yang berlebihan karena kehilangan
epidermis. Penggunaan pelembab udara saat tidur meningkatan rasa nyaman pasien.
25,34

Pasien SSJ dan NET mengalami status katabolik yang tinggi sehingga memerlukan
tambahan nutrisi. Kebutuhan energi dan protein berhubungan dengan luas area tubuh yang
terlibat. Terapi enteral lebih diutamakan daripada parenteral karena dapat ditoleransi
dengan lebih baik dan dapat memberikan pemasukan kalori lebih banyak. Sedangkan terapi
parenteral membutuhkan akses vena sentral dan meningkatkan resiko sepsis. Dapat juga
digunakan nasogastric tube apabila terdapat lesi mukosa mulut. 25
C. Antibiotik
Antibiotik profilaksis bukan merupakan indikasi, malah mungkin dapat
menyebabkan resistensi organisme dan meningkatnya mortalitas. Pasien diberikan
antibiotik apabila terdapat tanda-tanda klinis infeksi. Tanda-tanda tersebut antara lain
perubahan status mental, mengigil, hipoterimia, menurunnya pengeluaran urin dan
penurunan kondisi klinis. Selain itu juga terdapat peningkatan bakteri pada kultur kulit.
Kultur rutin dari kulit, darah, urin, dan kanula intravascular sangat disarankan. Penyebab
utama dari sepsis pada pasien SSJ/NET adalah Staphylococus aureus dan Pseudomon as
aeruginosa. Spesies Staphylococus yang dikultur dari darah biasanya sama dengan yang
dikultur dari kulit. 28,32,34
D. Perawatan Luka
Pembersihan luka (debridement) nekrosis epidermis yang ekstensif dan agresif tidak
direkomendasikan pada kasus NE karena nekrosis permukaan bukanlah halangan untuk
reepitelisasi, dan justru dapat mempercepat proliferasi sel-sel stem berkenaan dengan
sitokin peradangan.25
Pengobatan topikal diberikan untuk mengurangi kehilangan cairan, elektrolit, dan
mencegah terjadinya infeksi. Debridement dilakukan dengan pemberian analgetik dengan
derivat morfin sebelumnya. Kulit dibersihkan dengan antiseptic yang ringan dan solusio
Jurnal Averrous Vol.5 No.1 Mei
2019
antibiotik seperti sabun povidone iodine, chlorhexidine, silver nitrate untuk mengurangi
pertumbuhan bakteri.25,34
E. Perawatan Mata dan Mulut
Komplikasi oftalmik adalah satu dari permasalahan tersering terhadap SSJ/NET.
Sekitar 80% pasien yang dihospitalisasi mengalami komplikasi ocular akut yang sama pada
SSJ maupun NET dengan keterlibatan berat sebesar 25%. Gejala sisa kronis terjadi pada
sekitar 35% pasien, biasanya disebabkan oleh skar konjungtiva. Permasalahan residual pada
mata yang paling sering dilaporkan adalah fotosensitivitas kronis dan mata kering. Namun
pada beberapa pasien penyakit ocular kronis bermanifestasi sebagai kegagalan permukaan
mata, inflamasi episodik rekuren, skleritis, atau sikatriks konjungtiva progresif yang
menyerupai pemfigoid membran mukosa. Perawatan mata meliputi pembersihan kelopak
mata dan memberi pelumas setiap hari dengan obat tetes atau salep mata.22,34
Mulut harus dibersihkan beberapa kali dalam sehari untuk menjaga kebersihan
rongga mulut, berulang-ulang kumur-kumur dengan antiseptik dan mengoleskan topikal
anestesi seperti xylocaine, lignocaine sebelum makan sehingga dapat mengurangi sakit
waktu menelan. Tindakan ini hanya direkomendasikan bila penderita tidak mengalami
pharyngealdysphagia. Hindari makanan yang terlalu panas atau dingin, makanan yang asam
dan kasar. Sebaiknya makanan yang halus dan basah sehingga tidak mengiritasi lesi pada
mulut. Kadang-kadang diberikan obat anti fungal seperti mikostatin, obat kumur-kumur
soda bikarbonat, hydrogen peroksida dengan konsentrasi ringan. Pemberian topikal pada
bibir seperti vaselin, lanolin. 28
F. Perawatan vulvovaginal
Pencegahan pada vulvovaginal dengan memeriksakan ginekologi dini harus
dilakukan pada semua pasien wanita penderita SJS/NET. Tujuan dari pengobatan ini untuk
mencegah keterlibatan vagina yang membentuk adhesi dan aglutinasi labial serta mencegah
adenosis vagina ( bila dijumpai keterlibatan metaplastik serviks / endometrium, epitel
kelenjar divulva atau vagina ). Pencegahan dengan memberikan kortikosteroid intravaginal
diterapkan dua kali sehari pada pasien dengan lesi ulseratif sampai resolusi fase akut
penyakit. Pemberian kortikosteroid topical ini disertai dengan krim antijamur topical untuk
mencegah kandidiasis vagina. 34

Jurnal Averrous Vol.5 No.1 Mei


2019
2. Penatalaksanaan Spesifik
A. Kortikosteroid Sistemik
Pemakaian kortikosteroid sistemik masih kontroversial. Beberapa studi menemukan
bahwa pemberian kortikosteroid dapat mencegah perluasan penyakit bila diberikan pada
fase awal. Studi lain menyebutkan bahwa steroid tidak menghentikan perkembangan
penyakit dan bahkan dihubungkan dengan kenaikan mortalitas dan efek samping,
khususnya sepsis. Selanjutnya, banyak kasus telah dilaporkan yang telah diobati dengan
kortikosteroid, akan meningkatkan resiko SSJ/NET. Jadi, kortikosteroid sistemik tidak
dapat direkomendasikan sebagai pedoman utama pengobatan SSJ/NET.
Kortikosteroid dapat diberikan dalam 72 jam pertama setelah onset untuk mencegah
penyebaran yang lebih luas, dapat diberikan selama 3-5 hari diikuti penurunan secara
bertahap (tapering off). Dosis yang dapat diberikan adalah 30-40 mg sehari. Dapat
digunakan deksametason secara intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari.
Tapering off hendaknya cepat dilakukan karena pada umumnya penyebab SSJ/NET adalah
eksogen (alergi). Pada SSJ/NET, kortikosteroid berperan sebagai anti inflamasi,
imunosupresif dan anti apoptosis. Kortikosteroid juga mempunyai efek ant i-apoptosis pada
banyak jaringan termasuk kulit dengan menghambat aktivitas Fas-
FasL.28,35,36,34

B. Immunoglobulin Intravena (IVIG)


Anjuran pemakaian immunoglobulin intravena dosis tinggi didasarkan pada
demonstrasi bahwa kematian sel yang diperantarai Fas dapat dibatalkan oleh aktivitas anti-
Fas yang ada dalam sejumlah immunoglobulin manusia normal. Keuntungan telah
ditegaskan oleh beberapa studi dan laporan kasus tetapi disangkal oleh beberapa yang
lainnya.33,34
IVIG mengandung antibodi imun yang mengganggu jalur apoptosis yang
diperantarai oleh FasL dan reseptor. Secara teoritis, yang paling baik pemberian IVIG pada
awal (24-72 jam setelah munculnya bulla pertama), sebelum Fas-L dan reseptor berikatan,
walaupun masih efektif jika bulla yang baru muncul. Pasien dengan defisiensi Ig A akan
terjadi anafilaksis akibat IVIG. Sangat baik dilakukan pemeriksaan tingkat IgA sebelum
pemberian namun menunggu hasilnya dapat menyebabkan keterlambatan pengobatan.
Jurnal Averrous Vol.5 No.1 Mei
2019
Hasil studi dari IVIG pada SSJ dan NET masih diperdebatkan, dan IVIG tidak disarankan
sebagai pengobatan rutin. Namun jika diputuskan untuk menggunakan IVIG dengan
penyakit berat diberikan dosis 1 gr/kgBB perhari selama 3 hari berturut — turut ) pada
fase awal penyakit yaitu dalam waktu 24-48 jam dari onset gejala.13,15 Efek samping
IVIG termasuk ginjal , hematologi dan komplikasi trombotik. Resiko komplikasi yang
serius meningkat pada pasien usia tua yang menerima dosis tinggi IVIG serta pada
penderita gangguan ginjal dan jantung. Telah dilaporkan hemolysis berat dan nefropati
pada pasien
SJS/NET yang diobati dengan IVIG. 34
C. Siklosporin A
Siklosporin merupakan suatu agen imunosupresif yang penuh kekuatan
dihubungkan dengan efek biologik yang secara teoritis berguna dalam pengobatan
SSJ/NET. Dalam sebuah serial kasus retrospektif, 11 pasien NET diterapi dengan
siklosporin A (3 mg/kg/hari), terapi siklosporin A menyebabkan reepitelisasi yang cepat
dan angka mortalitas yang rendah bila dibandingkan dengan siklofosfamid dan
kortikosteroid (0% vs 50%). Berbagai laporan kasus individual yang menggunakan dosis 3
hingga 5 mg/kg/hari secara intravena atau oral juga telah dipublikasikan memperlambat
perkembangan SJS/NET tanpa toksisitas yang signifikan. Durasi pengobatan bervariasi
mulai dari 8 hingga 24 hari, biasanya hingga pasien mengalami reepitelisasi. Efek samping
termasuk peningkatan ringan dari serum kreatinin, hipertensi dan infeksi. Siklofosfamid
sebagai bahan tunggal telah digunakan meskipun saat ini tidak digunakan di kebanyakan
sentra.22,34
D. Agen TNF-α
Dalam beberapa laporan kasus dengan pemberian infus tunggal 5 mg/kgbb TNF- α
menghentikan perluasan dan perkembangan dari SJS/NET dan memicu epitelisasi.
Pemberian etanercept 50 mg inj subkutan telah berhasil digunakan dalam sejumlah kecil
pasien.34
E. Plasmafaresis atau Hemodialisis
Dasar pemikiran untuk memakai plasmafaresis atau hemodialisis adalah mendorong
perpindahan obat yang salah, metabolitnya, atau mediator peradangan seperti sitokin.
Sebuah laporan kasus kecil melaporkan efikasi dan keamanannya dalam penatalaksanaan
Jurnal Averrous Vol.5 No.1 Mei
2019
SSJ/NET. Bagaimanapun, mempertimbangkan tidak adanya dasar dan adanya resiko yang
dihubungkan dengan pemasangan kateter intravaskular, penatalaksanaan ini tidak
direkomendasikan.34

KOMPLIKASI
Komplikasi yang tersering ialah Bronchopneumonia (16%) yang dapat
menyebabkan kematian. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau
darah
,gangguan keseimbangan elektrolit sehingga dapat menyebabkan shock .Pada mata
dapat terjadi kebutaan karena gangguan Lakrimasi. 14

PROGNOSIS
Dengan penanganan yang tepat dan cepat maka prognosis Sindrom Stevens-Johnson
sangat baik. Dalam ke pustaka anangka kematian berkisar antara 5 -15 %. Dibagian kulit
dan kelamin RS Cipto mangunkusumo angka kematian hanya sekitar 3,5%. Kematian
biasanyaIndikator
terjadi akibat infeksi. 14 disajikan dalam gambar berikut:
sekundermortalitas
dan perkiraan

Gambar 2.2 SCORTEN scoring system24

Jurnal Averrous Vol.5 No.1 Mei 2019


Gambar 2.3 Perkiraan mortalitas berdasarkan skor total SCORTEN 24

REFERENSI

1. Adithan C. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert. JIPMER. 2006;2(1). India.


2. Djuanda A. Sindrom Stevens-Johnson. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5. Bagian
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007:163-5.
3. Djuanda A.:”Sindroma Stevens-Johnson”,MDK,vol.9 no.4, Mei 190,halaman 50.
4. V.K Sharma GGS. Adverse cutaneous reaction to drugs; an overview. J Postgard Med.
1996;42((1))
5. A Mansjoer S, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat.. Kapita Selekta
Kedokteran Edisi ketiga Jilid 2. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Media
Aesculapius; 2000.
6. Lebargy F, Wolkenstein P, Gisselbrecht M, Lange F, Fleury-Feith J, Delclaux C, Roupie E,
Revuz J, Roujeau JC: Pulmonary complications in toxic epidermal necrolysis: a prospective
clinical study. Intensive Care Med 1997, 23:1237-1244.
7. Chang YS, Huang FC, Tseng SH, Hsu CK, Ho CL, Sheu HM: Erythema multiforme,
Stevens-Johnson syndrome, and toxic epidermal necrolysis: acute ocular manifestations,
causes, and management. Cornea 2007, 26:123-129.
8. Mockenhaupt M, Messenheimer J, Tennis P, Schlingmann J: Risk of Stevens-Johnson
syndrome and toxic epidermal necrolysis in new users of antiepileptics . Neurology 2005,
64:1134-1138.)
9. Roujeau, JC, Chosidow, O, Saiag, P, Guillaume, JC. Toxic epidermal necrolysis (Lyell
syndrome). J Am Acad Dermatol 1990; 23:1039
10. Westly, ED, Wechsler, HL. Toxic epidermal necrolysis. Granulocytic leukopenia as a
prognostic indicator. Arch Dermatol 1984; 120:721
11. R.P Langlais CSM. Colour Atlas of Common Oral Diseases. Philadelpia: Lea &Febiger;
2003
12. Siregar RS.Sindrom Stevens Johnson. Saripati Penyakit Kulit 2nd edition. Jakarta: EGC;
2004.p. 141-2.
Jurnal Averrous Vol.5 No.1 Mei
2019
13. Adithan C. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert. JIPMER. 2006;2(1). India

Jurnal Averrous Vol.5 No.1 Mei


2019
14. A Mansjoer S, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. .Kapita Selekta
Kedokteran Edisi ketiga Jilid 2. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Media
Aesculapius; 2000.
15. NN. Sindrom Steven-Johnson, manifestasi klinis, dan penanganannya. Didapat dari:
http://allergycliniconline.com.
16. Majiid Sumardi. Steven Johnsons Syndrome.
17. Monica. Sindrom Stevens-Johnson. Didapat dari: http://elib.fk.uwks.ac.id/.
18. Mockenhaupt M. The current understanding of Stevens-Johnson syndrome and toxic
epidermal necrolysis. Expert Review Clinical Immunology. 2011;7(6):803-15.
19. Foster CS. Stevens-Johnson syndrome. Medscape. 2013. Didapat dari:
http://emedicine.medscape.com/.
20. Mockenhaupt M. The current understanding of Stevens-Johnson syndrome and toxic
epidermal necrolysis. Expert Review Clinical Immunology. 2011;7(6):803-15.
21. Klein PA. Dermatologic manifestation of Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal
necrolysis. Medscape. 2013. Didapat dari: http://emedicine.medscape.com/.
22. Knowles S, Shear NH. Clinical risk management of stevens Johnson syndrome, toxic
epidermal necrolysis. Dalam: Spectrum; 2009;22:441-451
23. Nirken, M. H. dan High, W. A. Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis:
Clinical manifestations; pathogenesis; and diagnosis. Didapat dari
http://nihlibrary.ors.nih.gov/.
24. Abood Gerard J., Nickoloff Brian J., Gamelli Richard L. 2008. Treatment Strategies in
Toxic Epidermal Necrolysis Syndrome: Where Are We At? Journal of Burn Care and
Research Volume 29, Number1, January/February 2008, American Burn Association.
p.272.
25. Valeyrie Allanore L, Roujeau JC. Epidermal Necrolysis (Steven Johnsosns Syndrome and
Toxic Epidermal Necrolysis). Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffel DJ, editors. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 7th ed. New
York: Mc Graw;2008;349-55
26. Milton H. Nirken et all. Steven-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis :
Pathogenesis, Clinical manifestations and diagnosis, MD Employee of UpToDate Inc , Feb
2015
27. Harr Thomas, French LE. Toxic epidermal necrolysis and stevens Johnson syndrome.
Dalam: Orphanet Journal of rare disease 2010:1-11
28. Mahadi IDR. Sindroma Stevens Johnson. Dalam: Simposium dan Pelatihan “Whats new in
Dermatology”. Banda Aceh, 10 Juli 2010; 1-5
29. Torres MJ, Mayorga C, Blanca M. Nonimmediate Allergic Reactions Induced by Drugs:
Pathogenesis and Diagnostic Test. Dalam: J Investing Allergol Clind Immunol 2009;19:80
-
90

Jurnal Averrous Vol.5 No.1 Mei


2019
30. Maja Mockenhaupt, MD, PhD. The Current Understanding of Steven Johnsos Syndrome
and Toxic Epidermal Necrolysis. Expert Rev Clin Immunol 7 (6), 803 — 815 ( 2011 )
31. Tyagi S, Kumar S, Kumar A, Singla M, Singh A. Stevens Johnson Syndrome-A life
threatening disorder: A review. Dalam: J Chem Pharm Res 2010,2(2):618-26
32. Yim H, Park JM, Suk Kong, Kim D, Hur J, Chun W, et all. A clinical study of stevens
Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis: Efficacy of treatment in Burn Intensive
care unit. Dalam: J.Korean Surg Soc: 2010(78):133-39

Jurnal Averrous Vol.5 No.1 Mei


2019
33. Ho, H. Diagnosis and management of stevens johnsosn syndrome and
toxic epidermal necrolysis. Dalam: Hongkong Medical Bulletin;2010
Vol.13 No 10.
34. Whitney A High, MD et all. Steven Johnson Syndrome and Toxic
Epidermal Necrolysis : Management, Prognosis and Long term sequelae.
MD Employee of UpToDate Inc, March
2015
35. Michaels B, Q James. The role of systemic corticosteroid therapy in
erythema multiforme major and stevens Johnson syndrome. Dalam:
Clinical Aesthetic Dermatology;2009;2:51 -
55
36. Widgerow DA. Toxic epidermal necrolysis-management issues and
treatment options.
Dalam: Int J Burn Trauma; 2011;1(1);42-5

Jurnal Averrous Vol.5 No.1 Mei


2019

Anda mungkin juga menyukai