Anda di halaman 1dari 54

LAPORAN PENDAHULUAN

KONSEP DASAR PENYAKIT DAN ASUHAN KEPERAWATAN


PADA PASIEN DENGAN COMBUSTIO

Oleh

Viola Alvionita, S.Kep.


NIM 212311101151

PROGRAM PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2022
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan Konsep Dasar Penyakit dan Asuhan Keperawatan pada


Pasien dengan Combustio, telah disetujui dan disahkan pada:
Hari, tanggal :
Tempat :

Jember, 2022

Pembimbing Klinik, Pembimbing Akademik,

(Ns. Suheriyono, S. Kep.) (Ns. Mulia Hakam, M.Kep., Sp.Kep.MB.)


NIP. 197501019980310 NIP. 19810319 201404 1 001

Mengetahui,
Kepala Ruangan Mawar RSD dr. Soebandi,

(Ns. Suheriyono, S. Kep.)


NIP. 197501019980310
1. KONSEP DASAR PENYAKIT

1.1 Anatomi dan Fisiologi Kulit


1.1.1 Anatomi Kulit

Gambar 1.1 Anatomi Kulit

Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar. Kulit merupakan organ
yang sangat esensial dan vital serta berperan sebagai lapisan pelindung tubuh
terhadap pengaruh dari luar, baik pengaruh fisik maupun kimia. Meskipun kulit
relatif permeable terhadap senyawa-senyawa kimia, namun dalam keadaan
tertentu kulit dapat ditembus oleh senyawa obat atau bahan berbahaya yang dapat
menimbulkan efek terapeutik atau efek toksik yang bersifat lokal atau sistemik.
Selain itu kulit juga merupakan sawar (barrier) fisiologik yang penting karena
mampu menahan penembusan gas, cair, maupun padat, baik yang berasal dari
lingkungan luar tubuh maupun komponen mikroorganisme (Agustina, 2018).
Menurut Agustina (2018), kulit tersusun atas tiga lapisan utama, yaitu:
1) Epidermis
Epidermis merupakan lapisan terluar kulit yang mempunyai ketebalan
sekitar 50 μm – 1,5 mm, tersusun dari 15 – 25 sel, umumnya berfungsi sebagai
penghalang terpenting dari hilangnya air, elektrolit, dan atau nutrien tubuh, serta
menahan masuknya senyawa asing dari luar. Lapisan epidermis ini terdiri atas
stratum korneum, stratum lusidum, stratum granulosum, stratum spinosum, dan
stratum basalis.
Stratum korneum (lapisan tanduk) adalah lapisan kulit yang paling luar dan
terdiri atas beberapa lapisan sel gepeng yang mati, tidak berinti dan
protoplasmanya sudah berubah menjadi keratin (zat tanduk). Sel-sel stratum
korneum saling berdempet satu dengan yang lain dan bagian ini merupakan
penghalang yang paling penting dari kulit terhadap masuknya benda-benda asing.
Umumnya stratum korneum mempunyai ketebalan antara 10 – 20 μm. Stratum
korneum ini mempunyai peran penting dalam mengontrol absorbsi perkutan
molekul-molekul obat.
Stratum lusidum terdapat langsung di bawah stratum korneum, merupakan
lapisan sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang telah berubah menjadi
protein eleidin. Lapisan ini terdapat jelas ditelapak tangan dan kaki. Ketebalannya
berkisar 1 – 10% dari total lapisan kulit. Lapisan ini sangat kering mengandung
karena ≤ 15% air dan terdiri dari beberapa lusin sel-sel mati berbentuk gepeng
yang tersusun tumpang tindih yang disebut korneosit, serta mengandung sekitar
65% keratin yaitu suatu protein yang dihasilkan selama proses deferensiasi.
Stratum granulosum merupakan 2 atau 3 lapisan sel gepeng dengan
sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti sel di antaranya. Butir-butir kasar ini
terdiri atas keratohialin. Mukosa biasanya tidak mempunyai lapisan ini. Stratum
spinosum terdiri atas beberapa lapisan sel berbentuk poligonal dengan ukuran
bermacam-macam akibat proses mitosis. Protoplasmanya jernih karena banyak
mengandung glikogen dan inti sel terletak di tengah. Sel-sel ini makin dekat di
kulit makin gepeng bentuknya.
Stratum basalis terdiri atas sel-sel kubus yang tersusun vertikal dan pada
taut dermoepidermal berbaris seperti pagar, lapisan ini merupakan dasar
epidermis.
2) Dermis
Lapisan ini disebut juga korium, terletak pada lapisan kulit antara epidermis
dan jaringan lemak subkutan. Tebal lapisan sekitar 1 – 4 mm, tergantung bagian
tubuh. Fungsi dermis ini terutama melindungi tubuh dari luka, menjadikan
epidermis lebih fleksibel, penghalang terhadap infeksi dan sebagai organ
penyimpan air. Dalam dermis terdapat kapiler darah, ujung-ujung saraf, pembuluh
limfa, kelenjer keringat, folikel rambut, dan kelenjar sebasea. Lapisan ini jauh
lebih tebal daripada epidermis, karena terbentuk oleh jaringan elastis dan fibrosa
padat dengan elemen seluler, kelenjar, dan rambut sebagai adneksa kulit.
Lapisan dermis terdiri atas pars papilaris dan pars retikularis. Pars papilaris,
yaitu bagian yang menonjol ke dalam epidermis, berisi ujung serabut saraf dan
pembuluh darah. Pars retikularis, yaitu bagian bawah dermis yang berhubungan
dengan subkutan, terdiri atas serabut penunjang kolagen, elastin dan retikulin.
Dasar lapisan ini terdiri atas cairan kental asam hialuronat dan kondroitin sulfat
dan sel-sel fibroblast. Kolagen muda bersifat lentur namun dengan bertambahnya
umur menjadi stabil dan keras.
3) Lapisan Subkutan
Lapisan ini merupakan kelanjutan dermis dan terdiri atas jaringan ikat
longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya. Sel lemak merupakan sel bulat, besar,
dengan inti terdesak ke pinggir karena sitoplasma lemak yang bertambah. Sel-sel
ini membentuk kelompok yang dipisahkan satu dengan lainnya oleh trabekula
yang fibrosa. Lapisan ini berfungsi sebagai cadangan makan. Lapisan lemak ini
disebut penikulus adiposus yang tebalnya tidak sama pada tiap–tiap tempat dan
juga pembagian antara laki-laki dan perempuan tidak sama (berlainan). Guna
penikulus adiposus adalah sebagian shock beaker atau pegas bila tekanan trauma
mekanis yang menimpa pada kulit, isolator panas atau untuk mempertahankan
suhu, penimbunan kalori, dan tambahan untuk kecantikan tubuh. Di bawah
subkutan terdapat selaput otot kemudian baru terdapat otot.
1.1.2 Fisiologi Kulit
Menurut Permatasari (2018), fungsi kulit adalah sebagai berikut:
1) Fungsi Proteksi
Kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisik atau mekanik
seperti gaya gesekan, tekanan, tarikan, gangguan infeksi luar terutama bakteri
maupun jamur, zat-zat kimia yang bersifat iritan seperti lisol, karbol, asam, dan
alkali kuat lainnya, serta adanya pigmen melanin gelap yang dapat melindungi sel
dari radiasi ultraviolet.
2) Fungsi Absorpsi
Kulit sehat tidak mudah menyerap air, larutan, dan benda padat, tetapi lebih
mudah menyerap pada cairan yang mudah menguap. Permeabilitas kulit terhadap
O2, CO2, dan uap air memungkinkan kulit ikut mengambil bagian pada fungsi
respirasi. Kemampuan ini dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit, hidrasi,
kelembaban, metabolisme, dan jenis vehikulum. Penyerapan lebih banyak melalui
sel-sel epidermis daripada melalui muara kelenjar.
3) Fungsi Ekskresi
Kulit berfungsi untuk pengeluaran keringat.
4) Fungsi Persepsi
Kulit sangat peka terhadap berbagai rangsang sensorik karena mengandung
ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutan. Rangsang panas diperankan
oleh badan ruffini di dermis dan subkutan. Badan krause di dermis berperan
terhadap rangsang dingin. Rangsang raba diperankan oleh badan meissner di
papila dermis.
5) Fungsi Pengaturan Suhu Tubuh
Temperatur kulit dikontrol dengan dilatasi atau kontriksi pembuluh darah
kulit. Temperatur yang meningkat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah,
kemudian tubuh melepas panas dari kulit dengan cara mengirim sinyal kimia yang
dapat meningkatkan aliran darah di kulit. Sedangkan temperatur yang menurun,
pembuluh darah kulit akan vasokontriksi untuk mempertahankan panas.
6) Fungsi Pembentukan
Pigmen sel pembentuk pigmen (melanosit) ini terletak di lapisan basal.
Jumlah melanosit dan besarnya butiran pigmen (melanosomes) menentukan warna
kulit ras maupun individu. Pajanan sinar matahari mempengaruhi produksi
melanosom.
7) Fungsi Pembentukan Vitamin D
Kulit dapat membuat vitamin D dari bahan 7-dihidroksi kolesterol dengan
pertolongan sinar matahari.

1.2 Definisi Combustio

Gambar 1.2 Luka Bakar

Luka bakar (combustio) adalah luka karena kontak langsung dengan suhu
tinggi seperti api, air panas, listrik, bahan kimia, dan radiasi. Luka bakar
merupakan jenis cedera traumatik paling berat jika dibandingkan dengan trauma
lainnya dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Luka bakar dapat
merusak jaringan otot, tulang, pembuluh darah, jaringan epidermal dan jaringan-
jaringan lainnya. Luka bakar dapat mengakibatkan berbagai masalah seperti
masalah kematian, kecacatan, hilangnya kepercayaan diri dan mengeluarkan biaya
yang relatif banyak (Permatasari, 2018). Menurut Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia / Kepmenkes RI (2019), luka bakar merupakan kerusakan
kulit tubuh yang disebabkan oleh trauma panas atau trauma dingin (frost bite).
Penyebabnya adalah api, air panas, listrik, kimia, radiasi dan trauma dingin (frost
bite).

1.3 Epidemiologi Combustio


Luka bakar merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sangat serius di
seluruh dunia, pernyataan ini disampaikan menurut data WHO. Setiap tahun
diperkirakaan 300000 kematian terjadi akibat luka bakar, diantaranya disebabkan
oleh air panas, listrik, kimia, dan jenis lainnya. Di negara berpenghasilan rendah
dan menengah, kejadian luka bakar sangat tinggi sebesar 95%. Asia Tenggara
menempati angka kematian tertinggi akibat luka bakar yakni 11,6 kematian per
100000 populasi per tahun, kemudian diikuti oleh Mediterania Timur (6,4
kematian per 100000 populasi per tahun) dan Afrika (6,1 kematian per 100.000
populasi per tahun) (Giovany dkk., 2015).
Di Indonesia angka kematian akibat luka bakar masih tinggi sekitar 40%.
Dari sebuah studi yang dilakukan pada tahun 2011 hingga 2012, jumlah kematian
akibat luka bakar pada pasien dewasa yaitu 76 pasien (27,6%). Diantara pasien
yang meninggal, 78% disebabkan oleh api, luka bakar listrik (14%), air panas
(4%), kimia (3%) dan metal (1%) (Giovany dkk., 2015). Anak-anak pada
kelompok usia di bawah 6 tahun merupakan kelompok terbesar dengan kasus luka
bakar, kelompok terbesar kedua adalah luka bakar akibat kerja yaitu pada uasia 25
– 35 tahun. Sedangkan jumlah pasien lanjut usia dengan luka bakar cukup kecil,
akan tetapi sering memerlukan perawatan pada fasilitas khusus luka bakar. Insiden
luka bakar terutama terjadi pada pria karena dominasi pekerja pria pada industri
tinggi sehingga beresiko. Cedera luka bakar lebih sering melibatkan sosio
ekonomi rendah (Wicaksono, 2018).
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia, prevalensi luka bakar
di Indonesia sebesar 2,2%. Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Riau
(3,8%) merupakan prevalensi luka bakar tertinggi di Indonesia. Sedangkan di
Yogyakarta, berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman pada
tahun 2010, korban setelah erupsi gunug Merapi terdapat 277 korban dan 107
diantaranya menderita luka bakar yang cukup serius (Wicaksono, 2018).
1.4 Etiologi dan Faktor Risiko Combustio
Menurut Moenadjat (2001), luka bakar banyak disebabkan karena beberapa
hal, diantaranya:
1) Radiasi
Luka bakar radiasi disebabkan karena terpapar dengan sumber radioaktif.
Tipe cedera ini sering disebabkan oleh penggunaan radioaktif untuk keperluan
terapeutik dalam dunia kedokteran dan industri. Akibat terpapar sinar matahari
yang terlalu lama juga dapat menyebabkan luka bakar radiasi.

Gambar 1.3 Luka Bakar Radiasi

2) Sengatan Listrik (Electrical Burn)


Listrik menyebabkan kerusakan yang dibedakan karena arus, api, dan
ledakan. Aliran listrik menjalar di sepanjang bagian tubuh yang memiliki
resistensi paling rendah. Aliran listrik dapat menyebabkan kerusakan terutama
pada pembuluh darah, khusunya tunika intima, sehingga menyebabkan gangguan
sirkulasi ke distal. Seringkali kerusakan berada jauh dari lokasi kontak, baik
kontak dengan sumber arus maupun grown.

Gambar 1.4 Luka Bakar Sengatan Listrik


3) Zat Kimia (Chemical Burn)
Luka bakar kimia biasanya disebabkan oleh asam kuat atau alkali yang biasa
digunakan dalam bidang industri militer ataupu bahan pembersih yang sering
digunakan untuk keperluan rumah tangga. Menurut Grace dan Borley (2006), luka
bakar kimia dapat disebabkan karena kelalaian, kecelakaan kerja, baik di pabrik
maupun laboratorium, dan akibat penggunaan gas beracun dalam peperangan.
Kandungan zat kimia yang bersifat asam atau basa dapat menyebabkan kerusakan
jaringan kulit.

Gambar 1.5 Luka Bakar Kimia

4) Suhu Tinggi (Thermal Burn)


Luka bakar suhu tinggi dapat berupa gas, cairan, dan bahan padat. Luka
bakar thermal burn biasanya disebabkan oleh air panas (scald), paparan api ke
tubuh (flash), kobaran api di tubuh (flam), dan akibat terpapar atau kontak dengan
objek-objek panas lainnya (seperti logam panas, dan lain-lain).
Gambar 1.6 Luka Bakar Suhu Tinggi

Menurut Victoriana (2017), faktor resiko luka bakar antara lain:


1. Bahaya kebakaran di rumah dan lain lain akibat dari ketidaktepatan
penggunaan peralatan listrik.
2. Kelalaian personal dalam menggunakan bahan-bahan yang mudah terbakar.
3. Anak-anak (toddler 1 – 3 tahun, anak pra-sekolah (3 – 6 tahun).
4. Remaja (usia 12 – 18 tahun) terutama laki-laki.
5. Orang dewasa yang merokok dan mabuk serta penggunaan obat terlarang.
6. Orang lanjut usia (berhubungan dengan penurunan fungsi tubuh).
7. Penggunaan Parafin.

1.5 Klasifikasi Combustio


1.5.1 Berdasarkan Penyebab dan Mekanisme
Menurut Wicaksono (2018), berdasarkan penyebab dan mekanisme, luka
bakar dapat diklasifikasikan menjadi:
1. Luka Bakar Termal
Luka bakar ini biasanya mengenai kulit yang disebabkan oleh cairan panas,
benda padat panas, rokok, zat kimia, ataupun tersengat listrik.
2. Luka Bakar Inhalasi
Luka bakar ini disebabkan oleh terhirupnya gas panas, cairan panas, atau
produk berbahaya hasil pembakaran yang tidak sempurna. Sebagian besar
kasus kematian pada pasien luka bakar disebabkan oleh luka bakar inhalasi.

1.5.2 Berdasarkan Derajat dan Kedalaman


Menurut Kepmenkes RI (2019), berdasarkan derajat dan kedalaman, luka
bakar dapat diklasifikasikan menjadi:
1. Luka bakar superfisial
Luka bakar superfisial adalah luka bakar yang dapat sembuh secara spontan
dengan bantuan epitelisasi. Luka bakar superfisial dibagi dua, yaitu:
a. Luka bakar epidermal
Luka bakar epidermal adalah luka bakar yang hanya terkena pada
bagian epidermis pasien. Penyebab tersering luka bakar ini adalah matahari
dan ledakan minor. Lapisan epidermis yang bertingkat terbakar dan
mengalami proses penyembuhan dari regenerasi lapisan basal epidermis.
Akibat dari produksi mediator inflamasi yang meningkat, luka bakar ini
menjadi hiperemis dan cukup menyakitkan. Dapat sembuh dalam waktu
cepat (7 hari), tanpa meninggalkan bekas luka kosmetik.
b. Luka bakar superfisial dermal
Luka bakar superfisial dermal adalah luka bakar yang terkena pada
bagian epidermis dan bagian superfisial dermis (dermis papiler). Ciri khas
dari tipe luka bakar ini adalah muncullnya bula. Bagian kulit yang melapisi
bula telah mati dan terpisahkan dari bagian yang masih viable dengan
membentuk edema. Edema ini dilapisi oleh lapisan nekrotik yang disebut
bula. Bula dapat pecah dan mengekspos lapisan dermis yang dapat
meningkatkan kedalaman dari jaringan yang rusak pada luka bakar. Oleh
karena saraf sensoris yang terekspos, luka bakar kedalaman ini biasanya
sangat nyeri. Dapat sembuh secara spontan dengan bantuan epiteliassi dalam
14 hari yang meninggalkan defek warna luka yang berbeda dengan kulit
yang tidak terkena. Namun eskar tidak terjadi dalam tipe luka bakar ini.
Gambar 1.7 Luka Superfisial Dermal

2. Luka bakar mid-dermal


Luka bakar mid-dermal adalah luka bakar yang terletak di antara luka bakar
superfisial dermal dan deep-dermal. Pada luka bakar mid-dermal jumlah sel
epitel yang bertahan untuk proses re-epitelisasi sangat sedikit dikarenakan
luka bakar yang agak dalam sehingga penyembuhan luka bakar secara
spontan tidak selalu terjadi. Capillary refilling pada pasien dengan luka
bakar kedalaman ini biasanya berkurang dan edema jaringan serta bula akan
muncul. Warna luka bakar pada kedalaman ini berwarna merah muda agak
gelap, namun tidak segelap pada pasien luka bakar deep-dermal. Sensasi
juga berkurang, namun rasa nyeri tetap ada yeng menunjukkan adanya
kerusakan pleksus dermal dari saraf cutaneous.
Gambar 1.8 Luka Bakar Mid-dermal

3. Luka bakar deep


Luka bakar deep memiliki derajat keparahan yang sangat besar. Luka bakar
kedalaman ini tidak dapat sembuh spontan dengan bantuan epitelisasi dan
hanya dapat sembuh dalam waktu yang cukup lama dan meninggalkan
bekas eskar yang signifikan.
a. Luka bakar deep-dermal
Luka bakar dengan kedalaman deep-dermal biasanya memiliki bula
dengan dasar bula yang menunjukkan warna blotchy red pada retikular
dermis. Warna blotchy red disebabkan karena ekstravasasi hemoglobin dari
sel darah merah yang rusak karena rupturnya pembuluh darah. Ciri khas
pada luka bakar kedalaman ini disebut dengan fenomena capillary blush.
Pada kedalaman ini, ujung-ujung saraf pada kulit juga terpengaruh
menyebabkan sensasi rasa nyeri menjadi hilang.
b. Luka bakar full thickness
Luka bakar tipe ini merusak kedua lapisan kulit epidermis dan dermis
dan bisa terjadi penetrasi ke struktur-struktur yang lebih dalam. Warna luka
bakar ini biasanya berwarna putih dan waxy atau tampak seperti gosong.
Saraf sensoris pada luka bakar full thickness sudah seluruhnya rusak
menyebabkan hilangnya sensasi pinprick. Kumpulan kulit-kulit mati yang
terkoagulasi pada luka bakar ini memiliki penampilan leathery, yang disebut
eskar.
Gambar 1.9 Luka Bakar Full Thickness

1.5.3 Berdasarkan Luas Permukaan Luka


Menurut Yapa (2009), berdasarkan luas permukaan, luka bakar dapat
diklasifikasikan menjadi:
1) Luka bakar ringan (minor), yaitu luka bakar derajat I dengan luas <10% atau
derajat II dengan luas <2%.
2) Luka bakar sedang (moderate), yaitu luka bakar derajat I seluas 10 – 15%
atau derajat II seluas 5 – 10%.
3) Luka bakar berat (mayor), yaitu luka bakar derajat II seluas >20% atau
derajat III seluas >10%.

Menurut Kepmenkes RI (2019), untuk melakukan penilaian area luas luka


bakar secara baik dan benar dibutuhkan penggunaan metode kalkulasi seperti
“Rule of Nines” untuk dapat menghasilkan pesentasi total luas luka bakar (% Total
Body Surface Area / TBSA). Rule of Nine membagi luas permukaan tubuh
menjadi multiple 9% area, kecuali perineum yang diestimasi menjadi 1%.
Formula ini sangat berguna karena dapat menghasilkan kalkulasi yang dapat
diulang semua orang. Sedangkan, untuk mengestimasi luas luka bakar pada luka
bakar yang tidak luas dapat menggunakan area palmar (jari dan telapak tangan)
dari tangan pasien yang dianggap memiliki 1% TBSA. Metode ini sangat berguna
bila pasien memiliki luka bakar kecil yang tersebar sehingga tidak dapat
menggunakan metode rule of nine.
(a) (b)

Gambar 1.10 (a) Rule of Nine Dewasa (b) Palmar Area untuk Estimasi Luka
Bakar Kecil

1.6 Patofisiologi Combustio


Pajanan panas (bahan kimia, radiasi listrik, suhu, zat kimia) yang
menyentuh pada permukaan kulit dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah
kapiler kulit dan terjadi peningkatan permeabilitas. Peningkatan permeabilitas ini
mengakibatkan terjadi edema jaringan dan pengurangan cairan intravaskular.
Kerusakan kulit akibat luka bakar menyebabkan kehilangan cairan terjadi akibat
penguapan yang berlebihan pada luka bakar derajat 1, penumpukan cairan pada
lepuhan (bula) di luka bakar derajat 2, dan pengeluaran cairan dari keropeng luka
bakar derajat 3. Jika luas luka bakar kurang dari 25% biasanya masih
terkompensasi oleh keseimbangan cairan tubuh, namun bila luka bakar lebih dari
25% dapat beresiko syok hipovolemik yang akan muncul dengan tanda-tanda
seperti gelisah, pucat, dingin, nadi lemah dan cepat, serta penurunan tekanan
darah dan produksi urin. Kulit manusia dapat mentoleransi suhu 440C (1110F)
relatif selama 6 jam sebelum mengalami cidera termal (Anggowarsito, 2014).
Efek patofisiologi luka bakar pada kulit, untuk luka bakar kecil (small
burns) respon tubuh bersifat lokal terbatas pada area yang mengalami cedera.
Sedangakan luka bakar yang luasnya lebih dari 20% dari total permukaan tubuh
maka respon tubuh terhadap cedera bersifat sistemik. Efek pada sistem
kardiovaskular, denyut jantung meningkat (respon pelepasan katekolamin) dan
terjadi hipovolemia relatif, yang mengawali turunnya cardiac output. Kadar
hematokrit yang meningkat dapat mengakibatkan penurunan pada perfusi organ.
Jika ruang intravaskular tidak diisi kembali dengan cairan intravena akan terjadi
syok hipovolemik dan ancaman kematian. Efek pada sistem renal dan
gastrointestinal, darah ke ginjal akan berkurang terjadi penurunan GFR
(Glomerular Filtration Rate) sehingga mengakibatkan oliguria. Aliran darah
menuju usus juga berkurang mengakibatkan ileus intestinal dan disfungsi
gastrointestinal. Efek pada sistem imun, akan mengalami depresi pada aktivitas
limfosit dan berakibat pada gangguan neutrofil dan makrofag. Efek pada sistem
respiratori, akan terjadi hipertensi arteri pulmoner, mengakibatkan penurunan
kadar oksigen arteri dan lung compliance (Rahayuningsih, 2012).

1.7 Manifestasi Klinis Combustio


Luka bakar ditandai dengan hilang atau rusaknya jaringan kulot yang bisa
disebabkan karena api, air panas, bahan kimia, listrik, dan radiasi. Umumnya luka
bakr menimbulkan gejala seperti inflamasi, yaitu kemerahan, nyeri, dan bengkak.
Luka bakar dapat merusak jaringan otot, tulang, dan pembuluh darah. Pembuluh
kapiler yang terpajan panas terlalu tinggi dapat rusak dan menyebabkan
peningkatan permeabilitas serta kerusakan pada sel darah sehingga dapat
menyebabkan anemia (Yovita, 2008).
Peningkatan permeabilitas dapat menyebabkan oedem dan menimbulkan
bulayang banyak elektrolit sehingga menyebabkan berkurangnya cairan
intravaskuler. Bila luka bakar lebih dari 20% maka tubuh akan mengalami syok
hipovolemik dengan gejala pucat, gelisah, dingin, berkeringat, nadi kecil dan
cepat, tekanan darah menurun, dan produksi urin berkurang kemudian terjadi
pembengkakan secara perlahan. Setelah terjadinya luka, respon inflamasi
nmemicu dikeluarkannya berbagai mediator seperti bradikinin dan histamin yang
mampu memberi sinyal rasa nyeri (Yovita, 2008).
Pasien luka bakar biasanya dijumpai hipoksia. Pada pasien dengan luka
bakar berat konsumsi oksigen oleh jaringan meningkat menjadi 2 kali lipat karena
hipermetabolisme dan respon lokal. Pada awal terjadi luka pasien akan mengalami
hipotermi, namun setelah itu akan menjadi hipertermi karena hipermetabolisme
(Yovita, 2008).

1.8 Pemeriksaan Penunjang Combustio


Menurut Moenadjat (2009), pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk
menunjang diagnosis pada luka bakar adalah sebagai berikut:
1) Perhitungan darah total atau Complete Blood Count (CBC) dan analisis gas
darah arteri
Perhitungan ini dilakukan dengan menghitung jumlah sel darah merah
(RBC), hematokrit (Hct), hemoglobin (Hb), volume korpuskular, rerata (MCV),
hemoglobin korpuskular rerata (MCH), konsentrasi hemoglobinkorpuskular rerata
(MCHC), luas distribusi sel darah merah (RDW), sel darah putih (WBC), platelet,
dan volume platelet rerata (MPV). Nilai normal pada RBC berkisar 4,6-6,3 x 106
sel/μL, WBC berkisar 4,5-11 x 103 sel/μL, platelet berkisar 150-450 x 103 sel/μL,
Hb berkisar 130-180 g/L, Hct berkisar 40-54%, MCV berkisar 80-90 fl, MCH
sebesar 26-32 pg, MCHC sebesar 32-36%, RDW sebesar 11,6-14,6%.
Peningkatan hemoglobin dan hematokrit terjadi apabila terkena luka bakar
(Kaddoura dkk., 2017). Analisis gas darah merupakan suatu prosedur yang
dilakukan dengan menghitung jumlah oksigen dan karbondioksida dalam darah.
Perhitungan ini perlu dilakukan untuk memperkirakan adanya sifat asidosis atau
alkalosis darah yang berhubungan dengan keadekuatan paru dalam mengangkut
oksigen dan karbondioksida. Hal ini dilakukan dengan mengambil sampel darah
dari arteri dengan menggunakan suntik. Nilai normal pada pH darah sekitar 7,35-
7,45, TCO2 sebesar 23-27 mmol/L, PCO2 sebesar 35-45 mmHg, BE sebesar 0-2
mEq/L, PO2 sebesar 80-100 mmHg, SaO2 sebesar 95%, dan HCO3 sebesar 22-26
mEq/L (Manokharan, 2017). Hipoksemia arterial dan saturasi oksihemoglobin
yang berkurang sering ditemui pada pasien luka bakar karena penghirupan asap
(Megahed dkk., 2008).
2) Elektrolit dan urea/profil dasar metabolit
Pengecekan elektrolit dan haluaran urin perlu dilakukan dikarenakan pada
saat terkena luka bakar, cairan plasma berkurang sehingga menyebabkan
hipovolemia. Hal ini disebabkan oleh ekstravasasi plasma akibat respon terhadap
panas dan menimbulkan peristiwa hemodinamik. Akibat respon hemodinamik,
plasma keluar dan output jantung meningkat sejalan dengan meningkatnya
ketahanan vaskular sistemik (Kaddoura dkk., 2017).
3) Output urin
Apabila permukaan luka bakar pada anak lebih dari 20% dan 25% pada
orang dewasa, pemasangan kateter urin perlu dilakukan. Hal ini ditujukan untuk
menghitung output urin, yang seharusnya perkiraan jumlah haluaran sebesar
1cc/kg dari berat tubuh per jam untuk keadekuatan perfusi jaringan dan resusitasi
cairan (Megahed, 2008).
4) B-hCG untuk perempuan hamil
Test B-HCG dilakukan untuk mengetahui adanya hormon hCG yang
diproduksi oleh plasenta selama kehamilan. Dengan mengetahui adanya hCG
pada perempuan, penanganan khusus dapat segera direncanakan, mengingat luka
bakar yang luas dapat meningkatkan mortalitas ibu sebesar 70% dan mortalitas
bayi 72% (Subrahmanyam, 2006).
5) Alkali Fosfat
Peningkatan Alkali Fosfat sehubungan dengan perpindahan caira interstisial
atau gangguan pompa, natrium.
6) Glukosa Serum
Peninggian Glukosa Serum menunjukkan respon stress.
7) Albumin Serum
Untuk mengetahui adanya kehilangan protein pada edema cairan.
8) BUN atau Kreatinin
Peninggian menunjukkan penurunan perfusi atau fungsi ginjal, tetapi
kreatinin dapat meningkat karena cedera jaringan.
9) Loop aliran volume
Memberikan pengkajian non-invasif terhadap efek atau luasnya cedera.
10) Elektrokardiogram (EKG)
Untuk mengetahui adanya tanda iskemia miokardial atau distritmia.
11) Fotografi luka bakar
Memberikan catatan untuk penyembuhan luka bakar.

1.9 Penatalaksanaan Combustio


1.9.1 Secara Umum
Menurut Kurniawan (2017), secara umum penatalaksanaan luka bakar dapat
dilakukan dengan cara 6C yaitu clothing, cooling, cleaning, chemoprophylaxis,
covering, dan comforting. Untuk pertolongan pertama dapat dilakukan langkah
clothing dan cooling, baru selanjutnya dilakukan pada fasilitas kesehatan.
1) Clothing (singkirkan pakaian)
Singkirkan semua pakaian yang panas atau terbakar. Bagian pakaian yang
menempel dan tidak dapat dilepaskan maka dibiarkan untuk sampai pada fase
cleaning.
2) Cooling (dinginkan luka bakar)
Dinginkan daerah yang terkena luka bakar dengan menggunakan air
mengalir selama 20 menit, hindari hipotermia (penurunan suhu di bawah normal,
terutama pada anak dan orangtua). Cara ini efektif sampai dengan 3 jam setelah
kejadian luka bakar. Kompres dengan air dingin (air sering diganti agar efektif
tetap memberikan rasa dingin) sebagai analgesia (penghilang rasa nyeri) untuk
luka yang terlokalisasi. Jangan pergunakan es karena es menyebabkan pembuluh
darah mengkerut (vasokonstriksi) sehingga akan memperberat derajat luka dan
resiko hipotermia. Untuk luka bakar karena zat kimia dan luka bakar di daerah
mata, siram dengan air mengalir yang banyak selama 15 menit atau lebih. Bila
penyebab luka bakar berupa bubuk, maka singkirkan terlebih dahulu dari kulit
baru dengan disiram air yang mengalir.
3) Cleaning (pembersihan luka bakar)
Pembersihan dilakukan dengan zat anestesi untuk mengurangi rasa sakit.
Dengan membuang jaringan yang sudah mati, proses penyembuhan akan lebih
cepat dan resiko infeksi berkurang.
4) Chemoprophylaxis
Pemberian anti tetanus, dapat diberikan pada luka yang lebih dalam dari
superficial partialthickness. Pemberiann krim silver sulvadiazin untuk
penanganan infeksi, dapat diberikan kecuali pada luka bakar superfisial. Tidak
boleh diberikan pada wajah, riwayat alergi sulfa, perempuan hamil, bayi baru
lahir, dan ibu menyusui dengan bayi kurang dari 2 bulan.
5) Covering (penutupan luka bakar dengan kasa)
Dilakukan sesuai dengan derajat luka bakar. Luka bakar superfisial tidak
perlu ditutup dengan kasa atau bahan lainnya. Pembalutan luka (yang dilakukan
setelah pendinginan) bertujuan untuk mengurangi pengeluaran panas yang terjadi
akibat hilangnya lapisan kulit akibat luka bakar. Jangan berikan mentega, minyak,
oli atau larutan lainnya karena akan menghambat penyembuhan dan
meningkatkan resiko infeksi.
6) Comforting
Dapat dilakukan dengan pemberian pengurang rasa nyeri, berupa:
a) Paracetamol dan codein (PO-per oral) 20-30 mg/kg;
b) Morfin (IV-intravena) 0,1 mg/kg diberikan dengan dosis titrasi bolus; dan
c) Morfin (IM-intramuskular) 0,2 mg/kg.

1.9.2 Luka Bakar Ringan


Menurut Grace dan Borley (2006), penatalaksanaan luka bakar ringan antara
lain sebagai berikut:
1) Pemberian analgesik secara adekuat. Pada anak- anak membutuhkan morfin
sebelum penilaian luka bakar dan pembalutan awal.
2) Pada luka bakar yang mengenai anggota gerak atas disarankan melakukan
imobilisasi dengan balut bidai.
3) Pemeriksaan status tetanus pasien.
4) Pembalutan tertutup disarankan untuk luka bakar sebagian (partial
thickness). Cairan yang keluar dari luka bakar menentukan frekuensi
penggantian balutan. Gelembung cairan memiliki fungsi untuk proteksi dan
mengurangi rasa sakit bila tetap dibiarkan utuh beberapa hari. Jika
gelembung cairan kecil, tidak berada di dekat sendi dan tidak menghalangi
pembalutan, maka tidak perlu dipecahkan. Gelembung cairan yang besar
dan yang mengenai daerah persendian harus dipecah dan dibersihkan.
Gelembung cairan yang berubah menjadi keruh setelah beberapa hari
menandakan infeksi sehingga perlu untuk dibuka dan dibalut.
5) Bila luka bakar superfisial atau dangkal tidak sembuh dalam 7-10 hari atau
menunjukkan tanda-tanda terinfeksi, maka sebaiknya dirujuk di rumah sakit.
Kemungkinan timbulnya jaringan parut yang berlebihan harus dipikirkan
apabila dalam waktu 3 minggu luka bakar belum sembuh.

1.9.3 Luka Bakar Berat


Menurut Grace dan Borley (2006), penatalaksanaan luka bakar berat antara
lain sebagai berikut:
1) Airway dan breathing (jalan napas dan pernapasan). Apabila ada tanda-
tanda luka bakar pada saluran napas atau cedera pada paru-paru, maka perlu
dilakukan intubasi sebelum pembengkakan pada jalan napas terjadi.
2) Jika luas area luka bakar >10% maka lakukan resusitasi cairan dan lakukan
penghitungan cairan dari saat waktu kejadian luka bakar. Pasang kateter urin
jika luka bakar >15% atau luka bakar daerah perineum NGT-pipa
nasogastrik dipasang jika luka bakar >10% berupa deep partial thickness
atau full thickness. Rumus resusitasi cairan dapat menggunakan Baxter
Formula, yaitu sebagai berikut:
Dewasa : 4 mL x Berat Badan x % luas luka bakar per 24 jam
Anak : 17 : 3 cc x Berat Badan x % luas luka bakar + kebutuhan
Faali
Dengan : ½ jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama
½ jumlah cairan lainnya diberikan 16 jam berikutnya
Dimana Kebutuhan Faali Anak :
<1 tahun = berat badan x 100 cc
1- 3 tahun = berat badan x 75 cc
3-5 tahun = berat badan x 50 cc
3) Pemberian anti tetanus diperluka pada luka-luka sebagai berikut:
a) Disertai patah tulang;
b) Luka yang menembus ke dalam;
c) Luka dengan kontaminasi benda asing (terutama serpihan kayu);
d) Luka dengan komplikasi infeksi;
e) Luka dengan kerusakan jaringan yang besar (contoh luka bakar); dan
f) Luka dengan kontaminasi tanah, debu, dan lain-lain.
Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan pada luka bakar berat karena
dapat menyebabkan kerusakan lebih berat dan gangguan keseimbangan
metabolisme tubuh yang berat (Grace, 2006).

1.9.4 Prinsip Penanganan Luka Bakar berdasarkan ISBI Guidline


Prinsip penanganan luka bakar berdasarkan ISBI Guidline (dalam RSD dr.
Soebandi, 1964), adalah sebagai berikut:
1. Hari pertama
a. Lakukan resusitasi cairan dengan menggunakan rumus Parkland dari
BAXTER dengan larutan Kristaloid
- Untuk anak-anak 2 mL/kg BB/% luas luka bakar, dalam 24 jam.
- Untuk dewasa 4 mL/kgBB/% luas luka bakar, dalam 24 jam (½
dalam 8 jam pertama, ½ dalam 16 jam berikutnya).
- Maintenance:
BB 1 – 10 kg  100 mL/kg BB
BB >10 – 20 kg  1.000 mL + 50 mL/kg BB
BB > 20 kg  1.500 ml + 20 mL/kg BB
b. Hitung dan catat produksi urin tiap jam.
- Luka bakar non-elektrik target urin 0,3 – 0,5 mL/kg BB/jam
- Luka bakar elektrik target urin 1 – 2  3 – 4 mL/kg BB/jam
- Luka bakar dengan cedera inhalasi target urin 0,5 mL/kg
BB/jam
- Luka bakar anak-anak 1 mL/kg BB/jam
Catatan:
- Bila target produksi urin tidak tercapai (<3 – 4 mL/kg BB/jam)
 naikkan cairan 50% dari target cairan per jam  evaluasi
ulang 1 jam kemudian  teruskan sampai target produksi urin
tercapai. Rumus Parkland sebagai acuan, bila 2 kali peningkatan
jumlah cairan dan target urin tidak tercapai pikirkan kembali
kemungkinan kesalahan penghitungan luas luka bakar atau berat
badan.
- Cek ureum dan kreatinin (Ur/Cr) saat pasien datang pertama ke
UGD lengkap dengan pemeriksaan laboratium lengkap.
- Lanjut cek Ur/Cr 8 jam setelah resusitasi lengkap dengan
pemeriksaan laboratium lengkap.
- Lanjut cek Ur/Cr 16 jam kedua setelah resusitasi lengkap
dengan pemeriksaan laboratium lengkap.
- Injeksi Manitol 100 mL single shot.
- Loading Nabic 25 meq/25 cc NaCl 0,9%.
- Post resusitasi 16 jam kedua  tambahan terapi NaCl 3% dan
Albumin 1 flash/24 jam.
c. Luka bakar >25 % pasang Nasogastric Tube (NGT) 6 – 8 jam paska
trauma, untuk Nutrisi Enteral dini (NED), diberikan bertahap sesuai
tahap pengosongan lambung  electric injury langsung pasang NGT.
d. NED diberikan 8 jam post-trauma dan diberikan bertahap sesuai tahap
pengosongan lambung.
e. Jika ditemukan tanda-tanda curling ulcer, cairan NGT dialirkan dan
diberikan NED sesuai dengan tahap kecepatan pengosongan lambung.
f. Lakukan pemeriksaan laboratorium lengkap.
g. Monitor:
- Produksi urine tiap jam selama 24 jam pertama.
- Central Venous Pressure / CVP (hari pertama diupayakan 5
cmH2O, hari kedua diupayakan maksimal 10 cmH2O).
- Pantau pulse oxymetri.
- Darah lengkap (hemodilusi, hemokonsentrasi).
- Analisis Gas Darah (AGD), elektrolit.
h. Jika terdapat Acute Tubular Necrosis (ATN) dengan tanda urine
warna coklat pekat serta Blood Urea Nitrogen (BUN) dan Serum
Creatinine (SC) meningkat:
- Berikan terapi pertama dengan Manitol 100 ml dan NaBic 8,4%
25 mL
- Kebutuhan cairan 2 x kebutuhan cairan N dengan target urin 2
mL/kgBB/jam. Jika terjadi keadaan anuria atau oligouria
lakukan force diuresis dengan furosemide drip 20 mg/jam. Jika
tidak ada perbaikan pertimbangkan untuk dilakukan
hemodialisa.
i. Pencegahan terjadinya ATN pada setiap elektric injury tegangan
tinggi, diberikan bolus manitol 100 mL dan NaBic 8,4% 25 mL.
2. Hari kedua sampai ketiga
Berikan cairan hipertonik atau koloid dengan NaCl 3% dan albumin 20%
hiperonkotik.
3. Hari keempat dan seterusnya
Pertimbangkan untuk memberikan nutrisi parenteral.
4. Hari ketiga sampai kelima (masalah perawatan luka)
- Debridement dikerjakan setelah sirkulasi stabil (Hemoglobin >10
g/dL), minimal hari ketiga.
- Sudah dipertimbangkan untuk dikerjakan debridement eksisi
tangential dan atau skin graft.
5. Fisioterapi sedini mungkin, jika pasien sudah stabil
a. Chest physiotherapy untuk pasien luka bakar yang disertai trauma
inhalasi atau tirah baring lama.
b. Untuk daerah yang dikerjakan skin graft, fisioterapi dimulai hari ke-10
– 14 setelah operasi.
c. Usahakan pemberian analgetik intravena (IV) atau jika perlu konsul
dengan APS sebelum penggantian balutan luka dan fisioterapi.
6. Penggantian balutan luka dilakukan jika kondisi balutan jenuh atau minimal
tiap dua hari sekali dan disesuaikan dengan kondisi luka atau produksi
eksudat.
7. Selalu konsultasikan dengan dokter jaga atau dalam keadaan tertentu dengan
konsultan atau Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP).
8. Kultur
a. Waktu: Hari pertama dan kelima kultur dasar luka dan kultur darah
dua sisi.
b. Bahan: Darah, jaringan kateter tip atau alat infasif, alcohol swab.
c. Interpretasi kultur
Kultur darah:
- Jika secara klinis tidak menunjukkan adanya tanda infeksi, maka
antibiotika yang sudah diberikan sebelumnya tidak diganti.
- Jika secara klinis menunjukkan adanya tanda infeksi, perlu
dilakukan pemeriksaan laboratorium (leukosit, neutrofil, dan
lain-lain) atau periksa prokalsitonin. Jika ditemukan adanya
hasil yang mendukung adanya tanda infeksi, maka antibiotika
diganti sesuai hasil kultur.
Kultur jaringan:
- Jika ditemukan hasil adanya kolonisasi kuman dan hasil
laboratorium tidak ditemukan adanya tanda klinis infeksi, maka
hanya dilakukan ganti balurtan luka lebih sering, dan antibiotik
tidak diganti.
- Jika ditemukan adanya kolonisasi dan hasil laboratorium
mendukung adanya infeksi baru dilakukan penggantian
antibiotik sesuai hasil kulur.

1.10 Komplikasi Combustio


Menurut Sariff (2013), komplikasi luka bakar adalah syok, gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit, infeksi dan sepsis, multiorgan failure,
hipertrofi jaringan parut, dan kontraktur. Menurut ISBI Guidline (dalam RSD dr.
Soebandi, 1964), komplikasi dari luka bakar, adalah sebagai berikut:
a. Cedera inhalasi: Cedera inhalasi terjadi pada sepertiga kasus luka bakar dan
menjadi penyebab kematian pada 90% kasus luka bakar. Cedera inhalasi
mencakup cedera termal supraglotis, iritasi kimia pada saluran napas,
toksisitas sistemik akibat bahan terinhalasi seperti karbon monoksida (CO)
atau sianida, dan kombinasi dari semua mekanisme tersebut. Cedera inhalasi
pada pasien luka bakar akan memicu respon inflamasi yang berkaitan
dengan peningkatan kebutuhan volume resusitasi cairan, pemanjangan
durasi menggunakan ventilator, peningkatan risiko pneumonia, disfungsi
pulmonal progresif, dan acute respiratory distress syndrome.
b. Acute Tubular Necrosis (ATN) atau nekrosis tubular akut: ATN adalah
suatu lesi ginjal ditandai dengan adanya destruksi dan nekrosis sel epitel
tubulus serta penurunan akut fungsi ginjal. ATN dapat terjadi pada pasien
dengan electric injury high voltage atau pasien dengan keterlambatan
resusitasi (pre-renal). Luka bakar dapat menyebabkan penurunan aliran
darah ke ginjal sehingga dapat menyebabkan kerusakan ginjal.
c. Curling ulcer: Curling ulcer atau stress ulcer merupakan defek atau
kerusakan mukosa saluran cerna bagian atas, yaitu lambung dan usus halus
bagian atas yang terjadi secara akut karena adanya ketidakseimbangan
antara faktor agresif dan defensif lambung. Pasien pada kasus luka bakar
mempunyai frekuensi yang tinggi untuk mengalami stress ulcer. Luka bakar
dengan luas area permukaan tubuh yang terbakar lebih dari 35% mengalami
erosi mukosa usus dan berkembang menjadi stress ulcer.
d. Sindrom Respon Inflamasi Sistemik (SIRS) dan sepsis: Trauma luka bakar
parah menyebabkan sindroma respon inflamasi sistemik yang dapat
mengarah kepada sepsis dan sepsis derajat berat. Sepsis luka bakar
merupakan suatu respon sistemik terhadap infeksi yang mempunyai karakter
sebagai jejas inflamasi secara jelas. Data statistik sementara yang mengacu
pada pasien dengan komplikasi inflamasi menunjukan angka yang berarti
serta memiliki kecenderungan bertumbuh secara konstan 78 – 80%.
1.11 Clinical Pathway
2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

2.1 Pengkajian Keperawatan


A. Identitas Klien
Pada identitas berisi nama, tempat tanggal lahir, umur, jenis kelamin,
pekerjaan, alamat, agama, suku bangsa, nomor rekam medis, tanggal masuk
rumah sakit, dan diagnosa medis.

B. Pengkajian Primer
Klien dengan luka bakar dianggap sebagai klien trauma sehingga perlu
dilakukan pengkajian secara A (airway), B (breathing), C (circulation), D
(disability), dan E (exposure). Pada airway, klien akan mengalami sumbatan
napas akibat edema mukosa jalan napas yang disertai dengen hipersekresi, apabila
terdapat cedera inhalasi, maka perlu dipasang endotracheal tube sesegera
mungkin, biasanya ditandai dengan luka bakar pada wajah, rambut hidung
terbakar, dan terdapat sputum hitam. Pada breathing, ditemukan adanya eschar
(jaringan mati) yang menghambat pergerakan dada untuk dapat bernapas sehingga
perlu dilakukan escharotomi. Selain itu, memeriksa klien apakah ditemukan
trauma-trauma yang menghambat napas, seperti pneumothoraks dan fraktur
costae, kemudian kaji dinding dada, suara napas tambahan, kedalaman napas, dan
kelainan pernapasan. Pada circulation, klien luka bakar mengalami kerusakan kulit
hingga jaringan yang berdampak pada munculnya edema yang mana pada luka
bakar yang luas terjadi syok hipovolemik akibat kebocoran plasma dan cairan,
sehingga perlu dikaji perfusi jaringan seperti CRT, sianosis, akral, nadi, detak
jantung, dan tekanan darah. Pada disability, hal ini berhubungan dengan penurunan
kesadaran pada klien, lakukan penilaian GCS, hilangnya sensasi dan refleks, pupil
klien anisokor. Pada exposure, klien akan mengalami kondisi hipertermia akibat
proses inflamasi yaitu suhu basal klien akan meningkat hingga 38,50C disertai
dnegan penurunan respon imun.
C. Pengkajian Sekunder
Data pengkajian klien luka bakar tergantung pada jenis, tingkat keparahan,
luas permukaan tubuh dari luka bakar (TBSA), dan stadium fase luka bakar (akut
atau rehabilitasi). Pada pengkajian ini meliputi pemeriksaan data subjektif berupa
riwayat kesehatan klien hingga pemeriksaan secara lengkap sebagai berikut.
1. Riwayat Kesehatan
a. Diagnosa medis berupa luka bakar dengan tipe derajat yang dialami.
b. Keluhan utama, klien mengeluh nyeri akut pada bagian tubuh yang terkena
luka bakar. Nyeri yang dialami klien dengan luka bakar bervariasi sesuai
dengan derajat luka bakar dan luas luka bakar yang dialami klien. Apabila
luka bakar derajat 1 memiliki karakteristik sensitif terhadap sentuhan,
tekanan, pergerakan udara, dan perubahan suhu, luka bakar derajat 2 terasa
nyeri sedang dengan memperhatikan keutuhan ujung saraf, dan luka bakar
derajat 3 tidak menimbulkan nyeri karena ujung saraf ikut rusak.
c. Riwayat penyakit sekarang, hal ini berhubungan dengan penyebab terjadinya
luka bakar hingga kondisi penyerta yang dialami klien misalnya fraktur,
dislokasi, tanda-tanda syok yang muncul seperti penurunan kesadaran,
tanda-tanda vital, sesak napas, merasa haus,dan menurunnya nafsu makan.
d. Riwayat penyakit terdahulu, dalam hal ini mengkaji apakah klien pernah
memiliki riwayat luka bakar sebelumnya, riwayat mendapat terapi luka
bakar, dan riwayat penyakit yang mempengaruhi sistem tubuh akibat luka
bakar, misalnya penyakit jantung, ginjal, paru-paru, dan DM.
e. Riwayat penyakit keluarga, mengkaji riwayat penyakit pada keluarga yang
memiliki penyakit turunan seperti asma, jantung, dan DM.

2. Pengkajian 11 Pola Gordon


a. Persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan, klien mengalami perubahan
afeksi dan perilaku sehinga dalam hal persepsi dan pemeliharaan kesehatan
masih kurang.
b. Pola nutrisi atau metabolik (ABCD), klien mengalami anoreksia, mual,
muntah, terjadi penurunan berat badan.
c. Pola eliminasi, klien mengalami haluaran urin yang menurun atau tidak ada
sama sekali selama fase emergensi, urin akan tampak berwarna merah muda
dari sel darah merah yang rusak atau kemerah-hitaman jika terdapat
mioglobin, dan menunjukkan kerusakan otot, serta terjadidiuresis.
d. Pola aktivitas dan latihan, klien dengan luka bakar mengalami penurunan
data tahan dan kekuatan otot, rentang gerak (ROM) menjadi terbatas, dan
terjadi perubahan massa dan tonus otot.
e. Pola istirahat dan tidur, klien mengalami kesulitan tertidur karena rasa nyeri
yang dialami dan merasa tidak nyaman karena luka yang dialami pada
tubuhnya.
f. Pola kognitif dan perseptual, klien akan mengalami seperti mati rasa, terjadi
perubahan dan penurunan ketajaman penglihatan (terutama cedera listrik),
terjadi penurunan orientasi, afeksi, dan perilaku.
g. Pola persepsi diri, klien mengalami gangguan pada persepsi diri berupa rasa
malu karena merasa berbeda dari yang lain sebab adanya luka bakar yang
menyebabkan kecacatan. Kondisi ini membuat klien melakukan penolakan
dan menarik diri dari sosial.
h. Pola seksualitas dan reproduksi, klien mengalami perubahan pola
seksualitas dan reproduksi yang mana klien tidak mampu melakukan hal
tersebut karena adanya luka bakar.
i. Pola peran dan hubungan, klien mengalami kekhawatiran pada keluarganya,
lingkungan pekerjaan, dan kondisi keuangan. Klien akan mengalami rasa
tidak percaya diri dalam bersosialisasi di masyarakat karena perubahan
struktur tubuhnya.
j. Pola manajemen koping-stres, klien mengalami cemas, takut, menangis,
mudah marah, hingga depresi terkait kondisi luka dan nyeri yang dialami.
k. Sistem nilai dan keyakinan, akan terjadi perubahan aktivitas spiritual klien
selama menjalankan perawatan dan pengobatan luka bakar.
3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
Klien tampak berjaga-jaga dengan posisi protektif, gelisah, merintih, dan
menangis akibat nyeri yang dirasakan. Selain itu, tampak adanya luka bakar pada
wajah. Sedangkan pada tanda-tanda vital klien mengalami perubahan yang tidak
stabil baik tekanan darah, nadi, dan frekuensi pernapasan. Dalam hal ini juga perlu
dikaji tanda-tanda syokberupa penurunan kesadaran yang dialami klien.
b. Pengkajian fisik head to toe
1) Kepala, hal ini berhubungan dengan sistem neurologis yang mana klien
dengan luka bakar dapat menyebabkan kejang (terutama pada aktivitas
listrik), kelumpuhan (terutama pada cedera listrik di salur saraf),
2) Mata, terjadi laserasi kornea dan kerusakan retina (pada cedera listrik).
3) Telinga, terjadi ruptur membrane timpani (pada cedera listrik).
4) Hidung, tampak rambut hidung hangus, kering, mukosa hidung merah dan
mulut, kontak yang terlalu lama dengan api atau bahan kimia menyebabkan
adanya cedera inhalasi.
5) Mulut, tampak adanya edema bibir, suara serak, batuk mengi, air liur hingga
ketidakmampuan dalam menelan sekresi oral dan terjadi sianosis (indikasi
dari cedera inhalasi).
6) Leher, terjadi pelepuhan pada faring posterior, terjadi sirkumoral atau edema
sirkumnasal.
7) Dada (jantung dan paru-paru), terkait dengan sirkulasi pada klien luka bakar
yang memiliki TBSA lebih dari 20% mengalami hipotens (syok), terjadi
vasokontriksi perifer umum dengan hilangnya denyut nadi, takikardia,
disritmia (cedera listrik dan ketidakseimbangan elektrolit), adanya obstruksi
jalan napas yang menyebabkan gangguan pertukaran gas seperti terdapat
suara napas ronki (menunjukkan adanya edema paru), stridor (adanya
edema laring), adanya sekret jalan napas, dan mengi atau ronkhi. Selain itu,
respon sistemik dapat pada cedera inhalasi berat akan berdampak pada
ARDS. Pada jantung akan terjadi penurunan curah jantung (CO) karena
mengalami kehilangan cairan dan berkurangnya volume vascular sehingga
terjadipenurunan tekanan darah.
8) Abdomen, terjadi penurunan bunyi usus atau bahkan tidak ada terutama
pada kulit luka bakar lebih dari 20% TBSA sebab mengurangi stres
motilitas dan peristaltik.
9) Ekstremitas (atas dan bawah), denyut nadi perifer berkurang pada distal
ekstremitas, terjadi kesemutan, dan terasa nyeri terbakar. Selain itu, terdapat
pula penurunan reflesk tendon dalam dan terdapat sensasi serta refleks pada
ekstremitas yanf mengalami cedera.
10) Urogenital, terdapat haluaran urin yang tidak memadai akibat kehilangan
cairan sebagai permulaan terjadinya gagal ginjal akut.
11) Kulit dan kuku, terdapat bintik-bintik pada kulit (cedera listrik), terdapat
edema jaringan (terjadi pada seluruh cedera luka bakar) yang berlangsung
cepat hingga ekstrim. Kedalaman kerusakan jaringan tidak tampak selama 3-
5 hari sebab proses mikrovaskuler thrombosispada beberapa luka.
12) Keadaan lokal, area kulit yang tidak terbakar akan tampak pucat, lembab,
dan teraba dingin dengan pengisian kapiler lebih lambat yang menandakan
terjadinya penurunan curah jantung karena tubuh akan kehilangan cairan
atau dalam kondisi syok.
4. Pemeriksaan Penunjang dan Laboratorium
Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada klien
dengan luka bakar menurut Doenges dkk (2019), yaitu pemeriksaan
laboratorium berupa darah lengkap dan urinalisis (pemeriksaan urin), serta
pemeriksaan penunjang berupa laser doppler, MRI, x-ray dada, EKG, kultur luka,
ventilasi-perfusi paru scan, dan lainnya.

2.2 Diagnosis Keperawatan


Masalah utama yang muncul pada pasien luka bakar yaitu nyeri akut, yang
mana penanganan manajemen nyeri pasien harus dilakukan bersamaan dengan
terapi luka bakar agar tidak menyebabkan komplikasi yang berdampak pada nyeri
kronik, peningkatan respon inflamasi, terganggunya proses penyembuhan luka,
waktu perawatan di rumah sakit meningkat yang berisiko infeksi nosokomial,
hingga peningkatan mortalitas (Yudhanarko dkk., 2019).
Berdasarkan Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (2017), didapatkan
masalah yang mungkin muncul pada pasien dengan luka bakar sebagai berikut.
1. Gangguan Pertukaran Gas (D.0003)
a. Definisi : Kelebihan atau kekurangan oksigenasi dan/atau eliminasi
karbondioksida pada membran alveolus-kapiler
b. Penyebab
 Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
 Perubahan membran alveolus-kapiler
c. Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif :
 Dispnea
Objektif :
 PCO2 meningkat/menurun
 PO2 menurun
 Takikardia
 pH arteri meningkat/menurun
 Bunyi napas tambahan
d. Gejala dan Tanda Minor
Subjektif :
 Pusing
 Penglihatan kabur
Objektif :
 Sianosis
 Diaforesis
 Gelisah
 Napas cuping hidung
 Pola napas abnormal (cepat/lambat, reguler/ireguler, dalam/dangkal)
 Warna kulit abnormal (mis. pucat kebiruan)
 Kesadaran menurun
Gangguan pertukaran gas, berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
ventilasi-perfusi klien luka bakar.
2. Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif (D.0149)
a. Definisi : Ketidakmampuan membersihkan sekret atau obstruksi jalan
napas untuk mempertahankan jalan napas tetap paten
b. Penyebab
Fisiologis :
 Spasme jalan napas
 Hipersekresi jalan napas
 Disfungsi neuromuskuler
 Benda asing dalam jalan napas
 Adanya jalan napas buatan
 Sekresi yang tertahan
 Hiperplasia dinding jalan napas
 Proses infeksi
 Respon alergi
 Efek agen farmakologis (mis. anestesi)
Situasional :
 Merokok aktif
 Merokok pasif
 Terpajan polutan
c. Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif : -
Objektif :
 Batuk tidak efektif
 Tidak mampu batuk
 Sputum berlebih
 Mengi, wheezing dan/atau ronkhi kering
 Mekonium di jalan napas (pada neonatus)
d. Gejala dan Tanda Minor
Subjektif :
 Dispnea
 Sulit bicara
 Ortopnea
Objektif :
 Gelisah
 Sianosis
 Bunyi napas menurun
 Frekuensi napas berubah
 Pola napas berubah

Bersihan jalan napas tidak efektif, berhubungan dengan penumpukan sekret


sehingga terjadi obstruksi jalan napas.
3. Pola Napas Tidak Efektif (D.0005)
a. Definisi : Inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi
adekuat
b. Penyebab
 Depresi pusat pernapasan
 Hambatan upaya napas (mis. nyeri saat bernapas, kelemahan otot
pernapasan)
 Deformitas dinding dada
 Deformitas tulang dada
 Gangguan neuromuskular
 Gangguan neurologis (mis. EEG positif, cedera kepala, gangguan
kejang)
 Penurunan energi
 Obesitas
 Posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru
 Sindrom hipoventilasi
 Kerusakan inervasi diafragma (kerusakan saraf C5 ke atas)
 Cedera pada medula spinalis
 Efek agen farmakologis
 Kecemasan
c. Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif :
 Dispnea
Objektif :
 Penggunaan otot bantu pernapasan
 Fase ekspirasi memanjang
 Pola napas abnormal (mis. takipnea, bradipnea, hiperventilasi,
kussmaul, cheyne-stokes)
d. Gejala dan Tanda Minor
Subjektif :
 Ortopnea
Objektif :
 Pernapasan pursed-lip
 Pernapasan cuping hidung
 Diameter thoraks anterior-posterior meningkat
 Ventilasi semenit menurun
 Kapasitas vital menurun
 Tekanan ekspirasi menurun
 Tekanan inspirasi menurun
 Ekskursi dada berubah

Pola napas tidak efektif, berhubungan dengan inspirasi dan ekspirasi yang tidak
adekuat sehingga memerlukan otot bantu pernapasan dan terjadi pola napas
abnormal.
4. Risiko Ketidakseimbangan Cairan (D.0036)
a. Definisi : Berisiko mengalami penurunan, peningkatan atau percepatan
perpindahan cairan dari intravaskuler, interstisial atau intraseluler
b. Faktor Risiko
 Prosedur pembedahan mayor
 Trauma/perdarahan
 Luka bakar
 Aferesis
 Asites
 Obstruksi intestinal
 Peradangan pankreas
 Penyakit ginjal dan kelenjar
 Disfungsi intestinal
c. Kondisi Klinis Terkait
 Prosedur pembedahan mayor
 Penyakit ginjal dan kelenjar
 Perdarahan
 Luka bakar

Risiko ketidakseimbangan cairan, berhubungan dengan kehilangan cairan


intravaskuler melalui rute abnormal, hipermetabolik, dan terjadi perubahan kadar
serum elektrolit.
5. Risiko Infeksi (D.0142)
a. Definisi : Berisiko mengalami peningkatan terserang organisme patogenik
b. Faktor Risiko
 Penyakit kronis (mis. diabetes melitus)
 Efek prosedur invasif
 Malnutrisi
 Peningkatan paparan organisme patogenik lingkungan
 Ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer:
- Gangguan peristaltik
- Kerusakan integritas kulit
- Perubahan sekresi pH
- Penurunan kerja siliaris
- Ketuban pecah lama
- Ketuban pecah sebelum waktunya
- Merokok
- Statis cairan tubuh
 Ketidaadekuatan pertahanan tubuh sekunder:
- Penurunan hemoglobin
- Imunosupresi
- Leukopenia
- Supresi respon inflamasi
- Vaksinasi tidak adekuat
c. Kondisi Klinis Terkait
 AIDS
 Luka bakar
 Penyakit paru obstruktif kronis
 Diabetes melitus
 Tindakan invasif
 Kondisi penggunaan terapi steroid
 Penyalahgunaan obat
 Ketuban Pecah Sebelum Waktunya (KPSW)
 Kanker
 Gagal ginjal
 Imunosupresi
 Lumphedema
 Leukositopenia
 Gangguan fungsi hati
Risiko infeksi, berhubungan dengan pertahanan primer yang tidak adekuat sebab
kulit sebagai barrier pelindung mengalami kerusakan dan terjadi proses inflamasi.
6. Defisit Nutrisi (D.0019)
a. Definisi : Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme
b. Penyebab
 Ketidakmampuan menelan makanan
 Ketidakmampuan mencerna makanan
 Ketidakmampuan mengabsorbsi nutrien
 Peningkatan kebutuhan metabolisme
 Faktor ekonomi (mis. finansial tidak mencukupi)
 Faktor psikologis (mis. stres, keengganan untuk makan)
c. Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif :
Objektif :
 Berat badan menurun minimal 10% di bawah rentang ideal
d. Gejala dan Tanda Minor
Subjektif :
 Cepat kenyang setelah makan
 Kram/nyeri abdomen
 Nafsu makan menurun
Objektif :
 Bising usus hiperaktif
 Otot pengunyah lemah
 Otot menelan lemah
 Membran mukosa pucat
 Sariawan
 Serum albumin turun
 Rambut rontok berlebihan
 Diare

Defisit nutrisi, hal ini berhubungan dengan terjadinya peningkatan metabolisme


tubuh dan katabolisme protein.
7. Nyeri Akut (D.0077)
a. Definisi : Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau
lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3
bulan
b. Penyebab
 Agen pencedera fisiologis (mis. inflamasi, iskemia, neoplasma)
 Agen pencedera kimiawi (mis. terbakar, bahan kimia iritan)
 Agen pencedera fisik (mis. abses, amputasi, terbakar, terpotong,
mengangkat berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik berlebihan)
c. Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif :
 Mengeluh nyeri
Objektif :
 Tampak meringis
 Bersikap protektif (mis. waspada, posisi menghindari nyeri)
 Gelisah
 Frekuensi nadi meningkat
 Sulit tidur
d. Gejala dan Tanda Minor
Subjektif : -
Objektif :
 Tekanan darah meningkat
 Pola napas berubah
 Nafsu makan berubah
 Proses berpikir terganggu
 Menarik diri

Nyeri akut, berhubungan dengan agen pencedera kimiawi adanya luka bakar yang
menimbulkan kerusakan kulit hingga jaringan, terbentuk edema, dan
menimbulkan rasa sakit.
8. Gangguan rasa nyaman, berhubungan dengan gejala penyakit yaitu luka
bakar sehingga menimbulkan rasa tidak nyaman baik secara fisik,
lingkungan, dan sosial.
9. Gangguan mobilitas fisik, berhubungan dengan adanya edema sehingga
terjadi penurunan kekuatan otot dan kelemahan yang ditandai dengan
aktivitas harian klien yang memerlukan bantuan.
10. Gangguan integritas kulit dan jaringan, berhubungan dengan terjadinya
kerusakan kulit (epidermis dan dermis) hingga jaringan (otot, tendon,
tulang,dan lainnya).
11. Perfusi perifer tidak efektif, berhubungan dengan sirkulasi darah yang
mengalami penurunan sehingga terjadi gangguan metabolisme tubuh.
12. Sindrom pasca trauma, hal ini berhubungan dengan respon maladaptif dari
kejadian trauma yang terus berkelanjutan sehingga menimbulkan rasa takut,
cemas, mimpi buruk, dan mengganggu memori masa lalu.
13. Defisit pengetahuan, hal ini mengenai kondisi, pengobatan, perawatan diri,
dan kebutuhan yang diperlukan saat klien pulang dari rumah sakit
14. Defisit perawatan diri, berhubungan dengan ketidakmampuan klien dalam
melakukan aktivitas hariannya.
15. Gangguan citra tubuh, berhubungan dengan terjadinya perubahan struktur
tubuh hingga fungsi tubuh secara normal seperti timbulnya bekas luka dan
kecacatan.
16. Koping tidak efektif, hal ini berhubungan dengan kondisi situasional adanya
nyeri akut hingga kronis (luka bakar) yang mana akan menimbulkan
ketidakmampuan dan tingkat kepercayaan yang tidak dalam mengatasi
masalah.
17. Risiko harga diri rendah situasional, berhubungan dengan perasaan negatif
pada diri sendiri atau kemampuan klien dalam merespon situasi yang ada.
2.3 Intervensi Keperawatan
Tabel 2.1 Intervensi Keperawatan

No. Diagnosis Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan Rasional Tindakan
1. D.0036 Setelah dilakukan tindakan Pemantauan Cairan (I.03121)
Risiko asuhan keperawatan selama 3 Observasi
ketidakseimbangan x 24 jam diharapkan terpenuhi 1. Monitor RR, TD, BB, CRT. 1. Mempermudah pengambilan
cairan b.d luka kebutuhan cairan selama rencana perawatan secara tepat
bakar. perawatan luka bakar dengan apabila terdapat perubahan pada
dengan kriteria hasil. RR, TD, BB, CRT.

Keseimbangan Cairan 2. Monitor intake dan output 2. Mengetahui masukan dan


(L.03020) cairan. haluaran cairan klien.
1. Asupan cairan meningkat
(5) Terapeutik
2. Haluaran urin meningkat 3. Atur interval waktu pemantauan. 3. Mendapatkan data untuk
(5) pengambilan keputusan
3. Kelembapan membran perawatan klien.
mukosameningkat (5)
4. Dehidrasi menurun (5) 4. Dokumentasi hasil pemantauan. 4. Membantu dalam penghitungan
balance cairan dan
peningkatan/pengurangan cairan.
Edukasi
5. Jelaskan tujuan dan prosedur 5. Membantu pasien memahami
pemantauan cairan klien luka tujuan dan langkah tindakan
bakar. pemantauan misalnya melalui
haluaran urin yang dapat
dipantau melalui urine bag.
6. Informasikan hasil pemantauan 6. Membantu klien dan keluarga
padaklien dan keluarga. mengetahui perkembangan
kondisi kesehatan klien saat ini
sebab luka bakar membutuhkan
perawatan yang kompleks.
2. D.0142 Setelah dilakukan tindakan Pencegahan Infeksi (I.14539)
Risiko infeksi b.d asuhan keperawatan selama 3 Observasi
terjadinya x 24 jam diharapkan risiko 1. Monitor tanda dan gejala 1. Mengetahui indikasi adanya
peningkatanakibat infeksi dapat diminimalkan infeksi lokal dan sistemik pada infeksi pada klien sehingga dapat
paparan organisme dengan dengan kriteria hasil. klien luka bakar yang memberikan intervensi dengan
patogen lingkungan berpengaruh pada sistem tubuh cepat.
karena luka bakar Tingkat Infeksi (L.14137) dan tanda yang tampak.
yang terbuka atau 1. Demam menurun (5)
perawatan yang 2. Kemerahan menurun (5) Terapeutik
inadekuat. 3. Bengkak menurun (5) 2. Berikan perawatan kulit pada 2. Agar tidak menyebabkan
areaedema (pembengkakan). risiko terjadinya infeksi yang
meningkat.
Edukasi
3. Jelaskan tanda dan gejala 3. Memberikan informasi pada klien
infeksimisalnya kemerahan, sehingga dapat melakukan
demam, akral hangat. pemantauan setiap saat.

4. Ajarkan cara memeriksa kondisi4. Hal ini berhubungan dengan


luka bakar secara rutin. terjadinya infeksi oportunistik
yang mana terjadi penekanan
sistem imun hingga kondisi
imunosupresi selama terapi
antibiotik.
5. Anjurkan meningkatkan asupan 5. Meningkatkan fungsi tubuh agar
nutrisi dan cairan agar kembali stabil melalui intake
homeostatik stabil. cairan.
3. D.0077 Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri (I.08238)
Nyeri akut b.d asuhan keperawatan selama 3 Observasi
adanya agen x 24 jam diharapkan nyeri 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, 1. Mengetahui kondisi dan
pencedera kimiawi klien dapat berkurang dengan durasi, frekuensi, kualitas, dan perubahan nyeri yang dialami
(penyebab luka dengan kriteria hasil. intensitas nyeri yang dapat klien.
bakar) d.d klien dilakukan pengkajian PQRST.
mengeluh nyeri Tingkat Nyeri (L.08066)
pada area luka bakar 1. Keluhan nyeri yang 2. Identifikasi skala nyeri yang 2. Menilai rasa nyeri yang dialami
yang disertai dilaporkan dipertahankan dapat dilakukan dengan klien, selain menggunakan
dengan wajah pada skala 2 (cukup kuesionernumeric rating scale kuesioner tersebut, klien dengan
meringis, gelisah, meningkat) ditingkatkan ke (NRS). penurunan kesadaran dapat
mengalami 5 (menurun) dilakukan pengkajian
kesulitan tertidur, 2. Meringis ditingkatkan dari menggunakan CPOT (critical
dan peningkatan skala 2 (cukup meningkat) pain observation tool).
frekuensi nadi serta ke 5 (menurun)
protektif diri. 3. Gelisah ditingkatkan dari 3. Identifikasi respon nyeri non 3. Mengkaji klien secara
skala 2 (cukup meningkat) verbalmisalnya menangis, komprehensif.
ke 5 (menurun) gelisah,menarik diri, tidak mau
4. Kesulitan tidur makan.
ditingkatkan dari skala 2
(cukup meningkat) ke 5 Terapeutik
(menurun) 4. Berikan teknik non 4. Memberikan efek relaksasi,
5. Frekuensi nadi farmakologis agar dapat mengurangi spasme otot, dan
ditingkatkan dari skala 2 membantu mengurangi nyeri. sirkulasi darah meningkat.
(cukup memburuk) ke 5
(membaik) Edukasi
5. Jelaskan penyebab, pemicu dan 5. Memberikan informasi dan
periode nyeri pada klien dan meningkatkan pemahamanklien
keluarga terutama akibat luka terkait nyeri yang dialami.
bakar.

Kolaborasi
6. Kolaborasi pemberian analgesik 6. Analgesik dapat mengurangi
yang dapat mempercepat rasa nyeri, meredakan mual,
penurunan nyeri. demam, dan bekerja dengan
meningkatkan istirahat.
Pemberian Analgesik (I.08243)
Observasi
7. Monitor TTV sebelum dan 7. Mengetahui perubahan tanda
sesudahpemberian analgesik. vital klien setelah diberikan
terapi.

8. Monitor efektivitas terapi 8. Mengetahui efektivitas terapi


analgesik. agar dapat merencanakan
tindakan bila tidak memberikan
efek yang baik pada klien.
Terapeutik
9. Dokumentasikan respon 9. Membantu mengetahuiperubahan
terhadap analgesik yang terapi yang diberikan pada klien.
diterima klien.

Edukasi
10. Jelaskan efek terapi dan efek 10. Agar klien dan keluarga
samping obat pada klien dan mengetahui jenis terapi yang
keluarga. diberikan pada klien.
4. D.0129 Setelah dilakukan tindakan Perawatan Integritas Kulit
Gangguan integritas asuhan keperawatan selama 6 (I.11353)
kulit dan jaringan x 24 jam diharapkan Observasi
b.d faktor mekanis kerusakan kulit dan jaringan 1. Identifikasi penyebab gangguan 1. Mengetahui penyebab yang dapat
berupa agen klien dapat membaik dengan integritas kulit (perubahan mengakibatkan keparahan
penyebab luka dengan kriteria hasil. sirkulasi, penurunan kerusakan integritas kulit dan
bakar misalnya kelembaban, suhu lingkungan, jaringan.
termal, elektrik, zat Integritas Kulit dan penurunan mobilitas).
kimia, gesekan, dan Jaringan (L.14125)
radiasi d.d 1. Perfusi jaringan meningkat Terapeutik
terjadinnya (5) 2. Ubah posisi tiap 2 jam selama 2. Mencegah adanya risiko luka
kerusakan pada 2. Kerusakan jaringan atau klien tirah baring. tekan.
kulit hingga lapisan kulit menurun (5)
jaringan disertai 3. Kemerahan menurun (5) Perawatan Luka Bakar (I.14565)
perdarahan, 4. Perdarahan menurun (5) Observasi
hematoma, dan 3. Monitor kondisi luka (derajat, 3. Mengetahui kondisi luka bakar
tampak kemerahan. perdarahan, adanya infeksi, bau, pada klien yang dilakukan
eksudat pada luka, ukuran luka, sebelum melakukandebridemen
dan warna luka). luka bakar.

Terapeutik
4. Gunakan prosedur perawatan 4. Prosedur dilakukan dengan
luka dengan teknik aseptik. teknik aseptik (mencegah
terjadinya infeksi
mikroorganisme).
5. Lepaskan balutan yang sudah 5. Mengganti balutan agar
ada pada klien secara perlahan mencegah proses inflamasi.
dengan menghindari nyeri dan
perdarahan.

6. Rendam dengan air steril bila 6. Mengurangi rasa nyeri dan


balutan tetap lengket dan menghindari perdarahan saat
menempel pada luka. pengangkatan balutan luka bakar
yang lama.

7. Luka dibersihkan dengan cairan 7. Merupakan cairan isotonik yang


steril berupa NaCl 0,9% (cairan tidak memberikan efek toksik
antiseptik). sehingga tidak mengganggu
proses penyembuhan luka.

8. Gunakan modern dressing yang 8. Metode yang digunakan bekerja


disesuaikan dengan kondisi dengan cara moisturebalance
luka. yang lebih efektif daripada
metode konvensional dalam
perawatan luka.
Edukasi
9. Anjurkan pemberian diet 9. Mempercepat proses
dengan kalori sebanyak 30 – 35 penyembuhan luka bakar pada
kkal/kgBB/hari dan protein klien.
sebanyak 1,25 – 1,5
g/kgBB/hari.

10. Berikan tambahan suplemen 10. Hal ini diberikan agar dapat
vitamin dan mineral. memenuhi asupan nutrisi harian
tubuh yang tidak dapat terpenuhi
seluruhnya.
Kolaborasi
11. Kolaborasi dilakukannya 11. Debridemen luka merupakan
prosedur debridemen luka. proses pembersihanluka dengan
pengangkatan jaringan nekrotik
sehingga membantu
penyembuhan luka.

12. Kolaborasi pemberian antibiotik12. Mengurangi adanya infeksi pada


dengan tenaga medis. klien.
5. D.0054 Setelah dilakukan tindakan Dukungan Mobilisasi (I.05173)
Gangguan asuhan keperawatan selama 4 Observasi
mobilitas fisik b.d x 24 jam diharapkan terjadi 1. Monitor kondisi umum selama 1. Mengkaji respon non-verbal
kekuatan otot dan peningkatan kekuatan otot dan melakukan mobilisasi. kemampuan klien dalam
massa otot yang pergerakan kliendengan melakukan pergerakan,
menurun akibat dengan kriteria hasil. mengukur kekuatan otot, dan
kerusakan jaringan mengukur TTV klien.
d.d klien mengeluh Mobilitas Fisik (L.05042) Terapeutik
ekstremitasnya 1. Kekuatan otot cukup 2. Libatkan keluarga untuk 3. Meminta orang terdekat untuk
mengalami meningkat (5) membantu klien dalam melakukan pendampingan selama
kesulitan dalam 2. Rentang gerak (ROM) meningkatkan pergerakan. proses pergerakan klien.
pergerakan dan cukup meningkat (5)
keterbatasan. 3. Kaku sendi menurun (5) Edukasi
3. Ajarkan mobilisasi sederhana 4. Meningkatkan pergerakan otot
yang dapat dilakukan klien. dan kekuatan otot klien.
2.4 Discharge Planning
Menurut Doenges dkk (2019), terdapat pertimbangan rencana pemulangan
klien dengan memperhatikan hal berikut antara lain :
1) Memerlukan perawatan luka berkelanjutan termasuk kegiatan perawatan
diri, transportasi, keuangan, dan konseling yang dianjurkan;
2) Perlu dilakukan perubahan tata letak fisik saat di rumah atau tempat
tinggal yang baru.
DAFTAR PUSTAKA

Anggowarsito, J. L. 2014. Luka Bakar Sudut Pandang Dermatologi. Jurnal Widya


Medika Surabaya. 2(2): 115-120.

Agustina, N. 2018. Optimasi Formulasi Krim Ekstrak Etanol Bunga Marigold


(Tagetes Erecta L.) Sebagai Antioksidan (dengan Konsentrasi 4%, 6%, dan
8%). Tesis. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.

Giovany, L., A. P. Kuswan, dan Inayah. 2015. Profil Pasien Luka Bakar yang
Meninggal di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau Periode Januari 2011 –
Desember 2013. Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Kedokteran. 2(2).

Grace, P. A., dan N. R. Borley. 2006. Luka Bakar. Dalam: At Glance Ilmu Bedah.
Edisi Ketiga. Jakarta: Erlangga.

Kaddoura, I., G. A. Sittah, A. Ibrahim, R. Karamanoukian, dan N. Papazian. 2017.


Burn Injury: Review of Pathophysiology and Therapeutic Modalities in
Major Burns. Journal Annals of Burns and Fire Disasters. 30(2): 95-102.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/


555/2019. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Luka
Bakar. 20 September 2019. Jakarta.

Kurniawan, Y. dan L. Kamalia. 2017. Pemberian Gel Ekstrak Daun Sukun


(Artocarpus altilis) Dapat Mempercepat Proses Penyembuhan Luka Bakar
Pada Mencit. Fakultas Kedokteran. Jurnal Syifa’ Medika. 8(1).

Manokharan, P. 2017. Analisis Gas Darah dan Aplikasinya di Klinik. Disertasi.


Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Megahed, M. A., F. Ghareeb, T. Kishk, A. EL-Barah, H. Abou-Gereda, H. El-Fol,


A. El-Siey, dan A. M. Omran. 2008. Blood Gases As an Indicator of
Inhalation Injury and Prognosis in Burn Patients. Annals of Burns and Fire
Disasters. 21(4): 192-198.
Moenadjat, Y. 2001. Luka Bakar Pengetahuan Klinis Praktis. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

Moenadjat, Y. 2009. Luka Bakar Masalah dan Tata Laksana. Edisi Keempat.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Permatasari, R. N. S. 2018. Pengaruh Pemberian Asap Cair Dosis Bertingkat


Terhadap Penyembuhan Luka Bakar Derajat Dua Dangkal pada Kelinci
(Oryctolagus Cuniculus). Skripsi. Semarang: Program Pendidikan Sarjana
Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Persatuan Perawat Nasional Indonesia. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan


Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnosis. Edisi Pertama. Cetakan Kedua.
Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.

Persatuan Perawat Nasional Indonesia. 2018. Standart Intervensi Keperawatan


Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan. Edisi Pertama. Cetakan
Kedua. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.

Persatuan Perawat Nasional Indonesia. 2019. Standar Luaran Keperawatan


Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan. Edisi Pertama.
Cetakan Kedua. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.

Rahayuningsih, T. 2012. Penatalaksanaan Luka Bakar. Jurnal PROFESI. 8: 1-13.

RSD dr. Soebandi Jember. 1964. Penanganan Luka Bakar Terkini (Current
Emergency Management of Burn in Soebandi General Hospital).
https://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/77038/Ulfa%20Elf
iah_Makalah_Current%20Emergency%20Management_%28FK%29.pdf?se
quence=1. [Diakses pada 8 Juli 2022].

Sariff, W. 2013. Komplikasi Luka Bakar. https://www.scribd.com/doc/124610681


/Komplikasi-Luka-Bakar. [Diakses pada 2 Juli 2022].
Subrahmanyam, M. 2006. Burns During Pregnancy-Effect on Maternal and Foetal
Outcomes. Journal Ann Burns Fire Disasters. 19(4): 177-179.

Wicaksono, T. R. 2018. Peran Ekstrak Gel Lidah Buaya (Aloe Vera L.) Terhadap
Kecepatan Penyembuhan Luka Bakar. Skripsi. Malang: Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang.

Yapa, K. S. 2009. Management of Burns in the Cmmunity. Wounds. 5:8-48.

Yovita, S. 2008. Penanganan Luka Bakar. https://www1-media.acehprov.go.id/up


loads/PENANGANAN_LUKA_BAKAR.pdf. [Diakses pada 2 Juli 2022].

Anda mungkin juga menyukai