Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN ATRIAL FIBRALASI


(AF) DI RUANG ICCU RUMAH SAKIT dr. SOEBANDI JEMBER

oleh
Tanwirotul Afidah, S.Kep
NIM 212311101188

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2022
BAB 1. KONSEP PENYAKIT

1.1 Review Anatomi Fisiologi

Gambar 1. Anatomi Jantung

Jantung merupakan organ penting yang berfungsi untuk mengalirkan darah yang
mengandung oksigen dan nutrisi ke seluruh jaringan dan organ tubuh guna untuk
proses metabolisme (Ramli dan Karani, 2018). Jantung terletak di rongga toraks
(dada) sekitar garis tengah antara sternum dan tulang punggung (vetebra). Menurut
Ramli dan Karani (2018) bagian depan diatasi oleh sternum dan costae 3, 4, dan 5.
Jantung terletak di atas diafragma, miring ke depan kiri dan apex cordis berada paling
depan dalam rongga thorax. Dinding jantung terbagi menjadi 3 lapisan yaitu
pericardium, miokardium dan endocardium. Jantung terdiri dari 4 ruang yaitu artrium
pada 2 ruang jantung atas dan ventrikel pada 2 ruang jantung bawah. Atrium
berfungsi untuk menerima darah yang kembali ke jantung dan memindahkannya ke
ruang di bawahnya, sedangkan ventrikel memompa darah dari jantung. Atrium dan
ventrikel dipisahkan menjadi bagian kanan dan kiri oleh septum. Pemisahan ini
sangat penting, karena bagian kanan jantung menerima dan memompa darah
beroksigen rendah dan sisi kiri jantung menerima dan memompa darah beroksigen
tinggi.
Menurut Wahyuningsih dan Kusmiyati (2017) katub jantung dibagi menjadi 2
yaitu katub atrioventikuler dan katub semilunar. Katub atrrioventikuler terletak antara
atrium dan ventrikel, katub yang terletak di antara atrium kanan dan ventrikel kanan
yang mempunyai tiga katub disebut katub trikuspidalis, sedangkan katub yang
letaknya diantara atrium atrium kiri dan ventrikel kiri mempunyai dua katub yang
disebut katub mitral (bikuspidalis). Katub seminular terletak pada arteri pulmonalis
yang memisahkan pembuluh dari ventrikel kanan. Katub aorta terletak antara
ventrikel kiri dan aorta. Adanya katub semilunar ini memungkinkan darah mengalir
dari masing-maing ventrikel ke arteri pulmonalis atau aorta selama sistole ventrikel,
dan mencegah aliran balik waktu diastole ventrikel (Wahyuningsih dan Kusmiyati,
2017).

Gambar 2. Anatomi Arteri Koroner

Suplai darah pada otot-otot jantung diperoleh dari arteri koroner kanan dan kiri.
Darah mengalir dari pembuluh darah epicardial menuju endocardial. Setelah perfusi
myocard, darah kembali ke atrium kanan melalui sinus koronaria dan vena anterior
jantung. Sejumlah kecil aliran darah yang kembali secara langsung masuk ke dalam
ruang-ruang jantung melalui vena Thebessy (Sofyan, 2016).

Arteri koroner kanan (RCA) secara normal menyuplai arteri kanan, sebagian besar
ventrikel kanan dan dalam jumla bervariasi pada ventrikel kiri (dinding inferior).
Arteri descent posterior (PDA), adalah cabang dari arteri koroner kiri dimana
sirkulasi di kiri lebih dominan (Sofyan, 2016). Arteri koroner kiri secara normal
mensuplai atrium kiri dan sebagian besar septum interventrikuler dari ventrikel kiri
(septum anterior dan dinding lateral). Setelah perjalanan pendek dari bifurcatio arteri
koroner utama kiri ke dalam arteri descent anterior kiri (LAD) dan arteri sirkumfleksi
(CX); bentuk ini menyuplai septum dan dinding anterior. Pada sirkulasi diminan kri,
CX sepanjang AV dan berlanjut kembali sebagai PDA untuk mensuplai juga sebagian
besar septum posterior dari dinding anterior (Sofyan, 2016).

Arteri menyuplai simpul AV yang dapat berasal dari RCA (60 % dari individu atau
yang lainnya (sisanya 40 %). Simpul AV biasanya melalui RCA (85 %-90 %, atau
sering tidak ada, dari derivat PDA dan LAD. Dinding anterior dari katup mitral juga
memiliki daerah yang ganda yang memberikan suplai melalui cabang diagonal dari
LAD dan berasal dari cabang CX. Sebaliknya, postkapiler dari katup mitral biasanya
disuplai dari PDA sangat banyak memiliki disfungsi iskemik daerah-daerah yang
penting (Sofyan, 2016).
Sistem Konduksi Jantung

Gambar 3. Sistem Konduksi Jantung


Sel listrik jantung diatur dalam sistem konduksi yang membawa listrik impuls ke
setiap bagian organ (Gambar 3).Hal ini memastikan bahwa atrium berkontraksi
sebelum ventrikel, dan kontraksi ventrikel terkoordinasi dan efisien.Sistem konduksi
terdiri dari simpul sinoatrial (simpul SA atau sinus), simpul atrioventrikular (simpul
AV), berkas His, berkas cabang kiri dan kanan, dan serabut Purkinje.Dari simpul
sinus, impuls listrik menyebar ke kedua atrium, menyebabkan miosit atrium
mengalami depolarisasi. Impuls tersebut juga sampai pada nodus AV yang terletak di
atrium kanan inferoseptal (Sampson, M., dan McGrath, A., 2015).
1.2 Definisi

Atrial fibrilasi (AF) merupakan gangguan yang terjadi pada ritme jantung
ditandai dengan irama ventrikel denyut jantung yang irregular dan basis osilasi
beramplitudo rendah (gelombang f atau fibrilasi). Laju gelombang f dapat mencapai
300-600 x/menit dan memiliki variasi pada amplitude, waktu dan bentuk (Andrianto,
2020). Menurut Nesheiwat, Z., dkk., (2020), atrial fibrilasi adalah keadaan dimana
terjadi aritmia pada jantung yang disebabkan karena adanya aktivitas listrik yang
abnormal di dalam atrium jantung sehingga menyebabkan fibrilasi dan ditandai
dengan adanya takiaritmia. Pada dasarnya atrial fibrilasi merupakan suatu takikardi
supraventrikuler dengan aktivasi atrial yang tidak terkoordinasi sehingga terjadi
gangguan fungsi mekanik atrium. Keadaan ini menyebabkan tidak efektifnya proses
mekanik atau pompa darah jantung (Yuniadi, 2014). Fibrilasi atrium merupakan
takikardi supraventricular yang khas, dengan aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi
mengakibatkan perburukan fungsi mekanis atrium. Pada elektrokardiogram (EKG),
ciri dari AF yaitu tidak adanya konsistensi gelombang P, yang digantikan oleh
gelombang getar (fibrilasi) yang bervariasi amplitudo, bentuk dan durasinya. Pada
fungsi nodus AV yang normal, AF biasanya disusul oleh respons ventrikel yang juga
ireguler, dan seringkali cepat (PERKI, 2014).

Gambar 4. Atrial Fibrilasi


Menurut Camm (2010) pada gambaran EKG atrium fibrilasi umumnya memiliki
ciri-ciri sebagai berikut:

1. EKG permukaan menunjukkan pola inerval RR yang irregular


2. Tidak adanya gelombang P yang jelas pada EKG, kadang dapat dilihat aktivitas
atrium yang irregular pada beberapa sedapan EKG dan yang paling sering pada
sedapan V1
3. Interval diantara dua gelombang aktivasi atrium biasanya bervariasi, dan
umumnya memiliki kecepatan lebih dari 450 x/menit.

1.3 Epidemiologi
Dalam 20 tahun terakhir, atrial fibrilasi sudah menjadi salah satu masalah
kesehatan dunia dan penyebab peningkatan biaya pelayanan kesehatan. Prevalensi
atrial fibrilasi semakin meningkat dari tahun ke tahun. Diperkirakan prevalensi atrial
fibrilasi akan mencapai 4 juta pada tahun 2030 dan meningkat hingga 5.6 juta pada
tahun 2050. Prevalensi atrial fibrilasi pada jenis kelamin pria di dunia pada tahun
2000 sebesar 586,6 per 100.000 penduduk dan meningkat menjadi 596,2 per 100.000
penduduk pada tahun 2010. Sedangkan pada wanita prevalensi atrial fibrilasi pada
tahun 2000 sebesar 363,4 per 100.000 penduduk dan meningkat menjadi 373,1 per
100.000 penduduk di dunia pada tahun 2010.
Data dari studi observasional (MONICA - Multinational Monitoring of trend and
determinant in cardiovascular disease) pada populasi urban di Jakarta ditemukan angka
kejadian atrial fibrilasi sebesar 0,2% dengan rasio laki-laki dan perempuan 3:2. Data di
Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita juga menunjukkan persentase
kejadian atrial fibrilasi pada pasien rawat inap meningkat setiap tahun, yaitu 7,1% tahun
2010 meningkat menjadi 9,0% (2011), 9,3%(2012), dan 9,8%(2013).
Pada tahun 2001, atrial fibrilasi merupakan salah satu penyebab utama lebih dari
70.000 kematian. The Framingham Heart Study menyatakan bahwa atrial fibrilasi
secara independen berhubungan dengan adanya peningkatan risiko kematian sebesar
50-90%. Mortalitas yang berkaitan dengan atrial fibrilasi lebih banyak terjadi pada
wanita. Angka mortalitas akibat atrial fibrilasi akan meningkat sebesar 1,6 kali pada
pria dan 1,7 kali pada wanita.
1.4 Etiologi
Atrial fibrilasi dapat terjadi karena beberapa faktor, diantaranya:
a. Peningkata tekanan atau resistensi atrium
1. Penyakit katup jantung
2. Kelainan pengisian dan pengosongan ruang atrium
3. Hipertrofi jantung
4. Kardiomiopati
5. Hipertensi pulmo (chronic obstructive pulmonary disease dan cor pulmonal
chronic)
6. Tumor intracardiac
b. Proses infiltrasi dan inflamasi
1. Pericarditis atau myocarditis
2. Amyloidosis dan sarcoidosis
3. Faktor peningkatan usia
c. Proses infeksi
1) Demam dan segala macam infeksi
d. Kelainan endokrin
1. Hipertiroid
2. feokromositoma
e. Neurogenic
1. Stroke
2. Pendarahan subarachnoid
f. Iskemik atrium (infark myocard)
g. Obat-obatan
1. Alkohol
2. kafein
h. Keturunan atau genetic
1.5 Klasifikasi

Berdasarkan tipe klinis, fibrilasi atrium dapat diklasifikasikan sebagai berikut


(Camm, 2010; Yuniadi, 2014):

1. Fibrilasi atrium pertama (First Onset)


Semua fibrilasi atrium yang pertama sekali diketahui menderita FA tanpa
memandang durasi aritmia ataupun beratnya gejala.
2. Fibrilasi atrium paroksismal
Fibrilasi atrium yang kembali ke irama sinus secara spontan (self terminating),
biasanya kurang dari 48 jam walaupun dapat berlangsung hingga 7 hari.
3. Fibrilasi atrium persisten
Fibrilasi atrium yang berlangsung lebih dari 7 hari atau membutuhkan kardioversi
untuk mengubahnya ke irama sinus, baik secara medikamentosa maupun elektris.
4. Fibrilasi atrium persisten lama (Long Standing Persistent)
Fibrilasi atrium yang berlangsung sudah berlangsung lebih atau sama dengan 1
tahun tetapi masih diinginkan diubah menjadi irama sinus.
5. Fibrilasi atrium permanen
Fibrilasi atrium yang diterima baik oleh pasien maupun dokternya, tanpa
keinginan lagi untuk mengubahnya ke irama sinus.

Selain dari 5 kategori yang disebutkan diatas, yang terutama ditentukan oleh
awitan dan durasi episodenya, terdapat beberapa kategori FA tambahan menurut ciri-
ciri dari pasien:
1. FA sorangan (lone): FA tanpa disertai penyakit struktur kardiovaskular lainnya,
termasuk hipertensi, penyakit paru terkait atau abnormalitas anatomi jantung
seperti pembesaran atrium kiri, dan usia di bawah 60 tahun.
2. FA non-valvular: FA yang tidak terkait dengan penyakit rematik mitral, katup
jantung protese atau operasi perbaikan katup mitral.
3. FA sekunder: FA yang terjadi akibat kondisi primer yang menjadi pemicu FA,
seperti infark miokard akut, bedah jantung, miokarditis, hipertiroidisme, emboli
paru, pneumonia, atau penyakit paru akut lainnya. Sedangkan FA sekunder yang
berkaitan dengan penyakit katup disebut FA valvular.
Berdasarkan kecepatan laju respon ventrikel (interval RR), AF dibedakan
menjadi 3 (PERKI, 2014), yaitu:
1. AF dengan respon ventrikel cepat: Laju ventrikel >100x/ menit

2. AF dengan respon ventrikel normal: Laju ventrikel 60-100x/menit

3. AF dengan respon ventrikel lambat: Laju ventrikel <60-100x/menit

Berdasarkan keadaan hemoninamik saat AF muncul, maka dapat diklasifikasikan


menjadi:
1. AF dengan hemodinamik tidak stabil (gagal jantung, angina atau infark
miokard akut).
2. AF dengan hemodinamik stabil
1.6 Patofisiologi
Mekanisme AF terdiri dari 2 proses, yaitu proses aktivasi lokal dan multiple
wavelet reentry. Proses aktivasi lokal bisa melibatkan proses depolarisasi tunggal atau
depolarisasi berulang. Pada proses aktivasi lokal, fokus ektopik yang dominan adalah
berasal dari vena pulmonalis superior. Selain itu, fokus ektopik bisa juga berasal dari
atrium kanan, vena cava superior dan sinus coronarius. Fokus ektopik ini
menimbulkan sinyal elektrik yang mempengaruhi potensial aksi pada atrium dan
menggangu potensial aksi yang dicetuskan oleh nodus SA (Harrison, 2000).
Sedangkan multiple wavelet reentry, merupakan proses potensial aksi yang berulang
dan melibatkan sirkuit/jalur depolarisasi. Mekanisme multiple wavelet reentry tidak
tergantung pada adanya fokus ektopik seperti pada proses aktivasi lokal, tetapi lebih
tergantung pada sedikit banyaknya sinyal elektrik yang mempengaruhi depolarisasi.
Pada multiple wavelet reentry, sedikit banyaknya sinyal elektrik dipengaruhi oleh 3
faktor, yaitu periode refractory, besarnya ruang atrium dan kecepatan konduksi. Hal
ini bisa dianalogikan, bahwa pada pembesaran atrium biasanya akan disertai dengan
pemendekan periode refractory dan penurunan kecepatan konduksi. Ketiga faktor
tersebutlah yang akan meningkatkan sinyal elektrik dan menimbulkan peningkatan
depolarisasi serta mencetuskan terjadinya AF (Harrison, 2000).

Aktivasi fokal fokus diawali biasanya dari daerah vena pulmonalis timbulnya
gelombang yang menetap dari Multiple wavelet reentry depolarisasi atrial atau
wavelets yang dipicu oleh depolarisasi atrial premature atau aktivitas aritmogenik dari
fokus yang tercetus secara cepat. Mekanisme fibrilasi atrium identik dengan
mekanisme fibrilasi ventrikel kecuali bila prosesnya ternyata hanya di massa otot
atrium dan bukan di massa otot ventrikel. Penyebab yang sering menimbulkan
fibrilasi atrium adalah pembesaran atrium akibat lesi katup jantung yang mencegah
atrium mengosongkan isinya secara adekuat ke dalam ventrikel, atau akibat
kegagalan ventrikel dengan pembendungan darah yang banyak di dalam atrium.
Dinding atrium yang berdilatasi akan menyediakan kondisi yang tepat untuk sebuah
jalur konduksi yang panjang demikian juga konduksi lambat, yang keduanya
merupakan faktor predisposisi bagi fibrilasi atrium. Fibrilasi atrium dapat juga
disebabkan oleh gangguan katup jantung pada demam reumatik, atau gangguan aliran
darah seperti yang terjadi pada penderita aterosklerosis (Yuniadi, 2014).

Pada AF aktivitas sitolik pada atrium kiri tidak teratur, terjadi penurunan atrial
flow velocities yang menyebabkan statis pada atrium kiri dan memudahkan
terbentuknya trombus. Pada pemeriksaan TEE, trombus pada atrium kiri lebih banyak
dijumpai pada pasien AF dengan stroke emboli dibandingkan dengan AF tanpa stroke
emboli. 2/3 sampai ¾ stroke iskemik yang terjadi pada pasien dengan AF non
valvular karena stroke emboli. Beberapa penelitian menghubungkan AF dengan
gangguan hemostasis dan thrombosis. Kelainan tersebut mungkin akibat dari statis
atrial tetapi mungkin juga sebagai kofaktor terjadinya tromboemboli pada AF
(Sudoyono, 2007).

1.7 Manifestasi Klinis


Atrial Fibrilasi dapat simptomatik dapat pula asimptomatik. Gejala-gejala AF
sangat bervariasi tergantung dari kecepatan laju irama ventrikel, lamanya FA,
penyakit yang mendasarinya. Fibrilasi atrium (AF) biasanya menyebabkan ventrikel
berkontraksi lebih cepat dari biasanya. Ketika ini terjadi, ventrikel tidak memiliki
cukup waktu untuk mengisi sepenuhnya dengan darah untuk memompa ke paru-paru
dan tubuh. Atrial fibrilasi sering tanpa disertai gejala, tapi kebanyakan penderita
mengalami palpitasi (perasaan yang kuat dari denyut jantung yang cepat atau
"berdebar" dalam dada), nyeri dada terutama saat beraktivitas, pusing atau pingsan,
sesak napas, cepat lelah, laju denyut jantung meningkat, intoleransi terhadap
olahraga, sinkop atau gejala tromboemboli, atau dapat disertai gejala-gejala gagal
jantung (seperti rasa lemah, sakit kepala berat, dan sesak nafas), terutama jika denyut
ventrikel yang sangat cepat (sering 140-160 denyutan/menit) (Wattigney, 2002).
Pasien dapat juga disertai tanda dan gejala stroke akut atau kerusakan organ
tubuh lainnya yang berkaitan dengan emboli systemic. AF dapat mencetuskan gejala
iskemik pada AF dengan dasar penyakit jantung koroner. Fungsi kontraksi atrial yang
sangat berkurang pada AF akan menurunkan curah jantung dan dapat menyebabkan
terjadi gagal jantung kongestif pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri (Sudoyo,
2007).

1.8 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan elektrolit, ureum, kreatinin serum untuk
menunjukkan apakah pasien menderita gangguan elektrolit atau gagal ginjal.
Pemeriksaan enzim jantung seperti CKMB dan atau troponin. Dari pemeriksaan ini
dapat ditemukan tanda-tanda infark miokard sebagai pencetus FA. Pemeriksaan D-
dimer (bila pasien memiliki risiko emboli paru). Pemeriksaan Fungsi tiroid untuk
melihat apakah pasien memiliki gangguan tiroid seperti tirotoksikosis. Pemeriksaan
kadar digoksin untuk mengevaluasi level subterapeutik dan atau toksisitas
(Yuniadi, 2014).

4. Elektrokardiogram (EKG)
Pada penderita FA gambaran EKG umum nya sebagai berikut:
a. Pola interval RR yang irreguler.
b. Tidak dijumpainya gelombang P yang jelas. Gelombang P menjadi fibrilasi
dengan amplitudo, bentuk dan durasi yang bervariasi, hal ini berhubungan
dengan respon ventrikel yang irregulerdan cepat pada sistem konduksi AV
yang utuh. Dan paling sering terjadi pada sadapan V1.
c. Laju jantung umumnya berkisar 110-140x/menit, tetapi jarang melebihi 160-
170x/menit.
Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat dilakukan adalah foto toraks, uji latih
atau uji berjalan enam menit, ekokardiografi, Computed Tomography (CT) scan dan
Magnetic Resonance Imaging (MRI), monitor holter atau event recording, studi
elektrofisiologi (Yuniadi, 2014).

1.9 Penatalaksanaan
Sasaran utama pada penatalaksanaan AF adalah mengontrol ketidakteraturan
irama jantung, menurunkan peningkatan denyut jantung dan menghindari/mencegah
adanya komplikasi tromboembolisme. Kardioversi merupakan salah satu
penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk AF. Menurut pengertiannya, kardioversi
sendiri adalah suatu tata laksana yang berfungsi untuk mengontrol ketidakteraturan
irama dan menurunkan denyut jantung (Dinanti, 2009). Pada dasarnya kardioversi
dibagi menjadi 2, yaitu pengobatan farmakologi (Pharmacological Cardioversion) dan
pengobatan elektrik (Electrical Cardioversion). Kontrol irama atau kardioversi
mengacu pada upaya untuk mempertahankan irama sinus dalam waktu panjang.
Rekomendasi kelas 1 sebagai kontrol irama jantung sesuai dengan Guidelines of
the American College of Cardiology, American Heart Association and European
Society of Cardiology 2006 (ACC/AHA/ESC 2006) adalah flecainide, dofetilide,
propafenone, dan ibutilide. Sedangkan amiodaron, agen anti-aritmia yang paling
umum digunakan, dimasukkanke dalam kelas 2A. Sebaiknya kardioversi
farmakologik dimulai kurang dari 7 hari setelah onset fibrilasi atrium
agarefektivitasnya lebih baik (Dinanti, 2009). Obat-obat anti aritmia dapat
diklasifikasikan menjadi:
1. Obat yang efektif pada aritmia supraventrikular (kanan atas), antara lain
adenosin, digoksin, verapamil.
2. Obat yang efektif pada aritmia ventrikular (kiri bawah), antara lain obat golongan
1B yang terdiri dari lidokain.
3. Obat yang efektif pada kedua jenis aritmia supraventrikular dan ventrikular,
antara lain
a) obat golongan 1A yang terdiri dari disopiramid, kuinidin,
b) obat golongan 1C yang terdiri dari flekainid,
c) obat Golongan III yang terdiri dari amiodaron.
Terapi antitrombotik yang digunakan untuk mencegahan stroke pada pasien FA
meliputi antikoagulan antagonis vitamin k yaitu warfarin dan coumadin dan
antikoagulan baru yaitu dabigatran etexilate, rivaroxaban, apixaban juga
menggunakan antiplatelet. Jenis antitrombolitik tidak digunakan untuk pencegahan
stroke pada pasien FA (Yuniadi, 2014). Pemberian terapi digoxin, dimana obat ini
bekerja untuk membuat irama jantung kembali normal dan memperkuat jantung
dalam memompa darah keseluruh tubuh. Obat ini berbentuk suntik dan tablet.
Kondisi Bentuk Usia dosis
Obat

Gagal suntik Dewasa 0,5-1mg dosis tunggal, infus selama


jantung akut 2 jam

Dewasa Dosis awal 0,75-1mg diberikan


dalam 24 jam sebagai dosis
tunggal, atau dibagi tiap 6 jam.

Bayi dengan berat Dosis awal 25 mcg/KgBB per hari,


badan hingga 1,5kg diberikan dalam 3x1. Dilanjutkan
dengan 4-6 mcg/KgBB perhari
dalam 1 atau 2 kali pemberian

Bayi dengan berat Dosis awal 30 mcg/KgBB perhari,


badan hingga 1,5kg dalam 3x pemberian. Dilanjutkan
– 2,5kg dengan 4-6 mcg/KgBB perhari
dalam 1 atau 2 kali pemberian

Gagal Tablet Bayi dengan BB Dosis awal 45 mcg/kgBB per hari,


jantung, diatas 2,5kg dan dalam 3 kali pemberian.
aritmia balita usia 1 bulan Dilanjutkan 10 mcg/kgBB per hari,
hingga 2 tahun dalam 1 atau 2 kali pemberian.

Anak usia 2-5 tahun Dosis awal 35 mcg/kgBB per hari,


dalam 3 kali pemberian.
Dilanjutkan 10 mcg/kgBB per hari,
dalam 1 atau 2 kali pemberian.

Anak usia 5-10 Dosis awal 25-750 mcg/kgBB per


tahun hari, dalam 3 kali pemberian.
Dilanjutkan 6-250 mcg/kgBB per
hari, dalam 1 atau 2 kali pemberian.

Anak usia 10 tahun – Dosis awal 0,75-1,5 mg/kgBB per


18 tahun hari, dalam 3 kali pemberian.
Dilanjutkan 62,5-750 mcg per hari,
dalam 1 atau 2 kali pemberian.
1.10 Clinic Pathway
Kardiomiopati, Pericarditis,
Faktor usia, obat-obatan (akohol), tumor miocarditis
keturunan

Kelainan katup atrium Tekanan Atrium sinistra


meningkat

Resistensi atrium dextra


Tekanan vena
Pulmonalis meningkat
Suplai O2 Otak Vol. Atrium meningkat
menurun
Hipertensi kapiler paru
Pengosongan atrium
Sinkop inadekuat
Edema paru

ADL menurun Atrium Fibrilasi (AF)


Gangguan Pertukaran
Gas
Tachicardia
Supraventrike dextra

Pengisian darah ke paru-


paru menurun
Renal Flow menurun Suplai darah
jaringan menurun
Atrial flow velocities
RAA meningkat menurun
Metabolisme anaerob
Trombus atrium sinistra
Aldosteron meningkat
Asidosis metabolik
Disfungsi ventrikel
ADH meningkat
sinistra
Penimbunan as.Laktat &
ATP menurun
Retensi Na+ + H2O Penurunan Curah
Jantung
Intoleransi
Hipervolemia
Aktivitas

Risiko Perfusi Suplai darah ke seluruh Nyeri Akut


Perifer Tidak Efektif tubuh menurun
Narasi Klinis:
Penyakit atrium fibrilasi ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti usia,
obat obatan (alkohol), dan keturunan. Selain itu juga terdapat penyakit penyerta
seperti kardiomiopati, tumor, perikarditis, dan juga miokarditis. Keadaan semacam ini
berdampak terjadinya kelainan terhadap katup atrium. Katup atrium akan mengalami
resistensi dan kemudian menimbulkan pengosongan terhadap volume atrium itu
sendiri.
Atrial fibrilasi ditandai dengan terjadinya takikardi supraventrikel, yaitu suatu
keadaan detak jantung yang cepat yang terjadi ketika impuls listrik normal jantung
terganggu. Gejala dapat berupa jantung berdebar-debar, atau tidak ada gejala sama
sekali. Takikardi supraventrikel menimbulkan beberapa masalah, seperti peningkatan
terhadap tekanan antrium kiri dan peningkatan tekanan vena pulmonal dan penurunan
pengisian darah. Peningkatan tekanan antrium kiri dan peningkatan tekanan vena
pulmonal ini kemudian menyebabkan hipertensi kapiler paru sehingga akan terjadi
pembengkakan paru, yaitu suatu keadaan yang disebabkan oleh kelebihan cairan di
paru-paru. Dengan keadaan semacam ini, proses pertukaran gas tang seharusnya bisa
terjadi di paru paru akan mengalami gangguan sehingga pasien akan mengalami suatu
keadaan yang disebut dengan Gangguan Pertukaran Gas.
Penurunan pengisian darah oleh karena takikardi supraventrikel menimbulkan
beberapa masalah seperti penurunan kecepatan aliran darah, penurunan suplasi darah
ke jaringan, penurunan suplasi oksigen ke otak, dan juga peningkatam aliran ginjal.
Penurunan kecepatan aliran darah akan menyebakan trombus pada atrium dan
disfungsi vetrikel sehingga keadaan yang bisa muncul adalah terjadinya Penurunan
Curah Jantung. Hal ini dapat menyebabkan suplai oksigen ke seluruh tubuh
berkurag dan menyebabkan Risiko Perfusi Perifer Tidak Efektif.

Penurunan suplai darah ke jaringan oleh karena penurunan pengisian darah


berdampak pada gangguan terhadap proses metabolisme. Keadaan semacam ini
memunculkan suatu kodisi yaitu asidosis metabolik sehingga akan terjadid
penimbunan asam laktat dan ATP. Penimbunan asam laktat ini dapat menyebabkan
aktivasi persepsi nyeri sehingga akan menimbulkan masalah Nyeri Akut. Kelelahan
menjadi masalah yang paling sering muncul dalam kondisi seperti ini, sehingga
diagnosa yang ditetapkan berupa Intoleransi Aktivitas. Intoleransi aktivitas juga
dapat disebabkan oleh faktor penurunan suplai oksigen ke otak, yaitu pasien dapat
mengalami kehilangan kesadaran sementara secara tiba tiba atau disebut dengan
sinkop.
Penurunan kemampuan pengisian darah juga akan menyebabkan penurunan
aliran ginjal. Keadaan ini menimbulkan penurunan terhadap RAA (renin-angiotensin-
aldosteron). Penurunan RAA menyebabkan retensi ion NA+ sehinggan masalah yang
muncul adalah Hipervolemia.
BAB. 2 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

2.1 Pengkajian
Pengumpulan data pasien baik subyektif atau obyektif pada klien dengan kasus
trauma servikal adalah sebagai berikut :
a. Identitas pasien dan keluarga (penanggung jawab)
Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat,
golongan darah, pendidikan, pekerjaan, hubungan pasien dengan penanggung
jawab, dll.
b. Status Kesehatan Saat Ini
Pasien datang dengan keluhan jantung berdebar-debar, mudah lelah saat aktivitas
fisik, dan pusing.
c. Riwayat Kesehatan Saat Ini
Pasien mengatakan jantung terasa berdebar-debar, mudah lelah saat aktivitas fisik,
dan pusing
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Haruslah diketahui penyakit atau masalah kesehatan yang pernah dialami pasien
sebelumnya baik yang berhubungan dengan sistem kardiovaskuler maupun
penyakit sistem sistemik lainnya (penyakit kronis). Hal ini sebagai data dasar
dalam memberikan terapi pada pasien dan dapat mempengaruhi prognosa pasien.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Adakah anggota keluarga/generasi sebelumnya yang mengalami penyakit seperti
yang dialami pasien dan/atau penyakit menular. Riwayat kesehatan tersebut dapat
dikaji dari pasien atau keluarga sebagai data subyektif. Data-data ini sangat berarti
karena dapat mempengaruhi prognosa pasien.
f. Pola aktivitas/istirahat
Pada pasien ini terjadi keluhan kelemahan fisik secara umum dan keletihan yang
berlebihan. Temuan fisik berupa disritmia, perubahan tekanan darah dan denyut
jantung saat beraktivitas.
g. Pola eliminasi
Luaran urin biasanya mengalami penurunan jika terjadi penurunan curah jantung
yang berat
h. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum
Pengukuran laju nadi, tekanan darah, kecepatan napas dan saturasi oksigen
sangan penting dalam evaluasi stabilitas hemodinamik dan kendali laju yang
adekuat pada FA. Pada pemeriksaan fisik, denyut nadi umumnya irregular dan
cepat sekitar 110-140 x/menit, pasien dengan hipotermia atau dengan toksisitas
obat jantung (digitalis) dapat mengalami brakikardi
2) Kepala dan leher
Pemeriksaan kepala dan leher dapat menunjukkan eksoftalmus, pembesaran
tiroid, peningkatan tekanan vena jugular atau sianosis. Bruit pada arteri karotis
mengindikasikan penyakit arteri perifer dan kemungkinan adanya
komorbiditas penyakit jantung koroner.
3) Thoraks dan Dada
- Jantung
pemeriksaan jantung sangat penting dalam pemeriksaan fisik pada pasien
dengan atrial fibrilasi. Palpasi da auskultasi yang menyeluruh sangat penting
untuk mengevaluasi penyakit katup atau kardiomiopati. Pergeseran pinctum
maximum atau adanya bunti jantung tambahan (S3) mengindikasikan
pembesaran ventrikel dan peningkatan tekanan ventrikel kiri. Bunyi II (P2)
yang mengeras dapat menandakan adanya hipertensi pulmonal. Pulsus
defisit, dimana terdapat istilah jumlah nadi yang teraba dengan auskultasi
jantung dapat ditemukan pada pasien dengan atrial fibrilasi.
- Paru
Pemeriksaan paru dapat mengungkap tanda-tanda gagal jantung (misalnya
ronki, efusi pleura). Mengi atau pemanjangan ekspirasi mengindikasikan
adanya penyakit paru kronik yang mungkin mendasari terjadinya FA
(misalnya PPOK asma).
4) Abdomen
Adanya asites, hepatomegali atau kapsul hepar yang teraba mengencang dapat
mengindikasikan gagal jantung kanan atau penyakit hati intrinsik. Nyeri
kuadran kiri atas, mungkin disebabkan infark limpa akibat embili perifer
5) Sistem neurosensori
Tanda-tanda Transient Ischemic Attack (TIA) atau kejadian serebrovaskular
terkadang dapat ditemukan pada pasien dengan FA. Peningkatan reflek dapat
ditemukan pada hipertiroidisme.
6) Ekstremitas
Pada pemeriksaan ekstremitas bawah dapat ditemukan sianosis, jari tabu atau
edema. Ekstremitas yang dingin dan tanpa nadi mungkin mengindikasikan
embolisaasi perifer. Melemahnya nadi perifer dapat mengindikasikan penyakit
aterial perifer atau penurunan curah jantung.
i. Data sosial
Data sosial yang diperlukan adalah bagaimana pasien berhubungan dengan orang-
orang terdekat dan yang lainnya, kemampuan berkomunikasi dan peranannya
dalam keluarga. Serta pandangan pasien terhadap dirinya setelah mengalami
trauma kepala dan rasa aman.
j. Data spiritual
Data spiritual yang diperlukan adalah ketaatan terhadap agamanya, semangat dan
falsafah hidup pasien serta ke-Tuhanan yang diyakininya. Tentu saja data yang
dikumpulkan bila tidak ada penurunan kesadaran.
k. Pemeriksaan Penunjang
1) EKG
2) Pemeriksaan labolatorium
3) Foto rontgen toraks
4) Ekokardiogenik
5) Pemeriksaan fungsi tiroid
2.2 Diagnosa Keperawatan
1) Penurunan curah jantung b.d Perubahan kontraktilitas miokardial/perubahan
inotropik, Perubahan frekuensi, irama dan konduksi listrik, Perubahan
structural.
2) Gangguan Pertukaran gas b.d Edema paru yang menyebabkan suplai oksigen
tidak adekuat
3) Nyeri akut b.d iskemik jantung meningkatkan produksi laktat
4) Hipervolemia b.d menurunnya laju filtrasi glomerulus (menurunnya curah
jantung)/meningkatnya produksi ADH dan retensi natrium/air ditandai
dengan: Ortopnea, bunyi jantung S3, Oliguria, edema, Peningkatan berat
badan, hipertensi, Distres pernapasan, bunyi jantung abnormal.
5) Intoleransi Aktivitas b.d Ketidakseimbangan antar suplai okigen, Kelemahan
umum, Tirah baring lama/immobilisasi. Ditandai dengan: Kelemahan, kelelahan,
Perubahan tanda vital, adanya disrirmia, Dispnea, pucat, berkeringat.
6) Risiko perfusi perifer tidak efektif b.d kurangnya suplai darah ke jaringan
perifer
2.3 Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Outcome Intervensi


1 Penurunan curah jantung b.d Setelah dilakukan asuhan keperawatan (I.02075) Perawatan Jantung Akut
Perubahan kontraktilitas diharapkan penurunan curah jantung teratasi 1. Identifikasi karakteristik nyeri dada
miokardial/perubahan inotropik, dengan kriteria hasil: 2. Monitor EKG 12 sadapan
Perubahan frekuensi, irama dan 1. Edema dipertahankan dari 1 3. Monitor aritmia
konduksi listrik, Perubahan (meningkat) ditingkatkan ke 4 (cukup 4. Monitor enzim jantung
structural. menurun) 5. Monitor SPO2
2. Gambaran EKG aritmia dipertahankan 6. Pertahankan tirah baring minimal 12
dari 1 (meningkat) ditingkatkan ke 4 jam
(cukup menurun) 7. Anjurkan melaporkan nyeri dada
3. Suara jantung S3 dipertahankan dari 1 8. Ajarkan tekhnik menurunkan
(meningkat) ditingkatkan ke 4 (cukup kecemasan
menurun) 9. Kolaborasi pemberian antiangina
4. Dispnea dipertahankan dari 1
(meningkat) ditingkatkan ke 4 (cukup
menurun)
5. Oliguria dipertahankan dari 1
(meningkat) ditingkatkan ke 4 (cukup
menurun)

2 Gangguan Pertukaran gas b.d Setelah dilakukan intervensi keperawatan,


Pemantaun Respirasi
Edema paru yang menyebabkan diharapakan pertukaran gas membaik
1. Identifikasi pola pernafasan (mis :
suplai oksigen tidak adekuat Dengan kriteria hasil :
bradipnea, takipnea, dll)
1. Dispnea dipertahankan dari 1
2. Monitor frekuensi, irama,
(meningkat) ditingkatkan ke 4 (cukup kedalaman
menurun) 3. Monitor adanya sumbatan jalan nafas
2. Pusing dipertahankan dari 1 4. Monitor TTV
(meningkat) ditingkatkan ke 4 (cukup Terapi Oksigen
menurun) 5. Pertahankan kepatenan jalan nafas
3. Gelisah dipertahankan dari 1 6. Berikan terapi oksigen nasal 1 lpm
(meningkat) ditingkatkan ke 4 (cukup 7. Memastikan air humidifier terisi agar
menurun) lembab
4. Napas cuping hidung dipertahankan 8. Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan
dari 1 (meningkat) ditingkatkan ke 4 9. Kolaborasikan obat aminofilin dan
(cukup menurun) gentamicin dengan dokter
5. Sianosis dipertahankan dari 1
(memburuk) ditingkatkan ke 4 (cukup
membaik)
6. Pola napas dipertahankan dari 1
(memburuk) ditingkatkan ke 4 (cukup
cukup membaik)

2 Penurunan curah jantung b.d Setelah dilakukan asuhan keperawatan (I.02075) Perawatan Jantung Akut
Perubahan kontraktilitas diharapkan penurunan curah jantung teratasi 10. Identifikasi karakteristik nyeri dada
miokardial/perubahan inotropik, dengan kriteria hasil: 11. Monitor EKG 12 sadapan
Perubahan frekuensi, irama dan 6. Edema dipertahankan dari 1 12. Monitor aritmia
konduksi listrik, Perubahan (meningkat) ditingkatkan ke 4 (cukup 13. Monitor enzim jantung
structural. menurun) 14. Monitor SPO2
7. Gambaran EKG aritmia dipertahankan 15. Pertahankan tirah baring minimal 12
dari 1 (meningkat) ditingkatkan ke 4 jam
(cukup menurun) 16. Anjurkan melaporkan nyeri dada
8. Suara jantung S3 dipertahankan dari 1 17. Ajarkan tekhnik menurunkan
(meningkat) ditingkatkan ke 4 (cukup kecemasan
menurun) 18. Kolaborasi pemberian antiangina
9. Dispnea dipertahankan dari 1
(meningkat) ditingkatkan ke 4 (cukup
menurun)
10. Oliguria dipertahankan dari 1
(meningkat) ditingkatkan ke 4 (cukup
menurun)

3 Nyeri akut berhubungan dengan Setelah dilakukan asuhan keperawatan (I.08238) Manajemen Nyeri
agen pencedera fisiologis diharapkan tingkat nyeri klien dapat 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
ditandai dengan mengeluh nyeri, menurun dengan kriteria hasil: frekuensi, kualitas dan intensitas nyeri
meringis, gelisah. 1. Keluhan nyeri dipertahankan dari 1 2. Identifikasi skala nyeri
(meningkat) ditingkatkan ke 4 (cukup 3. Identifikasi respon nyeri non verbal
menurun) 4. Berikan tekhnik non farmakologis
2. Meringis dipertahankan dari 1 untuk mengurangi nyeri
(meningkat) ditingkatkan ke 4 (cukup 5. Jelaskan penyebab, pemicu dan periode
menurun) nyeri
3. Gelisah dipertahankan dari 1 6. Kolaborasi pemberian analgesik
(meningkat) ditingkatkan ke 4 (cukup (I.08243) Pemberian Analgesik
menurun) 1. Identifikasi riwayat alergi obat
4. Ketegangan otot dipertahankan dari 1 2. Monitor TTV sebelum dan sesudah
(meningkat) ditingkatkan ke 4 (cukup analgesik
menurun) 3. Monitor eektivitas analgesik
4. Dokumentasikan respon terhadap
analgesik
5. Jelaskan efek samping obat
6. Kolaborasi pemberian dosis dan jenis
obat
4 Hipervolemia b.d menurunnya Setelah dilakukan intervensi Manajemen hipervolemia (1.03114)
laju filtrasi glomerulus keperawatan selama 2x24 jam Observasi
(menurunnya curah diharapkan keseimbangan cairan klien 1. Monitor intake dan output cairan
dapat meningkat dengan Kriteria Hasil: 2. Monitor tanda hemokonsentrasi
jantung)/meningkatnya produksi
Keseimbangan Cairan (L.03020) 3. Monitor kecepatan infus secara ketat
ADH dan retensi natrium/air 4. Monitor tanda peningkatan onkotik
ditandai dengan: Ortopnea, 1. Kelembaban membrane mukosa
plasama
bunyi jantung S3, Oliguria, ditingkatkan dari skala 2 (cukup
Terapeutik
menurun) ke skala 4 (cukup
edema, Peningkatan berat badan, 5. Batasi asupan cairan dan garam
meningkat)
hipertensi, Distres pernapasan, 6. Tinggikan kepala 30-40 derajat
2. Edema diturunkan dari skala 5
bunyi jantung abnormal. Edukasi
(meningkat) ke skala 2 (cukup
7. Ajarkan cara membatasi cairan
menurun)
3. Asites diturunkan dari skala 4 (cukup
meningkat) ke skala 2 (cukup
menurun)
4. Tekanan darah ditingkatkan dari
skala 1 (memburuk) ke skala 4
(cukup meningkat)

5 Intoleransi Aktivitas b.d Setelah dilakukan asuhan keperawatan (I.05178) Manajemen energi
Ketidakseimbangan antar suplai diharapkan toleransi aktivitas klien 4. Identifikasi fungsi tubuh yang
okigen, Kelemahan umum, Tirah meningkat dengan kriteria hasil: mengakibatkan kelelahan
baring lama/immobilisasi. 1. Keluhan lelah dipertahankan dari 1 5. Monitor kelelahan fisik dan emosional
Ditandai dengan: Kelemahan, (meningkat) ditingkatkan ke 4 (cukup 6. Lakukan latihan rentang gerak pasif dan
kelelahan, Perubahan tanda vital, menurun) aktif
adanya disrirmia, Dispnea, 2. Dispnea saat aktivitas dipertahankan 7. Anjurkan tirah baring
pucat, berkeringat dari 1 (meningkat) ditingkatkan ke 4 8. Anjurkan melakukan aktivitas secara
(cukup menurun) bertahap
3. Dispnea setelah aktivitas dipertahankan 9. Kolaborasi dengan ahli gizi terkait
dari 1 (meningkat) ditingkatkan ke 4 suplai makanan
(cukup menurun) (I.05186) Terapi aktivitas
4. Aritmia saat aktivitas dipertahankan 1. Identifikasi defisit tingkat aktivitas
dari 1 (meningkat) ditingkatkan ke 4 2. Identifikasi aktivitas yang dapat
(cukup menurun) dilakukan
5. Perasaan lelah dipertahankan dari 1 3. Monitor respon emosional, fisik, social
(meningkat) ditingkatkan ke 4 (cukup dan spiritual terhaap aktivitas
menurun 4. Fasilitasi aktivitas rutin sesuai
kebutuhan
5. Libatkan keluarga dalam aktivitas
6. Ajarkan cara melakukan aktivitas yang
dipilih
7. Kolaborasi dengan okupai dalam
merencanakan program aktivitas
DAFTAR PUSTAKA

Andrianto. 2020. Buku Ajar Kegawatdaruratan Kardiovaskuler: Berbasis Standar Nasional


Pendidikan Profesi Dokter 2019. Airlangga University Press: Surabaya.

Bonow, R. O., Man Dl., Zipesdp., et al. 2012. Braunwald’s Heart Disease : Textboox Of
Cardiovascular Medicine 9th Edition. Philadephia: Elsevier Saunders. Pp 107-124, 126-
163, 277-291.

Camm, A.j, Kirchhof P, Lip Gyh, et al. 2010. Guidelines For The Management Of Atrial
Fibrillation: The Task Force For The Management Ofatrial Fibrillation Of The European
Society Of Cardiology (Esc). Europace: European Pacing,Arrhythmias, And Cardiac
Electrophysiology : Journal Of The Working Groups On Cardiacpacing, Arrhythmias,
And Cardiac Cellular Electrophysiology Of The European Society Of Cardiology.1360-
420.

Dinarti, L. K dan Suciadi L. P. 2009. Stratifikasi Risiko Dan Strategi Manajemen Pasien
Dengan Fibrilasi Atrium. Maj Kedokt Indon. 6;59(6):277-284.

Fuster, V., Walsh Ra., Harrington Ra. 2011. Hurst’s The Heart, Thirteenth Edition. China:
The Mcgrew-Hill Companies.1721-1744.

Harrison. 2000. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 3 Edisi 13. EGC: Jakarta. 1418-
87.

Ismail D dan Nasution S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4. Jakarta. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia..1522-
1527

PERKI. 2014. Pedoman Tata Laksana Fibrilasi Atrium. 1st Ed. Jakarta: Centra
Communications.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (1st-ed.).
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2016. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (1sted.). Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2016. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan
Kriteria Hasil Keperawatan (1sted.). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat
Nasional Indonesia.

Wattigney, W. A, Mensah G. A, dan Croft J. B. 2002. Increased Atrial Fibrillation Mortality:


United States, 1980-1998. Am Epidemiol. 155 (9): 819–26.

Yulita. 2016. Karakteristik Pasien Fibrilasi Atriumyang Dirawat Inap Di Rumah Sakit Umum
Pusat Haji Adam Maliktahun 2015. Medan: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.

Yuniadi Y, Tondas Ae, Hanafy Da, Hermanto Dy, Maharani E, Munawar M, et al. 2014.
Pedoman Tatalaksana Fibrilasi Atrium. 1. Jakarta: Centra Communication. 1-82.

Anda mungkin juga menyukai