Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

RETURN OF SPONTANEOUS CIRCULATION

Oleh :
Kasdianto Bantun
11120182081

Pembimbing :
dr. Wisudawan, Sp.JP, FIHA

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN KARDIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2019
BAB I

PENDAHULUAN

Bantuan hidup dasar adalah usaha yang dilakukan untuk mempertahankan

kehidupan pada saat penderita mengalami keadaan yang mengancam nyawa. Bila

usaha bantuan hidup ini dilakukan tanpa memakai obat, cairan intravena ataupun

kejutan listrik maka dikenal sebagai bantuan hidup dasar (Basic Life Support).

Sebaliknya bila bantuan hidup dilakukan dengan menggunakan obat-obatan dikenal

dengan bantuan hidup lanjut (Advanced life Support).

Resusitasi Jantung Paru (RJP) merupakan salah satu usaha untuk

mempertahankan kehidupan pada saat penderita mengalami keadaan yang mengancam

nyawa, sehingga harus secepatnya dilakukan. Resusitasi jantung paru terdiri dari dua

tahap, survei primer dapat dilakukan oleh semua orang dan survei sekunder yang hanya

dapat dilakukan oleh tenaga medis dan paramedic terlatih dan merupakan lanjutan dari

survey primer.

Keberhasilan resusitasi jantung paru ditandai dengan ROSC (Return Of

Spontaneous Circulation) kembalinya aktivitas jantung yang disertai dengan perfusi

jaringan dan usaha pernafasan yang signifikan setelah henti jantung. Setelah ROSC,

pasien dapat mengalami perubahan hemodinamik yang tidak stabil sehingga

meningkatkan morbiditas dan mortalitas akibat terjadinya kegagalan multi organ dan

cedera otak.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Jantung

Jantung merupakan organ utama dalam sistem kardiovaskuler. Jantung

dibentuk oleh organ-organ muscular, apex dan basis cordis, atrium kanan dan kiri serta

ventrikel kanan dan kiri. Jantung memiliki bentuk jantung cenderung berkerucut

tumpul. Ukuran jantung kira-kira panjang 12 cm, lebar 8-9 cm seta tebal kira-kira 6

cm. Berat jantung sekitar 7-15 ons atau 200 sampai 425 gram dan sedikit lebih besar

dari kepalan tangan pemiliknya. Setiap harinya jantung berdetak 100.000 kali dan

dalam masa periode itu jantung memompa 2000 galon darah atau setara dengan 7.571

liter darah (Sherwood, 2011).

Posisi jantung terletak diantar kedua paru dan berada ditengah tengah dada,

bertumpu pada diaphragma thoracis dan berada kira-kira 5 cm diatas processus

xiphoideus, terlindungi oleh tulang rusuk. Pada tepi kanan cranial berada pada tepi

cranialis pars cartilaginis costa III dextra, 1 cm dari tepi lateral sternum. Pada tepi

kanan caudal berada pada tepi cranialis pars cartilaginis costa VI dextra, 1 cm dari tepi

lateral sternum tepi kiri cranial jantung berada pada tepi caudal pars cartilaginis costa

II sinistra di tepi lateral sternum, tepi kiri caudal berada pada ruang intercostalis 5, kira-

kira 9 cm di kiri linea medioclavicularis (Sherwood, 2011).

2
Anatomi Thoraks

Selaput yang membungkus jantung disebut pericardium dimana teridiri antara

lapisan fibrosa dan serosa, dalam cavum pericardii berisi 50 cc yang berfungsi sebagai

pelumas agar tidak ada gesekan antara pericardium dan epicardium. Epicardium adalah

lapisan paling luar dari jantung, lapisan berikutnya adalah lapisan miokardium dimana

lapisan ini adalah lapisan yang paling tebal. Miokardium merupakan lapisan otot

jantung yang berperan penting dalam memompa darah melalui pembuluh arteri.

Lapisan terakhir adalah lapisan endocardium (Sherwood, 2011).

Ada 4 ruangan dalam jantung dimana dua dari ruang itu disebut atrium dan

sisanya adalah ventrikel. Pada orang awan atrium dikenal dengan serambi dan ventrikel

dikenal dengan bilik. Keempat rongga tersebut terbagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian

kanan dan kiri yang dipisahkan oleh dinding otot yang dikenal dengan istilah septum.

Sesuai dengan etimologis, jantung pada dunia medis memiliki istilah cardio yang

berasal dari bahasa latin cor (Sherwood, 2011).

3
Dimana cor dalam bahasa latin memiliki arti : sebuah rongga. Sebagaimana

bentuk dari jantung yang memiliki rongga berotot yang memompa darah lewat

pembuluh darah dalam kontraksi berirama yang berulang dan berkonsistensi. Pun,

dalam kedokteran istilah cardiac memiliki makna segala sesuatu yang berhubungan

dengan jantung. Dalam bahasa Yunani, cardia sendiri digunakan untuk istilah jantung

(Sherwood, 2011).

Gambar 2. Anatomi jantung

a. Pericardium

Perikardium merupakan semancam kantung dengan 2 lapisan yang

mengelilingi jantung. Lapisan serosa yang dalam (perikardium viseralis)

menempel ke bagian luar dinding jantung dipisahkan dari pericard parietalis

oleh lapisan tipis cairan pericardium (Sherwood, 2011).

4
b. Katup Jantung

Ada 4 tipe katup jantung yang mengatur aliran darah dalam jantung,

yaitu:

1. Katup trikuspid: mengatur aliran darah antara atrium kanan dan ventrikel kanan

2. Katup pulmonalis mengontrol aliran darah dari ventrikel kanan ke arteri

pulmonalis, yang membawa darah ke paru untuk mengambil oksigen

3. Katup mitral membiarkan darah kaya oksigen dari paru yang masuk ke atrium

kiri untuk menuju ventrikel kiri

4. Katup aorta memberikan jalan bagi darah yang kaya oksigen dari ventrikel kiri

ke aorta, arteri terbesar tubuh yang nantinya akan dikirim ke seluruh tubuh

Katup trikuspid dan katup mitral dihubungkan oleh chorda tendinae ke

papillary muscle. Hal ini mencegah regurgutasi saat ventikel kontraksi

(Sherwood, 2011).

c. Sistem Konduksi

Gambar 3 Sistem konduksi jantung

5
Impuls elektris dari otot jantung (myocardium) menyebabkan jantung

berkontraksi. Sinyal elektrik ini dimulai di nodus SA, lokasinya pada puncak

atrium kanan. Nodus SA sering disebut ‘pacu jantung alami’. Katika impuls

elektris dilepaskan dari pacu jantung alami, antrium berkontraksi. Sinyal

kemudian diteruskan ke nodus AV. Nodus AV kemudian mengirimkan sinyal

ke serat-serat otot ventrikel, menyebabkan kontraksi ventrikel. Nodus SA

mengirimkan impuls elektrik dengan laju tertentu, tapi frekuensi detak jantung

masih dapat berubah tergantung pada kebutuhan fisik, stress atau faktor

hormonal (Sherwood, 2011).

2.2 Sindrom Pasca Henti Jantung

Cedera otak merupakan penyebab tersering kematian pasien pasca henti

jantung. Cedera otak menyumbang 68% penyebab kematian pasien pasca henti jantung

setelah keluar rumah sakit, sedangkan kematian pasien pasca henti jantung selama

perawatan di rumah sakit berkisar 23%. Hal ini terjadi karena otak memiliki

keterbatasan toleransi terhadap iskemik dan respon otak terhadap reperfusi. Beberapa

jam sampai beberapa hari setelah ROSC, akan terjadi berbagai perubahan homeostasis

di dalam tubuh seperti gangguan homeostasis kalsium, terbentuknya radikal bebas,

kaskade protease yang patologis, dan aktivasi sinyal apoptosis maupun nekrosis neuron

sehingga terjadi cedera otak. Sel saraf dapat berdegenerasi pada periode ini.

Mikrosirkulasi otak juga dapat terganggu akibat henti jantung yang lama walaupun

tekanan perfusi ke otak mencukupi. Hal ini kemungkinan terjadi akibat trombosis saat

6
terjadi henti jantung. Trombosis ini dapat menyebabkan terhentinya aliran darah ke

otak sehingga terjadi iskemik dan infark di otak.

Reperfusi secara teori dapat membantu meningkatkan tekanan perfusi ke otak,

namun pada beberapa menit pertama tekanan perfusi yang tinggi ini dapat

menyebabkan edema otak. Setelah ROSC, proses pengiriman oksigen masih dapat

terganggu. Hal ini dapat terjadi pada kondisi hipotensi, hipoksemia, terganggunya

autoregulasi aliran darah serebral, dan edema otak. Cedera otak juga dipengaruhi oleh

kondisi pireksia, hiperglikemi, dan kejang. Pada pasien dengan suhu lebih dari 390 C

pada 72 jam pasca ROSC akan meningkatkan risiko kematian otak. Peningkatan gula

darah diketahui dapat memperberat iskemik di otak. Kondisi ini dapat ditangani dengan

pemberian insulin. Kejang pasca henti jantung berkaitan dengan prognosis pasien.

Kejang yang terjadi kemungkinan terjadi akibat cedera otak pasca henti jantung.

Disfungsi miokardial pasca henti jantung rupanya turut berkontribusi terhadap

rendahnya angka harapan hidup pasien. Nsmun demikian, kondisi ini dapat bersifat

reversibel jika ditatalaksana dengan cepat dan adekuat. Disfungsi miokardial dapat

dideteksi dengan pemeriksaan fraksi ejeksi. Fraksi ejeksi akan menurun dari 55%

sampai 20%, dan end-diastolic pressure meningkat dari 8-10 mmHg sampai 20-22

mmHg selama 30 menit pertama setelah ROSC. Disfungsi miokardial harus cepat

dideteksi dengan melihat cardiac output yang rendah (<2.2 L/menit/m2), takikardia,

peningkatan tekanan end-diastolic ventrikel kiri, diikuti hipotensi 6 jam setelahnya.

Masa pemulihan dapat terjadi selama 1-2 hari setelah ROSC dengan tatalaksana yang

7
adekuat. Fraksi ejeksi secara bertahap akan meningkat selama beberapa minggu hingga

bulan.

Pada saat terjadi henti jantung, pengiriman oksigen ke jaringan akan berhenti

dan metabolit akan menumpuk akibat berhentinya sirkulasi. Tindakan resusitasi

jantung paru hanya dapat mengembalikan sebagian dari proses ini sehingga saturasi

oksigen akan menurun dari normal. Pengiriman oksigen ke jaringan dapat tetap

terganggu walaupun setelah terjadi ROSC. Hal ini disebabkan oleh disfungsi

miokardial, hemodinamik yang tidak stabil, dan kegagalan mikrosirkulasi. Jika asupan

oksigen ke jaringan tidak adekuat, akan memperberat kegagalan multiorgan

berikutnya. Gejala klinis yang dapat terjadi akibat iskemik sistemik/respon reperfusi

berupa penurunan volume intravaskular, ketidakseimbangan antara kebutuhan dan

asupan oksigen, dan rentan terhadap infeksi.

Patofisiologi sindrom pasca henti jantung seringkali bertumpang tindih dengan

patologi yang menyebabkan henti jantung itu sendiri sehingga sangat sulit untuk

menentukan patologi yang mempresipitasi henti jantung yang persisten. Presipitasi

henti jantung dapat berupa acute coronary syndrom (ACS), penyakit paru, perdarahan,

sepsis. Sebesar 48% pasien pasca henti jantung setelah ROSC, diketahui

mengalami acute coronary occlusion dan sebesar 22.5% pasien dengan acute coronary

occlusion tidak mengalami nyeri dada atapun elevasi segmen ST. Peningkatan nilai

troponin T akibat ACS yang terdeteksi selama tata laksana henti jantung dapat menjadi

pendeteksi terjadinya ACS setelah ROSC. Sensitivitas troponin T dapat mencapai 96%

dengan spesifisitas sebesar 80% untuk mendeteksi acute myocardial infarction yang

8
terjadi setelah ROSC. Creatine kinase MB memiliki sensitivitas sebesar 96% dan

spesifisitas 73% dalam mendeteksi acute myocardial infarction.

Penyakit paru seperti PPOK, asma, dan pneumonia dapat memicu terjadinya

gagal napas dan henti jantung. Ketika henti jantung yang disebabkan gagal napas,

fisiologi respiratori dapat memburuk setelah ROSC. Redistribusi darah ke dalam

pembuluh darah paru dapat memicu terjadinya edema dan meningkatkan gradien

oksigen antara alveolar dan arteri setelah henti jantung. Sepsis merupakan salah satu

penyebab henti jantung, acute respiratory distress syndrome, dan kegagalan multi

organ. Dengan demikian, pasien pasca henti jantung dengan sepsis memiliki

kecenderungan untuk mengalami eksaserbasi sindrom pasca henti jantung. Kegagalan

multipel organ akibat sepsis merupakan penyebab tersering kematian pasien pasca

henti jantung selama perawatan di rumah sakit. Hal ini menandakan tingginya risiko

infeksi selama perawatan pasca henti jantung. Faktor presipitasi lain yang

menyebabkan henti jantung mungkin membutuhkan penanganan khusus selama

perawatan pasca henti jantung misalnya akibat overdosis dan intoksikasi yang

membutuhkan antidot atau kondisi hipotermia yang membutuhkan kontrol temperatur.

Tingginya angka morbiditas dan mortalitas pasien pasca henti jantung

mendorong untuk dilakukan perawatan secara menyeluruh terhadap pasien pasca henti

jantung. Dengan perawatan pasca henti jantung yang sistematis dan menyeluruh dapat

meningkatkan angka harapan hidup pasien dengan kualitas hidup yang baik.

Perawatan pasien pasca henti jantung memiliki tujuan inisial dan tujuan

lanjutan, antara lain:

9
Tujuan inisial:

a. Mengoptimalkan fungsi kardiopulmoner dan perfusi organ vital

b. Transportasi pasien henti jantung ke rumah sakit yang memiliki sistem fasilitas

perawatan pasca henti jantung yang komprehensif yang terdiri dari intervensi

koroner akut, perawatan neurologi, goal-directed critical care, dan hipotermia

c. Transpor pasien henti jantung yang terjadi di rumah sakit ke critical care unit yang

mampu memberikan perawatan pasien pasca henti jantung secara komprehensif.

d. Melakukan identifikasi dan tatalaksana penyebab henti jantung dan mencegah

terjadinya henti jantung berulang

Tujuan lanjutan:

a. Mengontrol suhu tubuh untuk mengoptimalkan keberlangsungan hidup da

pemulihan neurologis

b. Mengidentifikasi dan tatalaksana sindrom koroner akut

c. Mengoptimalkan ventilasi mekanik untuk minimalisasi cedera paru

d. Menurunkan risiko cedera multiorgan dan menyokong fungsi organ jika

dibutuhkan

e. Membantu pasien dengan pelayanan rehabilitas saat dibutuhkan

10
Algoritma Perawatan Pasien Pasca Henti Jantung

Segera setelah ROSC, penolong harus menjaga patensi jalan napas dan pastikan

bantuan pernapasan yang adekuat bagi pasien. Pasien pasca henti jantung yang

kesadarannya masih belum pulih dengan sempurna mungkin membutuhkan tatalaksana

jalan napas lanjutan untuk memberikan bantuan pernapasan secara mekanik seperti

pemakaian endotracheal tube. Namun beberapa manuver sederhana dapat

dipertimbangkan untuk dilakukan seperti melepaskan dasi dari leher pasien, elevasi

kepala sebesar 300 untuk mencegah terjadinya edema otak, aspirasi, dan pneumonia

akibat penggunaan ventilator. Pemasangan alat bantu jalan napas yang benar. Serta

pemantauan CO2 dan O2 dengan menggunakan caphnograph dan pulse oximetry.

11
Pada awal tindakan resusitasi, penolong dapat memberikan oksigen 100%

namun pemberian oksigen harus diturunkan secara perlahan sampai mencapai kadar

oksigen terendah yang diperlukan pasien yang masih memberikan saturasi oksigen

sebesar ≥ 94%. Hal ini dilakukan untuk mencegah keracunan oksigen. Penurunan kadar

oksigen ini dapat dilakukan ketika pasien mencapai rumah sakit dan mendapat

perawatan yang adekuat. Selain itu juga harus dihindari pemberian ventilasi yang

berlebihan untuk mencegah hiperventilasi karena tekanan intratorakal dapat meningkat

pada kondisi hiperventilasi dan dapat menurunkan curah jantung. Hiperventilasi dapat

meicu penurunan PaCO2 sehingga aliran darah ke otak dapat berkurang. Ventilasi

dimulai dengan 10-12 kali per menit sampai PETCO2 mencapai 35-40 mmHg atau

PaCO2 sebesar 40-45 mmHg.

Pemantauan tanda vital dan aritmia harus dilakukan selama perawatan pasca

henti jantung segera setelah ROSC sampai kondisi pasien stabil. Pemasangan akses

intravena harus dilakukan sejak resusitasi. Bolus cairan dapat diberikan apabila pasien

mengalami hipotensi. Pemberian obat vasoaktif mungkin diperlukan dan harus

diturunkan sampai mencapai tekanan darah sistolik ≥ 90 mmHg atau tekanan arteri

rata-rata ≥ 5 mmHg. Pada pasien yang tidak dapat mengikuti perintah verbal setelah

ROSC, dapat dipertimbangkan terapi hipotermia untuk meningkatkan pemulihan

neurologikal. Terapi hipotermia dilakukan dengan pemberian infus cairan dingin.

Pemantauan EKG 12 lead diperlukan untuk mendeteksi elevasi segmen ST karena

kebanyakan henti jantung disebabkan oleh acute myocardial infarction. Apabila pasien

12
memiliki kecurigaan ke arah acute myocardial infarction, aktivasi protokol tatalaksana

AMI dan lakukan reperfusi koroner.

Selanjutnya tindakan yang paling utama adalah mengidentifikasi penyebab

henti jantung. Evaluasi menyeluruh diperlukan untuk mencegah terjadinya henti

jantung berulang atau kondisi yang memperberat pasien pasca henti jantung seperti

hipovolemi, hipoksia, asidosis, hiper/hipokalemi, hipotermia, toksin, tamponade,

tension pneumotoraks, dan trombosis koroner atau paru.

2.3 Optimasi Hemodinamik

Optimasi hemodinamik atau early goal-directed therapy (EGDT) bertujuan

untuk menjaga keseimbangan antara pengantaran oksigen dan kebutuhan jaringan akan

oksigen. Pengelolaan hemodinamik mengutamakan optimasi preload, konsentrasi

oksigen dalam arteri, afterload, kontraktilitas, dan penggunaan oksigen sistemik.

Target EGDT mencakup CVP sebesar 8-12 mmHg, MAP antara 65-90 mmHg, ScvO2

> 70%, hematokrit > 30% atau hemoglobin > 8 g/dL, laktat ≤ 2 mmol/L, urine output

≥ 0.5 ml/kg/jam, dan oxygen delivery index > 600 ml/menit/m2. Target ini dapat

dicapai melalui pemberian cairan intravena, inotrop, vasopresor, dan transfusi darah.

Hilangnya autoregulasi tekanan serebrovaskular membuat perfusi serebral

bergantung pada cerebral perfusion presure (CPP). Pada keadaan pasca henti jantung,

peningkatan intra kranial jarang terjadi sehingga CPP bergantung pada MAP. Perfusi

serebral yang adekuat dapat dicapai ketika nilai MAP berkisar antara 90-100 mmHg.

Saturasi oksigen vena sentral (ScvO2), urine output, dan laktat menunjukkan

13
kecukupan pasokan oksigen ke jaringan. Target urine output pada pasien pasca henti

jantung ≥0.5 ml/kg/jam. Pengeluran urin yang > 1 ml/kg/jam dapat terjadi pada pasien

yang menjalani terapi hipotermia dan produksi urin ini seringkali bertumpang tindih

dengan adanya kondisi acute atau chronic renal insufficiency. Konsentrasi laktat dapat

meningkat segera setelah ROSC akibat iskemik di seluruh tubuh ketika henti jantung.

Nilai CPV yang optimal berkisar antara 8-12 mmHg namun perlu diperhatikan

penyebab persisten henti jantung yang dapat meningkatkan CVP seperti

tamponade, acute myocardial infarction, emboli pulmoner, dan tension pneumotoraks.

Pada pasien pasca henti jantung biasanya mengalami penurunan volume intravaskular

sehingga dibutuhkan pemberian cairan dapat berupa kristaloid maupun koloid.

2.4 Oksigenasi

Kondisi hiperoksia selama tahap awal reperfusi dapat menyebabkan stres

oksidatif yang berlebihan. Pada 1 jam pertama setelah ROSC, pemberian oksigen 100%

justru akan memperberat kondisi neuron dibandingkan fraksi oksigen yang telah

disesuaikan untuk menghasilkan saturasi oksigen 94-96%. Sehingga pemberian

oksigen harus diturunkan secara perlahan sampai mencapai kadar oksigen terendah

yang diperlukan pasien yang masih memberikan saturasi oksigen sebesar ≥ 94%.

2.5 Ventilasi

Selama perawatan pasca henti jantung sebaiknya hindari kondisi hiperventilasi

maupun hipoventilasi. Hiperventilasi akan menyebabkan vasokonstriksi serebral

14
sehingga berpotensi terjadi iskemik. Hiperventilasi jga akan meningkatkan tekanan

intratoraks yang akan menurunakan cardiac output. Pada kondisi hipoventilasi,

hipoksia dan hiperkarbia dapat meningkatkan ICP segera setelah ROSC. Selama

ventilasi mekanik, volum tidal yang direkomendasikan sebesar 6 ml/kgBB dan plateau

pressure sebesar ≤ 30 cmH2O. Volume tidal yang berlebihan dapat menyebabkan

barotrauma maupun volutrauma.

2.6 Sirkulasi

Hemodinamik yang tidak stabil sering terjadi pada pasien pasca henti jantung

ditandai dengan disritmia, hipotensi, cardiac index yang rendah. Hal ini disebabkan

karena terjadi deplesi volume intravaskular, terganggunya vasoregulation, dan

disfungsi miokardial. Disritmia dapat ditatalaksana dengan kontrol konsentrasi

elektrolit. Tidak dibutuhkan obat profilaksis yang diperlukan untuk mencegah

terjadinya aritmia setelah henti jantung. Disritmia biasanya terjadi akibat iskemik

miokardial. Pemberian cairan intravena dapat digunakan untuk tata laksana hipotensi,

bertujuan untuk optimasi right-heart filling pressure. Pada sebuah studi, 3.5-6.5 L

kristaloid intravena dibutuhkan selama 24 jam pertama setelah ROSC untuk

mempertahnkan tekanan atrium kanan sebesar 8-12 mmHg.

Pemeberian inotrop dan vasopresor dapat dipertimbangkan jika target

hemodinamik tidak tercapai dengan optimasi preload. Disfungsi miokardial bersifat

reversibel dengan pemberian inotrop tetapi tingkat keparahan dan durasi disfungsi

miokardial juga berpengaruh pada keberlangsungan hidup. Terganggunya

15
vasoregulation juga bersifat reversibel dengan penggunaan vasopresor. Jika ekspansi

volume dan penggunaan obat vasoaktif dan inotropik tetap tidak memberikan perfusi

organ yang adekuat, dapat digunakan intra-aortic ballon pump (IABP) namun alat ini

tidak dianjurkan dilakukan secara rutin.

2.7 Perfusi Serebral

Pemantauan tanda vital pasien pasca henti jantung harus dilakukan secara

berkala karena dapat terjadi perubahan hemodinamik yang tidak stabil. Kondisi

hipotensi sering terjadi pasca henti jantung akibat deplesi deplesi volume intravaskular.

Kondisi ini dapat memperberat iskemik serebral. Penurunan perfusi serebral ini terjadi

akibat disfungsi sistem mikrovaskular dan gangguan autoregulasi pasca henti jantung.

Perfusi serebral dipengaruhi cerebral perfusion presure (CPP) dimana CPP=MAP-ICP.

Pada kondisi henti jantung biasanya ICP tidak meningkat sehingga CPP bergantung

pada MAP. Dengan demikian perfusi serebral dapat dipertahankan dengan

mempertahankan MAP.

2.8 Vasopresor

Obat vasoaktif diberikan pada pasien pasca henti jantung dengan tujuan

meningkatkan cardiac ooutput terutama untuk meningkatkan aliran darah ke jantung

dan otak. Obat dapat bersifat meningkatkan frekuensi nadi (kronotropik),

meningkatkan kontraktilitas (inotropik), meningkatkan tekanan arteri (vasokonstriksi),

atau yang bertujan untuk menurunkan afterload (vasodilator). Kebanyakan obat

16
adrenergik tidak bersifat selektif sehingga seringkali terjadi ketidakseimbangan antara

pasokan oksigen dan kebutuhan oksigen di jaringan.

Pasca henti jantung, pasien seringkali mengalami ketidakstabilan

hemodinamik. Kematian akibat kegagalan multiorgan berkaitan dengan rendahnya

curah jantung selama 24 jam setelah resusitasi. Vasodilatasi yang terjadi akibat

hilangnya tonus simpatetik dan akibat asidosis metabolik. Iskemik dan defibrilasi ikut

memengaruhi terjadinya disfungsi miokardial yang dapat pulih dengan pemberian obat

vasoaktif. Target ideal tekanan darah dan oksigenasi dengan pemberian obat vasoaktif

dapat dilihat dari MAP ≥65 mmHg dan ScvO2 ≥70%.

2.9 Pengendalian Kadar Gula Darah

Kelainan metabolisme tubuh pasca henti jantung seperti kondisi hiperglikemik

dapat memperburuk kondisi pasien. Kadar glukosa yang tinggi dapat meningkatkan

mortalitas dan memiliki efek yang buruk terhadap sistem saraf. Kadar gula darah pasca

henti jantung yang optimal belum diketahui dengan pasti. Namun kadar gula darah

sebaiknya dipertahankan sebesar 144-180 mg/dL. Kondisi hipoglikemia juga harus

dihindari karena dapat memperburuk kondisi pasien.

2.10 Pengendalian Kejang

Kejang terjadi pada 5-20% pasien setelah ROSC. Kejang dapat meningkatkan

metabolisme serebral sebanyak 3 kali normal dan memperberat cedera otak sehingga

harus mendapatkan terapi secepatnya. Obat yang dapat digunakan sebagai terapi adalah

17
benzodiazepines, phenytoin, sodium valproate, propofol, dan barbiturat.

Thiopental kurang efektif untuk kejang pasca henti jantung. Phenytoin biasanya tidak

efektif terhadap mioklonik. Clonazepam merupakan obat antimioklonik yang palling

efektif. Namun sodium valproat dan levetiracetam juga efektif untuk mioklonik.

18
BAB III

KESIMPULAN

1. Keberhasilan resusitasi jantung paru ditandai dengan ROSC (Return Of

Spontaneous Circulation) kembalinya aktivitas jantung yang disertai dengan

perfusi jaringan dan usaha pernafasan yang signifikan setelah henti jantung.

2. Segera setelah ROSC, penolong harus menjaga patensi jalan napas dan pastikan

bantuan pernapasan yang adekuat bagi pasien.

3. Tindakan yang paling utama adalah mengidentifikasi penyebab henti jantung.

Evaluasi menyeluruh diperlukan untuk mencegah terjadinya henti jantung berulang

atau kondisi yang memperberat pasien pasca henti jantung seperti hipovolemi,

hipoksia, asidosis, hiper/hipokalemi, hipotermia, toksin, tamponade, tension

pneumotoraks, dan trombosis koroner atau paru.

19
DAFTAR PUSTAKA

Sherwood, Lauralee. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem; alih bahasa, Brahm U.

Pendit ; editor edisi bahasa Indonesia, Nella Yesdelita. Ed 6. Jakarta: EGC, 2011.

Neumar RW, Nolan JP, Adrie C, Aibiki M, Berg RA, Bottiger BW, et al. Post-Cardiac

Arrest Syndrome. Journal of The American Hearth Association. Circulation.

2008;118:2452-2483

Peberdy MA, Callaway CW, Neumar RW, Geocadin RG, Zimmerman JL, Donnino M,

et al. Post Cardiac Arrest Care. Journal of The American Hearth

Association. Circulation. 2010;122;S768-S786

Nolan Jerry P. Resuscitation Guidelines. Resuscitation Council (UK). Tavistock House

North. London. 2010

Alkatiri J (2007). Resusitasi Kardio Pulmoner dalam Sudoyo W. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Jakarta: FKUI

20

Anda mungkin juga menyukai