Oleh :
Kasdianto Bantun
11120182081
Pembimbing :
dr. Wisudawan, Sp.JP, FIHA
PENDAHULUAN
kehidupan pada saat penderita mengalami keadaan yang mengancam nyawa. Bila
usaha bantuan hidup ini dilakukan tanpa memakai obat, cairan intravena ataupun
kejutan listrik maka dikenal sebagai bantuan hidup dasar (Basic Life Support).
nyawa, sehingga harus secepatnya dilakukan. Resusitasi jantung paru terdiri dari dua
tahap, survei primer dapat dilakukan oleh semua orang dan survei sekunder yang hanya
dapat dilakukan oleh tenaga medis dan paramedic terlatih dan merupakan lanjutan dari
survey primer.
jaringan dan usaha pernafasan yang signifikan setelah henti jantung. Setelah ROSC,
meningkatkan morbiditas dan mortalitas akibat terjadinya kegagalan multi organ dan
cedera otak.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
dibentuk oleh organ-organ muscular, apex dan basis cordis, atrium kanan dan kiri serta
ventrikel kanan dan kiri. Jantung memiliki bentuk jantung cenderung berkerucut
tumpul. Ukuran jantung kira-kira panjang 12 cm, lebar 8-9 cm seta tebal kira-kira 6
cm. Berat jantung sekitar 7-15 ons atau 200 sampai 425 gram dan sedikit lebih besar
dari kepalan tangan pemiliknya. Setiap harinya jantung berdetak 100.000 kali dan
dalam masa periode itu jantung memompa 2000 galon darah atau setara dengan 7.571
Posisi jantung terletak diantar kedua paru dan berada ditengah tengah dada,
xiphoideus, terlindungi oleh tulang rusuk. Pada tepi kanan cranial berada pada tepi
cranialis pars cartilaginis costa III dextra, 1 cm dari tepi lateral sternum. Pada tepi
kanan caudal berada pada tepi cranialis pars cartilaginis costa VI dextra, 1 cm dari tepi
lateral sternum tepi kiri cranial jantung berada pada tepi caudal pars cartilaginis costa
II sinistra di tepi lateral sternum, tepi kiri caudal berada pada ruang intercostalis 5, kira-
2
Anatomi Thoraks
lapisan fibrosa dan serosa, dalam cavum pericardii berisi 50 cc yang berfungsi sebagai
pelumas agar tidak ada gesekan antara pericardium dan epicardium. Epicardium adalah
lapisan paling luar dari jantung, lapisan berikutnya adalah lapisan miokardium dimana
lapisan ini adalah lapisan yang paling tebal. Miokardium merupakan lapisan otot
jantung yang berperan penting dalam memompa darah melalui pembuluh arteri.
Ada 4 ruangan dalam jantung dimana dua dari ruang itu disebut atrium dan
sisanya adalah ventrikel. Pada orang awan atrium dikenal dengan serambi dan ventrikel
dikenal dengan bilik. Keempat rongga tersebut terbagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian
kanan dan kiri yang dipisahkan oleh dinding otot yang dikenal dengan istilah septum.
Sesuai dengan etimologis, jantung pada dunia medis memiliki istilah cardio yang
3
Dimana cor dalam bahasa latin memiliki arti : sebuah rongga. Sebagaimana
bentuk dari jantung yang memiliki rongga berotot yang memompa darah lewat
pembuluh darah dalam kontraksi berirama yang berulang dan berkonsistensi. Pun,
dalam kedokteran istilah cardiac memiliki makna segala sesuatu yang berhubungan
dengan jantung. Dalam bahasa Yunani, cardia sendiri digunakan untuk istilah jantung
(Sherwood, 2011).
a. Pericardium
4
b. Katup Jantung
Ada 4 tipe katup jantung yang mengatur aliran darah dalam jantung,
yaitu:
1. Katup trikuspid: mengatur aliran darah antara atrium kanan dan ventrikel kanan
3. Katup mitral membiarkan darah kaya oksigen dari paru yang masuk ke atrium
4. Katup aorta memberikan jalan bagi darah yang kaya oksigen dari ventrikel kiri
ke aorta, arteri terbesar tubuh yang nantinya akan dikirim ke seluruh tubuh
(Sherwood, 2011).
c. Sistem Konduksi
5
Impuls elektris dari otot jantung (myocardium) menyebabkan jantung
berkontraksi. Sinyal elektrik ini dimulai di nodus SA, lokasinya pada puncak
atrium kanan. Nodus SA sering disebut ‘pacu jantung alami’. Katika impuls
mengirimkan impuls elektrik dengan laju tertentu, tapi frekuensi detak jantung
masih dapat berubah tergantung pada kebutuhan fisik, stress atau faktor
jantung. Cedera otak menyumbang 68% penyebab kematian pasien pasca henti jantung
setelah keluar rumah sakit, sedangkan kematian pasien pasca henti jantung selama
perawatan di rumah sakit berkisar 23%. Hal ini terjadi karena otak memiliki
keterbatasan toleransi terhadap iskemik dan respon otak terhadap reperfusi. Beberapa
jam sampai beberapa hari setelah ROSC, akan terjadi berbagai perubahan homeostasis
kaskade protease yang patologis, dan aktivasi sinyal apoptosis maupun nekrosis neuron
sehingga terjadi cedera otak. Sel saraf dapat berdegenerasi pada periode ini.
Mikrosirkulasi otak juga dapat terganggu akibat henti jantung yang lama walaupun
tekanan perfusi ke otak mencukupi. Hal ini kemungkinan terjadi akibat trombosis saat
6
terjadi henti jantung. Trombosis ini dapat menyebabkan terhentinya aliran darah ke
namun pada beberapa menit pertama tekanan perfusi yang tinggi ini dapat
menyebabkan edema otak. Setelah ROSC, proses pengiriman oksigen masih dapat
terganggu. Hal ini dapat terjadi pada kondisi hipotensi, hipoksemia, terganggunya
autoregulasi aliran darah serebral, dan edema otak. Cedera otak juga dipengaruhi oleh
kondisi pireksia, hiperglikemi, dan kejang. Pada pasien dengan suhu lebih dari 390 C
pada 72 jam pasca ROSC akan meningkatkan risiko kematian otak. Peningkatan gula
darah diketahui dapat memperberat iskemik di otak. Kondisi ini dapat ditangani dengan
pemberian insulin. Kejang pasca henti jantung berkaitan dengan prognosis pasien.
Kejang yang terjadi kemungkinan terjadi akibat cedera otak pasca henti jantung.
rendahnya angka harapan hidup pasien. Nsmun demikian, kondisi ini dapat bersifat
reversibel jika ditatalaksana dengan cepat dan adekuat. Disfungsi miokardial dapat
dideteksi dengan pemeriksaan fraksi ejeksi. Fraksi ejeksi akan menurun dari 55%
sampai 20%, dan end-diastolic pressure meningkat dari 8-10 mmHg sampai 20-22
mmHg selama 30 menit pertama setelah ROSC. Disfungsi miokardial harus cepat
dideteksi dengan melihat cardiac output yang rendah (<2.2 L/menit/m2), takikardia,
Masa pemulihan dapat terjadi selama 1-2 hari setelah ROSC dengan tatalaksana yang
7
adekuat. Fraksi ejeksi secara bertahap akan meningkat selama beberapa minggu hingga
bulan.
Pada saat terjadi henti jantung, pengiriman oksigen ke jaringan akan berhenti
jantung paru hanya dapat mengembalikan sebagian dari proses ini sehingga saturasi
oksigen akan menurun dari normal. Pengiriman oksigen ke jaringan dapat tetap
terganggu walaupun setelah terjadi ROSC. Hal ini disebabkan oleh disfungsi
miokardial, hemodinamik yang tidak stabil, dan kegagalan mikrosirkulasi. Jika asupan
berikutnya. Gejala klinis yang dapat terjadi akibat iskemik sistemik/respon reperfusi
patologi yang menyebabkan henti jantung itu sendiri sehingga sangat sulit untuk
henti jantung dapat berupa acute coronary syndrom (ACS), penyakit paru, perdarahan,
sepsis. Sebesar 48% pasien pasca henti jantung setelah ROSC, diketahui
mengalami acute coronary occlusion dan sebesar 22.5% pasien dengan acute coronary
occlusion tidak mengalami nyeri dada atapun elevasi segmen ST. Peningkatan nilai
troponin T akibat ACS yang terdeteksi selama tata laksana henti jantung dapat menjadi
pendeteksi terjadinya ACS setelah ROSC. Sensitivitas troponin T dapat mencapai 96%
dengan spesifisitas sebesar 80% untuk mendeteksi acute myocardial infarction yang
8
terjadi setelah ROSC. Creatine kinase MB memiliki sensitivitas sebesar 96% dan
Penyakit paru seperti PPOK, asma, dan pneumonia dapat memicu terjadinya
gagal napas dan henti jantung. Ketika henti jantung yang disebabkan gagal napas,
pembuluh darah paru dapat memicu terjadinya edema dan meningkatkan gradien
oksigen antara alveolar dan arteri setelah henti jantung. Sepsis merupakan salah satu
penyebab henti jantung, acute respiratory distress syndrome, dan kegagalan multi
organ. Dengan demikian, pasien pasca henti jantung dengan sepsis memiliki
multipel organ akibat sepsis merupakan penyebab tersering kematian pasien pasca
henti jantung selama perawatan di rumah sakit. Hal ini menandakan tingginya risiko
infeksi selama perawatan pasca henti jantung. Faktor presipitasi lain yang
perawatan pasca henti jantung misalnya akibat overdosis dan intoksikasi yang
mendorong untuk dilakukan perawatan secara menyeluruh terhadap pasien pasca henti
jantung. Dengan perawatan pasca henti jantung yang sistematis dan menyeluruh dapat
meningkatkan angka harapan hidup pasien dengan kualitas hidup yang baik.
Perawatan pasien pasca henti jantung memiliki tujuan inisial dan tujuan
9
Tujuan inisial:
b. Transportasi pasien henti jantung ke rumah sakit yang memiliki sistem fasilitas
perawatan pasca henti jantung yang komprehensif yang terdiri dari intervensi
c. Transpor pasien henti jantung yang terjadi di rumah sakit ke critical care unit yang
Tujuan lanjutan:
pemulihan neurologis
dibutuhkan
10
Algoritma Perawatan Pasien Pasca Henti Jantung
Segera setelah ROSC, penolong harus menjaga patensi jalan napas dan pastikan
bantuan pernapasan yang adekuat bagi pasien. Pasien pasca henti jantung yang
jalan napas lanjutan untuk memberikan bantuan pernapasan secara mekanik seperti
dipertimbangkan untuk dilakukan seperti melepaskan dasi dari leher pasien, elevasi
kepala sebesar 300 untuk mencegah terjadinya edema otak, aspirasi, dan pneumonia
akibat penggunaan ventilator. Pemasangan alat bantu jalan napas yang benar. Serta
11
Pada awal tindakan resusitasi, penolong dapat memberikan oksigen 100%
namun pemberian oksigen harus diturunkan secara perlahan sampai mencapai kadar
oksigen terendah yang diperlukan pasien yang masih memberikan saturasi oksigen
sebesar ≥ 94%. Hal ini dilakukan untuk mencegah keracunan oksigen. Penurunan kadar
oksigen ini dapat dilakukan ketika pasien mencapai rumah sakit dan mendapat
perawatan yang adekuat. Selain itu juga harus dihindari pemberian ventilasi yang
pada kondisi hiperventilasi dan dapat menurunkan curah jantung. Hiperventilasi dapat
meicu penurunan PaCO2 sehingga aliran darah ke otak dapat berkurang. Ventilasi
dimulai dengan 10-12 kali per menit sampai PETCO2 mencapai 35-40 mmHg atau
Pemantauan tanda vital dan aritmia harus dilakukan selama perawatan pasca
henti jantung segera setelah ROSC sampai kondisi pasien stabil. Pemasangan akses
intravena harus dilakukan sejak resusitasi. Bolus cairan dapat diberikan apabila pasien
diturunkan sampai mencapai tekanan darah sistolik ≥ 90 mmHg atau tekanan arteri
rata-rata ≥ 5 mmHg. Pada pasien yang tidak dapat mengikuti perintah verbal setelah
kebanyakan henti jantung disebabkan oleh acute myocardial infarction. Apabila pasien
12
memiliki kecurigaan ke arah acute myocardial infarction, aktivasi protokol tatalaksana
jantung berulang atau kondisi yang memperberat pasien pasca henti jantung seperti
untuk menjaga keseimbangan antara pengantaran oksigen dan kebutuhan jaringan akan
Target EGDT mencakup CVP sebesar 8-12 mmHg, MAP antara 65-90 mmHg, ScvO2
> 70%, hematokrit > 30% atau hemoglobin > 8 g/dL, laktat ≤ 2 mmol/L, urine output
≥ 0.5 ml/kg/jam, dan oxygen delivery index > 600 ml/menit/m2. Target ini dapat
dicapai melalui pemberian cairan intravena, inotrop, vasopresor, dan transfusi darah.
bergantung pada cerebral perfusion presure (CPP). Pada keadaan pasca henti jantung,
peningkatan intra kranial jarang terjadi sehingga CPP bergantung pada MAP. Perfusi
serebral yang adekuat dapat dicapai ketika nilai MAP berkisar antara 90-100 mmHg.
Saturasi oksigen vena sentral (ScvO2), urine output, dan laktat menunjukkan
13
kecukupan pasokan oksigen ke jaringan. Target urine output pada pasien pasca henti
jantung ≥0.5 ml/kg/jam. Pengeluran urin yang > 1 ml/kg/jam dapat terjadi pada pasien
yang menjalani terapi hipotermia dan produksi urin ini seringkali bertumpang tindih
dengan adanya kondisi acute atau chronic renal insufficiency. Konsentrasi laktat dapat
meningkat segera setelah ROSC akibat iskemik di seluruh tubuh ketika henti jantung.
Nilai CPV yang optimal berkisar antara 8-12 mmHg namun perlu diperhatikan
Pada pasien pasca henti jantung biasanya mengalami penurunan volume intravaskular
2.4 Oksigenasi
oksidatif yang berlebihan. Pada 1 jam pertama setelah ROSC, pemberian oksigen 100%
justru akan memperberat kondisi neuron dibandingkan fraksi oksigen yang telah
oksigen harus diturunkan secara perlahan sampai mencapai kadar oksigen terendah
yang diperlukan pasien yang masih memberikan saturasi oksigen sebesar ≥ 94%.
2.5 Ventilasi
14
sehingga berpotensi terjadi iskemik. Hiperventilasi jga akan meningkatkan tekanan
hipoksia dan hiperkarbia dapat meningkatkan ICP segera setelah ROSC. Selama
ventilasi mekanik, volum tidal yang direkomendasikan sebesar 6 ml/kgBB dan plateau
2.6 Sirkulasi
Hemodinamik yang tidak stabil sering terjadi pada pasien pasca henti jantung
ditandai dengan disritmia, hipotensi, cardiac index yang rendah. Hal ini disebabkan
terjadinya aritmia setelah henti jantung. Disritmia biasanya terjadi akibat iskemik
miokardial. Pemberian cairan intravena dapat digunakan untuk tata laksana hipotensi,
bertujuan untuk optimasi right-heart filling pressure. Pada sebuah studi, 3.5-6.5 L
reversibel dengan pemberian inotrop tetapi tingkat keparahan dan durasi disfungsi
15
vasoregulation juga bersifat reversibel dengan penggunaan vasopresor. Jika ekspansi
volume dan penggunaan obat vasoaktif dan inotropik tetap tidak memberikan perfusi
organ yang adekuat, dapat digunakan intra-aortic ballon pump (IABP) namun alat ini
Pemantauan tanda vital pasien pasca henti jantung harus dilakukan secara
berkala karena dapat terjadi perubahan hemodinamik yang tidak stabil. Kondisi
hipotensi sering terjadi pasca henti jantung akibat deplesi deplesi volume intravaskular.
Kondisi ini dapat memperberat iskemik serebral. Penurunan perfusi serebral ini terjadi
akibat disfungsi sistem mikrovaskular dan gangguan autoregulasi pasca henti jantung.
Pada kondisi henti jantung biasanya ICP tidak meningkat sehingga CPP bergantung
mempertahankan MAP.
2.8 Vasopresor
Obat vasoaktif diberikan pada pasien pasca henti jantung dengan tujuan
16
adrenergik tidak bersifat selektif sehingga seringkali terjadi ketidakseimbangan antara
curah jantung selama 24 jam setelah resusitasi. Vasodilatasi yang terjadi akibat
hilangnya tonus simpatetik dan akibat asidosis metabolik. Iskemik dan defibrilasi ikut
memengaruhi terjadinya disfungsi miokardial yang dapat pulih dengan pemberian obat
vasoaktif. Target ideal tekanan darah dan oksigenasi dengan pemberian obat vasoaktif
dapat memperburuk kondisi pasien. Kadar glukosa yang tinggi dapat meningkatkan
mortalitas dan memiliki efek yang buruk terhadap sistem saraf. Kadar gula darah pasca
henti jantung yang optimal belum diketahui dengan pasti. Namun kadar gula darah
Kejang terjadi pada 5-20% pasien setelah ROSC. Kejang dapat meningkatkan
metabolisme serebral sebanyak 3 kali normal dan memperberat cedera otak sehingga
harus mendapatkan terapi secepatnya. Obat yang dapat digunakan sebagai terapi adalah
17
benzodiazepines, phenytoin, sodium valproate, propofol, dan barbiturat.
Thiopental kurang efektif untuk kejang pasca henti jantung. Phenytoin biasanya tidak
efektif. Namun sodium valproat dan levetiracetam juga efektif untuk mioklonik.
18
BAB III
KESIMPULAN
perfusi jaringan dan usaha pernafasan yang signifikan setelah henti jantung.
2. Segera setelah ROSC, penolong harus menjaga patensi jalan napas dan pastikan
atau kondisi yang memperberat pasien pasca henti jantung seperti hipovolemi,
19
DAFTAR PUSTAKA
Sherwood, Lauralee. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem; alih bahasa, Brahm U.
Pendit ; editor edisi bahasa Indonesia, Nella Yesdelita. Ed 6. Jakarta: EGC, 2011.
Neumar RW, Nolan JP, Adrie C, Aibiki M, Berg RA, Bottiger BW, et al. Post-Cardiac
2008;118:2452-2483
Peberdy MA, Callaway CW, Neumar RW, Geocadin RG, Zimmerman JL, Donnino M,
Alkatiri J (2007). Resusitasi Kardio Pulmoner dalam Sudoyo W. Buku Ajar Ilmu
20