PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Apendisitis merupakan suatu inflamasi akut pada apendiks vermiforis yang sering dikaitkan
dengan obstruksi dan dapat terjadi komplikasi akibat infeksi bakteri (Sifri & Madoff, 2015).
Apendisitis dapat terjadi karena peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing
(apendiks). Usus buntu sebenarnya adalah sekum (caecum). Infeksi ini bisa mengakibatkan
peradangan akut sehingga memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi
Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO)
mengatakam klien yang menderita apendisitis didunia sebanyak 1,1 juta kasus setiap 1.000
orang pertahun, angka mortalitas akibat apendiksitis adalah 21.000 jiwa, di mana populasi
laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Angka mortalitas apendiksitis sekitar 12.000
jiwa pada laki-laki dan sekitar 10.000 jiwa pada perempuan (WHO, 2017).
Insidensi apendiktomi di Indonesia menempati urutan ke 2 dari 193 negara diantara kasus
kegawatan abdomen lainnya dan apendisitis akut menempati urutan ke 4 penyakit terbanyak
di Indonesia setelah dispepsia, gastritis dan duodenitis, dan penyakit sistim cerna lain dengan
jumlah pasien rawat inap sebanyak 28.040 (Depkes RI, 2018). Kasus apendisitis pada
tahun 2016 sebanyak 65.755 orang dan pada tahun 2017 jumlah pasien apendisitis sebanyak
Berdasarkan prevalensi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Sumatera
Utara pada tahun 2017 menunjukkan peningkatan prevalensi peritonitis pada pasien
apendiksitis periode 2017 adalah 628 orang, peritonitis generalisata sebanyak 618 orang.
Laki-laki 656 orang lebih banyak menderita peritonitis akibat apendiksitis dibandingkan
perempuan 344 orang. Kelompok usia tersering menderita peritonitis akibat apendisitis
Apendisitis menjadi salah satu kegawatdaruratan abdominal yang paling umum terjadi.
Apabila proses peradangan yang timbul secara mendadak pada daerah apendiks maka disebut
lumen apendiks oleh hyperplasia folikel limfosit, fekalit, benda asing, struktur karena fikosis
Apendisitis memiliki potensi untuk terjadinya komplikasi parah jika tidak segera
diobati, seperti perforasi atau sepsis dan bahkan dapat menyebabkan kematian. Dalam hal
ini perlu dilakukan tindakan pembedahan sebagai terapi apendisitis, yang disebut juga
apendektomi.Tindakan bedah apendektomi merupakan salah satu contoh dari jenis luka
yaitu luka insisi dimana luka insisi merupakan hilang, rusak, atau terputusnya kontuinuitas
sebagian jaringan tubuh yang diakibatkan potongan bersih menggunakan benda tajam yang
Didalam pasca pembedahan, penanganan yang kurang baik rentan akan terjadi infeksi.
Penanganan yang baik didalam melakukan manajemen luka akan mengurangi resiko
komplikasi, dan apabila terjadi infeksi maka akan menyebabkan masa perawatan yang
lebih lama, sehingga biaya perawatan di rumah sakit menjadi lebih tinggi.
Luka adalah terputusnya kontinuitas struktur anatomi jaringan tubuh yang bervariasi mulai
dari yang paling sederhana seperti lapisan epitel dari kulit, sampai lapisan yang lebih
dalam seperti jaringan subkutis, lemak dan otot bahkan tulang beserta struktur lainnya
seperti tendon, pembuluh darah dan syaraf, sebagai akibat dari trauma atau ruda paksa
atau trauma dari luar waktu penyembuhan luka dapat ditentukan dengan membedakan dari
jenis luka akut ataupun kronis. Apendektomi yang tidak mengalami infeksi pasca
pembedahan termasuk kategori dari luka akut, secara fisiologis luka akut akan sembuh ±
0-21 hari. Akan tetapi, jika pemberian nutrisi tidak terpenuhi dengan baik maka akan
1.2 Tujuan
Untuk melakukan asuhan keperawatan Luka Akut pada pasien dengan post operasi
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan untuk menilai keadaan
TINJAUAN PUSTAKA
Kulit merupakan sistem organ yang memiliki permukaan paling luas (+ 2 m2 ) yang
melapisi seluruh bagian luar tubuh sehingga kulit berfungsi sebagai pelindung tubuh
terhadap benda asing, bahan kimia, cahaya matahari mengandung sinar ultraviolet dan
kesan umum dengan melihat perubahan yang terjadi pada kulit. Kulit dapat menjadi
adanya kelainan yang terjadi pada tubuh atau gangguan kulit karena penyakit tertentu.
Gangguan psikis juga dapat menyebabkan kelainan atau perubahan pada kulit, seperti
stres, ketakutan atau dalam keadaan marah, maka akan terjadi perubahan kulit pada
wajah. Perubahan struktur kulit dapat menentukan apakah seseorang telah lanjut usia atau
masih muda. Wanita atau pria juga dapat dibedakan melalui penampilan kulit. Warna
kulit juga dapat menentukan ras atau suku bangsa misalnya kulit hitam suku bangsa
negro, kulit kuning bangsa Mongol, kulit putih dari Eropa dan lain sebagainya.
Kulit terdiri dari tiga lapisan utama, yaitu Epidermis (lapisan bagian luar tipis), Dermis
Merupakan Lapisan paling luar yang melindungi tubuh dengan ketebalan yang
bervasiasi, dimana telapak tangan dan kaki memiliki epidermis yang paling tebal.
Epidermis terdiri atas lapisan epitel gepeng yang berisi 4 tipe sel Keratinocytes (90%)
bertugas memproduksi produksi melanin yang akan memberikan warna pada kulit, sel
cells yang memiliki tugas menangkap sensasi sentuh pada kulit (touch sense) yang
terhubung dengan ujung syaraf di lapisan dermis. Lapisan epidermis tumbuh terus
karena lapisan sel induk yang berada di lapisan bawah bermitosis (membelah) terus
menerus, sedangkan lapisan paling luar epidermis akan terkelupas atau lepas.
Epidermis dibentuk secara kuat oleh 4 sel-sel epidermis diatas dan diperkuat oleh
serat-serat kolagen dan sedikit serat elastin. Epidermis berfungsi sebagai pelindung
dan tidak terdapat pembuluh darah, sehingga jika lapisan ini terluka maka tidak akan
terlihat darah yang keluar. Epidermis terdiri atas beberapa lapisa sel. Sel-sel ini
berbeda dalam beberapa tingkat pembelahan sel secara mitosis. Lapisan permukaan
dianggap sebagai akhir keaktifan sel, lapisan tersebut terdiri atas 5 lapis, yaitu:
Lapisan ini terdiri atas banyak lapisan sel tanduk (keratinasi), gepeng, kering, dan
tidak berinti. Sitoplasmanya diisi dengan serat keratin yang berfungsi sebagai
penahan air, makin keluar letak sel makin gepeng seperti sisik lalu terkelupas dari
tubuh. Sel keratin pada stratum ini merupakan sel keratin yang sudah mati (dead
keratinocyte). Sel yang terkelupas akan digantikan oleh sel yang lain. Stratum
Lapisan ini terdiri atas beberapa lapis sel yang sangat gepeng dan bening. Membran
yang membatasi sel-sel tersebut sulit terlihat sehingga lapisannya secara keseluruhan
seperti kesatuan yang bening. Stratum lucidum mengandung cairan bening yang
Lapisan ini terdiri atas 2-3 lapis sel poligonal yang agak gepeng dengan inti di
tengah dan sitoplasmanya berisi butiran (granula) keratohialin atau gabungan keratin
dengan hialin. Lapisan ini menghalangi masuknya benda asing, kuman, dan bahan
Lapisan ini terdiri atas banyak lapisan sel berbentuk kubus dan poligonal, inti
terdapat di tengah dan sitoplasmanya berisi berkas-berkas serat yang terpaut pada
desmosom (jembatan sel). Seluruh sel terikat rapat lewat serat-serat tersebut
sehingga secara keseluruhan lapisan sel-selnya berduri. Lapisan ini untuk menahan
gesekan dan tekanan dari luar, tebal dan terdapat di daerah tubuh yang banyak
bersentuhan atau menahan beban dan tekanan seperti tumit dan pangkal telapak kaki.
Unsur-unsur lapis taju yang mempunyai susunan kimia yang khas. Inti bagian basal
lapis taju mengandung kolestrol dan asam-asam amino. Stratum basale yang disebut
juga malpighi merupakan lapisan terdalam dari epdermis yang berbatasan dengan
dermis di bawahnya dan terdiri atas selapis sel berbentuk kubus (batang). Lapisan
epidermis tidak ditemukan pembuluh darah, sehingga jika lapisan ini terluka maka
Dermis merupakan lapisan kedua dari kulit, batas dengan epidermis dilapisi oleh
membrane basalis dan di sebelah bawah berbatasan dengan subkutis tapi batas ini
tidak jelas hanya diambil sebagai patokan ialah mulainya terdapat sel lemak. Batas
dermis yang sukar ditentukan karena menyatu dengan lapisan subkutis (hipodermis),
ketebelannya antara 0,5-3 mm, beberapa kali lebih tebal dari epidermis, dan dibentuk
dari komponen jaringan pengikat. Derivat dermis terdiri atas rambut, kelenjar
minyak, kalenjar lendir, dan kelenjar keringat yang membenam jauh kedalam dermis.
Dermis terdiri atas serat-serat kolagen, dan serabut-serabut elastis, dan serabut-
serabut retikulin. Serat-serat ini bersama pembuluh darah dan pembuluh getah bening
umum lapisan dermis dapat dibagi atas 2 lapisan yaitu papilla dan retikulosa. Lapisan
papilla mengandung lekuk-lekuk papilla sehingga stratum malpigi juga ikut melekuk.
Lapisan ini mengandung lapisan pengikat longgar yang membentuk lapisan bunga
karang disebut lapisan stratum spongeosum. Lapisan papila terdiri atas serat kolagen
halus, elastin dan retikulin yang tesusun membentuk jaringan halus yang terdapat di
bawah epidermis. Lapisan ini memegang peranan penting dalam peremajaan dan
penggandaan unsur-unsur kulit. Serat retulin dermis membentuk alas dari serbut yang
tebal, dan banyak sehingga tampak berhimpitan membentuk rigi-rigi yang menonjol
di permukaan kulit ari, dan membentuk pola sidik jari tangan dan jari kaki. Setiap
papil dibentuk oleh anyaman serabut halus yang mengandung serabut elastin. Pada
bagian ini telihat lengkunglengkung kapiler dan ujung-ujung saraf perasa. Lapisan
retikulosa: lapisan retikulosa mengandung jaringan pengikat rapat dan serat kolagen.
Sebagian besar lapisan ini tersusun bergelombang, mengandung sedikit serat retkulin,
dan banyak serat elastin. Sesuai dengan arah jalan serat-serat tersebut terbentuklah
garis ketegangan kulit. Terdapat pola sulkus atau Garis Langer’s. Insisi pada Garis
menyebakan penyembuhan lebih cepat dibandingkan jika tidak searah. Bahan dasar
dermis merupakan bahan matrik amorf yang memebenam pada serat kolagen dan
elastin. Turunan kulit glikosaminoglikans utama kulit adalah asam hialuronat dan
dermatan sulfat dengan perbandingan yang beragam di berbagai tempat, bahan dasar
ini bersifat sangat hidrofilik. Lapisan ini terdiri atas anyaman jaringan ikat yang lebih
tebal dan di dalamnya ditemukan sel-sel fibrosa, sel histiosit, pembuluh darah,
pembuluh getah bening, saraf, kandung rambut kelenjar sebasea, kelenjar keringat, sel
c. Subkutan /Hipodermis
Hipodermis adalah lapisan bawah kulit (fasia superfisialis) yang terdiri atas jaringan
pengikat longgar, kompenennya serat longgar, elastis dan sel lemak. Sel-sel lemak
membentuk jaringan lemak pada lapisan adiposa yang terdapat susunan lapisan
subkutan untuk menentukan mobilitas kulit diatasnya. Bila terdapat lobulus lemak
yang merata, hipodermis membentuk bantal lemak disebut pannikulus adiposus.
Padaa daerah perut, lapisan ini dapat mencapai ketebalan tiga cm, sedangkan pada
kelopak mata, penis, dan skrotum, lapisan subkutan tidak mengandung lemak. Bagian
lapisan hipodermis terdapat anyaman pembuluh arteri, pembuluh vena, dan anyaman
saraf yang berjalan sejajar dengan permukaan kulit di bawah dermis. Lapisan ini
mempunyai ketebalan bervariasi dan mengikat kulit secara longgar terhadap jaringan
di bawahnya.
Luka merupakan kejadian yang sering kita jumpai dalam kehidupan seharihari. Luka
adalah kerusakan pada fungsi perlindungan kulit disertai hilangnya kontinuitas jaringan
epitel dengan atau tanpa adanya kerusakan pada jaringan lainnya seperti otot, tulang dan
nervus yang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: tekanan, sayatan dan luka karena
operasi (Ryan, 2014). Menurut Arisanty Luka merupakan gangguan atau kerusakan dari
Luka adalah gangguan pada struktur, fungsi dan bentuk kulit normal yang dapat
dibedakan menjadi 2 jenis menurut waktu penyembuhannya yaitu luka akut dan luka
kronis (Granic & Teot, 2012). Ketika luka timbul ada beberapa efek yang akan muncul
yaitu:
hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ. Luka merupakan kerusakan secara
Reaksi pada respon stres simpatis dikenal juga sebagai alergi terkait sistem imun
tubuh. Reaksi yang sering muncul dapat diklasifikasikan menjadi empat tipe. Tipe
satu yaitu reaksi segera atau reaksi vasoaktif substansi sel mast ataubasofil yang
diikuti dengan reaksi spesifik antigen atau antibody. Tipe dua yaitu reaksi sitotoksik
berupa reaksi merusak sel, fagositosis, dan mekanisme bula. Tipe tiga yaitu reaksi
imun kompleks berupa sirkulasi antigen atau antibodi ke jaringan inflamasi, trombosit
rusak, vasoaktif menurun, dan pemearbelitas vaskuler meningkat. Tipe empat yaitu
Luka dapat menyebabkan reaksi pendarahan dan pembekuan darah akibat respon
imun di dalam tubuh. Lesi kulit dapat terjadi karena gangguan pembuluh darah arteri
dan vena (Arisanty, 2013). Pendarahan dibedakan menjadi dua yaitu pendarahan
internal dan eksternal. Pendarahan internal ditandai dengan nyeri pada area luka,
jaringan disekitarnya, sehingga dapat menyumbat aliran darah (Treas dan Wilkinson,
2013).
4. Kontaminasi bakteri
organisme yang hidup di dalam atau di luar sel. Walaupun banyak bekteri dapat
ditolak atau bahkan dimusnahkan oleh sistem pertahanan tubuh dasar, beberapa
tubuh.
5. Kematian sel
Luka dapat menyebabkan kematian sel akibat beberapa faktor. Kerusakan sel
Luka dapat dibagi menjadi dua yaitu luka akut dan luka kronis.
1. Luka akut adalah luka yang terjadi kurang dari 5 hari dengan diikuti proses
hemostasis dan inflamasi. Luka akut sembuh atau menutup sesuai dengan waktu
penyembuhan luka fisiologis 0-21 hari (Arisanty, 2013). Luka akut juga
merupakan luka trauma yang biasanya segera mendapat penanganan dan biasanya
2. Luka kronik merupakan luka yang berlangsung lama atau sering timbul kembali
disebabkan oleh masalah multifaktor dari penderita. Luka kronik juga sering
kulit (luka) sendiri yang dikenal dengan penyembuhan luka. Penyembuhan luka dapat
dibagi ke dalam tiga fase yaitu: fase inflamasi, proliferasi, dan fase maturasi atau
remodelling.
1. Fase Inflamasi
Fase inflamasi terjadi pada awal kejadian atau saat luka terjadi (hari ke-0) hingga hari
ke-3 atau ke-5 (Arisanty, 2014). Menurut Sjamsuhidajat (2017), pembuluh darah yang
putus (retraksi), dan reaksi hemostasis. Hemostasis terjadi karena trombosit yang
keluar dari pembuluh darah saling melekat, dan bersama jala fibrin yang terbentuk,
membekukan darah yang keluar dari pembuluh darah. Setelah hemostasis, proses
koagulasi akan mengaktifkan kaskade komplemen. Dari kaskade ini akan dikeluarkan
bradikinin dan anafilatoksin C3a dan C5a yang menyebabkan vasodilatasi dan
dan gejala klinis reaksi radang semakin jelas, berupa warna kemerahan karena kapiler
melebar (rubor), rasa hangat (kalor), nyeri (dolor), dan pembengkakan (tumor).
Aktivitas seluler yang terjadi yaitu pergerakan leukosit menembus dinding pembuluh
enzim hidrolitik yang membantu mencerna bakteri dan kotoran luka. Monosit dan
limfosit yang kemudian muncul, ikut menghancurkan dan memakan kotoran luka dan
bakteri (fagositosis). Fase ini disebut juga fase lamban karena reaksi pembentukan
kolagen baru sedikit, dan luka hanya dipertautkan oleh fibrin yang amat lemah.
2. Fase Proliferasi
Terjadi mulai hari ke-2 sampai ke-24 yang terdiri atas proses destruktif (fase
dan epitelisasi (migrasi sel/penutupan) (Arisanty, 2014). Pada fase destruktif terjadi
pembersihan terhadap jaringan mati (yang mengalami devitalisasi) dan bakteri oleh
fibroblas yang melakukan sintesa struktur protein kolagen dan menghasilkan sebuah
pembuluh darah baru mulai menginfiltrasi luka. Begitu kolagen diletakkan, maka
terjadi peningkatan yang cepat pada kekuatan regangan luka (Morison, 2003). Selain
itu juga terbentuk jaringan berwarna kemerahan dengan permukaan berbenjol halus
yang disebut jaringan granulasi. Setelah tumbuh jaringan granulasi terjadi proses
epitelisasi, tepi luka yang terdiri atas sel basal terlepas dari dasarnya dan berpindah
mengisi permukaan luka. Tempatnya kemudian diisi oleh sel baru yang terbentuk dari
proses mitosis. Proses ini baru berhenti setelah epitel saling menyentuh dan menutup
dengan pembentukan jaringan granulasi juga akan berhenti dan mulailah proses
3. Fase Maturasi
Fase maturasi atau remodelling terjadi mulai hari ke-24 hingga satu atau dua tahun,
yaitu fase penguatan kulit baru. Pada fase ini terjadi proses epitelisasi, kontraksi, dan
reorganisasi jaringan ikat. Dalam setiap cidera yang mengakibatkan hilangnya kulit,
sel epitel pada pinggir luka dan dari sisa-sisa folikel rambut, serta glandula sebasea
dan glandula sudorifera, membelah dan mulai bermigrasi di atas jaringan granula
jaringan parut, yang berubah dalam penampilannya dari merah kehitaman menjadi
meningkat (Morison, 2003). Kondisi yang umum terjadi pada fase ini adalah terasa
gatal dan penonjolan epitel (keloid) pada permukaan kulit. Pada fase ini, kolagen
bekerja lebih teratur dan lebih memiliki fungsi sebagai penguat ikatan sel kulit baru,
kulit masih rentan terhadap gesekan dan tekanan sehingga memerlukan perlindungan.
Dengan memberikan kondisi lembap yang seimbang pada bekas luka dapat
melindungi dari risiko luka baru. Perlu diingat bahwa kualitas kulit baru hanya
kembali 80%, tidak sempurna seperti kulit sebelumnya atau sebelum kejadian luka
(Arisanty, 2014).
Secara fisiologis, tubuh dapat memperbaiki kerusakan jaringan kulit sendiri yang
dikenal dengan penyembuhan luka. Menurut Arisanty (2013) cara penyembuhan luka
berdasarkan tipe atau cara penyembuhannya yaitu penyembuhan luka secara primer
(primary intention), secara sekunder (secondary intention), dan secara tersier (tertiary
intention) adalah luka yang ditutup dengan cara dirapatkan kembali dengan
menggunakan alat bantu sehingga bekas luka (scar) tidak ada atau minimal
(Arisanty, 2013). Luka terjadi tanpa kehilangan banyak jaringan kulit. Luka ditutup
dengan cara dirapatkan kembali dengan menggunakan alat bantu sehingga bekas
luka(scar) tidak ada atau minimal. Proses yang terjadi adalah epitelisasi dan deposisi
jaringan ikat. Contohnya adalah luka sayatan robekan dan luka operasiyang dapat
sembuh dengan alat bantu jahitan, stapler, taoe eksternal, atau lem perekat kulit.
dan epitelisasi (penutupan epidermis) untuk menutup luka. Pada kondisi luka yang
3. Penyembuhan luka secara tersier atau delayed primary terjadi jika penyembuhan
luka secara primer mengalami infeksi atau ada benda asing sehingga
Menurut Maryunani (2015), berdasarkan ada tidaknya hubungan dengan luar luka
Luka tidak melampaui tebal kulit. Luka tanpa robekan pada kulit. Contohnya
bagian tubuh yang terpukul oleh benda tumpul, terpelincir, keseleo, daya
deselerasi ke arah tubuh (fraktur tulang, robekan pada organ dalam), luka abrasi,
Luka melampaui tebal kulit. Terlihat robekan pada kulit atau membran mukosa.
Contohnya trauma oleh benda tajam atau tumpul (insisi bedah, pungsi vena, luka
tembak).
Menurut Arisanty (2014), luka berdasarkan anatomi kulit atau kedalamannya menurut
A. Stadium 1
Luka dikatakan stadium 1 jika warna dasar luka merah dan hanya melibatkan lapisan
epidermis, epidermis masih utuh atau tanpa merusak epidermis. Epidermis hanya
penyebab), kulit melunak, dan ada rasa nyeri atau gatal. Contoh luka stadium 1 adalah
kulit yang terpapar matahari atau sunburn dan saat kita duduk pada satu posisi selama
lebih dari dua jam, kemudian ada kemerahan di gluteus (bokong), itu termasuk
stadium 1.
B. Stadium 2
Luka dikatakan stadium 2 jika warna dasar luka merah dan melibatkan lapisan
mm, namun biasanya bergantung pada lokasi luka. Bula atau blister termasuk kategori
C. Stadium 3
Luka dikatakan stadium 3 jika warna dasar luka merah dan lapisan kulit mengalami
kedalaman luka hingga 1 cm (sesuai dengan lokasi luka pada tubuh bagian mana).
Pada proses penyembuhan luka, kulit akan menumbuhkan lapisan-lapisan yang hilang
D. Stadium 4
Luka dikatakan stadium 4 jika warna dasar luka merah dan lapisan kulit mengalami
kerusakan dan kehilangan lapisan epidermis, dermis, hingga seluruh hipodermis, dan
mengenai otot dan tulang (deep full-thickness). Undermining (gua) dan sinus masuk
ke dalam stadium 4.
E. Unstageable
Luka dikatakan tidak dapat ditentukan stadiumnya (unstageable) jika warna dasar luka
kuning atau hitam dan merupakan jaringan mati (nekrosis), terutama jika jaringan
nekrosis ≥ 50% berada di dasar luka. Dasar luka yang nekrosis dapat dinilai
stadiumnya setelah ditemukan dasar luka merah (granulasi) dengan pembuluh darah
yang baik.
Menurut Arisanty (2014), luka dapat juga dibedakan berdasarkan warna dasar
luka atau penampilan klinis luka (clinical appearance). Klasifikasi ini juga dikenal
dengan sebutan RYB (Red Yellow Black – Merah Kuning Hitam) yang diperkenalkan
A. Merah (Red)
Warna dasar luka merah artinya jaringan granulasi dengan vaskularisasi yang baik
dan memiliki kecenderungan mudah berdarah. Warna dasar merah menjadi tujuan
B. Kuning (Yellow)
Warna dasar luka kuning artinya jaringan nekrosis (mati) yang lunak berbentuk
seperti nanah beku pada permukaan kulit yang sering disebut dengan slough.
Jaringan ini juga mengalami kegagalan vaskularisasi dalam tubuh dan memiliki
C. Hitam (Black)
Warna dasar luka hitam artinya jaringan nekrosis (mati) dengan kecenderungan
keras dan kering. Jaringan tidak mendapatkan vaskularisasi yang baik dari tubuh
sehingga mati. Luka dengan warna hitam berisiko mengalami deep tissue injury
atau kerusakan kulit hingga tulang, dengan lapisan epidermis masih terlihat utuh.
Luka terlihat kering, namun sebetulnya itu bukan jaringan sehat dan harus diangkat.
abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki
maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10-30 tahun (Wedjo,
2019). Apendisitis merupakan penyebab yang paling umum dari inflamasi akut kuadran
kanan bawah abdomen dan penyebab yang paling umum dari imflamasi akut kuadran
kanan bawah abdomen dan penyebab yang paling umum dari pembedahan abdomen
darurat. Laki-laki lebih banyak terkena daripada wanita, remaja lebih banyak dari orang
dewasa, insiden tertinggi adalah mereka yang berusia 10 sampai 30 tahun (Baughman,
Hackley, 2016).
Appendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing
(apendiks). Usus buntu sebenarnya adalah sekum (caecum). Infeksi ini bisa
atau pendekatan endoskopi. Apendiktomi adalah operasi yang dilakukan pada penderita
usus buntu. Ketika diagnosis apendisitis telah dibuat atau memang dicurigai, maka perlu
(Hanifah, 2019).
1. Operasi usus buntu terbuka. Apendektomi terbuka dilakukan dengan membuat irisan
pada bagian kanan bawah perut sepanjang 2-4 inci. Usus buntu diangkat melalui
irisan ini kemudian irisan ditutup kembali. Apendektomi terbuka harus dilakukan jika
usus buntu pasien sudah pecah dan infeksinya menyebar. Apendektomi terbuka juga
merupakan metode yang harus dipilih bagi pasien yang pernah mengalami
membuat 1-3 irisan kecil di bagian kanan bawah abdomen. Setelah irisan abdomen
yang terdiri dari kamera dan alat bedah. Pada saat dilakukan apendektomi
tidak.
2.3.3 Klasifikasi
Menurut Wedjo (2019), klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut
1. Apendisitis Akut
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak pada apendiks yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak
disertai rangsang peritonieum lokal. Gejala apendisitis akut ialah nyeri samar dan
Keluhan ini sering disertai mual, muntah dan umumnya nafsu makan menurun.
Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke titik Mc.Burney. Nyeri dirasakan lebih
tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat.
a. Apendisitis Akut Sederhana : Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub
aliran limfe, mukosa appendiks menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali
dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise dan
demam ringan.
iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar
serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Apendiks dan
pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan
c. Apendisitis Akut Gangrenosa : Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran
darah arteri mulai terganggu sehingga terjadi infark dan gangren. Selain
tertentu. Dinding apendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman.
d. Apendisitis Infiltrat
dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga
membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang
lainnya.
e. Apendisitis Abses
Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nnanah (pus),
biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrosekal, subsekal dan
pelvikal.
f. Apendisitis Perforasi
umum. Pada dinding apendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan
nekrotik.
2. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya riwayat
nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara
perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara mikroskopik
adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa dan infiltasi sel inflamasi kronik),
dan keseluruhan menghilang setelah apendiktomi. adanya jaringan parut dan ulkus
lama dimukosa dan infiltasi sel inflamasi kronik), dan keseluruhan menghilang
setelah apendiktomi.
2.3.4 Etiologi
Menurut Jay dan Marks (2016), etiologi apendisitis yaitu sebagai berikut :
1. Penyebab terjadinya apendisitis dapat terjadi karena adanya makanan keras (biji-
bijian) yang masuk ke dalam usus buntu dan tidak bisa keluar lagi. Setelah isi
usus tercemar dan usus meradang timbullah kuman-kuman yang dapat
2. Mucus maupun feses kemudian mengeras seperti batu (fekalit) lalu menutup
askaris.
akan menarik bagian intrasekal, yang berakibat timbulnya tekanan intrasekal dan
5. Apendisitis disebabkan oleh adanya obstruksi yang diakibatkan juga karena gaya
Keluhan apendiktomi dimulai dari nyeri diperiumbilikus dan muntah dan rangsangan
peritonium viseral. Dalam waktu 2-12 jam seiring dengan iritasi peritoneal, kerusakan
integritas kulit, nyeri perut akan berpindah kekuadran kanan bawah yang menetap 7
dan diperberat dengan batuk dan berjalan. Nyeri akan semakin progeresif dan dengan
pemeriksaan akan menunjukkan satu titik dengan nyeri maksimal. Gejala lain yang
dapat ditemukan adalah anoreksia, malaise demam tek terlalu tinggi konstipasi diare,
mual, dan muntah (Hanifah, 2019). Menurut Baughman dan Hackley (2016),
1. Nyeri kuadran bawah biasanya disertai dengan demam derajat rendah, mual dan
seringkali muntah.
2. Pada titik McBurney (terletak dipertengahan antara umbilicus dan spina anterior
dari ilium) nyeri tekan setempat karena tekanan dan sedikit kaku dari bagian
3. Nyeri alih mungkin saja ada, letak apendiks mengakibatkan sejumah nyeri tekan,
4. Tanda rovsing (dapat diketahui dengan mempalpasi kuadran kanan bawah, yang
5. Jika terjadi rupture apendiks, maka nyeri akan menjadi lebih melebar, terjadi
Sedangkan menurut Grace dan Borley (2014), manifetasi klinis apendisitis meliputi :
3. Fraksi ringan
2.3.6 Patofifiologi
limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau
bendungan. Makin lama mucus tersumbat makin banyak, namun elastisitas dinding
intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi
appendicitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mucus terus
berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena,
edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas
dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di darah kanan bawah.
Keadaan ini disebut appendicitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu
akan terjadi infark dinding appendiks yang dan apendiks lebih panjang, dinding apendiks
lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang
memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi
karena telah ada gangguan pembuluh darah. Diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut
dengan appendicitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh ini pecah, akan terjadi
tersumbat kemungkinan oleh fekolit (massa keras dari faeces) atau benda asing. Proses
bawah dari abdomen. Akhirnya apendiks yang terinflamasi berisi pus (Munir, 2011).
dapat diakibatkan oleh fekalit/atau apendikolit, hiperplasia limfoid, benda asing, parasit,
mioplasma atau striktur karena fibrosir akibat peradangan sebelumnya. Obstruksi lumen
1. Pemeriksaan fisik
b. Palpasi : didaerah perut kanan bawah bila ditekan akan terasa nyeri dan bila
tekanan dilepas juga akan terasa nyeri (Blumberg sign) yang mana merupakan
e. Suhu dubur yang lebih tinggi dari suhu ketiak, lebih menunjang lagi adanya
2. Pemeriksaan Laboratorium
d. Kenaikan dari sel darah putih (leukosit) hingga 10.000- 18.000/mm3. Jika
perforasi (pecah).
3. Pemeriksaan Radiologi
b. Ultrasonografi (USG)
c. CT Scan abdomen
2.3.8 Penatalaksanaan
Menurut Saputro (2018), penatalaksanan pada yang dilakukan pada klien apendisitis
1. Penatalaksanaan Medis
d. Operasi (apendiktomi), bila diagnosa telah ditegakan yang harus dilakukan adalah
2. Penatalaksanaan Keperawatan
laparoskopi sudah terbukti menghasilkan nyeri pasca bedah yang lebih sedikit,
pemulihan yang lebih cepat dan angka kejadian infeksi luka yang lebih rendah.
Akan tetapi terdapat peningkatan kejadian abses intra abdomen dan pemanjangan
waktu operasi. Laparoskopi itu dikerjakan untuk diagnosa dan terapi pada pasien
c. Sebelum operasi, siapkan pasien untuk menjalani pembedahan, mulai jalur Intra
Vena berikan antibiotik, dan masukan selang nasogastrik (bila terbukti ada ileus
d. Setelah operasi, posisikan pasien fowler tinggi, berikan analgetik narkotik sesuai
program, berikan cairan oral apabila dapat ditoleransi, dan lakukan perawatan
luka.
e. Jika drain terpasang di area insisi, pantau secara ketat adanya tanda - tanda
Jadi berdasarkan pembahasan diatas, tindakan yang dapat dilakukan terbagi dua yaitu
kebutuhan klien sesuai dengan kebutuhan klien untuk menunjang proses pemulihan.
2.3.9 Komplikasi
2. Perforasi biasanya terjadi setelah 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala yang muncul
penanganan seperti :
a. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di
kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa flegmon dan
berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila Apendisitis
b. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar ke
rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jampertama sejak awal sakit, tetapi
meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70% kasus
dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari
38,50C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama
c. Peritonitis
terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada permukaan
disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan
leukositosis.
Menurut Juliana (2017), komplikasi dapat terjadi apabila terjadi perawatan luka yang
2. Selulitis adalah infeksi bakteri yang menyebar ke dalam bidang jaringan. Semua
manifestasi inflamasi tampak dalam hal ini, strepcococus sering menjadi organisme
penyebab.
3. Abses yaitu infeksi bakteri setempat yang ditandai dengan pengumpulan pus
4. Limfangitis adalah penyebaran infeksi dari selulitis atau abses ke sistem limfatik.
penyakit apendisitis dikarenakan dua hal yaitu faktor ketidaktahuan masyarakat dan
Metode perawatan luka yang berkembang saat ini adalah menggunakan prinsip
Perawatan luka menggunakan prinsip moisture balance ini dikenal sebagai metode
modern dressing. Selama ini, ada anggapan bahwa suatu luka akan cepat sembuh jika
luka tersebut telah mengering. Namun faktanya, lingkungan luka yang kelembapannya
cytokines, dan chemokines yang mempromosi pertumbuhan sel dan menstabilkan matriks
jaringan luka. Jadi, luka harus dijaga kelembapannya. Lingkungan yang terlalu lembap
dapat menyebabkan maserasi tepi luka, sedangkan kondisi kurang lembap menyebabkan
Perawatan luka modern harus tetap memperhatikan tiga tahap, yakni mencuci
luka, membuang jaringan mati, dan memilih balutan. Mencuci luka bertujuan
menurunkan jumlah bakteri dan membersihkan sisa balutan lama, debridement jaringan
nekrotik atau membuang jaringan dan sel mati dari permukaan luka. Perawatan luka
konvensional harus sering mengganti kain kasa pembalut luka, sedangkan perawatan luka
modern memiliki prinsip menjaga kelembapan luka dengan menggunakan bahan seperti
hydrogel.
menghancurkan jaringan nekrotik tanpa merusak jaringan sehat, yang kemudian terserap
ke dalam struktur gel dan terbuang bersama pembalut (debridemen autolitik alami).
Balutan dapat diaplikasikan selama tiga sampai lima hari, sehingga tidak sering
menimbulkan trauma dan nyeri pada saat penggantian balutan. 6 Jenis modern dressing
Kemudian ada hidroselulosa yang mampu menyerap cairan dua kali lebih banyak
dibandingkan Ca Alginat. Selanjutnya adalah hidrokoloid yang mampu melindungi dari
kontaminasi air dan bakteri, dapat digunakan untuk balutan primer dan sekunder.
Penggunaan jenis modern dressing disesuaikan dengan jenis luka. Untuk luka yang
banyak eksudatnya dipilih bahan balutan yang menyerap cairan seperti foam, sedangkan
pada luka yang sudah mulai tumbuh granulasi, diberi gel untuk membuat suasana lembap