Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Apendisitis merupakan suatu inflamasi akut pada apendiks vermiforis yang sering dikaitkan

dengan obstruksi dan dapat terjadi komplikasi akibat infeksi bakteri (Sifri & Madoff, 2015).

Apendisitis dapat terjadi karena peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing

(apendiks). Usus buntu sebenarnya adalah sekum (caecum). Infeksi ini bisa mengakibatkan

peradangan akut sehingga memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi

yang umumnya berbahaya (Rahmawati, 2017).

Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO)

mengatakam klien yang menderita apendisitis didunia sebanyak 1,1 juta kasus setiap 1.000

orang pertahun, angka mortalitas akibat apendiksitis adalah 21.000 jiwa, di mana populasi

laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Angka mortalitas apendiksitis sekitar 12.000

jiwa pada laki-laki dan sekitar 10.000 jiwa pada perempuan (WHO, 2017).

Insidensi apendiktomi di Indonesia menempati urutan ke 2 dari 193 negara diantara kasus

kegawatan abdomen lainnya dan apendisitis akut menempati urutan ke 4 penyakit terbanyak

di Indonesia setelah dispepsia, gastritis dan duodenitis, dan penyakit sistim cerna lain dengan

jumlah pasien rawat inap sebanyak 28.040 (Depkes RI, 2018). Kasus apendisitis pada

tahun 2016 sebanyak 65.755 orang dan pada tahun 2017 jumlah pasien apendisitis sebanyak

75.601 orang (Dinkes Jatim, 2017 dalam Ressa A., 2017).

Berdasarkan prevalensi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Sumatera

Utara pada tahun 2017 menunjukkan peningkatan prevalensi peritonitis pada pasien

apendiksitis periode 2017 adalah 628 orang, peritonitis generalisata sebanyak 618 orang.
Laki-laki 656 orang lebih banyak menderita peritonitis akibat apendiksitis dibandingkan

perempuan 344 orang. Kelompok usia tersering menderita peritonitis akibat apendisitis

adalah kelompok usia 10-19 tahun 344(Sembiring, 2018).

Apendisitis menjadi salah satu kegawatdaruratan abdominal yang paling umum terjadi.

Apabila proses peradangan yang timbul secara mendadak pada daerah apendiks maka disebut

apendisitis akut (Permenkes, 2014). Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan

lumen apendiks oleh hyperplasia folikel limfosit, fekalit, benda asing, struktur karena fikosis

akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma (Shodikin, 2014).

Apendisitis memiliki potensi untuk terjadinya komplikasi parah jika tidak segera

diobati, seperti perforasi atau sepsis dan bahkan dapat menyebabkan kematian. Dalam hal

ini perlu dilakukan tindakan pembedahan sebagai terapi apendisitis, yang disebut juga

apendektomi.Tindakan bedah apendektomi merupakan salah satu contoh dari jenis luka

yaitu luka insisi dimana luka insisi merupakan hilang, rusak, atau terputusnya kontuinuitas

sebagian jaringan tubuh yang diakibatkan potongan bersih menggunakan benda tajam yang

biasa dibuat oleh ahli bedah untuk prosedur operasi.

Didalam pasca pembedahan, penanganan yang kurang baik rentan akan terjadi infeksi.

Penanganan yang baik didalam melakukan manajemen luka akan mengurangi resiko

komplikasi, dan apabila terjadi infeksi maka akan menyebabkan masa perawatan yang

lebih lama, sehingga biaya perawatan di rumah sakit menjadi lebih tinggi.

Luka adalah terputusnya kontinuitas struktur anatomi jaringan tubuh yang bervariasi mulai

dari yang paling sederhana seperti lapisan epitel dari kulit, sampai lapisan yang lebih

dalam seperti jaringan subkutis, lemak dan otot bahkan tulang beserta struktur lainnya

seperti tendon, pembuluh darah dan syaraf, sebagai akibat dari trauma atau ruda paksa
atau trauma dari luar waktu penyembuhan luka dapat ditentukan dengan membedakan dari

jenis luka akut ataupun kronis. Apendektomi yang tidak mengalami infeksi pasca

pembedahan termasuk kategori dari luka akut, secara fisiologis luka akut akan sembuh ±

0-21 hari. Akan tetapi, jika pemberian nutrisi tidak terpenuhi dengan baik maka akan

menghambat proses penyembuhan luka.

1.2 Tujuan

1.2.1. Tujuan Umum

Untuk melakukan asuhan keperawatan Luka Akut pada pasien dengan post operasi

apendisitis dengan menerapkan asuhan keperawatan secara komprehensif dan sesuai

standar asuhan keperawatan yang berlaku.

1.2.2. Tujuan Khusus

Melakukan pengkajian dengan mengumpulkan semua data baik melalui anamnesa,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan untuk menilai keadaan

pasien secara menyeluruh pada pasien dengan post operasi apendiktomi.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Kulit

2.1.1 Definisi Kulit

Kulit merupakan sistem organ yang memiliki permukaan paling luas (+ 2 m2 ) yang

melapisi seluruh bagian luar tubuh sehingga kulit berfungsi sebagai pelindung tubuh

terhadap benda asing, bahan kimia, cahaya matahari mengandung sinar ultraviolet dan

melindungi tubuh terhadap mikroorganisme serta menjaga keseimbangan tubuh terhadap

perubahan lingkungan. Kulit merupakan indikator pada seseorang untuk memperoleh

kesan umum dengan melihat perubahan yang terjadi pada kulit. Kulit dapat menjadi

pucat, kekuning-kuningan kemerah-merahan atau suhu kulit meningkat, memperlihatkan

adanya kelainan yang terjadi pada tubuh atau gangguan kulit karena penyakit tertentu.

Gangguan psikis juga dapat menyebabkan kelainan atau perubahan pada kulit, seperti

stres, ketakutan atau dalam keadaan marah, maka akan terjadi perubahan kulit pada

wajah. Perubahan struktur kulit dapat menentukan apakah seseorang telah lanjut usia atau

masih muda. Wanita atau pria juga dapat dibedakan melalui penampilan kulit. Warna

kulit juga dapat menentukan ras atau suku bangsa misalnya kulit hitam suku bangsa

negro, kulit kuning bangsa Mongol, kulit putih dari Eropa dan lain sebagainya.

2.1.2 Lapisan Kulit

Kulit terdiri dari tiga lapisan utama, yaitu Epidermis (lapisan bagian luar tipis), Dermis

(lapisan tengah), Subkutis (bagian paling dalam).


a. Epidermis (Lapisan Bagian Luar Tipis)

Merupakan Lapisan paling luar yang melindungi tubuh dengan ketebalan yang

bervasiasi, dimana telapak tangan dan kaki memiliki epidermis yang paling tebal.

Epidermis terdiri atas lapisan epitel gepeng yang berisi 4 tipe sel Keratinocytes (90%)

yang berfungsi untuk memproduksi keratin sebagai penahan air, Melanocytes

bertugas memproduksi produksi melanin yang akan memberikan warna pada kulit, sel

Langerhans (macrophages) berfungsi sebagai sistem immune response dan Merkel

cells yang memiliki tugas menangkap sensasi sentuh pada kulit (touch sense) yang

terhubung dengan ujung syaraf di lapisan dermis. Lapisan epidermis tumbuh terus

karena lapisan sel induk yang berada di lapisan bawah bermitosis (membelah) terus

menerus, sedangkan lapisan paling luar epidermis akan terkelupas atau lepas.

Epidermis dibentuk secara kuat oleh 4 sel-sel epidermis diatas dan diperkuat oleh

serat-serat kolagen dan sedikit serat elastin. Epidermis berfungsi sebagai pelindung

dan tidak terdapat pembuluh darah, sehingga jika lapisan ini terluka maka tidak akan

terlihat darah yang keluar. Epidermis terdiri atas beberapa lapisa sel. Sel-sel ini

berbeda dalam beberapa tingkat pembelahan sel secara mitosis. Lapisan permukaan

dianggap sebagai akhir keaktifan sel, lapisan tersebut terdiri atas 5 lapis, yaitu:

1. Stratum Korneum (Stratum Corneum)

Lapisan ini terdiri atas banyak lapisan sel tanduk (keratinasi), gepeng, kering, dan

tidak berinti. Sitoplasmanya diisi dengan serat keratin yang berfungsi sebagai

penahan air, makin keluar letak sel makin gepeng seperti sisik lalu terkelupas dari

tubuh. Sel keratin pada stratum ini merupakan sel keratin yang sudah mati (dead
keratinocyte). Sel yang terkelupas akan digantikan oleh sel yang lain. Stratum

korneum sering dikenal di masyarakat sebagai kotoran kulit atau daki.

2. Stratum Lusidum (Stratum Lucidum)

Lapisan ini terdiri atas beberapa lapis sel yang sangat gepeng dan bening. Membran

yang membatasi sel-sel tersebut sulit terlihat sehingga lapisannya secara keseluruhan

seperti kesatuan yang bening. Stratum lucidum mengandung cairan bening yang

merupakan protein yang disebut eleidin, berfungsi sebagai penyaring sinar

ultraviolet yang masuk ke kulit.

3. Stratum Granulosum (Stratum Granulosum)

Lapisan ini terdiri atas 2-3 lapis sel poligonal yang agak gepeng dengan inti di

tengah dan sitoplasmanya berisi butiran (granula) keratohialin atau gabungan keratin

dengan hialin. Lapisan ini menghalangi masuknya benda asing, kuman, dan bahan

kimia masuk kedalam tubuh.

4. Stratum Spinosum (Strarum Spinosum)

Lapisan ini terdiri atas banyak lapisan sel berbentuk kubus dan poligonal, inti

terdapat di tengah dan sitoplasmanya berisi berkas-berkas serat yang terpaut pada

desmosom (jembatan sel). Seluruh sel terikat rapat lewat serat-serat tersebut

sehingga secara keseluruhan lapisan sel-selnya berduri. Lapisan ini untuk menahan

gesekan dan tekanan dari luar, tebal dan terdapat di daerah tubuh yang banyak

bersentuhan atau menahan beban dan tekanan seperti tumit dan pangkal telapak kaki.

5. Stratum Basal (Stratum Basale)

Unsur-unsur lapis taju yang mempunyai susunan kimia yang khas. Inti bagian basal

lapis taju mengandung kolestrol dan asam-asam amino. Stratum basale yang disebut
juga malpighi merupakan lapisan terdalam dari epdermis yang berbatasan dengan

dermis di bawahnya dan terdiri atas selapis sel berbentuk kubus (batang). Lapisan

epidermis tidak ditemukan pembuluh darah, sehingga jika lapisan ini terluka maka

tidak terjadi perdarahan.

b. Dermis (Lapisan Tengah)

Dermis merupakan lapisan kedua dari kulit, batas dengan epidermis dilapisi oleh

membrane basalis dan di sebelah bawah berbatasan dengan subkutis tapi batas ini

tidak jelas hanya diambil sebagai patokan ialah mulainya terdapat sel lemak. Batas

dermis yang sukar ditentukan karena menyatu dengan lapisan subkutis (hipodermis),

ketebelannya antara 0,5-3 mm, beberapa kali lebih tebal dari epidermis, dan dibentuk

dari komponen jaringan pengikat. Derivat dermis terdiri atas rambut, kelenjar

minyak, kalenjar lendir, dan kelenjar keringat yang membenam jauh kedalam dermis.

Dermis terdiri atas serat-serat kolagen, dan serabut-serabut elastis, dan serabut-

serabut retikulin. Serat-serat ini bersama pembuluh darah dan pembuluh getah bening

membentuk anyaman-anyaman yang memberikan perdarahan untuk kulit. Secara

umum lapisan dermis dapat dibagi atas 2 lapisan yaitu papilla dan retikulosa. Lapisan

papilla mengandung lekuk-lekuk papilla sehingga stratum malpigi juga ikut melekuk.

Lapisan ini mengandung lapisan pengikat longgar yang membentuk lapisan bunga

karang disebut lapisan stratum spongeosum. Lapisan papila terdiri atas serat kolagen

halus, elastin dan retikulin yang tesusun membentuk jaringan halus yang terdapat di

bawah epidermis. Lapisan ini memegang peranan penting dalam peremajaan dan

penggandaan unsur-unsur kulit. Serat retulin dermis membentuk alas dari serbut yang

menyisip ke dalam membran basal dibaawah epidermis. Pada umumnya, papil-papil


kulit dermis sangat tipis, tetapi pada telapak kaki dan telapak tangan terdapat papil

tebal, dan banyak sehingga tampak berhimpitan membentuk rigi-rigi yang menonjol

di permukaan kulit ari, dan membentuk pola sidik jari tangan dan jari kaki. Setiap

papil dibentuk oleh anyaman serabut halus yang mengandung serabut elastin. Pada

bagian ini telihat lengkunglengkung kapiler dan ujung-ujung saraf perasa. Lapisan

retikulosa: lapisan retikulosa mengandung jaringan pengikat rapat dan serat kolagen.

Sebagian besar lapisan ini tersusun bergelombang, mengandung sedikit serat retkulin,

dan banyak serat elastin. Sesuai dengan arah jalan serat-serat tersebut terbentuklah

garis ketegangan kulit. Terdapat pola sulkus atau Garis Langer’s. Insisi pada Garis

Langer’s berpengaruh pada penyembuhan luka. Jika potongan searah dapat

menyebakan penyembuhan lebih cepat dibandingkan jika tidak searah. Bahan dasar

dermis merupakan bahan matrik amorf yang memebenam pada serat kolagen dan

elastin. Turunan kulit glikosaminoglikans utama kulit adalah asam hialuronat dan

dermatan sulfat dengan perbandingan yang beragam di berbagai tempat, bahan dasar

ini bersifat sangat hidrofilik. Lapisan ini terdiri atas anyaman jaringan ikat yang lebih

tebal dan di dalamnya ditemukan sel-sel fibrosa, sel histiosit, pembuluh darah,

pembuluh getah bening, saraf, kandung rambut kelenjar sebasea, kelenjar keringat, sel

lemak, dan kelenjar otot penegak rambu.

c. Subkutan /Hipodermis

Hipodermis adalah lapisan bawah kulit (fasia superfisialis) yang terdiri atas jaringan

pengikat longgar, kompenennya serat longgar, elastis dan sel lemak. Sel-sel lemak

membentuk jaringan lemak pada lapisan adiposa yang terdapat susunan lapisan

subkutan untuk menentukan mobilitas kulit diatasnya. Bila terdapat lobulus lemak
yang merata, hipodermis membentuk bantal lemak disebut pannikulus adiposus.

Padaa daerah perut, lapisan ini dapat mencapai ketebalan tiga cm, sedangkan pada

kelopak mata, penis, dan skrotum, lapisan subkutan tidak mengandung lemak. Bagian

superfisial hipodermis mengandung kelenjar keringat dan folikel rambut. Dalam

lapisan hipodermis terdapat anyaman pembuluh arteri, pembuluh vena, dan anyaman

saraf yang berjalan sejajar dengan permukaan kulit di bawah dermis. Lapisan ini

mempunyai ketebalan bervariasi dan mengikat kulit secara longgar terhadap jaringan

di bawahnya.

2.2 Konsep Dasar Luka

2.2.1 Definisi Luka

Luka merupakan kejadian yang sering kita jumpai dalam kehidupan seharihari. Luka

adalah kerusakan pada fungsi perlindungan kulit disertai hilangnya kontinuitas jaringan

epitel dengan atau tanpa adanya kerusakan pada jaringan lainnya seperti otot, tulang dan

nervus yang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: tekanan, sayatan dan luka karena

operasi (Ryan, 2014). Menurut Arisanty Luka merupakan gangguan atau kerusakan dari

keutuhan kulit (Arisanty, 2013).

Luka adalah gangguan pada struktur, fungsi dan bentuk kulit normal yang dapat

dibedakan menjadi 2 jenis menurut waktu penyembuhannya yaitu luka akut dan luka

kronis (Granic & Teot, 2012). Ketika luka timbul ada beberapa efek yang akan muncul

yaitu:

1. Hilangnya Seluruh Atau Sebagian Fungsi Organ Luka


merupakan kejadian yang sering ditemui di kehidupan sehari-hari yang menyebabkan

hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ. Luka merupakan kerusakan secara

seluler maupun anatomis pada fungsi kontinuitas jaringan hidup.

2. Respon Stres Simpatis

Reaksi pada respon stres simpatis dikenal juga sebagai alergi terkait sistem imun

tubuh. Reaksi yang sering muncul dapat diklasifikasikan menjadi empat tipe. Tipe

satu yaitu reaksi segera atau reaksi vasoaktif substansi sel mast ataubasofil yang

diikuti dengan reaksi spesifik antigen atau antibody. Tipe dua yaitu reaksi sitotoksik

berupa reaksi merusak sel, fagositosis, dan mekanisme bula. Tipe tiga yaitu reaksi

imun kompleks berupa sirkulasi antigen atau antibodi ke jaringan inflamasi, trombosit

rusak, vasoaktif menurun, dan pemearbelitas vaskuler meningkat. Tipe empat yaitu

raksi hipersensitif (Arisanty, 2013).

3. Pendarahan dan pembekuan darah

Luka dapat menyebabkan reaksi pendarahan dan pembekuan darah akibat respon

imun di dalam tubuh. Lesi kulit dapat terjadi karena gangguan pembuluh darah arteri

dan vena (Arisanty, 2013). Pendarahan dibedakan menjadi dua yaitu pendarahan

internal dan eksternal. Pendarahan internal ditandai dengan nyeri pada area luka,

perubahan tanda-tanda vital dan adanya hematoma yang menyebabkan penekanan

jaringan disekitarnya, sehingga dapat menyumbat aliran darah (Treas dan Wilkinson,

2013).

4. Kontaminasi bakteri

Semua luka traumatik cenderung terkontaminasi bakteri serta mikro organisme

lainnya. Bakteri adalah organisme bersel tunggal yang berpotensi menyebabkan


infeksi. Bakteri biasanya juga mampu hidup tanpa bantuan, walaupun beberapa

diantaranya bersifat parasit. Imunitas terhadap bakteri bervariasi tergantung pada

organisme yang hidup di dalam atau di luar sel. Walaupun banyak bekteri dapat

ditolak atau bahkan dimusnahkan oleh sistem pertahanan tubuh dasar, beberapa

bakteri telah mengembangkan kemampuannya untuk memperdaya sistem pertahanan

tubuh.

5. Kematian sel

Luka dapat menyebabkan kematian sel akibat beberapa faktor. Kerusakan sel

disebabkan beberapa faktor, yaitu shear (lipatan), pressure (tekanan),

friction(gesekan), bahan kimia, iskemia (kekurangan oksigen), dan neuropati (mati

rasa). Mekanisme kerusakan pada kulit menyebabkan terjadinya luka.

2.2.2 Berdasarkan Waktu Penyembuhannya

Luka dapat dibagi menjadi dua yaitu luka akut dan luka kronis.

1. Luka akut adalah luka yang terjadi kurang dari 5 hari dengan diikuti proses

hemostasis dan inflamasi. Luka akut sembuh atau menutup sesuai dengan waktu

penyembuhan luka fisiologis 0-21 hari (Arisanty, 2013). Luka akut juga

merupakan luka trauma yang biasanya segera mendapat penanganan dan biasanya

dapat sembuh dengan baik bila tidak terjadi komplikasi.

2. Luka kronik merupakan luka yang berlangsung lama atau sering timbul kembali

(rekuren), dimana terjadi gangguan pada proses penyembuhan yang biasanya

disebabkan oleh masalah multifaktor dari penderita. Luka kronik juga sering

disebut kegagalan dalam penyembuhan luka (Arisanty, 2013).

2.2.3 Fase Penyembuhan Luka


Menurut Arisanty (2014), secara fisiologis tubuh dapat memperbaiki kerusakan jaringan

kulit (luka) sendiri yang dikenal dengan penyembuhan luka. Penyembuhan luka dapat

dibagi ke dalam tiga fase yaitu: fase inflamasi, proliferasi, dan fase maturasi atau

remodelling.

1. Fase Inflamasi

Fase inflamasi terjadi pada awal kejadian atau saat luka terjadi (hari ke-0) hingga hari

ke-3 atau ke-5 (Arisanty, 2014). Menurut Sjamsuhidajat (2017), pembuluh darah yang

terputus pada luka akan menyebabkan perdarahan, dan tubuh berusaha

menghentikannya dengan vasokontriksi, pengerutan ujung pembuluh darah yang

putus (retraksi), dan reaksi hemostasis. Hemostasis terjadi karena trombosit yang

keluar dari pembuluh darah saling melekat, dan bersama jala fibrin yang terbentuk,

membekukan darah yang keluar dari pembuluh darah. Setelah hemostasis, proses

koagulasi akan mengaktifkan kaskade komplemen. Dari kaskade ini akan dikeluarkan

bradikinin dan anafilatoksin C3a dan C5a yang menyebabkan vasodilatasi dan

permeabilitas vaskular meningkat sehingga terjadi eksudasi, penyebukan sel radang,

disertasi vasodilatasi setempat yang menyebabkan edema dan pembengkakan. Tanda

dan gejala klinis reaksi radang semakin jelas, berupa warna kemerahan karena kapiler

melebar (rubor), rasa hangat (kalor), nyeri (dolor), dan pembengkakan (tumor).

Aktivitas seluler yang terjadi yaitu pergerakan leukosit menembus dinding pembuluh

darah (diapedesis) menuju luka karena daya kemotaksis. Leukosit mengeluarkan

enzim hidrolitik yang membantu mencerna bakteri dan kotoran luka. Monosit dan

limfosit yang kemudian muncul, ikut menghancurkan dan memakan kotoran luka dan
bakteri (fagositosis). Fase ini disebut juga fase lamban karena reaksi pembentukan

kolagen baru sedikit, dan luka hanya dipertautkan oleh fibrin yang amat lemah.

2. Fase Proliferasi

Terjadi mulai hari ke-2 sampai ke-24 yang terdiri atas proses destruktif (fase

pembersihan), proses proliferasi atau granulasi (pelepasan sel-sel baru/pertumbuhan),

dan epitelisasi (migrasi sel/penutupan) (Arisanty, 2014). Pada fase destruktif terjadi

pembersihan terhadap jaringan mati (yang mengalami devitalisasi) dan bakteri oleh

polimorf dan makrofag. Polimorf dan makrofag juga merangsang pembentukan

fibroblas yang melakukan sintesa struktur protein kolagen dan menghasilkan sebuah

faktor yang dapat merangsang angiogenesis atau pembentukan pembuluh darah.

Fibroblas akan meletakkan substansi dasar dan serabut-serabut kolagen serta

pembuluh darah baru mulai menginfiltrasi luka. Begitu kolagen diletakkan, maka

terjadi peningkatan yang cepat pada kekuatan regangan luka (Morison, 2003). Selain

itu juga terbentuk jaringan berwarna kemerahan dengan permukaan berbenjol halus

yang disebut jaringan granulasi. Setelah tumbuh jaringan granulasi terjadi proses

epitelisasi, tepi luka yang terdiri atas sel basal terlepas dari dasarnya dan berpindah

mengisi permukaan luka. Tempatnya kemudian diisi oleh sel baru yang terbentuk dari

proses mitosis. Proses ini baru berhenti setelah epitel saling menyentuh dan menutup

seluruh permukaan luka. Dengan tertutupnya permukaan luka, proses fibroblasia

dengan pembentukan jaringan granulasi juga akan berhenti dan mulailah proses

pematangan dalam fase maturasi (Sjamsuhidajat, 2017).

3. Fase Maturasi
Fase maturasi atau remodelling terjadi mulai hari ke-24 hingga satu atau dua tahun,

yaitu fase penguatan kulit baru. Pada fase ini terjadi proses epitelisasi, kontraksi, dan

reorganisasi jaringan ikat. Dalam setiap cidera yang mengakibatkan hilangnya kulit,

sel epitel pada pinggir luka dan dari sisa-sisa folikel rambut, serta glandula sebasea

dan glandula sudorifera, membelah dan mulai bermigrasi di atas jaringan granula

baru. Kontraksi luka disebabkan karena miofibroblas kontraktil yang membantu

menyatukan tepi-tepi luka. Terdapat suatu penuruan progresif dalam vaskularisasi

jaringan parut, yang berubah dalam penampilannya dari merah kehitaman menjadi

putih. Serabut-serabut kolagen mengadakan reorganisasi dan kekuatan regangan luka

meningkat (Morison, 2003). Kondisi yang umum terjadi pada fase ini adalah terasa

gatal dan penonjolan epitel (keloid) pada permukaan kulit. Pada fase ini, kolagen

bekerja lebih teratur dan lebih memiliki fungsi sebagai penguat ikatan sel kulit baru,

kulit masih rentan terhadap gesekan dan tekanan sehingga memerlukan perlindungan.

Dengan memberikan kondisi lembap yang seimbang pada bekas luka dapat

melindungi dari risiko luka baru. Perlu diingat bahwa kualitas kulit baru hanya

kembali 80%, tidak sempurna seperti kulit sebelumnya atau sebelum kejadian luka

(Arisanty, 2014).

2.2.4 Klasifikasi Luka

2.2.4.1 Berdasarkan Tipe Penyembuhan Luka

Secara fisiologis, tubuh dapat memperbaiki kerusakan jaringan kulit sendiri yang

dikenal dengan penyembuhan luka. Menurut Arisanty (2013) cara penyembuhan luka

berdasarkan tipe atau cara penyembuhannya yaitu penyembuhan luka secara primer
(primary intention), secara sekunder (secondary intention), dan secara tersier (tertiary

intention atau delayed primary intention).

1. Sering diketahui di dalam kamar operasi petugas medis melakukan upaya

penyembuhan luka secara primer. Penyembuhan luka secara primer (primary

intention) adalah luka yang ditutup dengan cara dirapatkan kembali dengan

menggunakan alat bantu sehingga bekas luka (scar) tidak ada atau minimal

(Arisanty, 2013). Luka terjadi tanpa kehilangan banyak jaringan kulit. Luka ditutup

dengan cara dirapatkan kembali dengan menggunakan alat bantu sehingga bekas

luka(scar) tidak ada atau minimal. Proses yang terjadi adalah epitelisasi dan deposisi

jaringan ikat. Contohnya adalah luka sayatan robekan dan luka operasiyang dapat

sembuh dengan alat bantu jahitan, stapler, taoe eksternal, atau lem perekat kulit.

2. Penyembuhan luka secara sekunder (secondary intention). Pada proses

penyembuhan luka sekunder kulit mengalami luka (kerusakan) dengan kehilangan

banyak jaringan sehingga memerluka proses granulasi (pertumbuhan sel), kontraksi,

dan epitelisasi (penutupan epidermis) untuk menutup luka. Pada kondisi luka yang

mengalami proses penyembuhan sekunder, jika dijahit kemungkinan terbuka lagi

atau menjadi nekrosis (mati) sangat besar.

3. Penyembuhan luka secara tersier atau delayed primary terjadi jika penyembuhan

luka secara primer mengalami infeksi atau ada benda asing sehingga

penyembuhannya terlambat. Luka akan mengalami proses debris hingga luka

menutup. Penyembuhan luka dapat juga diawali dengan penyembuhan secara

sekunder yang kemudian ditutup dengan balutan jahitan/dirapatkan kembali.

Contohnya adalah luka oprerasi yang terinfeksi (Arisanty, 2013).


2.2.4.2 Berdasarkan Ada Tidaknya Hubungan dengan Luar Luka

Menurut Maryunani (2015), berdasarkan ada tidaknya hubungan dengan luar luka

dibedakan menjadi luka tertutup dan luka terbuka.

a. Luka Tertutup (Vulnus Occlusum)

Luka tidak melampaui tebal kulit. Luka tanpa robekan pada kulit. Contohnya

bagian tubuh yang terpukul oleh benda tumpul, terpelincir, keseleo, daya

deselerasi ke arah tubuh (fraktur tulang, robekan pada organ dalam), luka abrasi,

kontusio atau memar.

b. Luka Terbuka (Vulnus Apertum)

Luka melampaui tebal kulit. Terlihat robekan pada kulit atau membran mukosa.

Contohnya trauma oleh benda tajam atau tumpul (insisi bedah, pungsi vena, luka

tembak).

2.2.4.3 Berdasarkan Anatomi Kulit

Menurut Arisanty (2014), luka berdasarkan anatomi kulit atau kedalamannya menurut

National Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP) diklasifikasikan menjadi stadium 1,

stadium 2, stadium 3, stadium 4, dan unstageable.

A. Stadium 1

Luka dikatakan stadium 1 jika warna dasar luka merah dan hanya melibatkan lapisan

epidermis, epidermis masih utuh atau tanpa merusak epidermis. Epidermis hanya

mengalami perubahan warna kemerahan, hangat atau dingin (bergantung pada

penyebab), kulit melunak, dan ada rasa nyeri atau gatal. Contoh luka stadium 1 adalah

kulit yang terpapar matahari atau sunburn dan saat kita duduk pada satu posisi selama
lebih dari dua jam, kemudian ada kemerahan di gluteus (bokong), itu termasuk

stadium 1.

B. Stadium 2

Luka dikatakan stadium 2 jika warna dasar luka merah dan melibatkan lapisan

epidermis-dermis. Luka menyebabkan epidermis terpisah dari dermis dan/atau

mengenai sebagian dermis (partial-thickness). Umumnya kedalaman luka hingga 0,4

mm, namun biasanya bergantung pada lokasi luka. Bula atau blister termasuk kategori

stadium 2 karena epidermis sudah terpisah dengan dermis.

C. Stadium 3

Luka dikatakan stadium 3 jika warna dasar luka merah dan lapisan kulit mengalami

kehilangan epidermis, dermis, hingga sebagian hypodermis (fullthicknes). Umumnya

kedalaman luka hingga 1 cm (sesuai dengan lokasi luka pada tubuh bagian mana).

Pada proses penyembuhan luka, kulit akan menumbuhkan lapisan-lapisan yang hilang

(granulasi) sebelum menutup (epitelisasi).

D. Stadium 4

Luka dikatakan stadium 4 jika warna dasar luka merah dan lapisan kulit mengalami

kerusakan dan kehilangan lapisan epidermis, dermis, hingga seluruh hipodermis, dan

mengenai otot dan tulang (deep full-thickness). Undermining (gua) dan sinus masuk

ke dalam stadium 4.

E. Unstageable

Luka dikatakan tidak dapat ditentukan stadiumnya (unstageable) jika warna dasar luka

kuning atau hitam dan merupakan jaringan mati (nekrosis), terutama jika jaringan
nekrosis ≥ 50% berada di dasar luka. Dasar luka yang nekrosis dapat dinilai

stadiumnya setelah ditemukan dasar luka merah (granulasi) dengan pembuluh darah

yang baik.

2.2.4.4 Berdasarkan Warna Dasar Luka

Menurut Arisanty (2014), luka dapat juga dibedakan berdasarkan warna dasar

luka atau penampilan klinis luka (clinical appearance). Klasifikasi ini juga dikenal

dengan sebutan RYB (Red Yellow Black – Merah Kuning Hitam) yang diperkenalkan

oleh Netherlands Woundcare Consultant Society pada tahun 1984.

A. Merah (Red)

Warna dasar luka merah artinya jaringan granulasi dengan vaskularisasi yang baik

dan memiliki kecenderungan mudah berdarah. Warna dasar merah menjadi tujuan

klinisi dalam perawatan luka sehingga luka dapat menutup.

B. Kuning (Yellow)

Warna dasar luka kuning artinya jaringan nekrosis (mati) yang lunak berbentuk

seperti nanah beku pada permukaan kulit yang sering disebut dengan slough.

Jaringan ini juga mengalami kegagalan vaskularisasi dalam tubuh dan memiliki

eksudat yang banyak hingga sangat banyak.

C. Hitam (Black)

Warna dasar luka hitam artinya jaringan nekrosis (mati) dengan kecenderungan

keras dan kering. Jaringan tidak mendapatkan vaskularisasi yang baik dari tubuh

sehingga mati. Luka dengan warna hitam berisiko mengalami deep tissue injury
atau kerusakan kulit hingga tulang, dengan lapisan epidermis masih terlihat utuh.

Luka terlihat kering, namun sebetulnya itu bukan jaringan sehat dan harus diangkat.

2.3 Konsep Dasar Penyakit

2.3.1 Definisi Apendisitis

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab

abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki

maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10-30 tahun (Wedjo,

2019). Apendisitis merupakan penyebab yang paling umum dari inflamasi akut kuadran

kanan bawah abdomen dan penyebab yang paling umum dari imflamasi akut kuadran

kanan bawah abdomen dan penyebab yang paling umum dari pembedahan abdomen

darurat. Laki-laki lebih banyak terkena daripada wanita, remaja lebih banyak dari orang

dewasa, insiden tertinggi adalah mereka yang berusia 10 sampai 30 tahun (Baughman,

Hackley, 2016).

Appendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing

(apendiks). Usus buntu sebenarnya adalah sekum (caecum). Infeksi ini bisa

mengakibatkan peradangan akut sehingga memerlukan tindakan bedah segera untuk

mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya (Saputro, 2018).

Apendiktomi adalah pengangkatan terhadap appendiks terimplamasi dengan prosedur

atau pendekatan endoskopi. Apendiktomi adalah operasi yang dilakukan pada penderita

usus buntu. Ketika diagnosis apendisitis telah dibuat atau memang dicurigai, maka perlu

diadakan operasi apendiktomi. Apendiktomi harus dilakukan beberapa jam setelah


diagnosis ditegakkan dan biasanya dikerjakan melalui insisi kuadran kanan bawah

(Hanifah, 2019).

2.3.2 Jenis Jenis Apendiktomi

Menurut Hanifah (2019), jenis-jenis apendiktomi adalah sebagai berikut :

1. Operasi usus buntu terbuka. Apendektomi terbuka dilakukan dengan membuat irisan

pada bagian kanan bawah perut sepanjang 2-4 inci. Usus buntu diangkat melalui

irisan ini kemudian irisan ditutup kembali. Apendektomi terbuka harus dilakukan jika

usus buntu pasien sudah pecah dan infeksinya menyebar. Apendektomi terbuka juga

merupakan metode yang harus dipilih bagi pasien yang pernah mengalami

pembedahan di bagian perut.

2. Operasi usus buntu laparoskopi. Apendektomi laparoskopi dilakukan dengan

membuat 1-3 irisan kecil di bagian kanan bawah abdomen. Setelah irisan abdomen

dibuat, dimasukan sebuah alat laparoskop ke dalam irisian tersebut untuk

mengangkat apendiks. Laparoskop merupakan alat berbentuk tabung tipis panjang

yang terdiri dari kamera dan alat bedah. Pada saat dilakukan apendektomi

laparoskopi, dokter akan memutuskan apakah dibutuhkan apendektomi terbuka atau

tidak.

2.3.3 Klasifikasi

Menurut Wedjo (2019), klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut

dan apendisitis kronik.

1. Apendisitis Akut
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang

mendadak pada apendiks yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak

disertai rangsang peritonieum lokal. Gejala apendisitis akut ialah nyeri samar dan

tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus.

Keluhan ini sering disertai mual, muntah dan umumnya nafsu makan menurun.

Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke titik Mc.Burney. Nyeri dirasakan lebih

tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat.

Apendisitis akut dibagi menjadi:

a. Apendisitis Akut Sederhana : Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub

mukosa disebabkan obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen

appendiks dan terjadi peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu

aliran limfe, mukosa appendiks menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali

dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise dan

demam ringan.

b. Apendisitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis) : Tekanan dalam lumen

yang terus bertambah disertai edema menyebabkan terbendungnya aliran vena

pada dinding apendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat

iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar

berinvasi ke dalam dinding apendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga

serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Apendiks dan

mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat

fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan,


nyeri lepas di titik Mc. Burney, defans muskuler dan nyeri pada gerak aktif dan

pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan

tanda-tanda peritonitis umum.

c. Apendisitis Akut Gangrenosa : Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran

darah arteri mulai terganggu sehingga terjadi infark dan gangren. Selain

didapatkan tanda-tanda supuratif, apendiks mengalami gangren pada bagian

tertentu. Dinding apendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman.

Pada apendisitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan

peritoneal yang purulen.

d. Apendisitis Infiltrat

Apendisitis Infiltrat adalah proses radang apendiks yang penyebarannya dapat

dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga

membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang

lainnya.

e. Apendisitis Abses

Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nnanah (pus),

biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrosekal, subsekal dan

pelvikal.
f. Apendisitis Perforasi

Apendisitis Perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah gangren yang

menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis

umum. Pada dinding apendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan

nekrotik.

2. Apendisitis kronik

Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya riwayat

nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara

makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah

fibrosis menyeluruh dinding.Apendisitis kronik memiliki semua gejala riwayat nyeri

perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara mikroskopik

(fibrosis menyeluruh di dinding apendiks, sumbatan parsial atau lumen apendiks,

adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa dan infiltasi sel inflamasi kronik),

dan keseluruhan menghilang setelah apendiktomi. adanya jaringan parut dan ulkus

lama dimukosa dan infiltasi sel inflamasi kronik), dan keseluruhan menghilang

setelah apendiktomi.

2.3.4 Etiologi

Menurut Jay dan Marks (2016), etiologi apendisitis yaitu sebagai berikut :

1. Penyebab terjadinya apendisitis dapat terjadi karena adanya makanan keras (biji-

bijian) yang masuk ke dalam usus buntu dan tidak bisa keluar lagi. Setelah isi
usus tercemar dan usus meradang timbullah kuman-kuman yang dapat

memperparah keadaan tadi.

2. Mucus maupun feses kemudian mengeras seperti batu (fekalit) lalu menutup

lubang penghubung antara apendiks dengan caeceum.

3. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor

pencetus disamping hyperplasia jaringan limfe, tumor apendiks dan cacing

askaris.

4. Penelitian Epidemiologi mengatakan peran kebiasaan makan makanan yang

rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendiksitis. Konstipasi

akan menarik bagian intrasekal, yang berakibat timbulnya tekanan intrasekal dan

terjadi penyumbatan sehingga meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon

5. Apendisitis disebabkan oleh adanya obstruksi yang diakibatkan juga karena gaya

hidup manusia yang kurang dalam mengkonsumsi makanan tinggi serat.

2.3.5 Manifestasi Klinis

Keluhan apendiktomi dimulai dari nyeri diperiumbilikus dan muntah dan rangsangan

peritonium viseral. Dalam waktu 2-12 jam seiring dengan iritasi peritoneal, kerusakan

integritas kulit, nyeri perut akan berpindah kekuadran kanan bawah yang menetap 7

dan diperberat dengan batuk dan berjalan. Nyeri akan semakin progeresif dan dengan

pemeriksaan akan menunjukkan satu titik dengan nyeri maksimal. Gejala lain yang

dapat ditemukan adalah anoreksia, malaise demam tek terlalu tinggi konstipasi diare,
mual, dan muntah (Hanifah, 2019). Menurut Baughman dan Hackley (2016),

manifestasi klinis apendisitis meliputi :

1. Nyeri kuadran bawah biasanya disertai dengan demam derajat rendah, mual dan

seringkali muntah.

2. Pada titik McBurney (terletak dipertengahan antara umbilicus dan spina anterior

dari ilium) nyeri tekan setempat karena tekanan dan sedikit kaku dari bagian

bawah otot rektus kanan.

3. Nyeri alih mungkin saja ada, letak apendiks mengakibatkan sejumah nyeri tekan,

spasme otot, dan konstipasi atau diare kambuhan.

4. Tanda rovsing (dapat diketahui dengan mempalpasi kuadran kanan bawah, yang

menyebabkan nyeri pada kuadran kiri bawah).

5. Jika terjadi rupture apendiks, maka nyeri akan menjadi lebih melebar, terjadi

distensi abdomen akibat ileus paralitik dan kondisi memburuk.

Sedangkan menurut Grace dan Borley (2014), manifetasi klinis apendisitis meliputi :

1. Nyeri abdomen periumbilikal mual, muntah

2. Lokalisasi nyeri menuju fosa iliaka kanan.

3. Fraksi ringan

4. Pasien menjadi kemerahan, takikardi, lidah berselaput, halitosis.

5. Nyeri tekan pelvis sisi kanan pada pemeriksaan per rektal.

6. Peritonitis jika apendiks mengalami perforasi


7. Masa apendiks jika pasien datang terlambat

2.3.6 Patofifiologi

Appendicitis terjadi karena penyumbatan lumen apendiks oleh hyperplasia folikel

limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau

neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mucus yang diproduksi mukosa mengalami

bendungan. Makin lama mucus tersumbat makin banyak, namun elastisitas dinding

apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan piningkatan tekanan

intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang

mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi

appendicitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mucus terus

berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena,

edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas

dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di darah kanan bawah.

Keadaan ini disebut appendicitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu

akan terjadi infark dinding appendiks yang dan apendiks lebih panjang, dinding apendiks

lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang

memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi

karena telah ada gangguan pembuluh darah. Diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut

dengan appendicitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh ini pecah, akan terjadi

appendicitis perforasi (Wedjo, 2019).

Apendiks terinflamasi dan mengalami edema sebagai akibat terlipat atau

tersumbat kemungkinan oleh fekolit (massa keras dari faeces) atau benda asing. Proses

inflamasi meningkatkan tekanan intraluminal, menimbulkan nyeri abdomen atas atau


menyebar hebat secara progresif, dalam beberapa jam terlokalisasi dalam kuadran kanan

bawah dari abdomen. Akhirnya apendiks yang terinflamasi berisi pus (Munir, 2011).

Apendektomi biasanya disebabkan adanya penyumbatan lumen apendiks yang

dapat diakibatkan oleh fekalit/atau apendikolit, hiperplasia limfoid, benda asing, parasit,

mioplasma atau striktur karena fibrosir akibat peradangan sebelumnya. Obstruksi lumen

yang terjadi mendukung perkembangan bakteri dan sekresi mukus sehingga

menyebabkan distensi lumen dan peningkatan tekanan dinding lumen. Setelah

apendiktomy dilakukan mengakibatkan kerusakan jaringan dan terjadinya ujung saraf

terputus menimbulkan masalah keperawatan kerusakan integritas kulit (Hanifah, 2019).

2.3.7 Pemeriksaan Penunjang

Menurut Saputro (2018), pemeriksaan penunjang apendiks meliputi sebagai berikut :

1. Pemeriksaan fisik

a. Inspeksi : akan tampak adanya pembengkakan (swelling)rongga perut dimana

dinding perut tampak mengencang (distensi).

b. Palpasi : didaerah perut kanan bawah bila ditekan akan terasa nyeri dan bila

tekanan dilepas juga akan terasa nyeri (Blumberg sign) yang mana merupakan

kunci dari diagnosis apendiksitis akut.


c. Dengan tindakan tungkai bawah kanan dan paha diteku kuat/tungkai di angkat

tinggi-tinggi, maka rasa nyeri di perut semakin parah (proas sign).

d. Kecurigaan adanya peradangan usus buntu semakin bertambah bila pemeriksaan

dubur dan atau vagina menimbulkan rasa nyeri juga.

e. Suhu dubur yang lebih tinggi dari suhu ketiak, lebih menunjang lagi adanya

radang usus buntu.

2. Pemeriksaan Laboratorium

a. SDP: Leukositosis diatas 12.000/mm3, Neutrofil meningkat sampai 75%,

b. Urinalisis: Normal, tetapi eritrosit/leukosit mungkin ada.

c. Foto abdomen: Dapat menyatakan adanya pergeseran, material apendiks

(fekalit), ileus terlokalisir

d. Kenaikan dari sel darah putih (leukosit) hingga 10.000- 18.000/mm3. Jika

peningkatan lebih dari itu, maka kemungkinan apendiks sudah mengalami

perforasi (pecah).

3. Pemeriksaan Radiologi

a. Foto polos perut dapat memperlihatkan adanya fekalit.

b. Ultrasonografi (USG)
c. CT Scan abdomen

2.3.8 Penatalaksanaan

Menurut Saputro (2018), penatalaksanan pada yang dilakukan pada klien apendisitis

yaitu penatalaksanaan medis dan penatalaksanaan keperawatan :

1. Penatalaksanaan Medis

a. Pembedahan (konvensional atau laparaskopi) apabila diagnosa apendisitis telah

ditegakan dan harus segera dilakukan untuk mengurangi risiko perforasi.

b. Berikan obat antibiotik dan cairan IV sampai tindakan pembedahan dilakukan.

c. Agen analgesik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakan.

d. Operasi (apendiktomi), bila diagnosa telah ditegakan yang harus dilakukan adalah

operasi membuang apendiks (apendiktomi). Penundaan apendiktomi dengan cara

pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses

apendiks dilakukan drainage.

2. Penatalaksanaan Keperawatan

a. Tatalaksana apendisitis pada kebanyakan kasus adalah apendiktomi.

Keterlambatan dalam tatalaksana dapat meningkatkan kejadian perforasi. Teknik

laparoskopi sudah terbukti menghasilkan nyeri pasca bedah yang lebih sedikit,

pemulihan yang lebih cepat dan angka kejadian infeksi luka yang lebih rendah.

Akan tetapi terdapat peningkatan kejadian abses intra abdomen dan pemanjangan
waktu operasi. Laparoskopi itu dikerjakan untuk diagnosa dan terapi pada pasien

dengan akut abdomen, terutama pada wanita

b. Tujuan keperawatan mencakup upaya meredakan nyeri, mencegah defisit volume

cairan, mengatasi ansietas, mengurangi risiko infeksi yang disebabkan oleh

gangguan potensial atau aktual pada saluran gastrointestinal, mempertahankan

integritas kulit dan mencapai nutris yang optimal.

c. Sebelum operasi, siapkan pasien untuk menjalani pembedahan, mulai jalur Intra

Vena berikan antibiotik, dan masukan selang nasogastrik (bila terbukti ada ileus

paralitik), jangan berikan laksatif.

d. Setelah operasi, posisikan pasien fowler tinggi, berikan analgetik narkotik sesuai

program, berikan cairan oral apabila dapat ditoleransi, dan lakukan perawatan

luka.

e. Jika drain terpasang di area insisi, pantau secara ketat adanya tanda - tanda

obstruksi usus halus, hemoragi sekunder atau abses sekunder

Jadi berdasarkan pembahasan diatas, tindakan yang dapat dilakukan terbagi dua yaitu

tindakan medis yang mengacu pada tindakan pembedahan/apendictomy dan

pemberian analgetik, dan tindakan keperawatan yang mengacu pada pemenuhan

kebutuhan klien sesuai dengan kebutuhan klien untuk menunjang proses pemulihan.

2.3.9 Komplikasi

Komplikasi menurut (Brunner dan Suddarth, 2014) yaitu:


1. Komplikasi utama adalah perforasi apendiks yang dapat menyebabkan peritonitis

pembentukan abses (tertampungnya materi purulen), atau flebilitis portal.

2. Perforasi biasanya terjadi setelah 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala yang muncul

antara lain: Demam 37,70 C, nyeri tekan atau nyeri abdomen.

Menurut Saputro (2018), komplikasi dapat terjadi apabila terjadi keterlambatan

penanganan seperti :

a. Abses

Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di

kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa flegmon dan

berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila Apendisitis

gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum.

b. Perforasi

Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar ke

rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jampertama sejak awal sakit, tetapi

meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70% kasus

dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari

38,50C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama

polymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun

mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.

c. Peritonitis

Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya yang dapat

terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada permukaan

peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltik berkurang


sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan

elektrolitmengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis

disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan

leukositosis.

Menurut Juliana (2017), komplikasi dapat terjadi apabila terjadi perawatan luka yang

tidak sesuai dengan prosedur yaitu :

1. Hematoma (Hemoragi), balutan diinspeksi terhadap hemoragi pada interval yang

sering selama 24 jam setelah pembedahan.

2. Selulitis adalah infeksi bakteri yang menyebar ke dalam bidang jaringan. Semua

manifestasi inflamasi tampak dalam hal ini, strepcococus sering menjadi organisme

penyebab.

3. Abses yaitu infeksi bakteri setempat yang ditandai dengan pengumpulan pus

(bakteri, jaringan nekrotik, dan SDP Meningkat).

4. Limfangitis adalah penyebaran infeksi dari selulitis atau abses ke sistem limfatik.

Berdasarkan penjelasan diatas, hal yang bisa mengakibatkan keparahan/komplikasi

penyakit apendisitis dikarenakan dua hal yaitu faktor ketidaktahuan masyarakat dan

keterlambatan tenaga medis dalam menentukan tindakan sehingga dapat menyebabkan

abses, perforasi dan peritonitis.

2.4 Tren dan Isue Perawatan Luka

2.4.1 Cara perawatan luka dengan Modern Dressing

Metode perawatan luka yang berkembang saat ini adalah menggunakan prinsip

moisture balance, yang disebutkan lebih efektif dibandingkan metode konvensional.

Perawatan luka menggunakan prinsip moisture balance ini dikenal sebagai metode
modern dressing. Selama ini, ada anggapan bahwa suatu luka akan cepat sembuh jika

luka tersebut telah mengering. Namun faktanya, lingkungan luka yang kelembapannya

seimbang memfasilitasi pertumbuhan sel dan proliferasi kolagen dalam matriks

nonseluler yang sehat.

Pada luka akut, moisture balance memfasilitasi aksi faktor pertumbuhan,

cytokines, dan chemokines yang mempromosi pertumbuhan sel dan menstabilkan matriks

jaringan luka. Jadi, luka harus dijaga kelembapannya. Lingkungan yang terlalu lembap

dapat menyebabkan maserasi tepi luka, sedangkan kondisi kurang lembap menyebabkan

kematian sel, tidak terjadi perpindahan epitel dan jaringan matriks.

Perawatan luka modern harus tetap memperhatikan tiga tahap, yakni mencuci

luka, membuang jaringan mati, dan memilih balutan. Mencuci luka bertujuan

menurunkan jumlah bakteri dan membersihkan sisa balutan lama, debridement jaringan

nekrotik atau membuang jaringan dan sel mati dari permukaan luka. Perawatan luka

konvensional harus sering mengganti kain kasa pembalut luka, sedangkan perawatan luka

modern memiliki prinsip menjaga kelembapan luka dengan menggunakan bahan seperti

hydrogel.

Hydrogel berfungsi menciptakan lingkungan luka tetap lembab, melunakkan serta

menghancurkan jaringan nekrotik tanpa merusak jaringan sehat, yang kemudian terserap

ke dalam struktur gel dan terbuang bersama pembalut (debridemen autolitik alami).

Balutan dapat diaplikasikan selama tiga sampai lima hari, sehingga tidak sering

menimbulkan trauma dan nyeri pada saat penggantian balutan. 6 Jenis modern dressing

lain, yakni Ca Alginat, kandungan Ca-nya dapat membantu menghentikan perdarahan.

Kemudian ada hidroselulosa yang mampu menyerap cairan dua kali lebih banyak
dibandingkan Ca Alginat. Selanjutnya adalah hidrokoloid yang mampu melindungi dari

kontaminasi air dan bakteri, dapat digunakan untuk balutan primer dan sekunder.

Penggunaan jenis modern dressing disesuaikan dengan jenis luka. Untuk luka yang

banyak eksudatnya dipilih bahan balutan yang menyerap cairan seperti foam, sedangkan

pada luka yang sudah mulai tumbuh granulasi, diberi gel untuk membuat suasana lembap

yang akan membantu mempercepat penyembuhan luka.

Anda mungkin juga menyukai