Anda di halaman 1dari 31

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dehisensi luka post operasi merupakan komplikasi utama yang serius.
kejadiannya berkisar antara 0,25% sampai 3% dari seluruh operasi terutama
pada operasi laparotomi yang dilakukan, dengan angka kematian berkisar
antara 10-20%, Laparatomi sendiri merupakan suatu proses insisi bedah ke
dalam rongga abdomen yang dilakuakan dengan berbagai indikasi seperti
trauma abdomen, kehamilan ektopik, mioma uteri, infeksi pada rongga
abdomen, perdarahan saluran cerna, sumbatan pada usus halus dan usus besar
serta masa pada abdomen (Anonim, 2009).
Laparotomi terdiri dari beberapa jenis, diantaranya: adrenalektomi,
appendiktomi, gastrektomi, histerektomi, kolektomi, nefrektomi,
pankreatektomi, prostatektomi, seksio sesarea, sistektomi, salpingo
oofarektomi dan vagotomi, tindakan laparotomi dapat menimbulkan berbagai
komplikasi pasca bedah antara lain gangguan perfusi jaringan, infeksi pada
luka yang menyebabkan buruknya integritas kulit serta terjadinya dehisensi
luka operasi (Anonim, 2009).
Terjadinya dehisensi luka post operasi dapat berkaitan dengan berbagai
kondisi seperti anemia, hipoalbumin, malnutrisi, keganasan, obesitas dan
diabetes, usia lanjut, prosedur pembedahan spesifik seperti pembedahan pada
kolon atau laparotomi emergency. Dehisensi luka juga dapat terjadi karena
perawatan luka yang tidak adekuat serta faktor mekanik seperti batuk-batuk
yang berlebihan, ileus obstruktif dan hematom serta teknik operasi yang
kurang baik (Afzal et al, 2008; Anonim, 2008).
Penanganan dehisensi luka secara umum dibedakan menjadi
penanganan operatif dan penanganan non operatif. Penanganan operatif
dilakukan pada sebagian besar penderita luka operasi terbuka. Sedangkan
penanganan non operatif dilakukan diberikan kepada penderita yang sangat
tidak stabil dan tidak mengalami eviserasi (Singh, 2009; Spiolitis et al, 2009).

1
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Kulit


1. Anatomi Kulit
Kulit merupakan organ tubuh paling besar yang melapisi seluruh
bagian tubuh, membungkus daging dan organ-organ yang ada di dalamnya.
Seluruh kulit beratnya sekitar 16 % berat tubuh. Pada orang dewasa sekitar
2,7 3,6 kg dan luasnya sekitar 1,5 1,9 meter persegi. Tebalnya kulit
bervariasi mulai 0,5 mm sampai 6 mm tergantung dari letak, umur dan jenis
kelamin. Kulit tipis terletak pada kelopak mata, penis, labium minus dan
kulit bagian medial lengan atas. Sedangkan kulit tebal terdapat pada telapak
tangan, telapak kaki, punggung, bahu (Branon, 2007).

Gambar 1. Anatomi Kulit (Branon, 2007)

a. Lapisan Kulit
Kulit terdiri dari tiga lapis yaitu epidermis sebagai lapisan yang
paling luar, dermis dan hypodermis atau subkutis yang merupakan jaringan
penyambung di bawah kulit (Branon, 2007).

2
1) Epidermis
Epidermis adalah lapisan luar kulit yang tipis dan avaskuler.
Terdiri dari epitel berlapis gepeng bertanduk, mengandung sel
melanosit, Langerhans dan merkel. Tebal epidermis berbeda-beda
pada berbagai tempat di tubuh, paling tebal pada telapak tangan dan
kaki. Ketebalan epidermis hanya sekitar 5 % dari seluruh ketebalan
kulit. Pada epidermis terjadi regenerasi setiap 4-6 minggu (Branon,
2007; Amirlak, 2008).
Fungsi Epidermis antara lain proteksi barier, organisasi sel,
sintesis vitamin D dan sitokin, pembelahan dan mobilisasi sel,
pigmentasi (melanosit) dan pengenalan alergen (sel Langerhans).
Epidermis terdiri atas lima lapisan : (1). Stratum Korneum, Terdiri
dari sel keratinosit yang bisa mengelupas dan berganti. (2). Stratum
Lusidum, berupa garis translusen, biasanya terdapat pada kulit tebal
telapak kaki dan telapak tangan. Tidak tampak pada kulit tipis. (3).
Stratum Granulosum, ditandai oleh 3-5 lapis sel polygonal gepeng
yang intinya ditengah dan sitoplasma terisi oleh granula basofilik
kasar yang dinamakan granula keratohialin yang mengandung
protein kaya akan histidin. Terdapat sel Langerhans. (4). Stratum
Spinosum, terdapat berkas-berkas filament yang dinamakan
tonofibril, dianggap filamen-filamen tersebut memegang peranan
penting untuk mempertahankan kohesi sel dan melindungi terhadap
efek abrasi. Epidermis pada tempat yang terus mengalami gesekan
dan tekanan mempunyai stratum spinosum dengan lebih banyak
tonofibril. Stratum basale dan stratum spinosum disebut sebagai
lapisan Malfigi. Terdapat sel Langerhans. (5). Stratum Basale
(Stratum Germinativum). Terdapat aktifitas mitosis yang hebat dan
bertanggung jawab dalam pembaharuan sel epidermis secara
konstan. Epidermis diperbaharui setiap 28 hari untuk migrasi ke
permukaan, hal ini tergantung letak, usia dan faktor lain. Merupakan
satu lapis sel yang mengandung melanosit (Branon, 2007; Amirlak,
2008).

3
Gambar 2. Lapisan Epidermis (Amirlak, 2008)

2) Dermis
Merupakan bagian yang paling penting di kulit yang sering
dianggap sebagai True Skin. Terdiri atas jaringan ikat yang
menyokong epidermis dan menghubungkannya dengan jaringan
subkutis. Tebalnya bervariasi, yang paling tebal terdapat pada telapak
kaki sekitar 3 mm. Dermis terdiri dari dua lapisan : (1). Lapisan
papiler, tipis mengandung jaringan ikat jarang. (2). Lapisan retikuler,
tebal terdiri dari jaringan ikat padat (Amirlak, 2008).
Pada dasarnya dermis terdiri atas sekumpulan serat-serat
elastic yang dapat membuat kulit berkerut akan kembali ke bentuk
semula dan serat protein ini yang disebut kolagen. Serat-serat
kolagen ini disebut juga jaringan penunjang, karena fungsinya dalam
membentuk jaringan-jaringan kulit yang menjaga kekeringan dan
kelenturan kulit. Serabut-serabut kolagen menebal dan sintesa
kolagen berkurang dengan bertambahnya usia. Serabut elastin
jumlahnya terus meningkat dan menebal, kandungan elastin kulit
manusia meningkat kira-kira 5 kali dari fetus sampai dewasa. Pada
usia lanjut kolagen saling bersilangan dalam jumlah besar dan
serabut elastin berkurang menyebabkan kulit terjadi kehilangan
kelemasannya dan tampak mempunyai banyak keriput (Branon,
2007; Amirlak, 2008).

4
Dermis mempunyai banyak jaringan pembuluh darah. Dermis
juga mengandung beberapa derivat epidermis yaitu folikel rambut,
kelenjar sebasea dan kelenjar keringat. Kualitas kulit tergantung
banyak tidaknya derivat epidermis di dalam dermis (Branon, 2007).
Kelenjar keringat terdiri dari fundus (bagian yang melingkar)
dan duet yaitu saluran semacam pipa yang bermuara pada permukaan
kulit membentuk pori-pori keringat. Semua bagian tubuh dilengkapi
dengan kelenjar keringat dan lebih banyak terdapat dipermukaan
telapak tangan, telapak kaki, kening dan di bawah ketiak. Kelenjar
keringat mengatur suhu badan dan membantu membuang sisa-sisa
pencernaan dari tubuh. Kegiatannya terutama dirangsang oleh panas,
latihan jasmani, emosi dan obat-obat tertentu. Ada dua jenis kelenjar
keringat yaitu Ekrin dan Apokrin (Branon, 2007).
Kelenjar sebasea terletak pada bagian atas dermis berdekatan
dengan folikel rambut terdiri dari gelembung-gelembung kecil yang
bermuara ke dalam kandung rambut (folikel). Folikel rambut
mengeluarkan lemak yang meminyaki kulit dan menjaga kelunakan
rambut. Kelenjar sebasea membentuk sebum. Terkecuali pada
telapak tangan dan telapak kaki, kelenjar sebasea terdapat di semua
bagian tubuh terutama pada bagian muka. Pada umumnya, satu
batang rambut hanya mempunyai satu kelenjar sebasea yang
bermuara pada saluran folikel rambut (Amirlak, 2008).

Gambar 3. Lapisan Dermis

5
Fungsi Dermis antara lain sebagai struktur penunjang,
mechanical strength, suplai nutrisi, menahan shearing forces dan
respon inflamasi (Amirlak, 2007).
3) Hypodermis tau Subkutis
Lapisan ini merupakan lapisan di bawah dermis atau
hipodermis yang terdiri dari lapisan lemak. Pada lapisan ini terdapat
jaringan ikat yang menghubungkan kulit secara longgar dengan
jaringan di bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda-beda menurut
daerah di tubuh dan keadaan nutrisi individu. Subkutis berfungsi
menunjang suplai darah ke lapisan dermis untuk regenerasi. Fungsi
Subkutis / hipodermis antara lain untuk melekatkan kulit ke struktur
dasar, isolasi panas, cadangan kalori, kontrol bentuk tubuh dan
mechanical shock absorber (Branon, 2007; Amirlak, 2008).
b. Vaskularisasi Kulit
Arteri yang memberi nutrisi pada kulit membentuk pleksus terletak
antara lapisan papiler dan retikuler dermis dan selain itu antara dermis dan
jaringan subkutis. Cabang kecil meninggalkan pleksus ini memperdarahi
papilla dermis, tiap papilla dermis punya satu arteri asenden dan satu
cabang vena. Pada epidermis tidak terdapat pembuluh darah tapi mendapat
nutrient dari dermis melalui membran epidermis. Vaskularisasi dikulit
diatur oleh 2 pleksus, yaitu pleksus superfisialis dan pleksus profunda
(Branon, 2007; Amirlak, 2008).

2. Fisiologi Kulit
Kulit merupakan organ yang berfungsi sangat penting bagi tubuh
diantaranya adalah memungkinkan bertahan dalam berbagai kondisi
lingkungan, sebagai barier infeksi, mengontrol suhu tubuh (termoregulasi),
sensasi, eskresi dan metabolisme (Branon, 2007).
a. Pelindung atau proteksi
Epidermis terutama lapisan tanduk berguna untuk menutupi jaringan
tubuh di sebelah dalam dan melindungi tubuh dari pengaruh-
pengaruh luar seperti luka dan serangan kuman (Branon, 2007).

6
Lapisan paling luar epidermis diselubungi lapisan tipis lemak yang
menjadikan kulit tahan air. Kulit dapat menahan suhu tubuh,
menahan luka-luka kecil, mencegah zat kimia dan bakteri masuk ke
dalam tubuh serta menghalau rangsang-rangsang fisik seperti sinar
ultraviolet dari matahari.
b. Penerima rangsang
Kulit sangat peka terhadap berbagai rangsang sensorik yang
berhubungan dengan nyeri, suhu panas atau dingin, tekanan, rabaan,
dan getaran. Kulit sebagai alat perasa dirasakan melalui ujung-ujung
saraf sensasi.
c. Pengatur panas atau thermoregulasi
Kulit mengatur suhu tubuh melalui dilatasi dan konstruksi pembuluh
kapiler serta melalui respirasi yang keduanya dipengaruhi saraf
otonom. Tubuh yang sehat memiliki suhu tetap sekitar 36,5C.
Ketika terjadi perubahan suhu luar, darah dan kelenjar keringat kulit
mengadakan penyesuaian seperlunya dalam fungsinya masing-
masing.
d. Pengeluaran (ekskresi)
Kulit mengeluarkan zat-zat tertentu yaitu keringat dari kelenjar
keringat yang dikeluarkan melalui pori-pori keringat dengan
membawa garam, yodium dan zat kimia lainnya. Air yang
dikeluarkan melalui kulit tidak saja disalurkan melalui keringat tetapi
juga melalui penguapan air transepidermis sebagai pembentukan
keringat yang tidak disadari.
e. Penyimpanan : Kulit menyimpan lemak di dalam kelenjar lemak.
f. Penyerapan terbatas
Kulit dapat menyerap zat-zat tertentu, terutama zat-zat yang larut
dalam lemak dapat diserap ke dalam kulit. Hormon yang terdapat
pada krim muka dapat masuk melalui kulit dan mempengaruhi
lapisan kulit pada tingkatan yang sangat tipis (Branon, 2007;
Amirlak, 2008).
Penyerapan terjadi melalui muara kandung rambut dan masuk ke
dalam saluran kelenjar palit, merembes melalui dinding pembuluh

7
darah ke dalam peredaran darah kemudian ke berbagai organ tubuh
lainnya.
g. Penunjang penampilan
Fungsi yang terkait dengan kecantikan yaitu keadaan kulit yang
tampak halus, putih dan bersih akan dapat menunjang penampilan.
Fungsi lain dari kulit yaitu kulit dapat mengekspresikan emosi
seseorang seperti kulit memerah, pucat maupun konstraksi otot
penegak rambut (Branon, 2007; Amirlak, 2008).

B. Luka dan Penyembuhan Luka


1. Luka
Luka adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomis kulit normal akibat
proses patologis yang berasal dari internal maupun eksternal dan mengenai
organ tertentu. Keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma tajam atau tumpul,
perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik atau animal bite (Sinaga,
2009).
Ada beberapa penggolongan klasifikasi luka. Namun yang umum
dipakai adalah sebagai berikut :
a. Berdasarkan waktu terjadinya
1) Luka Akut
Luka akut merupakan luka yang biasanya segera mendapat
penanganan dan biasanya dapat sembuh dengan baik bila tidak
terjadi komplikasi. Kriteria luka akut adalah luka baru, mendadak
dan penyembuhannya sesuai dengan waktu yang diperkirakan.
Sebagai contoh pada luka sayat, luka bakar, luka tusuk dan crush
injury. Luka operasi juga dapat dianggap sebagai luka akut yang
dibuat oleh ahli bedah. Contoh pada luka jahit dan skin grafting
(Sinaga, 2009; Yadi, 2008).

2) Luka Kronik

8
Luka kronik merupakan luka yang berlangsung lama atau sering
timbul kembali (recurrent), dimana terjadi gangguan pada proses
penyembuhan yang biasanya disebabkan oleh masalah multifaktor
dari penderita. Pada luka kronik terjadi luka yang gagal sembuh
pada waktu yang diperkirakan, tidak berespon baik terhadap terapi
dan mempunyai kemungkinan untuk timbul kembali. Contoh pada
ulkus dekubitus, ulkus diabetik, ulkus venosus, luka bakar dan lain
sebagainya (Sinaga, 2009; Yadi, 2008).
b. Berdasarkan kedalaman luka
1) Stadium I : Luka Superfisial atau Non-Blanching Erithema : yaitu
luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit.
2) Stadium II : Luka Partial Thickness : yaitu hilangnya lapisan kulit
pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan
luka superficial ditambah dengan adanya tanda klinis seperti
abrasi, blister atau lubang yang dangkal.
3) Stadium III : Luka Full Thickness : yaitu hilangnya kulit secara
keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan
yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan
yang mendasarinya. Luka yang terjadi mengenai lapisan epidermis,
dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara
klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak
jaringan sekitarnya.
4) Stadium IV : Luka Full Thickness yang telah mencapai lapisan
otot, tendon dan tulang dengan adanya destruksi atau kerusakan
yang luas (Sinaga, 2009; Tawi, 2008).
c. Berdasarkan tingkat kontaminasi
1) Clean Wounds (Luka bersih), yaitu luka bedah tak terinfeksi yang
mana tidak terjadi proses peradangan dan infeksi pada sistem
pernafasan, pencernaan, genital dan urinari tidak terjadi (Hidayat,
2007).
Luka bersih biasanya menghasilkan luka yang tertutup; jika
diperlukan dimasukkan drainase tertutup. Kemungkinan terjadinya
infeksi luka sekitar 1% 5%.
2) Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi), yaitu
luka pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital

9
atau perkemihan dalam kondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu
terjadi, kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3% 11%.
3) Contamined Wounds (Luka terkontaminasi), termasuk luka terbuka,
fresh, luka akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar
dengan teknik aseptik atau kontaminasi dari saluran cerna; pada
kategori ini juga termasuk insisi akut, inflamasi nonpurulen.
Kemungkinan infeksi luka 10% 17%.
4) Dirty or Infected Wounds (Luka kotor atau infeksi), yaitu
terdapatnya mikroorganisme pada luka (Hidayat, 2007).
d. Berdasarkan Mekanisme terjadinya
1) Luka insisi (Incised Wound), terjadi karena teriris oleh instrument
yang tajam. Missal yang terjadi akibat pembedahan.
2) Luka memar (Contusion Wound), terjadi akibat benturan oleh suatu
tekanan dan dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak,
perdarahan dan bengkak.
3) Luka lecet (Abraded Wound), terjadi akibat kulit bergesekan
dengan benda lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam.
4) Luka tusuk (Punctured Wound), terjadi akibat adanya benda,
seperti pisau yang masuk ke dalam kulit dengan diameter yang
kecil.
5) Luka gores (Lacerated Wound), terjadi akibat benda yang tajam
seperti oleh kaca atau oleh kawat.
6) Luka tembus (Penetrating Wound), yaitu luka yang menembus
organ tubuh biasanya pada bagian awal luka masuk diameternya
kecil tetapi pada bagian ujung biasanya lukanya akan melebar.
7) Luka bakar (Combustio), yaitu luka akibat terkena suhu panas
seperti api, matahari, listrik, maupun bahan kimia (Hidayat, 2007).
2. Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks karena
berbagai kegiatan bio-seluler, bio-kimia terjadi berkesinambungan.
Penggabungan respons vaskuler, aktivitas seluler dan terbentuknya bahan
kimia sebagai substansi mediator di daerah luka merupakan komponen yang
saling terkait pada proses penyembuhan luka. Proses ini berlangsung dinamis
melibatkan mediator cair, sel darah, matriks ekstraseluler, serta sel-sel
parenkim. Proses penyembuhan luka secara umum terdiri atas tiga fase yaitu

10
inflamasi, pembentukan jaringan atau proliferasi dan maturasi atau remodeling
(Tawi, 2008; Yadi, 2005).
a. Inflamasi
Inflamasi merupakan tahap pertama penyembuhan luka. Fase ini
dimulai sejak terjadinya luka dan berlangsung selama 3 sampai 7 hari.
Fase inflamasi secara klinis ditandai dengan cardinal sign: kemerahan
karena kapiler melebar (rubor), suhu hangat (kalor), rasa nyeri (dolor), dan
pembengkakan (tumor) serta function laesa (Anonim, 2008).
Setelah terjadinya luka jaringan pembuluh darah segera mengalami
vasikonstriksi disertai reaksi hemostasis karena agregasi trombosit yang
bersama jala fibrin membekukan darah. Komponen hemostasis ini akan
melepaskan dan mengaktifkan sitokin yang meliputi Epidermal Growth
Factor (EGF), Insulin-like Growth Factor (IGF), Plateled-derived Growth
Factor (PDGF) dan Transforming Growth Factor beta (TGF-) yang
berperan untuk terjadinya kemotaksis netrofil, makrofag, mast sel, sel
endotelial dan fibroblas. Pada fase ini kemudian terjadi vasodilatasi dan
akumulasi lekosit Polymorphonuclear (PMN). Agregat trombosit akan
mengeluarkan mediator inflamasi Transforming Growth Factor beta 1
(TGF b1) yang juga dikeluarkan oleh makrofag. Adanya TGF b1 akan
mengaktivasi fibroblas untuk mensintesis kolagen (Yadi, 2005; Braz,
2007; Baxter, 2003).

Faktor apapun yang mengganggu proses ini akan memperlambat


penyembuhan luka. Selama fase inflamasi akut, jaringan tidak akan
memperoleh kekuatan regangan yang cukup tetapi tergantung pada
pendekatan tepi luka (Braz et al, 2007).

11
Gambar 4. Fase Inflamasi (Ismail, 2008)

b. Proliferasi
Fase proliferasi penyembuhan luka dimulai kira-kira 2-3 hari setelah
terjadinya luka, ditandai dengan munculnya fibroblast. Proses kegiatan
seluler yang penting pada fase ini adalah memperbaiki dan
menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi sel. Tahap proliferasi
ini disebut juga fase fibroplasias karena yang menonjol adalah proses
proliferasi fibroblast. Peran fibroblas sangat besar pada proses perbaikan,
yaitu bertanggung jawab pada persiapan menghasilkan produk struktur
protein yang akan digunakan selama proses rekonstruksi jaringan
(Sjamsudidajat, 2005; Tawi, 2008).
Sesudah terjadi luka, fibroblas akan aktif bergerak dari jaringan
sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang serta
mengeluarkan beberapa substansi seperti kolagen, elastin, asam
hyaluronic, fibronectin dan profeoglycans yang berperan dalam
rekonstruksi jaringan baru (Tawi, 2008).
Kolagen yang merupakan substansi protein adalah konstituen utama
dari jaringan ikat. Pembentukan serat kolagen menentukan kekuatan
regangan dan kelenturan penyembuhan luka. Fungsi kolagen yang lebih
spesifik adalah membentuk cikal bakal jaringan baru (Tawi, 2008; Braz et
al, 2007).
Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang tertanam di dalam
jaringan baru tersebut disebut sebagai jaringan granulasi, sedangkan
proses proliferasi fibroblas dengan aktifitas sintetiknya disebut fibroblasia.
Respons yang dilakukan fibroblas terhadap proses fibroplasia adalah:
proliferasi, migrasi, deposit jaringan matriks dan kontraksi luka (Tawi,
2008).
Ketika serat kolagen terisi dengan pembuluh darah baru, jaringan
granulasi akan menjadi terang dan merah. Bantalan kapiler tebal yang
mengisi matriks akan memberikan suplai nutrien dan oksigen yang
dibutuhkan untuk penyembuhan luka. Fase ini terjadi setelah hari ketiga.

12
Kolagen ini kemudian akan berada diantara luka dan akan memberikan
tekanan normal. Lamanya fase ini bervariasi berdasarkan tipe jaringan
yang terlibat dan tekanan atau tegangan yang diberikan luka selama
periode ini (Sjamsudidajat, 2005; Braz et al, 2007).
Angiogenesis atau proses pembentukan pembuluh kapiler baru
didalam luka juga mempunyai arti penting pada tahap proliferasi proses
penyembuhan luka. Kegagalan vaskuler akibat penyakit misalnya diabetes,
radiasi atau penggunaan preparat steroid dalam jangka waktuyang lama
mengakibatkan lambatnya proses penyembuhan luka. Jaringan vaskuler
yang melakukan invasi kedalam luka merupakan suatu respons untuk
memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup di daerah luka karena pada
daerah luka terdapat keadaan hipoksik dan turunnya tekanan oksigen. Pada
fase ini fibroplasia dan angiogenesis merupakan proses terintegrasi dan
dipengaruhi oleh substansi yang dikeluarkan oleh platelet dan makrofag
(Tawi, 2008; Braz et al, 2007).

Proses selanjutnya adalah epitelisasi, dimana fibroblas


mengeluarkan keratinocyte growth factor (KGF) yang berperan dalam
stimulasi mitosis sel epidermal. Keratinisasi akan dimulai dari pinggir luka
dan akhirnya membentuk barrier yang menutupi permukaan luka. Dengan
sintesa kolagen oleh fibroblas, pembentukan lapisan dermis ini akan
disempurnakan kualitasnya dengan mengatur keseimbangan jaringan
granulasi dan dermis. Untuk membantu jaringan baru tersebut menutup
luka, fibroblas akan merubah strukturnya menjadi myofibroblast yang
mempunyai kapasitas melakukan kontraksi pada jaringan. Fungsi
kontraksi akan lebih menonjol pada luka dengan defek luas dibandingkan
dengan defek luka minimal (Tawi, 2008; Braz et al, 2007).
Kontraksi luka adalah proses yang mendorong tepi luka bersama
untuk penutupan luka. Hal ini akan mengurangi area yang terbuka dan jika
berhasil akan menghasilkan luka yang kecil. Kontraksi luka akan sangat
menguntungkan pada penutupan luka pada area-area seperti glutea dan
trokanter, tetapi akan membahayakan pada area seperti tangan atau sekitar

13
leher dan wajah dimana hal ini akan menyebabkan kelainan bentuk dan
jaringan parut berlebihan. Luka operasi yang ditutup secara perprimum
memiliki respon kontraksi yang minimal. Graft kulit digunakan untuk
menurunkan kontraksi pada lokasi yang tidak diinginkan (Braz et al,
2007).
Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen
telah terbentuk, terlihat proses kontraksi dan akan dipercepat oleh berbagai
growth factor yang dibentuk oleh makrofag dan platelet (Tawi, 2008).

Gambar 5. Fase Proliferasi (Ismail, 2008)


c. Remodelling
Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri atas penyerapan
kembali jaringan yang berlebih, pengerutan sesuai dengan gaya gravitasi
dan akhirnya perupaan kembali jaringan yang baru terbentuk. Fase ini
dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir sampai kurang
lebih 12 bulan. Tujuan dari fase ini adalah menyempurnakan terbentuknya
jaringan baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan bermutu
(Sjamsudidajat, 2005).
Ketika deposisi kolagen selesai, fibroblas sudah mulai
meninggalkan jaringan garunalasi, pembuluh darah pada luka akan
berangsur-angsur menurun dan kemerahan dari jaringan mulai berkurang
sehingga permukaannya akan menjadi lebih pucat dan serat fibrin dari
kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut. Jumlah
kolagen yang terbentuk bergantung pada volume awal jaringan granulasi
(Braz et al, 2007).

14
Kekuatan dari jaringan parut akan mencapai puncaknya pada
minggu ke-10 setelah perlukaan. Sintesa kolagen yang telah dimulai sejak
fase proliferasi akan dilanjutkan pada fase maturasi atau remodelling.
Selain pembentukan kolagen juga akan terjadi pemecahan kolagen oleh
enzim kolagenase. Kolagen muda (gelatinous collagen) yang terbentuk
pada fase proliferasi akan berubah menjadi kolagen yang lebih matang,
yaitu lebih kuat dan struktur yang lebih baik pada fase remodeling (Tawi,
2008).
Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan
keseimbangan antara kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan.
Kolagen yang berlebihan akan terjadi penebalan jaringan parut atau
hypertrophic scar, sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan
kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka. Luka dikatakan
sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan ajringan kulit
mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktivitas yang normal
(Tawi, 2008; Braz et al, 2007).

Gambar 6. Fase Remodelling


(Ismail, 2008)

15
Gambar 7. penyembuhan luka (Braz et al, 2007)

Penyembuhan luka kulit tanpa pertolongan dari luar seperti yang telah
diterangkan tadi, berjalan secara alami. Penyembuhan ini disebut
penyembuhan sekunder. Cara ini biasanya membutuhkan waktu yang lama
dan meninggalkan parut yang kurang baik, terutama jika lukanya terbuka
lebar. Dalam penatalaksanaan bedah terdapat 3 bentuk penyembuhan luka,
yaitu penyembuhan melalui intensi pertama, kedua, atau ketiga (Sinaga,
2009).
a. Penyembuhan melalui Intensi Pertama (Penyatuan Primer). Luka dibuat
secara aseptik, dengan perusakan jaringan minimum, dan penutupan
dengan baik, seperti dengan suture atau proses penjahitan untuk
mentautkan luka, sembuh dengan sedikit reaksi jaringan melalui intensi
pertama. Ketika luka sembuh melalui instensi pertama, jaringan granulasi
tidak tampak dan pembentukan jaringan parut minimal.
b. Penyembuhan melalui Instensi Kedua (Granulasi). Pada luka dimana
terjadi pembentukan pus (supurasi) atau dimana tepi luka tidak saling
merapat, proses perbaikannya kurang sederhana dan membutuhkan waktu
lebih lama.
c. Penyembuhan melalui Instensi Ketiga (Suture Sekunder). Jika luka dalam
baik yang belum dijahit atau terlepas dan kemudian dijahit kembali
nantinya, dua permukaan granulasi yang berlawanan disambungkan. Hal
ini mengakibatkan jaringan parut yang lebih dalam dan luas (Sinaga,
2009).

16
Gambar 8. Jenis Penyembuhan Luka (Sinaga, 2009)
Faktor faktor yang berpengaruh terhadap proses penyembuhan luka
terbagi menjadi faktor eksternal dan faktor internal. Faktor faktor eksternal
yang mempengaruhi penyembuhan luka antara lain :
a. Lingkungan
Dukungan dari lingkungan keluarga, dimana pasien akan merasa
mendapatkan perlindungan dan dukungan serta nasihat nasihat
khususnya untuk merawat kebersihan pasca terjadinya luka atau
pembedahan.
b. Tradisi
Di Indonesia ramuan peninggalan nenek moyang untuk perawatan pasca
bedah atau penyembuhan luka masih banyak digunakan, meskipun oleh
kalangan masyarakat modern.
c. Pengetahuan
Pengetahuan pasien dan keluarga tentang perawatan pasca bedah atau
perlukaan sangat menentukan lama penyembuhan luka. Apabila

17
pengetahua tentang masalah kebersihan kurang maka penyembuhan
lukapun akan berlangsung lama.
d. Sosial ekonomi
Pengaruh dari kondisi sosial ekonomi dengan lama penyembuhan luka
adalah keadaan fisik dan mental pasien dalam melakukan aktifitas sehari-
hari pasca pembedahan. Jika tingkat sosial ekonomi rendah, bisa jadi
penyembuhan luka berlangsung lama karena timbulnya rasa malas dalam
merawat diri.
e. Penanganan petugas
Pada terjadinya luka atau pasca pembedahan, pembersihannya harus
dilakukan dengan tepat oleh penangan petugas kesehatan, hal ini
merupakan salah satu penyebab yang dapat menentukan lama
penyembuhan luka.
f. Gizi
Asupan gizi yang cukup dan baik Makanan yang bergizi dan sesuai porsi
akan mempercepat masa penyembuhan luka (Hidyat, 2007; Sinaga,
2009).
Sedangkan faktor faktor internal yang berpengaruh terhadap proses
penyembuhan luka dapat digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu faktor
lokal, faktor sistemik dan faktor tekhnik (Yadi, 2005).
1. Faktor Lokal
a. Iskemia : kurangnya suplai darah ke jaringan luka dapat berupa tidak
adekuatnya aliran darah ke jaringan luka misalnya akibat ligasi,
peripheral vascular disease, atau hipotensi generalisata, dapat pula
karena sudah ada jaringan nekrotik pada tepi luka sebelumnya,
penutupan luka yang terlalu rapat sehingga merusak kapiler pada tepi
luka, atau regangan yang kuat sehingga mengganggu merapatnya
kontraksi luka.
b. Ketegangan luka : Ketegangan dalam penjahitan juga hendaknya
diperhatikan, terlalu tegang dapat menyebabkan iskemia. Jika terlalu
longgar juga dapat menyebabkan terjadinya dead space .

18
c. Infeksi : adanya dead space menyebabkan terkumpulnya darah dan
cairan serous lainnya menjadi media yang baik untuk bakteri sehingga
terjadi infeksi.
d. Trauma lokal : adanya trauma lokal misalnya benturan dapat
menyebakan kerusakan jaringan pada bekas operasi dan menyebabkan
iskemia lokal atau total.
e. Penyakit kronik jaringan : keadaan seperti limfadenopati kronik,
iskemia kronik, hipertensi dan jaringan parut yang luas dapat
menyebabkan penyembuhan luka yang buruk.
f. Radiasi : radiasi sebelum atau sesudah operasi dapat menyebaban
buruknya penyembuhan luka operasi karena terjadinya fibrosis dan
mikroangiopati (Anonim, 2008; Baxter, 2003; Yadi, 2005).
2. Faktor sistemik
Faktor-faktor sistemik seperti usia, diabetes, gagal ginjal, anemia,
hipoksia atau syok hipovolemia, kekurangan nutrisi, keganasan dan
penggunaan steroid jangka panjang dapat menyebabkan kegagalan sintesis
kolagen dan terganggunya fungsi imun sehingga menimbulkan gangguan
pada penyembuhan luka (Anonim, 2008).
3. Faktor teknik
Tindakan asepsis sebelum operasi dan pemberian antibiotic
profilaksis dapat berpengaruh pada penyembuhan luka pasca operasi.
Selain itu tekhnik operasi dan perawatan luka juga sangat berpengaruh
terhadap penyembuhan luka operasi (Yadi, 2005).
Sejumlah komplikasi dapat terjadi selama proses penyembuhan luka.
Komplikasi tersebut dapat disebabkan oleh proses yang mendasari, penyakit
yang diderita, kondisi gizi dan kesalahan teknik operasi atau terapi yang tidak
adekuat, antara lain:
1. Infeksi
Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama
pembedahan atau setelah pembedahan. Gejala muncul 2 7 hari setelah
pembedahan, antara lain adanya sekret purulent, peningkatan drainase,

19
nyeri, kemerahan dan bengkak di sekeliling luka, peningkatan suhu, dan
peningkatan jumlah sel darah putih (Anonim, 2008; Ismail, 2008).
2. Perdarahan
Perdarahan dapat menunjukkan adanya suatu pelepasan jahitan,
adanya gangguan faktor pembekuan pada daerah jahitan, infeksi, atau erosi
dari pembuluh darah oleh benda asing (seperti drain). Tanda-tanda
hipovolemia tidak langsung terlihat saat terjadi perdarahan. Jika
perdarahan terjadi terus menerus, penambahan tekanan balutan luka steril ,
pemberian cairan dan intervensi pembedahan mungkin diperlukan
(Anonim, 2008; Ismail, 2008).
3. Dehiscence dan Eviscerasi
Dehiscence dan eviscerasi adalah komplikasi operasi yang paling
serius. Dehisensi adalah terbukanya lapisan luka partial atau total.
Sedangkan eviscerasi adalah keluarnya isidi bawah jahitan luka melalui
daerah irisan. Biasanya didahului oleh infeksi, selain itu sejumlah faktor
meliputi kegemukan, kurang nutrisi, multiple trauma, batuk yang
berlebihan, muntah, dan dehidrasi mempertinggi resiko terjadinya
dehisensi luka. Dehisensi luka dapat terjadi 4 5 hari setelah operasi
sebelum kolagen meluas di daerah luka (Sjamsudidajat R, 2005).
C. Laparatomi
Laparatomi merupakan suatu prosedur tindakan pembedahan dengan
melibatkan suatu insisi pada dinding abdomen. Kata Laparatomi terbentuk
dari dua kata Yunani, lapara dan tome. Kata lapara berarti bagian lunak
dari tubuh yg terletak di antara tulang rusuk dan pinggul. Sedangkan tome
berarti pemotongan (Sjamsudidajat, 2005). Laparatomi dilakukan dengan
berbagai macam sayatan, yaitu :
1. Midline incision
Metode ini merupakan insisi yang paling sering digunakan, karena
sedikit perdarahan, eksplorasi dapat lebih luas, cepat di buka dan di tutup,
serta tidak memotong ligamen dan saraf. Namun demikian, kerugian jenis
insisi ini adalah terjadinya hernia sikatrialis. Indikasinya pada eksplorasi
gaster, pankreas, hepar, dan lien serta di bawah umbilikus untuk eksplorasi

20
ginekologis, rektosigmoid, dan organ dalam pelvis (Anita, 2009; Anonim,
2009).
2. Paramedian incision
Insisi paramedian yaitu insisi abdomen dengan sedikit ke tepi dari
garis tengah ( 2,5 cm), dengan panjang insisi 12,5 cm. Terbagi atas 2
yaitu paramedian kanan dan kiri, dengan indikasi pada jenis operasi
lambung, eksplorasi pankreas, organ pelvis, usus bagian bagian bawah,
serta plenoktomi. Insisi paramedian memiliki keuntungan antara lain :
merupakan bentuk insisi anatomis dan fisiologis, tidak memotong ligamen
dan saraf, dan insisi mudah diperluas ke arah atas dan bawah (Anita, 2009;
Anonim, 2009).
3. Transverse upper abdomen incision, yaitu ; insisi di bagian atas, misalnya
pembedahan colesistotomy dan splenektomy.
4. Transverse lower abdomen incision, yaitu; insisi melintang di bagian
bawah 4cm di atas anterior spinal iliaka, misalnya; pada operasi
appendectomy (Anonim, 2009).

Bedah laparatomi dilakuakan atas berbagai indikasi, terutama indikasi


dalam bidang digestif dan kandungan, antara lain : Trauma abdomen baik
tumpul maupun tajam, peritonitis, appendicitis, perdarahan saluran cerna,
obstruksi usus, kehamilan ektopik, mioma uteri, adhesi atau perlengketan
jaringan abdomen, pancreatitis dan sebagainya (Kate, 2009; Wain,2009).
Laparotomi terdiri dari beberapa jenis, diantaranya: adrenalektomi,
appendiktomi, gastrektomi, histerektomi, kolektomi, nefrektomi,
pankreatektomi, prostatektomi, seksio sesarea, sistektomi, salpingo
oofarektomi dan vagotomi. (Wain, 2009)
Seperti halnya jenis pembedahan yang lain, laparatomi juga dapat
menimbulkan beberapa komplikasi pasca pembedahan, antara lain :
1. Syok
Digambarkan sebagai tidak memadainya oksigenasi selular yang
disertai dengan ketidakmampuan tubuh untuk mengekspresikan produk

21
metabolisme. Manifestasi klinisnya antara lain : anemis, akral dingin,
takipnea, sianosis pada bibir, gusi dan lidah, takikardi dengan penurunan
tekanan nadi serta tekanan darah rendah dan urine pekat (Anita, 2009).
2. Hemorhagi
Hemoragi post laparotomi bisa terjadi primer, intermidiet maupun
sekunder. Hemoragi primer terjadi pada waktu pembedahan, hemoragi
intermediet terjadi beberapa jam setelah pembedahan, sedangkan hemoragi
sekunder terjadi beberapa waktu setelah pembedahan karena pembuluh
darah tidak terikat dengan baik atau menjadi terinfeksi atau mengalami
erosi oleh selang drainase.
3. Tromboplebitis.
Tromboplebitis postoperasi biasanya timbul 7 - 14 hari setelah
operasi. Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari
dinding pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke
paru-paru, hati, dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki
post operasi dan ambulatif dini (Kate, 2009).

4. Infeksi
Infeksi luka sering muncul pada 36 - 46 jam setelah operasi.
Organisme yang paling sering menimbulkan infeksi adalah Staphylokokus
aureus yang merupakan organisme gram positif. Bakteri ini
mengakibatkan pernanahan atau abses (Kate, 2009).
5. Dehisensi luka dan Eviserasi
Dehisensi luka merupakan terbukanya kembali tepi-tepi luka,
sedangkan eviserasi luka adalah keluarnya organ-organ dalam tubuh
melalui insisi yang terbuka kembali. Faktor penyebab dehisensi atau
eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan menutup luka saat pembedahan,
dan peningkatan tekanan intraabdominal akibat dari batuk atau muntah
(Anonim, 2009; Kate, 2009).

D. Dehisensi Luka

22
1. Definisi
Wound dehiscence adalah salah satu komplikasi dari proses
penyembuhan luka yang didefinisikan sebagai keadaan dimana terbukanya
kembali sebagian atau seluruhnya luka operasi. Keadaan ini sebagai akibat
kegagalan proses penyembuhan luka operasi (Baxter, 2003; Spiolitis,
2009)
2. Klasifikasi
Berdasarkan waktu terjadinya dehisensi luka operasi dapat dibagi
menjadi dua:
a. Dehisensi luka operasi dini : terjadi kurang dari 3 hari paska operasi
yang biasanya disebabkan oleh teknik atau cara penutupan dinding
perut yang tidak baik.
b. Dehisensi luka operasi lambat : terjadi kurang lebih antara 7 hari
sampai 12 hari paska operasi. Pada keadaan ini biasanya dihubungkan
dengan usia, adanya infeksi, status gizi dan faktor lainnya (Anonim,
2008; Sjamsudidajat R,2005).

3. Manifestasi Klinik
Dehisensi luka seringkali terjadi tanpa gejala khas, biasanya
penderita sering merasa ada jaringan dari dalam rongga abdomen yang
bergerak keluar disertai keluarnya cairan serous berwarna merah muda
dari luka operasi (85% kasus). Pada pemeriksaan didapatkan luka operasi
yang terbuka. Terdapat pula tanda-tanda infeksi umum seperti adanya rasa
nyeri, edema dan hiperemis pada daerah sekitar luka operasi, dapat pula
terjadi pus atau nanah yang keluar dari luka operasi (Anonim, 2008;
Sjamsudidajat R,2005).
Biasanya dehisensi luka operasi didahului oleh infeksi yang secara
klinis terjadi pada hari keempat hingga sembilan pascaoperasi. Penderita
datang dengan klinis febris, hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan
jumlah leukosit yang sangat tinggi dan pemeriksaan jaringan di sekitar
luka operasi didapatkan reaksi radang berupa kemerahan, hangat,

23
pembengkakan, nyeri, fluktuasi dan pus (Afzal,2008; Spioloitis et al,
2009).

4. Etiologi
Faktor penyebab dehisensi luka operasi berdasarkan mekanisme
kerjanya dibedakan atas tiga yaitu:
a. Faktor mekanik : Adanya tekanan dapat menyebabkan jahitan jaringan
semakin meregang dan mempengaruhi penyembuhan luka operasi.
Faktor mekanik tersebut antara lain batuk-batuk yang berlebihan, ileus
obstruktif dan hematom serta teknik operasi yang kurang.
b. Faktor metabolik : Hipoalbuminemia, diabetes mellitus, anemia,
gangguan keseimbangan elektrolit serta defisiensi vitamin dapat
mempengaruhi proses penyembuhan luka.
c. Faktor infeksi
Semua faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi luka
operasi akan meningkatkan terjadinya dehisensi luka operasi. Secara
klinis biasanya terjadi pada hari ke 6 - 9 paska operasi dengan gejala
suhu badan yang meningkat disertai tanda peradangan disekitar luka.
Menurut National Nosocomial Infection Surveilance System,
luka operasi dibedakan menjadi luka bersih, bersih terkontaminasi,
terkontaminasi dan kotor. Infeksi luka jahitan yang terjadi dini ditandai
dengan peningkatan temperature dan terjadinya selulitis dalam waktu
48 jam setelah penjahitan. Dehisensi luka operasi akan segera terjadi
jika infeksi tidak diatasi. Infeksi dini seringkali disebkan oleh
streptococcus B haemolyticus. Sedangkan pada infeksi lanjut
seringkali tidak disertai peningkatan temperatur dan pembentukan pus,
dan terutama disebabkan oleh Stafilococcus aureus. (Webster et al,
2003; Afzal,2008; Spioloitis et al, 2009).

5. Faktor Resiko
Faktor risiko terjadinya wound dehiscence dibedakan atas faktor
preoperasi yang berhubungan erat dengan kondisi dan karakteristik

24
penderita, faktor operasi yang berhubungan dengan jenis insisi dan tehnik
penjahitan, serta faktor pascaoperasi (Webster et al, 2003).
Faktor risiko preoperasi meliputi jenis kelamin (laki-laki lebih
rentan dibandingkan wanita), usia lanjut (>50 tahun), operasi emergensi,
obesitas, diabetes mellitus, gagal ginjal, anemia, malnutrisi, terapi radiasi
dan kemoterapi, keganasan, sepsis, penyakit paru obstruktif serta
pemakaian preparat kortikosteroid jangka panjang (Afzal, 2008; Spiloitis
et al, 2009; Makela, 2005; Singh, 2009).
Faktor risiko operasi antara lain :
a. Jenis insisi : Tehnik insisi mediana lebih rentan untuk terbuka
daripada transversal dikarenakan arah insisinya yang nonanatomik,
sehingga arah kontraksi otot-otot dinding perut berlawanan dengan
arah insisi sehingga akan mereganggkan jahitan operasi.
b. Cara penjahitan : Pemilihan tehnik penutupan secara lapis demi lapis
juga berperan dalam terjadinya komplikasi ini. Tehnik ini di satu sisi
memiliki keuntungan yaitu mengurangi kemungkinan perlengketan
jaringan, namun di sisi lain mengurangi efektifitas dan kekuatannya
(Afzal, 2008; Spiloitis et al, 2009; Makela J, 2005).
c. Tehnik penjahitan : tekhnik penjaitan terputus cenderung lebih aman
daripada tekhnik penjaitan kontinyu.
d. Jenis benang : Pemakaian benang chromic catgut juga dapat menjadi
suatu perhatian khusus, dikarenakan kecepatan penyerapannya oleh
tubuh sering kali tidak dapat diperkirakan (Afzal, 2008; Spiloitis et al,
2009; Makela J, 2005).

Sedangkan faktor-faktor pascaoperasi yang dapat meningkatkan


terjadinya dehisensi luka antara lain:
a. Peningkatan tekanan intra abdomen misalnya batuk, muntah, ileus dan
retensio urin. Tekanan intraabdominal yang tinggi akan menekan otot-
otot dinding abdomen sehingga akan teregang. Regangan otot dinding
abdomen iniah yang akan menyebabkan berkurangnya kekuatan
jahitan bahkan pada kasus yang berat akan menyebabkan putusnya

25
benang pada jahitan luka operasi dan keluarnya jaringan dalam rongga
abdomen.
b. Perawatan pascaoperasi yang tidak optimal
Perawatan luka pasca operasi yang tidak optimal memudahkan
terjadinya infeksi pada luka sehingga memudahkan pula terjadinya
dehisensi luka operasi.
c. Nutrisi pascaoperasi yang tidak adekuat. Asupan nutrisi yang tidak
adekuat terutama protein salah satunya akan menyebabkan
hipoalbuminemia, keadaan ini akan mengurangi sintesa kolagen yang
merupakan bahan dasar penyembuhan luka. Defisiensi tersebut akan
mempengaruhi proses fibroblasi dan kolagenisasi yang merupakan
proses awal penyembuhan luka.
e. Terapi radiasi dan penggunaan obat antikanker : radiasi pasca operasi
dapat menyebaban buruknya penyembuhan luka operasi karena
terjadinya fibrosis dan mikroangiopati (Afzal, 2008; Spiloitis et al,
2009; Makela J, 2005).

6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Wound Dehiscence dibedakan menjadi
penatalaksanaan non operatif atau konservatif dan penatalaksanaan
operatif tergantung atas keadaan umum penderita.
1. Penanganan Nonoperatif/ Konservatif
Penanganan non operatif diberikan kepada penderita yang sangat
tidak stabil dan tidak mengalami eviserasi. Hal ini dilakukan dengan
penderita berbaring di tempat tidur dan menutup luka operasi dengan kassa
steril atau pakaian khusus steril. Penggunaan jahitan penguat abdominal
dapat dipertimbangkan untuk mengurangi perburukan luka operasi terbuka
(Anonim, 2008; Ismail, 2008).
Selain perawatan luka yang baik, diberikan nutrisi yang adekuat
untuk mempercepat penutupan kembali luka operasi. Diberikan pula
antibiotik yang memadai untuk mencegah perburukan dehisensi luka
(Singh, 2008; Ismail, 2008).
2. Penanganan Operatif

26
Penanganan operatif dilakukan pada sebagian besar penderita
dehisensi. Ada beberapa jenis operasi yang dilakukan pada dehisensi luka
yang dilakukan antara lain rehecting atau penjahitan ulang luka operasi
yang terbuka, mesh repair, vacuum pack, abdominal packing, dan Bogota
bag repair (Sukumar, 2004).
Jenis operasi rehecting atau penjahitan ulang paling sering
dilakukan hingga saat ini. Tindakan ini dilakukan pada pasien dengan
keadaan stabil, dan penyebab terbukanya luka operasi murni karena
kesalahan tekhnik penjahitan (Sukumar, 2004).
Pada luka yang sudah terkontaminasi dilakukan tindakan
debridemen terlebih dahulu sebelum penutupan kembali luka operasi.
Dalam perencanaan jahitan ulangan perlu dilakukan pemeriksaan yang
baik seperti laboratorium lengkap dan foto throraks. Selain penjahitan
ulang dilakukan pula tindakan debridement pada luka (Spiloitis et al,
2009; Sjamsudidajat, 2005).
Tindakan awal yang dilakukan adalah eksplorasi melalui dehisensi
luka jahitan secara hati-hati dan memperlebar sayatan jahitan lalu
mengidentifikasi sumber terjadinya dehisensi jahitan. Tindakan eksplorasi
dilakukan dalam 48 72 jam sejak diagnosis dehisensi luka operasi di
tegakkan. Tehnik yang sering digunakan adalah dengan melepas jahitan
lama dan menjahit kembali luka operasi dengan cara satu lapisan
sekaligus. Pemberian antibiotik sebelum operasi dilakukan, membebaskan
omentum dan usus di sekitar luka. Penjahitan ulang luka operasi dilakukan
secara dalam, yaitu dengan menjahit seluruh lapisan abdomen menjadi
satu lapis. Pastikan mengambil jaringan cukup dalam dan hindari tekanan
berlebihan pada luka. Tutup kulit secara erat dan dapat dipertimbangkan
penggunaan drain luka intraabdominal. Jika terdapat tanda- tanda sepsis
akibat luka, buka kembali jahitan luka operasi dan lakukan perawatan luka
operasi secara terbuka dan pastikan kelembaban jaringan terjaga (Anonim,
2008; Ismail, 2008; Spiloitis, 2009).
Prinsip pemilihan benang untuk penjahitan ulang adalah benang
monofilament nonabsorbable yang besar. Penjahitan dengan tehnik

27
terputus sekurangnya 3 cm dari tepi luka dan jarak maksimal antar jahitan
3 cm, baik pada jahitan dalam ataupun pada kulit. Jahitan penguat dengan
karet atau tabung plastic lunak (5-6cm) dapat dipertimbangkan guna
mengurangi erosi pada kulit. Jangan mengikat terlalu erat. Jahitan penguat
luar diangkat setidaknya setelah 3 minggu (Anonim, 2008; Ismail, 2008).
Selain Rehecting, banyak tekhnik yang dilakukan untuk menutup
dehisensi luka secara sementara maupun permanen. Metode yang biasa
dilakukan antara lain mesh repair, yaitu penutupan luka dengan bahan
sintetis yaitu mesh yang berbentuk semacam kasa halus elastis yang
berfungsi sebagai pelapis pada jaringan yang terbuka tersebut dan bersifat
diserap oleh tubuh. Namun mesh repair menimbulkan angka komplikasi
yang cukup tinggi. Dilaporkan terdapat sekitar 80% pasien dengan mesh
repair mengalami komlplikasi dengan 23% mengalami enteric fistulation
(Sukumar, 2004).

Selain itu digunakan pula vacuum pack. Tekhnik ini menggunakan


sponge steril untuk menutup luka operasi yang terbuka kembali setelah itu
ditutup dengan vacuum bag dengan sambungan semacam suction di
bagian bawahnya. Tekhnik lain yang digunakan adalah Bogota bag.
Tekhnik ini dilakukan pada dehisensi yang telah mengalami eviserasi.
Bogota bag adalah kantung dengan bahan dasar plastik steril yang
merupakan kantong irigasi genitourin dengan daya tampung 3 liter yang
digunakan untuk menutup luka operasi yang terbuka kembali. Plastik ini
dijahit ke kulit atau fascia pada dinding abdomen anterior (Sukumar,
2004).

28
DAFTAR PUSTAKA

Afzal S, Bashir M. 2008. Determinants of Wound Dehiscence in Abdominal


Surgery in Public Sector Hospital. Department of Community Medicine,
King Edward Medical University Lahore . Annals 14:3

Amirlak, Bardia. 2008. Skin Anatomy. diakses Desember 2011 dari: http://
emedicine. medscape. com/ article/ 1294744-overviewAnita, Cecilia. 2009.
Asuhan Keperawatan Laparotomy. FK UNAND: Padang

Anonim. 2008. Penyembuhan Luka dan Dehisensi. Diakses Desember 2011 dari:
http://www.scribd.com/doc/56192741/DEHISENSI2

Anonim. 2009. Laparotomi. Diakses Desember 2011 dari:


http://www.scribd.com/doc/74673683/LP-Laparatomi

Barnard, B. 2003. Prevention of surgical site infection. Infection Control Today


Magazine, Virgo Publishing ; 1-6. http://www.infectioncontroltoday.com

Baxter, H. 2003. Management of surgical wound. Nur Time 99(13) ;1-9

Brannon, Heather. 2007. Skin Anatomy. Diakses Desember 2011 dari: http://
dermatoloy. about.com/cs/skinanatomy/a/anatomy.html

29
Braz FSV, Loss AB, Japiassi AM. 2007. Wound healing and sacrring sutures. The
Federal University of Rio de Janeiro. 1-5. Diakses Desember 2011 dari :
http://www.medstudents.com.br/cirur/cirur.htm

Hidayat, Nucki. 2007. Pencegahan Infeksi Luka Operasi. FK-UNPAD:


Bandung. Diakses Desember 2011 dari :
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2009/04/pencegahan_infeksi_luka_operasi.p
df

Ismail. 2008. Luka dan Perawatannya. Diakses Desember 2011 dari :


http://umy.ac.id/topik/files/2011/12/Merawat-luka.pdf

Kate, Vikram. 2011. Exploratory Laparotomy. Diakses Desember 2011 dari:


http://emedicine.medscape.com/article/1829835-overview

Makela J, Kiviniemi H, Juvonen T, et al. 2005. Factors influencing wound


dehiscence after midline laparotomy. American journal of surgery. 170 (4):
387-390

Sinaga, Yusuf. 2009. Wound Healing. Diakses Desember 2011 dari :


http://ocw.usu.ac.id/course/download/128-KEBUTUHAN-DASAR-
MANUSIA/kdm_slide_kebutuhan_dasar_manusia_konsep_luka.pdf

Singh, Abhijit. 2009. Case Report: Spontaneous scar dehiscence of a repaired


bladder rupture in a 5 yr old girl a case study. Resident Medical Officer,
Max Heart and Vascular Institute, Saket, New Delhi, India. Cases Journal
1:363

Sjamsudidajat R, De Jong W. 2005. Luka Operasi. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah
Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta

Spiloitis J, Tsiveriotis K, Datsis A, et al. 2009. Wound dehiscence: is still a


problem in the 21th century: a retrospective study. World Journal of
Emergency Surgery 4:12

Sukumar N, Shaharin S, Razman J, et al. Bogota Bag in the Treatment of


Abdominal Wound Dehiscence. Medical Journal Malaysia. 59:2

Tawi, Mizral. 2008. Proses Penyembuhan Luka. Diakses Desember 2011 dari :
http://syehaceh.wordpress.com/2008/05/13/proses-penyembuhan-luka/

Wain, Yohana. 2009. Asuhan Keperawatan Laparotomi atas indikasi Kista Ovari.
Akademi Keperawatan UPN: Jakarta

30
Webster C, Neumayer L, Smout R, et al. 2003. Prognostic models of abdominal
wound dehiscence after laparotomy. Journal of Surgical Research. 109 (2):
130-137

Yadi, Muhammad. 2005. Tesis : Wound Dehiscence Pasca Bedah Sesar. FK


UNDIP : Semarang

31

Anda mungkin juga menyukai